You are on page 1of 24

Banyak Kasus di KRL, PT KAI Dinilai Masih Belum Perbaiki Layanan Jakarta - Kereta Rel Listrik (KRL), transportasi

umum alternatif di Jakarta, menyimpan segudang cerita yang memilukan. Mulai dari pelecehan seksual, penumpang kesetrum, terjatuh dari KRL, kecopetan, hingga jari hancur seperti yang dialami Ari DN. Meski banyak kasus yang sering terjadi di KRL, PT KAI atau Kereta Commuter Jakarta dinilai masih belum memperbaiki pelayanannya. "Kejadian yang seperti ini bukan pertama kali terjadi. Sudah sering dan banyak kasus. Bahkan kita sudah pernah diskusikan ini ke PT KAI dan KCJ tapi hingga kini belum ada perbaikan," ujar anggota KRL-Mania, Rosmana, saat dihubungi detikcom, Kamis (28/4/2011). Menurut Rosmana, kasus yang terjadi terhadap Ari DN tersebut bermula pada pegangan kereta yang susah. Sedangkan kereta penuh sesak. Dalam kondisi terdesak, penumpang tentu mencari pegangan apa saja. "Dia terpaksa memegang di sayap pembatas yang ada kipas angin. Kalau rem mendadak kadang tangan bisa saja masuk seperti itu," ujarnya. Rosmana mengaku komunitasnya sudah sering berkomunikasi dengan pihak PT KAI untuk membicarakan sejumlah masalah keselamatan penumpang di dalam KRL. Namun hingga kini memang belum ada yang terealisasikan dari hasil diskusi dengan PT KAI. "Kita juga sering kasih masukan KRL ekonomi yang pegangannya susah. Itu urgent karena saking penuhnya," ungkapnya. Rosmana yang juga setiap hari menumpang KRL ini menilai tidak hanya masalah pegangan yang menjadi masalah. Pintu KRL ekonomi yang selalu tidak ditutup juga sangat membahayakan penumpang. "Sekarang kenapa nggak diperbaiki. Pintunya harusnya ditutup. Pegangannya diperbanyak. Kipas angin ditutup. Ya entah bagaimanalah caranya agar tidak membahayakan penumpang," jelasnya. Sebelumnya seorang penumpang KRL ekonomi Ari DN mengalami kerusakan pada jari manis kirinya karena kesabet kipas angin yang tidak ada tutupnya. Jari manis Ari hancur. Ari pun masih dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, jari manis Ari harus diamputasi atau diberi pen. Kasus Direktur PT HIA Disidangkan Kamis Depan Sabtu, 08 Oktober 2011 SIANTAR-Direncanakan persidangan terhadap kasus yang melibatkan Direktur PT Horas Insani Abadi (HIA), dr PY akan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Pematangsiantar, Kamis (13/10). Rencana persidangan perdana ini terkait dugaan pemalsuan akta autentik tentang perseroan

terbatas di PT HIA. Di mana sebelumnya, kasus ini dilaporkan Polentyno Girsang, yang juga salah satu pemegang saham di PT HIA. Sebelumnya, pengaduan ini Polentyno Girsang dibuat secara tertulis dengan bukti pengaduan No 162/DIR/RSHI/Eks/LP/IX/2009 tanggal 8 September 2009, ditujukan ke Kapolres Pematangsiantar, saat itu dijabat AKBP Andreas Kusmaedi. Polres Pematangsiantar lalu menerbitkan LP No 505/IX/2009/STR tanggal 9 September 2009. Dalam pengaduannya, para terlapor sebagaimana isi surat Polentyno ada enam orang, yaitu dr PY selaku Direktur PT HIA dan lima orang lainnya diantaranya pemegang saham, seorang notaris dan pengacara perusahaan. Panitera Muda Pidana PN , Ripin Sitepu, Jumat (7/10) menuturkan sidang akan digelar Kamis pekan depan. Majelis hakimnya antara lain Dinahayati Syofian, Asad Rahim, dan Halimatussakdiah. Sementara itu, pelapor Polentyno Girsang melalui kuasa hukumnya Jansius Sinaga telah mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar terdakwa yang juga merupakan pimpinan Rumah Sakit Horas Insani (RSHI) ditahan selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Polentyno Girsang mengatakan, penyelesaian perkara dugaan pemalsuan akta ini dengan sendirinya akan mengakhiri prahara di perusahaan tersebut. Menurutnya, saat ini tercatat ada 15 kasus perdata dan 35 pidana terkait PT HIA. Falsus ini uno, falsus in omnibus. Salah di dasar, akibatnya salah seterusnya, ujar Girsang.(en/int)

Kebocoran Pipa Emas Freeport OPINI | 07 October 2011 | 20:52 284 2 Nihil

Pipa milik PT. Freeport Indonesia kembali bocor. Kebocoran pipa konsentrat perusahaan Amerika tersebut sering dikabarkan bocor. Selang lahar konsentrat emas Freeport tersebut bocor, terjadi aksi pembakaran ATM di Yogyakarta. Polisi dan warga menemukan adanya selebaran yang beredar di areal ATM berisi isu-isu ketidakadilan di Kulonprogo, Papua, Aceh dan daerah lain. Kasus pembocoran pipa menjadi tragedi fisik yang dialami PT. Freeport Indonesia, disaat manajemen perusahaan asing di Papua itu menghadapi para pekerjanya menuntut kenaikan upah. Sedangkan pembakaran ATM di Yogyakarta dengan tulisan dalam selebaran isu Papua merupakan hal baru terjadi selama dekade puluhan tahun. Warga Papua di Jogja berjumlah enam ribu lebih yang menimba ilmu pengetahuan di sejumlah kampus dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Kasus-kasus sosial mahasiswa dan mahasiswi Papua di Jogja memang ada, tetapi hanya seputar bentrok dengan warga akibat perbedaan karakter dan budaya. Di Jogja juga pusat aktivitas pemuda Papua yang kritis terhadap kebijakan pemerintah di Papua. Salah satu isu yang menjadi hangat di perjuangkan ialah masalah operasi pertambangan Freeport di Papua ditambah isu-isu seputar sejarah integrasi Papua kedalam Republik Indonesia. Pelaku pembakaran ATM Jogja dan kebocoran pipa freeport terjadi di hari dan tanggal yang sama ( 6 oktober 2011 ). Tidak ada indikasi pembocoran pipa oleh pihak tertentu dibanding di jogja ditemukan pelakunya berasal dari Bandung. Dari sudut konsentrasi sosial dari dua kejadian yang sama tersebut, kasus ATM di Jogja memang hal lain dan baru terjadi setelah bom di Gereja GBIS solo bula september silam. Buruh freeport di Papua sudah satu bulan lebih mogok, dan rencananya ditambah hingga bulan november mendatang. Bisa saja, pipa yang bocor akibat dari para pekerja yang tidak masuk kerja lalu perawatan terkait operasi freeport menjadi terganggu.

Lalu, semurah itu pica bocor dengan pembakaran ATM punya hubungan dan maksud terntentu?. Tentunya pengalaman pengalihan isu yang dilakukan pihak-pihak tertentu penjaga aset negara cenderung bikin kasus pengalihan isu, tujuannya agar publik dialih isukan dengan bencana yang menimpa suatu perusahaan strategis negara. Pengalaman pengalihan isu demi pengamanan Freeport bukan hal baru terjadi dan bukan hal tidak mungkin dilakukan. Rentetan peristiwa di Papua memang disadari efeknya dialami kalangan pemuda Papua di Yogyakarta. Peristiwa pembunuhan secara sadis yang dialami orang Papua di Jogja memang diakui tidak menemukan siapa pembunuhnya. Elizabeth Isir, Mahasiswi Papua di Jogja dibunuh dan dibuang di rel kereta api. Kejadian tersebut membuat panik dan panas warga Papua karena pelakunya tidak ditemukan sampai sekarang. Tragedi kemanusiaan yang terjadi dan dialami orang Papua di Jogja cenderung punya hubungan erat dengan kasus sosial politik dan kekerasan bersenjata di bumi Papua. Bila ada tentara ( TNI/Polisi ) yang tewas tertembak di Papua, mahasiswa Papua di Jogja menjadi sasaran empuk pembalasan itu. Tidak hanya di Jogja, tetapi ditemukan beberapa kasus di Jawa. Tidak hanya pembunuhan secara fisik langsung, tetapi melalui racun yang dilakukan oleh orang yang punya niat negatif terhadap keberadaan anak-anak Papua. Kini polanya sudah beranjak pada penggunaan isu Papua untuk aksi-aksi anarkis. Pembelokan isu dengan mengatasnamakan Papua perlu dibaca sebagai pola baru kelompok anarkis akhirakhir ini. Kasus pembakaran ATM lalu ditemukannya selebaran dengan didalamnya ditulis kasus sosial Papua ( Lihat: Liputan Kompas.com ), Beberapa kasus disebutkan dalam selebaran itu, seperti penindasan di Papua Barat, penindasan di Kulon Progo, di Aceh, di Bima, di Takalar, di Makassar, konsesi hutan, hingga penangkapan Tukijo, aktivis masyarakat petani lahan pasir di Kulon Progo. Dalam selebaran itu juga disebutkan, Apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kenmarahab terhadap sistem yang berjalan selama ini. Sistem yang memberhalakan uang, sistem yang merecoki keseharian masyarakat dengan televisi agar mereka membeli barang-barang yang tak mereka perlukan, agar mereka terus bekerja seperti mesin. Pola memunculkan peristiwa disaat freeport sedang menghadapi suatu gejolak sosial merupakan dugaan rakyat Papua selama ini bahwa alat-alat negara terus bertarung melindungi perusahaan asing di Indonesia termasuk PT. Freeport di Papua. Gurita pengalihan isu murahan merupakan rekayasa kapitalisme dan antek-anteknya dalam menjaga dan melindungi kepentingan ekonomi nasional negara asing yang bercokol di bumi pertiwi. Pemerintah lebih hati-hati menjamin keamanan perusahaan daripada berdiri memihak kepentingan rakyatnya sendiri, dan dengan demikian merupakan ciri pemerintahan neoliberal. Polemik tuntutan kenaikan gaji karyawan freeport sampai sekarang menjadi bumerang bagi freeport sendiri. Padahal, PT. Freeport merupakan satu perusahaan yang mengeruk keuntungan lebih banyak selama beroperasi di Papua. Namun, oleh freeport, keuntungan yang didapat malah dipakai membeli saham baru sedangkan nasib kesejahteraan pekerja diabaikan saja. Sama saja watak dan prilaku perusahaan di nusantara selama beroperasi hanya mengedepankan keuntungan daripada kesejahteraan buruh serta rakyat yang punya tanah.

Kerja sistematis bagi kalangan tangan-tangan tak kelihatan ( kapitalisme dan anteknya ) hanya bertujuan mengalihkan isu. Sejarah keberadaan freeport di Papua penuh dengan rekayasa, baik diawal konsensi untuk mendapatkan ijin maupun selama beroperasi sampai sekarang. Pemogokan karyawan yang sudah ditetapkan untuk dilanjutkan hingga bulan november 2011 harus dijawab dengan konkrit dengan memberi kenaikan gaji yang lebih memadai sesuai standar pekerja. Semoga saja peledakan ATM dan selebaran isu Papua yang terjadi pasca kejadian tersebut bukanlah alasan negara untuk mengalihkan isu dari peristiwa pemogokan buruh Freeport, serta kasus-kasus politik nasional seperti skandal century, KPK vs Banggar, RUU Intelejen dan seterusnya semata, tetapi negara sudah saatnya berada di lingkaran rakyat dengan menghentikan budaya pengalihan isu sebagai bentuk lari dari tanggungjawab negara ( Pemerintah ).

Grab this Headline Animator

Friday, June 15, 2007 Setahun Lumpur Lapindo: Yang Salah Masih Melenggang Willy Aditya* Setahun sudah luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas memorak-porandakan Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur itu talah menelan puluhan pabrik, ratusan hektare sawah, dan permukiman penduduk. Demikian juga tambak-tambak bandeng, harus berhenti beroperasi. Jalur transportasi di daerah itu juga terganggu. Nilai kerugian semua itu melampui Rp 7 triliun. Pada November 2006 keluarlah Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Dampak Lumpur Lapindo. Keppres itu mewajibkan PT Lapindo Brantas bertanggung jawab atas semua dampak semburan lumpur tersebut. Dana yang diperlukan untuk penanganan lumpur panas diperkirakan mencapai US$ 140 juta sampai US$ 170 juta. Selain itu, anggaran pemindahan masyarakat diperkirakan mencapai Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun. Terkait dengan itu, kelompok usaha Bakrie Brothers, salah satu pemilik saham PT Lapindo, telah mengucurkan pinjaman US$ 30 juta kepada perusahaan itu. Bagaimanakah semburan lumpur panas bersuhu 60 derajat celcius itu bisa terjadi? Dirjen Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Felix Sembiring menyatakan ada tiga diagnosis penyebab luapan lumpur: Kesalahan teknis pengeboran, kesalahan manusia, dan proses alam. Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan semburan lumpur Lapindo adalah bentuk malapraktik di bidang pertambangan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad, pemerintah gagal mengawasi aktivistas pertambangan.

Lapindo punya pendapat berbeda: semburan lumpur itu terjadi karena efek gempa di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Namun banyak kalangan yang membantah pernyataan tersebut. Bahkan, Ketua Komisi II DPR RI Sony Keraaf mengatakan pernyataan Lapindo itu merupakan manipulasi fakta. Menurut catatan Walhi, seperti dikutip vhrmedia.net, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo hanyalah satu dari sederetan kebocoran pipa pengeboran gas di Indonesia. Sebelumnya, pipa milik PT China National Offshore Oil Corporation yang beroperasi di Teluk Jakarta pernah bocor dan meledak. Gas hydrogen sulphide (H2S) PT Petrokimia yang beroperasi di Gresik, Jawa Timur, meledak dan mengakibatkan kebakaran hebat. Selain itu, pipa PT Caltex di Riau pernah meledak dan mengakibatkan kebakaran rumah penduduk. Pada 18 Mei 2006, 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan agar memasang pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa harus dipasang sebelum pengeboran mencapai formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) pada kedalaman 2.804 meter. Namun, Lapindo belum memasang casing berdiameter 5/8 inci itu, walau pengeboran sudah mencapai kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing merupakan syarat keselamatan yang harus dipatuhi (Kompas, 19/6/06). Tampaknya para pemilik modal PT Lapindo Brantas berdiri pongah di tengah penderitaan masyarakat. Belum ada tindakan pemerintah terhadap perusahaan yang melanggar hak-hak warga tersebut. Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo hanyalah satu contoh kecil betapa masalah lingkungan disepelekan oleh negara. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Iinstitut Pertanian Bogor mengatakan, Saat ini persoalan lingkungan masih sebatas jargon-jargon yang tenggelam setelah seminar, rapat kerja, ataupun workshop. Agenda lingkungan yang disiapkan Kementerian Lingkungan Hidup sering kali dianggap angin lalu. Akibatnya, kerusakan lingkungan terus meningkat dan sepertinya manusia tanpa daya untuk mencegah dan menghentikannya. Pernyataan itu diperkuat Walhi Jawa Timur yang menyayangkan sikap pemerintah yang menyederhanakan masalah lingkungan hidup pada kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Padahal, mendapatkan lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia. Kerusakan lingkungan fisik mengganggu kesehatan warga. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli Institut Teknologi Surabaya, mengatakan lumpur panas Lapindo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila menumpuk di tubuh bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Jika masuk ke tubuh anak dengan jumlah berlebihan, bisa menurunkan kecerdasan. Dari 10 kandungan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya 0,002 mg/liter Hg. Sedangkan menurut sampel lumpur yang dianalisis Laboratorium Uji Kualitas Air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur, lumpur itu mengandung fenol. Menurut Guru Besar

Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof Mukono, fenol merupakan bahan berbahaya bagi kesehatan. Jika fenol mengenai kulit, dapat membuat kulit terbakar dan gatal-gatal. Fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar, dan gangguan ginjal. Pada Agustus 2006 Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian akibat lumpur Lapindo Rp 33 triliun lebih. Perinciannya, biaya penanganan sosial dan pembersihan lumpur Rp 7,96 triliun; nilai ekologi yang hancur Rp 4,63 triiun; biaya restorasi lahan agar menjadi produktif Rp 3,97 triliun; kerugian atas pertumbuhan ekonomi regional kira-kira Rp 4,34 triliun; biaya pemulihan iklim bisnis Rp 5,79 triliun; biaya kehilangan kesempatan Rp 2,88 triliun; dan kerugian karena ketidakpastian ekonomi Rp 3,7 triliun. Ironis! Mereka yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas sebuah tragedi malah melenggang, seolah tak tersentuh hukum. Enam tersangka penyebab lumpur yang diperiksa kepolisian hanyalah para operator lapangan. Sementara para pemilik dan direktur perusahaan tak juga diperiksa polisi. Anehnya, Fadhilah Supari menyatakan lumpur panas tidak menimbulkan dampak kesehatan dan korban. Padahal, menurut pengamatan aktivis Walhi Jawa Timur, di sekitar lokasi semburan lumpur ditemukan warga yang menderita sesak nafas. Jadi, apakah pemerintah hendak menganggap enteng dampak lumpur Lapindo? *Ketua Litbang VHR dan anggota PRP

Oct 9, '07 Kasus Lumpur Panas Sidoarjo: Presiden, BP Migas, dan PT Lapindo Brantas 11:16 PM (Bakrie Group) Harus Bertanggung Jawab for everyone Siaran Pers: Senin, 19 Juni 2006 Semburan lumpur panas dan gas Hidrogen Sulfida yang terjadi di Porong-Sidoarjo pada tanggal 29 Mei 2006 kemarin menambah deretan fakta kasus terjadinya bencana ekologi yang merusak lingkungan akibat kehadiran perusahaan-perusahaan tambang nasional/multinasional di kawasan-kawasan yang dekat dengan pemukiman warga, dan telah mengakibatkan kerugian serta kesengsaraan bagi rakyat sekitarnya. Ratusan masyarakat sekitar Desa Renokenongo dan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terpaksa harus mengungsi. Bahkan, di antaranya sudah ada yang masuk rumah sakit, beberapa sekolah diliburkan, akibat kepulan asap putih yang keluar dari pipa gas PT Lapindo Brantas yang bocor. Tidak sekedar kepulan asap biasa saja. Ternyata, asap putih yang keluar dari didihan gas yang keluar dari pipa bawah tanah milik PT Lapindo Brantas tersebut mengandung Hidrogen Sulfida (H2S), zat kimia beracun yang berbahaya bagi kesehatan. Setiap hari, sedikitnya 40.000 meter kubik lumpur dimuntahkan, hingga sudah memasuki rumah-rumah warga, serta merendam lebih dari 50 Ha sawah.

Akibatnya, tidak hanya udara yang tercemar akibat zat kimia tersebut, semburan lumpur panas dari dalam tanah terus mengalirkan lumpur-lumpur pekat yang sudah mengaliri lahan-lahan milik warga dan aliran airnya sudah masuk ke saluran irigasi pertanian masyarakat. Hasil pengamatan tim investigasi WALHI Jawa Timur menunjukkan bahwa ikan-ikan dan hewanhewan jentik lainnya yang biasa hidup di parit-parit irigasi tersebut mengapung dan mati. Sumursumur warga sekitar yang hanya berjarak 100 meter dari lokasi PT Lapindo Brantas juga tercemar, sehingga warga sudah mulai merasa ketakutan untuk mengonsumsi air sumur yang mereka miliki karena takut keracunan. Kategori usaha yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas termasuk dalam golongan bahan galian strategis (lihat: PP No. 27 Tahun 1980 tentang Penggolangan Bahan-Bahan Galian), maka dalam pertanggungjawaban ekologis inilah masyarakat akan bisa mengukur kerja PT. Lapindo Brantas dalam persoalan lingkungan dan sebagai pembelajaran bagi corporate-corporate migas lainnya. Dalam Surat Ederan Menteri Pertambangan dan Energi RI Nomor 1462/20/DJP/1996, sebagai salah satu syarat/ pertimbangan pemberian Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi atau eksploitasi harus dilakukan Pengumuman Setempat (PS) untuk melindungi kepentingan sosial rakyat setempat di mana usaha pertambangan dilakukan. Kenyataannya, berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh WALHI Jatim; bahwa selama beroperasi 3 (tiga) bulan PT. Lapindo Brantas tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman setempat (PS) terhadap warga, termasuk pemerintah daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa peran pengawasan dan pemantauan pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP MIGAS), yang memilih kontraktor (PT Lapindo Brantas), memberi izin eksplorasi (melalui Keputusan Presiden), serta bertindak sebagai pemantau operasi dan lingkungan, menerima laporan harian (daily reports), tidak dilakukan dengan baik dan benar dalam kasus ini. PT Lapindo, BP MIGAS, dan pemerintah terkait sangat minimalis dalam merespon kasus ini, walaupun sudah berlangsung dalam tiga pekan. Ada kesan saling melindungi di antara ketiga unsur inibahkan dapat disebut telah terjadi konspirasi yang ujungnya menjadikan rakyat sebagai korban. Inilah yang kami kategorikan sebagai bencana ekologis, di mana korporasi masih menjadi aktor utama dalam setiap pelanggaran dan/atau kejahatan lingkungan hidup. Di pihak lain, pemerintah dan hukum seolah tak berdaya. Bencana bukan diwacanakan sebagai sebab dari proses alam, tetapi bencana telah dibuat oleh sekelompok atau orang yang hanya mementingkan usahanya tanpa mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis. Aparat kepolisan RI seharusnya merespon kasus ini dengan cepat dan segera menetapkannya menjadi sebuah kejahatan terhadap lingkungan. Jakarta, 19 Juni 2006 WALHI, JATAM, FPPI, LS-ADI, LMND, KAU, FMN, GMKI, PMKRI, HMI-MPO, Wakil Masyarakat Sidoarjo, WALHI DKI Jakarta, GMNI UKI, KPA RANITA, WALHI JATIM, SAWA, PBHI

Contoh Kasus : PT.IKPP dinilai Melanggar Etika Bisnis PANGKALAN KERINCI, JurnalRiau,Com- Akibat persaingan kurang sehat pihak perusahaan kini melakukan berbagai cara untuk merekrut tenaga kerja yang diiming-imingi kenaikan gaji.Berawal dari kekecewaan dengan management PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), ratusan karyawan di masing-masing departemen perusahaan kayu yang berbasis di Pangkalan Kerinci mengancam bakal hengkang dari perusahaan dan hijrah Ke PT Indah Kiat. Kekecewaan tersebut dikarenakan perusahaan ini telah ingkar janji dengan para karyawan terkait bonus yang akan diberikan. Dimana sebelumnya, para karyawan yang bekerja di PT RAPP diberikan janji oleh pihak management dengan bonus kesejahteraan bila target perusahaan tercapai. Namun meski target perusahaan telah tercapai empat bulan lewat, janji perusahaan yang akan memberikan bonus pada karyawan tak kunjung terealisasi.

Alhasil, para karyawan yang merasa dikecewakan berniat untuk hengkang dari perusahaan kayu milik Taipan Sukanto Tanoto itu. Tak tanggung - tanggung, ada sekitar 80 persen karyawan dari masing-masing departemen yang berencana akan hengkang ke PT Indah Kiat. Namun niat para karyawan agak sedikit terhalang, pasalnya pihak perusahaan tak mau melepaskan begitu saja para karyawannya.

Beberapa Top Management PT RAPP seperti David Ceer, Timo Hakkinen, Elwan Jumandri dan Jhoni W Sida langsung datang ke lokasi di Grand Hotel Pangkalan Kerinci, Sabtu (10/4) tempat beberapa karyawan PT RAPP akan melakukan interview dengan PT. Indah Kiat. Dari pantauan sendiri di lokasi kejadian, memang beberapa orang dari pihak perusahaan berpakaian preman terlihat mondar-mandir di lingkungan hotel. Salah seorang karyawan yang akan diinterview oleh PT Indah Kiat di Pangkalan Kerinci dan wanti-wanti namanya minta dirahasiakan mengakui kekhawatirannya. Pasalnya, dia bersama kawan-kawannya melihat sendiri bahwa pihak perusahaan

PT. RAPP membawa security berpakaian seragam dan bebas datang ke lokasi hotel. "Jujur saja, kami ketakutan pak, soalnya management membawa security satu truk dan preman untuk menjegal kami agar tak jadi diinterview," pungkas salah satu karyawan yang enggan disebut identitasnya.

Dilain sisi menanggapi hal ini secara pribadi pihak Stokeholder Relations Manager PT.RAPP Wan Zak kepada JurnalRiau, Minggu petang (11/04/2010) mengatakan, bahwa hal itu tidak benar, soal pengamcanam untuk hengkang sudah kedua kali. Dan untuk keluar dari perusahaan karyawan tergantung kesepakatan Mou kontrak kerja sebelumnya. Jadi tak segampang itu. Adanya rumor interview oleh pihak perusahaan pulp PT. Indah Kiat, bagi sejumlah karyawan HRD Riaupulp, menurut wan Zack, tindakan itu merupakan persaingan bisnis yang tak sehat.

Dan dinilai merusak etika bisnis, "Selama ini karyawan kita telah mendapat ilmu pengetahuan dan bimtek, yang cukup handal, kenapa tiba-tiba ada perusahaan yang merekrut dengan sistem persaingan tak sehat..," ucap Wan Zak. Sementara Humas Relation PT. Indah Kiat, Nurul Huda ketika dihubungi via ponselnya Minggu petang (11/04/10) mengaku belum mengetahui hal itu. Karena yang menghandel masalah adalah HRD.

Pendapat mengenai Artikel diatas :

Disini ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh kedua perusahaan diatas. Hal pertama adalah kesalahan yang dilakukan oleh PT.RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper ) yang sudah melanggar Prinsip Etika bisnis yaitu prinsip kejujuran,prinsip keadilan dan prinsip tidak berbuat jahat dan berbuat baik. Pada prinsip kejujuran, perusahaan sudah ingkar janji atau telah melanggar perjanjian dengan para karyawan mengenai pemberian bonus jika target perusahaan tercapai,, perjanjian yang disepakati bersama telah diabaikan oleh PT.RAPP. Pada prinsip keadilan , disini ada kaitanya dengan prinsip kejujuran dimana perusahaan seharusnya memberikan sesuatu yang sudah menjadi hak para karyawan tersebut, di mana prestasi dibalas dengan kontra prestasi yang sama nilainya. Dan yang terakhir yaitu Prinsip tidak berbuat jahat dan berbuat baik dimana pada kasus ini yang diuntungkan hanya satu pihak yaitu pihak PT.RAPP. padahal akan lebih baik jikakedua belah pihak merasa diuntungkan yaitu perusahaan mencapai targetnya dan para karyawan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Jika saja perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan karyawan secara keseluruhan maka hal hal yang tidak diinginkan seperti artikel diatas tidak akan terjadi. Dan untuk PT.Indah kiat sebaiknya jika permasalahan antara PT.RAPP dan para karyawannya belum diketahui secara pasti akan lebih baik jika PT.Indah kiat untuk tidak mengambil keuntungan dari konflik tersebut namun hal ini belum diketahui secara pasti karena dari pihak PT. Indah kiat belum ada informasi pasti mengenai perekrutan karyawan PT.RAPP.

KASUS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT Diterbitkan Oktober 28, 2008 PT. Freeport McMoran Indonesia Perusahaan T. Freeport McMoran Indonesia Jenis Galian :Tembaga dan Emas

Tahap roduksi Lokasi :Grasberg dan Eastberg, Pegunungan Jaya Wijaya Luas Konsesi :1,9 juta ha (Grasberg) dan 100 Km2 (Eastberg) Kontrak Karya :I . 7 April 1967 Kepres No. 82/EK/KEP/4/1967 II. 30 Desember 1996 Saham :Freeport McMoRan Copper & Gold Corp (81,28%) PT Indocopper Investama (9,36%), dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%. PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang paling tua beroperasi di Indonesia. Bahkan perusahaan tambang Amerika Serikat inilah yang mengarahkan kebijakan pertambangan Indonesia. Terbukti Kontrak Karya (KK) PT FI ditetapkan sebelum UU No 11 tahun 1967 tentang pertambangan Umum. Dan catatan buruk akibat dampak pertambangannya di Papua sangatlah luar biasa. Dimulai dengan digusurnya ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua. Tanahtanah adat tujuh suku, diantaranya suku Amungme dan Nduga dirampas awal masuknya PT FI dan dihancurkan saat operasi tambang berlangsung. Limbah tailing PT FI telah meniumbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia. Ironisnya, disaat penghasilan PT FI naik dua kali lihat pada tahun 2005, hingga mencapai 4 kali PDRB Papua. Index Pembangunan Manusia (IPM) Papua berada di urutan ke 29. Dari 33 propinsi. Nilai IPM diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita akibat kurang gizi. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan di yang berada di kawasan konsesi pertambangan PT FI mencapai angka di atas 35%. Menjadi sangat ironis. Disaat gaji dan tunjangan dua orang CEO PT FI (James Moffet dan Richard Aderson) mencapat US$ 207,3 juta, pendapatan rata-rata penduduk Papua kurang dari US$ 240 per tahun. Hasil Audit BPK tahun 2005, atas pengelolaan penerimaan negara bukan pajak pada Departemen ESDM dan PT FI untuk tahun anggaran 2004 2005 menunjukkan Indonesia belum mendapatkan hasil optimal dari KK PT FI. Secara khusus perusahaan membayar militer untuk mengamankan perusahaannya. Dalam aporan resmi tahunan Freeport tertulis telah memberikan sejumlah US$ 6,9 juta pada tahun 2004, lalu US$ 5,9 juta pada tahun 2003, dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada militer (TNI). Hampir setiap tahun, perusahaan selalu melaporkan telah membiayai TNI untuk melindungi keamanan tambangnya. Daftar panjang pelanggaran HAM juga terjadi disekitar pertambangan PT FI. Intimidasi adalah kondisi keseharian yang harus dihadapi warga sekitar tambang. Bergabungnya jajaran ahli ekologi, akademisi, ekonom, pengamat HAM, gender dan kesehatan yang terpelajar dan ternama ke jajaran Badan penasehat PT FI, seperti Prof. Otto Soemarwoto, Prof. Dr. Oekan Abdullah, Dr. .M. Chatib Basri, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek hingga HS

Dillon. Ternyata, sama sekali tak berpengaruh merubah perilaku PT FI. Sebaliknya, mereka manjadi alat penguat klaim Freeport sebagai perusahaan yang bertanggung jawab. Anenya hingga saat ini tak ada tindakan signifikan apapun yang dilakukan oleh pemerintah terhadap PT Freeport. Wajar jika rakyat Papua menuduh pemerintah Indonesia hanya merampok kekayaan mereka. Aksi-aksi yang terus mendesak pertambangan ini dikaji ulang atau segera ditutup terus merebak.
1

Kasus Audit Umum PT Kereta Api Indonesia (KAI) 10 Feb Penerapan proses GCG dalam suatu perusahaanmerupakan proses yang tidak mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan dalam perusahaan. Dalam perusahaan publik maupun di BUMN penerapan proses GCG belum diterapkan dan dipahami seutuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus kasus yang terjadi. Seperti kasus audit umum yang dialami oleh PT KAI. Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. PT KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan lainnya. Permasalahan yang dihadapi PT KAI Kasus ini bermuara dari perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris, khususnya ketua komite audit. Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Perbedaan pandangan tersebut bersumber pada perbedaan pendapat mengenai: 1. Masalah piutang PPN Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan. 2. Masalah Beban Ditangguhkan yang Berasal dari Penurunan Nilai Persediaan Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di amortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3. Masalah Persediaan Dalam Perjalanan Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005. 4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya ( BPYBDS ) Dan Penyertaan Modal Negara ( PMN ) BPYBDS sebesar Rp 674,5 M dan PMN sebesar Rp 70 M yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005. 5. Masalah Uang Muka Gaji Biaya dibayar di muka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji bulan Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005. Beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api, adalah : 1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor eksternal. 2. Komite audit tidak ikut dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit. 3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan pada komite audit, dan komite audit juga tidak menanyakannya. 4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya, manajemen merasa tidak yakin. KESIMPULAN 1. Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. 2. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehinnga Dewan Komisaris memiliki satu suara. 3. Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. 4. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu fakttor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.

5. Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. 6. Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastrukture Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges), dan BPYBS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi. SARAN 1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal. 2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. 3. Komite Audit tidak bicara pada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. 4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi. 5. Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi. 6. 7. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat, dan full disclosure. Komite Audit menjebatani agar semua pihak di perusahaan trlibat aktif dalam pengawasan.

Polda Minta BPKP Audit Kasus Investasi PT KAI By Republika Newsroom Jumat, 30 Oktober 2009 pukul 14:45:00 BANDUNG--Untuk mengetahui berapa nilai kerugian negara dalam kasus proyek investasi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dengan PT Optima Karya Capital Manajemen (OKCM), penyidik Satuan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda Jabar berkoordinasi dengan BPKP. Permohonan untuk mengaudit proyek tersebut, sudah diajukan penyidik beberapa waktu lalu.

Kami sudah berkoordinasi dengan BPKP untuk melakukan audit,kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Drs Dade Achmad, Jumat (30/10). Dikatakan Dade, dengan adanya audit maka akan diketahui berapa kerugian negara akibat kasus tersebut. Biasanya, imbuh dia, hasil audit tersebut memakan waktu berbulan-bulan. Ia berharap BPKP bisa melakukan audit secara cepat sehingga kasus ini semakin jelas. Kita belum tahu kapan BPKP akan menyampaikan hasil auditnya. Mudah-mudahan tidak lama,kata dia. Sebagaimana diberitakan Republika, dana investasi yang ditanamkan PT KAI ke PT OKCM jumlahnya Rp 100 miliar. Menurut Kasat Tipikor Polda Jabar, AKBP Drs Sony Sonjaya, dana investasi tersebut sampai saat ini belum dikembalikan oleh pihak PT OKCM. Kalau dikembalikan tentunya tak ada kerugian negara, sampai saat ini belum ada dana yang dikembalikan,ujar dia. Kasus Perdata Sementara itu, kuasa hukum tersangka Ahmad Kuncoro (Direktur Keuangan PT KAI), Triweka Rinanti, SH, MH, menilai kasus proyek investasi merupakan persoalan perdata. Kata dia, antara PT KAI dengan PT OKCM tentang pengembalian dana Rp 100 juta sudah dituangkan dalam kesepakatan bersama. Jadi sangat tidak tepat kalau penyidik mempersoalkan masalah ini sebagai kasus pidana. Ini jelas perdata,kata dia. Dokumen perjanjian pembayaran utang-piutang itu, lanjut Triweka, bisa menjadi bukti kuat bahwa persoalan tersebut merupakan kasus perdata. Selain masalah tersebut, ia juga mempertanyakan penahanan kliennya. Sedangkan tersangka dari PT OKCM sampai saat ini tidak ditahan. Sangat tidak adil cara seperti ini. Uang itu berada di PT OKCM, kok malah tidak ditahan,ujar dia. jok/ahi BEDAH KASUS AUDIT UMUM PT. KERETA API INDONESIA EXECUTIVE BEDAH KASUS SUMMARY AUDIT UMUM FORUM PT. KERETA KOMITE API AUDIT : 13 SEBUAH

INDONESIA

PEMBELAJARAN MENARIK DALAM MEMAHAMI PROSES GCG BAGI PARA KOMISARIS, (Oleh IKAI ) Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan DIREKSI, DAN KOMITE AUDIT

diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik. Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama. Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan PENDAHULUAN Menerapkan proses dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh pihak baik individu maupun kelompok dalam perusahaan. Mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankanApabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif. Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik. Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama. Dalam kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI), menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya. perusahaan yang sebenarnya.

Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan publik, PT. KAI memiliki

business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya dan merupakan pembelajaran yang menarik bagi perusahaan lainnya terutama mengenai bagaimana mambangun pengawasan yang efektif. Kasus ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi departemen teknis maupun Kementerian BUMN sebagai wakil pemegang saham untuk menerapkan public governance.

PEMBAHASAN

KASUS

PT.

KERETA

API

INDONESIA

Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.

Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat atas 4 (empat) hal, yaitu :

1.

Masalah

piutang

PPN.

Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT. KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2.

Masalah

Beban

Ditangguhkan

yang

berasal

dari

penurunan

nilai

persediaan.

Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3.

Masalah

persediaan

dalam

perjalanan.

Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu

unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

BPYBDS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP)? Lebih jauh lagi apakah auditor eksternal telah berkomunikasi dengan Komite Audit, dan apakah komunikasi tersebut efektif ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya Komite Audit dalam proses good corporate governance di perusahaan, baik BUMN maupun swasta.

Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :

1. Advising. Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.

2. Protecting. Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya : memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.

3. Supervising. Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.

Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal

tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.

Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :

1.

Mereview

audit

plan

2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).

3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.

Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :

1. Mereview sistem internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting) bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.

2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan advise kepada Direksi.

Kasus PT. KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan Komisaris terjadi perbedaan

pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social and political costnya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.

Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :

1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal. 2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit. 3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.

4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.

Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari adalah :

Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges) Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan) Perubahan Penyelesaian peraturan Past pemerintah Service (termasuk Liability /PSL peraturan Pensiun perpajakan) Pegawai

RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan Unbundling dari aktifitas perusahaan dan keikutsertaan swasta

SOLUSI

DAN

REKOMENDASI

Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :

Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.

Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat

diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Ketiga, sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.

Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006.

Kelima, terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.

Keenam, beberapa hal teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure

Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.

Khusus untuk PT. Kereta Api, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :

1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api sedang diproses disana.

3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.

4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.

6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.

7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang berkomunikasi intens dengan Komite Audit.

Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban (liability).

Terlepas dari kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, concern yang mengemuka terkait dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Kantor Akuntan Publik yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan Publik yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai akuntan publik.

Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait dengan praktek penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan Review Mutu untuk mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif pengguna jasa akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan suatu tindakan penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.

You might also like