You are on page 1of 11

METODE PENEMUAN HUKUM

KONSEP KEADILAN HUKUM DALAM PUTUSAN


DOSEN : Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum

Disusun oleh : Nama : Lalu Satya Ardi Purnama Putra No. Mhs : 08410118

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS HUKUM YOGYAKARTA 2011

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb Puji Syukur saya panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dalam mengerjakan makalah ini dengan judul KONSEP KEADILAN HUKUM DALAM PUTUSAN. Saya juga mengucapkan terima-kasih sebanyak-banyaknya kepada Dosen Pengampu mata kuliah Metode Penemuan Hukum yaitu Bapak Bambang Sutiyoso SH., M.Hum yang telah memberi tugas makalah ini sehingga saya dapat belajar dari makalah yang saya buat ini. Demikian beberapa kata yang dapat saya sampaikan, saya mengharapkan kritik dan saran apabila ada sesuatu yang salah dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

KONSEP KEADILAN

I.

Pendahuluan Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak

diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Dalam makalah ini penulis akan menguraikan teori keadilan Aristoteles dan John Rawls. II. Teori Keadilan Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama

1. Teori Keadilan Aristoteles

rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.
2. Teori Keadilan John Rawls

John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada

mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal :
a. Melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum

lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan.

b. Setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-

kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Berangkat dari pemikiran John Rawls tersebut dapat digambarkan bahwa keadilan adalah dambaan keadaan yang pertama lahir ketika muncul institusi social yang menghendaki segala sesuatu di tempatkan sesuai dengan tempatnya atau kebenaran ideal.Kondisi kebenaran ideal ini kemudian menjadikan keadilan sesuatu yang absurd dan berbeda dalam diri tiap manusia, sehingga seringkali terjadi pertentangan untuk memperebutkan kondisi ideal. Pertentangan terjadi karena setiap manusia menginginkan kebenaran ideal sesuai ukuran kelompoknya. Terkadang satu kelompok menyatakan kebenaran ideal telah tercapai, akan tetapi kelompok lain menyatakan sebaliknya, sehingga pertentangan menjadi tiada akhir. Jacques Derrida dalam bukunya The Force Of Law menegaskan keadilan adalah suatu momen yang perlu diperjuangkan (Derrida, 2004). Momen perjuangan itu terjadi ketika satu kelompok merasa, keadilan yang diperoleh tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut, dari momen perjuangan itulah tercipta perang dan pertikaian. Selain itu terdapat keadilan social yang lebih menekankan peran negara dalam pemenuhannya. Konsep keadilan social telah membuat telah membuat suatu terobosan semenjak filsuf Plato membantah filsuf muda Thrasymachus karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apapun yang ditentukan oleh sikuat. Plato kemudian meresmikan suatu gagasan baru dalam pemikirannya Republik tentang suatu syarat negara ideal yang bersandar pada empat sifat baik yaitu kebijakan, keberanian, pantangan dan keadilan menuju nilai keadilan social. Dari pemikiran Plato inilah kemudian berkembang sistem negara kesejahteraan yang menekankan peran negara untuk sebesar besar membangun kemakmuran rakyat serta meciptakan kondisi sesuai dengan tatanan nilai nilai yang telah disepakati. Setelah membicarakan keadilan dari berbagai segi, lantas di manakah hubungan antara hukum dan keadilan ?. Hubungan antara keduanya sangat berkaitan satu sama lain, Andang L. Binawan menegaskan bahwa hukum dan keadilan adalah 2 hal berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan (Binawan 2004). Keadilan adalah sebuah citacita yang menjadi arah dari kehidupan manusia, sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannnya menggendong ketidakadilan. Dari 2 hal berbeda tersebut titik pertautannya adalah hukum dibuat untuk menegakkan keadilan walaupun dalam penegakkannya ada ketidakadilan sebagai akibat proses hukum yang terjadi. Hukum dibangun oleh kelompokkelompok masyarakat sebagai sarana

penegakan tertib social, atas dasar kesepakatan bersama dengan mengambil nilai nilai yang berkembang di kelompoknya. Hukum yang ideal adalah hukum yang berada dititik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan mengacu pada pasal pasal hukum) dan rasa keadilan (moralitas norma norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil). Jika kesimbangan itu terusik, maka akan terjadi kondisi disharmonisasi social yang berakibat gesekan antar masyarakat. Jika gesekan itu meluas, maka diperlukan kesepakatan baru untuk merubah tatanan nilai berupa hukum, sebab hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan jaman, dapat ditafsirkan secara luas serta menjangkau segala pranata kehidupan. Indonesia sebagai sebuah tatanan social juga mengalami perubahan. Perubahan timbul akibat pesatnya teknologi dan perkembangan masyarakat. Perubahan itu menjadikan hukum yang dulu dianggap sudah cukup memenuhi perasaan keadilan, kini keberadaannya di pertanyakan dan sebagaian besar meminta untuk dirubah. Gagasan pembaharuan hukum mengalir begitu deras, dengan diiringi tuntutan pembaharuan penegak hukum. Perubahan tatanan social juga menjadikan sesuatu dulu yang dianggap tidak bisa di perbincangkan sekarang dengan mudah di kritisi dan dibahas semisal putusan pengadilan, yang muaranya kembali pada puas tidaknya rasa keadilan. III. Lampiran Kasus Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta hakim agar Gayus dihukum 20 tahun penjara. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu juga dituntut denda Rp500 juta dan subsidair enam bulan penjara. Guna memperkuat tuntutannya itu, jaksa membidik Gayus dengan empat pasal berlapis, yaitu antara lain : 1. Gayus dijerat dengan pasal 3 Jo Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi. Dia diduga memperkaya diri sendiri.
2. Gayus dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Jo

(Perkara Tindak Pidana Korupsi Dengan Terdakwa Gayus Tambunan)

Pasal 55 ayat 1 ke 1. Dia dituding menyuap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani. 3. Gayus dijerat pasal 6 ayat 1 undang-undang tindak pidana korupsi karena telah memberikan sejumlah uang sebesar 40.000 dolar Amerika kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang. 4. Gayus dijerat dengan pasal 22 Jo pasal 28 Undang-undang tindak pidana korupsi.

Gayus Tambunan selanjutnya divonis dengan hukuman pidana penjara selama 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan. IV. Tanggapan Mengenai Putusan Hakim Sebagai Negara yang menganut civil law system, hukum Indonesia menganut rancangan system yang taat pada undang undang, dengan konsekuensi para hakim di Indonesia adalah pelaksana hukum bukan pencipta hukum, sebagaimana dalam Negara Negara dengan system common law. Memang pasal 28 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 memberikan ruang bagi hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakatdalam arti melakukan penemuan hukum, tetapi hal itu tidak boleh menabrak isi dan falsafah dari peraturan peraturan yang sudah ada. Kondisi itu menyebabkan penegakan hukum Indonesia lebih mengarah pada Keadilan procedural (berdasarkan aturan) daripada keadilan subtantif ( berdasarkan nilai social). Tetapi apakah putusan hakim Indonesia tidak mencerminkan rasa keadilan ?. Sudah lazim dilakukan, hakim dalam membuat putusan harus berpedoman pada asas hukum acara. Kesalahan atau kelailaian dalam menerapkan hukum acara dapat menyebabkan putusan batal demi hukum. Dalam memutus perkara hakim harus berpedoman pada alat bukti yang cukup, keterangan saksi, fakta di persidangan dan pertimbangan hukum sebagai dasar pembuktian adanya tindak pidana. Menjadi soal terkadang sistem pembuktian dalam persidangan menjadi begitu rumit dan berbelit belit, dikarenakan lemahnya jaksa dalam menyusun dakwaan ataupun kurang sempurnanya penyidik dalam menyusun berta acara penyidikan. Hal itu yang menyebabkan permasalahan hukum serius seperti korupsi, cyber crime atau kejahatan terencana lain menjadi sulit dibuktikan dibanding dengan kejahatan ringan semisal pencurian, atau perkara yang tertera dalam KUHP. Inilah kemudian yang berimbas pada banyaknya perkara korupsi menjadi bebas atau di vonis ringan. Kita tentu tidak ingin putusan bebas tersebut menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, tetapi menjadi tidak layak juga bila menginginkan semua perkara yang masuk pengadilan harus di hukum. Dengan berpandangan bahwa semua perkara masuk pengadilan harus di hukum, menandakan asas keadilan tidak terpenuhi dan hakim telah bertindak berat sebelah.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 28 Agustus 2011, Gayus Tambunan telah secara bener terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, namun putusan terhadap kasus Gayus tersebut masih jauh dari tuntutan yang diajukan oleh JPU. Apabila kita berangkat dari nilai keadilan sebagaimana diuraikan diatas, apakah putusan PN Jakarta Selatan tersebut telah memenuhi nilai-nilai dari keadilan? Mungkin keadilan secara procedural telah tercapai, namun keadilan secara subtantif belum dapat tercapai. Putusan hakim PN Jakarta Selatan tersebut masih belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dituntut oleh masyarakat atau keadilan sebagaimana masyarakat mengiginkannya.

KESIMPULAN
Keadilan akan menjadi ketidak adilan manakala hakim bertindak diluar batas yang diatur dalam undangundang ketika berlangsung persidangan hingga putusan dibacakan. Sikap hakim memandang semua perkara harus dihukum, justru merupakan ketidakadilan yang juga tidak memuaskan sebagaian pihak. Oleh sebab itu jalan satusatunya untuk menilai ketidak adilan dalam putusan hakim adalah dengan mempelajari dengan seksama apa yang menjadi dasar putusan tersebut, sebab putusan adalah mahkota bagi hakim. Dengan tidak berburuk sangka, semoga semua putusan hakim Indonesia benarbenar didasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa sehingga dapat di pertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.suryainside.com/index.php/?mod=3&idb=413 http://besteasyseo.blogspot.com/2011/01/sidang-akhir-gayus-tambunan-kasusmafia.html http://www.kejari-jaksel.go.id/berita.php?news=249 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf

You might also like