You are on page 1of 17

Pengembangan Pendidikan Agama di Sekolah Akan Berbasis Problem Sosial Tue, 12/21/2010 - 15:42 Ozie

Berita | pendidikan (Global FM Lombok) -

Mataram

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, Drs. H. L. Syafii, MM, megatakan, pendidikan agama di sekolah yang cenderung bersifat doktrin akan dihapus. Sebagai gantinya, akan dikembangkan pendidikan agama yang berbasis pada problem social masyarakat. Dimana, dengan pemahaman agama yang dimiliki, siswa dapat mengaplikasinya di kehidupan sehari hari. Salah satunya, bagaimana meredam konflik yang kerap kali terjadi di tengah masyarakat. Sebab, ilmu agama tidak saja harus dapat difahami secara konseptual, tapi juga dapat memecahkan problem problem dalam kehidupan sehari hari. jelas Drs. H. L. Syafii, MM, kepada wartawan, di ruang kerjanya, Selasa (21/12). Syafii mengungkapkan, pendidikan agama juga tidak harus bersifat ekslusif, tapi ke depan akan diterapkan inekslusif. Tahun tahun sebelumnya, pendidikan agama juga hanya diajarkan satu orang guru agama dengan 2 jam pelajaran. Ke depan guru agama harus berkolaborasi dengan guru guru lainnya untuk menanamkan pemahaman agama kepada para siswanya. Caranya, di setiap mata pelajaran umum, akan diselipkan materi keagamaan, sehingga pelajaran agama diterima siswa setiap saat selama pelajaran di sekolah berlangsung. Salah satu komitment pemerintah memperhatikan pendidikan agama kepada para siswa tegas Syafii, mulai tahun 2011 mendatang, mata pelajaran agama, masuk sebagai mata pelajaran Ujian Nasional (UN). Dengan demikian, secara otomatis, para siswa akan serius mempelajari agama, menghafal, memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari harinya. Sebuah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan, biasanya akan disepelekan para siswa. Realita itu akan mulai dirubah, sehingga para siswa tidak lagi menyepelekan pelajaran agama yang akan membentuk karakter dan kepribadian siswa itu sendiri. (ozi)

TERKEJUT dan kaget. Ungkapan ini mungkin tepat untuk menggambarkan berapa terhentaknya kita semua mendengar laporan Sekretaris Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) yang disampaikan pada acara Konferensi Nasional Matematika XIII dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia yang diselenggarakan Unnes Semarang. Saat itu Sekretaris BNSP mengatakan

bahwa secara nasional jumlah guru SD yang tidak layak mengajar mencpaai 609.217 orang atau sekitar 49,3% dari tenaga pendidik yang ada di Indonesia. Apabila kita mencoba melakukan refleksi mendalam, kita temukan berbagai persoalan muncul silih berganti melanda dunia pendidikan nasional kita, baik yang berskala mikro maupun yang makro. Selain tantangan yang amat berat utamanya dalam upaya menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global, juga masih dihadapkan pada dampak buruk dari krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan di segala jalur jenis dan jenjang pendidikan. Salah satu permasalahan esensial pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Berdasar hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, saat ini kita berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif. Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul. Bahkan untuk yang terakhir ini, menurut Dirjen Mandikdasmen pemerintah menyediakan dana blockgrant Rp 500 juta pertahun selama lima tahun. Namun demikian sampai saat ini tanda-tanda bahwa dunia pendidikan kita semakin membaik tidak kunjung muncul indikasinya. Pertanyaannya, mengapa sampai saat ini mutu dunia pendidikan nasional kita masih memprihatinkan dan apa akar persoalan yang menyebabkan semua itu terjadi? Guru: Pihak yang Tertuduh

Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling

bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun begitu guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Guru memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan (output) melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya. Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan. Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keniscayaan yagn tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas sudah barang tentu - mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan. Upaya pengembangan itu memang merupakan suatu keharusan, mengingat tuntutan standar kualitas serta kebutuhan di lapangan juga terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era global ini. Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan. Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang

hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a). Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (satu) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Dua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Tiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. Empat, guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar dari pengalamannya. Lima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional - seorang guru yang sejati - harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu. Prinsip bahwa tanpa ilmu pendidikan maka praksis pendidikan menjadi semu, menyesatkan dan membahayakan bangsa. Tetapi bagaimana realitasnya? Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan. Betapa tidak, lihat misalnya kasus KBK, sistem SKS, dan yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah persoalan sertifikasi dan uji kompetensi guru. Sertifikasi dan uji kompetensi guru hanya memenuhi tuntutan dunia modern, budaya global, logika bisnis, dan reaktif-pragmatik. Reaktif karena harus memenuhi tuntutan globalisasi, pasar terbuka dan persaingan bebas. Pragmatik, karena dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah aktual yang pada dasarnya sangat teknis. Itu memang penting, tetapi yang lebih penting lagi perlu ada pemahaman bahwa pendidikan lebih dari itu, tidak hanya menyelesaikan persoalan aktual, tetapi persoalan kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan harus mampu membekali peserta didiknya dengan kemampuan individual, lokal, sehingga menjadi warga negara yang mandiri dan berdaya, serta menjadi lebih antisipatif-humanistik. Persoalan lain yang tidak kalah essensialnya yang menyebabkan mutu pendidikan semakin memprihatinkan adalah kecenderungan kita mengambil

konsep dari luar, tanpa mau memahami konteksnya yang lebih luas dan implikasinya yang lebih jauh. Asal saja kita mendengar ada suara dari luar yang agak aneh, KBK, sertifikasi, lesensi, standarisasi, misalnya, kita cepat menerimanya sebagai "pasti bagus". Padahal konsep yang kita anggap bagus saat ini itu di negara mereka merupakan konsep yang sudah lama ditinggalkan. Mereka selalu bergerak dan maju terus kita selalu menunggu hasil dokumentasi dan menyesuaikannya. Akibatnya kita senantiasa berkembang denegan ketertinggalan yang berkelanjutan.

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI


Oct 27, 2009 masri.prima | Uncategorized

Pengertian demokrasi Secar etimologis, demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kratein yang berarti memerintah. Demokrasi dapat diterjemahkan sebagai Rakyat berkuasa . Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan yang dijalan kan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui perwakilan ). Dengan demikian dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerinthan demokrasi, kekuasaan tertinggi nyaada ditangan rakyat sebagaimana pengertian demokrasi yang diucapkan oleh Abraham Lincoln the goverment from the people, by the people and for the people ( suatu pemerinthan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakya) Jadi demokrasi berarti kekuasaan berarti kekuasaan dari rakyat. Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan rakyat yang berkuasa sekaligus diperintah pemerintahan dalam Negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang berdaulat dan diberi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara serta mempertanggung jawabkan pada rakyat demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Dewasa ini , bentuk demokrasi paling umum dengan jumlah penduduk kota ratusan ribu bahkan jutaan orang adalah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan dalam demokrasi tidak langsung, para pejabat membuat UU dan menjalan kan program untuk kepentingan umum atas nama rakyat. Hak hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi, karena pejabat itu dipilih dan diangkt oleh rakyat.

2. Pengertian pendidikan demokrasi Pendidikan demokrasi diartikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga negaranya agar memahami, meghayati, megamall kan dan mengembangkan konsep, prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan peran nya dalam masyarakat ( winataputra, 2006 : 12) Demokrasi memang tidak diwarisi , tetapi ditangkap dan dicerna melalui proses belajar oleh karena itu untuk memahaminya diperlukan suatu proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam nerbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan formal ( disekolah dan perguruan tinggi), non formal ( pendidikan diluar sekolah dan informal ( pergaulan dirumah dan masyarakat kulturaluntuk membangun cita cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam berbagai konteks(Winaputra,2006:19) System pemerintahan demokrasi demokrasi sebanyak cita cita kan oleh berbagai Negara. Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal tidak lah mudah. Proses mengimplementasikan demokrasi inilah sebagai system politik dalam kehidupan bernegara. Demokrasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang mengaju pada cirri cirri sebagai berikut : a. Proses yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap, berkesinambungan terus menerus. b. Bersifat evolusioner dalam arto dilakukan secara berlahan. c. Perubahan bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan ( anarkis) d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti pebedaan yang ada siselesaikan dengan cara musyawarah. Jadi, budaya demokrasi dimasyarakat akan terbentuk bialmana nilai nilai demokrasi itu sudah berkembang luas, merata, dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan prilaku hidup pada hakikat nya budaya demokrasi akan mengembangkan nilai nilai demokrasi 3. Sejarah pertumbuhan demokrasi Pada awal nya di era yunani kuno abad ke 6-3 SM dilaksanakan demokrasi dengan system demokrasi langsung yaitu suatu bentuk proses pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan procedure mayoritas sistem demokrasi langsung ini efektif dalam sederhana wilayah nya terbatas, jumlah penduduk nya sedikit dan bahkan tidak semua warga Negara mempunyai hak untuk ikut menentukan keputusan keputusan politik.

Pada awal pertengahan ini masyarakat bercirikan feodal dan dualisme kekuasaan antara kekuasaan antara paus dan para pejabat keagamaanlain nya dalam politik kenegaraan sering terjadi pertikaian antara kedua pusat kekuasaan tersebut. Tokoh tokoh terkenal dalam konteks adalah john locke and property dan montesquiew (1689 1755) dari perancis denan gagasan tias politika yang membagi kekuasaan mengadili ( yudikatif) Demokrasi mempunyai wujud konkret sebagai program dan system politika pada akhir abad pertengahan yang merupakan wujud pemikiran akan adanya hak hak politik rakyat agar ada jaminan hak hak politik rakyat tersebut berjalan lebih efektif, munculah gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang wenang melalui kontitusi baik yang besifat tertulis maupun tidak tertulis ( konvensi) gagasan in disebut sebagai kontitualisme. Gagasan ini dikenal sebagai Negara konstitusional ( constitutional sate) atau dalam pembahasan UUD 1945 disebut sebagai Rechtstaab atau Negara hokum. Menurut stahl ada emapat unsure Negara hokum (Re chtss taat) dalam arti klasik, yaitu adanya : 1. Hak hak manusia 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan aturan atau UU; 4. Peradilan Administrasi. Dari praktik demokrasi abad ke 19 yang menekan kan pada paham liberalism dan akses aksesnya mengubah pikiran para ahli menandai wajah baru constitutional abad ke 20 4. Teori dan konsep demokrasi Menurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua aspek yaitu pertama, Formal democratif dan yang kedua, substance democracy yaitu menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan ( Winataputra, 2006) System presidensial : system ini menekankan penting nya pemilihan presiden secara langsung dari rakyat. Dalam system ini kekuasaan eksekutif ( kekuasaan menjalankan pemerintah) sepenuh nya berada ditangan presiden. System parlementer : system ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif dan legislative. Kepala eksekutif (head of government) adalah berada ditanga seseorang perdana mentri. 1. Demokrasi Perwakilan Liberal

Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manuisa adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu dalam system demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi Menurut Held (2004:10), bahwa demokrasi perwakilan liberal merupakan suatu pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problema keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasab. Namun demikian perlu disadari bahwa dalam prinsip demokrasi ini apapun yang dikembangkan melalui kelembagaan serta jaminan atas kebebasan individu dalam hidup bernegara. 2. Demokrasi satu partai dan komunisme Demokrasi satu partai ini lazim nya dilaksankan dinegara Negara komunitas seperti , rusia, china, Vietnam, dan lain nya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, dan akhirnya kapitalislah yang emnguasai Negara. Dalam hubungan ini Marx mengembangkan pemikiran system demokrasi commune structure(struktur persekutuan ). Memnurut system demokrasi ini masyarakat tersusun atas komunitas komunitas yang terkecil. Oleh karena itu menurut komunis, Negara post kapitalis tidak akan melahirkan kemiripan apapun dengan suatu rezim liberal, yakni rezim perlementer. Semua perwakilan atau agen Negara akan dimasukkan kedalam lingkungan seperangkat institusi institusi tunggal yang bertanggung jawab secara langsung. Menurut pandangan kaum Marxis-Leninis, system demokrasi delegatif harus dilengkapi, pada prinsipnya dengan suatu system yang terpisah tetapi sama pada tingkat partai komunis. 5. Kaitan Demokrasi dan Bentuk Pemerintahan Rumuan kedaulatan ditangan Rakyat menunjuk kan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan Negara dan sebagai tujuan kekuasaan Negara. Oleh karena itu rakyat adalah merupakan paradigm sentral kekuasaan Negara. Adapun rincian structural ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut : a. Konsep kekuasaan Konsep kekuasaan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut : 1. Kekuasaan ditangan Rakyat.

a. Pembukaan UUD 1945 alinia IV b. Pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 c. Undang Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (1) d. Undang Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2) 2. Pembagian kekuasaan 3. Pembatasan Kekuasaan b. Konsep Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut : 1. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok pikiran ke III, yaitu ..Oleh karena itu system negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia 2. Putusan majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya pasal 7B ayat 7 Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hokum tata Negara Indonesia adalah berdasarkan: a) Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai azasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. b) Namun demikian, jikalau mufakat itu tidak tercapai,maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak c. Konsep pengawasan Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut: 1) Pasal 1 ayat 2, Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. 2) Pasal 2 ayat 1, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas DPR dan anggota DPD. Berdaarkan ketentuan tersebut, maka menurut UUD 1945 hasil amandemen, MPR hanya dipilih melalui Pemilu.

3) Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan DPR disebut, kecuali itu anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka konsep kekuasaan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum dalam UUD 1945 pada dasarnya adalah: a) Dilakukan oleh seluruh warga Negara. Karena kekuasaan di dalam system ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat. b) Secara formal ketatanegaraan pengawasan ada di tangan DPR d. Konsep Partisipasi Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1) Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya. 2) Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UndangUndang 3) Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara. 6. Implementasi Pendidikan Demokrasi Pembahasan tentang peranan Negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan yaitu: a. Hamper semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebihd ari 100 sarjana barat dan timur, sementaa Negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada Negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda.

b. Demikrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertinggi tetapi ternyata berjalan dalam jalur yang berbeda-beda. Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam system pemerintahan, demokrasi juga melahirkan system yang bermacam-macam seperti: a. Sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan member dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. b. Sistem Parlementer yang meletakkan pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai pemerintahan dan bukan kepala Negara sebab kepala Negara bias diduduki oleh raja atau presiden yang hanya sebagai symbol kedaulatan dan persatuan. c. Sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian dari parlemen. Di beberapa Negara ada yang menggunakan system campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat dari system ketatanegaraan di Prancis atau Indonesia berdasar UUD 1945 7. Esensi Demokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sejak diproklamasikan kemerdekaan RI dan disyahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). Secara formal Indonesia menganut demokrasi konstitusional. Namin sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang telah terjadi perubahan konstitusi Negara sebagai berikut: a. Periode 1945-1949 menggunakan UUD 1945 b. Periode 1949-1950 menggunakan UUD RIS c. Periode 1950-1959 menggunakan UUDS d. 1959-sekarang menggunakan UUD 1945 Perubahan penggunaan UUD ini berimplikasi pada system pemerintahan, begitu pula praktik pemerintahannya tidak jarang menyimpang dari landasan dasarnya. Sistem pemerintahan adalah presidential namun dalam prakteknya parlementer, sampai digunakan UUD RIS dan UUDS bentuk pemerintahan menggunakan system parlementer. Jadi system presidensil murni dapat dilakukan setelah dekrit presiden 1959. Maka untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia secara sederhana, kita dapat membagi menjadi 3 periode yaitu: a. Masa demikrasi parlementer tahun 1945-1959

b. Masa demikrasi terpimpin tahun 1959-1965 c. Maa demokrasi pancasila tahun 1965 sampai sekarang Dalam pelaksanan pemilu meskipun dirasakan kekurangan, namun kalau kita lihat dari proses perkembangan tampak adanya kemajuan. Beberapa pelanggaran terjfadi oleh peserta pemilu sebagai akibat dari upaya masing-masing peserta pemilu untuk memperoleh dukungan masyarakat. Hal yang perlu dicatat pada masa orde baru adalah adalah adanya upaya pengembangan demokrasi Pancasila yaitu demokrasi yang dilandasi nilai-nilai Pancasila. Dalam Demokrasi Pancasila ada dua nilai dasar yang dikembangkan sebagai budaya politik yaitu tidak dikenalnya istilah oposisi dan nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Budaya politik oposisi sebagai wujud budaya barat tidak dikenal atau sekurang-kurangnya belum dapat diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia

Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah. Disamping itu pelaksanaan kebijakan yang ada masih tampak belum adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah adanya kecenderungan lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menerapkan amanat konstitusi terutama menyangkut alokasi dana pendidikan. Lemahnya kemauan politik pemerintah tersebut, tampak tidak dipersoalkan oleh DPR dan Parpol. Ke depan agar supaya kebijakan pendidikan bersifat efektif kontrol DPR dan Parpol harus kuat dan konsisten. Masyarakat juga harus melakukan tekanan (pressure) terus menerus. Hal ini penting karena ada kecenderungan kemauan dan kontrol serta tekanan tersebut lemah karena didominasi oleh pemilik modal (kuasa ekonomi). Upaya untuk memperkuat integrasi bangsa disamping melalui kebijakan pendidikan yang demokratis juga dapat melalui pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi akan dapat meningkatkan integrasi bangsa karena merupakan proses transformasi nilai-nilai daris sistem politik nasional yang telah disepakati yakni sistem politik demokrasi. Masalahnya dalam kenyataan budaya demokrasi belum berkembang dengan baik. Budaya politik di Indonesia masih didominasi oleh budaya politik non-demokrasi (feodal). Untuk itu perlu dikembangkan pendidikan demokrasi melalui PKn (Civic Education), partai politik dan asosiasi asosiasi dalam masyarakat. Strateginya adalah menanamkan pengetahuan demokrasi yang dibarengi dengan memberikan pengalaman hidup berdemokrasi.

DIMENSI DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Pada bagian ini dibahas bagaimana kaitan konseptual dan fungsional demokrasi dengan pendidikan demokrasi.Yang dimaksud dengan kaitan konseptual adalah hubungan logis demokrasi sebagai suatu konsep dasar politik dengan pendidikan demokrasi sebagai suatu konsep pendidikan.Sedangkan yang dimaksud dengan kaitan fungsional adalah hubungan antara demokrasi sebagai substansi dan proses pendidikan bagi segenap warganegara. 1. Konsep dan Nilai Demokrasi Kata demokrasi yang berasal dari bahasa Latin de mos dan crate i n atau cratos,kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris democracy kini sudah menjadi kosakata umum yang sudah terbiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.Namun demikian demokrasi merupakan ..konsep yang masih disalahpahami dan disalahgunakan manakala rezim-rezim totaliter dan diktator militer berusaha memperoleh dukungan rakyat dengan menempelkan label demokrasi pada diri mereka sendiri (USIS,1991:4). Di dalam The Advanced Learners Dictionary of Current English (Hornby dkk:261) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah: (1) country with principles of government in which all adults citizens share through their effected representatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech,religion,opinion,and association,the assertion of rule of law,majority rule,accompanied by respect for the rights of minorities; (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals. Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demikrasi merujuk kepada konsep kehidupan Negara atau masyarakat di mana warganegara warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara,beragama,berpendapat,berserikat,menegakkan rule of law,adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling member perlakuan yang sama.Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham

A.Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari

eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup,hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama.dengan pengakuan akan prinsip dasar tersebut,setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. jadi,kesadaran akan adanya hak asasi manusia tumbuh dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat. Pengakuan terhadap HAM memiliki dua landasan,sebagai berikut. 1) Landasan yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia.kodrat manusia adalah sama derajat dan martabatnya.semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan ras,agama,suku,bahasa,dan sebagainya. 2) Landasan yang kedua dan yang lebih dalam: Tuhan menciptakan manusia.Semua manusia adalah makhluk dari pencipta yang sama yaitu tuhan yang maha esa.Karena itu di hadapan tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya. B.Penegakan HAM di Indonesia Sebagai mana kita ketahui, bahwa hak asasi manusia bersifat Universal sehingga masalah ini menjadi perhatian segenap umat manusia, tanpa memperdulikan dari mana para korban atau pelaku pelanggaran HAM berasal. Dunia internasional sendiri memiliki berbagai instrumen sanksi untuk para penjahat kemanusiaan, mulai dari sanksi ringan berupa pengucilan atau pemboikotan hingga sanksi pidana melalui pengadilan internasional. Penegakkan hak asasi manusia membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Persaingan berbagai kekuatan politik menjadi warna utama dalam kehidupan politik pada masa orde lama, persaingan tersebut meluas kesegenap kehidupan rakyat hingga memicu perseteruan diantara mereka. Haruskah persaingan politik selalu mengarah pada perseteruan.????

Kenyataan menunjukan bahwa hingga kini proses penegakan HAM di indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Tetapi, proses demokratisasi yang terjadi pasca tumbangnya kekuasaan orde baru telah memberi harapan yang besar bagi kita agar pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat ditegakkan. Kendati demikian, diera reformasi dapat kita catat bahwa pemerintah dan lembaga legislatif telah bekerja sama menyusun perangkap perundangan yang menunjukkan upaya nyata untuk mengedepankan perlindungan tentang hak asasi manusia. Tetapi, meski iklim demokratis kini tengah tumbuh subur bukan berarti upaya penegakkan hak asasi manusia di indonesia tidak mengalami hambatan sama sekali. Kita dapat mencermati bahwa dalam lingkungan sosial kita terdapat beberapa hambatan yang bersifat structural (berkenaan dengan budaya masyarakat). Walau demikian hambatan tersebut sepatutnya tidak membuat semangat kita untuk menegakkan hak asasi manusia menjadi surut. Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penegakan hak asasi manusia tersebut, mari kita upayakan sedikit demi sedikit untuk dikurangi, demi terwujudnya hak asasi manusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati hakhak orang lain. Kita harus terus berupaya untuk menyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dalam sebaik-baiknya. C.Hubungan Pancasila Dengan Agama Islam Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah, sebenarnya telah berjalan secara pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia. Seruan Hisbutahrir Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu. Kaum Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis. Media massa dan elite Muslim yang duduk di pemerintahan tengah haus akan keislaman yang otentik (bahkan ironisnya cenderung ke arah konsuptivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui atau tidak perasaan kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar Negara RI. Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini dikarenakan Islam yang tidak tunggal, itu hanya mengulang-ulang kembali perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. Bahkan kaum nasionalispun sepertinya terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar

negara yang cocok untuk Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat. Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila? Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi,). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara. Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaa untuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi kesepakatan bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan,

menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas.

You might also like