You are on page 1of 21

BAB I Pendahuluan

Elemen yang paling mendasar di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo diartikan sebagai sesuatu yang berharga. Ada lima marga yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu: Karo-Karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin, beserta sub-sub marga yang ada dalam masing-masing marga itu. Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga itu dari ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru (perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda). Yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak boleh lagi menyebut nama, tetapi nama anaknya disebutkan. Jadi ia akan dipanggil sebagai bapak si anu. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan memanggil seperti itu berarti ia telah dihormati. Banyak lagi panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk menggantikan namanya sesuai dengan posisinya dan juga usianya. Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang diberlakukan. Kekerabatan di Tanah Karo diikat dalam sangkep si telu yang menunjuk kepada tiga pilar yang kuat dan saling mendukung. Walau ketiga-tiganya terpisah dan memiliki fungsi berbeda, tetapi saling mendukung. Dalam masyarakat Karo ketiga pilar itu digelari kalimbubu (orangtua dari pihak istri dan semua saudara laki-laki dari pihak istri yang terdapat dalam keluarganya dan juga keluarga dari pihak ayahnya yang masih satu ibu), kemudian senina/sembuyak (semua orang yang dalam istilah Karo dipandang sebagai saudara laki-laki atau perempuan) dan anak beru (keluarga-keluarga yang temasuk dalam keluarga yang menikahi istri). Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa. Di dalam keluarga, baik suami maupun istri pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga satu dan yang lain, dan saling menghargai. Sikap seperti ini tumbuh dalam sistem ikatan penghormatan terhadap sangkep si telu yang sudah disebutkan tadi.

Rumah merupakan satu simbol yang penting bagi orang Karo. Rumah orang Karo yang dibangun memiliki ciri khas tersendiri. Rumah orang Karo yang masih tradisional dapat langsung diketahui dengan cepat, karena ciri yang ditunjukannya melalui bentuk bangunan yang unik, yakni atap yang terbuat dari ijuk dan selalu memiliki dua atau empat buah bentuk segi tiga (melambangkan sangkep si telu) yang masing-masing ujungnya diikatkan kepala kerabu. Orang Karo telah memiliki kepercayaan atau sekarang disebut sebagai agama, yaitu Kiniteken Si Pemena (kepercayaan mula-mula). Kepercayaan orang Karo adalah perbegu yang berarti penyembah roh-roh orang mati. Kepercayaan ini tidak memiliki kitab suci, tidak ada teologi yang sistematik dan tidak ada dogma. Di dalam kepercayaan ini hal-hal yang menyangkut dengan ritual di dalamnya ditangani oleh seorang guru sibaso3. Guru menjadi pengantara antara orang-orang Karo dengan yang dipercayainya. Elemen yang paling kudus di dalam dunia orang Karo adalah begu (roh orang mati) dan secara khusus adalah roh nenek moyang. Dalam kepercayaan orang Karo terhadap begu ini, roh dan jiwa itu terpisah. Jiwa itu merupakan dasar dari kehidupan seseorang dan kekuatannya, dan ini diterima sebelum lahir, pada waktu pertama kali ia dikandung. Jiwa dapat hidup dalam organisme dan di dalam benda-benda seperti besi. Beras dipandang sebagai sesuatu yang memiliki jiwa yang kuat dan digunakan dalam memberkati ritusritus untuk menguatkan jiwa seseorang. Dalam diri seseorang terdapat tiga bentuk, pertama tubuh atau (kula), jiwa (tendi) dan nafas (kesah) dan setelah kematian ketiga bagian ini berubah menjadi bagian yang berbeda-beda. Tubuh menjadi tanah, jiwa menjadi begu dan nafas menjadi angin. Dalam kepercayaan Karo, begu itu bukanlah sebagai sesuatu yang menakutkan saja, tetapi sesuatu yang bisa memberikan pertolongan dan memberikan perhatian. Biasanya begu-begu ini disebut sebagai jin ujung walaupun istilah ini dalam pengertian lain adalah roh seseorang yang meninggal secara tidak wajar. Orang Karo juga memiliki ritual pemanggilan terhadap roh-roh yang sudah mati dalam rangka mengingat kembali orang yang sudah mati tersebut. Yang lebih penting lagi ialah bagaimana begu itu menjadi begu dalam keluarga yang dinamai dengan dibata jabu (tuhan keluarga). Ini adalah roh yang mati dalam satu hari oleh karena kecelakaan, kekerasan, atau mati bukan karena sakit. Roh seperti ini dalam pandangan orang Karo memiliki kekuatan yang hebat. Setelah melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah yang akan melindungi keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Namun apabila ritus pemanggilan itu tidak dilakukan, maka roh itu akan gentayangan dan dapat mengganggu orang-orang. Inilah yang sering membuat orang merasa takut. Dalam kepercayaan orang Karo, memperoleh keselamatan dirasakan ketika begu jabu (roh pelindung keluarga) melindungi keluarganya. Keselamatan bagaimanapun dipahami sebagai kekuatan yang menghindarkan keluarga dari penyebab-penyebab sakit dan permasalahanpermasalahan lain, sama sekali tidak sama dengan eskatologis keselamatan (kekristenan). Kepercayaan orang Karo itu adalah animisme dan dinamisme. Orang Karo merefleksikan trimurti agama Hindu; Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai penghancur. Di dalam pemahaman orang Karo ketiga ini disebut sebagai dibata i datas (tuhan di atas), dibata i tengah (tuhan di tengah), dibata i teruh

(tuhan di bawah). Ketiga dibata ini bagaimanapun termasuk di dalam sejarah penciptaan orang Batak yang sama dengan Karo. Ketiga dibata inipun sering juga disebut sebagai dibata kaci-kaci, hal ini sering kali disebutkan dalam mantra-mantra orang Karo. Orang Karo juga memiliki banyak legenda, sejarah, mitos, kemudian memiliki musik Karo, tarian yang seluruhnya ada di dalam spirit kepercayaan orang Karo tadi. Kata dosa bagi orang Karo (tetapi tidak secara sempurna dipahami) dapat dirasakan dengan kenyataankenyataan yang menunjukkan ketidakberuntungan. Sebagai contoh, sakit. Di dalam keluarga, ini dipadankan dengan kata dosa, tetapi sebenarnya bukan dosa melainkan penghakiman. Bagi masyarakat Karo modern, tanpa dipengaruhi oleh agama-agama, dosa dapat disebut sebagai sesuatu yang salah, yang secara sosial dipandang melanggar peraturan atau melakukan suatu yang dilarang. Hanya di dalam Kekristenan orang Karo kemudian memperoleh ide tentang dosa sebagai sebuah penyebab manusia berpisah dengan Allah. Jadi orientasi etika dunia Karo sebenarnya adalah kesalahan tindakan dan konsekuensinya. Di dalam kepercayaan Karo ini kita sudah dapat melihat bagaimana konsep tentang Allah itu ternyata sudah ada sebelum konsep allah yang diadopsi dari kepercayaan Hindu tentang tiga allah. Dua konsep yang sangat berpengaruh adalah tentang allah nenek moyang Batak, percaya kepada Si Mula Jadi Na Bolon dan kemudian konsep trimurti orang India yang telah bercampur sepertinya menawarkan sesuatu yang mendalam (baru), tetapi unsur-unsur yang berbeda ini sulit dibedakan oleh mereka yang telah menjadikan agama ini sebagai agama mereka sendiri. Dalam waktu yang sama, inilah yang membentuk agama terpenting orang Karo (perbegu), dan mereka melupakan asal-usulnya, inilah alasan mengapa kepercayaan kepada Allah adalah sesuatu yang abstrak dan sangat sempit dipahami orang Karo tradisional. Sebagai pemuja terhadap jiwa dan roh, dan ilmu pengetahuan dari guru, bagi orang Karo, semuanya itu jauh lebih menjanjikan bantuan pada waktu ada kebutuhan (persoalan-persoalan, atau masalah-masalah lainnya). Sampai saat ini pun masih banyak orang Karo yang walupun gaya hidupnya sudah modern, tetapi masih mengikuti ritual-ritual untuk mencari tahu solusi setiap persolan yang dihadapinya (entah itu jodoh, pekerjaan, dan sebagainya). Fenomena ritual ini dapat kita saksikan pada setiap wari cukera dudu (salah satu hari dalam kalender Karo) di kaki gunung Sibayak, tepatnya di lokasi pemandian air panas Lau debuk-debuk. Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompokkelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang 2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini

dapat dikelompokkan lagi menjadi: o Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan

3. 4.

5.

6. 7.

adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu benabena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung. o Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya. o Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat). Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas: o anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama. 8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
o

BAB II Permasalahan
1. Bagaimanakah Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Waris di dalam masyarakat

adat Batak Karo?


2. Bagaimanakah Perkembangan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Adat Batak Karo di

Kabupaten Karo? 3. Bagaimanakah system Pembagian Harta Warisan Adat pada Masyarakat Batak Karo yang beragama Muslim di daerah Tanah Karo? 4. Bagaimanakah status Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Staatsblad 1917 No. 129 dalam Hak Waris Adat dalam masyarakat Batak Karo?

BAB III Pembahasan 1. Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Waris di dalam masyarakat adat Batak Karo
Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing. Masyarakat Batak Karo yang berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Karo, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Di daerah Batak Karo tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal adat istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat istiadat. Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan. Porsi anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian harta warisan orang tuanya:
Dalam pembagian warisan dahulu biasanya anak laki-laki mendapatkan

bagian dua kali lipat bagian dari anak perempuan, akan tetapi sekarang sering anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam pembagian warisan. Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling besar atau dalam bahasa karo nya disebut Anak Sintua. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Karo, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak anak nya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya. Dalam adat Batak Karo yang masih terkesan Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Sulung atau disebut Anak Sintua. Yaitu berupa Tanah Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampung halaman nya, karena anak Sintua tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Kepala Kampung atau Ketua Adat, maka itu Turun kepada Anak Sulungnya (Anak Sintua). Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat Batak Karo. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Karo saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Karo yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak karo anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dikehidupan nya nanti.

Penggantian ahliwaris yang meninggal:


Disini apabila pad apembagian warisan ada anak yang telah meninggal lebih

dahulu, bagian dari pada anak ini diserahkan kepada bketurunannya.

Pembagian warisan terhadap janda beserta anak-anaknya:

Dahulu apabila ada orang yang meninggal dengan meninggalkan janda dan

anak-anak, harta warisannya dibiarkan tidak dibagi selama janda itu masih hidup. Sekarang ada juga terjadi harta warisan dibagi-bagi oleh anak-anak selagi ibunya masih hidup, tetapi dalam pada itu anak-anak menjamin kehidupan ibunya.

Pewaris atas harta isteri yang meninggal:


Dalam hal ini seorang istri meninggal lazimnya harta warisannya lain dikuasai

oleh suaminya dan tidak diadakan pembagian-pembagian.

Pewarisan atas harta suami yang meninggal:


Dalam hal ini seorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda dengan

tidak mempunyai anak-anak, harta warisannya tetap dikuasai oleh jandanya dan warisan tersebut baru dibagi-bagi setelah janda ini meninggal.

Pewarisan harta suami oleh dua orang janda:


Dalam hal seorang meninggal dengan meninggalkan dua orang janda,

lazimnya tidak diadakan pembagian warisan selama janda-janda itu masih hidup dan masing-masing janda menguasai barang-barang yang selama itu di kuasainya.

Pewarisan khusus (tanah) kepada anak laki-laki:


Dalam hal perwarisan tanah, disini tidak menjadi soal apakah ahli warisnya

laki-laki atau perempuan.

Pewarisan barang-barang tertentu kepada para ahli waris:


Disini dalam pembagian harta warisan tidak dikenal kebiasaan membagikan

barang-barang tertentu hanya kepada anak-anak laki-lKi, barang-barang tertentu lainnya kepada anak perempuan, barang-barang tertentu lainnya lagi hanya kepada anak laki-laki tertua.

2.

Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo di Kabupaten Karo

Perselisihan dan keributan di antara saudara dapat terjadi akibat pembahagian harta warisan yang tidak adil. Ketidak-adilan akan membawa para pihak bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara kesepakatan atau dengan cara menempu jalur hukum. Perselisihan dan keributan dalam pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo telah membuat suatu putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 dan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris. Putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 ,Pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan menurut Hukum Adat Batak. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 136 K/Sip/1967 Terbit 1969 Hal. 449-453 dan putusan Mahkamah Agung No.100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris bertentangan dengan hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan orang tuanya. Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak, sementara hukum waris adat Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan dan janda. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.` Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah ada perkembangan hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak sebanyak bahagian anak laki-laki. Kedudukan janda belum diterima sebagai ahli waris harta suaminya karena masyarakat masih berpegang teguh pada hukum waris adat Batak Karo yang menolak janda sebagai ahli waris.

Sikap masyarakat Batak Karo terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan mengenai Hukum Waris.
Perubahan dalam Hukum Waris Adat Batak Karo ditandai dengan keluarnya Yurisprudensi MA-RI tanggal 23 Oktober 1961 No. I79/K/SIP/ I961 yang mengatakan persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan yurisprudensi ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Batak Karo, terlebih-lebih dari kaum laki-laki yang merasa

haknya di kebiri. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian bagaimana proses pembagian harta warisan pada masyarakat Batak Karo serta bagaimana pula sikap masyarakat Batak Karo serta bagaimana pula sikap masyarakat Batak Karo terhadap yurisprudensi MA-RI tanggal 23 Oktober 1961 No: 179/K/SIP/1961 tersebut, sikap dan pandangan MA-RI terhadap persamaan hak waris anak laki-Iaki dan anak perempuan. Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Alasan pemilihan lokasi ini adalah mengingat karena Desa Lingga dikenal sebagai salah satu desa budaya di Tanah Karo. Penelitian tersebut bersifat Diskriptif Analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis (Empiris Analitis Data) dilakukan dengan cara kualitatif). Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif Deduktif Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat Batak Karo di Desa Lingga tidak dapat menerima mengenai persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum waris. Karena pada azasnya dalam susunan masyarakat Barak Karo yang mempertahankan garis keturunan laki-laki (Patrilineal) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki sedangkan awal perempuan bukan ahli waris. Menurut Hukum Adat Batak Karo anak perempuan hanya dapat memperoleh. harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang (Keleng ale) untuk kepentingan sendiri dan rumah tangganya. Sebaiknya pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Karo dilaksanakan sebelum orang tua meninggal dunia untuk mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari. Pada umumnya pembagian harta warisan pada masyarakat Batak Karo dilaksanakan setelah orang tuanya meninggal dunia. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan sebaiknya, pembagian harta warisan dilaksanakan sebelum pewarislorang tua meninggal dunia dengan dihadiri oleh sangkep sitelu dan kepala desa yang mewakili pemerintah. Hasil penelitian sangat berguna dalam rangka penegakan hukum dalam pembagian warisan pada masyarakat Karo.

Hukum Waris Pada Masyarakat Karo Muslim Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo
Masih adanya pluralisme hukum di Indonesia khususnya dalam hukum waris, sehingga bagi golongan penduduk Indonesia Asli yang beragama Islam, dalam hal kewarisan dapat berlaku hukum adatnya atau hukum Islam. Hal tersebut tentu berlaku juga terhadap masyarakat Karo Muslim, yaitu dalam masalah kewarisan bagi masyarakat Karo Muslim tersebut berlaku hukum waris adat Karo atau hukum waris Islam yakni Kompilasi Hokum Islam (KHI). Hukum Waris yang berlaku pada masyarakat Karo Muslim tidak bersifat statis, tetapi dinamis, maka dapat terjadi pergeseran atau perubahan pada hukum waris tersebut. Untuk itu ingin diketahui bagaimana hukum waris yang hidup ditengah-tengah masyarakat Karo Muslim.

Contohnya mengambil Iokasi di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo, dengan memilih Kelurahan Tigabinanga dan Desa Simpang Pergendangan sebagai kelurahan/desa sampel. Popu1asi penelitian seluruh masyarakat karo muslim yang pernah menerima warisan di lokasi penelitian. Sampel diambil 30 orang responden secara purposive sampling, karena populasinya homogen. Penelitian ini bersifat deskritif analitis. Penulis menggambarkan gejala dan fakta yang terungkap dari wawancara dengan responden dan nara sumber dengan pendekatan yuridis sosiologis, sehingga dapat diketahui hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat Karo Muslim di lokasi penelitian. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah ahli waris dan berhak memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Hukum waris yang hidup di tengah-tengah masyarakat Karo Muslim di lokasi penelitian adalah hukum waris adat Karo yang dalam pembagian harta warisan kepada keturunan pewaris ada kecendrungan kepada hukum kewarisan Islam. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Karo muslim tetap menggunakan hukum waris adat Karo dalam menyelesaikan sengketa dan pembagian harta waris. "Mereka memilih Runggun sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Keberadaan Sangkep Sitelu seperti Kalimbubu, Anak Beru dan senina masih sangat efektif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Pengadilan agama menjadi pilihan berikutnya jika runggun dipandang gagal menyelesaikannya. "Kendati masyarakat Karo muslim masih menggunakan hukum waris adat, namun bukanlah hukum waris adat yang statis, konsisten dan koheren. Hukum waris adat yang mereka praktikkan saat ini adalah hukum waris yang dinamis dan bergerak. Lebih lanjut dijelaskan, hukum waris adat Karo bergerak sesungguhnya lebih disebabkan dinamika yang muncul dari dalam masyarakat Karo itu sendiri, seperti kesadaran akan hak-hak perempuan dan tentu saja pengaruh dari ajaran Islam itu sendiri. Dijelaskan juga mengenai persoalan ahli waris berbeda agama, masyarakat Karo muslim tetap menggunakan hukum adat kendati ajaran fikih melarangnya. Bagi masyarakat Karo muslim, perbedaan agama tidak menyebabkan seseorang terhalang untuk memperoleh harta waris. Ditandaskan juga, memasukkan hukum Islam kepada masyarakat Karo masih sangat sulit. Meski begitu, diharapkan kalangan ilmiah dapat ikut mendorong agar hukum adat Karo tersebut bisa terus bergerak dan akan semakin mendekat pada roh dan semangat hukum Islam.

Pemisahan dan Pembahagian Harta Warisan secara Damai di hadapan notaris terhadap masyarakat suku Batak Karo non muslim di kota Medan
Pemisahan dan pembahagian harta warisan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh para ahli waris dengan tujuan untuk mengakhiri kepemilikan bersama. Pemisahan dan pembahagian harta warisan yang dibuat dihadapan notaris dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada hukum Perdata Barat. Sedangkan untuk orang-orang pribumi, dalam melakukan

pemisahan dan pembahagian harts warisan dilakukan berdasarkan hukum adat. Tetapi untuk orang pribumi yang beragama Islam, pemisahan dan pembahagian harta warisan dapat dilakukan berdasarkan pada hukum Islam. Pemisahan dan pembahagian harta warisan dapat dibuat dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Dalam bentuk tertulis dapat dibuat dibawah tangan atau dengan akte notaris. Pemisahan dan pembahagian harta warisan yang dibuat dengan akte notaris dilakukan oleh plhak-plhsk yang dapat bertindak dalam hukurn. Dalam hal adanya ahli waris yang tidak dapat bertindak dalam hukum, maka keberadaannya dapat diwakili oleh pihak lain. Pemisahan dan pembahagian harta warisan yang dibuat dengan akte notaries dilakukan dengan melalui beberapa proses yaitu Pendaftaran boedel, penerimaan seeara beneficiair (dalam hal adanya para ahli waris yang tidak bebas menyatakan kehendaknya), memeriksalcek wasiat, membuat Berita Acara Penyumpahan Ahli Penaksir, menbuat berita acara penaksiran, membuat iklan di Berita Negara Republik Indonesia. Pemisahan dan pembahagian.harta warisan yang dilakukan di hadapan notaris, membawa akibat hukum bagi para ahli waris yaitu bahwa masing-masing ahli waris mempunyai hak milik atas harta warisan yang telah dipisahbagikan sebesar bagiannya masing-masing, dan para ahli waris tidak dapat menuntut satu sama lain setelah dilaksanakannya pemisahan dan pembahagian tersebut. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian Hukum Sosiologis dengan mempergunakan metode pendekatan hukum normatif. Penelitian ini berlokasi di kota Medan, dan populasinya adalah notaris, sedangkan respondennya adalah individulwarga masyarakat Suku Batak non muslim, notaris dan tokoh masyarakat . Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah berupa studi dokumen atau bahan pustaka, wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara dan daftar pertanyaan. Prosedur pengambilan data dilakukan dengan penelitian perpustakaan dan survei. Data yang diperoleh dianalisis dengan berdasarkan metode kualitatif. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa yang menyebabkan masyarakat suku Batak non muslim mengadakan pemisahan dan pembahagian harta warisan dihadapan notaris adalah adanya perselisihan di antara para ahli waris karena ketidakadilan yang dirasakan oleh para ahli waris, untuk memperoleh suatu kepastian hukum dan karena perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Dalam menentukan porsi masing-masing ahli waris, notaris berpedoman pada hukum adat, sedangkan proses pemisahan dan pembahagian harta warisan bagi masyarakat suku Batak non muslim dilakukan dengan berpedoman pada hukum Perdata Barat, yang membawa akibat hukum bahwa ahli waris tersebut menjadi pemilik yang sah atas harta yang diipisahbagikan tersebut dan ahli waris berhak melakukan segala bentuk perbuatan hukum atas benda tersebut.

3. Status Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Staatsblad 1917 No. 129 dalam Hak Waris Adat dalam masyarakat Batak Karo

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan. Eksistensi pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum yang masih belum sinkron, sehingga masalah pengangkatan anak masih merupakan problema bagi masyarakat, terutama ketentuan hukum kewarisannya. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi dalam sumber hukum yang berlaku di Indonesia, baik menurut Staatsblad 1917 No.129 maupun hukum Islam yang masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang prosedur pengangkatan anak, akibat hukum pengangkatan anak, dan kewarisan anak angkat menurut KHI dan Staatsblad 1917 No.129. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif terhadap kewarisan anak angkat menurut KHI dan Staatsblad 1917 No. 129 yang diteliti dari bahan kepustakaan dan dokumen berkas kasus pada Pengadilan Agama Medan. Berdasarkan hasil penelitian, prosedur pengangkatan anak baik mengacu pada KHI maupun mengacu pada Staatsblad 1917 No.129 harus melalui penetapan Pengadilan, yaitu untuk agama Islam mengacu pada KHI ditetapkan pada Pengadilan Agama (PA), sedangkan mengacu pada Staatsblad melalui penetapan Pengadilan Negeri (PN). Penetapan PA tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga tidak perlu dicatatkan atau dirubah akta kelahiran anak angkat itu, sedangkan penetapan PN memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga harus dicatatkan pada catatan sipil atau perubahan akta kelahiran anak angkat menjadi anak dari orang tua angkatnya. Akibat hukum pengangkatan anak menurut KHI dan Staatsblad 1917 No.129 adalah: a) Nasab, menurut Staatsblad anak angkat terputus dengan nasab orang tua kandungnya, sedangkan menurut KHI tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, b) Panggilan, menurut Staatsblaad anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua kandungnya, c) Perwalian, menurut Staatsblad, orang tua angkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat perempuan, sedangkan menurut KHI orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan, e) Mahram Kawin, menurut Staatsblad anak angkat tidak sah dinikahi oleh orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya. Dalam hal kewarisan, menurut KHI anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat (2)), sedangkan dalam Staatsblad 1917 No.129 anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan. Disarankan kepada Pemerintah segera mewujudkan UU Pengangkatan Anak yang sejalan dengan kepentingan masyarakat Indonesia dalam hal kewarisan anak angkat. Kemudian disarankan kepada Pengadilan Agama Medan untuk melakukan

koordinasi dengan instansi terkait dan segenap jajarannya untuk mensosialisasikan lagi keberadaan KHI kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga masyarakat meningkat kesadaran hukumnya dan juga KHI benar-benar dapat diwujudkan sebagai hukum positif pada Pengadilan Agama. Hak anak angkat atas orang tua angkat dan orang tua kandung yaitu disini orang yang sudah diangkat anak orang lain menjadi ahli waris dari pada orang tua angkatnya, tidak ada bedanya dengan anak kandung. Dalam hal ini seorang anak angkat orang tua kandungnya meninggal, ia tidak lagi mendapat bagian dari harta warisan orang tua kandungnya.

Pengangkatan Anak dan akibat Hukumnya terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat
Masyarakat adat Batak Karo menganut sistim kekerabatan patrilineal di mana anak laki-laki adalah sebagai penerus keturunan dan marga dari clannya, oleh karena itu bagi mereka yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat mengain (semacam mengangkat anak ) anak laki-laki yang disebut anak sintubuh dari antara saudaranya atau keluarga dekat lainnya dan harus disahkan dengan upacara adat yang telah ditentukan untuk itu yang dihadiri oleh keluarga dekat kalimbubu ", serta pengetua-pengetua dari kampung sekelilingnya. Sebagai konsekwensinya maka. anak sintubuh mewaris dari orang tua yang mengangkatnya. Kenyataan, bahwa di antara warga masyarakat adat Batak Karo yang berdomisili di Kota Medan ada yang melakukan pengangkatan anak akan tetapi tidak lagi mempedomani sepenuhnya pada konsep pengangkatan anak dimaksud.

KESIMPULAN Suatu hal yang sering dibahas dalam suatu system patrilineal yang sangat ketat seperti halnya dengan system kekerabatan orang Batak, baik dia Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun adalah posisi wanita. Dimana wanita merupakan bagian dari kelompok ayahnya, sebelum anak perempuan tersebut kawin. Pada waktu kawin, kerabat suami membayarnya Tukur atau Batangunjuken, mas kawin yang diberikan kepada orang tua wanita, dan wanita tersebut akan meninggalkan lingkungan ayah dan akan dimasukkan kedalam satuan kerabatan suaminya. Namun, di dalam lingkungan suaminya dia selalu di beri penamaan bere dari marga ayahnya. Misalnya dia memiliki marga Ginting, maka dia akan di katakana dengan Bere Ginting. Yang terdapat makna bahwa berkat-berkat yang diterima oleh suatu keluarga, oleh penciptanya disalurkan melalui restu dari kerabat pria dari seorang wanita yang telah menjadi istri/ibu dalam keluarga yang bersangkutan. Hal lain yang menjadi kelemahan dalam Hak Waris dalam masyarakat adat yang mengandung system patrilineal (garis keturunan ayah) adalah bahwa anak wanita tidak berhak menjadi ahli waris, dan apabila seorang pria tidak mempunyai anak laki-laki, maka harta peninggalannya akan jatuh kepada saudara pria yang dekat. Tapi syukurlah telah mengalami banyak perubahan akhir-akhir ini setelah jaman semakin berkembang mengenai hak-hak wanita itu, karena kalau para wanita yang diperlakukan menurut hukum adat tradisional itu mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri, maka hakim akan member keputusan yang menguntungkannya. Dimana Kedudukan perempuan dalam hukum adat Batak berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional, terutama soal warisan. Anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi dapat menerima bagian harta warisan dari orang tuanya sebagai pemberian yang ditujukan kepadanya.

Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban. Mahkamah Agung (MA), sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu telah mengeluarkan keputusan-keputusan dimana ditegaskan bahwa dalam system patrilineal, mestinya wanita juga diberi hak waris yang sama dengan pria, janda dalam perkawinan patrilineal juga diputuskan berhak atas sebagian dari harta bersama yang telah terkumpul selama perkawinan berlangsung.

Perkembangan Hak Waris Adat Pada Masyarakat Batak Karo dan Hukum Adat Batak Karo
D I S U

S U N Oleh :

1. Suci Kharisma Saaba 090200487 2. Greta Valentia 090200195


3.

Septiana Tindaon 090200113 Natalia Gracia 090200331

4.

5. Rudi Faular S 090200317 6. 090200195

Daftar Pustaka

M.Hatta AliSH,SH,MH. Drs.Akoso,SH,MH. Manahan Sihombing,SH,MH. Cornelia A.S,SH. 2006. Kumpulan Hasil Penelitian Hukum Adat Pengadilan Tinggi Medan. Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung R.I. J.C.Vergouwen. 1986. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet. Soejono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat Indonesia.

Perkembangan Hak Waris Adat Pada Masyarakat Batak Karo dan Hukum Adat Batak Karo
D I S U S U N Oleh :

1. Septiana Tindaon 090200113

2. Aubertus Siahaan 090200129 3. Gabriel Hotasi Evanocto 090200143 4. Greta Valentia 090200195 5. Rudi Faular S 090200317 6. Natalia Gracia 090200331 7. Suci Kharisma Saaba 090200487

FAKULTAS HUKUM USU

You might also like