You are on page 1of 6

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE (studi kasus PENGOLAHAN TEMPE MANDIRI DI DESA BUGEL KECAMATAN SIDOREJO Pendahuluan 1.1.

Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan masyarakat tampaknya semakin bervariasi. Oleh karena itu, makanan modern seperti junkfood, instant, cenderung lebih digemari masyarakat karena lebih praktis dan mudah diperoleh. Hal ini membuat produksi makanan tradisional mengalami penurunan karena banyaknya pesaing khususnya makanan modern. Akan tetapi, salah satu makanan tradisional yang tetap bertahan dan digemari masyarakat adalah tempe. Tempe merupakan makanan khas Indonesia terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa. Bukan menjadi hal asing jika mendengar makanan tradisional ini. Makanan tradisional yang berbahan dasar kedelai diolah dengan proses fermentasi (pembusukan dengan perantaraan jamur) ini banyak digemari oleh berbagai kalangan. Makanan tradisional tempe ternyata tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di Indonesia, namun sudah mulai dinikmati oleh masyarakat mancanegara. Oleh karena gizi yang terkandung dalam tempe seperti, protein nabati dan serat seperti : kalsium, vitamin B serta zat besi dapat dijadikan sebagai pengganti daging, sehingga sangat digemari dan dicari oleh, terutama kaum vegetarian di seluruh dunia (Russanti, 2007). Dilihat dari sisi kuantitas tempe juga mengandung asam lemak esensial, antioksidan yang dapat menghambat proses penuaan isoflavon yang berfungsi sebagai anti kanker, vitamin B12 yang tinggi, kaya akan serat makanan, phospor yang berguna bagi untuk berbagai reaksi metabolisme tubuh serta mengandung antibiotik alami yang dapat menghambat munculnya berbagai penyakit, protein nabati yang cukup tinggi (/www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=168). Tempe secara mikrobiologis pada dasarnya dibuat melalui dua tahap proses, proses pertama adalah perendaman dan proses kedua adalah fermentasi jamur. Dalam fermentasi jamur bisanya tumbuh pula bakteri patogenik dan bakteri ini dapat dihambat oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang ada selama perendaman (Nout et al, 1987, 1988). Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946. Sementara itu, tempe populer di Amerika Serikat setelah pertama kali dibuat pada tahun 1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe. Di Jepang, tempe diteliti sejak tahun 1926 tetapi baru mulai diproduksi secara komersial sekitar tahun 1983. Pada tahun 1984 telah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain, seperti Republik Rakyat Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas (wikipedia). Sudah sewajarnya ketika terdapat permintaan tempe tentunya ada penawaran. Untuk itu bermunculan industri pengolahan tempe. Di Indonesia sendiri pada tahun 1999 terdapat 135 koperasi tahu tempe yang tersebar di seluruh Indonesia. Dimana beberapa industri pengolahan masih menggunakan alat sederhana. Produksi tempe merupakan produksi yang mahal. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sutarto Alimoeso menjelaskan, dengan harga kedelai saat ini yaitu Rp 4.000 per kg untuk kualitas satu dan Rp 3.500-Rp 3.600 per kg untuk kualitas rendah tentu belum bisa menutup beban produksi (http://www.kontan.co.id). Dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini membahas tentang analisis ekonomi

dan pengembanganya usaha mikro pada industri pengolahan tempe. Dalam penelitian ini, kelompok kami mengambil contoh industri pengalahan tempe di Desa Bugel Kecamatan Sidorejo. 1.2Persoalan Penelitian Beberapa hal yang menjadi pertanyaan kami sebagai dasar penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses pembuatan tempe sesuai dengan penelitiaan? 2. Bagaimana analisis ekonomi usaha pengolahan tempe? 3. Bagaimana perekonomian rumah tangga pemilik usaha tempe? 4. Apa kendala dalam usaha pengolahan tempe? 5. Bagaimana strategi pengembangan usaha pengolahan tempe? Tujuan Penelitian. Dari persoalan penelitian yang menjadi pertanyaan maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui proses pembuatan tempe 2. Analisis ekonomi usaha pengolahan tempe 3. Perekonomian rumah tangga pemilik usaha tempe 4. Kendala usaha pengolahan tempe 5. strategi pemasaran 6. Strategi pengembangan usaha pengolahan tempe. 2.1. Telaah Teoritis Pekerja undang-undang no 5 tahun 1984 tentang perindusrian memberikan pengertian industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah , bahan baku, bahan setengah jadi , dan/atau barang jadi menjadi barang nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri UKM adalah singkatan dari usaha kecil dan menengah. Ukm adalah salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara maupun daerah, begitu juga dengan negara indonesia ukm ini sangat memiliki peranan penting dalam lajunya perekonomian masyarakat. Ukm ini juga sangat membantu negara/pemerintah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru dan lewat ukm juga banyak tercipta unit unit kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah tangga(http://www.usaha-kecil.com/usaha_kecil_menengah.html). Untuk itu Reinald Kasali membagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok UMKM ber-DNA alpha adalah UMKM yang berpotensi tumbuh menjadi powerhouse ekonomi lokal di tiap-tiap daerah. Usaha tersebut dapat berhubungan dengan sumber daya alam, pengolahan, perdagangan, ataupun jasa. Biasanya kelompok ini sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan seperti visi pemilik yang tidak sekadar mencari uang, memiliki keseriusan membangun kualitas SDM, dan berorientasi pada inovasi. Kelompok kedua adalah UMKM dengan DNA betha. Kualitas mereka sedikit di bawah UMKM ber-DNA alpha sehingga pertumbuhannya tidak begitu cepat, namun mereka fokus, sedang mencari bentuk, dan membutuhkan bimbingan dari para senior, bankir, dan para pelaku usaha dalam clusternya masing-masing. Kelompok ketiga adalah UMKM marginal. Mereka terdiri atas beberapa kelompok, yakni marginal alpha, marginal bethadan marginal zetha. Seperti namanya, UMKM marginal adalah UMKM yang benar-benar menderita kurang gizi, dibangun seadanya, sekadar untuk

menyambung hidup. Orientasi mereka adalah perut, yaitu bagaimana menyambung hidup. Sebagian besar usaha mereka terlihat redup, kadang buka, kadang tutup. PEMBAHASAN 3.1. Karakteritik responde: Nama : Murdiasih Umur : 40 tahun Pendidikan terakhir : SLTA Jumlah anggota keluarga : 5 orang (yang menjadi tanggungan) Jenis usaha : Pengolahan Tempe Mandiri Alamat tempat usaha : Sawo RT/RW 1/01 Bugel kecamatan Sidorejo Tahun mulai usaha : 1998 Jumlah tenaga kerja yang terlibat : 2-3 orang Kondisi tempat tinggal : - Kepemilikan, : milik sendiri Jenis bangunan, : Permanen Fasilitas, : listrik, air (menggunakan listrik) 3.2. Gambaran proses produksi Proses produksi pengolahan tempe di mulai dari pemilihan kedelai, dengan membuang kedelai yang rusak / busuk. Selanjutnya kedelai dicuci bersih dan direndam dalam air panas selama semalam. Pagi harinya kedelai yang sudah direndam semalam di cuci kembali hingga bersih dan direbus sampai mendidih. Kedelai yang sudah direbus kemudian di cuci kembali dengan air yang mengalir. Kemudian dilakukan penggilingan agar kulit kedelai terkelupas. Kedelai yang sudah di giling dan bersih diberi ragi secukupnya lalu dicetak dalam plastik. Pemberian ragi disesuaikan dengan cuaca, jika cuaca dingin maka pemberian ragi akan diperbanyak 3.3. Analisis ekonomi usaha pengolahan tempe Transaksi Nominal Unit Waktu Total Penjualan 1.300.000 30 39.000.000 39.000.000 Biaya Bahan Baku 750.000 30 22.500.000 Tenaga Kerja 20.000 3 30 1.800.000 Biaya lain2 Ragi 7.000 2 30 420.000 Plastik 20.000 30 600.000 Kayu 20.000 30 600.000 Listrik 160.000 1 160.000 Total Biaya 26.080.000 Laba 12.920.000 Laba dalam satu bulan perusahaan pengolahan mandiri mencapai 12.290.000. Dengan hasil Penjualan satu bulan mencapai 39.000.000 setelah dikurangi dengan total biaya sebesar 26.000.000. biaya-biaya yang meliputi bahan baku dan bahan pendukung yang lainya. Biaya bahan baku 22.500.000 dan biaya pendukung meliputi biaya tenaga kerja 1.800.000 dan biaya lain-lain yang meliputi ragi plastic, kayu, listrik 1.780.000. Melihat laba ternyata produksi pengolahan tempe mempu menghasilkan laba yang

rekative tinggi. Perusahaan pengolahan tempe pun mampu bertahan saat terjadi kenaikan harga bahan baku kedelai 3.4. Perekonomian rumah tangga pemilik usaha tempe Total pendapatan : Hasil usaha, tidak terdapat sumber lain Pengeluaran perbulan Pengeluaran makanan : Rp 1.500.000,Pengeluaran non makanan -Kebutuhan pribadi Rp 100.000,-Kebutuhan sosial sumbangan pesta Rp100.000,3.5. Strategi Pemasaran Pasca Produksi. 3.5.1. Pengemasan Produk Pengemasan pasca produksinya perusahaan mendiri membuat kemasan dalam berbagai ukuran. Berikut ukuran-ukuran: 1. 23 X 35 dijual dengan harga 5.000 2. 23 X 27 dijual dengan harga 3.000 3. 13 X 20 dijual dengan harga 1.000 4. 14 X 25 dijual dengan harga 1. 500 3.5.2. Strategi Pendistribusian Seluruh produksi dipasarkan di Salatiga. Dengan teknis melalui tiga strategi pendistribusian yang digunakan. Berikut adalah strategi yang digunakan untuk mendistrbusikan hasil produksi : 3.5.2.1Langsung kekonsumen. Konsumen tempe langsung datang ke produsen untuk membeli. Sebagian besar merupakan tetangga dengan pengusaha. Sehingga mereka langsung berhubungan antara produsen dengan konsumen. Selain itu, pedagang sayur keliling juga datang ke produsen tempe secara langsung. 3.5.2.2. Dijual ke pasar. Dengan mendistribusikan (dikirim secara langsung oleh produsen) kepada penjual di pasar. 3.5.2.3 Kafe dan warung makan Selain kedua strategi pemasaran tersebut, produsen juga memasarkan di beberapa kafe dan warung makan. Tempe yang telah diproduksi didistribusikan (dikirim secara langsung oleh produsen) ke kafe dan warung makan. Dari ketiga strategi pemasaran ini, menggunakan sistem yang sama yaitu dengan langsung membayar (cash) sejumlah barang yang diterima. -Uang saku anak / hari Rp 12.000,3.6. Kendala usaha pengolahan tempe Kendala Usaha dan pemecahanya. Dari hasil wawancara ditemukan beberapa kendala yang dihadapi oleh industri pengolahan tempe Mandiri. Terdapat dua kendala besar yang dihadapi : 3.6.1 Harga bahan baku kedelai. Beberapa tahun berikut ini sempat mengalami kenaikan harga kedelai. Yang merupakan bahan baku pembuatan tempe. Secara langsung mempengeruhi biaya produksi pembuatan tempe. Hal ini membuat pengusaha mencari alternatif untuk

mengatasi tekanan biaya bahan baku. Untuk mengantisipasinya dengan memperkecil ukuran tempe namun harga jual tetap, sehingga produsen tidak kehilangan pelanggan dan pelanggan tetap bisa menikmati. 3.6.2. Faktor cuaca. Ketika cuaca panas lebih mempercepat proses produksi. Hal ini berkaitan dengan proses fermentasi. Semakin panas peragian akan semakin cepat, namun sebaliknya jika cuaca hujan akan sedikit memakan waktu. Untuk mengatasi kendala ini dengan cara menambah ragi untuk mempercepat proses produksi. 3.6.3. Jumlah produksi. Terkadang proses produksi melebihi batas yang di dibutuhkan pasar. Untuk itu terdapat sisa dari proses produksi. Hal ini secara langsung mempengaruhi pendapatan. Kuantitas penjualan berkurang maka akan mengurangi pendapatan dari sisa penjualan tersebut. Untuk itu perlu adanya strategi untuk mengatasinya. Strategi yang digunakan adalah dengan menjual tempe bosok (tempe sisa produksi yang mulai menimbulkan aroma tidak sedap). Penjualan tempe bosok ini juga bisa meminimalkan kerugian pendapatan, karena beberapa masyarakat masih menggunakan tempe tersebut sebagai campuran bahan masakan. 3.6. Strategi pengembangan usaha pengolahan tempe. Pada proses selanjutnya pengusaha mengembangkan usahanya dengan menambah lini produknya. Untuk menyiasati berkurangnya jumlah penjualan tempe Mandiri, mulai berfikir untuk mencoba alternatif produk lain. Diantaranya adalah sebagai berikut 3.6.1.1. Susu kedelai Produk ini tidak diproduksi secara berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan dua faktor yang mempengaruhi. Pertama, jumlah permintaan terhadap susu kedelai yang tergolong masih sedikit. Namun, apabil terdapat permintaan khusus maka akan mulai diproduksi sesuai permintaan. Kedua, berkaitan dengan cuaca. Hal ini dikaitkan dengan permintaan, cuaca panas semakin banyak permintaan untuk memproduksi. Sebaliknya semakin sedikit yang diproduksi pada musim hujan. 3.6.1.2. Kripik tempe Kripik tempe merupakan salah satu strategi pengembangan usaha tempe yang digunakan untuk menyiasati apabila terjadi penurunan jumlah penjualan tempe dan susu kedelai. Ketika terdapat sisa produksi dapat diproduksi kembali menjdi keripik tempe. Dengan begitu akan menambah pendapatan. Khusus untuk kripik tempe ini belum di kembangkan secara intenif. Pada pegembangan industri pada lini produk ini masih dalam tahap menoba belum pada tahap implementasi secara berkala. 4.1. Kesimpulan. Dari penelitian yang kami lakukan terdapat beberapa kesimpulan yang mengarah pada satu titik dimana profil industri pengolahan tempe mandiri di desa bugel Kecamatan sidorejo. Penapatanya cukup tinggi dengan dalam satu bulan meraih laba sebesar 12.920.000 Pengembangan usaha di laksanakan dengan sederhana. Dalam setiap proes baik pemasaran pun dilakukan dengan sangat sederhana. Masih dalam pengambangan dan mencari bentuk baru dalam menjalankan usahanya. Dari ketiga point yang menjadikan kesimpulan mengarah kepada satu titik bahwa

pengembangan yang dilakukan sengan sangat sederhana. Sehingga menurut teori yang di kembangkan renald kasali usaha ini masih termasuk dalam indusri umkm alfa. Meskii dilakukan dengan sederhana industtri ini masih ingin membuat inovasi baru dengan mengembangkan lini produknya. Selain itu dilihat dari sisi laba produksi yang tinggi.

You might also like