You are on page 1of 11

Negara Hukum & Konstitusionalisme A.

Negara Hukum

Jan 10, '07 4:38 AM untuk semuanya

Unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) ditandai prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), pemisahan atau pembagian kekuasaan, peradilan administrasi, pemerintahan yang menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya[1]. DR. Adnan Buyung Nasution memaparkan ada sembilan langkah yang harus ditempuh untuk menuju Pemerintahan Konstitusional: (i) memperluas partisipasi politik; (ii) memberi kekuasaan legislatif kepada wakil-wakil rakyat; (iii) menolak pemerintahan otoriter; (iv) Tekad untuk memelihara kemerdekaan keluar; (v) tekad untuk menjamin kebebasan kedalam; (vi) Tekad untuk menjamin asas-asas universal pemerintahan yang baik; (vii) Membentuk sistem multipartai; (viii) Menetapkan pertanggungjawaban pemerintah kepada wakil rakyat; (viii) pengakuan terhadap asas pemilihan bebas[2]. Pandangan Mr. IC. Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian wetmatigheid yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan 'rechmatigheid. Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik[3]. Untuk menciptakan peraturan yang baik, kita harus memahami pembuatan peraturan yang baik berkaitan dengan berbagai aspek dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Konijnebelt membedakan menjadi tiga jenis : a. Asas-asas yang berkaitan dengan proses penyiapan dan pembentukan keputusan; b. Asas-asas yang berkaitan dengan pemberian alasan dan penataan keputusan; c. Asas-asas yang berkaitan dengan isi keputusan[4]. Pengelompokan ini didasarkan pada asas-asas yang berkaitan dengan bagaimana, dan asas-asas yang berkaitan dengan apa mengenai suatu keputusan. Pembedaan ini masing-masing disebut asas-asas formal dan asas meterial[5]. Contoh asas-asas pembentukan peraturan yang baik, diantaranya yaitu Peraturan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Lex inferiori derogat legi a posteriori), Undang-Undang yang dibuat secara khusus mengeyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialist derogat lex generalist). Maria Farida berpendapat, bahwa ketentuan perundang-undangan yang telah dibuat sesuai dengan asas-asas hukum yang baik harus dilaksanakan secara konsekuen. Jika undang-undang demikian dijalankan secara tidak benar menjadikan penguasa bersifat sewenang-wenang (tiran). Apabila dilaksanakan secara apatis akan membuat undang-undang menjadi mandul atau sia-sia[6]. Kemudian Satjipto menguraikan, bahwa salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan (hukum tertulis) adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun, pengutaraan dalam bentuk tulisan itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran atau disebut semangat dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat demikian itu dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau kontruksi[7], yaitu suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka untuk mendapat kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk otoritatif tersebut[8]. Keadaan yang ideal sebetulnya adalah manakala interpretasi tidak diperlukan atau sangat kecil peranannya. Hal ini bisa tercapai, apabila perundang-undangan bisa dituangkan dalam bentuk yang jelas. Mengenai kejelasan tersebut Montesqiu mengajukkan persyaratan sebagai berikut: 1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini mengandung arti, bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah mubasir dan menyesatkan. Istilah-istilah yang dipilih hendaknya sejauh mungkin bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka sedikit kemungkinan bagi perbedaan pendapat individual. 2. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesis. 3. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh karena itu ditujukan untuk orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja; peraturan itu bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.

4. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan. 5. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; adalah berbahaya untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh karena yang demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan pendapat. 6. Akhirnya, diatas semuanya, ia harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan serta la nature des choses. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundangan-undangan dan menghancurkan otoritas Negara[9]. Selanjutnya dikatakan Satjjipto, bahwa kita dapat menarik pelajaran dari tradisi pengadilan di Inggris yang membuat pengecualian untuk tidak menerima kata-kata perundangan-undangan mempunyai kekuatan untuk pemutus terakhir jika dijumpai hukumnya sendiri cacat logis, yaitu: 1. Kemenduaan (ambiguity) semantik, yang disebabkan oleh perumusan secara open texture. Dalam hal ini kata-kata yang dirumuskan demikian umum, sehingga menimbulkan kemenduaan dalam penerapannya. Berbeda dengan kemenduaan tersebut ialah perumusan yang dilakukan secara terperinci. 2. Kemenduaan sintatik yang disebabkan adanya kata-kata atau, dan, semua dan sebagainya. 3. Kemenduaan juga bisa terjadi karena maksud yang ingin dinyatakan oleh Pembuat Undang-Undang sendiri tidak jelas. Pembuat Undang-Undang sendiri belum mempunyai konsep atau gambaran yang jelas mengenai hal yang hendak diaturnya. Dalam hal pengadilan berhadapan dengan cacat-cacat seperti tersebut diatas, ia dituntut untuk membuatnya kembali mencapai kesempurnaan logis. Manakala dapat diketahui dibelakang cacat itu ada maksud yang baik, maka pengadilan harus dapat menegaskan adanya maksud tersebut. Apabila yang demikian itu tidak dapat diketahui, maka pengadilan harus dapat mengungkapkan maksud yang sekiranya ada pada Pembuat Undang-Undang apabila segala kesalahan dan cacat itu diberitahukan kepadanya. Keadaan kedua, yang tidak mengizinkan kita untuk menerima kata-kata perundang-undangan secara mutlak manakala penafsiran secara harafiah akan membawa kita kepada kejanggalan dan ketidakmasukakalan demikian rupa, yang dengan jelas menunjukkan pembuat undang-undang sebetulnya tidak mungkin menghendaki hal tersebut[10].

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekarang kita mengenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang untuk menguji peraturan undangundang yang diundangkan oleh legislatif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi (UUD 45)[11]. Sedangkan pengujian peraturan dibawah UU dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) yang diatur dalam Peraturan MARI No. 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil. Terhadap keputusan yang bersifat penetapan (beshicking) dibuat oleh Pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, pengujiannya tersebut ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berkaitan dengan konteks pembahasan sistem hukum dianut negara Indonesia, bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda yaitu Sistem Hukum Eropa Benua (Eropa Continental) dan Sistem Hukum Inggris (Anglo Saxon)[12]. Orang lazim menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang pertama, dan Common Law System untuk yang kedua. Sebagai akibat dijajah Belanda, Sistem Hukum Negara Indonesia berorientasi pada Sistem Hukum Eropa Continental yang lebih menekankan aspek pengaturan penyelenggaraan bernegara bersumber pada perundang-undangan. Berbeda dengan negara yang menganut Sistem Hukum Common Law, ilmu perundangan-undangan tidak terlalu dikembangkan disana. Karena mungkin sistem hukumnya tidak terlalu membutuhkan perundanganundangan sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan tidak ditempatkan sebagai instrumen penting bagi perwujudan kebijaksanaan negara dalam melaksanakan pengaturan tata kehidupan bermasyarakat[13]. Lev menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh idiologi Rechsstaat yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi. Sementara, idiologi Rule of Law secara historis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah. Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara[14].

Karena itu ilmu perundangan-undangan (Gesetzgebungslehre) atau disebut ilmu pengetahuan perundang-undangan (Gesetzbungs wissenschaft) menjadi bagian penting pelajaran ilmu hukum di Indonesia. Ilmu pengetahuan perundang-undangan adalah ilmu untuk mengetahui dan mempelajari teknik merancang undang-undang, dan termasuk ilmu baru yang dikembangkan negara Jerman, Belanda dan negara-negara sekitarnva (Eropa Continental). Di Indonesia, ilmu perundang-undangan digagasi dan dikembangkan oleh Prof. DR. A. Hamid S. Attamimi (almarhum), yang kini menjadi mata kuliah pokok bagi mahasiswa fakultas hukum. Dengan mengutip pendapat dari Prof Nohl pakar hukum ilmu Pidana dan krimologi universitas Zurich, Hamid menerangkan, lmu Pengetahuan PerundangUndangan yang disebutnya gesetzgebungslehre meneliti isi dan bentuk norma hukum dengan tujuan mengembangkan kriteria, arah dan petunjuk bagi pembentukan norma yang rasional. Masalah pokok yang ditelitinya ialah bagaimana hukum melalui perundang-undangan dapat dibentuk secara optimal. Sedangkan titik tolaknya ialah bagaimana memperoleh jawaban agar keadaan sosial melalui norma perundangundangan dapat dipengaruhi sesuai arah yang diharapkan"[15]. Dengan diajarkan mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan beserta bagianbagiannya, proses, teknik, dan metode perundangan-undangan, maka diharapkan kita dapat mengetahui: a. berbagai norma hukum, jenis dan karakteristik, serta tata susunannya, yang memang penting bagi pemahaman hakikat peraturan perundang-undangan; b. berbagai jenis peraturan perundangan-perundangan dan fungsinya serta materi muatannya masing-masing secara sumir; c. bentuk luar (kenvorm) dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan; d. tahap-tahap proses pembentukan Undang-Undang Peraturan Pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya; e. bagaimana menyusun dan merancang suatu peraturan perundang-undangan, apa bagian-bagian esensial peraturan perundang-undangan, dan bagaimana sistematika pembagian batang tubuhnya; f. ragam bahasa dan ungkapan yang digunakan dalam peraturan perundangundangan[16]. Dengan memahami ilmu perundangan-undangan, maka kita dapat mengetahui:

1. sistem hukum pemerintahan negara dan sistem pembentukan peraturan negara Indonesia serta perbandingan dengan negara lain; 2. hakikat perundangan-undangan yang lahir dari kekuasaan perundanganundangan (pouvoir legislatif), dan yang lahir dari kekuasaan kepala negara, dimana di negara kita juga merangkap kepala pemerintahan (Pouvoir reglementaire), serta yang lahir dari kekuasaan eksekutif (pouvoir executif); 3. perbedaan undang-undang di Indonesia yang menetapkan pengaturan yang berlaku umum dengan yang menetapkan anggaran negara yang di dalam UUD 45 disebut wetgeving dan staatbegroting 4. materi muatan yang khas undang-undang Indonesia secara lebih mendalam dan cara menemukan[17]. B. Paham Integralistik UUD 1945 pra-amandemen dinilai banyak pihak bertentangan dengan teori konstitusi modern. Ada gagasan yang saling bertentangan antara paham kedaulatan rakyat dan paham integralistik, antara paham negara hukum dan negara kekuasaan. Rumusan UUD 1945 terlalu sederhana dan multitafsir untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak kekosongan dalam pengaturan prinsip HAM, pembatasan jabatan presiden, kewenangan antar lembaga negara. Dahulu sering kita mendengar kritik tentang dominannya posisi Pemerintah (eksekutif) terhadap legislatif (DPR) dalam mekanisme hubungan antar kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945. DPR tunduk pada keinginan pemerintah alias stempel kekuasaan[18]. Pemikiran Prof. Soepomo, pakar hukum adat, yang menurut banyak pihak itu mempengaruhi perumusan UUD 1945, dengan apa yang disebutnya sebagai ide negara integralistik atau paham negara kekeluargaan. Soepomo berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, cocok dengan pikir ketimuran. Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur sosial Indonesia meliputi antara aliran pikiran dan semangat kebatinan, struktur kerohanian yang bersifat dan cita-cita tentang persatuan hidup, antara persatuan kawulo dan gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos, persatuan rakyat dan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide integralistik atau ide totaliter bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam susunan tata negaranya yang asli[19]. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya itu segala golongan diliputi

semangat gotong royong dan kekeluargaan yang disebutnya sebagai struktur sosial asli Indonesia. Hakekat Republik Indonesia merupakan Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan modern. Ia mencontohkan dasar persatuan dan kekeluargaan yang terdapat di negara Dai Nipon cocok cocok dengan corak masyarakat Indonesia[20]. Diantara pihak yang menentang gagasan Soepomo adalah Prof. DR. J.H.A. Logemann, pakar hukum tatanegara berkebangsaan Belanda. Ia mengatakan cita negara integralistik Soepomo adalah cita negara organis. Dengan gagasan negara sebagai organisasi dari suatu organis, dikatakan oleh Logemann, Soepomo (bersama lain-lainnya) telah menyambut pusaka lama Indonesia yang terwujud dalam Desa Indonesia Lama. Logemann mempertanyakan, apakah mungkin struktur desa yang agraris dan sebagian besar autharkis dapat dipindahtanamkan ke dalam struktur negara modern?[21]. Sedangkan Marsilam menilai pemikiran Soepomo tersebut dipengaruhi oleh ide pemikiran nasional-sosialis Jerman atau ide Hegelian[22]. Sedangkan Ismail Suny tidak dapat menerima anggapan pendiri negara kita sewaktu merumuskan dan mengesahkan UUD 1945 bertolak dari postulat paham kenegaraan integralistik. Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan mengemukakan[23] ada lima kelemahan UUD 1945 yang menjadi penyebab ketidakberhasilan sebagai penjaga dan dasar pelaksana prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia: 1. Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang, disamping hak-hak konstitusional khusus (hak prerogratif) Presiden sebagai Kepala Negara; 2. UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara cabangcabang pemerintahan (lembaga negara) yang akibatnya kekuasaan Presiden semakin besar dan menguat, karena tidak cukup mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan yang lain; 3. UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan atas konstitusi, seperti pengkaidahan dalam pasal 1 ayat (2). Pasal 7, dan Pasal 28;

4. Kedudukan Penjelasan UUD 1945 di mana tidak ada kelaziman UUD memiliki penjelasan dan materi muatan yang tidak konsisten dengan Batang Tubuh dan seharusnya ada menjadi materi muatan Batang Tubuh; 5. UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang masih harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik tanpa disertai arahan atau pedoman tertentu, segala sesuatu diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang, sehingga akibatnya dapat terjadi berbagai undang-undang organik dengan objek dan sumber UUD yang sama, tetapi prinsip-prinsip pengaturan berbeda. C. UUD 45: Inspirasi Negara Otoritarian UUD 1945 yang terlalu sederhana dan multi tafsir kemudian menjadi sumber inspirasi rezim Orde Baru dalam memasung kehidupan hukum dan demokrasi. Hal ini dinyatakan secara gamblang oleh Soeharto dalam buku biografinya, Apirasi partai politik yang terpisah dari asas tunggal ideologi Pancasila dibawah pemerintahan parlementer dan demokrasi terpimpin menghasilkan sikap saling curiga yang berlarutlarut diantara kita, melahirkan pertentangan, keretakan, dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disamping usaha-usaha mengubah dasar negara[24]. Pidato-pidato Soeharto seperti itulah sebelumnya memicu lahirnya Kelompok oposisi di Indonesia[25]. Padahal, UUD 1945 didesain oleh The founding fathers hanya bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Soekarno-lah orang pertama menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang sah. Dalam rapat BPUPKI/PPKI tanggal 18 Agustus 1945, lr. Soekarno selaku Ketua PPKI menyatakan: Tuan-Tuan tentu mengerti, ini sekedar UUD sementara, UUD kilat, barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolusiegrondwet. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna[26]. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ternyata pernyataan itu diingkari sendiri oleh Ir. Soekarno. Melalui Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Badan Perwakilan (Konstituante) hasil pemilihan umum 1955 yang sah dan sedang menyiapkan rancangan konstitusi Indonesia modern dan komprehensif. Dengan hanya berbekal Dekrit yang berpayung hukum KEPRES, Soekarno secara fundamental mengubah sistem bernegara Indonesia. ULf Sundhaussen mengatakan dari segi

hukum Soekarno dan Jenderal Nasution berkomplot untuk membengkokkan undangundang. Dari segi politik, komplotan itu telah menggariskan pola kerjasama mengubur sistem parlementer. Dalam tatanan politik yang baru itulah Nasution berhasil menempatkan wakiI-wakil militer dalam pemerintah sipil, legislatif dan hampir di semua badan negara. Tentara mempunyai suara dalam menyelenggarakan hukum dan makin terlibat jauh dalam pengelolaan ekonomi. Keadaan perang yang masih tetap berlaku memberikan kepadanya kekuasaan yang besar. Tentara berada dalam kedudukan yang baik sekali untuk membela kepentingan dan kebijakannya[27]. Akibat ketidakjelasan konstitusi yang melegitimasi terjadinya penyimpangan kekuasaan, terlebih sub-sistem hukum memberi konstribusi mendukung praktekpraktek penguasa bertindak sewenang-wenang (despotis)[28]. Tidak usahlah heran bilamana pemerintahan masa lalu sarat mewarisi masalah-masalah kekerasan struktural. Melalui pendekatan keamanan (securiti aproach), penguasa menindak orang-orang yang menentang dan tidak sepaham dengan kemauannya[29]. Lembaga intelijen negara yang didominasi oleh militer sarana efektif dan besar jasanya bagi Rezim Orde Baru untuk meredam aspirasi dan gejolak masyarakat. Begitu berkuasanya rezim Soeharto, etika-moral aparaturnya disetel menurut keinginannya[30]. Masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa penggusuran tanah rakyat di Jenggawah, Kedong Ombo, pembantaian umat Islam di Tanjung Priok, kisah seputar Daerah Operasi Militer (DOM) yang telah melenyapkan ribuan nyawa rakyat tidak berdosa di Aceh[31], sampai aktifitas penculikan terhadap tokoh mahasiswa dan pemuda oleh aparat keamanan[32]. Atas nama pembangunan penguasa berbuat sekehendaknya dan dimanipulasi untuk kepentingan pihak berkuasa, keluarga, dan kroni[33]. Kondisi itu semakin diperparah dengan kebobrokan yang terjadi dalam bidang pengelolaan keuangan negara yang terus berlangsung sampai sekarang[34]. Indonesia saat ini diurutkan dalam rangking negara terkorup nomor 10 di dunia[35]. D. Reformasi Konstitusi dan Hukum Sungguh pun kekuatan reformasi yang digalang oleh komunitas kampus, LSM, lembaga media dan elemen masyarakat lain berhasil menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan[36], dan sedikit membawa angin segar dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara[37], namun disisi lain reformasi telah melahirkan gejala krisis kepercayaan (distrust). Keterbukaan informasi memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distorsi dari penyelenggaraan negara, yaitu antara kesenjangan retorika dan realitas, antara sektor pembangunan dan ketimpangan hubungan pusatdaerah, serta semakin meluasnya praktek-praktek KKN[38]. Kemudian, tidak kalah mirisnya ketika wajah kita harus menyaksikan carut marut dunia peradilan yang terus berlangsung sampai saat ini. Lantaran melembaganya praktek mafia peradilan menjadikan proses berperkara menjadi barang mahal, penuh ketidakpastian dan menyayat-nyayat rasa keadilan masyarakat[39]. Sikap apatisme dan sinisme masyarakat terhadap hukum dapat kita jumpai dalam anekdot-anekdot: Singkatan HAKIM diplesetkan: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang; JAKSA: Jika Anda Kalah Suap Aku; KUHP Kasih Uang Habis Perkara; Hilang kambing lapor ke kantor polisi, malah hilang sapi. Tentang polisi jujur dan tidak mempan disogok digambarkan pada sosok Hoegeng dan polisi tidur[40]. Sebuah surat kabar harian terbitan ibu kota melengkapi catatan polisi jujur dengan Polisi patung[41]. Ada juga cerita tentang anekdot seorang wanita hamil diluar nikah meminta pengadilan untuk mengizinkan dirinya menggugurkan kandungan. Setelah menunggu sekian lama sampai anak yang dikandungnya lahir dan berusia tujuh tahun, barulah turun putusan pengadilan yang mengabulkan permohonannya. Anekdot ini

menggambarkan betapa bertele-tele dan tiadanya kepastian proses pengadilan. Puncak dari ketidakpercayaan terhadap hukum ini akhirnya melahirkan gejala masyarakat yang suka 'main hakim' sendiri. 'Pengadilan massa yang sasarannya terhadap penjahat tergelar dipelbagai daerah dan dimana-mana. Disini massa telah bertindak dan berlaku sebagai jaksa sekaligus hakim yang menjatuhkan vonis. Semua dilaksanakan tanpa ada pembelaan pengacara, tanpa ada keterangan saksi-saksi. Eksekusi yang dijatuhi oleh massa dan dijalankan oleh pelaku kejahatan umumnya hukuman mati, dengan cara dikeroyok beramai-ramai atau dibakar hidup-hidup[42]. Termasuk, kita dihebohkan dengan berita seorang lelaki membunuh istri dan sekaligus hakim yang menyidangkan diruang sidang di Pengadilan Agama Jawa-Timur seusai pembacaan putusan cerai dan gono-gininya[43]. Tindakan sepihak masyarakat itu

terjadi karena hukum sebagai sarana pencegah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting is verboden) mengalami disfungsi. Eksistensi hukum sebagai penjamin kepastian hukum, kemanfaatannya dan keadilan, belumlah menyentuh lapisan kebanyakan[44]. Pengadilan dinilai oleh masyarakat hanya berguna bagi pihak yang pintar mengakali hukum[45]. Menurut Moekti Fajar, kondisi kacau (chaostik) dialami bangsa Indonesia tersebut diistilahkannya sebagai Transisi Paradigmatik (Paradigmatic Transtition). Suatu keadaan dimana paradigma lama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah tidak cocok atau irrelevan dan ingin ditinggalkan. Sementara, paradigma baru yang ingin dicapai melalui reformasi belum ditemukan atau disepakati. Proses perubahan paradigma lama ke paradigma baru mengalami masa anomali, krisis, dan revolusi. Masyarakat dikageti (shock) dengan nilai-nilai yang sebelumnya membelenggu hak-hak rakyat[46]. Selanjutnya Moekti Fajar dengan mengutip pendapat Assadiqie berpendapat, UUD 1945 menjadi intrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya kekuasaan otoritarianisme yang pada akhirnya menyuburkan praktek-praktek KKN disekitar kekuasaan Presiden. Reformasi menyeluruh menyusul berakhirnya kekuasaan presiden Soeharto, maka agenda reformasi konstitusi menjadi sebuah keniscayaan. Lebih lanjut dikatakannya, reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Sedangkan reformasi hukum yang menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar. Berarti diperlukan adanya constitusional reform yang tidak setengah hati[47].

You might also like