You are on page 1of 13

PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH Gaseh mak oh rambat, gaseh ayah oh jeurat, gaseh teungku troh akherat (kasih ibu

sampai ditangga, saying ayah sampai di pusara, cinta ulama hingga alam baka) A. Waktu Masuknya Islam ke Aceh Banyak sarjana telah menyatakan pendapatnya tentang penetapan waktu yang pasti masuknya agama islam ke Indonesia, khususnya ke aceh. Hal ini tidak mengherankan, karena warisan sejarah zaman yang lalu kebanyakan telah bercampur dengan dongeng banyak sekali perbedaan tentang masuknya islam ke Indonesia. Ada yang menyatakan pada abad 13 masehi menurut Hoesein Djajaningrat, A Mukti Ali dam Mahmud Yunus. Dan ada juga yang menyatakan bahwa islam masuk ke indonesia pada pada abad 7-8 masehi. Pendapat ini didukung oleh Hamka, Moh Said, D.Q nasution, Ok Rahmat, Dahlan Mansur dan lain-lain.1 Pada umumnya para ahli sejarah berpendapat bahwa pantai Sumatera bagian utara-lah yang mula-mula menerima ajaran Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa Barus adalah daerah islam pertama di Indonesia. Alasan bahwa Barus yang mula-mula menerima penyiaran Islam, karena sejak zaman kuno Barus sudah berperan sebagai Bandar transito dalam dunia perdagangan di wilayah nusantara. perdagangan Islam lebih dahulu datang di Barus, baru menuju Bandar-bandar dagang lainnya di Nusantara . H. M. Zainuddin berpendapat bahwa Peureulak yang mula-mula menerima agama islam dengan menggunakan sumber kitab Idhahul Haq fi mamlakatil, buah tangan Abu Ishak Almakarany. B. Defenisi Pendidikan Umun dan Islam 1. Arti Pendidikan secara etimologi Pendidikan bersala dari bahaa yunani yaitu Paedagogie. Yang terdiri dari kata PAIS , artinya anak, dan AGAIN diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.

H.M Thamrin Z, Aceh melawan Penjajahan Belanda, CV. Wahana, Jakarta, 2004 Hal : 7

2. Secara definitif pendidikan (Paedagogie) diartikan oleh para tokoh pendidikan, sebagai berikut : a) John Dewey

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fumdamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. b) Langeveld adalah mempengaruhi anak dalam usaha

Mendidik

membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak/ yang elum dewasa. c) Hoogeveld

Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelnggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri. d) SA. Bratanata dkk.

Pendidikan adalah usaha yang disengaja diadakan baik langsung maupun dengan ara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya. e) Rousseau

Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa. f) Ki Hajar Dewantara

Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. g) GBHN

Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.2

Drs. H. Abu Ahmadi & Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pedidikan, hal : 68-70

Tentang kata Islam, ada yang mengartikannya sebagai penyerahan diri secara tentram dengan sepenuhnya terhadap kehendak Allah tanpa perlawanan. Disisi lain ada yang mengartikan Islam itu dengan perkataan damai atau sejahtera. Dengan demikian Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan kepada jaran islam sesuai dengan ajaran islam. Pendidikan islam menuntut agar setiap orang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah. Pendidikan islam berusaha mencapai kesejahteraan dan keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat dengan selalu berpedoman kepada perintah Allah dan rasulnya.3 Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islamsebagai suatu system keagamaanmenimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi istilah tarbiyah, talim, dan tadib yang harus dipahami secara bersamasama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. AlDzariat:56; S. ali Imran: 102). 4 Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif [kedewasaan], baik secara akal, mental maupun moral, untuk

H.M Thamrin Z, Aceh melawan Penjajahan Belanda, CV. Wahana, Jakarta, 2004 Hal : 16 Ditulis pada Februari 27, 2008 oleh mawardiumm. http://www.indomedia.com/bpost/052004/28/opini/opini1.htm
4

menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba [abd] dihadapan Khaliq-nya dan sebagai pemelihara [khalifah] pada semesta [Tafsir, 1994]. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik [generasi penerus] dengan kemampuan dan keahlian [skill] yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat [lingkungan], sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai proses pembentukan diri peserta didik [manusia] agar sesuai dengan fitrah keberadaannya [al-Attas, 1984]. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan - terutama peserta didik -- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya, yaitu: 1. Al-Quran dan Sunnah, karena memberikan prinsip yang penting bagi pendidikan yaitu penghormatan kepada akal, kewajiban menuntut ilmu dsb. 2. Nilai-nilai social kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. 3. Warisan pemikiran Islam, yang merupakan refleksi terhadap ajaran-ajaran pokok Islam. Karakteristik pendidikan Islam: 1. Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah swt. 2. Penekanan pada nilai-nilai akhlak. 3. Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. 4. pengamalan ilmu pengetahuan atas dasr tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia.5
5

Ditulis pada Februari 27, 2008 oleh mawardiumm. http://www.indomedia.com/bpost/052004/28/opini/opini1.htm

C. Sistem Pendidikan Islam Di Aceh sistem pendidikan Islam di Aceh hamper tidak berbeda dengan di daerah lainnya di Indonesia. Anak-anak duduk bersila waktu belajar, tidak memakai bangku dan meja. Guru juga duduk seperti anak murid. Anak-anak belajar seorang demi seorang, belum berkelas-kelas seperti sekarang ini. Kurikulum pendidikan Islam dahulu tidak terikat dengan jumlah jam mata pelajaran seminggu. Para guru bebas memilih buku dan bahan pelajaran yang diajarkannya. Pelajaran tidak terikat pada suatu rencana pelajaran tertentu. Pada masa kerajaan aceh, pendidikan islam di aceh yang bersubstansikan ajaran islam diselenggarakan di lembaga khusus yang disebut maunasah, rangkang, dan dayah. Meunasah merupakan tempat ibadah yang kemudian berfungsi sebagai tempat pendidikan awal bagi sekeliling mesjid. Pengelolanya adalah seorang teungku yang pendidikannya sudah harus lebih tinggi dari rangkang. Lembaga yang lebih tinggi lagi disebut dayah yang didirikan dan memiliki tiga tingkatan pengajaran sekaligus yaitu rangkang (junior), bale (senior), dan dayah manyang (universitas).6 Agar pendidikan islam itu lebih berbobot bagi masyarakat luas, maka ulamaulama aceh telah mengarang kitab-kitab dalam bahasa aceh, seperti : Hikayat Akhbarul Karim dan Bahaya Siribee. Kitab yang sulit dalam bahasa arab juga diterjemahkan ke dalam bahasa melayu, seperti tafsir Quran yang berjudul Tarjumanul Mustafid Bil jawi, oleh Syek Abdul Rauf. Dalam hikayat akhbarul Karim dijelaskan tentang tauhid, ibadah, hari kiamat dan sebagainya. Dayah di aceh banyak menggunakan expatriates terutama dari timur tengah, untuk mengajar bukan hanya ilmu agama namun juga ilmu non agama seperti: Syekh M. Azhari (metafisika), Abu Al-kahar Ibn Syekh Ibn Hajar (hokum), Syekh Yamani (teologi) Dayah-dayah yang terkenal di Aceh pada masa yang lalu adalah Dayah Cot Kala, Jeureula, Lambirah, Tiro dan lain-lain.7

H. M. Thamrin dan Edy Mulyana, Perang kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Provinsi NAD, 2007. Hal :99 7 H. M. Thamrin dan Edy Mulyana, Perang kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Provinsi NAD, 2007. Hal: 109

Dalam pengajaran, tidak ada batas umur untuk mulai belajar. Orang tua menentukan sendiri kapan anaknya disuruh belajar. Ada orang tua yang mengirim anaknya balajar pada usia lima, enam atau tujuh tahun. Pemerintah juga tidak menetapkan batas usia untuk mulai belajar. Ulama-ulama dahulu mengirim anaknya ke sekolah setelah berumur Tujuh tahun, batas umur dimana orang tua telah dibebani kewajiban untuk pendidikan anak mereka supaya mengerjakan sembahyang dan berakhlak mulia. Pada masa emas kerajaan aceh, yaitu pada Sultan Ali Mughayat Syah, dalam menghadapi portugis, ulama-ulama aceh memegang peranan yang besar yaitu menanamkan jiwa jihad kepada rakyat aceh, pada saat portugis hendak menyerang aceh, berkat kebaikan hati seorang muslim yang bekerja di kapal portugis itu, rahasia penyerangan portugis tersebut dibocorkan, akibatnya aceh mengambil inisiatif menyerang lebih dahulu. Kemenangan pada masa ali mughayat syah antara lain disebabkan bainya hubungan antara aceh dengan Negara-negara Islam. Akan tetapi pendidikan islam suram ketika pada masa kemunduran kerajaan aceh yaitu ketika kamalat Syah meninggal, terjadi perebutan tahta, masa pemerintahan ratu-ratu yang telah berlangsung selama enam puluh tahun suatu hal yang patut dibanggakan pada masa itu diakhiri dengan berdirinya Dinasti Sayid oleh orang Arab. Dinasti ini banyak sekali terjadi perebutan kekuasaan bahkan Mahmud Yunus, seorang sarjana Islam menggambarkan situasi pendidikan pada zaman suram itu sebagai berikut : pendidikan dan pengajaran islam mendapat kemajuan di tanah aceh selama raja-rajanya menyokong dan turut memajukan bersama-sama alim ulama. Tetapi lama-kelamaan raja-raja tidak mementingkan lagi keberesan uruasan negara. Maka urusan agama turut pula kurang beres. apabila raja telah lengah menjalankan kewajiban agama,tentu rakyat lebih lengah lagi. Negeri kurang aman, antara satu kampong dengan kampong yang lain menjadi sengketa dan saling selisih. Satu negeri berperang dengan negeri yang lain. Pendidikan dan pengajaran terhenti kemajuannya. Raja tidak dapat mengembalikan keamanan dalam negeri. Hal ini mengakibatkan kemunduran pendidikan dan pengajaran islam. Pergi kepasar saja tidak aman. Waktu itu ulama tidak dapat melaksanakan tugasnya terhadap orang dating yang hendak mempelajari agama di surau atau di mesjid, sebab untuk 6

bergerak lebih lanjut tdak dapatd, yang dapat pendidikan islam bertambah lama bertambah mundur keadaannya. Kemunduran makin bertambah sewaktu pecahnya perang Aceh.8 Dari situasi yang demikian buruk, tidak dapat diharapkan pendidikan berjalan dengan baik, memang pendidikan berjalan juga, tetapi syiar yang cemerlang akan bertambah nyata bila dakwah islam tidak ada rintangan. Dalam situasi Negara yang berada dalam keadaaan gawat, tipislah kemungkinan ulama-ulama asing mau dating dan tinggal di Aceh. Ulama-ulama dan murid-murid dari daerah lainnya di Nusantara tentu telah segan pula dating jika aceh berada dalam situasi yang tidak aman. Terutama Belanda yang telah berkuasa di tempat lain, memperkecil kesempatan untuk pergi ke daerah-daerah islam, termasuk aceh karena hal ini berbahaya bagi mereka. Belanda dengan sengaja mempertajam pertentangan sesama umat islam setiap ada kesempatan, seperti mengirim Sentot Ali Basyah ke Minangkabau selama perang paderi. Namun demikian, pada masa yang sulit itu masih ada juga ulama yang sempat menulis, misalnya Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani yang hidup pada masa Sulthan Alaiddin Johan Syah (1735-1760) yang mengarang Safinatul Hukam. Dalam kitab ini dibahas masalahmasalah hokum tata Negara, hukum perdata, hokum dagang dan hokum pidana yang ditinjau dengan kaca mata Islam. Dalam kitab itu dijelaskan agar raja bersifat adil, berani, lurus janji, berkata benar, penyanyang, sabar, pemaaf, syukur, tidak amarah, menahan hawa nafsu jahat, sehat, dan hebat. Raja harus meninggikan agama & beramal, meramaikan negeri dan Bandar, mengerjakan yang mendatangkan manfaat bagi rakyat serta menolak yang mendatangkan mudharat.9 D. Modal Dasar Pendidikan Islam di Aceh Pemda Aceh sebenarnya sudah berusaha meningkatkan pendidikan di Aceh. Pasca pertikaian DI/TII (1957), pemda aceh mencoba membangun tiga macam model jalur pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi di kompleks pendidikan pelajar dan mahasiswa (kopelma) Darussalam Banda Aceh yaitu : Universitas Syiah Kuala (1959), IAIN Jamiah

H. M. Thamrin dan Edy Mulyana, Perang kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Provinsi NAD, 2007. Hal: 123 9 A. Hasjmy, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Panitia PKA-II, Banda Aceh, 1972. Hal : 8 - 9

Ar-Raniry Darussalam (20 September 1963)10, dan Dayah tingkat teungku chik (Dayah Mayang) dengan nama Dayah Teungku Chik Pante Kulu. Namun dayang mayang yang semula diharapkan menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi alternative yang menerapkan metoda tradisional dalam proses pendidikannya pada akhirnya tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga pengajar yang berkualitas tinggi dan bersedia tinggal penuh did ayah, juga karena orientasi mahasiswa yang lebih tinggi pada pencapaian gelar kesarjanaan formal. Pemda juga mendirikan Yayasan Malim Putra (1987) yang bergerak dalam bidang pendidikan, mendirikan beberapa kelas unggulan di beberapa sekolah di sore hari meskipun berjalan hanya dua tahun karena kekurangan dana dan pengelola professional, mendirikan SMU Modal Bangsa, mendirikan Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa melalui yayasan Pengembangan SDM (YPSDM). Ada pula usaha pihak swasta (individu maupun institusi) seperti pembangunan sekolah terpadu lueng Putu yang diketuai oleh T. Abdullah (pensiunan direktur bank BNI Jakarta) dan Bustanul Ulum di Langsa. Pada tahun 1993, pemda bersama MPD merevisi kurikulum muatan lokal di seluruh tingkatan sekolah di aceh, dengan menyeimbangkan core subject dengan tujuan pembelajaran di kurikulum, dan penambahan local Contents dibidang akhlak untuk semua jenjang sekolah. PENDIDIKAN membuat manusia cerdas dan maju. Dengan pendidikan memperangaruhi watak suatu bangsa sehingga bangsa itu memiliki peradaban. Maka perlu konsep pendidikan yang baik dan benar agar problematika dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks Aceh sebagai daerah Syariat Islam, apakah system tidak terjadinya ketimpangan dan

pendidikannya sudah Islami; apakah sudah dilaksanakan dalam praktik sesuai yang diamanahkan Qanun Pendidikan Aceh? Harus diakui, banyak pengelola pendidikan itu belum jelas tentang konsep dan bentuk pendidikan Islami. Gilirannya, guru atau tenagara pengajar juga tidak memiliki petunjuk teknis bagaimana menerapkan pembelajaran yang bernuansa Syariat (Islam)..

10

Di dahului oleh pendiri fakultas Syariah IAIN kamiah Al-Islamiyah dengan Dekan Pertamanya adalah prof. Muhammad Hasbi Ash Siddiqy.

Secara konsep, bahwa pendidikan Islami adalah berbasis nilai-nilai Islam, komprehensif, integratif dan holistic yang diterapkan dalam proses penyelenggaraannya. Agaknya ini yang mengilhami Majelis Pendidikan Daerah (MPD) NAD mengadakan seminar Internasional system pendidikan Islami (9-12 November 2008) lalu di Banda Aceh.Intinya untuk mendapatkan solusi aplikatif bagi kebijabakan dan penerapan sistem pendidikan Islami di Aceh. E. Fenomena Aceh Saat ini, mutu pendidikan kita (Indonesia) menempati posisi terendah di Asia. Ada beberapa faktor penyebab, baik dari segi muatan isi pendidikan (kurikulum), pendidik, maupun moralitas. Di antaranya, sistem pendidikan nasional adalah warisan penjajah Belanda. Itu sebabnya proses Pendidikan mengalami kegagalan dalam misi mencerdaskan bangsa. Kecuali itu, pergantian kurikulum setiap tahun sangat merugikan rakyat, karena cenderung menjadi momen tradisi buruk ini menjadi proyek bagi instansi/golongan tertentu. Termasuk di Aceh, yang menjadikan dunia pendidikan sebagai obyek bagi kalangan (stake kholder) dengan program-program yang samasekali tidak menyentuk aspek mutu pendidikan itu sendiri. Aceh, yang menerapkan syariat Islam, ternyata muatan kurikulum pendidikannya belum mencerminkan nilai-nilai syariat itu. Misal, kurikulum SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi umum, untuk bahan ajar Aqidah, Fikih, Alquran dan Akhlak tidak

mendapat perhatian seperti halnya pelajaran umum. Pelajaran ini belum diajarkan secara komprehensif dan berkesinambungan sehingga berdampak kepada kualitas pendidikan dan sosial peserta didik dan masyarakat Aceh, umumnya. Yang diajarkan hanya hal-hal yang tidak urgen dan bermanfaat. Ambil contoh, pendidikan sekolah kita belum mampu

memberi pemahaman tentang moral bagi anak didik, sehingga masih ditemukan bagaimana kenakalan terjadi bahkan tindak kejahatan Seperti tawuran antarpelajar/ mahasiswa, pencurian, khalwat/pacaran,

mesum/zina, mengkomsumsi ganja, merokok dan sebagainya . Ini indikator kalau pengajaran nilai Islami mengalami kegagalan. Kondisi ini diperparah pula dengan akhlak 9

pendidik yang sangat memprihatinkan. Sebagai pendidik, seharusnya guru/dosen menjadi uswah (teladan) bagi siswa/mahasiswanya, bukan sebaliknya. Selama ini ada "oknum" guru/dosen hanya mengajar dan makan gaji, bukan mendidik dan membimbing mereka. Tidak ada rasa amanah terhadap kewajibannya sebagai pendidik. Merekapun tidak memberikan qudwah (panutan). Sehingga memberi kesan tidak edukatif bagi murid/mahasiswanya. Padahal kewajiban guru/dosen bukan hanya mengajar, akan tetapu membentuk kepribadian anak didikannya dengan akhlak yang mulia. Kecuali itu, nilai-nilai budaya Aceh (yang Islami) sudah mengalami kelunturan bahkan nyaris punah. Misal, memberi ruang bagi munculnya tindakan khalwat, baik dalam proses belajar maupun dalam pergaulan mereka di luar itu. Pergi dan pulang kampus barengan antara laki dan perempuan yang bukan muhrim sudah menjadi trend, bahkan tanpa rasa malu si perempuan berboncengan motor memeluk si laki. Pacaran dan pergaulan bebas mewarnai dan menodai Lingkungan pendidikan kita, atau tentang cara berpakaian yang tidak menganut norma-norma agama. Ironisnya, pihak berwenang seperti kepala sekolah/Rektor dan para guru/dosen diam saja, hanya menjadi penonton tanpa berusaha amal maruf nahi munkar. Pembiaran non budaya Islami, telah mengakibatkan tatanan kehidupan masyarakat menjadi bobrok.. Bagaimana pendidikan di negeri luar? Sangat beda dengan di negeri kita. Nilainilai moral begitu terasa dalam sistem pendidikan mereka. Agaknya, ini patut kita

becermin dan mengadopsi sitem pendidikan Negara luar (yang Islami). Sebutlah di antaranya Universitas al-Azhar, atau di Malaysia, saya melihat hal menarik yang patut kita contoh dalam menerapkan Pendidikan Islami di Aceh. Di antaranya persyaratan utama untuk masuk

universitas tersebut yaitu mampu membaca Alquran dengan baik dan bertajwid, di samping harus lulus standar ujian bahasa Arab atau Toafl. Itu juga ditunjukkan sikap para pengajarnya yang jujur, ikhlas dan amanah. Mereka mengajarkan ilmu kepada para mahasiswa dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Memulai belajar dengan basmallah atau tahmid (pujian kepada Allah), dan menutupnya dengan hamdallah atau doa. Di sela-sela pengajaran ada taushiah (nasehat), 10

dan mereka benar-benar menjadi uswah . Pembentukan akhlak dan budaya Islami di lingkungan pendidikan mereka menjadi prioritas para guru dan dosen. Demikian pula adanya sejumlah aturan, misal, aturan pakaian yang sopan dan syari, yaitu pakaian yang harus menutup aurat, tidak tipis (transparan) , tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh (ketat) dan tidak menyerupai pakaian lawan jenis, juga tidak merokok di kampus,larangan couple (pacaran atau khalwat), menyontek, pornografi dan pornoaksi, adanya pemisahan antara siswa/mahasiswa laki-laki dan perempuan, baik di kelas, kampus maupun asrama. Begitu juga dengan sarana dan fasilitas olah raga, internet dan entertainment (hiburan). Kurikulum yang berkualitas, termasuk kewajiban menghafal Alquran. Ada program tambahan yaitu tahfiz. Maka tidak heran seorang sarjana kedokteran atau tehnik sipil mampu menghafal Alquran. Islamisasi knowledge (ilmu pengetahuan) merupakan bagian Kita berharap kepada Pemerintah Aceh dan instansi terkait lainnya (dalam hal ini Depag, Dinas Pendidikan, dan MPD) dapat merumuskan konsep pendidikan Islami dan menerapkannya dalam pendidikan di Aceh. 11 Dan baru-baru ini, Pemprov NAD membuat terobosan baru dengan membentuk badan pendidikan dan pemberdayaan dayah di seluruh kabupaten/kota. Badan ini, bertugas memberdayakan sumber daya manusia sekaligus memberikan kontribusi bagi santri dalam bidang ekonomi. Dengan adanya badan ini, pembinaan dan pemberdayaan dayah tidak lagi partikular dengan bantuan pihak ketiga, melainkan masuk dalam sistem pemerintahan dan memperoleh bantuan dana melalui APBA. Konsekuensinya, Pemprov NAD harus menyediakan dana setiap tahun bagi dayah-dayah yang bernaung di bawah badan tersebut, kata Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar kepada wartawan di Banda Aceh, kemarin. Menurut dia, pembentukan badan tersebut sudah diwacanakan kepada masingmasing kabupaten/kota, agar memfasilitasi dayah dengan memberikan lahan. Dengan demikian, para santri, selain belajar kitab Salafiyah, mereka juga dapat mengembangkan usaha.
11

Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA, Islamikah Pendidikan di Aceh. http://www.serambin ews.com/old/ index.php? aksi=bacaopini&opinid=1907

11

Mereka ini tidak boleh terus bergantung dengan sumbangan pihak ketiga maupun sumbangan tidak mengikat lainnya, tetapi ke depan dayah harus mandiri dan berdikari dengan lahan yang diberikan, sebut Wakil Gubernur. Untuk tahap awal, Pemprov NAD akan memberikan bantuan, baik untuk tambak, perkebunan dan usaha lainnya. Dan ini akan dikelola secara profesional oleh para santri dayah. Dengan demikian, melahirkan sumber pendapatan dayah. Kendala selama ini, kata Nazar, jangankan modal usaha lahan yang digarap pun tidak ada, sehingga kehidupan dayah sangat memprihatinkan. Kita harapkan masa depan dayah di Aceh menjadi bingkai perkembangan pendidikan Islam, harap dia12. F. Kesimpulan Pendidikan merupakan suatu proses belajar engajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil) Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin AsSumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.

12

www.rakyataceh.com Pengembangan Dayah Difokuskan, Pemprov Siapkan Dana dan Lahan. Selasa, 25 December 2007 | 05:11

12

DAFTAR PUSTAKA

1. www.rakyataceh.com Pengembangan Dayah Difokuskan, Pemprov Siapkan Dana dan Lahan. Selasa, 25 December 2007 | 05:11 2. Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA, Islamikah Pendidikan di Aceh. http://www.serambin ews.com/old/ index.php? aksi=bacaopini&opinid=1907 3. Thamrin, M. dan Mulyana, Edy. Perang kemerdekaan Aceh, Badan Perpustakaan Provinsi NAD, 2007. 4. Thamrin , M. Aceh melawan Penjajahan Belanda, CV. Wahana, Jakarta, 2004 5. http://www.indomedia.com/bpost/052004/28/opini/opini1.htm

13

You might also like