You are on page 1of 29

Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa bagi anak-anak menurut tinjauan syariah?

Apakah baik bila anak balita sudah diajarkan untuk berpuasa dengan penuh, padahal perkembangan sel-sel otak (lebih dari 80%) terjadi sejak dalam kandungan hingga usia 4 tahun dan sulit terkejar diusia-usia sesudahnya? Usia berapakah saat yang ideal untuk membiasakan anak-anak berpuasa setengah hari hingga sehari penuh bagi anak-anak? Ummu Muhammad Padang Jawaban : Latihan puasa bagi anak-anak sesuai dengan ajaran Islam. Imam Al-Bukhari dalam shahihnya telah membuat bab khusus tentang puasa bagi anak-anak, dan para sahabat Rasulullah saw juga melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Berkata Umar ra kepada seorang yang mabuk (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan: Celakalah kamu, padahal anak-anak kecil kami berpuasa. Maka beliaupun menghukumnya dengan pukulan (hukum cambuk) (HR Bukhari) Dari Rubayyi binti Muawidz berkata: Rasulullah saw mengirim utusan di pagi Asyura ke kampong-kampung Anshar: Siapa yang masuk waktu pagi dalam keadaan berpuasa maka sempurnakanlah puasanya, dan barangsiapa yang masuk waktu pagi dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa) maka berpuasalah pada sisa hari itu. Maka kamipun melakukan puasa Asyura. Kami puasakan pula anak-anak kecil kami dan kami berangkat ke masjid dengan menjadikan mainan dari kapas buat mereka, jika ada salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya sampai masuk waktu berbuka. (HR Bukhari dan Muslim) Mengenai saat usia berapa sebaiknya mereka mulai dilatih, tidak ada keterangan yang tegas, yang ada adalah bila mereka mengis maka diberi makan. Usia yang ideal untuk melatih anak-anak berpuasa yaitu mulai umur tujuh tahun sebagaimana anjuaran dalam latihan shalat Rasulullah saw bersabda: Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat pada saat umur tujuh tahun, dan pukulah mereka pada saat umur sepuluh tahun (jika tidak shalat), dan pisahkan tempar tidurnya. (HR. Abu Dawud) Jika sebelum umur tersebut sudah mampu maka boleh mulai dilatih dengan tetap memperhatikan kondisi si anak dan tidak memaksanya, tidak pula mencela pihak lain yang tidak mengambil sikap terakhir ini. Kewajiban puasa sama dengan shalat.

Sedangkan anak-anak mulai diperintahkan shalat sejak umur tujuh tahun sesuai dengan hadits Nabi saw di atas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--"Puasalah kamu, niscaya kamu akan sehat". Hadist Rasulullah saw itu bukan hanya baik disematkan bagi semua umat muslim dewasa, tetap juga anak-anak. Dalam keseharian pada bulan non-Ramadhan, anak-anak banyak menghabiskan waktu untuk makandan minum sepuas mereka tanpa mencermati kandungan gizi yang ada di dalamnya. Bagaimana orang tua mengantisipasi kebiasaan itu? Selain mengajarkan anak untuk lebih berhati-hati mengonsumsi panganan, menjelaskan manfaat dan kandungan makanan, pengendalian diri terhadap nafsu makan juga sangat bermanfaat. Salah satunya tentu saja melatih si kecil berpuasa. Dokter anak sekaligus ahli gizi, dr. Khairunnisa memaparkan beberapa manfaat yang didapat jika anak-anak dilatih berpuasa sejak dini. Ia malah menyarankan agar melatih puasa pada anak sejak umur 3 hingga 6 tahun. "Tidak ada ketentuan baku dari umur berapa anak dilatih untuk puasa, tapi lebih baik dari umur 3 sampai 6 tahun. Sehingga, nantinya anak terbiasa," ungkap dokter yang akrab disapa Nisa, Rabu (4/8). Permulaan puasa pada anak, lanjut Nisa, adalah sesuatu yang baru dan patut dicoba. Namun, karena tingkat ketahanan setiap anak berbeda, sebaiknya orang tua melatih berpuasa sesuai kemampuan si bocah. "Orang tua tidak perlu terlalu memaksakan," tutur Kharunnisa. Lagipula memaksakan anak berpuasa dalam rentang waktu yang tidak mereka sanggupi, menurut Nisa dikhawatirkan dapat merusak persepsi anak tentang puasa. "Ikuti saja dulu kemampuan anak," lanjut Nisa. Menurut Nisa, dampak puasa bagi kesehatan anak juga besar. Baik dampak jasmani juga rohani. "Tentu lebih sehat, biasanya mereka jajan atau makan tanpa pantauan orang tua. Nah, kalau si anak puasa, pola makan akan diatur oleh orangtuanya. Jadi nilai gizinya insya Allah lebih baik," papar Nisa. Dilihat dari perspektif rohani, puasa juga dapat melatih kesabaran dan kedisiplinan mereka. "Terutama disiplin dalam jam makan," katanya. Khairunnisa juga memaparkan, pada dasarnya, puasa itu bermanfaat dalam menyeimbangkan fungsi tubuh, terutama fungsi sistem pencernaan. "Dapat dibayangkan organ-organ pencernaan kita seperti mulut, lambung, usus tidak berhenti bekerja selama hidup. Puasa itulah saat yang tepat untuk

mengistirahatkan sekaligus membersihkan seluruh alat pencernaan tersebut," jelasnya. Dengan pemulihan fungsi pencernaan, ujarnya, maka fungsi sistem tubuh yang lain diharapkan dapat menyembuhkan diri dari berbagai macam penyakit agar kembali pulih dan normal. Dalam istilah kedokteran proses itu menurut dia, disebut self healing atau penyembuhan dari diri sendiri.

"Pada dasarnya, tubuh kita diciptakan untuk mampu menyembuhkan diri sendiri dan kemampuan ini sangat luar biasa. Namun, self healing dapat terjadi jika tubuh diberi kesempatan untuk pemulihan dengan puasa itu," jelasnya. Meskipun setiap manusia memiliki kemampuan self healing, Khairunnisa tetap menganjurkan untuk tetap juga sebaiknya mempraktekan pola hidup sehat saat puasa. Ia memberikan beberapa anjuran yaitu memilih makanan yang alami, makan tidak berlebihan, mengunyah makanan 30-50 kali tiap suapan dan membiasakan diri rajin mengkonsumsi buah dan sayur. Belajar Puasa tanpa Terpaksa Agnes | September 26, 2005 12:18 am | Print Pikiran Rakyat, 25 September 2005 Klik di sini Tapi Bu, aku betul-betul nggak mau makan. Aku anak laki-laki dan sudah besar, aku bisa puasa bu, kata Thabit pada ibunya. Kamu juga puasa, Thabit. Anak umur 7 tahun berpuasa dengan sahur di pagi hari, sedikit makan di siang hari, kemudian mereka tidak makan apa pun sampai tiba waktunya berbuka, kata ibunya lagi. Tapi Ibu kok tidak berpuasa seperti aku ? anak lelaki kecil itu memaksa. Ibu sudah dewasa Thabit, Ibu berpuasa dengan cara orang dewasa.Cuplikan percakapan antara ibu dan anak ini diambil dari sebuah situs Muslim di internet. Membacanya barangkali bisa membuat kening beberapa orang tua berkerut dan bergumam dalam hati, Lho ibunya Thabit ini bagaimana sih, lha wong anak ingin puasa sehari penuh malah dilarang? Percakapan di atas memang mungkin terdengar tak lazim, karena yang kerap terjadi malah sebaliknya. Orang tua, secara sadar maupun tidak, sering memaksa anak untuk berpuasa sehari atau sebulan penuh, bahkan sejak usia balita. Orang tua pun bangga bila anaknya mampu berpuasa sehari penuh sejak usia dini.

Salahkah? Tentunya sah-sah saja bila orang tua berbangga hati kepada anaknya, karena mengajarkan puasa pada anak memang tak mudah. Selain itu, belajar puasa sejak kecil tak diragukan lagi manfaatnya. Namun yang perlu diingat, tujuan dalam proses belajar berpuasa bukanlah berhasil atau tidaknya anak berpuasa sehari penuh atau satu bulan berpuasa tamat tanpa batal. Inti dari mengajarkan anak berpuasa sejak kecil adalah agar anak mengenal dan memahami seluk beluk puasa, sehingga menjadi senang berpuasa dan ingin berpuasa dengan kemauannya sendiri tanpa paksaan. Dalam Alquran disebutkan, anak-anak hingga usia akil balig (12 tahun) belum diwajibkan berpuasa. Namun, sebagian besar ulama sepakat untuk mengajarkan puasa sejak kecil agar di usia akil balig nanti, anak sudah terbiasa berpuasa. Sejak usia berapakah anak mulai dapat diajarkan berpuasa? Dalam agama Islam sendiri, terdapat beragam pendapat mengenai hal ini. Tetapi seperti halnya hadis untuk mengajarkan salat yang menganjurkan anak dilatih salat saat anak berusia 7 tahun beberapa ulama pun memakai usia ini sebagai usia awal untuk melatih anak berpuasa.

Dari segi kesehatan, tidak ada patokan baku kapan seorang anak mulai mampu berpuasa. Prof. DR. Dedi Soebardja, dr, Sp.A(K), salah seorang staf pengajar di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung mengatakan, seorang anak dapat mulai dilatih berpuasa sejak anak tersebut mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan sudah mulai bisa bersosialisasi. Biasanya ini dicapai saat anak berusia 6 atau 7 tahun. Selain itu, mengingat pertumbuhan otak yang optimal berlangsung selama masa balita, latihan puasa dianjurkan pada anak yang telah melewati masa balita. Sejalan dengan penuturan di atas, Dr. Eva J. Soelaeman, Sp.A menganjurkan, sebaiknya balita jangan terlalu dipaksa berpuasa karena ia masih dalam fase pertumbuhan. Setelah usia enam tahun anak diperbolehkan berpuasa, karena pada usia itu pertumbuhannya sudah melambat. Lantas, apakah ini berarti seorang anak tidak diperbolehkan diajarkan berpuasa seharian penuh? Tentu saja tidak, karena bagaimana pun anak-anak perlu dilatih berpuasa sejak kecil. Tetapi orang tua perlu berhati-hati dalam mengajarkan anak berpuasa, dan melatihnya pun harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi anak. Orang tualah yang sesungguhnya paling tahu kapan sang anak siap untuk dikenalkan tentang puasa dan mulai berlatih berpuasa. Apa tindakan orang tua?

Tampaknya perlu dibedakan antara mengenalkan anak tentang puasa dan melatih anak untuk betul-betul mulai berpuasa. Sebelum usia 6 atau 7 tahun, bila Ramadan menjelang, orang tua bisa mengenalkan serta melibatkan anak pada kegiatankegiatan di bulan Ramadan seperti buka puasa bersama, mengaji, dan salat tarawih. Selain itu, mendengarkan lagu-lagu tentang puasa, cerita Ramadan atau pengalaman masa kecil orang tua saat berpuasa, secara tidak langsung bisa memotivasi anak untuk belajar puasa. Menjelang usia 6 atau 7 tahun, saat anak sudah bisa diajak berdialog, diskusi tentang puasa yang dibangun antara anak dan orang tua akan sangat membantu kesiapan mental anak untuk berpuasa. Sebagai contoh, orang tua dapat menjelaskan tentang pentingnya puasa lewat kalimat berikut, Perut kita seperti blender yang menghaluskan buah-buahan itu, Nak. Bayangkan kalau blender itu harus bekerja terus-menerus menghancurkan makanan, bisa rusak kan? Begitu juga dengan perut kita, karena itulah perut kita perlu beristirahat. Allah tahu betul dengan keadaan tubuh kita, Allah yang membuat tubuh manusia, karena itulah Allah menyuruh manusia berpuasa. Sebaiknya anak pun dipersiapkan dengan kondisi-kondisi tak nyaman saat puasa seperti rasa lapar, sedikit lemas, dan harus bisa menahan diri dari berbagai godaan. Bila dialog sudah terbangun, tak ada salahnya orang tua membiarkan anak memutuskan sendiri di usia berapa ia akan mulai berlatih berpuasa. Dengan memberikan pilihan usia 6 atau 7 tahun misalnya, anak akan merasa lebih siap saat berpuasa karena dia telah memilih dengan kesadarannya sendiri.

Berlatih berpuasa tentunya tak bisa simsalabim. Proses belajar ini harus dilakukan bertahap sesuai dengan kemampuan anak. Contohnya, di awal latihan, puasa bisa dilakukan hingga pukul 9.00 WIB atau 10.00 WIB. Setelah makan, puasa dilanjutkan kembali hingga siang hari. Usai batal sejenak di siang hari, puasa bisa dilanjutkan lagi hingga magrib. Kemudian di tahun berikutnya, puasa dapat dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, dan seterusnya. Dari sisi kesehatan, yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam mempersiapkan anak berpuasa adalah kecukupan gizi makanan dan waktu tidurnya. Tidur lebih awal akan membuat anak segar dan cukup tidur walaupun harus bangun lebih pagi. Saat makan sahur dan berbuka, hindari makan yang berlebihan serta makanan yang terlalu banyak mengandung lemak dan minyak. Minum teh berlebihan saat sahur dapat meningkatkan produksi air kencing dan mengeluarkan zat-zat mineral dalam tubuh yang diperlukan. Oleh karena itu sebaiknya terlalu banyak minum teh pun perlu dihindari di saat sahur.

Anak-anak harus mendapatkan makanan beragam dan mengandung lima unsur gizi lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Makanan yang dimakan saat sahur sebaiknya adalah jenis makanan yang kaya serat dan protein. Makanan tinggi serat akan dicerna lebih lama oleh tubuh, sehingga proses pengosongan lambung pun akan lebih lama pula. Makanan semacam ini dapat diperoleh dari kompleks karbohidrat, sayur-sayuran dan buah-buahan. Kompleks karbohidrat biasanya terdapat dalam makanan seperti gandum, sereal, beras merah, roti berserat, dan lain-lain. Kurma dan pisang juga sangat baik dikonsumsi baik saat sahur maupun berbuka. Kedua jenis makanan ini banyak mengandung mineral dan vitamin yang sangat diperlukan tubuh. Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah kebutuhan cairan anak. Jangan sampai anak mengalami dehidrasi saat berpuasa. Sup dan jus buah saat sahur, dapat menambah kebutuhan cairan dan mineral anak yang berpuasa. Saat berbuka pun anak-anak sebaiknya diingatkan untuk memperbanyak minum. Dengan menjaga asupan makanan anak, dan dengan memperhatikan kesiapan fisik serta mental anak sebelum berlatih berpuasa, semoga anak-anak bisa belajar puasa tanpa terpaksa.*** Pdpersi, Jakarta - Orang tua seringkali ragu dan bertanya-tanya, kapan sebaiknya anak mulai dilatih untuk berpuasa. Keraguan ini terjadi karena kekawatiran ibadah puasa dapat mengganggu kesehatan anak yang belum cukup umur. Meskipun demikian banyak terjadi saat usia 5 hingga 7 tahun anak mulai dilatih berpuasa. Ibadah yang cukup berat ini dilakukan baik oleh keinginan sendiri ataupun karena keinginan orangtua. Bagaimana merencanakan dan membimbing anak dalam melakukan ibadah puasa tanpa harus mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak ? Memasuki bulan ramadhan, anak belum akil baliq tidak termasuk umat yang diwajibkan berpuasa. Tetapi pada kenyataannya banyak anak pra akil baliq sudah berpuasa penuh layaknya orang dewasa. Periode akil baliq biasanya terjadi saat anak sudah mulai masa pubertas atau sekitar usia 12 tahun. Anak perempuan akan mendapat menstruasi dan payudara mulai berkembang. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, bentuk fisik berubah secara cepat, dan sudah mengalami peristiwa mimpi basah. Sejak saat inilah anak diwajibkan untuk berpuasa. Banyak orang tua beralasan dalam mendidik beribadah khususnya puasa harus dilakukan secara dini dan bertahap. Tak jarang puasa sudah dikenalkan pada anak sejak usia 6 atau 7 tahun meskipun baru puasa setengah hari. Menurut perspektif agama Islam bila ibadah termasuk yang tidak wajib boleh dilakukan asalkan mampu dan tidak dipaksakan. Bila ditinjau dalam bidang kesehatan tampaknya puasa juga mungkin bisa dilakukan oleh anak usia pra akil baliq tetapi harus cermat dipertimbangkan kondisi dan keterbatasan kemampuan anak. Kondisi psikobiologis

anak memang berbeda dengan dewasa dalam melakukan ibadah puasa. Meskipun belum banyak dilakukan penelitian dilakukan terhadap pengaruh berpuasa pada anak dikaitkan dengan aspek kesehatan dan tumbuh kembang anak. Sejauh ini belum pernah dilaporkan seorang anak yang mengalami gangguan yang berat akibat puasa.

FAKTOR PSIKOBIOLOGIS ANAK Aspek kesehatan secara psikobiologis anak usia sebelum akil baliq dapat ditinjau dari aspek tumbuh kembang anak dan fungsi biologis. Aspek perkembangan meliputi perkembangan psikologis seperti perkembangan emosional, perkembangan moral dan perilaku lainnya. Fungsi biologis meliputi aspek fisiologis tubuh, metabolisme tubuh, kemampuan fungsi organ dan sistem tubuh. Dari aspek perkembangan khususnya kecerdasan dalam periode ini anak mulai banyak melihat dan bertanya. Fantasinya berkurang karena melihat kenyataan, ingatan kuat daya kritis mulai tumbuh, ingin berinisiatif dan bertanggung jawab. Perkembangan rohani pemikiran tentang Tuhan sudah mulai timbul. Anak sudah mulai dapat memisahkan konsep pikiran tentang Tuhan dengan orangtuanya. Tetapi pemahaman tentang konsep ini masih terbatas, bahwa Tuhan itu ada. Demikian pula dalam perkembangan moral, pada periode ini pemahaman konsep baik dan buruk masih sederhana. Makna pemahaman ini hanya sebatas sekedar tahu. Artinya kenapa kewajiban agama dan kebaikan perilaku harus dilakukan belum dipahami secara sempurna. Sehingga dalam melakukan ibadah puasa juga lebih dilatarbelakangi karena faKtor fisik tidak dipahami secara moral. Kalaupun moral berperanan lebih dari sekedar hubungan manusia dan manusia. Niat ibadah puasa dikerjakan berdasarkan pengaruh hubungan keluarga atau lingkungan. Misalnya, anak berpuasa karena teman sekelas atau sepermainan sudah berpuasa. Atau, bila berpuasa penuh akan mendapat hadiah dari orang tua. Dalam aspek biologis kondisi fisiologis tubuh khususnya metabolisme tubuh, fungsi hormonal dan fungsi sistem tubuh usia anak berbeda dengan usia dewasa. Bila aktifitas berpuasa merupakan beban yang tidak sesuai dengan kondisi fisiologis anak dapat berakibat mengganggu tumbuh dan berkembangnya anak. Demikian pula dalam hal mekanisme sistem imun atau pertahanan tubuh anak dan dewasa berbeda. Ketahanan anak dalam merespon masuknya penyakit dalam tubuh lebih lemah.

PERUBAHAN KONDISI TUBUH SAAT BERPUASA

Beberapa penelitian menyebutkan sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang berarti saat berpuasa dibandingkan saat tidak berpuasa. Puasa saat Ramadan tidak mempengaruhi secara drastis metabolism lemak, karbihidrat dan protein. Meskipun terjadi peningkatan serum uria dan asam urat sering terjadi saat terjadi dehidrasi ringan saat puasa. Saat berpuasa ternyata terjadi peningkatan HDL and apoprotein A1, dan penurunan LDL ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah. Beberapa penelitian chronobiological menunjukkan saat puasa ramadan berpengaruh terhadap ritme penurunan distribusi sirkadian dari suhu tubuh, hormon kortisol, melatonin dan glisemia. Beberapa penelitian menunjukkan puncak kadar hormon melatonin berubah dan terlambat. Juga terjadi pergeseran waktu dalam pengeluaran hormon kortisol and testosteron. Kadar puncak dan pola ritme hormon prolactin, FSH and GH tidak berubah secara bermakna. Hanya pola ritme hormon TSH tidak terjadi seperti biasanya. Data tersebut menunjukkan bahwa saat puasa perubahan dalam jadwal tidur, psikologis dan kebiasaan sosial selama puasa merubah pola ritme jumlah beberapa hormon. Tetapi sejauh ini belum ada penelitian yang mengungkapkan pengaruh perubahan ringan tersebut dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, Ritme dan kualitas jam tidur malam, dan kewaspadaan sehari-hari dan kemampuan psikomotor cederung berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan resiko terjadinya kecelakaan pada anak seperti terjatuh, terpeleset atau kecelakaan saat mengendarai sepeda. Resiko ini semakin meningkat pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan kesimbangan, regulasi dan koordinasi. PERENCANAAN IBADAH PUASA PADA USIA ANAK Melihat kondisi psikobiologis dan perubahan fisiologi tubuh saat puasa khususnya pada usia anak tertentu sebaiknya dilakukan tahapan waktu disesuaikan dengan usia dan kemamuan mental anak. Tahapan waktu mungkin bisa dilakukan dengan puasa setengah hari pada usia di bawah enam tahun. Di atas usia enam tahun mungkin diperkenalkan puasa penuh saat awal dan akhir puasa yang secara bertahap dilakukan penambahan jumlah puasa yang penuh. Tahapan waktu tersebut harus disesuaikan dengan mental seorang anak. Seorang anak berusia 5 tahun yang mempunyai motivasi yang tinggi dan bermental kuat mungkin dapat berpuasa penuh. Tetapi anak lain yang bahkan dengan usia 2 tahun di atasnya mungkin untuk satu hari berpuasa penuh sudah merupakan siksaan yang luar biasa. Saat berpuasa pembelanjaran mental adalah pengalaman penting yang dapat berguna dalam pembinaan moral dan mental anak. Faktor mental inilah yang tampaknya sangat berperanan penting dalam keberhasilan pelkaksanaan ibadah puasa seorang anak. Mental setiap anak berbeda dengan anak lainnya dalam

melakukan ibadah puasa. Anak dengan tipe mental baja atau yang jarang mengeluh berbeda dengan anak yang bernyali rendah. Meskipun dengan kondisi fisik yang tidak optimal ternyata dapat bertahan baik untuk menutupi kelemahan fisik saat puasa. Kadang hanya dengan memotivasi dan mensuport mental anak dengan pujian maka kendala fisik dalam berpuasa dapat diabaikan. Sebaiknya dalam memotivasi mental anak tersebut bukan dengan paksaan yang dapat berakibat tergangguanya psikologis anak. Tekanan psikologis inilah dapat memperberat beban fisik yang sudah terjadi saat menjalani ibadah puasa pada anak. Kegiatan puasa berpengaruh terhadap perkembangan emosi, perkembangan moral dan perkembangan psikologis anak. Tidak dapat disangkal lagi bahwa ibadah puasa mempunyai pengaruh positif terhadap pendidikan perkembangan anak. Tetapi harus diwaspadai bahwa aktifitas puasa juga dapat berpengaruh negatif bila tidak mempertimbangkan kondisi psikologi anak. Hal ini terjadi bila ibadah ini dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Dalam keadaan normal emosi dan perilaku anak sangat tidak stabil. Saat puasa yang dalam kondisi lapar dan haus akan sangat mempengaruhi kestabilan emosi dan perilaku anak. Mengingat fungsi psikobiologis anak berbeda dengan dewasa, maka harus dicermati pengaruh puasa terhadap anak. Pengaruh negatif yang harus diwaspadai adalah berkurangnya jam tidur anak. Saat bulan ramadhan jadwal aktifitas anak berbeda dengan sebelumnya. Dalam bulan tersebut aktifitas anak bertambah dengan kegiatan sholat tarawih, makan sahur atau kegiatan pesantren kilat. Bila jam tidur ini berkurang atau berbeda dengan sebelumnya akan mempengaruhi keseimbangan fisiologis tubuh yang sebelumnya sudah terbentuk. Gangguan keseimbangan fisiologis tubuh ini akan berakibat menurunkan fungsi kekebalan tubuh yang berakibat anak mudah sakit. Sebaiknya orang tua harus ikut merencanakan dan mamantau jadwal aktifitas anak termasuk jam tidur anak dengan cermat. Pada usia pra akil baliq kebutuhan tidur anak secara normal berkisar antara 10-12 jam per hari, dengan rician malam hari 10 jam siang hari 1-2 jam. Dalam bulan ramadan orang tua hendaknya dapat memodifikasi jadwal tidur ini dengan baik. Pengaruh lain yang harus diamati adalah pengaruh asupan gizi pada anak. Jumlah, jadwal dan jenis gizi yang diterima akan berbeda dengan saat sebelum puasa. Dalam hal jumlah mungkin terjadi kekurangan asupan kalori, vitamin dan mineral yang diterima anak. Aktifitas yang bertambah ini juga akan meningkatkan kebutuhan kalori, vitamin dan mineral lainnya. Padahal saat puasa relatif pemenuhan kebutuhan kalori lebih rendah. Bila keseimbangan asupan gizi terganggu dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh sehingga anak mudah terserang penyakit. Dalam keadaan seperti ini tampaknya pemberian suplemen vitamin cukup membantu. Parameter yang paling mudah untuk melihat asupan kalori cukup adalah dengan memantau berat badan anak. Bila berat badan anak

tetap atau meningkat mungkin puasa dapat dilanjutkan. Tetapi bila berat badan menurun drastis dalam jangka pendek sebaiknya puasa harus dihentikan. Demikian pula dengan jenis asupan gizi yang diterima. Variasi dan jumlah makanan yang didapatkan saat bulan puasa akan berbeda dengan sebelumnya. Saat bulan puasa variasi makanan yang tersedia biasanya lebih banyak. Pada penderita alergi pada jenis makanan tertentu harus diwaspadai karena dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan. Menurut pengalaman praktek sehari-hari kasus alergi makanan pada anak cenderung meningkat saat bulan puasa. Sebaiknya orangtua menghindari jenis makanan ringan kemasan yang mengandung bahan pengawet dan beraroma rasa atau warna yang kuat. Minuman bersoda dan sangat pedas sebaiknya dihindarkan.

Mulailah berbuka dengan bahan makanan dan minuman pembuka yang manis. Pemilihan makanan yang berkalori seperti protein dan karbohidrat tinggi saat sahur lebih utama. Untuk sahur, perbanyaklah makanan dari jenis protein dan lemak seperti daging, nasi, telur, ikan, dan lainnya. Makin besar lemak dan protein yang dikonsumsi saat sahur, otomatis cadangan energi yang dimiliki anak juga lebih besar. Sifat lemak dan protein yang proses pembakaran energinya lebih lama ketimbang gula, menjadikan rasa lapar yang muncul juga waktunya lebih lama. Secara umum prinsip pemilihan menu makanan dengan gizi yang cukup dan seimbang harus diutamakan. Kebutuhan gizi dan kalori saat berpuasa pada anak tidak berbeda. Yang berbeda hanya saat pemenuhan lkebutuhan gizi tersebut. Pada saat puasa waktu pemenuhan gizi tersebut relatif lebih singkat dan padat dibandingkan saat tidak berpuasa yang dapat makan dan minum setiap waktu. Perbedaan mendasar hanyalah waktu pemberian yang berbeda. YANG HARUS DIWASPADAI PADA ANAK Kondisi umum yang harus diwaspadai dalam melakukan puasa pada anak adalah anak yang mudah sakit (mengalami infeksi berulang), gangguan pertumbuhan, penyakit alergi atau asma serta gangguan perilaku (Autis, ADHD dll). Kegemukan apada anak juga merupakan kondisi yang harus diwaspadai. Pada penderita kegemukan pada anak seringkali terjadi perbedaan komposisi kesimbangan cairan tubuh dan perbedaan fungsi tubuh lainnya. Bila perlu pada kondisi tertentu sebaiknya dilakukan konsultasi ulang pada dokter anak sebelum melakukan ibadah puasa. Keadaan yang harus dihindari berpuasa pada anak akil baliq adalah penyakit infeksi akut (batuk, pilek, panas), infeksi kronis (tuberkulosis dll), penyakit bawaan gangguan metabolisme, jantung, ginjal, kelainan darah dan keganasan. Meskipun

infeksi akut virus seperti batuk, pilek atau panas yang dialami ringan, bila kondisi tubuh turun seperti berpuasa akan menimbulkan resiko komplikasi yang berat. Pengeluaran kalori yang tinggi pada anak sering diakibatkan pada aktifitas bermain harus disesuaikan dengan kondisi saat berpuasa. Tidak seperti pada manusia dewasa, pada umumnya anak masih belum bisa menakar kemampuan tubuh dan aktifitas sehari-hari. Dalam melakukan aktifitas pada usia anak hanya didominasi kesenangan dan keasyikan bermain. Sebaiknya orangtua membantu mencari kegiatan dan permainan yang sesuai dengan kondisi tubuh saat berpuasa. Sebaiknya dicari permainan yang lokasinya berada di dalam gedung atau tempat teduh, dan saat sore hari menjelang berbuka. Permainan yang menyita tenaga lebih sebaikknya dihindarkan. Peningkatan aktifitas belanja di pusat perbelanjaan saat menjelang lebaran, meskipun tampaknya ringan ternyata sangat menyita energi. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi yang nyaman saat belanja. Sebaiknya anak tidak diikutsertakan dalam kegaiatan ini, kalaupun ikut dicari waktu setelah buka puasa.

PENUTUP Puasa pada usia anak sebelum akil baliq mungkin dapat dilakukan tetapi harus cermat memperhatikan kondisi normal psikobiologisnya. Sedangkan kondisi psikobiologis setiap anak berbeda dan tidak dapat disamakan. Bila kondisi itu tidak diperhatikan maka puasa merupakan beban bagi mental dan fisik anak tersebut. Selanjutnya akan berakibat mengganggu tumbuh kembang anak. Tetapi bila puasa dilakukan dengan mempertimbangkan dengan cermat kondisi anak maka dapat merupakan pendidikan terbaik bagi perkembangan moral dan emosi anak. Buah hatiku, selamat menjalani ibadah puasa.

Dr Widodo Judarwanto SpA CHILDREN ALLERGY CLINIC PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN ANAK) Jl Rawasari selatan 50 Cempaka Putih Jakarta Pusat

Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat Rumah Sakit Bunda Jakarta Telepon : (021) 5703646 - (021) 70081995 (021) 31922005 - 0817171764 Pada bulan Ramadhan ini, ada baiknya Anda mulai mengajari si kecil untuk berpuasa. Semangat menyambut bulan Ramadhan sebaiknya ditularkan pada anak sejak dini. Bila sudah mampu, mungkin Anda bisa mulai mengajaknya puasa di bulan suci tahun ini. Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba. Dalam hitungan hari kita akan memasuki bulan penuh berkah. Umumnya, terjadi beberapa perbedaan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dan keadaan itu juga bakal dirasakan oleh anak-anak. Seperti berpuasa, salat tarawih, dan lebih banyak kegiatan agama lainnya. Agar anak tidak kaget dengan kebiasaan tersebut, sosialisasikan soal bulan Ramadhan mulai sekarang. Di saat anak belum mendapatkan pendidikan sebelum memasuki masa sekolahnya, saat itulah peranan orang tua menanamkan kehidupan sosial, moral, termasuk penanaman nilai-nilai agama.

Mendidik anak untuk mendapatkan pengajaran tentang agama memang wajib dilakukan, sama halnya dengan salat, puasa pun diwajibkan bagi mereka yang mampu. Psikolog Keluarga dari Kasandra & Associates, Kasandra Putranto MPsi menuturkan bahwa menanamkan norma agama pada anak memang sebaiknya dilakukan sejak dini dan sebaiknya dilakukan dengan cara-cara menyenangkan dan ingat, tanpa ada paksaan. Untuk mengenalkan ajaran agama memang sebaiknya dilakukan dengan cara menyenangkan. Sama halnya pada saat mengajarkan puasa, tuturnya. Kasandra menyarankan agar mengajarkan puasa kepada anak dilakukan dengan cara perlahan dan bertahap. Dimulai dari mengenalkan bahwa puasa itu adalah hukumnya wajib bagi yang sudah balig. Dan di umur anak sudah mulai bisa diajarkan berpuasa, maka kenalkanlah puasa dalam arti menahan lapar dan haus untuk waktu beberapa jam. Umumnya, pada usia lima tahun anak sudah mampu berpuasa hingga siang hari.

Dikatakan oleh psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, Sani B Hermawan Psi, bahwa mengajarkan dan mengenalkan anak pada bulan Ramadan bisa dilakukan setelah anak bisa berdialog dua arah. Misalnya usia 2 sampai 3 tahun. Kenalkan istilah Ramadhan, Lebaran, bermaaf-maafan, sahur, dan lainnya, walaupun maknanya sendiri anak belum jelas. Tetapi paling tidak, dia mengenal atau familier dengan istilah tersebut, tuturnya. Mengenalkan puasa bisa dilakukan dengan cara yang mudah, misalnya Ayo dik, temenin Bunda buka puasa. Ini kan bulan Ramadhan, jadi Bunda harus berpuasa. Atau Adik, Mama mau masak spesial buat buka puasa nanti, kamu mau mama masakin apa? Kamu mau kan ikutan puasa bareng semua keluarga. Dialog-dialog seperti itulah yang mudah dikenalkan pada anak dan membuat anak mengerti arti Ramadhan. Yang terpenting kita membuat sesuatu yang berbeda dibanding sebelumnya, tutur psikolog yang berpraktik di Kemang Timur 11 no 9 B ini. bulan

Sani mencontohkan, saat memasuki bulan suci, orang tua bisa membuat ucapan yang ditempel di pintu dengan kata selamat memasuki bulan suci Ramadhan. Hal ini bisa dilanjutkan untuk membahas makna puasa, kewajiban umat Islam, dan lainnya. Mengenalkan bulan Ramadhan, bisa juga dilakukan dengan menceritakan ceritacerita Islam yang terkandung makna Ramadhan, seperti cerita nabi Muhammad saat menjalani bulan Ramadhan yang diisi dengan kegiatan keagamaan.

Untuk itu, katakan juga kepada anak bahwa kegiatan di bulan Ramadhan bisa diisi dengan hal-hal yang tidak terlampau melelahkan agar latihan puasanya berhasil. Contohnya kegiatan melukis, melipat, membaca, ataupun membuat kue sederhana. Selain itu, yang utama juga anak diajarkan kebiasaan orang berpuasa, seperti bangun pada waktu sahur dan ikut berbuka puasa. Kalau anak sudah kuat, bisa dimulai dengan puasa setengah hari, ungkapnya. Jangan lupa untuk menjelaskan kepada anak manfaat melakukan puasa. Di antaranya dengan menjelaskan bahwa dengan puasa, maka anak jadi lebih bersyukur akan nikmat yang ada selama ini. Bahwa salah satu tujuan puasa ialah pengendalian diri.

Orangtua atau guru di sekolah bisa mengajarkan pengendalian diri pada saat puasa, seperti makan, minum, dan amarah. Hal itu bisa saja dilakukan agar anak pun lebih bisa mengontrol emosi. Selain itu, buat anak yang berhasil berpuasa, ada kebahagiaan dan kepuasan bahwa dia bisa mencapai suatu prestasi tertentu. Jika anak tidak mau menuruti perintah orangtua untuk berpuasa, jangan pernah memarahi anak. Yang harus dilakukan, orang tua harus terus memberi motivasi bahwa anak bisa melakukannya, misalnya dengan puasa bertahap dari buka jam 9, 12, 2, 4, hingga jam 6 sore sampai waktunya berbuka tiba. Agar puasa lebih menyenangkan, jangan lupa buat kegiatan yang mengasyikkan agar anak bisa mengalihkan perhatian dan terlupa bahwa dia sedang berpuasa. Jangan lupa beri reward sederhana, namun berarti agar terjadi penguatan perilaku, misalnya membeli masak-masakan yang bisa digunakan untuk ngabuburit, pesan Sani. Andhika Romadhona, 7 tahun, terlihat cemas sambil memegangi perutnya saat hari pertama puasa. Anak lelaki yang akrab disapa Dika ini mengaku lapar bukan kepalang saat itu. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Dika sudah mengeluh kepada bundanya. Tak tega melihat buah hatinya, sang bunda pun memperbolehkan Dika untuk buka, tetapi Dika menolak dengan alasan malu dengan temannya. "Nanti kalau aku ketahuan Farhan gimana? Aku kan malu kalau ketahuan buka, pasti diledekin teman-teman," tutur bocah kelas 2 SD ini. Sang bunda, Tuti Aliyah, mengatakan justru sangat senang sang anak sudah mau menjalankan puasa sejak dini. Tetapi jika sudah sakit dan ternyata dipaksakannya, itulah yang membuatnya khawatir. Berbeda halnya dengan Taufilutfi, atau yang akrab disapa Luttfi, 6 tahun. Ia dengan percaya diri mengatakan jika sudah lapar, tanpa ragu ia pun makan dan minum, kemudian melanjutkan puasanya.

"Ya wajarlah mah, namanya juga lagi latihan, nanti juga kalau aku sudah besar, aku bakal puasa seharian penuh kok," jelasnya saat ditanya sang mama mengapa Lutfi melakukan puasa yang seperti itu. Memang bagi si kecil mengajari puasa bukan hal yang gampang. Tapi tentu saja Anda tak boleh menyerah. Melatih anak puasa sebenarnya bisa dilakukan sejak usia balita. Memang sebagai langkah awal, si kecil tak harus puasa sehari penuh. Anak

bisa memulai puasa dengan puasa tengah hari. Anak juga harus diberi pemahaman soal puasa itu sendiri. Selain menambah pendidikannya mengenai agama, anak juga diajarkan untuk hidup sehat. Mendidik anak untuk mendapatkan pengajaran tentang agama memang wajib dilakukan. Di saat anak belum mendapatkan pendidikan sebelum memasuki masa sekolahnya. Nah di sinilah pentingnya peranan orangtua menanamkan kehidupan sosial, moral, termasuk penanaman nilai-nilai tentang agama. Lantas bagaimana menanamkan nilai agama termasuk puasa pada si kecil? Psikolog Keluarga dari Kasandra & Associates, Kasandra Putranto M.Psi mengatakan bahwa menanamkan norma agama pada anak memang sebaiknya dilakukan sejak dini dan sebaiknya dilakukan dengan cara-cara menyenangkan tanpa ada paksaan. "Untuk mengenalkan ajaran agama memang sebaiknya dilakukan dengan cara menyenangkan. Sama halnya pada saat mengajarkan puasa," tuturnya. Kasandra menuturkan, mengajarkan puasa pada anak dilakukan dengan cara perlahan. Dimulai dari mengenalkan bahwa puasa itu adalah hukumnya wajib bagi yang sudah akil balig. Mengenalkan anak tentang puasa dan melatih anak untuk betul- betul mulai berpuasa itu memang beda. Sebelum anak mengerti betul tentang puasa, semisal pada umur balita sampai usia 7 tahun, bila Ramadhan akan segera tiba, orangtua bisa mengenalkan serta melibatkan anak pada kegiatan-kegiatan pada bulan Ramadhan. Meski belum ikut berpuasa, tapi libatkan si kecil untuk ikut buka puasa bersama, tadarusan atau mengaji, salat tarawih juga sahur. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan mendengarkan lagu-lagu tentang puasa, cerita Ramadhan atau pengalaman masa kecil orangtua saat berpuasa. Dengan cara tersebut secara tidak langsung dapat memotivasi anak untuk belajar puasa. "Biarkan anak puasa sekuatnya, jangan dipaksakan. Atau orangtua bisa memberikan anjuran untuk melakukan puasa dengan bertahap," ucap psikolog yang juga aktif mengajar di Universitas London School of Public Relations ini. Bertahap bisa dilakukan dengan puasa pada minggu pertama selama 4-5 jam. Bila sudah kuat, tambah jam puasa menjadi 6 jam pada minggu ke-2. Kemudian menambahnya lagi menjadi 9 jam untuk minggu-minggu berikutnya. Atau melatih puasa pada anak bisa juga dilakukan dengan melihat dari umur anak. Semisal anak masih balita, jika anak memaksa untuk ikut puasa, 3 jam pun cukup.

"Jika anak tetap dipaksakan, maka dikhawatirkan, yang ada anak menjadi tidak mau berpuasa," tutur psikolog dari dua anak ini. Disarankan bagi anak yang ingin berpuasa, saat sahur untuk meminum segelas teh manis dan jangan biarkan si kecil berpuasa tanpa sahur. Dan agar kondisi tubuh anak tetap prima, sebaiknya pada malam hari anak tidur lebih awal. Didiklah anak melakukan puasa dengan rasa kasih sayang. Mendidik anak untuk berpuasa juga membantu anak mencapai kedewasaan, baik dari segi akal, ruhiyah dan fisik. Dimulai dari kenal dan mengetahui sesuatu, kemudian anak mau dan bisa hingga akhirnya menjadi biasa memang tidak membutuhkan waktu yang sebentar. Selain waktu, juga harus diperhatikan dari kemauannya yang kuat, juga kesabaran, serta semakin awal mengajarkannya, maka semakin baik. "Jangan pernah memaksa anak untuk melakukan kegiatan apa pun karena anak pun tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Biarkan mereka melakukan sesuai kemampuannya. Karena semakin anak besar, maka semakin tumbuh juga rasa tanggung jawab anak," pesan psikolog yang berpraktik di kawasan Pela, Jakarta Selatan ini. (fn/z2k/se ASPEK MEDIS PUASA PADA ANAK Dr Widodo Judarwanto SpA Memasuki bulan ramadhan, anak belum akil baliq tidak termasuk umat yang diwajibkan berpuasa. Tetapi pada kenyataannya banyak anak pra akil baliq sudah berpuasa penuh layaknya orang dewasa. Ibadah yang cukup berat ini dilakukan baik oleh keinginan sendiri ataupun karena keinginan orangtua. Bagaimana pengaruh bagi kesehatan anak dan apakah yang harus diwaspadai ? Periode akil baliq biasanya terjadi saat anak sudah mulai masa pubertas atau sekitar usia 12 tahun. Anak perempuan akan mendapat menstruasi dan payudara mulai berkembang. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, bentuk fisik berubah secara cepat, dan sudah mengalami peristiwa mimpi basah. Sejak saat inilah anak diwajibkan untuk berpuasa. Banyak orang tua beralasan dalam mendidik beribadah khususnya puasa harus dilakukan secara dini dan bertahap. Tak jarang puasa sudah dikenalkan pada anak sejak usia 6 atau 7 tahun meskipun baru puasa setengah hari. Menurut perspektif agama Islam bila ibadah termasuk yang tidak wajib boleh dilakukan asalkan mampu dan tidak dipaksakan. Bila ditinjau dalam bidang kesehatan tampaknya puasa juga mungkin bisa dilakukan oleh anak usia pra akil baliq tetapi harus cermat

dipertimbangkan kondisi dan keterbatasan kemampuan anak. Sampai saat ini tampaknya belum banyak penelitian dilakukan terhadap pengaruh berpuasa pada anak dikaitkan dengan aspek kesehatan dan tumbuh kembang anak.

FAKTOR PSIKOBIOLOGIS Aspek kesehatan secara psikobiologis anak usia sebelum akil baliq dapat ditinjau dari aspek tumbuh kembang anak dan fungsi biologis. Aspek perkembangan meliputi perkembangan psikologis seperti perkembangan emosional, perkembangan moral dan perilaku lainnya. Fungsi biologis meliputi aspek fisiologis tubuh, metabolisme tubuh, kemampuan fungsi organ dan sistem tubuh. Dari aspek perkembangan khususnya kecerdasan dalam periode ini anak mulai banyak melihat dan bertanya. Fantasinya berkurang karena melihat kenyataan, ingatan kuat daya kritis mulai tumbuh, ingin berinisiatif dan bertanggung jawab. Perkembangan rohani pemikiran tentang Tuhan sudah mulai timbul. Anak sudah mulai dapat memisahkan konsep pikiran tentang Tuhan dengan orangtuanya. Tetapi pemahaman tentang konsep ini masih terbatas, bahwa Tuhan itu ada. Demikian pula dalam perkembangan moral, pada periode ini pemahaman konsep baik dan buruk masih sederhana. Makna pemahaman ini hanya sebatas sekedar tahu. Artinya kenapa kewajiban agama dan kebaikan perilaku harus dilakukan belum dipahami secara sempurna. Sehingga dalam melakukan ibadah puasa juga lebih dilatarbelakangi karena factor fisik tidak dipahami secara moral. Kalaupun moral berperann lebih dari sekedar hubungan manusia dan manusia. Niat ibadah puasa dikerjakan berdasarkan pengaruh hubungan keluarga atau lingkungan. Misalnya, anak berpuasa karena teman sekelas atau sepermainan sudah berpuasa. Atau, bila berpuasa penuh akan mendapat hadiah dari orang tua. Dalam aspek biologis kondisi fisiologis tubuh khususnya metabolisme tubuh, fungsi hormonal dan fungsi sistem tubuh usia anak berbeda dengan usia dewasa. Bila aktifitas berpuasa merupakan beban yang tidak sesuai dengan kondisi fisiologis anak dapat berakibat mengganggu tumbuh dan berkembangnya anak. Demikian pula dalam hal mekanisme sistem imun atau pertahanan tubuh anak dan dewasa berbeda. Ketahanan anak dalam merespon masuknya penyakit dalam tubuh lebih lemah. YANG HARUS DIWASPADAI Mengingat fungsi psikobiologis anak berbeda dengan dewasa, maka harus dicermati pengaruh puasa terhadap anak. Pengaruh negatif yang harus diwaspadai adalah berkurangnya jam tidur anak. Saat bulan ramadhan jadwal aktifitas anak berbeda dengan sebelumnya. Dalam bulan tersebut aktifitas anak bertambah dengan

kegiatan sholat tarawih, makan sahur atau kegiatan pesantren kilat. Bila jam tidur ini berkurang atau berbeda dengan sebelumnya akan mempengaruhi keseimbangan fisiologis tubuh yang sebelumnya sudah terbentuk. Gangguan keseimbangan fisiologis tubuh ini akan berakibat menurunkan fungsi kekebalan tubuh yang berakibat anak mudah sakit. Sebaiknya orang tua harus ikut merencanakan dan mamantau jadwal aktifitas anak termasuk jam tidur anak dengan cermat. Pada usia pra akil baliq kebutuhan tidur anak secara normal berkisar antara 10-12 jam per hari, dengan rician malam hari 10 jam siang hari 1-2 jam. Dalam bulan ramadan orang tua hendaknya dapat memodifikasi jadwal tidur ini dengan baik.

Pengaruh lain yang harus diamati adalah pengaruh asupan gizi pada anak. Jumlah, jadwal dan jenis gizi yang diterima akan berbeda dengan saat sebelum puasa. Dalam hal jumlah mungkin terjadi kekurangan asupan kalori, vitamin dan mineral yang diterima anak. Aktifitas yang bertambah ini juga akan meningkatkan kebutuhan kalori, vitamin dan mineral lainnya. Padahal saat puasa relatif pemenuhan kebutuhan kalori lebih rendah. Bila keseimbangan asupan gizi terganggu dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh sehingga anak mudah terserang penyakit. Dalam keadaan seperti ini tampaknya pemberian suplemen vitamin cukup membantu. Parameter yang paling mudah untuk melihat asupan kalori cukup adalah dengan memantau berat badan anak. Bila berat badan anak tetap atau meningkat mungkin puasa dapat dilanjutkan. Tetapi bila berat badan menurun drastis dalam jangka pendek sebaiknya puasa harus dihentikan. Demikian pula dengan jenis asupan gizi yang diterima. Variasi dan jumlah makanan yang didapatkan saat bulan puasa akan berbeda dengan sebelumnya. Saat bulan puasa variasi makanan yang tersedia biasanya lebih banyak. Pada penderita alergi pada jenis makanan tertentu harus diwaspadai karena dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan. Menurut pengalaman praktek sehari-hari kasus alergi makanan pada anak cenderung meningkat saat bulan puasa. Kegiatan puasa berpengaruh terhadap perkembangan emosi, perkembangan moral dan perkembangan psikologis anak. Tidak dapat disangkal lagi bahwa ibadah puasa mempunyai pengaruh positif terhadap pendidikan perkembangan anak. Tetapi harus diwaspadai bahwa aktifitas puasa juga dapat berpengaruh negatif bila tidak mempertimbangkan kondisi taraf perkembangan anak. Hal ini terjadi bila ibadah ini dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Dalam keadaan normal emosi dan perilaku anak sangat tidak stabil. Saat puasa yang dalam kondisi lapar dan haus akan sangat mempengaruhi kestabilan emosi dan perilaku anak. Kondisi umum yang harus diwaspadai dalam melakukan puasa pada anak adalah anak yang mudah sakit (mengalami infeksi berulang), gangguan pertumbuhan,

penyakit alergi atau asma serta gangguan perilaku (Autis, ADHD dll). Keadaan yang harus dihindari berpuasa pada anak akil baliq adalah penyakit infeksi akut (batuk, pilek, panas), infeksi kronis (tuberkulosis dll), penyakit bawaan gangguan metabolisme, jantung, ginjal, kelainan darah dan keganasan. Meskipun infeksi akut virus seperti batuk, pilek atau panas yang dialami ringan, bila kondisi tubuh turun seperti berpuasa akan menimbulkan resiko komplikasi yang berat. Puasa pada anak mungkin dapat dilakukan tetapi harus cermat memperhatikan kondisi normal psikobiologisnya. Bila kondisi itu tidak diperhatikan maka puasa merupakan beban bagi mental dan kesehatan anak. Selanjutnya akan berakibat mengganggu tumbuh kembang anak. Tetapi bila puasa dilakukan dengan mempertimbangkan dengan cermat kondisi anak maka dapat merupakan pendidikan perkembangan moral dan emosi anak. Selamat berpuasa, anakku....

Tips dan Kiat Mendidik Anak untuk Berpuasa

Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi kaum muslim yang sudah baliq. Tidaklah mudah menjalankan puasa untuk pertama kali, apalagi untuk anak-anak. Untuk itu ada baiknya jika kita dapat mengajarkan puasa pada anak sejak dini. Berikut beberapa tips mendidik anak untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Ajaklah anak-anak kita sahur bareng bersama keluarga, ini untuk membiasakan diri agar mereka dapat memahami waktu sahur. Pastikan untuk selalu melakukan sahur agar mendapatkan sumber energi. Menu makanan sahur dibuat sesuai dengan kesukaan anak, tentunya dengan mengutamakan kandungan gizi, karbohidrat dan nutrisi yang cukup. Ini untuk merangsang anak agar mau makan sahur. Buat suasana saat sahur menyenangkan buat anak karena pada saat ini anak masih terasa sangat mengantuk. Tingkatkan konsumsi makanan yang mengandung lemak untuk membantu menghindari rasa lapar dan serat untuk memperlancar buang air besar. Berikan minuman yang mengandung gula seperti teh manis, susu, atau jus buah. Karena gula mudah larut dan diserap oleh tubuh sehingga dapat dengan cepat digunakan sebagai sumber energi.

Tidak memberikan vitamin penambah nafsu makan saat sahur karena dapat membuat anak cepat lapar. Di siang hari jika anak kita merasa lapar dan tidak bisa menahan lapar, biarkan mereka makan lalu dilanjutkan puasanya sampai waktu berbuka. Berikan motivasi dan penghargaan kepada anak-anak jika mereka berhasil berpuasa satu hari penuh. Penghargaan tidak harus berupa tambahan uang saku tapi bisa juga dengan memberikan menu spesial kesukaan anak saat berbuka. Saat berbuka puasa, mulailah dengan memakan atau minum yang manis seperti buat kurma atau teh manis. Dianjurkan untuk minum yang hangat tidak dingin (es). Makan saat berbuka jangan sampai kekenyangan karena akan membuat perut sakit sehingga anak menjadi trauma. Makanlah secara bertahap. Misalnya setelah sholat magrib lalu dilanjutkan setelah sholat isya. "Puasalah kamu, niscaya kamu akan sehat". Hadist Rasulullah saw itu bukan hanya baik disematkan bagi semua umat muslim dewasa, tetap juga anak-anak. Dalam keseharian pada bulan non-Ramadhan, anak-anak banyak menghabiskan waktu untuk makandan minum sepuas mereka tanpa mencermati kandungan gizi yang ada di dalamnya. Bagaimana orang tua mengantisipasi kebiasaan itu?

Selain mengajarkan anak untuk lebih berhati-hati mengonsumsi panganan, menjelaskan manfaat dan kandungan makanan, pengendalian diri terhadap nafsu makan juga sangat bermanfaat. Salah satunya tentu saja melatih si kecil berpuasa.

Dokter anak sekaligus ahli gizi, dr. Khairunnisa memaparkan beberapa manfaat yang didapat jika anak-anak dilatih berpuasa sejak dini. Ia malah menyarankan agar melatih puasa pada anak sejak umur 3 hingga 6 tahun. "Tidak ada ketentuan baku dari umur berapa anak dilatih untuk puasa, tapi lebih baik dari umur 3 sampai 6 tahun. Sehingga, nantinya anak terbiasa," ungkap dokter yang akrab disapa Nisa, Rabu (4/8).

Permulaan puasa pada anak, lanjut Nisa, adalah sesuatu yang baru dan patut dicoba. Namun, karena tingkat ketahanan setiap anak berbeda, sebaiknya orang tua melatih berpuasa sesuai kemampuan si bocah. "Orang tua tidak perlu terlalu memaksakan," tutur Kharunnisa.

Lagipula memaksakan anak berpuasa dalam rentang waktu yang tidak mereka sanggupi, menurut Nisa dikhawatirkan dapat merusak persepsi anak tentang puasa. "Ikuti saja dulu kemampuan anak," lanjut Nisa.

Menurut Nisa, dampak puasa bagi kesehatan anak juga besar. Baik dampak jasmani juga rohani. "Tentu lebih sehat, biasanya mereka jajan atau makan tanpa pantauan orang tua. Nah, kalau si anak puasa, pola makan akan diatur oleh orangtuanya. Jadi nilai gizinya insya Allah lebih baik," papar Nisa.

Dilihat dari perspektif rohani, puasa juga dapat melatih kesabaran dan kedisiplinan mereka. "Terutama disiplin dalam jam makan," katanya.

Khairunnisa juga memaparkan, pada dasarnya, puasa itu bermanfaat dalam menyeimbangkan fungsi tubuh, terutama fungsi sistem pencernaan. "Dapat dibayangkan organ-organ pencernaan kita seperti mulut, lambung, usus tidak berhenti bekerja selama hidup. Puasa itulah saat yang tepat untuk mengistirahatkan sekaligus membersihkan seluruh alat pencernaan tersebut," jelasnya.

Dengan pemulihan fungsi pencernaan, ujarnya, maka fungsi sistem tubuh yang lain diharapkan dapat menyembuhkan diri dari berbagai macam penyakit agar kembali pulih dan normal. Dalam istilah kedokteran proses itu menurut dia, disebut self healing atau penyembuhan dari diri sendiri.

"Pada dasarnya, tubuh kita diciptakan untuk mampu menyembuhkan diri sendiri dan kemampuan ini sangat luar biasa. Namun, self healing dapat terjadi jika tubuh diberi kesempatan untuk pemulihan dengan puasa itu," jelasnya.

Meskipun setiap manusia memiliki kemampuan self healing, Khairunnisa tetap menganjurkan untuk tetap juga sebaiknya mempraktekan pola hidup sehat saat

puasa. Ia memberikan beberapa anjuran yaitu memilih makanan yang alami, makan tidak berlebihan, mengunyah makanan 30-50 kali tiap suapan dan membiasakan diri rajin mengkonsumsi buah dan sayur. (Red: Ajeng Ritzki Pitakasari | Rep: Ina Febriani | republika.co.id) Puasa Ramadan dan Pendidikan Kepribadian Pada Anak Jumat, 04 September 2009 23:04

Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, penuh empatik terhadap kesusahan dan segala permasalahan sosialdi lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti, akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama di dalam hidupnya (religius), dan berkepribadian.

Lain halnya dengan seseorang yang di masa kecilnya, terutama masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 - 12 tahun. Seorang anak yang pada masa itu tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dan tidak mempunyai pengalaman terhadap hal-hal yang bersifat sosial, maka setelah dewasa nanti, ia akan cenderung menjadi seseorang yang berkepribadian egois, apatis atau cuek (memiliki pandangan atau sikap negatif) terhadap hal-hal yang bersifat sosial dan agama.

Puasa ramadhan sebagai wahana atau media untuk mendidik kepribadian anak sangat besar pengaruhnya. Adapun nilai-nilai atau makna yang terkandung di dalam ibadah puasa antara lain :

1. Nilai Keagamaan

2. Puasa mengajarkan kedisiplinan

3. Puasa melatih pengendalian hawa nafsu

4. Puasa dan kesehatan jasamani dan rohani

5. Puasa mengajarkan solidaritas sosial

Nilai Keagamaan. Puasa ramadhan adalah sikap, perilaku atau amal ibadah yang dibebankan pada setiap muslim yang telah dewasa (baligh) tanpa kritik. Kewajiban tersebut adalah menahan segala bentuk dorongan atau menahan segala bentuk keinginan pemenuhan hal-hal yang ber-sifat biologis (makan, minum, dorongan sex bagi yang sudah berumah tangga) atau menahan nafsu amarah,iri, dengki, dan sikap jelek lainnya sejak imsak sampai saat berbuka puasa. Sebaliknya bagi seseorang yang melanggar aturan tersebut maka akan batallah puasanya (mengurangi nilai pahala puasa).

Makna puasa ramadhan pada dimensi ini adalah melatih dan menanamkan nilainilai iman, islam, dan ikhsan pada anak.

Dengan latihan berpuasa anak mulai dilatih sejak usia dini untuk mulai belajar mengamalkan ajaran-ajaran agama (Puasa). Anak dilatih dan diberi pembelajaran tentang apa itu puasa, bagaimana cara berpuasa yang baik, amalan apa yang sebaiknya dilakukan pada saat puasa, dan apa pahalannya bagi orang-orang yang berpuasa dengan baik. Dengan kata lain, dengan latiahan puasa ramadhan anakanak mulai belajar mengenal hukum-hukum Allah. Anak mulai diberi latihan

mengamalkan Iman, Isalam, dan Ikhsan sejak usia dini.Di sini peranan kedua orang tua sangat penting dalam melatih dan memberikan pengarahan tentang amalanamalan agama pada anak. Karena orang tua merupakan titik pusat kehidupan keagamaan anak dirumah.

Pendidikan dan latihan keagamaan anak pada usia dini pada dasarnya sangan penting dan mendasar. Karena keimanan atau keshalihan seseorang setelah dewasa pada dasarnya ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa kecilnya dulu. Seseorang yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapat didikan tentang agama, maka pada masa dewasanya nanti ia tidak akan merasakan pentingnya beragama. Sebaliknya seseorang yang pada masa kecilnya diberikan pendidikan dan latihan-latihan keagamaan, maka orang tersebut dengan sendirinya akan memiliki kecenderungan hidup sesuai dengan norma-norma agamanya, terbiasa menjalankan ibadah, takut melakukan tindakan yang melanggar aturan agama dan dapat merasakan nikmatnya hidup beragama.

Puasa mengajarkan kedisiplinan. Setiap tindakan peribadatan pada hakekatnya didasarkan pada hukum atau aturan yang jelas dan tegas (Al-Quran dan Al-Hadits) bagi setiap muslim, dan aturan tersebut menuntut setiap muslim bertingkah laku sesuai dengan aturan atau norma itu, disertai dengan sikap tanggung jawab atas tingkah lakunya tersebut (menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya, serta mengamalkan segala yang diijinkan). Sebaliknya bagi siapa yang melanggarnya maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi atau hukuman atas perbuatannya tersebut.

Demikian halnya dengan puasa, adalah tindakan peribadatan yang didasarkan atas aturan yang jelas dan tegas, misalnya kapan saatnya saur dan berbuka puasa. Pada saat berpuasa dilarang melakukan perbuatan yang munkar, dan di perintahkan memperbannyak amalan-amalan yang baik.Bagi siapa yang melanggar aturan tersebut maka akan berkurang nilai pahala dari puasanya tersebut, dan dalam tingkat pelanggaran yang lebih fatal, maka akan hilang pahala atau membatalkan puasa orang tersebut.

Pada saat anak masih belum dapat memahami hal-hal yang abstrak dan berfikir logis, makna kewajiban, kedisiplinan, dan sikap tanggung jawab, maka latihanlatihan untuk berperilaku yang baik pada anak sangat ditekankan guna

menghindari kebiasaan berperilaku yang negatif, latihan ini diberikan secara tetap sampai anak menjadi terbiasa.

Puasa melatih pengendalian hawa nafsu. Hikmah lainnya dari berpuasa adalah, dengan berpuasa maka seorang anak dilatih untuk mengendalikan atau menahan dorongan nafsunya. Dengan berpuasa anak dilatih untuk belajar menahan lapar dan haus, sejak imsak sampai dengan saat berbuka puasa. Anak juga dilatih untuk bersabar dan mengendalikan dorongan nafsu amarahnya,dan dorongan nafsu-nafsu lainnya. Latihan bersabar dan mengendalikan hawa nafsu ini sangat penting bagi anak setelah dewasa nanti.

Setiap manusia memiliki nafsu dan dipergunakannya untuk kehidupannya dalam bermasyarakat. Salah satu sifat atau kecenderungan dari nafsu tersebut adalah memaksakan hasratnya -hasratnya dalam upaya memuaskan diri. Oleh karena itu, puasa bagi anak sebagai sarana untuk melatih bersabar, dan latihan mengendalikan nafsunya adalah suatu keharusan. Karena bila anak tidak dillatih dan diajarkan mengendalikan hawa nafsunya sejak usia dini, maka kelak nanti setelah dewasa akan menjadi pribadi yang cenderung destruktif.

Puasa dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik dan mental. Dalil yang mengatakan puasalah kamu supaya sehat bukanlah isapan jempol belaka. Telah banyak bukti-bukti medis yang mengatakan bahwa dengan berpuasa maka tubuh menjadi sehat dan bugar. Hal ini terjadi karena dalam keadaan biasa seseorang (anak) terlalu berlebihan dalam hasrat untuk makan, minum.

Hal ini membuat kerja organ tubuh (pencernaan) bekerja secara berlebihan, dan kondisi seperti ini bila terus berkelanjutan, maka akan membuat kesehatan seseorang menurun. Pada sisi lain, puasa disamping berpengaruh positip terhadap kesehatan tubuh, puasa juga berdampak positip terhadap kesehatan mental anak.

Pada saat berpuasa, kondisi fikiran dan emosi seseorang harus benar-benar terjaga dari hal-hal yang bersifat negatip. Di sini anak dilatih untuk menjaga fikiran dan emosinya dari sifat-sifat negatip (pesimis, iri, dengki,dan takabur), karena bila kondisi mental anak terus dibiarkan seperti ini, dapat berpengaruh terhapak

kesehatan mentalnya, yaitu kelak setelah dewasa menjadi manusia yang loyo (lemah kemauannya), pendendam, iri, dan takabur. Dan sebaliknya dengan menjaga hati dan fikiran anak tetap optimis, tawadlu, dan ikhlas, kelak setelah dewasa menjadi manusia yang berkepribadian baik.

Puasa mengajarkan solidaritas sosial. Salah satu dampak langsung dari berpuasa terhadap anak adalah rasa lapar dan haus. Hal ini terjadi karena berpuasa pada dasarnya adalah menahan rasa lapar dan dahaga sejak imsak sampai dengan saat berbuka puasa. Hikmah dari ajaran untuk menahan rasa lapar dan dahaga adalah sikap solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Di sini anak diberi pembelajaran ikut merasakan penderitaan orang lain (fakir miskin) yang hidupnya serba kekurangan. Anak dilatih ikut merasakan betapa sakit dan susah bila perut terasa lapar dan haus seperti yang dialami saudara-saudaranya.

Dari latihan ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa empatik pada anak, ikut merasakan senasib dan sepenanggungan, dan akhirnya akan melahirkan kepribadian yang luhur pada diri anak, yaitu suka membantu terhadap sesamanya yang serba kekurangan (fakir miskin), tidak sombong dan angkuh.

Anak adalah generasi penerus dan pewaris dari kehidupan yang akan datang. Oleh karena itu, setiap orang tua pasti ingin kelak anak-anaknya menjadi manusia yang berkepribadian luhur dan berakhlak mulia, menjadi Insan Kamil, yaitu manusia yang tidak hanya cerdas IQnya (Iintelektual Quotient) , tetapi juga cerdas ESQnya (Emotional Spiritual Quotient). Semuanya itu dapat dilakukan dengan pendidikan dan latihan, baik yang formil (di sekolah) maupun yang non formil (di rumah oleh orang tua). Setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melaui pengamatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut berperan membentuk kepribadiannya. Tanpa dirasa, Ramadhan telah tiba. Bulan yang penuh rahmah dan berkah. Bulan yang penuh dengan pengampunan dan pembebasan dri api neraka. Buat kita orang tua, yang telah berpuluh kali menjalani puasa tentu sudah tahu apa tujuan, makna dan faedah puasa, tapi bagaimana dengan anak-anak kita?

Apa yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita tentunya mendorong kita untuk semakin memperhatikan pendidikan anak-anak kita agar mereka bisa menjadi

anak-anak yang sholeh dan solihah. Anak-anak yang ketika dewasa nanti bisa menjadi muslim yang baik, anak yang taqwa dan selalu mendahulukan Allah, ketika kita harus pergi menghadap Allah, dia bisa menyembahyangkan dan selalu mendoakan kita pula, ketika kita menjadi penghuni alam barzah.

Untuk itu marilah kita manfaatkan semaksimal mungkin kesempatan emas dengan datangnya Ramadhan yang mulia ini untuk memberikan latihan-latihan ruhiyah bagi anak-anak kita, dengan mempersiapkan dan melatih mereka menjalankan ibadah puasa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Kapan anak sudah bisa kita latih berpuasa? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak sebuah hadits ketika seseorang bertanya kepada Rosulullah tentang : Kapan seorang anak dilatih untuk shalat? Rosulullah menjawab: Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Kalau kita memperhatikan hadits di atas, menurut bapak ibu usia berapa anak kita bisa membedakan tangan kanan dan tangan kirinya? Tentu sekitar 2 sampai 3 tahun bukan? Pada hadits yang lain Rosulullah saw bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukulah ia pada usia 10 tahun (jika meninggalkannya ) (HR Abu Daud dan Tirmidzi dari Sabrah bin Ma??bad Al-Juhani ra).

Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad fil Islam mengatakan bahwa perintah mengajar shalat ini dpat disamakan untuk ibadah lainnya seperti shoum dan haji bila telah mampu. Mengikuti kedua hadits dan pendapat di atas,dapat dikatakan bahwa seperti halnya shalat maka puasapun sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak mereka berusia dua atau tiga tahun, yaitu ketika mereka sudah tahu membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Kalau memang sudah demikian kata Rosulullah tentu tidak ada alasan buat kita membantahnya.

Bagaimana dasar ilmiah dan psikologisnya melatih anak anak sejak dini?

1. Hasil temuan tentang otak yang dipublikasikan bulan Oktober tahun 1997 di Amerika menunjukkan bahwa pada saat lahir Alllah iu membekali manusia dengan 1 milyar sel-sel otak yang belum terhubungkan satu dengan yang lainnya. Sel-sel ini akan saling berhubungan bila anak mendapat perlakuan yang penuh kasih sayang,

perhatian, belaian bahkan bau keringat orang tuanya. Hubungnan sel-sel tersebut mencapai trilliun begitu anak berusia 3 tahun.

Dari usia 3 sampai 11 tahun terjadi apa yang disebut proses restrukturisasi atau pembentukan kembali sambungan-sambungan tersebut. Hal-hal yang tidak ulangulang akan menjadi lapuk dan gugur. Bila temuan ini kita hubungkan dengan hadits di atas, maha benar Rosulullah bahwa kita perlu memperkenalkan berbagai hal kepada anak kita termasuk di dalamnya masalah beribadah sedini mungkin dan mengulang-ulangnya selama 7 tahun, sehingga pada usia 10 tahun anak kita bukan saja sudah mampu melakukannya dengan baik tapi juga insya Allah telah memahami makna pentingnya ibadah tersebut sehingga ia rela menerima sanksi bila ia tidak menunaikan ibadah tersebut dengan baik.

2. Kita mengetahui bahwa anak lahir dalam keadaan fitrah, sehingga mudah dibentuk sesuaidengan apa yang diinginkan orang tuanya.

3. Pada usia muda, anak menerima nilai dan kebiasan yang kita tanamkan dengan mempercayainya tanpa argumen. Usia 0-3 tahun ego anak belum begitu berkembang sehingga dia tidak seperti anak yang lebih besar yang egonya sudah mengalami perkembangan lebih baik, sehingga gampang protes.

4. Masa anak-anak adalah masa yang sangat menentukan bagi pembentukan kepribadiannya kelak. Hal-hal yang baik maupun buruk yang terjadi dimasa balita mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupannya kelak.

5. Memanfaatkan daya ingat anak yang kuat semasa kecil seperti pepatah Arab : Belajar diwaktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air.

6. Sebelum usia 5 tahun tokoh identifikasi anak adalah orang tua. Bila dia bertambah besar dan lingkungan pergaulannya sudah melebar dari hanya rumah maka anak juga mulai mengidentifikasi orang-orang lain di sekitarnya.

7. Mendidik anak tidak sama dengan mengajar. Mendidik anak adalah membantu anak mencapai kedewasaan baik dari segi akal, ruhiyah dan fisik. Jadi apa yang kita lakukan adalah membantu anak untuk kenal dan tahu sesuatu, kemudian dia mau dan bisa kemudian menjadi biasa dan terampil mengamalkannya. Hal ini bukan saja membutuhkan waktu yang lama tetapi juga kemauan yang kuat, kasabaran, keuletan dan semakin awal memulainya semakin baik.

Bagaimana kiatnya? Kiat utamanya adalah seperti apa yang tergambar dari riwayat bawah ini:

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkandari Ar-Rubaiyyi binti Muawwidz, berkata : Rosulullah saw mengutus seseorang pada pagi hari Asyura ke perkampungan orang-orang Anshor, katanya: Siapa yang pagi ini berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya. Maka kamipun menyempurnakan puasa pada hari itu dan kami mengajak anak-anak kami berpuasa. Mereka kami ajak ke masjid, lalu kami beri mereka mainan dari benang sutera. Jika mereka menangis minta makan kami berikan mainan itu, sampai datang waktu berbuka. Hadits di atas mengajarkan kepada kita metode yang tepat dalam melatih anak beribadah yaitu melalui permainan.

Bukankah bermain itu dunia anak-anak? Dan sudah pasti mereka menyukainya. Bagi kita orang tua, walaupun kelihatannya sepele hal ini tidaklah mudah. Bagaimana menyampaikan apa yang kita tahu tentang puasa itu dengan cara yang menyenangkan kalau bisa melalui bermain. Ini melalui persiapan dan ketekunan.

You might also like