You are on page 1of 19

Pembagian Waris Menurut Islam

oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsayaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman: "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16) "... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58) Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.: 'Ulama adalah ahli waris para nabi'. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i. Pengertian Peninggalan Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan

Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah: 1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya. 2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan." Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang

menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak. Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris. 3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang." 4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian). Catatan: Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

(sebelum, sesudah) Pembagian Waris Menurut Islam oleh Muhammad Ali ash-Shabuni penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995 Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Tel.(021) 7984391-7984392-7988593 Fax.(021) 7984388 ISBN 979-561-321-9 assalamualaikum wrwb. setelah beberapa lama tidak mengisi postingan kali ini kajian-islam akan coba membahas secara singkat tentang warisan. DEFINISI WARISAN Warisan adalah segala sesuatu ( harta ) peninggalan yang di tinggal kan pewaris kepada ahli waris. secara bahasa warisan berasal dari bahasa arab al-miirats, yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain,Atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya. Harta Warisan yang dalam istilah faraid dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainyayang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya. RUKUN WARIS Ada tiga hal : a. Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan. b. Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati. c. Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris. SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN Ada tiga sebab : a. Nasab Hakiki (kerabat yang sebenarnya), firman Allah SWT: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah (S.8 :75) b. Nasab Hukumi (wala = kerabat karena memerdekakan), sabada Rosululloh saw: Wala itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab (HR Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan dia menshahihkan pula). c. Perkawinan yang Shahih, firman Allah SWT: Dan bagimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu. (An-Nisaa ayat 12)

ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA WARISAN Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut mazhab Hanafi, tersusun sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Ashhaabul Furuudh Ashabah Nasabiyah Ashabah Sababiyah Rodd kepada Ashhaabul Furuudh Dzawul Arhaam Maulal Muwaalah Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan Baitul Maa

demikianlah sedikit penjelasan tentang warisan semoga bermanfaat dan juga menambah wawasan buat kita semua. amin.

Pembagian Harta Warisan ketegori Muslim. Assalamuallaikum wr. wb. Kami 7 anak yang mendapat wasiat dari almarhum orang tua kami tentang pembagian harta waris, bahwa harta waris tersebut harus dibagi rata untuk tiap-tiap anak. Kami mempunyai saudara di luar dari pernikahan almarhum Bapak dan Ibu kami {anak dari ibu, ibu menikah dengan bapak dalam keadaan Janda beranak satu} yang juga menuntut hak dari harta waris tersebut. Tapi dalam wasiat almarhum bapak, saudara kami tersebut tidak disebut dalam pembagian harta waris dan juga almarhum Bapak tidak rela bila sebagian harta waris itu diberikan kepada saudara kami itu. Bagaimana hal ini dilihat dari sudut agama dan hukum yang berlaku di Indonesia, Pak Ustadz? Tolong ini penting sekali buat kami. Terima kasih. Wassalamuallaikum wr. wb. Yuniard Parinussa Jawaban Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Yang mendapatkan warisan hanyalah anak kandung dari almarhum yang meninggal dunia. Adapun anak tiri, seperti anak isteri dari mantan suaminya, tentu bukan termasuk ahli waris. Sehingga tanpa ada wasiat yang melarang anak tiri itu menerima harta, secara hukum waris memang tidak mendapatkan hak warisan apa-apa. Anak itu mendapatkan warisan dari ayah kandungnya bila wafat, atau dari ibunya bila beliau wafat. Tapi tidak menerima warisan dari orang yang bukan ayah atau ibu kandungnya. Maka yang mendapatkan warisan dari alamarhum ayah anda hanyalah isteri dan anak-anaknya. Dalam hal ini, bila ada anak laki-laki, maka saudara-saudara alamarhum ayah tidak mendapatkan warisan karena terhijab dengan adanya anak laki-laki. Khusus untuk isteri almarhum, bila jumlahnya ada dua atau lebih, sedangkan pada saat almarhum wafat, status mereka masih hidup sebagai isteri sah, maka semuanya mendapat 1/8 atau 12,5% dari total harta yang diwarisakan.

Kalau jumlah isterinya hanya 1 orang saja, maka 1/8 itu untuk dirinya sendiri. Tapi kalau jumlah 2 orang misalnya, maka 1/8 itu dibagi dua, jadi masing-masing mendapat 1/16 atau 6,75%. Sedangkan hak untuk anak-anak almarhum, sisa dari yang sudah diambil 1/8-nya itu. Yaitu 7/8 bagian atau 87,5% dari total harta. Karena anak-anak almarhum ada yang laki-laki dan juga perempuan, Allah SWT langsung menetapkan bahwa bagian anak laki-laki 2 kali lipat besarnya dari bagian anak perempuan. Sayang sekali Anda tidak menyebutkan berapa jumlah anak laki dan berapa jumlah anak perempuan. Jadi kami tidak bisa membagikannya. Tapi sekedar untuk mendekatkan masalah, anggaplah dari tujuh bersaudara itu ada yang laki-laki satu orang. Maka harta itu bukan dibagi tujuh sama besar, tapi dibagi 8 sama besar. Dan anak laki-laki akan mendapat 2 bagian. Sedangkan anak perempuan mendapat 1 bagian. Misalnya sisa harta yang 7/8 itu nilai nominalnya 8 milyar, maka anak laki-laki mendapat 2 milyar, sedangkan anak perempuan masing-masing mendapat 1 milyar. Bila Tidak Ada Anak Laki Namun penghitungan ini akan berubah bila almarhum tidak punya anak laki-laki. Yaitu pada terbukanya hijab untuk saudara almarhum dan jatah untuk 7 orang anak perempuan. Ketujuh anak perempuan itu hanya mendapat 2/3 dari total harta, sedangkan isteri almarhum berdua tadi sudah mendapat 1/8 dari total harta. Tentu harta ini masih bersisa, bukan? Berapa sisanya dan untuk siapa? Sisanya adalah 1 - = 1- = 119/24 = 5/24. Jadi 5/24 bagian dari harta almarhum itu jatuh kepada para ashabah, yang dalam hal ini saudara-suadara almarhum. Tentunya dengan ketentuan bahwa yang laki-laki mendapat 2 kali lebih besar dari yang perempuan. Wallahu alam bishshawab, wasssalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber Pembagian Harta Warisan : http://assunnah.or.id Sifat hukum waris adat Hukum waris adat adalah bagian dari hukum adat yang merupakan pencerminan dari bentuk masyarakat Indonesia. Hukum adat mempunyai sifat-sifat dan corak-corak. Menyimpang dari hukum Eropa Barat yang individualistis-liberalistis, hukum adat mempunyai corak-corak berikut : 1. Mempunyai sifat kebersamaan (communaal) yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan yang erat, rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan hukum adat. 2. Mempunyai corak magisch-religieus, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. 3. Sistim hukum itu diliputi oleh pikiran-pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan-perhubungan hidup yang konkrit. Sistim hukum adat mempergunakan jenis bentuk perhubungan hukum yang serba konkrit (misalnya bagaimana keadaan teman-teman semasyarakat, perhubungan jual (pemindahan) pada perjanjian tentang tanah, dsb). 4. Hukum adat mempunyai sifat yang sangat visual, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan). Hukum adat sebagai hukum tak tertulis dibentuk dan diselenggarakan oleh putusanputusan daripara penyelenggara hukum dalam masyarakat, yaitu pertama-tama para hakim dalam tata hukum gubernemen Hindia Belanda dan dalam tata-hukum daerah-daerah swapraja dan selanjutnya para kepala desa dalam lapisan bawah yang luas dari masyarakat desa. ( R,Soepomo, 1965 : hlm.107 ) Sebagai bagian dari hukum adat, maka sifat-sifat dan corak-corak tersebut dapat dilihat atau tercermin dalam hukum waris adat. Sifat komunal dapat dilihat dari sifat harta waris. Harta waris dalam hukum adat tidak merupakan kesatuan yang abstrak yang dapat dinilai dengan uang atau jika mungkin dibagi-bagi atau dijual kemudian hasilnya dibagi-bagi kepada warisnya, tetapi harta waris dalam hukum adat merupakan suatu kesatuan yang bersifat konkrit yang tidak dapat dibagi-bagi. Harta waris adat merupakan harta kebersamaan dari para waris. Dalam hukum adat juga tidak

ada hak untuk menolak menjadi waris, sifat ini menunjukkan kebersamaan dari para waris untuk menjadi waris. Dalam hal harta waris yang tidak dapat dibagi-bagi seperti harta kerabat di Minangkabau atau harta tunggu tubang di Semende, bukan berarti para waris yang lain tidak mempunyai hak terhadap harta tersebut. Demikian juga di Bali, tetapi para waris yang tidak menguasai atau memiliki harta tersebut berhak untuk menikmati hasil harta tersebut atau mendapat hak untuk memenuhi hasil harta tersebut atau mendapat hak untuk memenuhi keperluan hidup selagi masih kecil atau belum dewasa. Demikian juga hak waris lain, hukum waris adat tidak mengenal azas legiteieme portie atau bagian mutlak seperti dalam hukum waris islam maupun hukum waris menurut hukum barat. Sifat konkrit dalam hukum waris adat dapat dilihat dari pembagian harta waris. Biasanya dalam pembagian harta waris, tidak menurut jumlah yang sama persis antara para waris tetapi menurut perimbangan yang sesuai dengan keputusan musyawarah keluarga. Penyerahan harta waris kepada para waris biasanya ditentukan, terhadap harta tertentu diberikan kepada waris A, harta yang bertempat di X dibagikan kepada waris bernama B dan sebagainya. Jadi penyerahan atau pembagian harta waris dalam hukum adat adalah konkrit, nyata. Sifat religius magies dapat dilihat dari sikap dan prilaku para waris maupun pewaris sewaktu masih hidup. Pewaris tidak akan memberikan hartanya kepada waris jika menurut pandangan masyarakat dianggap bertentangan dengan hukum adatm dan pewaris tidak akan semena-mena terhadap waris lain atau merampas harta waris seluruhnya, karena perbuatan tersebut akan merusak kerukunan bahkan akan menghambat perjalanan roh pewaris yang telah wafat, dan para waris merasa takut melakukan perbuatan yang menurut kepercayaan setempat akan mendapat kutukan. Dalam beberapa harta tertentu misalnya dengan upacara adat. Semua ini menunjukkan sifat religius magies dalam hal harta waris. Sifat visual dalam hukum waris dapat dilihat dari penyerahan harta waris. Dalam hukum adat penyerahan harta waris harus terang dan disaksikan oleh para waris lain. Penyerahan itu berlangsung seketika, dan harta waris jatuh pada saat itu juga kepada waris. Bila dalam penyerahan itu, ada waris yang tidak hadir, biasanya ditangguhkan sampai waris tersebut hadir. Semasa hidup pewaris dapat menyerahkan sebagian harta waris kepada salah seorang pewaris yang ditunjuk. Penyerahan berlangsung ketika itu juga, tidak ditangguhkan sampai waktu tertentu. Selain dari sifat-sifat dan corak-corak di atas, hukum waris adat juga mempunyai sifat-sifat

terutama dalam harta waris. Menurut hukum waris adat, peninggalan tidak merupakan satu kesatuan dengan harta waris yang bukan harta harta peninggalan dari pewaris, karena itu harus dilihat asal-usul, sifat dan kedudukan dari harta-harta yang ada dalam hubungannya dengan pewaris. Sesuai dengan aliran pikiran bangsa Indonesia atau sifat-sifat yang disebutkan di atas, dalam hukum waris adat terdapat sifat-sifat khas sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila, seperti ditunjukkan oleh Hilman Hadikusuma. Dengan uraian yang berpangkal tolak dari sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, maka dapat kita simpulkan bahwa di dalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata terdapat asas kerukunan dan asas kesamaan hak dalam pewarisan, tetapi terdapat juga asas-asas hukum yang terdiri dari : a. asas Ketuhanan dan pengendalian diri b. asas Kesamaan hak dan kebersamaan hak c. asas Kerukunan dan kekeluargaan d. asas Musyawarah dan mufakat e. asas Keadilan dan Parimirma. Karena menunjukkan sifat-sifat dan corak yang khas itu, maka hukum waris adat mempunyai tempat tersendiri dari hukum waris lainnya. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Soepomo, Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang memang typerend bagi aliran pikiran tradisional Indonesia. Selanjutnya dikatakan Hukum adat waris bersendi atas prinsif-prinsif yang timbul dari aliran-aliran pikiran kommunal dan konkrit dari bangsa Indonesia. More About : Sifat Hukum Waris Adat

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar terjadinya perpecahan, bahkan pertumpahan darah antara sesama saudara atau kerabat dalam masalah memperebutkan harta waris. Sehubungan dengan hal itu, jauh sebelumnya Allah telah mempersiapkan dan menciptakan tentang aturan-aturan membagi harta waris secara adil dan baik. Hamba Allah diwajibkan melaksanakan hukum-Nya dalam dalam semua aspek kehidupan. Barang siapa membagi harta waris tidak sesuai dengan hukum Allah akan menempatkan mereka di neraka selama-lamanya. Lihat Al-Quran on line di google

Firman

Allah swt. Artinya: Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan (Q.S. An Nisa: 14)

A. Ketentuan Mawaris
Mawaris ialah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta waris. Mawaris disebut juga faraidh karena mempelajari bagian-bagian penerimaan yang sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi ketentuan. Adapun hukum mempelajarinya ialah fardhu kifayah. 1. Sebab-sebab seseorang menerima hartawarisan menurut Islam ialah sebagai berikut: a. Adanya pertalian darah dengan yang meninggal(mayat) baik pertalian ke bawah ataupun ke atas. b.Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. c.Adanya pertalian agama.Contoh jika seorang hidup sebatang kara, lalu meninggal maka harta waris masuk baitul mal. d.Karena memerdekakan budak. 2. Sebab-sebab seseorang tidak mendapat harta waris ialah sebagai berikut a.Hamba(budak) ia tidak cakap memiliki sebagaimana firman Allah swt. berikut. Lihat Al-Quran on line di google

Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui ( Q.S. An-Nahl:75). b. Pembunuh, orang yang membunuh tidak dapat mewarisi harta dari yang dibunuh. Sabda Rasulullah SAW. Artinya: Yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu dari yang dibunuhnya (H.R. Nasai) c. Murtad dan kafir, orang yang keluar dari Islam, yaitu antara pewaris atau yang mati, murtad salah satunya. 3. Syarat berlakunya pewarisan ada tiga: a. Adanya yang meninggal dunia, baik secara hakiki atau hukmi. b. Adanya harta warisan. c. Tidak penghalang untuk menerima harta warisan. B. AHLI WARIS Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah. Ahli ada dua jenis lelaki dan perempuan . 1. Ahli Waris lelaki terdiri dari. 1. Anak laki-laki 2. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki. 3. Ayah 4. Kakek sampai keatas garis ayah 5. Saudara laki-laki kandung 6. Saudara laki-laki seayah 7. Saudara laki-laki seibu 8. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah. 9. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah. 10. Paman kandung 11. Paman seayah 12. Anak paman kandung sampai kebawah. 13. Anak paman seayah sampai kebawah.

14. Suami 15. Laki-laki yang memerdekakan 2. Ahli Waris wanita terdiri dari 1. Anak perempuan 2. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki. 3. Ibu 4. Nenek sampai keatas dari garis ibu 5. Nenek sampai keatas dari garis ayah 6. Saudara perempuan kandung 7. Saudara perempuan seayah 8. Yang Saudara perempuan seibu. 9. Isteri 10. Wanita yang memerdekakan Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah. 1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari Yang dapat bagian harta. a. Anak perempuan kalau sendiri b. Cucu perempuan kalau sendiri c. Saudara perempuan kandung kalau sendiri d. Saudara perempuan seayah kalau sendiri e. Suami Yang mendapat bagian harta a.Suami dengan anak atau cucu b.Isteri atau beberapa kalau tidak ada anak atau cucu Yang mendapat 1/8 Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.

Yang mendapat 2/3 a.dua anak perempuan atau lebih b.dua cucu perempuan atau lebih c.dua saudara perempuan kandung atau lebih d.dua saudara perempuan seayah atau lebih .Yang mendapat 1/3 Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu. Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan Yang mendapat 1/6 Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu. Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung. Ayah bersama anak lk atau cucu lk Kakek jika tidak ada ayah Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.

2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut: Anak laki-laki Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah Ayah Kakek dari garis ayah keatas Saudara laki-laki kandung Saudara laki-laki seayah Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah Paman kandung Paman seayah Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal Ashobah dengan dengan saudaranya Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki. Cucu perempuan bersama cucu laki-laki Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah. Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah. Menghabiskan bagian tertentu

Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3). Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3) HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris: <![if !supportLists]>1. <![endif]>Biaya jenazah <![if !supportLists]>2. <![endif]>Utang yang belum dibayar <![if !supportLists]>3. <![endif]>Zakar yang belum dikeluarkan <![if !supportLists]>4. <![endif]>Wasiat Hajib dan mahjub <![if !supportLists]>1. <![endif]>Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu. <![if !supportLists]>2. <![endif]>Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu <![if !supportLists]>3. <![endif]>Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh: anak kandung laki/perempuan cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki bapak kakek <![if !supportLists]>4. <![endif]>Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh : ayah anak laki-laki kandung cucu laki-laki dari garis laki-laki Saudara laki-laki kandung

<![if !supportLists]>5. <![endif]>Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh: anak laki-laki cucu laki-laki dari garis anak laki-laki ayah <![if !supportLists]>6. <![endif]>Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah. suami ayah anak laki-laki <![if !supportLists]>7. <![endif]>Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan ialah: Isteri Anak perempuan Cucu perempuan Ibu <![if !supportLists]>e. <![endif]>Saudara perempuan kandung <![if !supportLists]>8. <![endif]>Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P ) Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung. <![if !supportLists]>e. <![endif]>Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts

<![if !supportLists]>f. <![endif]>Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung <![if !supportLists]>g. <![endif]>Paman kandung menggugurkan paman seayah <![if !supportLists]>h. <![endif]>Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung <![if !supportLists]>i. <![endif]>Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah <![if !supportLists]>j. <![endif]>Anaklaki-laki menggugurkan cucu lk paman kandung paman seayah

<![if !supportLists]>k. <![endif]>Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah. demikian seterusnya. <![if !supportLists]>E. <![endif]>Warisan dalam UU No 7 Tahun 1989 Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh rasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan, karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu sampai sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan Allah yang bersumber pada kitab suci Al-Quran dan Hadits Rasulullah. Dalam Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai berikut: Bab. I terdiri atas 1 pasal , ketentuan umum. Bab. II terdiri atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris Bab. III. Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli waris Bab. IV terdiri atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad. Bab. V terdiri atas 13 pasal, berisi masalah wasiat Demikianlah selayang pandang tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989, Prinsipnya sama dengan hukum yang bersumber dengan Al-Quran dan Hadits. F. Cara menghitung dan membagikan warisan.

You might also like