You are on page 1of 42

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengantar Dalam kajian pustaka ini diuraikan penelitian yang terkait dengan disertasi ini. Konsep dasar yang digunakan dalam menganalisis konvergensi dan divergensi ini adalah konsep konvergensi dan divergensi, konsep variasi bahasa, konsep pemahahaman timbal balik (mutual intelligibility), konsep ciri pembeda, konsep korespondensi dan variasi, dan konsep inovasi dan retensi. Selanjutnya, kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori dialektologi generatif, akomodasi, migrasi bahasa, dan linguistik historis komparatif. 2.2 Penelitian yang Terkait Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan teori akomodasi dan yang mengkaji masalah konvergensi dan divergensi linguistik, antara lain Giles dkk, Masinambow, Thakerar, Platt dkk, Trudgill, dan peneliti lainnya yang mengkaji masalah yang mirip. H. Giles, Donald M. Taylor dan Richard Bourhis (1973) dalam Towards a Theory of Interpersonal Accommodation through Language: Some Canadian Data menyimpulkan bahwa terdapat empat belas kategori akomodasi tutur dalam penutur English-Canadian (EC) dalam bentuk pesan-pesan yang direkam. Keempatbelas kategori ini terjadi dalam empat kondisi, yaitu Nonfluent English, 56
Universitas Sumatera Utara

Fluent English, Mix-mix, dan French. Kategori akomodasi yang penting mencakup istilah orientasi penyesalan pendengar (listener-oriented regrets). Bentuk akomodasi ini terjadi ketika penutur EC mengekspresikan permintaan maaf pada pendengar French-Canadian (FC) dalam bentuk sebuah rekaman. Dalam hal ini kemampuan berbahasa Prancis penutur EC tidak cukup baik untuk mendeskripsikan pernyataan tersebut. Pada penelitian tersebut dibedakan empat jenis akomodasi yang digunakan oleh EC dalam menyampaikan pesan antara lain, dua pesan EC yang alami dalam empat kondisi (Nonfluent English, Fluent English, Mix-mix, dan French), yaitu akomodasi pesan (accommodating messages) dan bukan akomodasi pesan (nonaccomodating messages); dua akomodasi pesan EC yang alami dalam tiga kondisi (Nonfluent English, Fluent English, dan French), yaitu akomodasi pesan yang sempurna (fully

accommodated messages) (mis, berbicara dalam bahasa Prancis) dan akomodasi pesan yang parsial (partially accommodated messages). Pada sisi lain Masinambow (1977) mengkaji masalah konvergensi dalam disertasinya yang berjudul Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah. Pembahasan yang dilakukannya berkenaan dengan konvergensi urutan konstituen sintaksis dari bahasa Tobelo dan bahasa Melayu Halmahera. Istilah yang digunakan adalah konvergensi ke (arah), tidak ada konvergensi, dan konvergensi dengan. Istilah konvergensi ke (arah) hanya digunakan jika menyangkut dua bahasa yang berbeda jenis dan salah satu tidak mengikuti urutan konstituen yang

57
Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan konstituen yang khas bagi jenis bahasa yang kedua. Istilah konvergensi dengan digunakan menurut sudut pandang bahasa yang kedua itu, yaitu bersama-sama dengan kasus-kasus mengenai bahasa sejenis yang memperlihatkan urutan konstituen yang sama dan sesuai dengan jenisnya itu. Istilah tidak ada konvergensi digunakan jika salah satu bahasa tidak sesuai urutan konstituennya dibandingkan dengan urutan konstituen kedua bahasa yang lain. Kajian akomodasi kembali diulas oleh J. Platt (1980) dalam The Relation between Accommodation and Code Switching in a Multilingual Society: Singapore. Disimpulkan bahwa dalam ranah campuran antara keluarga dan teman terutama yang jelas berbeda verbal reportoar di antara para partisipannya dibutuhkan strategi yang dapat memecahkan konflik yang muncul akibat berbedanya keperluan berakomodasi. Strategi ini selalu ditandai dengan alih kode, baik yang spontan maupun yang diminta (langsung atau tidak langsung). Tipe strategi ini bisa berbeda menurut situasi dan keberhasilannya dan selalu bergantung pada pencapaiannya, paling tidak sementara, yaitu suatu sisi pendekatan sebuah kondisi yang seolah-olah mirip dalam verbal reportoar. Pada tahun 1984 John Platt dan Heidi Weber kembali membahas akomodasi dalam Speech Convergence Miscarried: an Investigation into Inappropriate Accommodation Strategies dan menyimpulkan bahwa adanya interferensi dari latar belakang bahasa dan dari strategi budaya dalam komunikasi

58
Universitas Sumatera Utara

antarkelompok etnik di Singapura yang berbeda menjadi alasan gagalnya akomodasi dalam pertukaran tuturan terutama antara imigran dan penutur Inggris asli. Selain itu, tidak adanya pengetahuan yang cukup dalam strategi komunikatif dan variasi gaya dalam variasi bertutur terutama bagi mereka yang telah menanggalkan kewarganegaraannya (ekspatriatis) dan berdomisili di Singapura. Misalnya, seorang ekspariatis yang edukatif menggunakan bahasa percakapan Inggris Singapura yang rendah (colloquial basilect) dalam situasi informal atau menggunakan bahasa percakapan itu dengan penutur yang berbahasa rendah (basilektal). Kesalahan konvergensi adalah ketika orang-orang Singapura menggunakan bahasa Inggris formal, bergaya sastra, atau arkais dalam percakapan kepada para turis atau ekspatriatis; dan pekerja imigran menggunakan bahasa percakapan Australia yang arkais ketika berbicara dengan sesama pekerja Australia. Teori akomodasi juga telah dipergunakan Trudgill (1986) dalam Dialect and Contact. Dia meneliti tentang kecenderungan penutur memodifikasi tuturannya. Sebelumnya, Trudgill (1983) dalam Language Contact in Greece juga secara tersirat sebenarnya telah menggunakan teori akomodasi, hanya saja ketika meneliti proses pembentukan bahasa pidgin dan kreol, dia menggunakan istilah reduction, simplification, stability, dan unintelligibility. Keempat istilah tersebut sebenarnya muncul karena adanya kecenderungan seseorang untuk berakomodasi. Demikian juga halnya dengan Hamers dan Blanc (1989) dalam

59
Universitas Sumatera Utara

Bilinguality and Bilingualism dan Holnecht (1994) dalam artikelnya The Mechanism of Language Change in Labu. Asmah (1996) juga menggunakan teori akomodasi dalam Beberapa Persoalan Teoretis mengenai Bahasa Standard dan Penstandardan Bahasa. Dikatakannya bahwa akomodasi sebagai proses penyesuaian berlaku apabila penutur mencoba menyesuaikan bahasanya dengan mitra tuturnya. Penyesuaian ini dapat terjadi pada aspek fonologi, tatabahasa, dan leksikal. Dhanawaty (2002) dalam disertasinya yang berjudul Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah mencoba mengaitkan teori akomodasi dalam penelitian dialektologi. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bahasa Bali di Lampung tengah secara fonologis berbeda dengan bahasa Bali di daerah asalnya di Bali. Keberbedaan ini tercermin pada variasi distribusi dan realisasi fonem. Variasi-variasi itu sebagian besar muncul karena adanya kecenderungan berakomodasi pada penutur bahasa Bali di Lampung Tengah. Kecenderungan berakomodasi tertinggi di daerah itu terdapat pada penutur lek Nusa Penida, kelompok usia muda, di desa Rama Dewa. Perilaku akomodatif mereka menyebabkan terjadinya suatu perbedaan terbesar yang terdapat di antara kelompok usia muda di desa Rama Dewa dan lek Nusa Penida di daerah asal. Arah akomodasi antarlek paling banyak tertuju ke lek Karangasem, sedangkan arah akomodasi antarbahasa paling banyak tertuju kepada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada saat akomodasi, pewicara memodifikasi tuturannya secara

60
Universitas Sumatera Utara

fonologis sehingga semakin mirip dengan lek mitra wicara. Terdapat tujuh faktor penyebab terjadinya akomodasi, yaitu (1) meningkatkan efektivitas komunikasi, (2) mengurangi jarak sosial di antara peserta wicara, (3) menghapus stigma, (4) meningkatkan prestasi dan prestise, (5) mengurangi formalitas tutur, (6) meningkatkan formalitas tutur, dan (7) meningkatkan kesantunan tutur. Pada tahun 2004 Dhanawaty juga menulis tentang Teori Akomodasi dalam Penelitian Dialektologi dalam Jurnal Linguistik Indonesia. Selain itu, teori akomodasi komunikasi juga diterapkan oleh Dian Sulastri (2005) dalam makalahnya yang berjudul Konvergensi Linguistis Penutur Asli Bahasa Jawa terhadap Pemakaian Bahasa Melayu Palembang dalam Komunitas Pasar Tradisional di Palembang (makalah yang disajikan dalam Pertemuan Linguistik Asean, November 2005 di Jakarta). Disimpulkan bahwa fenomena yang terjadi dalam kontak bahasa menunjukkan upaya penutur asli bahasa Jawa membuat sebuah modifikasi terhadap bahasa Melayu Palembang agar sesuai dengan pola pemakaian bahasa Melayu Palembang atau agar konvergen. Akomodasi yang berlangsung secara intensif dan dalam jangka waktu lama (long term accommodation) bukan tidak mungkin akan menghasilkan sebuah varian bahasa yang baru, meskipun varian baru tersebut berawal dari kesalahan berbahasa yang mungkin berlangsung terusmenerus. Hasil penelitian tentang BMA yang pernah diteliti dan yang mendukung penelitian ini adalah Manurung (1978) Morfologi Bahasa Melayu Asahan. Dia

61
Universitas Sumatera Utara

mendeskripsikan morfologi BMA berdasarkan teori struktural. Lubis, dkk. (1985) telah menyusun kamus Bahasa Melayu Asahan. Kamus ini telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta. Mulyadi dan Dwi Widayati (1993) telah membahas fonologi BMA berdasarkan teori struktural, yaitu Fonologi Bahasa Melayu Asahan yang diterbitkan Lembaga Penelitian USU. Mulyadi (1997) telah menulis dalam jurnal Komunikasi Penelitian USU tentang sistem konsonan bahasa Melayu Asahan dengan menggunakan teori generatif. Widayati (1997) dalam rangka penulisan tesis di UGM juga membahas BMA dari sudut pandang dialektologi. Peneliti ini mengambil fokus bahasa Melayu Asahan yang terdapat di sebelah timur Asahan, dengan mengambil delapan daerah pengamatan. Daerah timur Asahan dijadikan titik pengamatan karena mayoritas penutur Melayu berada di daerah tersebut. Titik berat kajian penelitian ini adalah upaya pengidentifikasian status dialek Melayu yang terdapat di timur Asahan. Selain itu, pada tahun yang berbeda (2001) peneliti yang sama mencoba menguraikan pengaruh migrasi etnik Minangkabau dan etnik Batak ke Timur Asahan terhadap keberadaan bahasa Melayu di Asahan. Penelitian ini melanjuti penelitian terdahulu dengan menambahkan sejumlah informasi terhadap keberadaan bahasa Melayu di Asahan. Pada tahun selanjutnya (2004) bersama rekannya dia mendeskripsikan kekerabatan dialek-dialek tersebut dengan membandingkannya dengan bahasa Melayu Purba.

62
Universitas Sumatera Utara

Beberapa kajian dialektologi yang juga memberi sumbangan penting dalam kajian ini, terutama dalam upaya pemaparan hasil analisis kajian ini adalah Ayatrohaedi (1978) dalam penelitiannya yang berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Penelitian disertasi ini telah diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1985; Danie (1991) dalam disertasi yang telah diterbitkan berjudul Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut; Lauder (1993) dalam disertasinya yang juga telah diterbitkan berjudul Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang; Mahsun (1994) dalam disertasinya yang berjudul Dialek Geografis Bahasa Sumbawa; Putra (2007) dalam disertasinya yang berjudul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi. Penerapan teori dialektologi generatif yang dilakukan Putra (2007) dalam penelitiannya memberikan sumbangan dalam penelitian ini terutama dalam analisis ciri

pembeda. Demikian juga halnya dengan Fautngil (2007) dalam disertasinya yang berjudul Varietas-Varietas Bahasa di Lembah Grime Jayapura: Kajian Dialektologi Regional. Cara kerja mereka dalam mendeskripsikan variasi dialek memberi sumbangan pemikiran yang sangat berharga dan dijadikan sebagai perbandingan dalam menganalisis penelitian ini.

63
Universitas Sumatera Utara

2.3 Kerangka Konsep dan Kerangka Teori 2.3.1 Kerangka Konsep 2.3.1.1 Konsep Konvergensi dan Divergensi Konvergensi dan divergensi yang merupakan proses dalam peristiwa tutur adalah dua aspek dalam akomodasi. Seseorang dalam bertutur atau berinteraksi selalu berusaha untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra tuturnya. Proses penyesuaian itu apabila menuju ke arah penyamaan tuturan dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Dengan kata lain seorang penutur berusaha mengakomodasikan tuturannya dengan mitra tuturnya agar tercapai keseimbangan atau kesesuaian di antara mereka. Weinreich (1954: 359 dalam Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill 2005: 2) mendefinisikan konvergensi sebagai kesamaan yang parsial yang selanjutnya meningkat pada adanya perbedaan. Konvergensi dan divergensi adalah gagasan yang berhubungan, yakni mengacu pada proses dan hasil dari proses tersebut. Selanjutnya, Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill (2005: 4) menjelaskan bahwa proses perubahan bahasa hanya menyelesaikan hal-hal yang ada dibalik perubahan bahasa, baik secara intrasistemik (misalnya, perubahan bunyi secara leksikal yang menyebar) maupun di antara variasi bahasa yang berdekatan (misalnya, dialek atau gaya/style). Dalam dialektologi tradisional banyak perhatian telah diberikan

64
Universitas Sumatera Utara

pada variasi intrasistemik. Alam dan manusia dianggap berpotensi menjelaskan lokasi batas dialek sebagai hasil dari divergensi dialek (atau tidak konvergensi). Dalam Masinambow (1976: 139-140) dijelaskan bahwa konvergensi terjadi karena adanya persamaan aspek struktur bahasa A dengan bahasa B atau sebaliknya pada masyarakat yang bilingualisme. Misalnya, persamaan pola urutan konstituen sintaksis tertentu. Persamaan pola dapat juga terjadi tanpa adanya persentuhan langsung antara bahasa A dan bahasa B. Ini terjadi karena adanya hubungan genetis (cognat) yang sama dari dua bahasa itu. Dalam rangka interaksi antaretnis (sehubungan dengan penelitiannya) persamaan pola sebelum persentuhan mengakibatkan pengukuhan

(reinforcement) dari persamaan itu, sedangkan perubahan pola berbeda yang menjadi identik menghasilkan penyimpangan dari norma bahasa yang dipengaruhi. Dalam penelitian Mahsun (2005) dijelaskan bahwa terjadinya konvergensi dan divergensi dalam masyarakat bahasa adalah karena adanya kesepadanan adaptasi linguistik dengan adaptasi sosial. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial yang melibatkan dua

65
Universitas Sumatera Utara

kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan harmoni di antara mereka. Apabila adaptasi sosial lebih tinggi (melalui adaptasi linguistik), akan terbentuklah kondisi harmoni, tetapi sebaliknya, apabila adaptasi sosial rendah, kondisi tidak harmonilah yang terbentuk. Ini berkaitan dengan penyesuaian bahasa atau pilih bahasa atau konvergensi dan divergensi bahasa. Di sini Mahsun menerapkan konsep konvergensi dan divergensi dengan menghubungkannya dengan situasi dalam masyarakat demi terciptanya keharmonisan dalam sosial masayakat. Konsep ini tidak sepenuhnya menjadi acuan dalam penelitian ini. Konsep konvergensi dan divergensi yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya masyarakat untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra wicaranya sehingga komunikasi di antaranya dapat terjalin. Munculnya variasi bahasa/dialek dalam kajian sosiolinguistik ditandai dengan adanya perbedaan daerah, status sosial penuturnya, usia, ragam, gender, dan keetnisan. Dengan mengandalkan teori ini, akan diperoleh variasi bahasa dari proses konvergensi dan divergensi karena penutur berusaha menyeimbangkan tuturannya. Penutur berusaha mengakomodasikan tuturan dengan mitra wicaranya atau sebaliknya, baik itu dengan cara penyederhanaan tuturan maupun pembakuan tuturan ke arah yang lebih formal. Semua tuturan

66
Universitas Sumatera Utara

yang dihasilkan penutur ketika berinteraksi akan selalu bervariatif bergantung pada siapa yang bertutur, kepada siapa, bagaimana, kapan, dan topik apa. Dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini mengamati sejauh mana penutur dialek BMA mengakomodasikan tuturannya pada mitra tuturnya yang berbeda etnis. Jadi, konvergensi dan divergensi yang diamati dari peristiwa tutur ini adalah pilih bahasa atau campur bahasa yang akan muncul dan ini dapat disejajarkan dengan campur kode atau alih kode, yang merupakan peristiwa yang lazim dalam masyarakat yang multilingual. Linguistik historis komparatif (diakronis) diterapkan dalam penelitian ini juga mengamati bagaimana konvergensi dan divergensi dialek yang muncul. Apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari bahasa protonya, artinya telah terjadi konvergensi. Namun, apabila variasi itu merupakan bentuk yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri kekognatannya dengan bahasa proto atau tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa kognatnya, artinya telah terjadi divergensi. Divergensi merupakan pemisahan ketika terjadi inovasi, yaitu ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan mengalami pemisahan. Dalam Auer Peter, Hinskens Frans, dan Paul Kerswill (2005: 3) dijelaskan bahwa manifestasi dari divergensi dialek sangat tampak jelas dalam sejarah bahasa. Proses yang cukup panjang membedakan bahasa Proto Indo Eropa ke dalam keluarga bahasa dan keluarga bahasa ke dalam bahasa-bahasa

67
Universitas Sumatera Utara

yang terjadi dalam prasejarah linguistik. Hasil divergensi direpresentasikan secara visual dalam garis cabang diagram pohon dalam linguistik sejarah. Dalam Mbete (2002:13) dijelaskan bahwa jika kesamaan dan kemiripan yang ditemukan setelah perbandingan yang dilakukan secara cermat dan sistematis tidak hanya dijelaskan sebagai pinjaman dari bahasa kerabat dan nonkerabat, tidak hanya diterima sebagai gejala kebetulan, dan tidak hanya diterima sebagai kecenderungan semesta, kekuatan divergensi menjadi tumpuan teoretis tentang adanya warisan bersama. Warisan bersama itu dihipotesiskan sebagai berasal dari protobahasa yang sama pula. Dengan demikian, melalui hipotesis keterhubungan keasalan dan hipotesis keteraturan perubahan, protobahasa dapat dijajaki dan dirakit kembali sebagai suatu sistem. Analisis konvergensi dan divergensi ini memanfaatkan sejumlah perubahan bunyi dari leksikon yang dibandingkan. Selain itu, linguistik historis komparatif dalam kajian ini juga dimanfaatkan dalam upaya penelusuran kekognatannya apakah lebih dekat pada bahasa penuturnya atau lebih dekat kepada bahasa mitra tuturnya. Bila penutur yang berakomodasi itu menggunakan bahasa Indonesia, penelusuran kognat dilakukan bertumpu pada bahasa Melayu. Pembakunya adalah Kamus Bahasa Melayu Wilkinson. Variasi bahasa yang dibandingkan, yaitu leksikon, disusun dalam perangkat ciri-ciri yang berkorespondensi dalam wujud korespondensi fonemis. Korespondensi dalam kajian ini disebut juga sebagai perubahan bunyi yang

68
Universitas Sumatera Utara

muncul secara teratur, sedangkan yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Jadi, variasi-variasi bahasa yang muncul itu akan dikaji dengan teori ini apakah kemunculannya beraturan atau tidak beraturan. Langkah terakhir, setelah diperoleh perangkat ini adalah penelusuran bagaimana bahasa proto itu merefleksikan variasi itu. Singkatnya, kajian konvergensi dan divergensi dalam disertasi ini berlandaskan pada konsep dasar bahwa masyarakat yang berbeda latar belakang geografi, etnis, dan sejarah cenderung memodifikasi tuturannya menjadi sama atau berbeda dengan gaya tutur mitra tuturnya. Masyarakat yang selalu cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam berinteraksi sehingga tuturannya menjadi sama merupakan proses

konvergensi. Sebaliknya, apabila ada kecenderungan untuk memodifikasikan tuturan sehingga menjadi tidak mirip atau berbeda merupakan proses divergensi. Terjadinya pemodifikasian tutur melalui peristiwa konvergensi dan divergensi menyebabkan terjadinya perubahan dalam bahasa, tetapi perubahan yang dihasilkan berbeda. Perbedaan perubahan ini juga terjadi karena tidak semua pelaku konvergensi dan divergensi memodifikasi fitur linguistik yang sama pada derajat yang sama dan situasi yang sama. Di samping itu, juga tidak semua penutur berkonvergensi atau berdivergensi pada situasi tutur tertentu. Perubahan yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya variasi bahasa (lihat Francis 1983: 15 dalam Dhanawaty 2004: 2).

69
Universitas Sumatera Utara

Apabila masyarakat yang merupakan komunitas tutur itu terpisah dengan komunitas tutur lainnya, berada dalam wilayah geografi yang berbeda, lama-kelamaan akan mengalami pergeseran, baik lafal maupun kosa katanya. Dalam kajian dialek peristiwa akomodasi ini termasuk dalam jenis akomodasi jangka panjang (long-term accomodation) (lihat Trudgill 1986) karena sifatnya menjadi permanen dan menjadi identitas bagi sekelompok komunitas yang berbeda latar belakang sejarah atau geografi. Pada sisi lain, adanya upaya menyamakan tuturan dengan mitra tuturnya karena adanya perbedaan sosial dan situasi tutur yang juga dapat mewujudkan konvergensi dan divergensi bahasa/dialek termasuk dalam jenis akomodasi jangka pendek (short-term accomodation) karena sifatnya tidak permanen. Namun, sifat yang tidak permanen ini apabila berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan perubahan/pergeseran yang diwujudkannya, akibat adanya keinginan untuk berakomodasi, akan dapat menjadi suatu identitas atau ciri yang permanen dalam suatu komunitas tutur. Selanjutnya, identitas itu tetap ada ketika mereka berinteraksi dengan latar sosial dan situasi yang berbeda. Dalam kajian lingusitik diakronis gejala seperti ini dapat disejajarkan dengan variasi untuk akomodasi jangka pendek dan korespondensi untuk akomodasi jangka panjang. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa konvergensi dan divergensi dapat dikaji secara sinkronis maupun diakronis. Kedua-duanya bertumpu pada

70
Universitas Sumatera Utara

usaha menyamakan dan membedakan. Dalam kajian sinkronis adanya akomodasi tuturan dari para peserta tutur dapat berwujud konvergensi dan divergensi. Apabila proses penyesuaian itu menuju ke arah penyamaan tuturan dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Secara diakronis, disebut konvergensi apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari bahasa protonya. Sebaliknya disebut divergensi apabila variasi itu merupakan bentuk yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri kekognatannya dengan bahasa proto maupun tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa kognatnya.

2.3.1.2 Konsep Variasi Bahasa Istilah variasi dalam konsep penelitian ini merupakan padanan dari kata variety dan bukan variation. Variation dipadankan dengan kevariasian atau keragaman. Karena itu, istilah variasi di sini dapat disejajarkan dengan ragam (menurut istilah yang dipakai oleh Asim Gunarwan). Variasi bahasa bukan hanya terjadi karena penuturnya tidak homogen, melainkan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan juga beragam. Secara garis besar variasi dapat dibedakan atas variasi yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Variasi yang bersifat internal terjadi karena adanya faktor-faktor intralinguistik, misalnya mencakup perbedaan

71
Universitas Sumatera Utara

realisasi morfem {-s} pemarkah jamak dalam bahasa Inggris yang direlisasikan sebagai [s], [z], [iz], atau []. Variasi yang bersifat eksternal terjadi karena adanya faktor-faktor ekstralinguistik, seperti perbedaan wilayah, dimensi sosial, dan situasi tutur. Variasi yang bersifat internal lebih hakiki, yang merupakan ciri alamiah sebuah bahasa dan ini dianggap sebagai variasi dalam linguistik, sedangkan variasi yang bersifat eksternal bukan ciri yang hakiki dan karenanya mudah berubah sesuai dengan faktor-faktor eksternal tadi. Sehubungan dengan pandangan de Sussure, keragaman bahasa terjadi pada tingkat parole dan bukan pada tingkat langue, sedangkan variasi atau ragam berada pada tingkat langue. Alasannya adalah karena dalam wujud ragam/variasi itu telah terkandung aspek sosial yang turut membentuk variasi tersebut dan akhirnya menjadi sistem dalam variasi bahasa/dialek tersebut. Ini dapat disejajarkan dengan etik dan emik (konsep Pike). Karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dan dialektologi variasi yang dikaji adalah variasi bahasa yang bersifat eksternal (band. Nababan 1984 dan Gunarwan 2004). Variasi bahasa dapat dibedakan berdasarkan (a) latar belakang geografi, (b) latar belakang sosial penutur, (c) medium yang digunakan, (d) pokok pembicaraan, dan (d) latar belakang sejarah. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang geografi disebut dialek. Dialek ini lazim disebut sebagai dialek regional atau dialek geografi. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang sosial penuturnya disebut juga sosiolek atau dialek sosial. Dialek ini

72
Universitas Sumatera Utara

berkenaan dengan dimensi sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Variasi yang ketiga, yaitu berdasarkan medium yang digunakan adalah bahasa tulis dan bahasa lisan. Berdasarkan pokok pembicaraan bahasa dibedakan atas bahasa ilmu, bahasa hukum, bahasa niaga, bahasa jurnalistik, dan bahasa sastra. Variasi yang terakhir, yaitu berdasarkan latar belakang sejarah atau variasi historis, dibedakan atas bahasa yang inovatif dan bahasa konservatif. Kedua jenis variasi yang terakhir ini diacu dari sejauhmana bahasa tuturan mengalami perkembangan dari bahasa protonya. Bila bertahan atau terwaris secara linier berarti konservatif. Sebaliknya, bila mengalami perubahan atau pergantian disebut inovatif. Variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis merupakan objek kajian dialektologi, sebaliknya, variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register merupakan objek kajian sosiolinguistik. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Halliday. Halliday (1979: 184 dan lihat juga Kridalaksana 1993: 42) mengklasifikasikan variasi bahasa sebagai dialek dan register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Lebih lanjut Petyt (1980: 11 16) berpendapat bahwa dialek adalah variasi yang berbeda dari bahasa yang sama. Istilah dialek mengacu pada

73
Universitas Sumatera Utara

perbedaan antara jenis-jenis bahasa yang berbeda kosa kata atau bahasanya, begitu pula pelafalannya. Hal ini berbeda dengan aksen yang semata-mata mengacu pada perbedaan lafal. Pada kajian dialek, variasi bahasa tidak hanya dapat direkam dalam wilayah geografi dan variasi bahasa tidak semata-mata bergantung pada transkripsi fonetis saja tanpa memperhatikan sistem dan struktur bahasa atau dialek yang diperamati. Kajian dialek harus memahami bahwa variasi bahasa dapat muncul karena bahasa mempunyai sistem tersendiri dan mempunyai sistem fonemik dalam struktur fonologi bahasa tersendiri. Sistem fonemik, misalnya dapat dikaji berdasarkan prinsip (1) penyebaran bunyi yang saling melengkapi, (2) kesamaan bunyi, (3) adanya pasangan minimal (Petyt 1980: 119-120; Chambers dan Trudgill 2004: 43-35). Kajian dialek yang berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda disebut geografi dialek. Wardhaugh (1988: 42) menjelaskan bahwa geografi dialek adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan usaha pembuatan peta pada distribusi ciri-ciri variasi linguistik yang menunjukkan asal lokasi bahasa tersebut. Selanjutnya, variasi-variasi linguistik tersebut sampai pada usaha memetakan sebagaimana langkah akhir penelitian geografi dialek. Selanjutnya, Trudgill (1984: 33) memberikan gambaran tentang tujuan kerja dialektologi, yaitu membuktikan kesinambungan dan perkembangan sejarah bahasa dan menyediakan sebagai suatu dasar sejarah terhadap studi

74
Universitas Sumatera Utara

lebih lanjut yang dapat diukur. Seorang dialektolog secara khusus memusatkan perhatian pada perekaman dan pemeliharaan dialek yang lebih kuno sebelum dialek tersebut punah. Beberapa ahli memberi pendapat tentang kerja dialektologi, seperti Bloomfield (1995: 333 334) mengatakan bahwa geografi dialek tidak hanya membantu kita untuk mengilhami fakor-faktor di luar bahasa, tetapi juga melalui bukti-bukti berupa bentuk-betuk peninggalan dan stratifikasistratifikasi, memberikan banyak hal yang terperinci mengenai sejarah setiap bentuk. Begitu juga dengan Collins (1986: 75) mengatakan bahwa penyelidikan geografi dialek sangat penting untuk menentukan batas-batas dialek serta menyelidiki jaringan dialek dari segi linguistik. Berdasarkan uraian di atas semakin jelas bahwa variasi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis. Kajian variasi regional dalam penelitian ini adalah mengamati kemungkinan variasi dialek yang muncul dari dua dialek yang dituturkan oleh peserta tutur saat berinteraksi. Kedua dialek tersebut adalah DTB dan DBB yang status kedialektalannya telah diuji secara geografis dan historis. Kajian variasi sosial yang dimaksudkan di sini adalah mengamati variasi dialek yang muncul saat peserta tutur yang berbeda etnis berinteraksi. Selanjutnya, kajian variasi historis adalah membandingkan variasi dialek yang muncul dari dua kajian sebelumnya dan kemudian membandingkannya dengan bahasa proto.

75
Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek kajian dialektologi yang mengamati variasi bahasa adalah variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis. Ini berbeda dengan objek kajian sosiolinguistik yang mengamati variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Variasi regional adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan tempat atau daerah. Variasi sosial adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Jadi, variasi bahasa adalah keragaman yang terjadi karena adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan peserta tutur sangat beragam. Variasi bahasa ini bersifat internal dan eksternal. Bersifat internal karena adanya perbedaan di dalam bahasa itu sendiri, seperti perbedaan fonologi, sedangkan bersifat eksternal adalah karena adanya perbedaan di luar bahasa, seperti perbedaan geografi, sosial, sejarah, dan sebagainya.

2.3.1.3 Konsep Pemahaman Timbal Balik (Mutual Intelligibility) Istilah mutual intelligibility atau pemahaman timbal balik pertama kali dikemukakan oleh Voegelin dan Haris (1951) untuk menyatakan persetujuan pada pendapat Guiraud (1978: 28 dalam Mahsun 1995: 112). Dijelaskan

76
Universitas Sumatera Utara

bahwa pada dua bahasa atau dialek yang bertetangga akan terjadi proses peminjaman unsur-unsur kosa kata, struktur, dan cara pelafalan. Hal ini mengisyaratkan bahwa telah ada pemahaman timbal balik antara dua bahasa atau dialek yang bertetangga. Lebih lanjut, Mahsun (1995: 113) menjelaskan bahwa pemahaman timbal balik memiliki prinsip bahwa jarak spasial berbanding lurus dengan tingkat pemahaman. Maksudnya, suatu daerah pakai isolek memiliki pemahaman timbal balik sesuai dengan jarak kedekatannya dengan pusat penyebaran. Semakin dekat dengan pusat penyebaran, semakin tinggi tingkat pemahaman timbal baliknya. Sebaliknya, semakin jauh dari pusat penyebaran, semakin rendah pemahaman timbal baliknya. Namun demikian, terdapat mata rantai pemahaman (continuum). Konsep pemahaman timbal balik ini dapat disejajarkan dengan teori gelombang Scmidt (1843-1901). Dikatakan bahwa bahasa-bahasa digunakan secara berantai dalam suatu wilayah tertentu dan dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Perubahan-perubahan ini menyebar ke semua arah, seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam yang disebabkan oleh barang yang dijatuhkan ke dalam kolam itu. Dengan kata lain, perubahan-perubahan linguistik dapat tersebar seperti gelombang pada sebuah wilayah bahasa dan tiap perubahan dapat meliputi suatu wilayah yang tidak tumpang tindih dengan wilayah terdahulu. Daerah yang berdekatan

77
Universitas Sumatera Utara

dengan pusat penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan penyebarannya (lihat Saussure 1988 [terj]: 336 345 dan Keraf 1984: 110). Konsep pemahaman timbal balik antarpenutur secara kualitatif merupakan parameter pembeda pengertian dua istilah, yaitu bahasa dan dialek. Secara kuantitatif pembeda bahasa dan dialek dapat dilakukan dengan perhitungan statistik (yaitu, dialektometri). Jika parameter pemahaman timbal balik diterapkan secara kualitatif, penutur bahasa yang berbeda atau dialek yang berbeda dapat diamati pada tingkat pemahaman timbal baliknya, yaitu ada yang tinggi dan ada yang rendah atau bahkan sangat rendah sehingga tidak tercapai lagi efek komunikasi antarpenutur. Bila kadarnya tinggi, yang dihadapi bukan bahasa melainkan dialek. Sebaliknya, jika tingkatnya rendah atau sangat rendah dan tidak terjadi pemahaman timbal balik, yang dihadapi bukan dialek melainkan bahasa (band. Fernandez 1992). Chambers dan Trudgill (2004: 3-4) membedakan konsep bahasa dengan dialek menggunakan konsep pemahaman timbal balik. Dijelaskan bahwa bahasa adalah sekumpulan dialek yang bersifat saling memahami (mutually intelligible) antara satu dengan lainnya. Konsep ini

mengimplikasikan bahwa penentuan isolek sebagai dialek/subdialek bertumpu pada prinsip: Apabila penutur-penutur dari satu atau lebih sistem isolek yang melakukan kontak dengan menggunakan isoleknya masing-masing terdapat pemahaman timbal balik satu sama lain, isolek-isolek tersebut merupakan

78
Universitas Sumatera Utara

dialek/subdialek dari satu bahasa; sebaliknya, apabila dalam kasus di atas tidak terdapat pemahaman timbal balik, isolek-isolek itu harus dianggap masing-masing sebagai bahasa yang berbeda. Namun, penentuan bahasa, dialek, atau subdialek dengan cara pemahaman timbal balik tidak selalu tegas. Dua isolek yang secara geografis berdekatan letaknya akan dapat memahami satu sama lain tanpa kesulitan, sehingga kita mengatakan mereka berbicara dalam bahasa yang sama, meskipun di antara sistem isoleknya terdapat perbedaan kosa kata, gramatika, ataupun sistem fonologi. Namun, jika penutur dari dua wilayah yang berlawanan yang secara geografis berjauhan melakukan komunikasi dengan menggunakan isoleknya sendiri-sendiri, mungkin saja antarmereka tidak lagi terjadi pemahaman timbal balik karena perbedaan di antara isoleknya begitu tinggi jumlahnya. Secara umum terdapat tingkat-tingkat pemahaman timbal balik antara pemahaman secara spontan dengan ketidakpahaman mutlak. Di sisi lain, pemahaman timbal balik mungkin terjadi pada pokok masalah tertentu, sedangkan pada pokok masalah yang lain tidak terdapat pemahaman timbal balik. Seorang Prancis misalnya, umumnya mengerti dengan mudah apa yang dikatakan orang Quebec, tetapi begitu ia menggunakan bahasa Inggris, ia mungkin mendapat kesulitan untuk berinteraksi dengan montir atau pelayan restoran. Seperti yang dinyatakan Martinet (1987: 150), bahwa pemahaman timbal balik yang pada mulanya tidak ada akan menjadi hilang

79
Universitas Sumatera Utara

dan selanjutnya terjadi pemahaman timbal balik pada saat kewaswasan awal hilang dan beberapa korelasi sistematika mulai dikenali. Misalnya seorang Denmark dan seorang Norwegia akan saling memahami bahwa yang dikatakan [sk] oleh yang satu diucapkan [s] oleh yang lain, seperti pada kata [ski]. Kasus di Indonesia dapat diilustrasikan pada contoh bahasa Simalungun dan bahasa Karo. Dengan perjalanan sejarah yang cukup panjang kedua dialek ini menjadi dua bahasa yang berbeda. Namun, pada beberapa kosa kata masih dapat dipahami oleh kedua penutur yang berbeda itu, misalnya kata [mb rg h] dingin dalam bahasa Karo diucapkan [mborgoh] dingin dalam bahasa Simalungun. Analisis awal membuktikan bahwa ada perbedaan ucapan dalam kedua bahasa tersebut, yaitu [] dalam bahasa Karo berkorespondensi dengan [o] dalam bahasa Simalungun. Begitupun analisis lebih lanjut masih tetap diperlukan lagi (lihat juga Mahsun 1995: 114). Lebih lanjut Mahsun (1995: 114 115) menguraikan bahwa adanya tingkatan dalam pemahaman timbal balik, serta adanya pokok-pokok masalah tertentu tempat terjadinya pemahaman timbal balik itu membuat kesulitan dalam menerapkan metode ini bagi penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek. Belum lagi ditambah oleh kemungkinan seorang linguis memasukkan unsur luar seperti unsur politis dalam penentuan tersebut sehingga meskipun terjadi pemahaman timbal balik, tetapi karena isolek itu digunakan pada negara yang berbeda, dianggap sebagai bahasa yang berbeda.

80
Universitas Sumatera Utara

Sebagai contoh isolek-isolek Norwegia, Swedia, dan Denmark sekarang diangap sebagai bahasa yang berbeda meskipun antarpenuturnya masih terdapat pemahaman timbal balik. Demikian pula antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu Brunei. Meskipun terdapat pemahaman timbal balik, tetap dikatakan sebagai tiga bahasa yang berbeda karena perbedaan politis. Kesukaran penentuan istilah dialek atau bahasa selalu menjadi persoalan. Ada bermacam kriteria yang digunakan untuk menetapkan batas antara bahasa dan dialek. Perbedaan kriteria ini terjadi karena acuannya disesuaikan dengan sudut pandang linguistik yang dipilih. Dari segi ilmu bahasa struktural, bahasa merupakan sistem tanda yang berartikulasi ganda yang berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia (Martinet 1987: 32). Artikulasi ganda maksudnya, pengungkapan makna-makna lewat bentuk yang tidak terbatas jumlahnya dan bentuk tersebut diungkapkan dengan bantuan bunyi bahasa yang terbatas jumlahnya. Sebaliknya, dialek merupakan bahasa yang tersendiri karena mempunyai sistem tersendiri. Karena itu, dalam ilmu bahasa struktural tidak ada tempat untuk istilah dialek. Dari segi ilmu sosiolinguistik, bahasa sudah dibakukan sebagai bahasa budaya. Bahasa tersebut kemudian menjadi titik tolak untuk menilai bahasa lain. Apabila persamaan yang ada cukup tinggi dengan bahasa yang dipakai

81
Universitas Sumatera Utara

sebagai parameter, tetapi belum dibakukan sebagai bahasa budaya, bahasa itu lazim disebut sebagai dialek. Di sini dialek mengandung konotasi negatif karena dalam arti ini dialek selalu merupakan penilaian dari hasil perbandingan dengan salah satu bahasa yang dianggap lebih unggul. Dalam ancangan linguistik diakronis, bahasa dan dialek termasuk rangkaian istilah yang menggambarkan bermacam-macam tingkat persamaan leksikal yang dapat ditemukan di antara pasangan variasi bahasa yang dibandingkan. Peringkat persentase tersebut dapat memberi penjelasan bagaimana hubungan dengan variasi bahasa tertentu pula. Mutual Intelligibility atau pemahaman timbal balik adalah adanya pemahaman antara dua peserta tutur saat berinteraksi. Namun, konsep pemahaman timbal balik antarpenutur dalam kajian dialek haruslah dibatasi pada bahasa/dialek yang berasal dari etimon yang sama atau serumpun. Perbedaan jarak waktu pisah dan letak geografis yang berjauhan akan memungkinkan pemahaman timbal balik antara dua dialek atau lebih akan semakin rendah, tetapi apabila jarak waktu pisah dan letak geografis berdekatan akan mungkin pemahaman timbal baliknya tinggi. Ini harus dibedakan dengan bilingualitas/multilingualitas seseorang terhadap bahasa yang tidak serumpun karena penutur yang bilingualitas/multilingualitas akan selalu muncul pemahaman timbal balik dengan mitratuturnya.

82
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.4 Konsep Ciri Pembeda Ciri pembeda adalah ciri yang menandai suatu fonem segmental. Dalam kajian fonologi generatif ciri pembeda merupakan satuan terkecil. Ciri pembeda ini merupakan unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian (band. Chomsky 1968: 64 dalam Putra 2007: 39). Misalnya, bunyi [i] ditandai dengan seperangkat ciri yang kompleks, yaitu [+silabis, -konsonan, +tinggi, belakang, dan bulat]. Konsep ciri pembeda atau distinctive feature pertama kali

diperkenalkan oleh N. Trubetzkoy dari aliran Praha. Dia menemukan adanya ciri-ciri pada bunyi segmental dalam konteks yang kontras. Kontras yang diamatinya ada yang bersifat bilateral dan ada juga yang bersifat multilateral. Kontras-kontras inilah yang membedakan antara satu bunyi segmental dan bunyi segmental lain. Kontras ini menunjukkan ciri pembeda. Misalnya,

kontras antara bunyi [p] dan [b] (lihat Asmah 1995: 13). Ciri pembeda juga dikemukakan oleh Roman Jakobson dan Moris Halle. Bedanya dengan Trubetzkoy adalah dalam penggolongan utama (Jakobson dan Halle 1971; Jakobson, Cherry dan Halle 1971 dalam Asmah 1995: 15). Jakobson dan Halle membagi ciri pembeda ini atas dua jenis, yaitu ciri prosodi dan ciri inherent. Pada sisi lain Chomsky dan Halle dalam The Sound Paterns of English (1958) memperkenalkan lima jenis ciri, yaitu ciri golongan utama

83
Universitas Sumatera Utara

(major class features), ciri rongga (cavity features), ciri cara artikulasi (manner of articulative features), ciri sumber (source features), dan ciri prosodi (prosodic features). Selanjutnya, mereka membagi ciri golongan utama yang terdiri atas tiga pasangan kontras, yaitu (1) nyaring taknyaring (sonorant nonsonorant), (2) vokalis bukan vokalis, (3) konsonantal bukan konsonantal (lihat Asmah 1995: 18-19). Oposisi binner-nya Jakobson dijelaskan oleh Chomsky dan Halle bahwa ciri-ciri bersifat binner hanya pada tataran penggolongan atau fonemis sistematis, sedangkan pada fonetis sistematis, ciri-ciri itu tidak harus binner (Schanne 1992: 28). Dengan mengadopsi pendapat Chomsky dan Halle, ciri pembeda dapat dipilah menjadi (1) golongan utama: a) silabis [i, e, , o, u], b) sonoran [ i, e, , , a, o, u, m, n, , , a,

, l, r, w, y], c) konsonantal [p,

b, t, d, c&, j&, k, g, s, z, , l, r, m, n, , (kontinuan) [i, e, , tertunda [c&, j&,

]; (2) ciri cara artikulasi: a) malar , ], b) penglepasan ],

, a, o, u, s, z, , l, r, m, n,

], c) kasar (striden) [s, z, h, ], dan d) nasal [m, n, ,

e) lateral [l] ; (3) ciri daerah artikulasi: a) anterior [p, b, s, z, l, r, m, n] dan koronal [t, d, s, z, r, l, c&, j&, n, j&, k, g, , , w, j], b) rendah [a, ]; (4) ciri batang lidah: a) tinggi [i, u, c&, , h], c) belakang [u, o, k, g, , , w],

dan d) ciri bentuk bibir: bulat [u, o, w]; (5) ciri tambahan: a) tegang [vokal i, e, a, o, u dan konsonan], b) bersuara [konsonan bersuara]; (6) ciri prosodi: a)

84
Universitas Sumatera Utara

tekanan [i

,e

,a

,o

,u

] dan b) panjang [i:, a:, o:, u:] (Schane

1992: 28 35 dan band. Putra 2007). Dari konsep di atas disimpulkan bahwa ciri pembeda adalah satuan terkecil dalam kajian generatif. Ciri pembeda ini terdiri atas (1) golongan utama, (2) ciri cara artikulasi, (3) ciri daerah artikulasi, (4) ciri batang lidah, (5) ciri tambahan, dan (6) ciri prosodi.

2.3.1.5 Konsep Korespondensi dan Variasi Unsur-unsur bahasa/dialek yang ditemukan disusun dalam sebuah perangkat perbandingan. Ciri-ciri yang dibandingkan selanjutnya disusun dalam perangkat korespondensi. Korespondensi adalah perubahan bunyi yang muncul secara teratur pada sejumlah data yang diamati, sementara perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Korespondensi berdasarkan sudut pandang dialektologi adalah suatu kaidah perubahan yang berkaitan dengan aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan yang berupa korespondensi itu terjadi karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu dan variasi terjadi bukan karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu. Karena itu, data yang menyangkut peubahan bunyi yang berupa variasi terbatas pada satu atau dua contoh saja. Dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi jika sebaran leksemleksem yang menjadi realisasi kaidah perubahan bunyi itu terjadi pada daerah

85
Universitas Sumatera Utara

pengamatan yang sama dan disebut variasi jika daerah sebaran geografinya tidak sama (Mahsun 1995: 28-29). Korespondensi dalam kajian dialektologi diakronis melibatkan refleksi fonem proto dalam fonem turunannya. Fonem turunan ini pun harus pula ditentukan pada dialek mana dan bagaimana bentuk refleksnya. Misalnya, *u/ ---K-dv# > [i] [I]. Kaidah ini menjelaskan bahwa fonem proto *u yang

berakhir dengan konsonan yang bukan dorsovelar berubah menjadi [i] yang berkorespondensi dengan [I]. Karena korespondensi bersifat teratur dan terkondisi, proses perubahan itu terjadi pada seluruh data vokal [u] yang disyarati oleh lingkungan tersebut. Berbeda dari korespondensi, variasi sifatnya sporadis dan tidak disyarati oleh lingkungan linguistik tertentu. Perubahan bunyi yang tergolong jenis ini adalah (1) asimilasi, (2) disimilasi, (3) metatesis, (4) kontraksi, (5) aferesis, (6) sinkope, (7) apokope, (8) protesis, (9) epentesis, dan (10) paragog (band. Lehman 1975: 159 -168; Bynon 1979: 29 - 30; Crowley 1987: 25 - 47; de Saussure 1988: 25; Hock 1988: 62- 116). Jenis yang tergolong variasi ini juga dibedakan atas perubahan bunyi yang berdasarkan kualitas bunyi dan perubahan berdasarkan tempat.

86
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.6 Konsep Inovasi dan Retensi Pemahaman terhadap konsep korespondensi dan variasi sangat bermanfaat dalam memahami konsep inovasi dan retensi karena penelusuran keinovatifan dan kekonservatifan sebuah dialek ditelusuri melalui perangkat korespondensi. Konsep inovasi dan retensi yang diacu di sini didasarkan pada tulisan Llamzon (1969: 1 7). Diuraikan bahwa inovasi adalah kelangsungan perubahan fitur-fitur tertentu dari sebuah bahasa, sedangkan bila

kelangsungan itu tidak berubah dinamakan retensi. Namun, fitur yang inovatif dapat tidak berubah sampai dengan tahap tertentu dalam perkembangannya dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai retensi dari tahap inovasi. Pada bidang fonologi, inovasi atau pembaharuan berkaitan dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosa kata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa. Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan, misalnya yang menyangkut jumlah dan distribusi seperti merger (paduan) dan split (pisahan/pembelahan), pelesapan, dan substitusi. Perubahan fonem yang teratur pada bahasa-bahasa sekerabat merupakan warisan bahasa yang lebih awal, sementara perubahan yang tidak teratur terjadi lebih kemudian. Inovasi seperti split adalah perubahan sebuah protofonem menjadi dua atau lebih pada bahasa sekarang. Sebaliknya, apabila dua fonem atau lebih dari protobahasa berubah menjadi satu fonem pada bahasa sekarang, inovasi itu dinamakan merger. Pada sisi lain, partial merger

87
Universitas Sumatera Utara

dapat terjadi jika inovasi yang berupa split terjadi secara serentak dengan merger dari dua fonem proto yang berbeda, misalnya *x menjadi x dan y; *y menjadi y. Jenis inovasi fonologis yang lain adalah pelesapan dan substitusi. Pada proses pelesapan, fonem proto menjadi zero atau menghilang pada pada bahasa sekarang dan pada proses substitusi, fonem proto berubah menjadi fonem yang lain pada bahasa sekarang (lihat Fernandez 1996: 22). Dalam inovasi dikenal juga konsep fitur linguistik menyeluruh (Exclusively Shared Linguaistic Feature [ESLF]). ESLF adalah fitur linguistik yang umum terjadi dalam dua bahasa atau lebih. ESLF terjadi akibat dari inovasi tunggal yang terjadi selama dua bahasa atau lebih memiliki fitur bersama dan mengalami perkembangan historis yang umum. Secara umum terdapat dua inovasi yaitu pergantian (replacement) dan bentuk baru (emerging forms). Pergantian adalah perubahan dalam bentuk dan makna asli dari satu kognat bahasa induk (parent language). Artinya, bahwa apabila bentuk rekonstruksi angka tiga dalam Proto Melayu Polinesia misalnya, adalah telu dan dalam bahasa Tagalog adalah tatlu berarti telah ada sebuah inovasi karena bentuk asli telu telah mengalami penambahan elemen ulang. Bentuk baru adalah bentuk dan makna yang ada bukan saja berubah dalam bentuk dan makna asli bahasa kognat suatu proto bahasa, melainkan karena memang tidak ada bentuk aslinya.

88
Universitas Sumatera Utara

Konsep inovasi berbeda dari konsep retensi. Retensi adalah proses pemertahanan bahasa proto pada bahasa sekarang. Bahasa proto tidak mengalami perubahan apapun pada bahasa sekarang. Pewarisan seperti ini disebut juga dengan pewarisan linier. Greenberg (Fernandez 1996: 22) menjelaskan bahwa dalam perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri melalui suatu masa/periode perkembangan yang sama. Ini merupakan kebalikan dari inovasi bahwa inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama. Pengenalan suatu perangkat perubahan yang umum berlaku bagi suatu kelompok bahasa merupakan masalah pokok dalam pengelompokan bahasa. Inovasi diasumsikan terjadi ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan mengalami pemisahan (divergensi) dan ketika terjadi pencabangan suatu kelompok bahasa menjadi sejumlah subkelompok tertentu. Secara teoretis, kebertahanan (retensi) bersama berkaitan dengan seperangkat kata yang diasumsikan sukar berubah. Perangkat kebahasaan yang memiliki daya awet ini merupakan komponen inti yang ada pada bahasa manapun. Inovasi bersama memerlihatkan dinamika bahasa dalam perjalanan waktu. Penjejakan perubahan bersama yang eksklusif sangat penting, bahkan dapat dipandang sebagai evidensi yang lebih kuat dibandingkan dengan ketahanan bersama. Hal ini berkaitan dengan dasar teoretis bahwa adanya

89
Universitas Sumatera Utara

kesamaan ciri perubahan pada subkelompok bahasa tertentu, tidak ada pada subkelompok yang lain, merupakan bukti bahwa bahasa-bahasa itu pernah hidup sebagai bahasa tunggal. Inovasi bersama tidak terjadi setelah kedua bahasa itu berpisah karena perubahan aspek tertentu suatu bahasa terjadi satu kali dalam perjalanan waktu dan pada periode sebelum atau sesudahnya terjadi perubahan yang lain (Bynon 1979: 25-26; Hock 1988:124-134 dalam Mbete 2002:6-7).

2.3.2 Kerangka Teori Penelitian konvergensi dan divergensi ini menerapkan beberapa teori, yaitu teori dialektologi generatif, akomodasi, linguistik historis. Variasi fonologis bahasa Melayu Asahan dengan dua dialeknya dianalisis berdasarkan dialektologi generatif. Prinsip teori generatif yang diterapkan adalah (1) adanya struktur lahir dan struktur batin yang diaplikasikan pada bentuk turunan dari bentuk asal; (2) unit bahasa yang terkecil bukan fonem, melainkan ciri pembeda; (3) perubahan bunyi disebabkan tidak hanya oleh perubahan bunyi bahasa, tetapi terjadi pada perbatasan morfem dan kata; (4) adanya kaidahkaidah berurutan di samping kaidah fonologis tertentu (Schane 1992 dalam Putra 2007). Berdasarkan prinsip teori generatif itu dirumuskan prinsip kerja dialektologi generatif dalam penelitian ini, yaitu (1) mengidentifikasikan bunyi dan fonem dalam empat dialek di Asahan, (2) mengidentifikasikan karakter

90
Universitas Sumatera Utara

segmen dalam ciri pembeda, (3) memilah variasi fonologis yang muncul akibat adanya konvergensi dan divergensi, dan (4) menelusuri bentuk turunan yang merupakan variasi yang muncul dari bentuk asal empat dialek di Asahan berdasarkan kaidah-kaidah fonologis dan kaidah-kaidah fonologis berurutan (band. Putra 2007). Dalam mengkaji faktor-faktor penyebab konvergensi dan divergensi diterapkan teori akomodasi. Teori ini merupakan cabang sosiolinguistik yang menelaah penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan pewicara dalam

mengadaptasi atau mengakomodasi tuturannya dalam merespon mitra tuturnya, misalnya, adalah penutur dialek/bahasa lain (Matthews 1997: 5 dalam Dhanawaty 2004). Dalam kajian dialek teori akomodasi juga melihat adanya pemahaman timbal balik antara dialek-dialek sebagai hasil dari penyesuaian penutur ketika berinteraksi dengan penutur yang berbeda dialek. Dalam teori ini sebuah dorongan untuk mengubah bahasa/dialek muncul karena adanya motivasi psikologis penutur untuk mengakomodasikan tuturannya satu sama lain secara linguistis dalam interaksi sosial. Selain itu, karena mereka ingin menyenangkan orang lain dan karena ingin dipahami. Di sini teori akomodasi mencakup beberapa bagian prinsip kerja sama Grice (1975). Bedanya adalah maksim dalam prinsip kerja sama menyinggung susunan informasi yang berarti dalam berinteraksi, akomodasi mengacu pada cara memproduksi tuturan dan dalam

91
Universitas Sumatera Utara

kenyataannya banyak dalam kerangka kerja akomodasi berpusat pada persoalan fonetik atau pilihan kosa kata (Furbee, Lori A. Stanley, dan David Rogles 1993). Teori akomodasi dalam upaya menyokong kajian

dialektososiolinguistik ini digunakan untuk mendeskripsikan kekaburan dialek dan perubahan yang ditemukan dalam batas-batas dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial (Nordenstam 1979 dan Trudgil 1983, 1986). Selanjutnya, teori ini ditetapkan sebagai dasar untuk memahami proses perubahan dialek melalui kontak (Trudgill 1986) sebagai hasil manipulasi gaya bicara setiap individu (Bell 1984). Pemarkah dialek dimotivasi oleh penutur yang menyesuaikan tuturannya terhadap model yang diterima yang dapat berkorelasi dalam perubahan yang terus menerus. Proses ini dibuktikan oleh Trudgill (1986: 141-160) dan diikuti oleh penelitian LePage (1968, 1975, 1978; LePage, dkk 1974) terhadap pelafalan penyanyi pop Inggris. Ditemukan bahwa penggunaan fitur-fitur linguistik (Labov 1965, 1966, 1969) seperti post-vokalic /r/ mengalami pergeseran. Konvergensi akomodasi yang terjadi di sini adalah sebuah trendi/kecenderungan universal yang diterima saat itu atau barangkali juga berarti suatu perubahan linguistik yang tersebar/difusi (dalam Furbee Louanna, Lori A. Stanley, dan David Rogles 1993). Analisis berdasarkan teori akomodasi dalam penelitian ini membahas permasalahan akomodasi dalam percakapan antarpenutur. Penelitian bahasa

92
Universitas Sumatera Utara

yang pernah menerapkan teori akomodasi di Indonesia adalah (1) Masinambow (1977) dalam penelitiannya tentang konvergensi etnolinguistik di Halmahera Tengah. Aspek yang diteliti adalah urutan konstituen sintaksis dalam bahasa Tabelo, bahasa Sawai, dan bahasa Melayu Halmahera; (2) Dhanawaty (2002) tentang variasi dialektal bahasa Bali di daerah transmigrasi Lampung Tengah. Dia meneliti persebaran variasi fonologis secara geografis dan sosial dan kemudian menelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya variasi. Dalam penelitian ini juga diterapkan teori migrasi bahasa. Migrasi bahasa adalah perpindahan bahasa/perubahan bahasa karena adanya

perpindahan penduduk atau penutur dari daerah asal ke daerah lain. Akibatnya, pada daerah yang didatangi terjadi perbedaan bahasa atau dialek. Teori migrasi bahasa dijadikan landasan untuk mengamati terjadinya daerah-daerah bahasa. Migrasi dapat terjadi karena dua hal, yaitu (1) penutur suatu bahasa bergerak ke luar wilayah asli dan menduduki suatu daerah baru. Migrasi seperti ini disebut migrasi positif dan (2) sejumlah penutur bahasa lain berpindah ke wilayah suatu bahasa sedemikian rupa sehingga memisahkan bahasa tadi menjadi dua daerah atau lebih. Migrasi seperti ini disebut migrasi negatif (Lihat Keraf 1984: 173-174). Keterkaitan ketiga teori ini dalam menganalisis penelitian ini digambarkan sebagai berikut (Gambar 2).

93
Universitas Sumatera Utara

Konvergensi dan Divergensi

Variasi Bahasa

Teori Dialektologi Generatif

Teori Akomodasi

Teori Migrasi Bahasa

Variasi Dialek

Gambar 2 Keterkaitan Teori terhadap Objek Kajian Berdasarkan kerangka konsep, kerangka teori, serta pembatasan lingkup kajian, disimpulkan bahwa kajian konvergensi dan divergensi yang berwujud pada variasi dialek menggunakan kajian dialektologi generatif yang diakronis dan sebagian kajian sosiolinguistik. Kajian sosiolinguistik dibatasi pada kajian dialek sosial berdasarkan variabel sosial, yaitu struktur sosial bukan situasi sosial karena situasi sosial akan menimbulkan kajian register, sedangkan kajian ini bukan kajian register. Kajian dialektologi di sini selain mengamati variasi dialek secara regional dan sosial juga membandingkan variasi dialek yang muncul tersebut dengan bahasa Proto Melayu. Perbedaan variasi tersebut dianalisis secara generatif dengan ciri pembeda. Tujuannya adalah untuk

94
Universitas Sumatera Utara

mendeskripsikan bentuk yang inovatif dan konservatif dalam dialek-dialek yang muncul tersebut (lihat gambar 3).

Konvergensi dan Divergensi

Variasi Bahasa

Dialektologi

Sosiolinguistik

Dialek

Register

Dialek Historis

Dialek Regional

Dialek Sosial

Bahasa Proto

Daerah Variabel Geografis

Variabel Sosial Struktur Sosial

Variabel Sosial Situasi Sosial

Keterangan : Terdiri atas : Menimbulkan : Berobjekkan : Berinteraksi : Lingkup Kajian Konvergensi dan Divergensi

SISTEM SOSIAL

Gambar 3 Bagan Lingkup Kajian Konvergensi dan Divergensi

95
Universitas Sumatera Utara

2.4 Model Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, dan teori yang dipakai disusun rumusan model Penelitian. Model ini mengarahkan pokok masalah dan tujuan yang akan dicapai berdasarkan teori dan metode yang digunakan. Model penelitian ini menjadi dasar bagi peneliti untuk mencapai tujuan yang dirancang. Dengan metode dijaring data kebahasaan dari narasumber selaku pemakai bahasa dalam daerah penelitian yang ditetapkan. Dengan mengaitkan metode dan teori, data kebahasaan dikaji secara dialektologis dengan memanfaatkan teori sosiolinguistik. Pengkajian ini meliputi (1) deskripsi segmental dialekdialek di Asahan, (2) variasi dialek yang muncul akibat konvergensi dan divergensi, (3) Faktor penyebab konvergensi dan divergensi, dan (4) bentuk inovatif dan konservatif dalam dialek-dialek di Asahan (lihat gambar 4).

96
Universitas Sumatera Utara

Metode Daerah Penelitian Masyarakat Bahasa


Narasumber

Teori

Bahasa

Multietnis

Kontak Bahasa

Konvergensi dan Divergensi

Variasi Dialek

Deskripsi Variasi Dialek

Kajian Dialek

Variasi Fonologi

Variasi Morfologi

Variasi Sintaksis

Variasi Bahasa

Variasi Leksikon

Deskripsi Bentuk Konservatif/Inovatif

Faktor Penyebab Konvergensi/Divergensi

Faktor Intralinguistik

Faktor Ekstralinguistik

Gambar 4 Bagan Model Penelitian 97


Universitas Sumatera Utara

You might also like