You are on page 1of 10

Pengaruh Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Sawah (Fejervarya cancrivora)

Nurlita Abdulgani Prodi. Biologi - FMIPA

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh deterjen LAS (Alkylbenzene Sulfonate) yang merupakan salah satu pencemar lingkungan terhadap abnormalitas embrio dan daya tetas embrio katak sawah (Fejervarya cancrivora), sebagai salah satu indikator biologis terjadinya pencemaran perairan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan lima kali ulangan. Telur katak yang telah dibuahi masing-masing 10 telur tiap cawan petri diberi perlakuan deterjen LAS yang telah dilarutkan dalam air sumur dengan konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l, dan 4 mg/l. Persentase terjadinya embrio abnormal semakin besar dengan meningkatnya konsentrasi deterjen LAS. Pada stadia gastrula peningkatan abnormalitas embrio mulai terjadi pada konsentrasi 3,2 mg/l. Pada stadia neurula peningkatan persentase embrio abnormal terjadi pada konsentrasi 2,4 mg/l dan tertinggi pada konsentrasi 4 mg/l (p < 0,05). Terdapat interaksi antara perlakuan deterjen LAS dengan stadia perkembangan embrio terhadap abnormalitas embrio. Meningkatnya konsentrasi deterjen LAS mengakibatkan peningkatan persentase embrio abnormal, terutama pada stadia yang kritis, yaitu gastrula, neurula, dan saat menetas (hatching). Deterjen LAS konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l, dan 4 mg/l tidak menurunkan daya tetas embrio katak F. cancrivora, tetapi semakin tinggi konsentrasi deterjen LAS persentase kematian berudu juga meningkat. Abnormalitas perkembangan embrio katak dapat digunakan sebagai indikator biologis terjadinya pencemaran deterjen LAS.

ABSTRACT
An experiment was carried out to determine wether surfactant detergent LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) has a negative effect for the development of each stadia of F.cancrivora embryo for hatching to larva. Recently LAS has been used for many aplication due to its biological degradation ability. Frog embryo have been used as a biological indicator of water pollution. Frog eggs that had been ovulated were put in petri dish each contained ten eggs. The frog eggs in the petri dish were given detergent LAS treatment that had been mixed with water 0.8 mg/l ; 1.6 mg/l ; 3.2 mg/l and 4 mg/l concentration, respectively. The research was designed by Split Plot with 5 replication. The result of experiment showed that the abnormality of embryo was increased in the line with the addition of concentration of detergent LAS. In gastrula stadium, the abnormality of embryo increased significantly at the concentration of 3.2 mg/l and 4 mg/l. In neurula stadium the abnormality of embryo was commenced at the concentration of 2.4 mg/l ; 3.2 mg/l and the highest abnormality of embryo was occurred at the concentration of 4 mg/l (p<0.05). There is an correlation between the concentration of detergent LAS and the embryo development stadium toward the embryo abnormality. The increase of detergent LAS concentration resulted in the increase of the abnormal embryo percentage, especially in the critical development stadium that are gastrula, neurula and hatching period. The detergent LAS at the concentration of 0.8 mg/l ; 1.6 mg/l ; 2.4 mg/l ; 3.2 mg/l and 4 mg/l did not decrease the F. cancrivora embryo hatching level. Nevertheless, the higher the concentration of detergent LAS, the higher the death percentage of the frog embryo would be. Key words : Fejervarya cancrivora, Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS), abnormality of embryo

1. PENDAHULUAN Saat ini penggunaan deterjen sebagai bahan pencuci dalam rumah tangga sudah sangat luas. Pemakaian

terus-menerus setiap hari menyebabkan jumlah deterjen yang masuk ke perairan semakin meningkat. Hasil pemantauan kualitas air di Kali Mas yang dilakukan

Perum Jasa Tirta pada tahun 1995 menunjukkan kadar deterjen yang

dan ketahanan hidup larva ikan Fathead Minnow (Lewis, (Pimephales 1991) dan promelas) gangguan

tinggi, tidak memenuhi baku mutu kualitas air (0,82-1,43 mg/l), yaitu ratarata 1,91 mg/l (Retnaningdyah, 1999). Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang banyak

perkembangan telur dan larva ikan Bluegill (Lepomis macrohirus)

(Anonymous, 1991). Efek toksisitas pada awal

digunakan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis (Bressan dkk., 1991). Penggunaan deterjen yang luas menyebabkan deterjen dapat

perkembangan embrionik dan larva dipelajari karena merupakan saat yang paling sensitif terhadap bahan toksik (Mc Kim, 1977 dalam Gray dan Metcalfe, 1999). Beberapa peneliti

ditemukan dalam air sungai, air minum, sedimen, dan tanah (Lewis, 1991). Kadar deterjen yang tinggi

ekotoksikologi memilih embrio serta larva katak sebagai indikator biologis terjadinya pencemaran perairan dengan metode FETAX (Frog Embryo

dalam perairan bersifat toksik pada organisme perairan sehingga dapat

menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan (Lewis,1991; Bressan dkk., 1991). Pada embrio yang sedang

Teratogenesis Assay-Xenopus), yaitu uji toksisitas 96 jam terhadap

perkembangan embrio katak (Prestutti dkk., 1994; Bantle dkk., 1999). F. cancrivora (katak sawah) adalah amfibi yang hidupnya di sawah dan juga di sekitar sungai (Iskandar, 1998). Jenis ini selalu berada pada habitat yang berkaitan dengan kegiatan manusia, karena itu hidupannya akan dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Deterjen yang terdapat di perairan dapat mencemari perairan yang merupakan tempat bereproduksi, perkembangan

berkembang efek teratogenik deterjen akan menghambat keberhasilan telur menetas menjadi larva serta ketahanan hidup larva (Anderson dan

DAppolonia, 1978). Pada konsentrasi lebih dari 0,45 ppm, LAS dalam

mempengaruhi

gastrulasi

pembentukan skeleton embrio landak laut Paracentrotus lividus. LAS juga menyebabkan gangguan perkembangan embrio siput Lymnea rubiginosa dalam pembentukan blastomer dan cangkang (Retnaningdyah dkk, 1999). Deterjen LAS juga berpengaruh pada daya tetas

embrio serta larvanya yang disebut berudu.

METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang

sehingga kutub animal yang gelap karena berpigmen akan tampak di permukaan, sedangkan telur yang tidak dibuahi umumnya menunjukkan warna coklat muda pada bagian vegetal yang

digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design). - Pembuahan Katak betina dewasa dengan panjang badan lebih dari 10 cm yang telah dewasa (siap kawin) dilakukan stripping untuk mengeluarkan telur dari uterus. Telur yang pertama keluar dibuang karena biasanya tercampur cairan kloaka sehingga telur sulit untuk dibuahi. Telur yang digunakan adalah telur yang keluar berikutnya. Untuk perkembangan embrio yang optimum tiap satu telur membutuhkan cairan 2 cc, sehingga dibutuhkan 20 cc cairan untuk tiap 10 telur perlakuan dalam cawan petri. Prosedur pembuahan sel telur dilakukan dengan menggunakan metode Plowman dkk.(1991). Suspensi sperma dari sepasang testes yang dicincang dalam 10 cc air dipipet dan diteteskan di atas telur, kemudian ditunggu selama 45 detik agar proses pembuahan

tampak di permukaan. - Penelitian pendahuluan Sebelum dilakukan penelitian utama

penelitian

pendahuluan

untuk menentukan kisaran pemberian konsentrasi LAS yang tepat sebagai perlakuan terhadap perkembangan menentukan

embrio, yaitu dengan

konsentrasi tertinggi embrio yang masih hidup sesudah neurulasi. Telur yang telah dibuahi katak

ditempatkan

sebanyak 5 telur masing-masing ke dalam 5 cawan petri, kemudian diberi perlakuan deterjen LAS dengan

konsentrasi 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l, 8 mg/l, dan 10 mg/l sampai neurulasi. - Penelitian utama Dalam penelitian utama, 10 telur katak yang telah dibuahi masing-masing diletakkan pada 6 buah cawan petri. Tiap cawan petri diberi perlakuan deterjen LAS dengan konsentrasi 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dari hasil penelitian awal, yaitu 4 mg/l, 3,2 mg/l, 2,4 mg/l, 1,6 mg/l, dan 0,8 mg/l, dan satu cawan petri sebagai kontrol.

berlangsung. Pembuahan berhasil jika setelah beberapa adanya menit bagian telur gelap

menunjukkan

(kutub animal) berada di atas. Dalam waktu 20 menit, telur yang sudah dibuahi akan mengadakan rotasi

Pengamatan

perkembangan

embrio

pada

stadia

ini

karena yang pengaruh

embrio dilakukan pada stadia 4 sel, 8 sel, 16 sel, blastula, gastrula, neurula, kuncup ekor, dan saat menetas

terdapatnya melindungi

lapisan-lapisan telur dari

lingkungan sekitarnya, yaitu lapisan bungkus vitellin gelatin yang dan pembungkus mampu

(hatching). Persentase telur yang normal dan abnormal pada setiap stadia

masih

dihitung dan morfologis

bentuk-bentuk respon berupa abnormalitas

menghambat penetrasi deterjen. Selain itu adanya sifat totipotent (Yatim, 1994) yang memungkinkan bila terpapar zat yang berbahaya, sel embrio yang masih hidup akan menggantikan sel yang rusak atau mati, hingga berkembang menjadi embrio yang normal. Sel-sel yang terbentuk dari beberapa

perkembangan embrio pada perlakuan berbagai konsentrasi deterjen LAS yang nampak pada setiap untuk stadia juga

diidentifikasi perkembangan

membandingkan perlakuan

embrio

dengan embrio normal (kontrol). Hasil pengamatan disertai dengan gambar foto. Untuk melihat perbedaan

pembelahan yang pertama ini sebagian besar secara morfologi dan aktifitas sintesisnya tidak di spesialisasikan, jadi jika terjadi kerusakan dan kematian akan dapat digantikan oleh sel yang sama (Carlson, 1996). Rata-rata abnormal yang persentase dihasilkan embrio dari

perkembangan oleh pengaruh perlakuan dilakukan analisis secara statistik

dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA) (Steel dan Torrie, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pengaruh berbagai konsentrasi deterjen LAS tidak sama pada tiap stadia. Pada stadia 4 sel sampai blastula perlakuan deterjen LAS 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l, dan 4 mg/l tidak berpengaruh pada perkembangan embrio, karena tidak ditemukan embrio abnormal. berpengaruh Deterjen pada LAS tidak

perlakuan deterjen LAS pada tiap stadia dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel 1 terlihat bahwa terjadinya embrio

abnormal dimulai pada stadia gastrula, kemudian makin meningkat pada stadia neurula, dan tidak terjadi peningkatan pada stadia selanjutnya sampai menetas. Hasil analisis statistik

didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,5) pengaruh

perkembangan

perlakuan deterjen LAS konsentrasi 0,8

mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l dan 4 mg/l terhadap abnormalitas embrio pada stadia gastrula, antara konsentrasi 3,2 mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, dan 4 mg/l serta konsentrasi 4mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l dan 3,2mg/l. Kenaikan persentase embrio abnormal terhadap pengaruh perlakuan deterjen LAS dimulai pada konsentrasi perlakuan 2,4 mg/l, dan paling tinggi pada konsentrasi 4 mg/l yaitu 66 0,4785. Stadia gastrula merupakan

dan 2 adalah terbentuknya eksogastrula, yaitu penonjolan keluar dari suatu lapisan sel. Pada gambar irisan embrio stadia gastrula yang normal, terdapat sumbat yolk (yolk plug) pada bibir blastopor, tetapi pada gambar gastrula yang abnormal terdapat sel-sel yang seharusnya pada saat gastrulasi sel-sel tersebut melalui bibir dorsal blastopor masuk ke dalam dan berinvolusi. Cara kerja deterjen terhadap kerusakan sel embrio dengan cara berinteraksi dengan membran sel dan enzim sehingga menyebabkan suatu perubahan struktur ultra seluler (Connel dan Miller, 1995). Deterjen merusak membran sel dengan cara melepaskan protein, lemak dan molekul lainnya dari membran. Sisi hidrofobik deterjen akan membentuk kompleks dengan membran protein dan lemak dan melarutkan komponen protein dan lemak (Darnell dkk., 1990), sehingga terbentuk

periode sensitif dalam perkembangan yang sangat rentan terhadap bahan toksik di lingkungan (Anderson dan DAppolonia (1978). Stadia ini

merupakan tahap perkembangan embrio saat sel-sel embrio yang sedang

berdifferensiasi sangat sensitif terhadap bahan toksik (Setokoesoemo, 1986) . Seperti diketahui periode kritis

perkembangan hewan perairan adalah pada saat gastrulasi, saat menetas, awal dan

komplek surfaktan, lemak, dan protein bercampur misel. (Zubay 1983 dalam Zulaika,1997). Toksisitas terjadi karena imobilisasi dinding sel sehingga terjadi hambatan enzim atau transmisi selektif ion-ion melalui membran. Terjadinya pemaparan yang pada periode sensitif embrio gangguan ini akan menyebabkan menyebabkan

organogenesis,

metamorfosis. Pada stadia awal gastrula terjadi terganggu diferensiasi akan dan apabila pada

berpengaruh organ

pembentukan

selanjutnya.

Pengaruh deterjen LAS yang terlihat pada stadia gastrula embrio F.

sehingga

cancrivora sebagaimana pada Gambar 1

terjadinya abnormalitas pada embrio.

Tabel 1.

Rata-rata persentase embrio tidak normal terhadap pengaruh deterjen LAS 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l dan 4 mg/l tiap stadia Rata-rata embrio abnormal (%) 0,8 mg/l 1,6 mg/l 2,4 mg/l 3,2 mg/l 00 4 0,1979 6 0,2399 6 0,2399 6 0,2399 00 8 0,274 16 0,3703 18 0,3881 16 0,3703 00 16 0,3703 28* 0,4536 26* 0,4431 16 0,3703 00 40* 0,4949 58* 0,4986 58* 0,4986 54* 0,5035

Perlakuan 0 mg/l Stadia Bastula Gastrula Neurula Kuncup ekor Menetas (hatching) 4 0,0879 2 0,1979 2 0,1414 2 0,1414 2 0,1414

4 mg/l 4 0,1979 66* 0,4785 76* 0,4314 76* 0,4314 64 0,4849

Keterangan: Tanda * menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 1. Embrio stadia gastrula : (a) embrio abnormal; (b) embrio normal.

(a)

(b) Gambar 2. Irisan embrio katak stadia gastrula: (a) abnormal; (b) normal

(a)

(b)

Pada stadia neurula terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05) pengaruh terhadap perlakuan terjadinya deterjen LAS

mg/l dan yang paling tinggi pada konsentrasi 4 mg/l dengan abnormalitas rata-rata merupakan sebagaimana karena 76 pada 0,4314. yang stadia proses Neurulasi sensitif gastrula, awal

abnormalitas

periode

embrio. Pengaruh deterjen LAS akan semakin tinggi mulai konsentrasi 2,4

merupakan

organogenesis yang menurut Anderson dan DAppolonia (1978) merupakan periode sensitif yang sangat rentan terhadap zat teratogen. Periode ini merupakan tahap kritis untuk timbulnya cacat struktural, karena terjadinya

pada stadia neurula sudah tidak ada, karena pada akhir gastrulasi yolk sudah masuk kedalam dan embrio dikelilingi oleh ektoderm. Gambar embrio yang normal dan abnormal pada stadia

neurula dapat dilihat pada Gambar 3. Pada stadia kuncup, ekor embrio dalam proses organogenesis organ-organ untuk yang

pemisahan kelompok sel dan jaringan untuk membentuk organ. Abnormalitas embrio yang terjadi adalah masih adanya sisa sumbat yolk di bagian blastopor yang seharusnya

pembentukan

dibutuhkan setelah hatching, seperti

Gambar 3. Embrio katak stadia neurula: (a) abnormal; (b) normal

(a)

(b) embrio yang abnormal dan pengaruh berbagai konsentrasi perlakuan terhadap terjadinya abnormalitas embrio. Hal ini juga terjadi pada stadia neurula.

insang luar dan alat penghisap serta proses pembentukan kuncup ekor yang diiringi dengan pemanjangan tubuh (Rugh, 1961). Walaupun demikian tidak ada kenaikan rata-rata persentase

Gambar 4. Embrio katak stadia kuncup ekor (a) normal dan (b) abnormal

(a)

(b)

Embrio stadia kuncup ekor yang tidak normal dapat diamati dari ukuran tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan yang normal (gambar 4). Abnormalitas yang lain tidak dapat diamati karena

pada stadia ini belum terbentuk organorgan yang bentuknya dapat diamati. Terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05) pengaruh perlakuan deterjen LAS terhadap abnormalitas berudu saat

menetas (hatching). Pengaruh terkecil pada perlakuan 0,8 mg/l dengan 6

dan sepasang insang luar berkembang dan berfungsi dengan baik. Bentuk tubuh berudu yang normal dapat dilihat pada Gambar 5.5 f - g.

persentase

abnormalitas

berudu

0,2399. Sedangkan pengaruh deterjen LAS terbesar pada konsentrasi 4 mg/l dengan persentasi rata-rata berudu yang abnormal sebesar 64 0,4849.

KESIMPULAN DAN SARAN Deterjen LAS dapat

Persentase berudu yang abnormal pada saat menetas menurun dibandingkan dengan rata-rata persentase pada saat kuncup ekor. Pada stadia ini persentase kematian larva meningkat, terutama pada perlakuan deterjen LAS 4 mg/l. Terdapat berbagai bentuk

meningkatkan terjadinya agnormalitas embrio dan berudu katak F. cancrivora. Persentase embrio yang abnormal

semakin besar dengan meningkatnya konsentrasi deterjen LAS. Pada stadia gastrula peningkatan embrio abnormal pada perlakuan deterjen LAS

abnormalitas berudu pada saat menetas, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5 a-e. Macam abnormalitas bentuk berudu antara lain adalah: panjang tubuh dengan ukuran yang lebih pendek daripada berudu normal, serta sumbu tubuh yang abnormal dengan kelainan pada ekor yang melengkung membelok ke kiri atau ke kanan. Sedangkan berudu yang pada saat menetas mati, abnormalitas berupa kekerdilan serta tidak adanya sepasang insang luar

konsentrasi 3,2 mg/l dan 4 mg/l. Pada stadia neurula terdapat peningkatan abnormalitas berturut-turut pada

perlakuan 2,4 mg/l, 3,2 mg/l, dan 4 mg/l. Pada saat menetas persentase berudu abnormal menurun karena

berudu yang abnormal gagal untuk menetas dan mengalami kematian. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa deterjen LAS yang terdapat di lingkungan perairan akan berpengaruh terhadap perkembangan embrio katak, terutama pada periode kritisnya, diferensiasi, yaitu setelah sehingga terjadinya katak

embrio yang abnormal, sehingga pada saat menetas tidak dapat bertahan hidup. Berudu yang normal pada saat menetas bentuk tubuhnya streamline, sumbu tubuh normal, notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor,

F. cancrivora dapat digunakan sebagai indikator biologis terjadinya

pencemaran pada perairan.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g) Gambar 5. Berudu F. cancrivora saat hatching: (a-b) abnormal mati; (c-e) abnormal hidup; (f-g) normal.

Daftar Pustaka Anderson, P. D. and S. D Appolonia. 1978. Aquatic Animals. Dalam : Buttler, G. C. (ed.). Principles of Ecotoxicology . John Wiley & Sons. Chichester. Anonymous. 1991. Environmental and Human Safety of Major Surfactants. Volume 1. Anionik Surfactants. Part I. Linear Alkylbenzene Sulfonates. The Soap and Detergent Association, New York.

Bantle, J. A., R. A. Finch, D. D. Fort, E. L. Stover, M. Hull, M. Kumsherking, and A. M. GaudetHull. 1999. Phase III Interlabory Study of FETAX. Part 3. FETAX Validation Using 12 Compouns with and without An Exogenous metabolic Activation System. J. Appl. Toxicol 19(6) : 447-472. Bressan, M., M. G. Marin and R. Brunetti. 1991. Effect of Linear Alkylbenzene Sulphonate (LAS) on Skeletal Development of Sea

Urchion Embryos (Paracentrotus lividus LMK). Wat. Res. 25 (5) . : 613 616. Darnell, J., H. Lodish and D. Baltimore . 1990 . Molecular Cell Biology . 2nd ed. Scientific Americans Books, Inc. New York. Gray, M. A. and C. D. Metcalfe . 1999 . Toxicity of 4-tert-octylphenol to Early Life Stages of Japanese Medaka (Oryzias latipes) . Aquatic Toxicology 46: 149-154. Iskandar, D. T. 1998 . Amfibi Jawa dan Bali . Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Lewis, M. A. 1991 . Chronic and Sublethal Toxicities of Sutfactants to Aquatic Animals : A Review and Risk Assessment . Wat. Res 25 (1) : 101-113. Misyura, A. N. 1996. Amphibians under Pollution Impact in Ukraine . Froglog .Nov. 1996. Pressutti, C., C Vismara,M. Camatini, and G. Bernardini. 1994. Ecotoxicological Effects of A Nonionik Detergent (Triton DF16) Assayed by modFETAX. Bull. Envirom. Contam. Toxicol. 53(3) : 405411. Retnaningdyah, C., S. Samino, Suharjono, A. Kurniawati, dan

Prayitno. 1999. Pengaruh Surfaktan Deterjen (LAS dan ABS) terhadap Perkembangan Embrio Siput (Lymnaea rubiginosa) dari Kali Mas Surabaya. Seminar Nasional Biologi Menuju Milenium III. UGM, Yogyakarta. Rugh, R. 1961 . The Frog Its Reproduction and Development . Tata McGraw-Hill Book Company Inc. New Delhi. Setokoesoemo, B. R. 1986. Masalah Pengaruh Lingkungan pada Perkembangan Embrio. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. Steel, R. G. D. dan J. H.Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, suatu pendekatan biometrik. Edisi kedua. Terjemahan. Gramedia. Jakarta. USGS-BRD News Releases . 1998. Amphibian Research. Zulaika, E. 1997. Pengaruh Surfaktan Terhadap Sintesis Protein dan Diferensiasi Embrio Landak Laut (Toxopneustes sp). Thesis . Program Pasca Sarjana,Universitas Brawijaya, Malang.

You might also like