You are on page 1of 5

Kebangkitan Nasional dan Realita

Penulis: Agus Sakti


Aktivis di DEJA_VU Community Mukim di Malang

Hampir satu abad yang lalu hingga dewasa ini (tepatnya pada bulan Mei) banyak
peristiwa penting yang menjadi catatan sejarah. Mulai hari buruh internasional (1 Mei),
hari Pendidikan Nasional (2 Mei), hari Lembaga Sosial Desa (5 Mei), hari Palang Merah
Internasional (8 Mei), hari POM TNI (11 Mei), disusul dengan tragedi berdarah Trisakti
(12 Mei), kemudian hari Buku Nasional (17 Mei), dan yang terakhir adalah hari
Kebangkitan Nasional (20 Mei). Namun dari serangkaian rajutan benang sejarah dia atas,
hanya beberapa saja yang ajeg dan kontinu diperingati oleh sebagian besar masyarakat,
salah satunya adalah momentum Kebangkitan Nasional.

Dalam beberapa pengertian yang di ada di kamus standar, Kebangkitan Nasional ditafsiri
sebagai masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran
untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya tidak pernah muncul
selama penjajahan yang hampir menghabiskan waktu sekitar tiga setengah abad.

Pada peringatan hari Kebangkitan Nasional dewasa ini, tidak ada mudhoratnya jika kita
sama-sama mencoba untuk mengolahragakan otak guna mencari file yang sudah di save
dalam long memory pribadi masing-masing. Tentunya hal itu masih bertalian dengan
perjalanan sejarah yang diawali dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama yaitu Boedi
Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928).

Dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei
1908, hampir satu abad yang lalu. Pergerakan nasional ini diprakarsai oleh Dokter
Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian
lahirlah Sarekat Islam, di tahun 1912, di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto
bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan
politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker
(Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun
1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya
ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.

Namun, terlepas dari hal tersebut diatas, realita saat ini tidaklah demikian. Penulis
merasakan aroma ketidak pedulian masyarakat terhadap ruang sejarah publik yang
seharusnya dapat dikeruk manfaatnya. Betapa tidak, coba saja tenggok tanggal 2 Mei
kemarin yang bertepatan dengan hari Pendidikan Naional. Momentum ini hanya
diperingati secara seremonial saja tanpa ada implementasi kritis yang terus
berkesinambungan. Akibatnya nasib pendidikan di Indonesia ini amatlah mengenaskan.

Tidak usah terlalu jauh mengkomparasikan kondisi pendidikan di Indonesia dengan


negara lain. Penulis yakin, lokomotif akal, budi, dan nurani kita masih dapat melaju
dengan baik. Lihat saja penderitaan yang dirasakan Pak Mahmud yang bekerja sebagai
seorang guru. Sebagaimana yang disiarkan stasiun TV beberapa hari yang lalu, ia cuma
menerima gaji sebesasar Rp 400.000 dari hasil kerjanya. Padahal, di kota seperti Jakarta
bea hidup amatlah tinggi. Dengan modal materi yang jauh dari cukup ia mencoba untuk
menghidupi istri dan anaknya. Mau tidak mau, akhirnya pahlawan tanpa tanda jasa ini
nyambi jadi pemulung untuk mempertahankan supaya dapur rumah tetap mengepul.

Belum lagi sekolah-sekolah yang tidak layak pakai. Seperti sekolah-sekolah yang kurang
mempunyai sarana penunjang. Padahal jika menengok amanat subsidi dari pemerintah
yang sudah dicanangkan untuk anggaran pendidikan adalah sebesar 20% dari APBN,
namun yang terealisasi hanyalah sebesar 9%. Bandingkan dengan prosentase hutang ke
luar negeri sebanyak 30% dari APBN.

Sejatinya bukan hanya pendidikan yang bernasib sial dan mengenaskan. Tubuh ekonomi
juga merasakan hal yang sama. Misalnya, harga BBM yang terus menaikkan harga,
tersendatnya pasokan bensin ke sejumlah SPBU di Pandeglang makin meresahkan. Selain
sulit didapat, harga di tingkat pengecer melambung hingga Rp 10.000/liter (Jawa Pos,
Sabtu, 19 Mei 2007). Beras, minyak tanah, dan barang pokok lainnya juga demikian.
Beberapa hari yang lalu, minyak goreng juga ikut-ikutan memasang harga yang tidak
murah. Dari harga yang mulanya hanya Rp 5.000-an/kg sekarang menjadi Rp 8.000/kg,
bahkan beberapa waktu yang lalu sempat melonjak hingga Rp 8.300/kg (Seputar
Indonesia, 17 mei 2007).

Bait-bait revolusi yang kerap di kumandangkan mahasiswa;“Tempat Padi Terhampar,


Samuderanya Kaya Raya, Tanah Kami Subur Tuhan” belum terbukti keampuhannya. La
wong busung lapar masih populer di negeri ini, pun juga dengan impor beras masih terus
berjalan lancar tanpa hambatan.

Belum lagi masalah kesehatan yang amat memperihatinkan. Dewasa ini masalah demam
berdarah belum juga usai. Korban jatuh sakit dan meninggal akibat penyakit demam
berdarah dengue diakui meningkat hingga sekitar dua kali lipat jika dibandingkan periode
yang sama tahun lalu di wilayah Kabupaten Malang (Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007).

Dengan berbekal seabrek pengalaman sejarah yang tidak hanya menginjak harga diri
siapapun, sudah saatnya kita sebagai salah satu dari komponen masyarakat Indonesia
mulai berbenah diri dan bersatu guna membangun kembali negara yang sudah tidak ada
lagi pondasinya. Oleh karena itu, mari kita intropeksi diri secara totalitas sehingga kita
mempunyai suatu kesadaran ruang, posisi, dan moral yang balance.

Namun hal lain yang perlu mendapatkan sentuhan lebih adalah masalah pendidikan.
Bagaimanapun juga, indikasi yang paling dominan untuk menunjukkan suatu peradaban
maju dari sebuah bangsa adalah ketika sektor pendidikannya berkualitas lebih. Oleh
karena itu bersama momen Kebangkitan Nasional ini marilah kita bersama-sama menjadi
salah satu bagian dari orang-orang yang memiliki kesadaran ruang, posisi, dan moral
yang tinggi sehingga Indonesia benar-benar bangkit menjadi bangsa yang bersahaja,
sentosa, adil dan makmur. Amien
Harkitnas, bukan sekedar seremoni belaka

SETIAP tanggal 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejarah kita
mencatat tokoh intelektual lokal pada masa itu, yakni dr. Wahidin Sudirohusodo, alumni
Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), memprakarsai pembentukan sebuah organisasi modern
yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pada 20 Mei 1908, dia mengumpulkan para murid dari STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru,
Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan di Jakarta, yang melahirkan Budi
Utomo.
Dalam perjalanannya, Budi Utomo memang tidak lebih dari organisasi para priyayi Jawa
dan kurang berperan dalam kancah politik maupun perjuangan kemerdekaan. Namun,
gagasan mengenai perlunya membangun kesadaran berbangsa melalui pendidikan dan
kebudayaan adalah terobosan pemikiran pada masa itu.
Semangat inilah yang terus berusaha dikumandangkan oleh para founding fathers
republik dan para penerusnya demi menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa. Kini, yang menjadi pertanyaan kita: dalam situasi bangsa yang seperti sekarang
ini, ketika arus disintegrasi menguat dan segala urusan senantiasa diwarnai nuansa
SARA, masihkah makna Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008 relevan?
Jujur saja, mungkin banyak di antara kita yang ragu menjawab bahwa nilai-nilai itu masih
relevan, apalagi melihat fakta bahwa apa yang terjadi di lapangan sangat berbeda antara
bumi dan langit dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Terutama di tengah-tengah
situasi di mana kualitas hidup yang dijalani sebagian besar rakyat Indonesia semakin
menurun, sementara sebagian lainnya makin makmur dan sejahtera. Kesenjangan itu
sangat nyata, bukan saja antar masyarakat, tetapi juga antar daerah.
Artinya, bila pertanyaan mengenai relevansi Kebangkitan Nasional itu menguat, berarti
juga merepresentasikan situasi di alam bawah sadar maupun alam sadar kita apakah
masih relevan kita hidup bersama-sama sebagai satu bangsa, satu negara yang bernama
Republik Indonesia?
Itulah pertanyaan besar dan sangat mendasar. Dan hal itu tidak bisa dijawab hanya
melalui kegiatan-kegiatan yang digalang oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika
dalam rangka Harkitnas 2007 ini. Kegiatan-kegiatan seremonial seperti itu tak lebih dari
sekadar upaya mengingatkan bahwa 99 tahun lalu ada pergerakan untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat (di Jawa) mengenai sebuah nation, sebuah bangsa.
Kita setuju bahwa rasa persatuan dan kesatuan sebagai sesama bangsa Indonesia adalah
aset, potensi, dan kekuatan yang dibutuhkan dalam menjaga keutuhan Republik
Indonesia, dan dalam menghadapi berbagai krisis yang masih mencengkeram sampai saat
ini. Namun bagaimana mewujudkan itu dalam kenyataan?
Tahun depan sudah dicanangkan akan diperingati sebagai satu abad (100 tahun) Hari
Kebangkitan Nasional, mungkin peristiwa itu akan diramaikan dengan berbagai kegiatan
dan seremoni yang meriah. Namun, berbagai kegiatan itu juga tidak akan mampu
menjawab pertanyaan: apakah insentif dan keuntungan kita menjadi satu bangsa yang
bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Pertanyaan seperti itu sangat dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-
pulau lain di luar Jawa, sebab banyak di antara mereka yang tidak tersentuh oleh
pembangunan. Di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Filipina atau Singapura, lebih menguntungkan berhubungan langsung
dengan para tetangga itu ketimbang dengan Jakarta, yang memang lebih jauh jaraknya.
Sampai hari ini, kita harus mengakui bahwa pembangunan masih berorientasi di dan ke
Jawa, yang memang harus diakui pula sebagai pulau yang paling padat penduduknya.
Namun kenyataan itu tidak boleh membuat pemerintah kemudian mengabaikan
pembangunan di wilayah-wilayah lain di luar Jawa.
Lebih konkret lagi, pemerintah harus memberikan insentif kepada wilayah-wilayah lain
itu untuk menunjukkan bahwa tergabung dalam Republik Indonesia memang
menguntungkan, mensejahterakan, memberi keadilan, memberi rasa damai dan tenteram
dst.
Menurut hemat kita, harus ada upaya-upaya khusus untuk pembangunan lebih banyak
pelabuhan, membangun armada kapal nasional yang besar, memperbaiki dan
memperbanyak bandar-bandar udara, memperbaiki dan membangun jalan-jalan, sekolah,
rumah sakit dll. di wilayah-wilayah luar Jawa. Pembangunan infrastruktur dasar seperti
itu akan menyadarkan rakyat bahwa memang ada manfaat dan insentif menjadi bangsa
Indonesia.
Masalahnya adalah tayangan kelakuan para pemimpin di aras nasional yang cenderung
memperlihatkan mereka hanya cari kekayaan sendiri atau cari selamat sendiri (terbukti
dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak semakin surut). Hal-hal seperti itu sama
sekali tidak mendukung upaya membangun sebuah semangat kebangsaan.
Dalam keterbatasannya, dr Wahidin dan kawan-kawannya telah membawa terobosan
sejarah. Saat ini, sesungguhnya kita juga membutuhkan seorang pemimpin yang berani
melangkah maju menuju era Kebangkitan Nasional Kedua, seorang pemimpin yang
punya visi membawa lompatan kemajuan besar bagi bangsanya, seperti pernah dan telah
dialami tetangga-tetangga dekat kita. Tetapi tampaknya kita memang masih berada di
taraf Baru Bisa Mimpi, seperti tayangan acara di televisi. N
Semangat Keindonesiaan

Harkitnas, sekarang ini, harus dapat kita maknai sebagai satu kesadaran kembali
bagaimana memulihkan kembali jiwa dan semangat keindonesiaan kita untuk
berjuang memperbaiki negara, bangsa, dan Tanah Air.

Kita harus sadar bahwa selama ini kita sudah terlampau banyak menelantarkannya.
Kini kita harus kembali bersedia bahu-membahu membangun bangsa, negara, dan
Tanah Air demi masa depan generasi kita nanti.

Melalui momen Harkitnas ini, kita masing-masing perlu mulai bangkitkan diri sendiri
agar kita sadar betul apa sesungguhnya tanggung jawab moral sebagai warga negara dan
bangsa Indonesia. Kita harus berusaha, bekerja, dan berjuang tak hanya bagi diri kita
sendiri atau keluarga, tetapi juga bagi masyarakat, negara, dan Tanah Air.
Jika kesadaran itu dapat tumbuh pada masing-masing warga negara, niscaya kita akan
mampu bangkit kembali menjadi bangsa yang kuat, percaya diri, dan memiliki masa
depan yang cerah.

Untuk itu, kita harus mampu menekuni profesi kita masing-masing dengan berlandaskan
kejujuran, keikhlasan, dan kebijakan. Negara, bangsa, dan Tanah Air tak akan pernah
mampu kita bangun dengan baik selama setiap warga bangsa tak mendukungnya.
Indonesia, akan menjelma menjadi negara kuat jika ia didukung dengan kesadaran setiap
warga bangsa.

Kini kita harus bangkit kembali, agar negara, bangsa, dan Tanah Air kita
benar-benar menjadi rumah idaman bersama untuk menggapai segala keberhasilan
dan kemajuan. Kita harus mampu dan bertekad untuk melepas segala tindakan yang
berdampak buruk bagi bangsa, negara, dan Tanah Air.

Kita harus mengedepankan tindakan-tindakan terpuji, yang nantinya dapat


menjadikan bangsa, negara, dan Tanah Air kita menjadi lebih maju dan makmur.

You might also like