You are on page 1of 11

GALUH KIRANA

BERBAGI KATA BERBAGI MAKNA

Kamis, 03 Februari 2011


Analisis Sosiologi Sastra
REALITAS SOSIAL KUMPULAN CERPEN AIR KALDERA KARYA JONI ARIADINATA (Analisis Sosiologi Sastra sebagai Upaya Memilih Bahan Ajar Sastra di SMA/MA) Adi Dwi Rianto* Abstrak Penelitian ini dilakukan karena penulis melihat dalam karya sastra banyak menyajikan realitas sosial yang terefleksikan melalui masalah-masalah sosial yang ditemui dan dialami oleh tokoh dalam karya sastra. Kenyataan yang ada, banyak siswa hanya mampu membaca karya sastra dari unsur intrinsiknya saja tetapi kurang mampu membaca hubungan karya sastra dengan realitas sosial. Tulisan ini melaporkan hasil penelitian terhadap realitas sosial yang terkandung dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata yang terefleksi melalui masalah-masalah sosial dalam kumpulan cerpen tersebut dan bagaimana kesesuaian kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata dengan bahan ajar sastra di SMA/MA? Teknik pengolahan data dilakukan dengan menggunakan prosedur pengkategorian, pembacaan, dan pencatatan terhadap subjek yang ditemukan, selanjutnya dipertimbangkan dengan kriteria pemilihan bahan ajar sastra. Hasil analisis data menunjukan bahwa realitas sosial dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata sesuai dengan bahan ajar sastra di SMA/MA. Kata kunci: realitas sosial, cerpen, sosiologi sastra, bahan ajar sastra

Pendahuluan Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kenyataan bahwa pengarang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ruang dan waktu tertentu itu adalah sebuah kondisi sosial atau masyarakat. Di dalamnya, pengarang senantiasa akan terlibat dengan beraneka permasalahan, maka dalam proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Ratna (2003:35) mengatakan pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa pengarang pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat. Oleh karena itu ia

terikat oleh status sosial tertentu. Karya sastra yang dihasilkan pengarang menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari realitas sosial. Cerpen sebagai salah satu karya sastra mampu mengungkapkan realitas sosial dalam aspek-aspek kehidupan yang dapat digunakan sebagai sarana bagi pembaca untuk lebih memahami masalahmasalah realitas sosial dalam kehidupan. Cerpen-cerpen yang dianggap mengungkapkan realitas sosial terdapat dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata. Kumpulan cerpen ini banyak mengandung realitas sosial sehingga dapat dijadikan bahan pemikiran bagi pembacanya dalam memandang kehidupan. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, siswa diharapkan memiliki pengalaman dan pengetahuan sastra dan lebih jauh lagi siswa diharapkan mampu menemukan pengalaman-pengalaman dalam karya sastra untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Kenyataan yang ada di lapangan, banyak siswa hanya mampu membaca karya sastra dari unsur intrinsiknya saja tetapi kurang mampu membaca hubungan karya sastra dengan realitas sosial. Hal ini diduga karena bacaan sastra berbentuk fiksi dianggap sebagai karya imajinasi yang tidak berhubungan dengan realitas sosial. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif bahan ajar sastra yang menghubungkan karya sastra dengan realitas sosial. Dari kenyataan tersebut muncul rumusan masalah, yaitu 1) Realitas sosial apa saja yang terkandung dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata yang terefleksi melalui masalah-masalah sosial dalam kumpulan cerpen tersebut? 2) Bagaimana kesesuaian kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata dengan bahan ajar sastra di SMA/MA? Cerpen Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek cerpen memang tidak ada aturannya. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2000:10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Sebagai sebuah karya fiksi, cerpen menawarkan sebuah model kehidupan atau bangunan imajinatif yang berdiri dengan unsur-unsur pendukungnya. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian penting yang membuat jalinan cerita sehingga menghasilkan sebuah cerita yang utuh. Ada dua unsur utama yang terdapat dalam cerpen, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000:25) membedakan unsur intrinsik menjadi tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana cerita. Fakta cerita meliputi karakter (tokoh cerita dan penokohan), plot, dan setting. Tema cerita merupakan dasar pemikiran dari sebuah karangan. Nurgiyantoro (2000:68) menungkapkan bahwa tema merupakan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Sarana cerita adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Sarana cerita antara lain berupa sudut pandang penceritaan dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra adalah unsur yang menyangkut aspek sosiologi, psikologi, biografi pengarang dan lain-lain. Nurgiyantoro (2000:23) mengungkapkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: 1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek

kemasyarakatannya, 2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya, 3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi, 4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat, dan 5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Hubungan antara sosiologi dan sastra juga dikemukakan oleh Damono (1978:6) bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Selanjutnya, Damono (1978:7) mengungkapkan bahwa sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Ian Watt (dalam Damono, 1978:3-4) mengemukakan tiga macam klasifikasi masalah sosiologi sastra, yaitu konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Klasifikasi sosiologi sastra dari Ian Watt inilah yang akan digunakan dalam penelitian tentang realitas sosial dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata, yang menitikberatkan pada sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Masalah Sosial dalam Karya Sastra Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dengan demikian pengarang akan memperlihatkan sikap dan pandangannya tentang berbagai unsur kehidupan manusia. Sumardjo (2001:64) mengungkapkan bahwa sebuah karya cerpen yang baik ibarat pengalaman hidup yang kita alami dan sulit melupakannya. Selanjutnya, Sumarjo mengungkapkan Sastra menyajikan pengalaman kehidupan. Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat (2001:89). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan. Menurut Soekanto (1982:368) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Selanjutnya, Soekanto (1982:378-395) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, bergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, yaitu kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran terhadap normanorma masyarakat, masalah generasi muda, masalah lingkungan hidup, dan birokrasi. Kriteria Pemilihan Bahan Ajar Sastra Kedudukan pembelajaran cerpen dalam Standar Kompetensi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA/MA tahun 2004 sangat strategis. Hal ini sesuai dengan tujuan pengajaran sastra dalam kurikulum SMA/MA, yaitu (1) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pembelajaran cerpen dalam kurikulum 2004 menyebutkan bahwa peserta didik diantaranya diarahkan untuk membaca, memahami, dan menganalisis cerpen serta dapat menghubungkan isi cerpen dengan relitas sosial (Depdiknas, 2003:7). Rahmanto (1988:26) mengemukakan bahwa bahan pengajaran yang disajikan kepada para siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Selanjutnya Rahmanto (1988) mengemukakan agar dapat memilih bahan pengajaran sastra dengan tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Aspek tersebut adalah bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya.

Metode Analisis Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi dipilih karena yang menjadi fokus kajian penelitian adalah realitas sosial kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2002:135) yang mengungkapkan bahwa di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, dan sebagainya. Dalam penelitian ini analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif dengan langkah-langkah 1) pembacaan terhadap subjek yang diteliti untuk menemukan data-data yang berupa realitas sosial yang terefleksikan melalui masalah-masalah sosial dalam kumpulan cerpen Air Kaldera, 2) pendeskripsian dilakukan dengan memberikan beberapa contoh kutipan, baik yang dipaparkan pengarang maupun dialog lisan dan pikiran yang terdapat dalam diri tokoh cerpen. Pemberian contoh tersebut bertujuan untuk memperjelas dan memperkuat masalah yang dikaji, dan 3) menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara keseluruhan. Hasil dan Pembahasan Realitas Sosial Terefleksikan Melalui Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata 1) Cerpen Dongeng Penunggu Surau Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Dongeng Penunggu Surau adalah keadaan surau yang sepi pengunjung. Keadaan sepi tersebut bukan karena tidak adanya penduduk namun karena penduduk di kampung tersebut sibuk dengan kegiatan pertaniannya. Orang-orang kampung telah melanggar norma yang hidup di masyarakat, yaitu norma agama. Agama mewajibkan pemeluknya untuk melakukan ibadah. Hal ini telah dilanggar oleh penduduk. Mereka telah disibukkan oleh kegiatan bertani. Bukan hanya agama, kewajiban sekolah bagi anak-anak juga telah dilanggar. Hal tersebut tercermin dalam kutipan berikut ini. Musim tanam selalu membuat seluruh kampung sibuk. Seperti biasa. Lelaki dan perempuan. Bahkan anak-anak. Jangankan surau, bahkan sekolah selalu kosong (DPS:3). Lingkungan hidup pedesaan dengan tempat tinggal pertanian menjadi masalah yang sangat besar ketika keseimbangan antara kehidupan duniawi tidak seimbang dengan kehidupan akhirat. Ketidakseimbangan tersebut dirasakan oleh Imam Mathori dan Muadzin Ali. 2) Cerpen Kita Mengadu Kepada Mayat Realitas sosial yang terefleksikan melalaui masalah sosial yang tedapat dalam cerpen Kita Mengadu Kepada Mayat adalah masalah kemiskinan dan masalah kejahatan. Kemiskinan dirasakan oleh orang-orang Lembah Asmaketek. Hal ini tercermin dalam kutipan. Astaga! Ada apa dengan Lembah Asmaketek? Kampung melarat di utara. Makan tiwul, gaplek. Tanah kering, jika hujan, air berlomba amblas. Tak ada sisa. Akar-akar ketela sebesar kelingking. (KMKM:19) Karena kemiskinan inilah timbul dendam kesumat dalam hati orang-orang Lembah Asmaketek terhadap Kampung Hitut yang kaya. Kesenjangan sosial yang terjadi anatar Lembah Asmaketek dan Kampung Hitut membuat adanya rasa ketidakadilan sosial dalam diri orang-orang Lembah Asmaketek. Kemiskinan yang dirasakan orang-orang Lembah Asmaketek akhirnya melahirkan sebuah kejahatan berupa pembunuhan terhadap seorang kiai yang dianggap memiliki kesaktian sama dengan Kiai Bledek Kingking yang dimakamkan di Kampung Hitut. 3) Cerpen Tentang Lelaki Bergamis yang Mencintai Tuhan Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Tentang Lelaki Bergamis yang Mencintai Tuhan adalah masalah disorganisasi keluarga. Perpecahan keluarga terjadi pada keluarga Markonah. Tompel, anak

yang dibanggakan Markonah meninggalkan kuliahnya di Amerika dan menjadi seorang khalifah penyeru kebenaran. Markonah nyaris tobat mendengar anaknya malah jadi wali, Heh?! Yang betul saja kamu itu ngomong, Ijah? (TLBYMT:32) Kutipan di atas adalah reaksi pertama Markonah ketika mendengar Tompel, anaknya, menjadi seorang khalifah penyeru kebenaran. Markonah kurang begitu senang dengan perubahan yang terjadi dengan anaknya. Alasan Markonah kurang senang dengan pilihan hidup anaknya tercermin dalam kutipan: Andaikan leluhur-leluhur kita semua, seperti kata Wak haji,tidak terjebak dan berhenti pada masalah syariat semata; betapa kita akan memiliki kebanggaan dan harga diri. Tidak terpojok dan tersisih sebagaimana orang-orang maju melecehkan kita. Bayangkan, jika semua konsep keilmuan berdiri di atas nama kalimat syahadat(TLBYMT:32-33) Pendapat Markonah tentang kehidupan sangat bertentangan dengan pendapat Tompel. Tompel berpendapat bahwa tidak ada ilmu yang lebih bermanfaat kecuali ilmu agama. Perpecahan keluarga semakin terlihat ketika Tompel tidak mau lagi dipanggil Tompel. Dia pun sudah berani menyeru kebenaran kepada ibunya bahkan ia telah menikahkan anak perempuan Markonah tanpa sepengetahuannya. 4) Cerpen Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri? adalah masalah kejahatan. Ada dua kejahatan yang terjadi dalam cerpen ini, yaitu kejahatan bunuh diri dan kejahatan pembunuhan. Kejahatan bunuh diri dilakukan oleh Abah Marta dan Rantawi. Bunuh diri merupakan dosa besar bagi pemeluk agama Islam. Dan hal ini diharamkan oleh agama. Oleh karena itu, bunuh diri dapat dimasukan ke dalam tindak kejahatan, yaitu kejahatan terhadap diri sendiri. Kejahatan pembunuhan dilakukan secara tidak langsung oleh Wardoyo dan Rantawi terhadap Abah Marta. Wardoyo jelas menyuruh Abah Marta untuk meminum segelas racun babi dan rantawi jelas menyuruh Wardoyo untuk percaya pada ceritanya dan mencobakannya pada Abah Marta. Hal inilah yang menyebabkan Wardoyo dan rantawi ditangkap polisi. 5) Cerpen Jalan Lurus Menuju Mati Cerpen Jalan Lurus Menuju Mati menceritakan tentang perbandingan dalam menunaikan ibadah haji jaman dulu dengan jaman sekarang. Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen ini adalah masalah lingkungan hidup, yaitu lingkungan sosial. Berlayar ke tanah suci merupakan perjuangan yang sangat berat. Seiring kemajuan zaman, lingkungan sosial pun semakin berkembang. Perjalanan ke tanah suci tidak lagi seberat dahulu. Saat ini kemudahan-kemudahan dalam menunaikan ibadah haji telah tersedia. Nilai-nilai perjuangan seakan berkurang bahkan hilang. Namun, sambutan masyarakat terhadap orang yang menunaikan ibadah haji semakin tinggi. Orang kampung telah meninggikan derajat orang yang menunaikan ibadah haji. Dan orang tersebut dijadikan imam dalam kehidupan. Mereka lah yang akan menjadi pengatur dalam kegiatan beragama. Hal ini tercermin dalam kutipan: Kampung Jahlun, konon, memiliki dua shaf orang-orang yang diakui fasih oleh Haji Kadhib, hingga mendapat jatah istimewa untuk selalu menempati shaf pertama dan shaf kedua baik dalam sembahyang Jumat maupun sembahyang jamaah biasa. (JLMM:53) Kutipan di atas memperlihatkan adanya masalah dalam lingkungan sosial. Status masyarakat telah menimbulkan kelas-kelas dalam masyarakat. 6) Cerpen Pencuri Malaikat Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Pencuri Malaikat adalah masalah lingkungan sosial dan masalah kemiskinan. Cerpen ini bercerita tentang lingkungan di sebuah kampung yang sedang membangun mesjid. Di kampung tersebut hanya ada satu keluarga yang namanya tidak pernah diumumkan di corong speaker setiap hari jumat. Keluarga tersebut adalah keluarga Haji Bako. Haji

Rofiq dan penduduk lainnya tidak menyukai keluarga ini. Sebenarnya, Haji Bako telah menyedekahkan seluruh hartanya untuk membangun mesjid tanpa sepengetahuan siapapun. Termasuk istrinya. Dari pemaparan di atas, terlihat adanya masalah lingkungan sosial. Keluarga Haji bako menjadi korban dari masalah tersebut. Dia dan istrinya dikucilkan dari kehidupan masyarakat dan dianggap orang yang bersalah karean tidak pernah bersedekah. Sebaliknya, Haji Rofiq menjadi sangat dihormati karena perjuangannya dalam membangun mesjid. Masalah kemiskinan juga menjadi masalah sosial yang diangkat dalam cerpen Pencuri Malaikat. Haji Bako, pada masa lampau adalah orang yang miskin. Dalam kemiskinan tersebut, seluruh hartanya dicuri oleh pencuri. Awalnya kemiskinan membuat Haji Bako mengutuk Tuhan. Bahkan hampir bunuh diri. Namun seorang Kiai menolongnya dan menunjukan kebenaran bahwa semua itu hanya ujian dari Allah. Haji bako pun bertobat. Setelah bertobat, kehidupan Haji Bako semakin membaik. Namun lagi-lagi pencuri mencuri hartanya sampai tidak tersisa. Senasib dengan Haji bako, Haji Rofiq pun terkena masalah kemiskinan. Hartanya dihabiskan oleh seorang pencuri. 7) Cerpen Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami adalah masalah pelanggaran norma agama. Pelanggaran norma agama dalam cerpen ini dilakukan oleh Kurnaedi dan Abah Haji Johar dan jamaahnya. Kurnaedi melanggar dan keluar dari jamaah yang dipimpin Haji Johar. Hal tersebut dianggap melanggar norma agama oleh jamaah Haji Johar. Abah Johar tak boleh ditentang gegabah. Tak peduli Komaruddin hanya satu dari sekian alasan. Siapa peduli? Keluar dari jamaah, artinya murtad. Titik. (KSIBK:80) Kutipan di atas menunjukan bahwa orang yang melawan Haji Johar dan keluar dari jamaah adalah orang yang telah melanggar agama. Orang tersebut dikatakan murtad. Sebenarnya, Abah Haji Johar dan jamaahnya lah yang telah melanggar norma agama. Kegiatan keagamaan yang dilakukan jamaah Haji Johar sangat bertentangan dengan norma agama yang sesungguhnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan: Attakah. Ritus apakah itu? Seratus kali surat Al-Ikhlas dibaca beruntun dengan gumaman keras, dihitung dari jumlah kerikil, yang kelak bersama orang-orang terdekat dipergunakan untuk menghindarkan sehalus mungkin azab sakaratul maut. (KSIBK:76) Betul. Bukan itu saja, Dik Koma. Keberanian Abah Haji Johar untuk menderetkan Attakah dengan lemparan Jumrotul Aqobah; juga paling membingungkan (KSIBK:78) Kutipan-kutipan di atas menunjukan bahwa kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh jamaah Haji Johar bertentangan dengan ajaran agama Islam. 8) Cerpen Kisah Kasih Oto dan Wiwik Masalah sosial yang diangkat dalam cerpen Kisah Kasih Oto dan Wiwik sebagai refleksi realitas sosial adalah masalah generasi muda yaitu pernikahan dini. Oto dan Wiwik adalah sepasang muda-mudi yang menikah dalam usia muda. Mereka meninggalkan bangku sekolah dan memilih hidup berumah tangga. Pada awalnya, kehidupan Oto dan Wiwik berjalan biasa. Berjalan layaknya sepasang muda-mudi yang baru saja menikah. Selanjutnya kehidupan rumah tangga Oto dan Wiwik mulai memasuki masalah-masalah rumah tangga. Mulai dari masalah rumah sampai ke pekerjaan. Semua masalah tersebut berakhir pada sebuah rencana yang tidak terealisasikan. Kehidupan ekonomi rumah tangga Oto dan Wiwik semakin sulit. Mereka kehabisan perbekalan dalam mengarungi rumah tangga. Pada akhir cerita, mereka meninggal dunia dengan segala kasih layaknya Romeo dan Juliet. 9) Cerpen Dongeng Monik dan Balon di Perut Mama Masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Dongeng Monik dan Balon di Perut Mama adalah disorganisasi keluarga. Cerpen ini bercerita tentang keluarga Basuki. Basuki telah bercerai dengan Astuti, mantan istrinya, dan memiliki seorang anak bernama Monik. Astuti hamil lagi dari laki-laki

lain, sehingga Monik dititipkan pada Basuki. Mulut Monik sangat cerewet, menceritakan segala peristiwa antara Astuti dan lelaki barunya. Hal inilah yang membuat Basuki pusing. Namun, ketika Monik tidak ada di samping Basuki, dia merasakan kesepian. Lelaki yang menghamili Astuti kabur sehingga Astuti jatuh sakit. Monik pun ikut sakit bahkan tidak mau keluar dari kamarnya. Sakit jasmani dan juga rohaninya. Inilah masalah disorganisasi keluarga yang menyebabkan anak menjadi korbannya. 10) Cerpen Serdadu Palsu Cerita pendek Serdadu Palsu mengangkat masalah lingkungan hidup dan kemiskinan sebagai refleksi dari realitas sosial. Masalah lingkungan hidup dalam cerpen ini mempermasalahkan lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang terganggu oleh latihan perang. Malam. Pagi. Subuh. Klotokan baling-baling pesawat tempur menerbangkan atap Sadiman, tak pernah diganti. Anak Bardokir dan Mustajab tewas disambar peluru nyasar. Udara pengap lantaran polusi ledakan; angina kerontang. Dua bulan lalu hawa racun mencekik nyawa Samiri diperbatasan. Tak ada berita. (SP : 120). Kutipan di atas mencerminkan akibat-akibat dari latihan perang. Lingkungan biologis dan lingkungan sosial terganggu. Polusi udara, polusi suara, adalah bukti dari kerusakan lingkungan biologis. Kerusakan lingkungan biologis menjadi faktor penyebab terganggunya lingkungan sosial. Masyarakat menjadi terganggu dengan adanya latihan perang. Selain masalah lingkungan hidup, cerpen Serdadu Palsu mengungkapkan masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan tercermin dalam tokoh-tokoh cerita pendek ini. Dua penjaga kurus abadi. Dua puluh delapan tahun!! Begitu di sela-sela penjaga itu menyumpah. Pangkatku tetap kopral dan janji tetap gaji tetap saja tiga ratus ribu! Dan, delapan sopir yang masing-masing juga tak lebih dari prajurit satu itu - tentu saja gajinya hanya dua ratus ribu (SP : 115). 11) Cerpen Indah Mencuri Kabut Realitas sosial yang terefleksikan oleh masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Indah Mencuri Kabut adalah masalah disorganisasi keluarga dan masalah kemiskinan. Disorganisasi sosial yang terjadi dalam cerpen ini terjadi pada keluarga Indah. Indah dipaksa menikahi seorang kopral bernama Fauzi Amin oleh abahnya. Kehidupan keluarga Indah menjadi berantakan. Semakin lama Kopral Fauzi menjadikan rumah Abah menjadi tempat pelacuran. Indah adalah perempuan yang dipaksa melayani setiap kawan Fauzi yang datang. Setiap anggota keluarga Indah menyalahkan Abah yang telah menikahkan Indah dengan Kopral fauzi Amin. Realitas sosial lainnya yang terdapat dalam cerpen Indah Mencuri Kabut adalah terefleksikan dalam masalah kemiskinan. Kehidupan Abah dan keluarganya sangat kekurangan. Namun setelah menikahkan Indah dengan Kopral Fauzi kehidupan Abah semakin baik. 12) Cerpen Jembatan Langit Realitas sosial yang terefleksikan melalalui masalah sosial dalam cerpen Jembatan Langit adalah masalah kemiskinan, masalah kejahatan, dan masalah birokrasi. Masalah kemiskinan terjadi pada tokoh Sarman dan istrinya. Besok hari Rabu. Obat Lia tinggal enam. Hanya cukup untuk hari ini. Ah, Abang... Lia... (JL:146) Kutipan di atas menunjukan bahwa Sarman adalah orang yang kekurangan, dia tidak bisa membelikan obat untuk istrinya. Masalah birokrasi dalam cerpen Jembatan Langit terlihat dari penokohan Sarman yang menjadi sopir pribadi Satrio. Di dalam aturan birokrasi, seorang sopir memiliki tugas dan kewajiban yang sangat berat. Seorang sopir harus delalu siap kemanapun majikan ingin pergi. Tanpa bertanya. Bahkan ibadah pun dapat ditinggalkan. Masalah kejahatan dalam cerpen ini dilakukan Sarman dengan membunuh Bapak Satrio, majikannya. 13) Cerpen Guillotine

Masalah kejahatan adalah realitas sosial yang direfleksikan dalam cerpen Guillotine. Kejahatan dalam cerpen ini berupa praktik aborsi yang dilakukan dokter dan perawat di sebuah yayasan. Apakah tempat ini sudah demikian busuk? Menit, detik, dan jam menyergap pada ketakutan mengumpati kepala demi kepala. Data statistik pasien Februari melonjak 40 prosen dari Januari -entah. 48 bayi, empat belas mati, delapan perempuan menggantung, membentur tembok, histeris: hamil muda. SMA, pelajar, pelacur tanda kutip- gadis terhormat tanpa muka diseret keluarga: Tolong, selamatkan dia Dokter! Korban hubungan tolol..., ya Tuhan, umur tiga belas... (G:154) 14) Cerpen Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden Realitas sosial dalam cerpen Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden yang terefleksikan melalui masalah sosial adalah masalah kejahatan. Kejahatan dilakukan oleh Tuan Presiden sehingga dia dimasukan ke penjara dan dikenai hukuman mati. Kejahatan yang dilakukan oleh Tuan Presiden adalah kejahatan ketika dia masih menjadi penguasa. Aset-aset negara diberikan kepada anakanaknya. Hal inilah yang menjadi penyebab utama kejahatan Tuan Presiden. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam masa kekuasaannya, Tuan Presiden sering menghukum lawan-lawan politiknya dengan cara yang sama dengan apa yang dia rasakan saat ini. Kejahatan yang sama. Hal ini tercermin dalam kutipan: Keparat, jadi kau pun sadar betapa najis menyongsong maut, Tuan Presiden? Sedang berkali kau perintahkan aku, tembak batok-batok pembangkang dengan mata dingin. Politik tak akan pernah mengorbankan sejuta kepala hanya untuk menjaga seratus biji nyawa, itu ajaranmu yang pertama! (PJDTTP:176)

Kesesuaian Kumpulan Cerpen Air Kaldera Karya Joni Ariadinata dengan Bahan Ajar Sastra di SMA/MA Hal yang harus diperhatikan seorang guru dalam memilih bahan ajar sastra, menurut Rahmanto (1988:27) ada tiga aspek. Ketiga aspek yang dimaksud adalah (1) aspek bahasa, (2) aspek psikologi, dan (3) aspek latar belakang budaya. 1) Aspek Bahasa Bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata adalah bahasa bertentangan dengan tata bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat yang digunakan pendek-pendek. Joni Ariadinata tidak menerapkan prinsip-prinsip tata bahasa yang baku. Hal ini menunjukkan ciri khas tersendiri dari gaya kepenulisan Joni. Dan yang paling penting, hal ini menjadi alat yang digunakan Joni untuk mengangkat sebuah realitas sosial yang sangat nyata dalam cerpen karena cerpen-cerpen Joni Ariadinata adalah cerpen-cerpen yang mengangkat masyarakat kelas bawah yang tidak mengenal tata bahasa baku. Penggunaan bahasa komunikasi yang sesuai dengan latar dan penokohan dalam cerpen mampu membuat siswa lebih menghayati penokohan yang ada di dalam cerpen. Penggunaan bahasa yang sangat berbeda dengan tata bahasa yang baik dalam kumpulan cerpen Air Kaldera, juga akan merangsang siswa untuk menemukan perbedaan bahasa sastra dengan bahasa Indonesia yang mereka pelajari dalam linguistik. Keuntungan lainnya, bahasa yang terdapat dalam cerpen Air Kaldera akan terasa sangat dekat dengan siswa karena menggunakan bahasa yang biasa siswa temui dalam kehidupan sehari-harinya. Siswa SMA/MA sangat mengenal bahasa-bahasa kelas bawah dengan ciri-ciri khasnya yang singkat, kadang kasar, spontan, dan tidak dibuat-buat. 2) Aspek Psikologis Kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata banyak menyuguhkan realitas sosial yang terefleksikan melalui masalah-masalah sosial. Masalah-masalah sosial yang tedapat dalam kumpulan cerpen Air Kaldera sangat beragam. Masalah-masalah tersebut sangat dekat dengan

kehidupan siswa. Hal ini akan menjadi bahan bagi siswa untuk menemukan konsep-konsep sosial dengan menganalisis realitas sosial yang terdapat dalam cerpen. Berdasarkan tingkatan perkembangan psikologi yang diungkapkan oleh Rahmanto, umur 16 tahun dan selanjutnya adalah tahap generalisasi. Siswa SMA/MA pada umunya berumur 16 tahun ke atas. Oleh karena itu, realitas sosial yang terefleksikan melalui masalah sosial dalam kumpulan cerpen Air Kaldera akan menarik minat siswa untuk menemukan dan merumuskan penyebab munculnya masalah-masalah sosial tersebut. Pada akhirnya, siswa akan menemukan sebuah keputusan moral tentang baik dan buruknya suatu tingkah laku atau peristiwa dalam cerpen dan menghubungkannnya dengan kehidupan sehari-hari. 3) Aspek Latar Belakang Budaya Tema-tema cerpen dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata banyak mengambil tema sosial dan religius. Hal ini terlihat dari pembagian yang dilakukan Joni Ariadinata dalam bukunya. Bagian pertama buku kumpulan cerpen Air Kaldera yang berjudul Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami pada umumnya mengambil tema religius dengan tokoh-tokoh yang religius seperti kiai, haji, dan sebaginya.. Bagian kedua yang berjudul Indah mencuri Kabut pada umumnya mengambil tema sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat kelas bawah seperti kopral, prajurit, sopir pribadi, perawat, dan ibu rumah tangga. Tema dan pemilihan tokoh yang digunakan oleh pengarang sangat sesuai dengan latar belakang budaya siswa SMA/MA yang pada umumnya adalah umat beragama dan hidup dalam lingkungan sosial yang tidak jauh berbeda dengan lingkungan sosial dalam cerpen. Pada umumnya, latar tempat yang digunakan dalam kumpulan cerpen Air Kaldera adalah lingkungan sosial kelas bawah, seperti sebuah kampung, sebuah tempat kumuh, sebuah surau, sebuah rumah kontrakan, dan sebuah yayasan. Penggunaaan tema, tokoh, dan latar seperti tersebut di atas akan mampu menarik minat siswa untuk mempelajari sastra. Hal ini disebabkan oleh adanya perasaan kedekatan siswa dengan cerita yang dibaca. Mereka akan lebih mudah memahami cerita karena telah mengenal budaya yang terdapat dalam cerpen. Simpulan Penelitian ini telah menunjukan bahwa realitas sosial yang terefleksikan melalui masalah-masalah sosial dalam kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata, adalah masalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, generasi muda, lingkungan hidup dan birokrasi. Dari penelitian ini tampak bahwa bahasa yang digunakan dalam cerpen Air Kaldera adalah bahasa komunikasi yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari. Masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Air Kaldera sangat sesuai dengan tingkatan psikologi siswa SMA/MA yang berminat untuk menemukan konsep dan menganalisis suatu fenomena. Kumpulan cerpen Air Kaldera menghadirkan tokoh dan latar yang berasal dari lingkungan sehari-hari siswa sehinggga sangat erat hubngannya dengan latar belakang budaya siswa. Dar pernyataan-pernyataan tersebut, kumpulan cerpen Air Kaldera karya Joni Ariadinata sesuai dengan kriteria pemilihan bahan ajar sastra di SMA/MA. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen Pendidikan Nasioanal. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA. Jakarta. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar __________________. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali Sumardjo, Jakob. 2001. Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

*Penulis dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Galuh Ciamis. Diposkan oleh Adi Dwi Rianto di 00:54 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Esei Sastra
KONTESTASI KESALEHAN RITUAL VERSUS SOSIAL (Kritik Sosial terhadap Praktik Keberagamaan) Oleh Siswo Harsono Kajian sosiologis cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis memerlukan beberapa lapis analisis. Pertama, analisis yang berkaitan dengan surau itu sendiri sebagai tempat ibadah. Kedua, analisis yang berkaitan dengan tokoh kakek sebagai marbot atau penjaga surau yang mati bunuh diri. Ketiga, analisis yang berkaitan dengan tokoh Haji Saleh sebagai seorang ahli ibadah yang masuk neraka menurut cerita Ajo Sidi pada si kakek. Ketiga lapis analisis tersebut berkaitan deangan beberapa persoalan sosial. Robohnya surau berhubungan dengan ketuaan secara fisik bagunannya, secara personal penjaganya, dan secara ritual yang anti-sosial. Fisik bangunan surau yang sudah usang menunjukkan ketidakpedulian umat terhadap rumah ibadah tersebut. Keusangan tersebut seiring dengan ketuaan si kakek penjaga surau. Kakek tersebut hidup dengan penuh pengabdian terhadap agama yang diwujudkan dengan kesetiaannya menjaga surau seorang diri. Ketaatannya dalam beragama lebih mementingkan beribadah daripada bekerja. Secara ritual kakek itu seorang yang saleh, namun secara sosial dia hanyalah seorang pengasah pisau bagi masyarakat di sekitarnya. Pekerjaan mengasah pisau ini bermanfaat bagi para wanita dan pria yang memerlukan ketajaman pisau-pisaunya. Namun pekerjaan tersebut hanya menjadi mata pencaharian yang ala kadarnya. Dengan kata lain, tidak menguntungkan secara finansial. Keberagamaan si kakek menjadi bahan olok-olok oleh si pembual Ajo Sidi. Dia memperolok-olok si kakek dengan menceritakan kisah Haji Saleh yang konon walaupun saleh secara ritual tetap dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan karena dia selama hidupnya tidak memiliki kesalehan sosial sama sekali. Pada intinya kesalehan ritual Haji Saleh tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka karena dia tidak memiliki kesalehan sosial. Kesalehan ritual bahkan menjadikan Haji Saleh sombong dan individualis. Kesombongan seorang yang saleh yang merasa pasti masuk surga. Kesombongan seorang individualis yang merasa tidak memerlukan orang lain dalam keberagamaannya. Hubungan vertikal antara dia dan Tuhan adalah satu-satunya tiket masuk surga. Cerita Ajo Sidi memutarbalikkan perkara tersebut. Baginya, yang paling penting adalah kesalehan sosial. Hubungan horisontal antara sesama manusia itulah yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa neraka, dan dapat dijadikan tiket masuk surga. Kesalehan sosial diwujudkan dengan bekerja. Bagi Ajo Sidi, bekerja lebih utama daripada beribadah. Cerita Haji Saleh digunakan untuk mendekonstruksi keberagamaan yang berorientasi pada kesalehan ritual. Dengan cerita tersebut,

kesalehan sosial yang diwujudkan dengan bekerja menjadi lebih utama. Kontestasi kesalehan ritual dengan kesalehan sosial dimenangkan oleh yang terakhir. Si kakek mati bunuh diri setelah mendengar kisah Haji Saleh masuk neraka. Sedangkan Ajo Sidi tetap bekerja pada hari si kakek meninggal. Keberlangsungan hidup dengan terus bekerja merupakan simbol kemenangan kesalehan sosial. Sebaliknya kematian si kakek merupakan kekalahan kesalehan ritual di dunia, dan dimasukkannya Haji Saleh ke dalam neraka merupakan kekalahan kesalehan ritual di akherat. Inilah isu sosial yang penting dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis. Meskipun demikian, persoalan sosiologi sastra tidak berhenti pada level tekstual saja, namun berlanjut pada level kontekstual yang berkaitan dengan persoalan produksi-konsumsi sastra. Dari sisi produksi, sosiologi sastra perlu melibatkan kajian penulis dan penerbit. AA Navis sebagai penulis cerpen tersebut juga terikat dengan lingkungan sosio-kulturalnya. Sebagai orang Padang, dia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya Minangkabau. Di satu pihak masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang religius; di pihak lain, masyarakat tersebut juga memiliki budaya perdagangan yang selalu merantau. Kesalehan rutual merupakan representasi dari masyarakat Minangkabau yang religius. Sedangkan kesalehan sosial yang diwujudkan dalam bekerja merupakan representasi dari masyarakat pedagang. Si kakek penjaga surau hidup dalam habitus (meminjam istilah Bourdieu) religius yang selalu beribadah secara ritual. Sedangkan Ajo Sidi yang selalu merantau hidup dalam habitus sosial yang selalu bekerja. Bagi masyarakat religius, cerita keagamaan merupakan tuntunan kehidupan. Bagi masyarakat perantau, cerita dari berbagai tempat yang identik dengan bualan menjadi bahan hiburan. Dalam kontestasi kedua habitus itulah masyarakat Minangkabau yang ritual dikalahkan oleh yang sosial, beribadah dikalahkan oleh bekerja. AA Navis sebagai seorang juru dakwah secara naratif menggunakan kisah Haji Saleh sebagai kritik sosial terhadap kehidupan keberagamaan yang hanya mementingkan kehidupan ritual tetapi mengabaikan kehidupan sosial. Tentu saja sasaran kritik AA Navis tidak terbatas pada masyarakat Minangkabau saja, alusi latar yang menyangkut Indonesia menunjukkan sasaran kritik kehidupan keberagamaan dalam sekala nasional. Dalam segi konsumsi sastra, cerpen Robohnya Surau Kami tentu saja ditujukan untuk konsumsi nasional karena menggunakan Bahasa Indonesia. Hal tersebut akan berbeda jika cerpen itu ditulis dalam Bahasa Minangkabau. Kata Surau mengacu pada tempat ibadah masyarakat kampung Islam, bukan Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen, atau Yahudi. Adapun kata Kami mengacu pada komunitas pemilik surau tersebut. Dengan demikian tidak terjadi totalisasi terhadap keruntuhan tempat ibadah dan praktik keberagamaan secara universal.***

You might also like