You are on page 1of 11

MASALAH OUTSOURCING DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:

Noorilham (2009020194)

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG (UNPAM) 2010/2011


JL. SURYA KENCANA NO.1 PAMULANG-TANGERANG TELP.(021)7412566FAX.(021)7412566

KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Sang pemberi karunia ilmu yang tidak satu ilmupun yang kita miliki melainkan yang telah Ia berikan kepada kita, Ialah Allohu Samiun 'alim. Sholawat serta salam semoga tercurah dan terlimpah kepada sang pemimpin ilmu, pembawa cahaya ilmu, pengangkat derajat para penuntut ilmu ialah Nabi Besar Muhammad SAW juga beserta keluarga, sahabatnya, dan moga kita juga mendapatkan cucuran rahmat dari ilmu beliau. Amien. Dalam makalah ini kami menyajikan berbagai permasalahan dalam ruang lingkup pembahasan masalah outsourcing yang ada di Indonesia. Dan kami sangat berharap makalah yang kami buat ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ilmu itu sendiri. Kami mengucapkan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam pengeditan atau salah dalam penggunaan bahasa, semua tidak lepas dari kodrat kami sebagai manusia yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik. Demi kesempurnaan makalah yang kami buat, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian.

Ciputat, 21 Juli 2011

Penulis

BAB I PENDAHULUAN
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan maka akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Dewasa ini pada iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (production cost). Salah satu usahanya adalah dengan melakukan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Latar Belakang Garis besar tujuan perusahaan melakukan outsourcing adalah agar perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Tujuan ini baik adanya, namun pada pelaksanaannya, pengalihan ini menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan. Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi, tidak terkecuali di Indonesia. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Banyak perusahaan melakukan outsourcing bukan atas dasar kebutuhan dan sesuai dengan aturan hukum yang ada, melainkan hanya karena tidak mau repot dengan urusan-urusan ketenagakerjaan. Perusahaan melakukan oursourcing karena tidak mau direpotkan apabila nanti terjadi PHK, dan agar tidak perlu memberi pesangon kepada karyawan yang di-PHK. Penghindaran kewajiban oleh perusahaan dalam pembayaran upah yang layak dan memenuhi kesejahteraaan karyawannya

dapat dikatakan juga sebagai salah satu bentuk pelanggaran etika. Dalam melakukan kegiatan bisnis, prinsip-prinsip bisnis yang beretika sudah sepatutnya dijalankan, termasuk pula dalam melakukan outsourcing. Di Indonesia sendiri terdapat peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan untuk mengatur segala sesuatu tentang penggunaan outsourcing di wilayah Indonesia, namun jika dilihat lebih jauh lagi, peraturan ini dirasa kurang dapat mengakomodasi dan mengatasi permasalahan outsourcing di Indonesia. Tentu saja ini akan sangat terkait pula dengan etika.

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Outsourcing Outsourcing terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Mengapa kita harus mengalihkan pekerjaan yang sifatnya non-core? Karena perusahaan lain dapat mengerjakannya dengan lebih murah, lebih cepat, lebih baik dan yang lebih utama lagi adalah... karena kita punya pekerjaan lain yang sifatnya core yang lebih penting. B. Dasar Hukum Outsourcing Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan: Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis: 1. Pemborongan pekerjaan Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dialihkan beserta halhal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb. 2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh 5

Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor. Untuk pembahasan selanjutnya, istilah outsourcing akan disesuaikan dengan jenis kedua, yaitu outsourcing dalam bentuk penyediaan jasa pekerja/buruh.

C. Pelaksanaan Outsourcing dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini.Lingkungan yang sangat kompetitip ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.Untuk itu dperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecendrungan uotsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan. Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lainlain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak yang ada satupun peraturan perundang-undangan terhadap dibidang dalam ketengakerjaan mengatur perlindungan pekerja/buruh

melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barang kali Permen Tenaga Kerja No. 2

Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu tertentu atau (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan. D. Pelaksanaan outsourcing Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja,sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 secara eksplisip tidak ada istilah outsourcing tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam UU ingin dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Praktek outsourcing dalam UU Ketengakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut: Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis; Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:

apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama ; bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidakkan menghambat proses produksi secara langsung ;dan

dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Semua persyaran diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.

Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung pekerja/buruh jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak menjadi sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh

terlantar. Oleh karena itu ber ?badan hukum? menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan; Perlidungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (perjanjian kerja waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu )/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu dalam bentuk PKWT / Kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT.

Perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing,harus dibedakan dengan ?Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier ) Sebagaimana diatur dalam pasal 35,36,37 dan 38 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dimana apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja Swasta tersebut. Dalam pelaksanaan penyediaan jaa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan lansung dengan proses produksi.. Kegiatan dimaksud antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (clening service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi. E. Perlindungan hukum Pengaturan pelaksanan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan seperti apa yang di sebutkan di atas adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat ( 6 ) dan ( 7 ) dan pasal 66 ayat ( 2 ) dan ( 4 ) UU Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefenisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikatagorikan penunjang.Hal tsb dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilatarbelakangi loeh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu bentuk-bentuk pengolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional

dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya,menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut. Oleh karena itu melalui keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan No. 13 Thn.2003 diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa. Selain dari upaya tersebut,untuk mengurangi timbulnya kerancuan,dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat di tentukan pekerjaan pokok/utama (core business ) ; di luar itu berarti pekerjaan penunjang . Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja/buruh dan SP/SB serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam PP/PKB.

10

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri. Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh,diperlukan pengawas ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat disamping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak.

11

You might also like