You are on page 1of 141

BADAN PERENCANAAN DAERAH KOTA DEPOK Tahun 2007

Kajian Perencanaan Partisipatif

Perbagai peluang pengembangan kota-kota di Indonesia, termasuk di Kota Depok, menghendaki inovasi dan pendekatan-pendekatan baru untuk menghasilkan gagasan-gagasan kreatif. Bagaimana pun berbagai perubahan dimulai dari gagasan / ide. Karena itu, gagasan tentang partisipasi warga untuk menciptakan kondisi kota yang lebih baik, seperti yang diprakarsai oleh Imagine Chicago, atau gagasan Charles Landry (2002) tentang Kota Kreatif (The Creative City), mungkin harus mulai didiskusikan secara meluas dan pengembangan gagasannya dikelola secara lebih serius. Konsep inti dibalik gagasan-gagasan itu adalah bahwa masa depan suatu kota merupakan masa depan bersama seluruh warga kota. Kenyamanan, kebanggaan, produktivitas, dan daya saing suatu kota merupakan produk bersama warga kotanya. Karena itu perlu ditumbuhkan milieu kreatif yang memungkinkan setiap individu warga kota, termasuk organisasiorganisasi yang ada, untuk dapat memberikan gagasan kreatif dan kontribusi terbaiknya bagi penciptaan kota yang diinginkan bersama. Dari perspektif itu, maka perencanaan partisipatif harus dilihat tidak semata-mata sebagai pelaksanaan suatu prosedur perencanaan yang melibatkan masyarakat semata, seperti yang dilakukan selama ini, tapi harus dimulai dengan proses imajinatif yang melibatkan sebanyak mungkin warga kota untuk merumuskan bersama tentang kota seperti apa yang diinginkan bersama di masa depan. Semakin detil kondisi yang diinginkan, dan semakin banyak warga kota yang memahami tentang kondisi detil kota yang diinginkan itu, maka akan semakin memudahkan bagi semua pihak untuk merealisasikannya. Depok, Desember 2007
BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.. 1.2. Tujuan.. 1.3. Metodelogi kajian 1.4. Sistematika Penulisan Kajian TINJUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan 2.2. Konsep Perencanaan 2.3. Partisipasi Masyarakat 2.4. Perencanaan Partisipatif 2.5. Modal Sosial. 2.6. Konsep Biaya Transaksi 2.7. Forum Warga. 2.8. Pendekatan Apreciative Inquiri KEBIJAKAN DAERAH 3.1. Visi Pembangunan Daerah 3.2. Misi Pembangunan Daerah 3.3. Kebijakan Umum LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 4.1. UUD 1945 4.2. UU NO. 25/2004 4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri 4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005) 4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004 i ii iv v

1 7 7 8

BAB II

10 16 22 51 55 57 60 65

BAB III

72 75 75

BAB IV

82 85 90 92 94

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAB V

KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF Tolok ukur peraturan perundangan dan 5.1. 97 juknis (petunjuk teknis) .. 5.2. Tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi 98 5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial 98 5.4. Tinjauan evaluatif 99 5.5. Pembahasan 107 SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo) 6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada 6.3. Memenuhi aturan + kemitraan.. 6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif

BAB VI

116 118 120 122

BAB VII

REKOMENDASI SKENARIO Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok 7.1. 124 Masyarakat 7.2. Musrenbang Kelurahan 125 7.3. Musrenbang Kecamatan 126 7.4. Forum SKPD 126 7.5. Musrenbang Kota 127

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 128 8.2. Saran 131 DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

iii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal Gambar 1. Tangga Partisipasi menurut Arnstein Gambar 2. Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok Gambar 3. Roda Partisipasi oleh Davidson 4 8 44

BAPEDA KOTA DEPOK

iv

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal Tabel 1. Tiga model pendekatan pemberdayaan masyarakat. Tabel 2. Istilah-istilah didalam proses perencanaan berdasarkan proses perencanaan yang dikandungnya Tabel 3. Tangga pemberdayaan warga, Burns Tabel 4. Tipologi partisipasi, Pretty Tabel 5. Tingkatan partisipasi, Mayer. 16

17 34 40 41

Tabel 6. Tahapan partisipasi, Wates.. 42 Tabel 7. Tipologi partisipasi, Parkers dan Panelli. 43 Tabel 8. Tipologi roda partisipasi, Davidson 45

Tabel 9. Tangga partisipasi masyarakat, Bonger & Specht. 46 Tabel 10. Perbedaan pendekatan problem solving dan KPA... 69

Tabel 11. Hak-hak warga Negara berdasarkan UUD 1945. 82

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 12. Kewajiban warga Negara berdasarkan UUD 1945. 84 Tabel 13. Tugas, tanggung jawab dan kewajiban Negara/pemerintah Tabel 14. Tinjauan evaluatif proses perencanaan di kota Depok. 85 99

BAPEDA KOTA DEPOK

vi

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini telah berkembang pendapat pakar dan praktisi tentang Perencanaan Participatif sebagai teknik dan metode yang tepat sasaran untuk menganalisis persoalan pembangunan sosial masyarakat di lingkungannya. Perencanaan Partisipatif telah diakui keunggulannya melalui pendekatan partisipatif, transparan dan aspiratif. Kelebihan lain adalah karena orang luar yang biasanya lebih aktif bekerja sendiri dengan bekal pengetahuan dan keahliannya, maka dalam Perencanaan Partisipatif posisi orang luar hanya sebatas Fasilitator atau Pemandu. Tidak berlebihan kalau pada akhirnya hasil Perencanaan Partisipatif merupakan data dasar atau rujukan untuk melakukan berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di lingkungan masyarakat bersangkutan (dimana Perencanaan Partisipatif itu diterapkan). Perencanaan Partisipatif menjadi pantas untuk dikembangkan sebagai upaya untuk mendukung pergeseran paradigma pembangunan ke arah desentralisasi, penganekaragaman lokal, dan pemberdayaan masyarakat. Memang benar bahwa Perencanaan Partisipatif lebih khusus untuk mengkaji persoalan di daerah, akan tetapi melihat ciri dan cara kerjanya, Perencanaan Partisipatif dapat pula dilakukan untuk kepentingan umum yang berkaitan dengan persoalan pembangunan masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Meski banyak pihak sepakat bahwa pembangunan partisipatif atau pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan sebuah keharusan, namun istilah partisipasi itu sendiri masih dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Apalagi jika istilah itu digunakan dalam konteks / setting yang berbeda. Berbagai stakeholders di Kota Depok, misalnya, dapat berbeda-beda jawabannya jika ditanyakan apakah proses pembangunan di Kota Depok, termasuk proses perencanaannya, sudah dapat dikategorikan partisipatif atau belum. Jawaban dari mereka yang secara rutin mengikuti Musrenbang di tingkat kelurahan atau mereka yang aktif di LPM kelurahan, misalnya, dapat berbeda dengan jawaban dari pihak birokrasi; juga dapat berbeda dengan jawaban dari kalangan LSM, kalangan dunia usaha, atau dari kalangan akademisi. Ketiadaan kerangka definisi yang sama tentang konsep pembangunan yang partisipatif ini membuat berbagai pihak yang mendiskusikannya dapat terjebak pada debat yang tak berujung dan kerap kali berakhir dengan kekecewaan, putus asa, frustasi, dan malahan mungkin melahirkan sikap apatis. Ini disebabkan karena masing-masing pihak mungkin menggunakan tolok ukur, konsep, asumsi, dan paradigma yang berbeda. Seperti halnya dengan debat tentang penerapan demokrasi di Indonesia, sebagian pihak menganggap bahwa Indonesia sudah demokratis, karena telah terdapat berbagai prosedur yang menggambarkan sebuah negara demokrasi seperti diadakannya pemilu secara rutin, pembatasan masa jabatan kepala pemerintahan / kepala daerah, serta terdapat lembagalembaga yang menggambarkan sebuah negara yang demokratis. Namun sebagian pihak berpendapat bahwa beberapa substansi demokrasi seperti penghargaan yang tulus terhadap keragaman (pandangan, ideologi,

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

agama) dan penyelesaian perbedaan pendapat / konflik secara beradab, dalam banyak kasus belum sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Analog dengan hal itu, maka bagi sebagian pihak, partisipasi masyarakat di Kota Depok barulah terbatas pada partisipasi yang prosedural, tapi belum tercipta di partisipasi kelurahan yang substansial. sudah Secara prosedural untuk ikut masyarakat memang diundang

Musrenbang. Tapi apakah semua warga telah diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti / memberikan masukan pada forum Musrenbang kelurahan tersebut? Lalu, berapa persen usulan yang disepakati di Musrenbang diakomodir dalam APBD? Kemudian secara prosedural kelompok-kelompok masyarakat sudah diundang dalam forum SKPD, tapi apakah terdapat simetrisitas informasi sebagai basis pengambilan keputusan tentang sebuah rencana? Dari perspektif ini, maka kajian evaluatif terhadap proses perencanaan partisipatif di Kota Depok dan skenario penguatannya ke depan hanya dan tentang dapat dilakukan secara utuh jika terdapat pemahaman bersama, terutama kesepakatan bersama, di antara para stakeholders

konsep pembangunan partisipatif yang akan diterapkan di Kota Depok. Tanpa kesepakatan itu, masing-masing pihak akan melihat perencanaan partisipatif yang dilaksanakan di Kota Depok dengan aksentuasi sudut pandang yang berbeda-beda. Salah satu hal yang perlu disadari sejak awal adalah bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri memiliki derajat yang berbeda-beda pada setiap komunitas dan pada setiap konteks kegiatan tertentu. Derajat partisipasi masyarakat pada proyek-proyek yang didanai oleh lembaga dana di luar Pemerintahan Kota Depok, misalnya, dapat berbeda dengan derajat partisipasi masyarakat pada proyek-proyek yang didanai oleh APBD Kota Depok. Pada Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), atau Proyek

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pemberdayaan

Masyarakat

Squatter

(PPMS),

misalnya,

derajat

partisipasinya dapat berbeda dengan derajat partisipasi pada proyek pengentasan kemiskinan yang didanai oleh APBD Kota Depok dan dilaksanakan oleh SKPD. Yang menjadi pertanyaan adalah tolok ukur apa yang membedakan derajat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan? Dalam berbagai kepustakaan (referensi), derajat / tingkatan partisipasi masyarakat itu tergantung pada seberapa besar masyarakat / warga memiliki power (kekuasaan, kekuatan, daya, kemampuan, wewenang) dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang direncanakan, bagaimana power. Berdasarkan tolok ukur ini, maka dapat proses untuk yang yang jika maka empowerment diartikan sebagai (pemberdayaan) masyarakat menambah memutuskan terbaik bagi apa dirinya bahwa rencana itu dilaksanakan, dan bagaimana memelihara hasilnya. Menurut Asrnstein (1969): citizen participation is citizen

kekuasaan pada masyarakat

secara kolektif. Bahkan ada berpendapat ingin perlu membangun masyarakat, dilakukan kepada
Gambar 1. Tangga partisipasi menurut Arnstein (1969)

empowerment

disempowerment mengalami (surplus)

pihak-pihak yang selama ini kelebihan power.

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

tolok

ukur

ini

terdapat

beberapa

tipologi

partisipasi

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Arnstein (1969), Burns (1994), Donaldson (1998), Pretty (1995), dan Mayer (1997). Asumsi awal yang ingin ditegaskan dalam kajian ini adalah pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kota Depok merupakan bentuk operasional dari pilihan tahapan / jenjang / tangga partisipasi masyarakat yang dipilih ada. Jika mengacu yang pada tangga participation) dikemukakan oleh berdasarkan tipologi yang (ladder (1969), of citizen misalnya, partisipasi Arsntein

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok, seperti melalui mekanisme Musrenbang, mungkin baru pada tahapan konsultasi. Pada tahap ini masyarakat memang diberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan, apsirasi dan usulannya. Tapi masyarakat

tidak berada dalam posisi menentukan dalam proses pengambilan keputusan akhir tentang sebuah rencana. Jika naik ke tangga partisipasi yang lebih tinggi, yaitu tahapan kemitraan (partnership), pemerintah dan masyarakat terlibat secara sejajar dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan pada tangga partisipasi tertinggi, yaitu tahapan kontrol / pengendalian oleh masyarakat (citizen control), pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah mungkin partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan di Kota Depok naik ke tangga kemitraan (partnership) atau bahkan ke pengendalian oleh masyarakat berdasarkan tipologi Arnstein itu? Kajian ini juga akan mencoba mengaitkan antara proses perencanaan partisipatif dengan pembentukan modal sosial. Meski baru bersifat rintisan, yang diusulkan melalui kajian ini adalah bagaimana proses

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

pembangunan di Kota Depok senantiasa mempertimbangkan aspek peningkatan modal sosial. Kajian yang dilakukan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust

sampai pada kesimpulan betapa modal sosial ini akan ikut menentukan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Ia membagi masyarakat di dunia ini dengan masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah (low trust society) dan masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (high trust society). Dengan mengemukakan beberapa studi kasus, Fukuyama sampai pada kesimpulan bahwa kinerja ekonomi yang tinggi terdapat pada masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi pula. Pertanyaannya adalah proses perencanaan partisipatif yang dilaksanakan di Depok telah memberikan andil untuk penciptakan kategori dengan tingkat kepercayaan sesama yang mana? Apakah di Kota menambah Depok atau rekening malah kepercayaan stakeholders

membuatnya semakin defisit sejalan dengan berjalannya waktu? Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka kajian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut: a. Berdasarkan tipologi yang ada, partisipasi masyarakat yang ada di Kota Depok dalam proses perencanaan berada pada level apa? b. Apakah mungkin derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan ditingkatkan (naik ke tangga yang lebih tinggi)? c. Kendala-kendala institusional, yuridis, politis apa saja yang mungkin dihadapi untuk meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok. d. Bagaimana skenario proses perencanaan di Kota Depok dengan derajat partisipasi masyarakat pada level yang optimal? e. Prasyarat apa yang dibutuhkan agar skenario itu bisa terlaksana? f. Bagaimana keterkaitan antara perencanaan partisipatif dan pengembangan modal sosial?

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan kajian ini adalah: 1. Melakukan tinjauan evaluatif pelaksanaan proses perencanaan partisipasi ditinjau dari : (a) sisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif, (b) dari sisi derajat partisipasi warga berdasarkan tipologi yang ada, serta (c) dari sisi kontribusi proses perencanaan dalam pengembangan modal sosial di Kota Depok. 2. Menyusun skenario penguatan perencanaan partisipatif di Kota Depok. 3. Mengidentifikasi kendala-kendala institusional, yuridis, dan politis dalam upaya peningkatan derajat partisipasi dalam perencanaan di Kota Depok.

1.3. Metodologi Kajian


Kajian ini menggunakan yang pendekatan ada, kualitatif yang yaitu ada dari menjawab studi serta berbagai

pertanyaan-pertanyaan dokumen-dokumen

rumusan

masalah termasuk

dengan

pandangan

kalangan yang terekam di media masa, mengikuti alur sebagai berikut :

studi kepustakaan,

wawancara mendalam dengan beberapa informan. Kajian ini akan

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tinjauan Peraturan Perundangan tentang Perencanaan Partisipatif

Deskripsi Pelaksanaan Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Tolok Ukur Peraturan Perundangan

Kajian Evaluatif Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Tipologi Partisipasi Modal Sosial

Kajian Skenario Penguatan Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Gambar 2. Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

1.4. Sistematika Penulisan Kajian


Kajian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Tujuan 1.4. Metodelogi kajian 1.5. Sistematika Penulisan Kajian TINJUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan 2.2. Konsep Perencanaan 2.3. Partisipasi Masyarakat 2.4. Perencanaan Partisipatif 2.5. Modal Sosial 2.6. Konsep Biaya Transaksi 2.7. Forum Warga

BAB II

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8. BAB III

Pendekatan Apreciative Inquiri

KEBIJAKAN DAERAH 3.1. Visi Pembangunan Daerah 3.2. Misi Pembangunan Daerah 3.3. Kebijakan Umum LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 4.1. UUD 1945 4.2. UU NO. 25/2004 4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri 4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005) 4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004 KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF 5.1. Tolok ukur peraturan dan juknis Tolok ukur berdasarkan tipologi 5.2. partisipasi 5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial 5.4. Tinjauan evaluatif 5.5. Pembahasan SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF 6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo) 6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada 6.3. Memenuhi aturan + kemitraan 6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok 7.1. Masyarakat 7.2. Musrenbang Kelurahan 7.3. Musrenbang Kecamatan 7.4. Forum SKPD 7.5. Musrenbang Kota

BAB IV

BAB V

BAB VI

BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1. Konsep Pembangunan


2.1.1. Pengertian Pembangunan Kegiatan perencanaan bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Aktifitas ini ada dalam konteks siklus proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi). Pada berbagai level status sosial masyarakat, istilah pembangunan ini dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Jika mempelajari usulanusulan pembangunan yang muncul dari forum Musrenbang di kelurahan, misalnya, pembangunan lebih banyak identik dengan pembangunan fisik: jalan, jembatan, saluran, tanggul, fisik sekolah, fisik puskesmas, dan sejenisnya. Sedangkan bagi para penggiat HAM (hak asasi manusia), pembangunan dimaknai sebagai proses pemenuhan hak-hak warga negara. Ungkapan menggugat yang sering muncul berkaitan dengan istilah ini adalah: Pembangunan itu untuk siapa?. Gugatan ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa sebagian warga masyarakat mempersepsikan terdapat pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan proses pembangunan dan ada pihak-pihak yang seolah-olah tidak mendapat apa-apa, malah mungkin dirugikan (berkorban). Bahkan, telah terbentuk perspesi bahwa untuk mendapat manfaat dari kegiatan pembangunan yang bersumber dari anggaran negara harus melalui KKN (dekat dengan kekuasaan). Kesan yang juga muncul di masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

10

Kajian Perencanaan Partisipatif

adalah kelompok yang paling diuntungkan dari proses pembangunan di era reformasi ini adalah kalangan eksekutif dan legislatif. Meskipun tentu saja kesan dan persepsi seperti ini belum tentu selalu benar. Dari sudut pandang ini, maka proses perencanaan yang melibatkan masyarakat, yang dilakukan secara iteratif (berulang), adalah untuk menjamin bahwa akan terdapat distribusi keuntungan yang adil dari proses pembangunan. Yang dituju adalah munculnya persepsi di masyarakat bahwa semua pihak memperoleh benefit (keuntungan) yang adil dari setiap proses pembangunan. Persoalannya adalah bagaimana dengan kelompok-kelompok yang masyarakat tidak yang selama ini tidak proses diuntungkan / terpinggirkan dalam proses pembangunan. Mereka adalah kelompok-kelompok memiliki akses dalam pengambilan keputusan. Bagaimana agar suara mereka didengar dalam proses perencanaan tersebut? 2.1.2. Pembangunan sebagai Pemenuhan Hak-Hak Warga Negara Dalam dokumen Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan yang disetujui dengan resolusi Majelis Umum 41/28 tanggal 4 Desember 1986 ditegaskan bahwa: pembangunan adalah proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif yang ditujukan pada perbaikan yang tetap mengenai kesejahteraan seluruh penduduk dan semua individu atas dasar partisipasi mereka yang aktif, bebas, dan berarti dalam pembangunan dan dalam distribusi keuntungan yang adil yang timbul darinya. Menurut deklarasi itu, hak atas pembangunan merupakan salah satu hak asasi manusia. Pribadi manusia adalah pelaku utama pembangunan dan harus merupakan peserta aktif dan pewaris hak atas pembangunan. (Pasal 1 ayat 2)

BAPEDA KOTA DEPOK

11

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga negara yang paling humanistik. Dengan rumusan seperti ini maka pembangunan pada dasarnya merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (Rustiadi et al, 2006). Lebih lanjut dijelaskan, pengertian pemilihan alternatif yang sah dalam definisi pembangunan di atas diartikan bahwa upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam suatu tatanan kelembagaan atau tatanan budaya yang dapat diterima. UNDP mendefisinikan pembangunan, khususnya pembangunan manusia, sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging peoples choices). Dalam konsep tersebut, penduduk (manusia) dilihat sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara, atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital). Pembangunan juga dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses

perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Menurut Tadaro (2000), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang yaitu kecukupan (substenance) memenuhi paling hakiki pokok, kebutuhan

meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Tadaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, institusi-institusi, disamping

BAPEDA KOTA DEPOK

12

Kajian Perencanaan Partisipatif

tetap

mengejar

akselerasi

pertumbuhan

ekonomi,

penanganan

ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. 2.1.3. Pembangunan Berkelanjutan Keterbatasan sumber daya alam baik akibat degradasi maupun

eksploitasi yang berlebihan telah melahirkan apa yang dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Inti dari konsep ini adalah bahwa pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer terutama sejak dipublikannya laporan Our Common Future sebagai laporan World Commission on Environmental and Development yang dipimpin oleh G.H. Bruntland di tahun 1988, dimana mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, menjadi salah satu anggotanya. Pada tahun 1992, pada KTT Bumi di Rio de Jenairo, pentingnya pendekatan pembangunan secara berkelanjutan semakin dipertegas. Serageldin (1996), diacu dalam Rustiadi et al (2006) mengajukan tiga dimensi keberlanjutan yang dikenal sebagai triangular framework yaitu keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Ungkapan yang populer tentang makna pembangunan berkelanjutan adalah secara ekonomi menguntungkan, secara sosial pembangunan itu dapat diterima dan adil (termasuk adil terhadap generasi mendatang), dan secara ekologi tidak merusak alam (sehingga dapat digunakan oleh generasi mendatang). Selanjutnya Spangenber (1999) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk sebuah prisma keberlanjutan (prism of sustainability).

BAPEDA KOTA DEPOK

13

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1.4. Kegagalan Pemerintah dalam Pembangunan Terdapat beberapa teori tentang tipologi kegagalan pemerintah dalam proses pembangunan yang pernah dikemukakan (ODowd, 1978; Weisbrod, 1978, Dollery dan Wallis, 1997), namun penyebab kegagalan tersebut dibagi dalam tiga faktor utama (Rustiadi et.al., 2006), antara lain : Pertama, disebabkan oleh inefisiensi dari sistem / struktur politik yang asimetrik. Hal ini disebut juga constitutional failure atau legislative failure, dimana para politisi lebih mementingkan kelompok, terutama untuk pemenangan pemilu yang akan datang, sehingga tidak memikirkan kepentingan dan perbaikan kondisi-kondisi kemasyarakatan. Kedua, disebabkan karena terhenti atau tersendatnya kegiatan pelayanan masyarakat yang berakibat inefisiensi, sering disebut sebagai bureauratic failure. Ketiga, intervensi pemerintah dalam sektor rent seeking selalu disertai dengan kepentingan pribadi dan kelompok, dalam hal ini pemerintah lebih bertindak sebagai rent seeker. 2.1.5. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Bina Swadaya (2007), memaparkan bagaimana sebuah proses dalam pembangunan dilakukan terutama dikaitkan tiga kategori, bersama yaitu: (1) development dan (3) degan praktek for community of pemberdayaan masyarakat (community development) dan membaginya (pembangunan untuk masyarakat), (2) development with community (pembangunan masyarakat), development community (pembangunan masyarakat). 1. Pembangunan untuk masyarakat (development for community)

adalah bentuk pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilakukan oleh

BAPEDA KOTA DEPOK

14

Kajian Perencanaan Partisipatif

aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek. Hal ini dapat terjadi bila masyarakat merupakan komunitas yang kesadaran dan budayanya terdominasi. 2. Pembangunan bersama masyarakat (development with community) secara khusus ditandai dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. Model ini paling populer dan banyak diaplikasikan oleh berbagai pihak. Dasar pemikiran pola ini adalah dapat berkembangnya sinergi dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal dengan yang dikuasai oleh aktor luar. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan juga diharapkan dapat mengembangkan rasa memiliki terhadap inisiatif pembangunan yang ada sekaligus membuat proyek pembangunan menjadi lebih efisien. 3. Pembangunan proses pelaksanaannya masyarakat (development yang inisiatif, sendiri oleh of community) perencanaan, masyarakat. adalah dan Dapat

pembangunan

dilaksanakan

dikatakan masyarakat menjadi pemilik dari proses pembangunan. Peran aktor luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan. Ini merupakan model yang diidealkan oleh berbagai pihak, namun dalam kenyatannya belum banyak komunitas yang mampu membangun dirinya sendiri. Untuk mengarah ke model ini diperlukan berbagai program peningkatan kapasitas (capacity building) untuk masyarakat lokal.

BAPEDA KOTA DEPOK

15

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 1. Tiga Model Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat


Development for Community (Pembangunan untuk masyarakat) Aktor dari luar Sosialisasi dan Konsultasi Aktor dari luar Aktor dari luar Proyek Development with Community (Pembangunan bersama masyarakat) Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Kolaborasi Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Aktor dari luar bersama masyarakat lokal Proyek dan Program Development of Community (Pembangunan masyarakat) Masyarakat lokal Pemberdayan dan pengerahan potensi sendiri Masyarakat lokal Masyarakat lokal Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan

Aktor Utama Bentuk Hubungan Pengambil keputusan Pelaksana Bentuk kegiatan

Sumber : Pusat Kajian Bina Swadaya (2007).

2.2. Konsep Perencanaan


2.2.1. Pengertian Perencanaan Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun dalam pengertian yang paling sederhana, perencanaan sebenarnya adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan. Menurut Kay dan Alder (1999), diacu dalam Rustiadi et. al (2006), perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan ada, demikian, proses perencanaan (kapasitas) dilakukan kita dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang mengukur kemampuan untuk mencapainya, kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya.

BAPEDA KOTA DEPOK

16

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagian berpendapat bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang dibatasi oleh lingkup waktu tertentu, sehingga perencanaan lebih jauh diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai perencanaan, secara umum selalu terdapat dua unsur penting, yakni: (1) unsur hal yang ingin dicapai, dan (2) unsur cara untuk mencapainya. Dalam implementasi proses perencanaan, dikenal berbagai nomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, serta aktivitas. Istilah-istilah itu sering saling dipertukarkan dengan tidak konsisten dan bahkan cenderung dapat membingungkan sehingga dapat mengganggu proses pembangunan akibat perencanaan yang tidak jelas. Visi, tujuan dan sasaran adalah istilah-istilah yang menjelaskan mengenai unsur perencanaan yang pertama (hal yang ingin dicapai). Misi dan aktivitas adalah istilah-istilah mengenai unsur-unsur perencanaan yang kedua (cara mencapainya). Sedangkan strategi, program, dan proyek merupakan suatu kumpulan komponen perencanaan yang mencakup kedua unsur perencanaan dalam suatu struktur tertentu.
Tabel 2. Istilah-istilah di dalam proses perencanaan berdasarkan unsur perencanaan yang dikandungnya Unsur Perencanaan Hal yang ingin dicapai Normatif Normatif Terukur Terukur Normatif/terukur Terukur Terukur Terukur Terukur Cara untuk mencapai

Istilah (nomenklatur) Visi (vision) Misi (mission) Tujuan (goal) Sasaran (objective) Strategi (strategy) Kebijakan (policy) Program (program) Pryek (project) Aktifitas (action)

Keterangan

Sumber: Rustiadi et. al. (2006)


BAPEDA KOTA DEPOK

17

Kajian Perencanaan Partisipatif

1. Visi (vision): suatu kondisi ideal (cita-cita) normatif yang ingin dicapai di masa datang 2. Misi (mission): cara normatif untuk mencapai visi. 3. Tujuan-tujuan (goals): hal-hal yang ingin dicapai secara umum. Setiap bentuk tujuan (goals) bersifat dapat dimaksimumkan atau diminimumkan. 4. Sasaran (objectives): bentuk operasional dari tujuan, biasanya lebih terukur, disertai target pencapaiannya. Sasaran merupakan kondisi minimum yang harus dicapai dalam mencapai tujuan dalam waktu tertentu. 5. Strategi (strategy): sekumpulan sasaran-sasaran dengan metodemetode untuk mencapainya. 6. Kebijakan (policy): sekumpulan aktivitas (actions), untuk pelaksanaan-pelaksanaan pencapaian jangka pendek. 7. Aktivitas (actions): kegiatan pelaksanaan, khususnya menyangkut fisik dan biaya. 8. Program (program): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu. 9. Proyek (project): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan/target/sasaran tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu dalam waktu tertentu dengan sumberdaya (biaya) tertentu. Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, beberapa istilah ini juga diberikan definisinya. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
BAPEDA KOTA DEPOK

18

Kajian Perencanaan Partisipatif

Kebijakan

adalah

arah/tindakan

yang

diambil

oleh

Pemerintah

Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. 2.2.2. Pendekatan / Basis Perencanaan Perencanaan umumnya dilakukan berdasarkan berbagai kombinasi

pendekatan. Beberapa pendekatan perencanaan yang umum dilakukan berdasarkan basis (pijakan) utamanya (Kelly dan Becker, 2000, diacu dalam Rustiadi et.al, 2006) adalah: (1) Berbasis kecenderungan (trends-driven). Perencanaan dengan basis pendekatan ini dilaksanakan dengan berdasarkan kecenderungan umum yang terjadi. Kecenderungan selalu berubah-ubah sehingga pendekatan ini bukan pendekatan yang ideal untuk kepentingan publik jangka panjang. Tapi secara teknis pendekatan ini setidaknya dapat memberikan informasi bagi pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini sering dilakukan oleh institusi-institusi yang belum matang dan mandiri dimana pendekatan yang termudah adalah dengan meniru atau mengikuti kecenderungan dari institusi-institusi yang lebih berpengalaman. (2) Berbasis kesempatan / peluang (opprotunity-driven). Pendekatan ini sering dilakukan terutama karena alasan-alasan pragmatis, mengingat adanya peluang-peluang yang langka. Adanya peluang (opprtunity) dianggap harus dimanfaatkan sebesar-besanya. (3) Berbasis isu (issue-driven). Perencanaan dilakukan berdasarkan isu atau masalah-masalah yang ada. Beranjak dari permasalahan atau

BAPEDA KOTA DEPOK

19

Kajian Perencanaan Partisipatif

isu disusun langkah-langkah untuk menanggulangi dan menjawab isu dan tantangan tersebut. (4) Berdasarkan tujuan (goal-driven). Ini merupakan pendekatan

perencanaan yang paling klasik. Namun proses tersulit adalah menetapkan tujuan itu sendiri seringkali bukanlah proses yang mudah apalagi jika dilakukan melalui proses lintas stakeholders. (5) Berbasis visi (vision-driven). Berbeda dengan pendekatan berbasis tujuan, pendekatan berbasis visi sangat menekankan nilai-nilai normatif di dalam gerakan atau aktivitasnya dan tidak ada tujuantujuan yang spesifik dan terukur. Perencanaan seperti ini lebih sesuai untuk gerakan-gerakan sosial, pendidikan, spiritual/keagamaan, yang sangat berorientasi sangat panjang dan tidak memiliki target-target spesifik jangka pendek. 2.2.3. Proses Perencanaan Berdasarkan prosesnya, perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi perencanaan ikremental, adaptif, rasional, dan partisipatif (Rustiadi et al, 2006). 1. Perencanaan inkremental. Proses perencanaan ini dilakukan akibat terbatasnya Pendekatan kapasitas ini pengambilan keputusan, rupa dan mereduksi terlalu cakupan (scope) dan biaya pengumpulan informasi dan analisis. dilakukan sedemikian agar tidak menyimpang dari kondisi saat ini (status quo). Komponen utama dari pendekatan ini adalah: (a) pilihan-pilihan diturunkan dari kebijakan dan perencanaan yang merupakan peningkatan, penambahan, atau perbaikan dari kebijakan yang ada (status quo), (b) hanya sejumlah kecil pilihan yang dipertimbangkan, (c) hanya sejumlah kecil konsekuensi yang diinvestigasi, (d) tujuan dan pendekatan yang

BAPEDA KOTA DEPOK

20

Kajian Perencanaan Partisipatif

dipilih didasarkan atas pertimbangan yang mudah dilakukan, (e) keputusan dibuat dari proses analisis iteratif dan evaluasi. 2. Perencanaan Adaptif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Holling (1978), yaitu suatu pendekatan yang berfokus pada pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman. Begitu didapat informasi baru segera dilakukan review atas pengelolaan yang sedang berjalan dan pendekatan-pendekatan baru dirumuskan. Pendekatan ini selalu menghadapi kendala terutama akibat adanya penolakan (resistensi) dari pihak-pihak yang harus melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap hal-hal yang bagi mereka masih penuh ketidakpastian. Perencanaan adaptif yang terlalu longgar akan banyak menimbulkan berbagai bentuk inkonsistensi dalam perspektif jangka panjang. 3. Perencanaan Rasional. Rasionalitas adalah cara utama yang

dikembangkan masyarakat dan para pemikir barat sejak zaman renaisan. Rasionalitas dapat diartikan sebagai suatu cara memilih pendekatan menyeluruh terbaik dengan berpikir untuk tertib (sistematis) tujuan dan (komprehensif) mencapai tertentu.

Pendekatan rasional membutuhkan sejumlah pengetahuan, berbagai alat (tools) berupa analisis ilmiah, untuk dapat membuat keputusankeputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif yang ada. Kesempurnaan dari pendekatan ini adalah terletak pada ketersediaan informasi yang sempurna. Secara umum tahapan proses dalam kerangka perencaan rasional adalah: (a) identifikasi masalah, (b) menetapkan tujuan/sasaran, (c) identifikasi peluang dan hambatan, (d) pengajuan alternatif-alternatif, (e) menetapkan alternatif pilihan dan melaksanakannya. 4. Perencanaan partisipatif / konsensus. Dalam perencanaan

rasional dituntut adanya pengetahuan / informasi yang sempurna. Kondisi ini merupakan suatu kondisi
BAPEDA KOTA DEPOK

yang sangat sulit dipenuhi

21

Kajian Perencanaan Partisipatif

karena kapasitas, pengetahuan, pengalaman, informasi, dan teknologi yang dimiliki perencana cenderung terbatas dibandingkan dengan kompleksitas kepentingan permasalahan yang yang ada. pula. Di sisi lain, informasi sifat sebenarnya tersebar beragam di masing-masing stakeholders dengan berbeda-beda Dengan demikian, komprehensif dari suatu perencanaan pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders agar diperoleh informasi yang lengkap dan dipahami bersama untuk kemudian dibangun keputusan yang terbaik. 5. Perencanaan Rasional Partisipatif. Dengan perencanaan secara terintegrasi ini, maka pendekatan partisipatif akan menutupi berbagai kelemahan pendekatan perencanaan rasional terutama kelemahan akibat terbatasnya informasi. Pendekatan partisipatif juga akan lebih menjamin penerimaan (acceptability) dari pihak-pihak yang berkepentingan.

2.3. Partisipasi Masyarakat


2.3.1. Pengertian Masyarakat Sebelum membahas partisipasi masyarakat, perlu dipahami terlebih dahulu berbagai konsep tentang masyarakat atau komunitas (community). Dari berbagai referensi di Indonesia kedua istilah ini kerap kali dipertukarkan atau diangap sama. Ada yang menerjemahkan community sebagai masyarakat namun ada yang lebih suka menerjemahkannya sebagai komunitas. Dalam realitas, komunitas itu sendiri mulai dari level dengan lingkup geografis yang relatif kecil, seperti komunitas RT / RW sampai pada komunitas negara-negara seperti European Community (Masyarakat Eropa). Bahkan dengan informasi yang tak terbatas, akibat kemajuan
BAPEDA KOTA DEPOK

22

Kajian Perencanaan Partisipatif

teknologi informasi (internet), terjadi perubahan yang radikal tentang tempat (space) dan waktu (time). Komunitas dalam masyarakat informasi menjadi tak berbatas ruang (spaceless) dan tak terbatas

waktu (timeless). Komunitas seperti ini di kota-kota modern membentuk apa yang disebut sebagai cyber culture (budaya siber) atau networking culture (kultur jejaring). Burns (1994) memberikan beberapa makna tentang komunitas sebagai berikut: 1. Masyarakat / komunitas sebagai warisan identitas. Makna ini merupakan ekspresi tradisi budaya atau identitas bersama, sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun. Ini merupakan sebuah konsep yang menggambarkan legitimasi berdasarkan sejarah. 2. Masyarakat hubungan / komunitas sebagai hubungan sosial. dan Pola antar direfleksikan dalam kekeluargaan ketetanggaan,

dimana interaksi sosial dan dukungan satu satu sama lain seringkali digerakkan oleh faktor tempat tinggal. Ini merupakan sebuah konsep yang menggambarkan legitimasi berdasarkan tradisi sosiologi dan antropologi. 3. Masyarakat / komunitas sebagai basis konsumsi kolektif, yakni suatu kesatuan kelompok atau ketetanggaan yang memiliki kebutuhan atau permintaan yang sama terhadap barang publik (public goods), seperti perpustakaan, transportasi, kualitas lingkungan dan lainnya. Ini merupakan 4. Masyarakat itu dapat sebuah / konsep masyarakat basis yang untuk menggambarkan produksi dan legitimasi berdasarkan ekonomi. komunitas sebagai penyediaan barang-barang barang publik lokal. Barang-barang publik disediakan oleh swasta, masyarakat umum, atau pihakpihak relawan (termasuk masyarakat itu sendiri). Ini merupakan konsep masyarakat yang menggambarkan legitimasi berdasarkan ekonomi dan penyediaan pelayanan teknologi.

BAPEDA KOTA DEPOK

23

Kajian Perencanaan Partisipatif

5. Masyarakat / komunitas sebagai sumber pengaruh dan kekuatan / kekuasaan yang berasal dari hasil pemberdayaan (empowerment) atau keterwakilan, apakah melalui saluran representasi atau partisipasi formal atau informal dari aksi politik. Ciri-ciri komunitas dapat ditentukan oleh beberapa hal. Ciri-ciri

komunitas, menurut Community Speaker Series (2001), yang diacu dalam Ahmad (2004) adalah: Sekelompok orang Sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu Orang-orang yang disatukan oleh isu bersama Orang-orang yang bekerja sama Sekelompok orang yang mengkonsolidasikan sumberdaya bersama (pool resources). Sekelompok orang yang saling menghormati satu dengan lainnya. Sekelompok orang yang merasa aman bersama Sekelompok orang yang memiliki rasa ketetanggaan. Orang-orang yang terorganisir Orang-orang yang mempertahankan dan membina kegiatan Orang-orang yang membuat kemitraan Orang-orang yang fokus pada kebutuhan dari kelompoknya. Sekelompok orang yang memiliki visi bersama Sukarelawan yang terorganisir Orang-orang yang melakukan langkah kecil bersama untuk tujuan yang besar. Menurut Moelyadi dan Simanjuntak (1993), masyarakat adalah langsung

sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu secara

atau tidak langsung saling berhubungan dalam usaha pemenuhan kebutuhannya, terikat sebagai suatu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas oleh karena latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.

BAPEDA KOTA DEPOK

24

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

berbagai

konsep

tersebut,

sesungguhnya

pengertian

masyarakat dapat dikelompok menjadi dua kategori yaitu community of place dan community of interest. Pengelompokan ini dijelaskan oleh Burns (1994) sebagai berikut: 1. Community of interest adalah perkumpulan komunitas /masyarakat berdasarkan isu dan kepentingan tertentu baik pada lokasi tertentu atau tidak, dan tidak selalu dihubungkan dengan batas wilayah tertentu. 2. Community of place yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan wilayah / lokasi tertentu. Wilayah komunitas seperti itu dapat bervariasi dalam hal ukuran meskipun batasan yang paling umum adalah ukurannya relatif kecil dan lokal. Komunitas berbasis area / wilayah ini dapat diidentifikasi dalam pengertian sebagai batasan wilayah pelayan administratif, dan dan status sosial tempat ekonomi ini lebih atau berdasarkan atau dalam pengertian karakter politik. Kategori masyarakat tempat berdasarkan

diidentifikasi

tinggal seperti jalan, blok, ketetanggaan, kejamaahan / jemaat, perkampungan, dsb. 2.3.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001), partisipasi dan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pembuatan

pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Sedangkan menurut Ndraha (1990), partisipasi masyarakat dalam

proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam / melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2)

BAPEDA KOTA DEPOK

25

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional, (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan. Survey partisipasi oleh The International Association of Public

Participation telah mengidentifikasi nilai inti partisipasi sebagai berikut (Delli Priscolli, 1997), yang diacu dalam Daniels dan Walker (2005): 1. Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. 2. Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan mempengaruhi keputusan. 3. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan proses semua partisipan. 4. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka yang berpotensi untuk terpengaruh. 5. Proses partisipasi masyarakat melibatkan partisipan dalam mendefinisikan bagaimana mereka berpartisipasi. 6. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan. 7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipan informasi yang mereka butuhkan dengan cara bermakna. Korten (1988) dalam pembahasannya tentang berbagai paradigma pembangunan mengungkapkan bahwa dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat, partisipasi adalah proses pemberian peran kepada individu bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Sedangkan Migley (1986)

BAPEDA KOTA DEPOK

26

Kajian Perencanaan Partisipatif

melihat partisipasi sebagai upaya memperkuat kapasitas individu dan masyarakat untuk mendorong mereka dalam menyelesaikan permasalan yang mereka hadapi. Tjokrowinoto (1987), diacu dalam Hasibuan (2003), menyatakan alasan pembenar partisipasi masyarakat dalam pembangunan: 1. 2. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapatturut masyarakat. 3. Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan, dan kondisi lokal yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki. Partisipasi memperluas wawasan penerima proyek pembangunan. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi menopang pembangunan Partisipasi Partisipasi menyediakan merupakan lingkungan lingkungan yang yang kondusif kondusif baik baik bagi bagi aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia. 10. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan lokal. 11. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalampembangunan mereka sendiri. serta dalam keputusan penting yang menyangkut

BAPEDA KOTA DEPOK

27

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.3. Keuntungan dan Kerugian Partisipasi Masyarakat Dengan mengacu pada berbagai referensi (Anon, 2000; Blumenthal, 2000, Dovers, 2000; Kapoor, 2001; serta UNDP, 2000), Thomsen (2003) memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat. Keuntungan dari partisipasi masyarakat adalah: 1. Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: (a) meningkatkan representasi dari kelompok-kelompok komunitas, khususnya kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, (b) membangun perspektif yang beragam yang berasal dari beragam stakeholders, (c) mengakomodir pengetahuan lokal, pengalaman, dan kreatifitas, sehingga memperluas kisaran ketersediaan pilihan alternatif. 2. Partisipasi membantu terbangunannya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara para stakeholders. Dengan melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan / proyek, hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan interpretasi tentang suatu isu / masalah. 3. Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan menjamin pengambilan bahwa solusi didasarkan maka para pada pembuat pemahaman keputusan dan dapat pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses keputusan, memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan balik dari kalangan yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal dan akan lebih efektif.

BAPEDA KOTA DEPOK

28

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Partisipasi hasil

akan

mendorong yang

kepemilikan berkelanjutan

lokal,

komitmen

dan

akuntabilitas. Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya (outcomes) dengan menfasilitasi kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang mengarah pada keberlanjutan akan terus berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih mungkin untuk diterima oleh seluruh stakeholders. 5. Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial. Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap stakeholders tentang kegiatan / aksi yang dilakukan oleh stakholders lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi antar sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara para stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan modal sosial. Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif adalah: 1. Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah besar warga masyarakat. melakukan proses (b) ini Partisipasi secara sadar atau tidak sadar memanipulasi tidak partisipasi publik untuk dapat merugikan kepada mereka yang terlibat jika: (a) para ahli yang kepentingannya, jika direncanakan secara hati-hati,

partisipasi dapat menambah biaya dan waktu dari sebuah proyek tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang nyata. 2. Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek.

BAPEDA KOTA DEPOK

29

Kajian Perencanaan Partisipatif

3. Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan biaya yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya terdapat ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu tidak dapat dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang akut. 4. Partisipasi dapat memperlemah (disempower) masyarakat. Jika

proses partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumber daya untuk penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka partisipan dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena hanya sedikit hasil yang diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh masyarakat telah cukup besar. 2.3.4. Tipologi Partisipasi Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan masyarakat dalam proses partisipasi yang didasarkan pada seberapa besar kekuasaan (power) yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kegunaan dari adanya tipologi partisipasi ini adalah: (a) untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat, (b) untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan (c) untuk menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja dari pihak-pihak yang melakukan pelibatan masyarakat. 2.3.4.1. Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969). Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat
BAPEDA KOTA DEPOK

30

Kajian Perencanaan Partisipatif

(citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan. Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). (informing), Kemudian (4) diikuti dengan tangga (3) dan menginformasikan (5) penentraman konsultasi (consultation),

(placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguhsungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. 1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau menyembuhkan partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). 2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka

BAPEDA KOTA DEPOK

31

Kajian Perencanaan Partisipatif

akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara untuk masyarakat dan pemerintah. saran atau usulan Masyarakat kewenangan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses dipersilahkan untuk menilai memberikan dan

merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kelayakan keberadaan

BAPEDA KOTA DEPOK

32

Kajian Perencanaan Partisipatif

untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian mengurus kekuasaan (delegated power). Ini berarti dari bahwa proses

pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk sendiri beberapa kepentingannya, monitoring dan mulai evaluasi, perencanaan, pelaksanaan, sehingga

masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah. 2.3.4.2 Tipologi (1994) Burns et al (1994) berpendapat bahwa bila pemerintah hendak Partisipasi Burns, Hambleton, dan Hogget

meningkatkan partisipasi masyarakat, maka harus diketahui terlebih dahulu sampai sejauh mana jenjang proses partsipasi yang telah ada. Untuk itu Burns memodifikasi model Arnstein yang dirasakan lebih tepat terhadap kebutuhan publik (kewenangan masyarakat lokal) dalam rangka mengembangkan partisipasi masyarakat, pemberdayaan, dan perubahan tata kelola pemerintahan di daerah. Dalam menggunakan tipologi ini, Burns menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan untuk menambah jenjang antara tangga partisipasi yang satu dengan yang lainnya meski terkesan lebih rumit dan memberikan kebebasan untuk menghapus atau menambah jenjang menurut situasi yang ada. Dia mengakui bahwa terdapat permasalahan yang kompleks dalam penentuan jenjang partisipasi. Ini disebabkan adanya karakteristik yang bisa diasumsikan bahwa terdapat lebih dari satu jenjang pada saat

BAPEDA KOTA DEPOK

33

Kajian Perencanaan Partisipatif

bersamaan dan upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di setiap tangga membutuhkan cara yang berbeda-beda. Burns juga mengingatkan bahwa kualitas partisipasi masyarakat tidak harus menempati tangga tertinggi dalam waktu yang sangat cepat. Semua harus didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat. Berdasarkan hasil kajian terhadap delapan tangga partisipasi Arnstein, serta pemetaannya terhadap ruang kekuasaan dan yang ada tata dalam kelola masyarakat, Burns memodifikasi konsep Arsntein tersebut dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat perubahan pemerintahan daerah. Burns dan koleganya memberi nama untuk tangga partisipasi mereka dengan A Ladder of Citizen Empowerment (Tangga Pemberdayaan Warga), dengan menambahkan ruang pada jenjang partisipasi satu dengan yang lainnya serta menjabarkan kemungkinan adanya perbedaan pembagian ruang jenjang partisipasi Tangga Pemberdayaan Warga dari Burns.
Tabel 3. Tangga Pemberdayaan Warga oleh Burns et al (1994)

pada penilaian

oleh pemerintah daerah atau institusi lainnya. Tabel 3 menggambarkan

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Jenjang Partisipasi Civic hype Cynical Consultation Poor Information Customer care High Quality Information Genuine Information Effective Advisory Body Limited decentralised decision making Partnership Delegated Control Enrusted Control Independent Control

Kategori

Citizen Non Participation

Citizen Participation

Citizen Control

BAPEDA KOTA DEPOK

34

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara garis besar penjelasan terhadap jenjang partisipasi tersebut adalah sebagai berikut : A. Tanpa Partisipasi Warga. Keempat jenjang dimana warga dikategorikan tidak berpartisipasi (citizen non participation) karena adalah civic hype, cynical consultation, dari foor information, dan diabaikan, keadaan ini. 1. Civic hype. Peranan pemerintah dalam kondisi ini terlalu besar, menguasai hampir seluruh segi kehidupan, sehingga masyarakat tidak mempunyai peranan dan bersifat pasif. Pada jenjang ini pemerintah daerah melakukan sosialisasi informasi, baik kepada masyarakat maupun keluar, namun informasi yang diberikan bersifat manipulatif, berbentuk propaganda dan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi obyektif daerahnya. 2. Cynical consultation. Pada kondisi ini partisipasi masyarakat customer care. Jenjang-jenjang ini tidak boleh manipulasi informasi berkembang keempat

cenderung rendah tapi pemerintah daerah telah membuka diri untuk menerima kritik dari masyarakat. Pada jenjang ini, pemerintah daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat tentang suatu masalah atau program tertentu, namun dalam pertemuan tersebut tidak menyentuh topik-topik yang substantif. Misalnya, pemerintah daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat untuk memutuskan nama dari satu jalan yang akan dibangun, bukannya membahas hal-hal yang bersifat strategis, seperti perencanannya, tujuan serta pembiayaannya. 3. Poor informasi. Masyakat tidak diberikan informasi kebijakan dan permasalahan legislatif. Pada yang berkaitan ini dengan kehidupan sulit atau masyarakat. tidak bisa Informasi tersebut lebih untuk konsumsi pemerintah sendiri atau jenjang masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

35

Kajian Perencanaan Partisipatif

mendapatkan informasi atau data-data yang akurat, valid, dan obyektif mengenai daerahnya atau hal-hal apa saja yang dilakukan dan juga disebabkan oleh sulitnya oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena tidak dilakukannya penerbitan data atau informasi masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut. 4. Customer care. Pada jenjang ini pemerintah daerah membentuk sejenis unit pelayanan pengaduan. Jika pengaduan-pengaduan masyarakat mengenai buruknya pelayanan pemerintah melalui unit pelayanan itu diabaikan, maka pada jenjang ini terjadi konsultasi palsu (pseudo consultation). Namun sebaliknya jika pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti dan membuahkan hasil, misalnya terjadi perbaikan dalam pelayanan pemerintah, maka pada jenjang ini dapat digolongkan dalam partisipasi. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat customer memiliki care ini informasi pada yang cukup mengenai untuk berbagai meredam kegiatan pemerintah atau mulai dilakukannya transparansi. Program awalnya ditujukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. B. Dengan Partisipasi Warga 5. High quality information. Pada jenjang ini terjadi sosialisasi informasi yang berkualitas tinggi, baik dilihat dari proses maupun materi yang disampaikan pemerintah daerah kepada masyarakat setempat. Sosialisasi informasi-informasi tersebut akan mendorong terjadinya proses dialog atau konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat setempat yang lebih menyentuh substansi permasalahan. Keterbukaan pemerintah daerah dalam hal ini telah memberikan peluang yang luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pemerintahan, pengajuan daerah. baik dalam hal pemantauan, evaluasi, maupun tuntutan-tuntutan. Dengan proses konsultasi seperti itu,

masyarakat dapat memberikan input yang signifikan bagi pemerintah

BAPEDA KOTA DEPOK

36

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Genuine Consultation. Diskusi antara pemerintah dengan masyarakat telah ada dan sebenarnya telah berjalan. Dalam diskusi ini, masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah sebelum suatu kebijakan diambil jenjang genuine walaupun tidak ada kepastian pemerintah akan consultation ini, dilakukan improvisasi untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan masukan tersebut. Pada meningkatkan kualitas konsultasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dilihat dari substansi pembahasan maupun prosesnya. Misalnya, dilakukan proses konsultasi antara pemerintah dengan masyarakat sebelum merancang suatu peraturan atau sebelum merancang program. Sebagai hasil dari peningkatan kualitas konsultasi ini dapat menghasilkan perubahan struktural misalnya pembentukan berbagai badan atau komite masyarakat yang berfungsi sebagai penasehat (advisory) bagi pemerintah daerah dalam rangka membuat kebijakan atau melaksanakan program-program pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan. 7. Effective advisory bodies. Pada jenjang ini terjadi peningkatan keberadaan badan atau komite penasehat masyarakat, sehingga dapat berfungsi efektif dan akan mendorong partisipasi badan atau komite tersebut dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut operasional, penggunaan sumber daya bahkan dapat menyentuh tataran strategis. Namun tidak ada satu ketentuan pun bagi pemerintah daerah untuk memasukan pendapat komite masyarakat tersebut ke dalam kebijakan yang akan dibuat. Artinya, hasil dialog tersebut tidak mengikat pemerintah daerah. 8. Limited decentralised decision making. Pada tahap ini masyarakat telah menunjukan inisiatif mereka dan telah ada transfer atau setidaknya pemberian wewenang untuk mempengaruhi pemerintah. Telah ada organisasi / perkumpulan masyarakat yang bekerjasama dengan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Organisasi

BAPEDA KOTA DEPOK

37

Kajian Perencanaan Partisipatif

tersebut melaksanakan hal-hal seperti mengajak masyarakat untuk bersatu, mendiskusikan persamaan persepsi bagaimana pelayanan beroperasi, memperbaiki memberi keadaan pandangan saat ini. apa yang ini terjadi juga saat ini, memberikan masukan apa yang dapat dan harus dilakukan untuk Organisasi mengambil keputusan untuk langkah aksi, memonitor aksi yang dilakukan dan merencanakan langkah aksi selanjutnya. Pada jenjang ini keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan telah meningkat ke arah kontrol masyarakat terhadap operasional maupun pengelolaan sumber daya dengan kerangka yang spesifik dan terbatas. Pemerintah daerah mulai melakukan pengalihan manajerial pengelolaan program pemerintah kepada masyarakat. Disamping itu, setidak-tidaknya terjadi proses transfer kekuasaan (kewenangan), dimana masyarakat memiliki maupun pengaruh yang signifikan terhadap terutama proses melalui pembuatan mekanisme pelaksanaan kebijakan,

negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah daerahnya. 9. Limited Partnership. Pada jenjang ini pemerintah daerah dan

masyarakat menjadi mitra sejajar, dan kemudian berkembang pada pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah atau unit-unit pemerintah daerah dengan unit-unit kelompok masyarakat dalam kerangka yang spesifik. Selain itu pemerintah daerah membangun strategi bottom-up 10.Delegated control. Pada tahap ini operasional pengambilan keputusan telah dibedakan secara internal (pemerintah) dan eksternal (masyarakat), dimana pemerintah memisahkan kewenangan tertentu untuk didelegasikan kepada masyarakat. Secara umum dalam jenjang ini kontrol yang substansial didelegasikan kepada masyarakat daerah atau pembuatan kebijakan maupun pelaksanaannya, namun harus tetap mengacu pada kebijakan strategis, seperti standarisasi yang

BAPEDA KOTA DEPOK

38

Kajian Perencanaan Partisipatif

ditetapkan pemerintah daerah serta kerangka pendelegasian kontrol yang ditentukan secara terpusat. C. Pengendalian / Kontrol oleh Masyarakat Pada jenjang kesebelas dan keduabelas, masyarakat telah memiliki kekuasaan untuk mengatur program, institusinya tidak bergantung pada pemerintah daerah atau badan lainnya. 11.Entrust Control. Masyarakat memiliki kekuasaan dan kapasitas untuk mengatur sebuah program, area dan institusi. Pada jenjang ini peningkatan pengendalian / kontrol masyarakat telah mewujud dengan terbentuknya suatu institusi atau organisasi yang otonom secara legal untuk menguasai pembuatan maupun implementasi kebijakan terhadap suatu atau beberapa bidang tertentiu, namun institusi ini masih tergantung pada alokasi dana dari pemerintah daerah yang hanya berperan pada tataran strategis. 12.Independent Control. Hubungan pemerintah dengan masyarakat meningkat berdasarkan kepercayaan dan saling ketergantungan. Pada jenjang ini dipertimbangkan transformasi fundamental antara negara dan ekonomi pasar di satu sisi dan anggota masyarakat di sisi lain. Kekuataan tidak berada pada pasar, tapi berdasarkan bentuk-bentuk demokrasi dalam semua sisi kehidupan. Kedudukan pemerintah dan masyarakat sederajat. Pada jenjang ini, institusi yang diprakarsai masyarakat yang terlibat dalam menguasai (mengontrol) pembuatan kebijakan maupun implementasinya secara penuh mendapatkan otonomi, baik legal maupun finansial dari pemerintah daerah. Hubungan dengan pemerintah daerah dilakukan melalui koordinasi dengan jaringan kerjasama.

BAPEDA KOTA DEPOK

39

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.3. Tipologi Partisipasi Pretty (1995) Dengan mengadaptasi tipologi partisipasi Arnstein, Pretty (1995), diacu dalam Ahmad (2004), mengembangkan pendekatan yang berbeda berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana pada Tabel 4. Tabel 4. Tipologi Partisipasi Pretty (1995)
Tipologi Partisipasi manipulatif Partisipasi pasif Partisipasi dengan konsultasi Partisipasi yang dibeli Karakteristik Setiap Tipe Partisipasi dilakukan hanya dengan berpura-pura. Warga berpartisipasi dengan diberitahukan apa yang telah diputuskan atau yang telah dilaksanakan. Informasi yang dibagi pun hanya untuk kalangan profesional. Warga berpartisipasi melalui konsultasi atau dengan menjawab pertanyaan dan tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Warga berpartisipasi untuk mendapatkan makanan, uang tunai atau insentif material lainnya. Masyarakat lokal tidak berkewajiban melanjutkan praktek yang diintrodusir ketika insentif berakhir. Partisipasi dilihat oleh badan eksternal sebagai sebuah langkah untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Warga mungkin berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan sebelumnya berkaitan dengan proyek tersebut. Warga berpartisipasi dalam analisis bersama, mengembangkan rencana aksi bersama dan pembentukan atau penguatan kelompok atau institusi lokal. Metodologi pembelajaran dipakai untuk menemukenali perspektif yang beragam, dan kelompok menentukan bagaimana sumberdaya yang tersedia digunakan. Warga berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara independen (tanpa campur tangan dari institusi luar) untuk mengubah sistem. Mereka mengembangkan kontak dengan institusi luar untuk mengakses sumber daya dan bantuan teknis yang mereka butuhkan, tapi memiliki kontrol sepenuhnya terhadap bagaimana sumberdaya itu digunakan.

Partisipasi fungsional

Partisipasi interaktif

Mobilisasi sendiri dan berdikari

Sumber : Pretty (1995) diacu dalam Thomsen (2004)

BAPEDA KOTA DEPOK

40

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.4. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997) dan Wates (2000) Tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh Mayer (1997) dan Wates (2000) adalah salah satu instrumen untuk melihat tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah proyek atau proses perencanaan. Tabel 5. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997)
Tahapan
Pembelajaran

Cara
Para pihak dapat menentukan kerjasama yang akan dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang sudah dipelajari. Terdapat perubahan kelembagaan (pengetahuan, kepercayaan dan sikap-kebiasaan) Melihat hubungan antara berbagai permasalahan di setiap tahapan proses yang ada di berbagai pihak dan berbagi tanggung jawab untuk penyelesaian yang mungkin dicapai Mengajak para pihak untuk melihat sumberdaya yang mereka miliki dan menginisiasi kerjasama Mengajak para pihak untuk mengetahui tentang nilai-nilai dan kepentingan yang saling menguntungkan Memberikan kesempatan pada para pihak untuk membuat antisipasi permasalahan yang muncul di masa depan Bertanya kepada para pihak tentang apa yang mereka tahu tentang permasalahan mereka dan apa yang dapat mereka lakukan terhadap permasalahan tersebut Memberikan akses informasi dan pengetahuan kepada masyarakat umum

Tujuan
Para pihak dapat menggali dan membuat pendekatan yang fleksibel dan kontekstual dengan perubahan yang cepat Identifikasi dan menjajaki kemungkinan kerjasama dalam berbagai aktivitas / proyek Mengkoordinasi sumberdaya, tujuan, dan cara pencapaian Untuk mendamaikan konflik, mencapai kompromi, pemahaman bersama sampai membuat konsensus Menggali proyeksi kemungkinan perubahan di masa depan Membuat kebijakan atas dasar informasi relevan yang didapat di lapangan Memperkaya pemahaman kepada para pihak, memperkuat penerimaan dan legitimasi, belajar berdemokrasi

Ko-Produksi

Koordinasi Mediasi

Antisipasi

Konsultasi

InformasiEdukasi

Sumber : Mayer (1997), diacu dalam Ahmad (2004).

Tahapan partisipasi yang dikembangkan oleh Wates (2000) berdasarkan tingkat keterlibatan masyarakat (kemandirian, kemitraan, konsultasi, dan informasi) pada masing-masing tahapan proyek (inisiasi proyek, perencanaan, implementasi, dan keberlanjutan proyek).

BAPEDA KOTA DEPOK

41

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 6. Tahapan Partisipasi Wates (2000)

INISIASI KEMANDIRIAN Kontrol ada pada komunitas KEMITRAAN Berbagi tugas dan ikut serta dalam pengambilan keputusan Komunitas melakukan inisiasi

PERENCANAAN Komunitas merencanakan kegiatannya sendiri Otoritas dan komunitas secara bersama-sama merencanakan kegiatan Otoritas membuat perncanaan setelah berkiomunikasi dengan komunitas

IMPLEMENTASI Komunitas mengimplementa sikan rencananya sendiri Otoritas dan komuniotas bersama-sama mengimplementa sikan perencanaan

KEBERLANJUTAN Komunitas menjaga hasil-hasil pembangunan Otoritas dan komunitas saling menjaga hasil pembangunan

Otoritas dan komunitas bersamasama melakukan inisiasi kegiatan KONSULTASI Otoritas Dilakukan menginisiasi dengan kegiatan pendekatan setelah dialog berdialog dengan komunitas Otoritas INFORMASI menginisiasi Komunikasi dilakukan searah kegiatan
Sumber : Wates (2000)

Otoritas mengimplementa sikan perencanaannya dengan berkonsultasi pada komunitas Otoritas membuat Otoritas mengimplementa perencanaan sikan sendiri perencanaannya sendiri

Otoritas menjaga hasil pembangunan dengan bertanya kepada komunitas

Otoritas menjaga hasil pembangunannya sendiri

2.3.4.5. Tipologi Partisipasi Parkers and Panelli (2001). Tipologi ini esensinya istilah sama yang dengan lain tipologi sebelumnya partisipasi namun yang

menggunakan

adalah

tipologi

dikemukakan oleh Parkers dan Panneli (2001).

BAPEDA KOTA DEPOK

42

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 7. Tipologi Partisipasi Parkers dan Pannelli (2001)


Tipe partisipasi
Co-option (pilihan bersama) Compliance (kerelaan) Consultation (konsultasi) Cooperation (kerjasama) Co-learning (belajar bersama)

Keterlibatan Masyarakat lokal


Perwakilan masyarakat dipilih untuk ikut dalam prosespartisipasi tapi tanpa input yang nyata atau tanpa pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Tugas ditetapkan dengan insentif tapi pihak luar memutuskan agenda dan aksi apa yang harus dilakukan Pendapat masyarakat lokal dicari / diminta, tapi pihak luar yang menganalisis dan memutuskan pilihan kegiatan yang dianggap terbaik untuk dilakukan. Masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas tapi tanggungjawab tetap berada di tangan pihak luar untuk mengarahkan proses tersebut. Masyarakat lokal dan pihak luar berbagai pengetahuan mereka untuk menciptakan pemahaman baru dan mereka bekerja sama untuk membentuk rencana aksi dengan fasilitasi dari pihak luar

Collective action (aksi bersama)

Masyarakat lokal menyusun sendiri agenda mereka dan mengerahkan diri mereka sendiri untuk mencapainya tanpa inisiatif dari pihak luar dan dengan atau tanpa kehadiran fasilitator dari luar.

2.3.4.6. Roda Partisipasi Davidson (1998) Sebenarnya Davidson tidak membuat tipologi partisipasi yang sama sekali baru. Ia sepenuhnya mengadopsi tipologi yang dikemukakan oleh Burns, dan sebagian besar menggunakan istilah yang digunakan oleh Burns. Hanya saja menurut Davidson (1998), tiap jenjang partisipasi masyarakat itu membutuhkan metode dan strategi pendekatan yang berbeda.Karena itu dalam artikelnya Engaging Community, Davidson memodifikasi metode dan strategi pendekatan yang digunakan dalam tiap jenjang partisipasi yang dikemukakan oleh Burns.

BAPEDA KOTA DEPOK

43

Kajian Perencanaan Partisipatif

Gambar 3. Roda Partisipasi oleh Davidson

BAPEDA KOTA DEPOK

44

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 8. Tipologi Roda Partisipasi Davidson No. Jenjang Partisipasi


1. Minimal Communication

Karakteristik
Badan pemerintah memutuskan seluruh hal / materi tanpa konsultasi (kecuali ketika aturan mengharuskan melakukan konsultasi), seperti melalui laporan dari komite. Menjelaskan kepada publik apa yang diinginkan oleh badan pemerintah, bukan tentang apa yang ingin diketahui oleh publik. Ini dilakukan dengan pendekatan yang menjangkau publik yang lebih luas Memberikan informasi tentang apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh masyarakat, seperti kertas kerja untuk didiskusikan atau pameran untuk pengembangan rencana atau catatan panduan untuk pengembangan area konservasi Pemberian informasi dalam cara yang terbatas dengan beban diletakan pada masyarakat untuk memberikan respon seperti dalam bentuk poster atau leaflet. Memiliki pelayanan yang berorientasi pada publik sebagai pelanggan (customer), seperti memperkenalkan kebijakan yang peduli pada pelanggan atau menyediakan sebuah skema untuk pengaduanpengaduan atau komentar-komentar Badan pemerintah secara aktif mendiskusikan berbagaiisu dengan masyarakat berkaitan dengan apa yang dipikirkan tentang aksi yang akan dilakukan terlebih dahulu. Sebagai contoh, berhubungan dengan kelompok penyewa atau survey kepuasan publik. Mengundang keterlibatan masyarakat untuk mengajukan proposal / usulan yang akan menjadi bahan pertimbangan badan pemerintah. Memecahkan masalah melalui kemitraan dengan masyarakat seperti kemitraan formal Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membuat keputusannya sendiri tentang beberapa isu, seperti pengelolaan tempat permuan warga. Mendelegasikan kekuasaan pembuatan keputusan secara terbatas dalam wilayah atau proyek tertentu, seperti organisasi pengelolaan penyewa dan dewan sekolah. Badan pemerintah diharuskan unrtuk menyediakan pelayanan tapi memilih pelaksanannya dengan menfasilitasi kelompok masyarakat dan / atau badan lainnya untuk memberikan pelayanan atas nama pemerintah, seperti pemberian kontrak pelayanan perawatan oleh sektor volunter / relawan Memindahkan kekuasaan pembuatan keputusan yang substansial kepada masyarakat, seperti organisiasi pengelolaan penyewaan.

Contoh Teknik
Catatan publik

2.

Limited Information

Press release, newsletter, dan kampanye Leaflet

3.

High Quality Information

4. 5.

Limited Consultation Customer Care

Pertemuan publik dan survey Kartu komentar, wawancara perorangan.

6.

Genuine Consultation

7. 8.

Effective Advisory Body Partnership

9.

Limited Decentralized Decision-Making Delegated Control

10.

Panel warga, lingkaran diskusi di tingkat distrik, diskusi kelompok terarah, pengukuran pendapat, panelpengguna, dan kelompok stakeholder Perencanaan nyata (planning for real), Dewan juri warga, pencarian prioritas Pilihan bersama (co-option), Kelompok-kelompok stakeholder, permainan disain Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang Penerapan teknik-teknik partisipatif dengan dukungan politis untuk mendelegasikan wewenang

11.

Independent Control

12.

Enrusted Control

BAPEDA KOTA DEPOK

45

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.7.

Tipologi Partisipasi Brager & Specht (1973).

Brager & Specht mengembangkan tipologi partisipasi tidak dalam bentuk jenjang tapi dalam bentuk kontinum, dilihat dari sisi pengendalian masyarakat / partisipan dalam proses perencanaan. Pada tingkat pengendalian yang tinggi, masyarakat memiliki dalam pelaksanaan kegiatan, sedangkan pada tingkat pengendalian masyarakat yang rendah boleh dikatakan tidak afda partisipasi samasekali. Tabel 9 . Tangga Partisipasi Masyarakat Brager & Specht (1973).
Pengendalian Tinggi Aksi Partisipan Has control (memiliki kontrol) Contoh Organisiasi / badan pemerintah meminta masyarakat untuk mengidentifikasi masalah dan membuat seluruh keputusan penting terhadap tujuan-tujuan dan langkah-langkah mencapainya. Badan pemerintah berkeinginan untuk membantu masyarakat pada tiap tahap untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan Badan pemerintah mengidentifikasi dan menyodorkan sebuah masalah kepada masyarakat. Pemerintah menetapkan batasan masalah dan meminta masyarakat untuk membuat serangkaian keputusan yang dapat ditambahkan dalam sebuah rencana sehingga rencana itu dapat diterima. Badan pemerintah menyodorkan rencana tentatif (sementara) dan terbuka untuk perubahan dari mereka yang dipengaruhi oleh rencana itu. Badan pemerintah mempresentasikan sebuah saran dan mengundang pertanyaan. Disiapkan untuk perubahan rencana hanya jika betul-betul dibutuhkan. Badan pemerintah mencoba untuk mempromosikan sebuah rencana dan berkonsultasi dengan masyarakat sekadar untuk mengembangkan dukungan agar rencana itu dapat diterima, sehingga pemenuhan administraif dapat diharapkan Badan pemerintah membuat rencana dan mengumumkannya. Masyarakat diajak mengikuti pertemuan / rapat untuk tujuan mendapatkan informasi. Masyarakat tidak mendapatkan pemberitahuan apa pun.

Has delegated authority (memiliki kewenangan yang didelegasikan)

Plans jointly (merencanakan bersama) Advises (pemberian saran ) Is consulted (dikonsultasikan)

Receives information (menerima informasi) None (tidak ada)

Rendah

Sumber : Brager & Specht (1973), diacu dalam WHO (2002).

BAPEDA KOTA DEPOK

46

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.8. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992) diacu dalam Sumardjo dan Saharudin (2003). Menurut kemauan Sahidu (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi adalah motif, tingkat harapan,

masyarakat

untuk

berpartisipasi

kebutuhan (needs), imbalan (rewards), dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana dan prasarana. Sedangkan faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman yang dimiliki. Jika berpartisipasi bisa dianggap sebagai sebuah perilaku dari

masyarakat, dan partisipasi masyarakat juga berkaitan dengan perilaku pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka setidaknya terdapat dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku masyarakat dan pemerintah ini. Yaitu, teori pilihan rasional (rational choices theory) theory). Menurut teori pilihan rasional, perilaku individu atau sebuah kelompok merupakan respon terhadap aturan (rules) dan insentif yang ada. Aturan ini dapat berupa aturan formal (peraturan perundang-undangan) maupun aturan non formal (misalnya, kesepakatan-kesepakatan warga), dapat dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis. Insentif pun beragam mulai dari yang kasat mata dan bersifat ekonomi maupun yang tidak kasat mata dan teori normatif (normative

BAPEDA KOTA DEPOK

47

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan bersifat non ekonomi. Jadi, jika seseorang atau sebuah kelompok berperilaku partisipatif, maka perilaku itu merupakan pilihan rasional bagi yang bersangkutan dalam memberikan respon terhadap aturan main atau insentif yang ada. Sedangkan menurut teori normatif, seorang berperilaku tertentu karena perilaku itu merupakan sesuatu yang memang patut dilakukan. Jadi yang menjadi pertimbangan adalah logika kepatutan (logic of approriateness). Logika ini merupakan hasil dari proses internalisasi yang memakan waktu yang relatif lama dalam diri seorang individu atau kelompok. Ini merupakan hasil dari pendidikan (formal, nonformal, dan informal) pada berbagai tingkatan, atau melalui kampanye-kampanye publik melalui berbagai media. 2.3.5. Faktor-Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Para ahli telah mengidentifikasi hal-hal yang menghambat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno (1995), faktor-faktor penghambat itu adalah: (1) belum dipahaminya konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Partisipasi dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung program pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah, (2) adanya reaksi yang menghambat proses pembangunan seperti keengganan masyarakat untuk ikut berperan serta seperti mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka (budaya diam), aparat bersikap otoriter, dan kurang terbuka terhadap aspirasi masyarakat (budaya mencari selamat), (3) adanya peraturan-peraturan pemerintah yang menghambat kemauan rakyat untuk berpartisipasi. Sementara Abe (2001) mengidentifikasi setidaknya enam faktor

penghambat masyarakat untuk berpartisipasi, yaitu: (1) keterbatasan

BAPEDA KOTA DEPOK

48

Kajian Perencanaan Partisipatif

pengetahuan masyarakat sehingga secara teknis sulit berpartisipasi (misalnya pendidikan yang rendah dan kemampuan baca tulis), (2) masyarakat berada dalam politik sentralistik otoriter sehingga membudaya politik mengekor, pasif, takut mengambil inisiatif dan hidup dalam budaya petunjuk, (3) rakyat berada dalam represi ideologi dimana kesadaran politik rakyat diduga merupakan kesadaran hasil bentukan negara, (4) aspirasi yang disampaikan rakyat adalah aspirasi pantulan (refleksi) aspirasi negara, (5) rakyat telah kehilangan institusi lokal, sebagai akibat dari tekanan politik elit, (6) langkanya kepercayaan diri, sehingga rakyat tidak terbiasa jujur mengatakan apa adanya meskipun bertentangan dengan pemerintah. Hambat-hambatan untuk berpartisipasi itu juga dapat dilihat dari sisi hambatan struktural, hambatan administrasi dan hambatan sosial (Okley, 1991). Hambatan struktural berasal dari lingkungan politik negara, dimana ideologi yang dianut kurang mendukung keterbukaan, kurang respon terhadap suara rakyat, dan sistem politiknya tersentralisasi. Hambatan administrasi adalah berupa prosedur perencanaan program dan proyek pembangunan yang tersentralisasi mengurangi keterlibatan lokal. Sedangkan hambatan sosial adalah masih terdapatnya mental ketergantungan dimana pada umumnya terdapat dominasi dari kelompok elit lokal. Hamijoyo (1993) mengidentifikasi beberapa faktor pengambat partisipasi masyarakat yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, yaitu: (1) masyarakat belum dapat menghayati atau merasakan masalah atau kepentingannya, (2) masyarakat atau tokoh terpercaya belum sanggup atau kurang berani mengajukan bentuk atau cara pemecahan masalah yang diterima (acceptable) yang secara teknis dan keuangan dapat dilaksanakan, (3) tujuan partisipasi masyarakat kurang jelas, karena manfaat atau tujuan pembangunan masih kurang jelas bagi masyarakat, (4) karena sebab-sebab terdahulu, maka di antara masyarakat belum

BAPEDA KOTA DEPOK

49

Kajian Perencanaan Partisipatif

ada atau bahkan tidak ada rasa keterikatan batin, rasa senasib sepenanggungan, (5) di wilayahnya sendiri, masyarakat tidak atau belum merasakan ada kegiatan yang cocok ataupun bermanfaat baginya, (6) tidak ada semacam reference group yang merupakan fokus atau panutan bagi warga setempat, (7) tidak ada peran yang cukup merata atau banyak peran terlalu diborong oleh orang-orang tertentu. Pembagian peran dan tanggung jawab dianggap kurang adil dan terbuka, (8) kebanyakan warga lokal belum melihat hasil pembangunan melalui partisipasi mereka, atau pimpinan kurang menunjukan hasil yang sebenarnya ada, (9) tidak ada organisasi yang cukup handal untuk mengelola partisipasi masyarakat, sehingga aspirasi dan potensi warga kurang tersalur secara efektif dan efisien. Jika ditelaah berbagai pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa faktorfaktor yang dapat menghambat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan dapat dalam bentuk: (a) faktor internal masyarakat, (b) faktor internal pemerintah, dan (c) faktor luar / eksternal. Untuk mengantisipasi berbagai hambatan partisipasi masyarakat

dibutuhkan beberapa persyaratan untuk menjamin adanya partisipasi tersebut. Uphoff dan Cernea (1988) mengidentifikasi beberapa cara untuk menjamin partisipasi masyarakat (penerima manfaat) dalam perencanaan pembangunan, yaitu: (1) taraf partisipasi yang dikehendaki mesti diperjelas sejak semula dan dengan cara yang dapat diterima oleh semua pihak yang bersangkutan, (2) harus ada tujuan yang realistis untuk partisipasi dan kelonggaran (toleransi) kenyataan bahwa beberapa tahap harus diberikan untuk seperti konsultasi perencanaan,

tentang suatu rancangan mungkin membutuhkan waktu yang relatif lama atau berlarut-larut, sedangkan tahap-tahap lainnya seperti pengalihan modal untuk poemanfaatan mungkin akan lebih singkat, (3) di kebanyakan negara, perlengkapan khusus untuk memperkenalkan dan

BAPEDA KOTA DEPOK

50

Kajian Perencanaan Partisipatif

mendukung partisipasi memang diperlukan, (4) mesti ada komitmen keuangan yang terpisah untuk menfasilitasi proses partisipasi, atau dengan kata lain kemauan baik saja belum cukup.

2.4. Perencanaan Partisipatif


Pelaksanaan perencanaan partisipatif dapat dilakukan dalam pelaksanaan sebuah program atau proyek tertentu, dan dapat juga dalam konteks pembangunan skala kota. Salah satu alasan mengapa melakukan perencanaan partisipatif sebelum mendisian sebuah program / proyek adalah bahwa sesungguhnya banyak pihak (stakeholders) yang berkepentingan di dalamnya, sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program / proyek. Demikian halnya berkaitan dengan pembangunan skala kota (yang terdiri dari banyak program / proyek), maka pihak yang seharusnya berkepentingan adalah stakeholders yang ada di kota itu. Dengan demikian, konsep stakeholders menjadi penting, karena

sebagaimana dikemukakan oleh Warner (1997), diacu dalam Abbas (2005), para stakeholders berbeda dalam beberapa hal yakni keinginan, kebutuhan dan tata nilai, tingkat pengetahuan, serta motivasi aspirasi. Karena itu perlu dibangun pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Selanjutnya Bock (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan jika menggunakan proses partisipatif dalam perencanaan dan disain suatu kegiatan, yaitu: (1) hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, (2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan suatu mekanisme dimana seluruh

stakeholders dapat terlibat secara aktif dalam proses perencanaan,

BAPEDA KOTA DEPOK

51

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan (3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan. Perencanaan partisipatif juga penting untuk dapat mengetahui kebutuhan dan opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan dilaksanakan. Dalam kaitan itu terdapat empat elemen kunci menuju kesuksesan perencanaan partisipatif oleh stakeholders (Takeda 2001, diacu dalam Abbas 2005): 1. Informasi. Peran informasi sangat esensial sebagai wahana untuk menfasilitasi partisipasi. Tanpa informasi masyarakat tidak akan mengetahui berpartisipasi apa, kapan, Tanpa dimana, informasi siapa dan bagaimana dan dapat dan tidak dalam proses perencanaan kebijakan

implementasinya. bagaimana, untuk

pemerintah

mengetahui dan mengidentifikasi kebutuhan dan isu, dimana dan merumuskan kebijakan pengembangan implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran seringkali menjadi pionir bagi keberhasilan suatu program. Informasi dapat berupa publikasi media, dan akses yang terbuka terhadap pertemuan maupun dokumen-dokumen. 2. Intermediasi. Intermediasi berguna untuk menfasilitasi partisipasi

sehingga di dalamnya membutuhkan individu atau organisiasi guna memainkan fungsi intermediasi. 3. Institusionalisasi partisipasi (forum) stakeholders. Mekanisme

partisipasi harus diinstitusionalisasikan. Guna mencapainya, maka hak-hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam pedoman teknis, regulasi, atau kebijakan dapat menfasilitasi di antara partisipasi kesediaan pemerintah. Prinsip pokoknya agar stakeholders untuk adalah dibutuhkan koordinasi, melakukan

stakeholders

konsultasi dan negosiasi.

BAPEDA KOTA DEPOK

52

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Inisiatif. Inisiatif stakeholders untuk tersebut. Dalam hal ini

berpartisipasi dalam aktivitas harus menyediakan dan

pembangunan sangat krusial kaitannya dengan proses pembangunan pemerintah memberdayakan stakeholders (terutama masyarakat) agar mampu menempatkan perannya dalam membuat inisiatif, misalnya dengan mengkondisikan berinisiatif. Salah satu model best practice tentang perencanaan dan penganggaran partisipatif dilakukan di Porto Alegre, sebuah kota industri di Rio Grande do Sul, Brazil (World Bank, 2003). Dengan penduduk 1,3 juta jiwa, kekayaan ekonominya sekitar US$ 7 miliar. Kota ini secara konsisten menikmati satu dari standar kehidupan yang sangat tinggi dan tuan pendapatan perkapita yang tinggi dibandingkan dengan kota-kota di Brazil pada umumnya. Kota ini juga memiliki reputasi sebagai persatuan buruh serta berpengalaman memobilisasi rumah masyarakat madani progresif yang dipimpin oleh intelektual dan partisipasi masyarakat. Sepanjang tahun dalam siklus anggaran partisipatif dari Porto Alegre telah mendapatkan perhatian untuk dicermati. Siklus anggaran yang dimulai pada Maret April, berlangsung degan jadual sebagai berikut: Maret: pertemuan informal antar warga untuk menentukan kebutuhan. Dalam kegiatan ini tidak ada intervensi dari eksekutif (pejabat kantor walikota). April: Sidang Pleno pertama dilaksanakan antara masyarakat dan para pejabat kantor walikota untuk menilai proyek-proyek tahun sebelumnya, mendiskusikan usulan-usulan baru dan memilih delegasi untuk pertemuan putaran kedua. April sampai dengan Juni: Pertemuan Antara bagi delegasi untuk mempelajari prioritas kriteria teknis dan mendiskusikan Persiapan kebutuhan dan untuk setiap daerah. pertemuan informal lingkungan yang kondusif untuk masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

53

Kajian Perencanaan Partisipatif

dilaksanakan dengan masyarakat dan asosiaisi masyarakat untuk menetapkan peringkat kebutuhan. Eksekutif mengumpulkan semua usulan berdasarkan dua kriteria yaitu: (a) seberapa jauh akses ke daerah yang harus dilayani, (b) jumlah penduduknya. Juni: pleno kedua dilaksanakan ketika para Konselor dipilih dan prioritas daerah sudah ditetapkan. Juli: 44 Konselor membentuk The Council of Participatory Budgeting (COP) dua dari masing-masing 16 daerah, dua dari masing-masing tema ditambah dua lainnya dari legislatif. Juli September: legislatif menjumpai setidaknya selama dua jam per minggu untuk mendiskusikan kriteria, kebutuhan masyarakat, alokasi sumber daya sebagaimana yang diusulkan pejabat kantor walikota, demikian seterusnya. September: Anggaran baru disahkan oleh COP dan dikirim kepada legislatif untuk diadakan debat dan dikuasakan. September sampai dengan Desember: COP menindaklanjuti debat dengan anggota legislatif, melobi, dan bekerja secara terpisah pada rencana investasi untuk masing-masing daerah, aturan-aturan yang disepakati dan mengatur pertemuan selanjutnya. Dengan pendekatan seperti itu, maka hal-hal yang telah dicapai antara lain: (a) sejak 1989, Partai Buruh yang mengusulkan penganggaran partisipatif telah memenangkan tiga kali berturut-turut dalam pemilihan daerah di Porto Alegre, (b) sebuah jurnal bisnis yang berpengaruh telah menetapkan Porto Alegre sebagai masyarakat Brazil dengan best quality of life selama 4 tahun sejak 1989, (c) antara 1989 dan 1996 persentase rumah tangga dengan kemudahan mendapatkan pelayanan air bersih meningkat dari 80% menjadi 98%, (c) persentase penduduk yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah meningkat dari 46% menjadi 85%, (d) jumlah anak-anak yang diterima di sekolah pemerintah menjadi dua kali lipat, (e) 30 km jalan diperbaiki setiap tahun, (f) karena transparansi menghasilkan sikap patuh membayar

BAPEDA KOTA DEPOK

54

Kajian Perencanaan Partisipatif

pajak, maka penerimaan meningkat mendekati 50%, dan (g) lebih dari 80 kota di Brazil mengikuti model Porto Alegre untuk penganggaran partisipatif.

2.5. Modal Sosial


Konsep modal sosial antara lain sering digunakan untuk menjelaskan mengapa satu kelompok masyarakat dapat bekerjasama untuk mencapai kemaslahatan / kepentingan bersama, sementara kelompok masyarakat lainnya tidak dapat melakukannya. Konsep modal sosial telah dipopulerkan oleh Putnam (1993) walaupun sebelumnya terlebih dahulu dikembangkan oleh Coleman (1988). Putnam (1993), diacu dalam Rustiadi et.al (2006), mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Komponen-komponen kunci dari modal sosial yang diidentifikasi Putnam (1993), Fukuyama (1995), serta oleh Knack dan Keefer (1997) adalah: (a) jaringan pertemuan / dialog masyarakat (network of civic engangement), (b) norma-norma yang saling berinteraksi / timbal balik (norms of generalized reciprocity), dan (c) kepercayaan (Rustiadi et.al. 2006). Hubungan saling percaya (social trust) akan membangun kerjasama, yang kemudian akan menekan biaya transaksi antar mereka yang bekerja sama dan kemudian berarti menghemat penggunaan sumber daya. Akibat adanya saling percaya, maka para pihak tidak membutuhkan upaya untuk memonitor atau mengawasi pihak lain agar berperilaku seperti yang diharapkan. Artinya, saling percaya akan menghemat waktu dan biaya.

BAPEDA KOTA DEPOK

55

Kajian Perencanaan Partisipatif

Lebih

lanjut

Coleman

(1988),

yang

diacu

dalam

Yustika

(2006)

menjelaskan tiga bentuk modal sosial: Pertama, struktur kewajiban (obligation), ekspektasi (expectations), dan kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk modal sosial tergantung pada dua elemen kunci yaitu kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi. Dari perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi yang sebaliknya. Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan. Pada level yang paling minimal, dan ini yang perlu mendapat perhatian, bahwa informasi selalu terbatas. Tentu saja individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperolah informasi sehingga dapat dikatakan modal sosialnya tinggi; demikian pula sebaliknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions). Norma dan sanksi efektif akan membangun dan menjaga perilaku yang diharapkan secara sosial sebagai upaya untuk mempertahankan level modal sosial yang terbentuk. Konsep modal sosial berkaitan erat dengan konsep aksi kolektif

(collective action). Menurut Marshall (1998), yang diacu dalam Knox dan Gupta (2000), aksi kolektif adalah aksi yang dilakukan oleh sebuah kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh partisipannya yang membedakannya dengan usaha-usaha kolektif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pekerja yang dibayar.

BAPEDA KOTA DEPOK

56

Kajian Perencanaan Partisipatif

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa setiap aksi kolektif senantiasa melibatkan organisasi untuk mendisain aturan-aturan main dan melaksanakan aksiaksi yang disepakati, menggalang proses partisipasi, dan menegakkan aturan-aturan yang telah diterima, yang dianggap akan memberikan manfaat bagi kelompok. bukti bahwa manfaat Meskipun terdapat banyak manfaat non bersifat material juga mempengaruhi material yang diperoleh dari aksi-aksi kolektif, namun terdapat banyak yang kemunculan berbagai aksi kolektif. Menurut Eggertsson dengan (1990), masalah-masalah individu penting dalam aksi

kolektif adalah: (a) munculnya perilaku free ridding (penunggang gratis) sehubungan keinginan untuk memaksimumkan utilitasnya, (b) biaya aksi kolektif (collective action cost) sehubungan dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan, (c) ukuran kelompok (group size), (d) masalah koordinasi antar pelaku. Untuk membangun modal sosial secara efektif sehingga memunculkan aksi kolektif, maka instansi pemerintah harus berbagi otonomi / peran dengan masyarakat, dalam arti perannya harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol (controller), pembuat aturan (regulator), dan pelaksana 2006). kegiatan (provider) menjadi katalisator, penyelenggara pertemuan (convener) dan fasilitator (Crocker et al, diacu dalam Rustiadi

2.6. Konsep Biaya Transaksi


Konsep biaya transaksi dipaparkan dalam kajian ini, karena berbagai ikhtiar untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan akan senantiasa membutuhkan biaya. Keengganan berbagai pihak di pemerintahan untuk menerapkan proses partisipatif antara lain dilatarbelakangi oleh faktor biaya ini.

BAPEDA KOTA DEPOK

57

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam ilmu ekonomi kelembagaan, biaya transaksi merupakan salah satu alat analisis yang sering digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu disain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi untuk mewujudkan disain kelembagaan, maka kian tidak efisien kelembagaan yang didisain itu. Awalnya konsep biaya transaksi ini diterapkan dalam transaksi ekonomi (jual beli). Namun konsep ini kemudian digunakan juga untuk menjadi ukuran dalam proses-proses membangun kesepakatan dalam rangka peningkatan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Pandangan ekonomi neoklasik didasarkan pada anggapan bahwa pasar berjalan sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) dianggap memiliki informasi yang sempurna dan penjual fakta yang ada menunjukan (producers) saling berkompetisi, sehingga menghasilkan biaya yang rendah. Namun pada kenyataannya, sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak dan proses transaksi jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang menimbulkan biaya transaksi. Karena itu biaya transaksi didefinikasi sebagai biaya-biaya untuk melakukan negosiasi, pengukuran, dan pemaksanaan pertukaran (Yustika, 2006). North (1990), diacu dalam Yustika (2006), berpendapat bahwa biaya untuk mencari informasi merupakan kunci dari biaya transaksi, yang terdiri atas biaya untuk mengerjakan yang pengukuran dan perlengkapanongkos untuk perlengkapan (atributes) dipertukarkan

melindungi hak-hak kepemilikan (property rights) dan menegakkan kesepakatan (enforcing agreements). North memberikan isustrasi bahwa dalam komunitas pedesaan di negara berkembang, biaya transaksi biasanya rendah. Hal ini dapat terjadi karena kedekatan hubungan di dalam komunitas (keluarga, tetangga),

BAPEDA KOTA DEPOK

58

Kajian Perencanaan Partisipatif

sehingga informasi tentang aktifitas-aktifitas dalam komunitas tersedia secara luas dan bebas. Sementara itu, struktur sosial (orang tua dan figur kepemimpinan lain yang dihormati) memberikan mekanisme yang sangat penting bagi penegakan kesepakatan dan memberikan resolusi apabila ada konflik di antara anggota komunitas. Tetapi, agar kegiatan ekonomi terus berlanjut dan dalam jangkauan yang luas, masyarakat harus berdagang / bertransaksi dengan orang lain di luar komunitas desanya, dan pada jarak yang semakin jauh. Semakin kompleks dan impersonal jaringan perdagangan, maka semakin tinggi biaya transaksi yang muncul (Yustika, 2006). Meskipun awalnya muncul untuk menelaah aktifivitas yang murni ekonomi, konsep biaya transaksi saat yang dibutuhkan ini telah digunakan membangun untuk dan menganalisis biaya untuk

mengimplementasikan kesepakatan di sektor non ekonomi, seperti penegakan kesepakatan-kesepakatan pada tingkat stakeholders. Berkenaan dengan itu, definisi biaya transaksi yang dapat digunakan adalah sebagaimana yang dikemukakan Thomson dan Freudenberger (1997). Mereka berpendapat bahwa biaya transaksi adalah berkaitan dengan waktu, usaha, material, dan biaya finansial yang dibutuhkan

untuk mencapai sebuah keputusan. Ini mencakup berbagai biaya yang dibutuhkan untuk membangun aturan main dan sampai bagaimana aturan main itu diterima, serta biaya yang dibutuhkan untuk resolusi konflik-konflik yang timbul akibat penerapan dari aturan main tersebut. Komponen-komponen biaya transaksi menurut Ostrom, Schroeder dan Waynne 1993, diacu dalam Nugroho 2006 adalah: (a) biaya koordinasi (coordinating costs), yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk waktu, modal, dan personil yang diinvestasikan dalam negosiasi, pengawasan, dan penegakan kesepakatan di antara pelaku, (b) biaya informasi (information costs), yaitu biaya-biaya yang diperlukan untuk mencari dan

BAPEDA KOTA DEPOK

59

Kajian Perencanaan Partisipatif

mengorganisasikan data, termasuk biaya atas kesalahan informasi sebagai akibat kesenjangan pengetahuan, dan (c) biaya strategi (strategic costs), yaitu biaya yang dikeluarkan sebagai akibat informasi, kekuasaan, dan suimberdaya lainnya yang tidak sepadan di antara pelaku, umumnya berupa pengeluaran untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking, dan korupsi.

2.7. Forum Warga


2.7.1. Konsep tentang Warga (Citizen) Penelitian yang dilakukan di 47 negara-negara Commenwealth (bekas jajahan Inggris) menemukan bahwa warga negara menginginkan peran yang lebih besar dalam sistem kepemerintahan, dan dalam waktu yang sama juga membutuhkan negara yang kuat. Temuan ini menimbulkan pertanyaan partisipasi kunci warga bagaimana dan caranya agar peningkatan yang kualitas bisa penciptaan pemerintahan efektif

berlangsung secara bersamaan? Menurut Cornwall & Gaventa (2000), yang diacu dalam Zakaria et al (2001), formasi pemerintahan yang mengaitkan warga secara langsung menuntut sebuah pendekatan partisipasi warga yang memungkinkan warga, di mana pun dan siapa pun dia, menjadi pembuat dan penentu keputusan, melalui perwakilan yang penuh dalam proses pemerintahan. Dengan demikian, partisipasi warga tidak terbatas pada partisipasi politik yang terbatas pada kampanye dan pemilihan umum, tapi juga mencakup akses warga untuk mengidentifikasi prioritas lokal, merencanakan dan melaksanakan program, dengan mendudukan warga sebagai aktor kunci pembuat kebijakan.

BAPEDA KOTA DEPOK

60

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dengan mengamati sejarah partisipasi sejak tahun 1970-an hingga saat ini, Cornwall membedakan antara partisipasi yang dipaksakan dan partisipasi karena diundang (induced and invited participation) melalui kelompok pemanfaat, konsultasi, dan sejenisnya, dengan partisipasi warga dimana warga masyarakat datang untuk membangun ruangnya sendiri dan melakukan perubahan menurut strateginya sendiri (Cornwall, 2000). Lebih jauh Cornwall menyatakan, rekonseptualisasi kewargaan akhirnya menempatkan warga sebagai pihak yang dapat bertindak (as the exercise of agency), ketimbang konsep warga sebagai kumpulan hak. Pemaknaan kewargaan sebagai pihak yang dapat bertindak ini menjadi dasar dari sebuah pendekatan yang lebih inklusif dengan sejumlah hak yang dikembangkan oleh warga itu sendiri. Pemahaman baru partisipasi warga sebagai hak, dan sebagai ruang beraktifitas, juga menuntut pemahaman baru tentang apa yang dimaksud dengan tata kelola kepemerintahan (governance). Selayaknya warga dapat terkait dengan pemerintahan lokal melalui wakil-wakilnya dan juga melalui sistem demokrasi partisipatif. Namun, aturan dan mekanisme untuk keterkaitan langsung ini perlu dimantapkan, agar dapat mengatur tata hubungan yang baru yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan kerjasama untuk maju, khususnya jika sektor masyarakat, yang secara historis aksesnya telah diabaikan dalam realita pembuatan kebijakan publik, ingin dilibatkan (Fung & Wright, 2001, yang diacu dalam Zakaria et al 2001). Pemberian saluran dan strategi yang meningkatkan akses dari non-elit kepada pembuatan kebijakan dan implementasinya, misalnya, perlu menjadi salah satu agenda utama. Berkaitan dengan demokrasi partisipatif, proyek penelitian the

Comenwealth Foundation menyimpulkan bahwa demokrasi perwakilan dan institusi-institusi negara dan pemerintahan yang dikenal dewasa ini tidak mampu lagi melayani warga negara atau memastikan pemerintahan yang baik (good governance) di masa depan. Akibatnya,

BAPEDA KOTA DEPOK

61

Kajian Perencanaan Partisipatif

warga negara dan petugas-petugas pemerintahan yang progresif harus mencari terobosan untuk menghubungkan kembali warga negara dengan negara (Zakaria et al 2001). 2.7.2. Pengertian Forum Warga Forum warga dapat memiliki skala cakupan geografis yang beragam. Mulai dari forum warga yang merupakan forum yang berbasiskan ketetanggaan sampai forum stakeholders yang keanggotaannya skala kota. Menurut Burns (1994), forum warga yang berbasiskan ketetanggaan merupakan suatu forum diskusi antara masyarakat dalam pengambilan keputusan termasuk dalam hal penegakan hukum, pemberian insiatif, pengembangan kreatifitas dan dalam pemberikan masukan atau nasehat dalam forum tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan diadakannya forum warga berbasiskan ketetanggaan adalah: 1. Membantu asosiasi / perkumpulan / lembaga ketetanggaan dalam menentukan skala prioritas pembangunan serta mengontrol kualitas pelayanan di wilayahnya. 2. Mewajibkan aparat dewan ketetanggaan mengundang pemerintah untuk menghadiri forum ketetanggaan untuk melaporkan kegiatankegiatan yang telah dilaksanakan. 3. Menyusun program kegiatan dan alokasi dana operasional dewan ketetanggaan. 4. Untuk menyelaraskan keinginan dan pandangan masyarakat dengan program kegiatan. 5. Sebagai wahana diskusi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. 6. Menyelenggarakan kerangka kerja dalam memberikan kesempatan yang sama.

BAPEDA KOTA DEPOK

62

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tugas dari organisasi forum warga adalah membentuk prakondisi untuk menjamin bahwa bentuk dasar dari proses pemberdayaan dapat berlangsung. Pendekatan ini tidak hanya kapasitas masyarakat untuk untuk membangun kebiasaan perbedaan pendapat, dapat

masyarakat lokal dalam kegiatan sosial, juga untuk meningkatkan menghargai secara mengurangi kegelisahan, ketidakpercayaan terhadap orang lain, dan melaksanakan pembangunan sektoral. Selanjutnya diharapkan forum warga tersebut dapat memberikan peran kepada

demokrasi lokal dengan meningkatkan jaringan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk terlibat dalam politik daerah (Burns, 1994). Burns mengusulkan beberapa hal yang dapat menjadi ketentuan dalam

pelaksanaan forum komunikasi ketetanggaan tersebut, antara lain: 1. Anggota forum warga adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. 2. Pelaksana kegiatan forum warga adalah aparat / pimpinan yang bekerja pada asosiasi / perkumpulan / lembaga forum ketetanggaan tersebut, tetapi tidak mempunyai hak suara dalam forum. 3. Setiap kelompok masyarakat mempunyai perwakilan dalam forum, antara lain: kelompok muda di bawah 21 tahun etnis minoritas kelompok orang cacat baik secara fisik ataupun mental perkumpulan wanita kelompok orang yang telah pensiun.

Dari pandangan Burns tersebut, nampak bahwa ia menekankan sistem perwakilan dimana wakil-wakil dari kelompok masyarakat tersebut dipilih melalui tiga metode antara lain melalui pemilihan, pengangkatan / penunjukan dari kelompok ataupun campuran dari keduanya.

BAPEDA KOTA DEPOK

63

Kajian Perencanaan Partisipatif

Forum warga juga merujuk pada forum perencanaan pembangunan skala kota. Berdasarkan hasil workshop Pedoman Penyelenggaraan Rakorbang 2002 dan Repetada 2003 yang dirangkum oleh Perform Project dan USAID, pengertian forum warga adalah rapat pertemuan untuk mengkonsultasikan dan mensikronkan program pembangunan daerah, dimana penggunaan kata forum ditujukan untuk lebih mengedepankan suasana konsultatif dan dialog yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut workshop itu juga menyepakati bahwa peranan dan fungsi forum koordinasi pembangunan di era desentralisasi di Indonesia antara lain: 1. Sebagai media komunikasi dan konsultasi, dimana suasana forum perlu diusahakan sekondusif mungkin bagi terwujudnya komunikasi dan konsultasi yang efektif di antara para pelaku pembangunan. 2. Media mengembangkan komitmen, konsensus, dan kesepakatan, dimana forum penanganan didorong untuk menghasilkan konsensus tentang isu-isu strategis dan menghasilkan kesepakatan

(agreements) dan komitmen di antara pada pelaku pembangunan untuk mengimplementasikan usulan-usulan. 3. Media meningkatkan keterlibatan para pelaku pembangunan dalam pengambilan keputusan, dimana forum merupakan instrumen untuk meningkatkan 4. Media untuk demokratisasi memadukan perencanaan berbagai alur yaitu meningkatkan forum keterlibatan para pelaku untuk secara aktif mengambil keputusan. perencanaan, menjembatani, mempertemukan, dan memadukan berbagai alur perencanaan baik yang bersifat horisontal (Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Srategis), dan yang bersifat vertikal (Popenas, Renstra Lmbaga, Propeda Propinsi) serta perencanaan yang bottom up (Repetada Kecamatan / Kelurahan).

BAPEDA KOTA DEPOK

64

Kajian Perencanaan Partisipatif

5. Media resolusi konflik kepentingan, dimana forum berfungsi sebagai wadah mediasi untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan antar pelaku pembangunan untuk menghasilkan solusi yang optimal. Senada dengan itu, terdapat beberapa fungsi forum warga menurut

Labour Party Manifesto sebagaimana diacu dalam Burns (1994): 1. Forum warga merupakan badan yang bertanggung jawab menetapkan dan mengawasi struktur dan mekanisme pelayanan masyarakat di wilayah masyarakat tersebut. 2. Forum warga merupakan pertemuan masyarakat yang terdiri dari aktivis masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan pebisnis lokal, politikus, tokoh agama dan organisasi sosial yang dilaksanakan secara reguler, untuk mendiskusikan permasalahan dan kegiatan lokal dan membangun jaringan antar pelaku secara berkelanjutan Manifesto ini mengingatkan bahwa keberadaan forum ini tidak baik apabila mengubah fokus diskusi menjadi pelaksana, dimana hal tersebut sebaiknya dipercayakan kepada organisasi pembangunan tertentu.

2.8. Pendekatan Appreciative Inquiry


2.8.1. Pengertian Appreciative Inquiry, disingkat AI, adalah sebuah pendekatan yang memandang manusia dan komunitas sebagai sebuah kapasitas kekuatan yang tak terbatas. Pendekatan ini berpijak pada asumsi bahwa selalu terdapat berbagai cerita sukses, bakat, keahlian dan sumber daya di dalam masyarakat yang dapat ditemukan dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Refleksi diri atas relasi sosial yang bermakna dan penciptaan impian bersama bersifat fundamental dan mendasar dalam pendekatan ini. Refleksi mempunyai peran penting dalam mewujudkan

BAPEDA KOTA DEPOK

65

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipasi yang

aktif

komunitas pada

dalam

memberdayakan bahwa semua

dirinya orang

sendiri. mampu

Fasilitasi dilakukan dalam rangka melakukan pengorganisasian bersama didasarkan pandangan mengorganisasikan dirinya sendiri dan mampu memberikan kontribusi positif terhadap komunitasnya. Penggerak program justru berasal dari jaringan lokal dan akan terus berperan sebagai fasilitator dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan sosial di kemudian hari. Appreciative inquiry merupakan sebuah pendekatan yang sangat baru dalam khasanah pengembangan komunitas dan juga pengentasan kemiskinan di Indonesia. Bila pendekatan lama berbasis pada motif untuk keluar dari masalah, sementara pendekatan Appreciative inquiry terfokus pada pencarian kekuatan dan inti positif komunitas untuk membangun visi yang harus diraih bersama. Aktivitas diawali dengan mengapresiasi apa yang terbaik dalam komunitas, penciptaan impian komunitas, perancangan tindakan, dan melakukan tindakan yang berbasis pada inti positif. Efek dari Appreciative inquiry adalah masyarakat yang percaya diri, antusias dan semangat positif untuk selalu mewujudkan impian bersama. Sebagaimana efek yang muncul ketika Appreciative Inquiry diterapkan di Srilanka, Nepal, Cina dan Afrika (Mc Oddel, 2002; Charles Elliott, 2001). Berbagai untuk pengalaman dalam penerapan kecil appreciative yang inquiry ini dalam

menemukan bahwa penerapannya melahirkan sebuah semangat positif melakukan langkah-langkah bermakna mewujudkan kondisi masa depan yang diidamkan.

BAPEDA KOTA DEPOK

66

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8.2. Langkah Dasar Langkah dasar Appreciative Inquiry adalah siklus 5-D yaitu Definition, Discovery, Dream, Design dan Destiny (Cooperrider dan Whitney, 2001 & der Haar dan Hosking, 2004). a. Definition. Langkah awal Appreciative Inquiry adalah memilih sebuah topik yang akan dieksplorasi (affirmative topic choice). Topik ini menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud. b. Discovery. Tujuan utamanya adalah mengungkap dan

mengapresiasikan sesuatu yang memberi kehidupan dan energi kepada orang, pekerjaan dan komunitasnya. Fokus tahapan ini adalah pada cerita positif yang merefleksikan pengalaman puncak baik pada level individu maupun level masyarakat. c. Dream. Tujuannya adalah berimajinasi (envision) tentang masyarakat yang ideal di masa depan. Informasi pada tahap sebelumnya dijadikan pijakan untuk berspekulasi mengenai kemungkinan masa depan masyarakat. d. Design. Tujuannya adalah menciptakan atau mendesain struktur masyarakat, proses dan hubungan yang mendukung mimpi yang ada. Aktivitas utamanya adalah menciptakan proposisi yang provokatif (provocative propositions) secara kolaboratif. e. Destiny. Tujuannya adalah menguatkan kapasitas dukungan terhadap keseluruhan menciptakan Tahapan ini masyarakat proses untuk membangun dan anggota harapan, untuk dan belajar, menyesuaikan setiap berimprovisasi. melakukan

memberdayakan

tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai mimpi atau visi masa depan masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

67

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8.3. Mengapa Appreciative Inquiry Berhasil? Appreciative Inquiry dapat berjalan karena pendekatan ini

memperlakukan manusia sebagai manusia, dan bukan sebagai kumpulan angka (misalnya sebagai persentasi jumlah orang miskin) dan bukan pula sebagai kumpulan pembuat masalah. Manusia menjalin hubungan dengan orang lain dan menciptakan identitas dan pengetahuannya dalam kesalinghubungan dengan orang lain. Manusia memiliki rasa ingin tahu, suka menceritakan dan mendengarkan berbagai kisah. Manusia menyampaikan berbagai nilai, kepercayaan, dan kearifannya lewat kisahkisah yang dituturkan. Manusia suka belajar dan menggunakan apa yang dipelajari untuk meraih yang terbaik. Dan manusia merasa senang ketika melakukan sesuatu dengan baik di hadapan orang-orang yang disayangi dan dihormati. Appreciative Inquiry memungkinkan para pemimpin untuk menciptakan berbagai organisasi manusia yang alami yakni sarat-pengetahuan, berbasiskelebihan, serta mampu melakukan pembelajaran organisasi secara adaptif (Whitney, D & Trosten-Bloom, A. 2003). Hasil wawancara yang dilakukan oleh Whitney dan Tristen-Bloom (2003) menunjukkan bahwa Appreciative Inquiry dapat berhasil karena: a. Appreciative Inquiry membangun hubungan yang memungkinkan orang untuk dikenal karena hubungannya dengan orang lain, daripada karena peran yang dibawakannya. b. Appreciative Inquiry menciptakan kesempatan bagi setiap orang untuk didengarkan. c. Appreciative Inquiry memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bermimpi dan berbagi impian. d. Appreciative Inquiry menciptakan lingkungan tempat setiap orang dapat memilih cara dalam memberikan kontribusi. e. Appreciative Inquiry memberikan keleluasaan dan dukungan untuk bertindak.

BAPEDA KOTA DEPOK

68

Kajian Perencanaan Partisipatif

f. Appreciative Inquiry mendorong dan memungkinkan orang bersikap positif. 2.8.4. Kajian dan Pendekatan secara Apresiatif (KPA) Dengan menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry, Pusat Kajian

Bina Swadaya (2007) memperkenalkan Model Kajian dan Pendekatan secara Apresiatif (KPA). Ini merupakan proses mengkaji bersama yang dilandasi oleh sikap mental berpikir positif dan terbukti sangat efektif untuk melakukan perubahan dan transformasi secara positif, baik dalam organisasi, lingkungan, maupun komunitas. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang telah dikenal selama ini yaitu pendekatan hadap masalah (problem posing) atau penyelesaian masalah (problem solving) dimana fokus perhatian dari pendampingan adalah membantu rakyat mengatasi masalah yang mereka hadapi. Upaya penyelesaian masalah ini diawali dengan identifikasi masalah yang diikuti dengan analisa dan perumusan rencana tindakan untuk mengatasi masalah. Tabel berikut menjelaskan perbedaan antara pendekatan pemecahan masalah dengan PKA. Tabel 10. Perbedaan Pendekatan Problem Solving dengan KPA KPA
Menemukan apa yang baik dan positif dari rakyat Merumuskan apa yang ingin diwujudkan rakyat ke depan Merancang langkah-langkah untuk mewujudkan keinginan / harapan rakyat Mewujudkan keinginan / harapan dengan mendampingi rakyat melaksanakan kegiatan yang sesuai.

Problem Solving
Menemukan masalah apa yang dihadapi rakyat Menganalisis masalah untuk menemukan akar masalah Merancang langkah-langkah untuk menjawab akar masalah Melaksanakan kegiatan yang sesuai

Sumber : Puska Bina Swadaya (2007).


BAPEDA KOTA DEPOK

69

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam pemberdayaan masyarakat, penerapan KPA dilakukan melalui tahapan mendefinisikan (define), menemukan (discover), mengimpikan (dream), merancang (design), dan mewujudkan (deliver). Mendefinisikan (define). Tahap mendefinisikan berkaitan erat dengan prinsip-prinsip. Tahap ini diawali dengan penentuan kelompok, bagaimana kelompok didefinisikan (berdasarkan geografis, kesamaan kepentingan, dll). Dalam tahap ini adalah penting untuk membangun pemahaman dan kesadaran terhadap pendekatan KPA bagi setiap anggota kelompok (kondisi pembelajaran yang diinginkan adalah: setiap orang aktif untuk belajar dan berkontribusi, saling menghormati perbedaan, penerimaan, kepercayaan, keterbukaan). Kelompok akan bekerja sesuai dengan tujuan dan arah yang telah ditetapkan Menemukan (discover). Pada tahap menemukan ini, setiap orang diberi kesempatan untuk membagikan (sharing) pengalaman-pengalaman terbaik yang pernah dicapai dan kapan terjadi, keunggulan-keunggulan dan prestasi-prestasi kelompok, dan sumber sumber kekuatan mereka. Mengimpikan (dream). Kelompok mendiskusikan apa yang ingin mereka wujudkan. Masyarakat dapat mengubah situasi yang dihadapi dengan situasi yang lebih baik, yaitu sesuatu yang mengimajinasikan

menggetarkan, suatu proses idealisasi. Kebutuhan imajinasi dan daya kreasi sangat penting ditumbuhkan pada tahap ini. Merancang (design). Fokus tahap rancangan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Tahap ini dapat disebut suatu konstruksi dari bangun sosial yang akan diciptakan. Kelompok menyusun strategi dan langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan jangka pendek dan panjang.

BAPEDA KOTA DEPOK

70

Kajian Perencanaan Partisipatif

Mewujudkan (deliver). Pada tahap ini kelompok merealisiasikan rencana aksi. Kelompok memobilisasi sumberdaya, mengembangkan hubunganhubungan baru, memperoleh ketrampilan-ketrampilan baru dan mengimplementasikan rencana aksi mereka.

BAPEDA KOTA DEPOK

71

Kajian Perencanaan Partisipatif

3.1. Visi Pembangunan Daerah


Analisis kondisi umum daerah saat ini dan prediksi kondisi umum ke depan mengemukakan hal-hal berikut : 1. Kondisi geomorfologi dan lingkungan hidup Kota Depok saat ini sudah mengalami tekanan yang sangat berat akibat pertumbuhan penduduk dan persaingan untuk mendapatkan sumberdaya lahan, sumber daya air dan sumber daya lainnya. Diprediksikan dimasa depan tekanan terhadap lingkungan hidup akan semakin berat, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Kota Depok. 2. Kondisi demografi Kota Depok saat ini dihadapkan dengan jumlah permasalahan kepadatan penduduk, jumlah angkatan kerja,

pencari kerja dan sebagainya. Prediksi kondisi demografi dimasa mendatang mengindikasikan adanya peningkatan intensitas terhadap permasalahan-permasalahan demografis tersebut. 3. Kondisi ekonomi dan sumber daya alam Kota Depok saat ini sudah mengarah pada struktur ekonomi tertentu, yaitu struktur ekonomi modern yang bertumpu pada sektor tersier dan didukung sektor Sekunder. Dimasa depan diprediksikan bahwa tumpuan utama ekonomi Kota Depok akan bertumpu ke sektor tersier.

BAPEDA KOTA DEPOK

72

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Kondisi sosial budaya Kota Depok saat ini sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan dengan latarbelakang beragam tingkat intelektualitas. Dimasa depan, kondisi sosial budaya yang ada akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. 5. Kondisi sarana dan prasarana Kota Depok saat ini cukup baik dalam segi kualitas, walaupun masih kurang dalam segi rasio kuantitas per penduduk, terutama rasio rumah sakit umum per penduduk. Di masa depan diprediksikan rasio jumlah sarana dan prasarana per penduduk di Kota Depok dan prasarana. 6. Kondisi pemerintahan Kota Depok saat ini semakin dituntut untuk meningkatkan kinerja pelayanan yang berkualitas. Diprediksikan dimasa depan tuntutan terhadap kinerja pemerintahan akan semakin tinggi dengan kinerja pelayanan yang diharapkan adalah pelayanan prima. Berdasarkan kondisi diatas, tantangan dan prediksi yang akan dihadapi dalam 20 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal dasar berupa Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Sosial, Budaya dan Ekonomi yang dimiliki, maka Visi Pembangunan Kota Depok 2006-2025 adalah : DEPOK KOTA NIAGA DAN JASA, YANG RELIGIUS DAN tahun akan semakin kecil akibat tidak sebandingnya pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan jumlah sarana

BERWAWASAN LINGKUNGAN Visi pembangunan Kota Depok tahun 2006-2025 ini merupakan

komitmen politis yang mengarah pada pencapaian tujuan nasional seperti tertuang dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia dan tujuan pembangunan Provinsi Jawa Barat yang menetapkan Kota Depok sebagai

BAPEDA KOTA DEPOK

73

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan salah satu kawasan andalan/kegiatan utama berupa Jasa dan Sumberdaya Manusia. Sebagai gambaran kualitatif, Visi Kota Depok mengandung makna sebagai berikut : a. Kota Niaga dan Jasa Terwujudnya Kota Depok sebagai kota yang menjamin akses dan mobilitas kegiatan niaga dan jasa yang kompetitif, yang didukung oleh basis pendidikan dan potensi lokal. b. Kota Religius Terwujudnya masyarakat Depok yang menjalankan kewajiban agama bagi masing-masing pemeluknya, yang tercermin dalam peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kemulian dalam akhlak, moral dan etika. c. Kota Berwawasan Lingkungan Terwujudnya Depok sebagai kota yang memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dengan mengindahkan kelestarian dan kelangsungannya untuk generasi yang akan datang, yang tercermin dalam pemanfaatan ruang yang serasi antara untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi serta dan upaya konservasi, dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, peningkatan kenyamanan kota, terpelihara termanfaatkannya keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan. Dari penjelasan diatas, Visi Kota Depok mengarahkan kepada

masyarakat dan Pemerintah Daerah Kota Depok untuk fokus kepada bidang-bidang ekonomi yang menjadi tumpuan utama Kota Depok saat ini dan dimasa mendatang, dengan memperhatikan kenyamanan kegiatan lingkungan, kenyamanan mencari penghidupan, kenyamanan dalam memperoleh pendidikan, kenyamanan melaksanakan keagamaan, kenyamanan menggunakan sarana dan prasarana umum,

BAPEDA KOTA DEPOK

74

Kajian Perencanaan Partisipatif

serta

kenyamanan

dalam

memperoleh

pelayanan

dari

pemerintah

daerah.

3.2

Misi Pembangunan Daerah.

Dalam mewujudkan visi pembangunan daerah diatas, maka ditempuh melalui 5 (lima) misi pembangunan daerah sebagai berikut : 1. Mengelola perekonomian daerah secara fokus, efisien dan efektif, dengan 2. 3. mengutamakan perhatian kepada sektor-sektor yang memberikan nilai tambah dan pertumbuhan tertinggi. Memanfaatkan dan mengelola secara optimal seluruh potensi letak geografis sesuai dengan daya dukung lingkungan. Membangun sumberdaya manusia yang berdaya saing di lingkungan nasional dan internasional melalui peningkatan kualitas pendidikan, yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, hukum dan sosial budaya. 4. 5. Menyediakan sarana dan prasarana kota dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang. Menata sistem pemerintahan yang profesional, baik, bersih, transparan, demokratis, dan bertanggung jawab.

3.3. Kebijakan Umum


Mengeloa perekonomian daerah secara fokus, efisien dan efektif dengan mengutamakan perhatian kepada sektor-sektor yang memberikan nilai tambah dan pertumbuhan yang tinggi. 1. Pembangunan perekonomian diarahkan dalam rangka penguatan pereknomian lokal serta berorientasi dan berdaya saing regional dan

BAPEDA KOTA DEPOK

75

Kajian Perencanaan Partisipatif

global. Dalam kaitan ini, sektor sekunder dan tersier merupakan unggulan 2. atau motor penggerak yang perlu mendapat fokus perhatian, yang didukung oleh sektor primer unggulan. Perekonomian dikembnagkan dalam rangka perluasan kesempatan berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapaianya penanggulangan kemiskinan 3. 4. Peningkatan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi daerah. Peningkatan investasi daerah dengan mewujudkan iklim investasi yang menarik, dan meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan pendukung yang memadai. 5. Peningkatan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator, regulator dan katalisator pembangunan ekonomi yang efisien dan efektif terutama dalam pelayanan publik, penciptaan lingkungan usaha yang kondusif dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar. Memanfaatkan dan mengelola secara optimal potensi letak

geografis sesuai dengan daya dukung lingkugan. 1. Memanfaatkan letak geografis yang berdekatan dengan ibukota negara sebagai pasar produk ekonomi yang terbuka luas, serta peluang berusaha/ekonomi sebagai limpahan kegiatan ekonomi ibukota. 2. Menangkap peluang sebagai bagian dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yaitu sebagai sabagai dengan pintu pusat gerbang jasa, pusat ke kawasan-kawasan simpul atau beberapa internasional, transportasi propinsi. 3. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kegiatan ekonomi diarahkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara rasional, pengolahan,

sekala

pelayanan

nasional

BAPEDA KOTA DEPOK

76

Kajian Perencanaan Partisipatif

optimal

dan

bertanggungjawab,

yaitu

dengan

menjaga

dan

melestarikan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya air dan mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Membangun lingkungan sumberdaya nasional dan manusia yang berdaya melalui saing di

internasional

peningkatan

kualitas pendidikan, yang dilandasi oleh nilai-nilai keagaman, hukum dan sosial budaya. 1. Pembangunan sumberdaya manusia yang berdaya saing diarahkan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pembangunan pendidikan, kesehatan dan agama yang bermutu, pengendalian 2. jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, pemberdayaan perempuan dan anak serta pemuda. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang berharkat, berakhlak mulia, disesuaikan dengan pembangunan sosial ekonomi masa depan dan perkembangan iptek sehingga bisa besaing dalam era global. 3. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang guna mendapatkan kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai prasyarat dalam mewujudkan produktivitas dan kemampuan daya saing. Penekanan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif. 4. Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja,

menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan spiritual.

BAPEDA KOTA DEPOK

77

Kajian Perencanaan Partisipatif

5.

Pengembangan

budaya

diarahkan

untuk

mewujudkan

budaya

kreatif, inovatif dan produktif yang berorientasi iptek sehingga mampu bersaing secara regional maupun global. Selain itu juga penting diiringi dengan pembangunan kesenian, kebudayaan dan pembentukan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar, unik, modern dan unggul, sehingga tercipta keseimbangan material dan emosional. 6. Pembangunan hukum terutama diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang berkesadaran dan berbudaya hukum tinggi, menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis, serta penyusunan produk hukum yang dinamis dengan memperhatikan pengaruh globalisasi. Menyediakan sarana dan prasarana kota dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah. 1. Pembangunan sarana dan prasarana diarahkan untuk pembangunan sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, perdagangan, sumber daya 2. air, permukiman, energi dan kelistrikan serta sarana/prasarana pemerintahan. Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendudkung kegiatan ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan, dikembangkan melalui pendekatan struktur pengembangan ruang. Untuk wilayah itu, agar perlu tercapai dilakukan keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar wilayah, dan pembentukan peningkatan efisiensi dan aksesibilitas pergerakan lalu lintas jalan (melalui peningkatan manajemen transportasi, pembangunan jalan dan terminal dan lain-lain), integrasi berbagai moda angkutan, peningkatan pelayanan angkutan umum, peningkatan ketertiban

BAPEDA KOTA DEPOK

78

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan keselamatan lalu lintas, rencana pembangunan jalan dan terminal layanan lokal dan nasional. 3. Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan diarahkan untuk memenuhi pelayanan pendidikan dan kesehatan yang 4. bermutu, dengan mengarahkan terwujudnya kawasan pendidikan terpadu dan layanan kesehatan tingkat nasional. Pembangunan sarana dan prasarana perdagangan diarahkan untuk mewujudkan 5. pelayanan perdagangan yang berkualitas yang memiliki jangkauan pelayanan sub kota dan wilayah kota. Pembangunan sarana dan prasarana sumberdaya air ditunjukan untuk mewujudkan fungsi air sebagai sumberdaya sosial dan ekonomi sehingga dapat menjamin kebutuhan pokok hiidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pengembangan sistem 6. drainase yang baik, antara lain melalui partisipasi masyarakat dan kemitraan diantara pemangku kepentingan. Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman diarahkan untuk penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. 7. Pengembangan sarana dan prasarana energi dan kelistrikan diarahkan untuk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerataan pelayanan penerangan jalan umum, dan kegiatan ekonomi. 8. Pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan diarahkan untuk mendukung terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat. Menata sistem pemerintahan yang profesional, baik, bersih, transparan, demokratis dan bertanggungjawab. 1. Penataan sistem pemerintahan kualitas daerah diarahkan untuk

meningkatkan

penyelenggaraaan

administrasi

BAPEDA KOTA DEPOK

79

Kajian Perencanaan Partisipatif

pemerintahan, meningkatkan pelayanan dalam rangka keberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dan mengurangi serta mencegah penyalahgunaan kewenangan. 2. Peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan diarahkan untuk mengefektifkan fungsi-fungsi kelembagaan pemerintah, meningkatkan efektifitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pelayanan, menata dan meningkatkan kapasitas sumberdaya aparatur agar lebih profesional dan berorentasi kepada pelayanan. 3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat diarahkan untuk meningkatkan pelayanan dasar/umum dan pelayanan unggulan, serta peningkatan transparansi, peningkatan akses dan sebaran informasi.

BAPEDA KOTA DEPOK

80

Kajian Perencanaan Partisipatif

Terdapat beberapa faktor pendorong mengapa perencanaan partisipatif menjadi wacana penting dan merupakan agenda reformasi di banyak daerah. Pertama, secara paradigmatik diyakini bahwa perencanaan partisipatif adalah bentuk kongkret dari pelaksanaan desentralisasi administrasi pemerintahan Perencanaan dan dan prinsip-prinsip penganggaran tata pemerintahan adalah yang baik. nyata partisipatif bentuk

penerapan prinsip demokrasi dalam alokasi sumberdaya publik. Kedua, munculnya dukungan kerangka hukum yang memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur urusan daerahnya, termasuk di dalamnya urusan perencanaan dan pengalokasian anggaran. Inisiatif reformasi kebijakan perencanaan dan penganggaran daerah muncul sejak ditetapkannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Inisiatif tersebut kemudian menguat bersamaan dengan lahirnya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah. Keseluruhan peraturan tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menerapkan proses perencanaan dan penganggaran

BAPEDA KOTA DEPOK

81

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipatif, penyusunan anggaran berbasis kinerja, alokasi anggaran yang pro terhadap kepentingan orang miskin (pro-poor) dan responsif gender (gender budget responsiveness). Disamping itu, amandemen UUD 1945 telah memasukan aspek hak asasi manusia (HAM), dimana setiap warga negara memiliki sejumlah hak. Negara, dalam hal hal ini pemerintah, memiliki kewajiban untuk menfasilitasi agar hak-hak warga negara itu bisa terpenuhi. Dalam berbagai kegiatan pembangunan di berbagai tempat di Indonesia, aspek landasan konstitusional ini, yang seharusnya menjadi landasan moral dan menginspirasi berbagai pihak, terutama pihak pengelola negara, justru kerap kali dilupakan. Dalam UUD 1945 inilah tersirat semangat para pendiri republik ini untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

4.1. Undang-Undang Dasar 1945


Jika menggunakan definisi pembangunan sebagai proses pemenuhan hak-hak warga negara, maka UUD 1945 hasil empat kali amandemen secara tegas merinci hak-hak warga negara yang menjadi kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk menfasilitasi agar hak-hak itu bisa terpenuhi. Tabel 11. Hak-Hak Warga Negara berdasarkan UUD 1945

Pasal Pasal 27 ayat 2 Pasal 27 ayat 3 Pasal 28A Pasal 28B ayat 1 Pasal 28B ayat 2

Jenis hak Tiap tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

BAPEDA KOTA DEPOK

82

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pasal 28C ayat 1

Pasal 28C ayat 2 Pasal 28D ayat 1 Pasal 28D ayat 2 Pasal 28D ayat 3 Pasal 28E ayat 1

Pasal 28E ayat 2 Pasal 28E ayat 3 Pasal 28F

Pasal 28G ayat 1

Pasal 28G ayat 2 Pasal 28H ayat 1 Pasal 28H ayat 2 Pasal 28H ayat 3

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 83

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pasal 28H ayat 4 Pasal 28I ayat 1

Pasal 28I ayat 2 Pasal 28I ayat 3 Pasal 28I ayat 4 Pasal 28I ayat 5

Pasal 30 ayat 1 Pasal 31 ayat 1 Pasal 34 ayat 1

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundanganundangan. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara.

Tabel 12. Kewajiban Warga Negara Menurut UUD 1945

Pasal 27 ayat 3 Pasal 28J ayat 1 Pasal 28J ayat 2

Pasal 30 ayat1 Pasal 31 ayat 2

Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

BAPEDA KOTA DEPOK

84

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 13. Tugas, Tanggung Jawab, dan Kewajiban Negara / Pemerintah

Pasal 29 ayat 2 Pasal 31 ayat 3

Pasal 31 ayat 4

Pasal 31 ayat 5 Pasal 31 ayat 1 Pasal 31 ayat 2 Pasal 34 ayat 2 Pasal 34 ayat 3 Pasal 31 ayat 2

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhanpenyelenggaraan pendidikan nasional. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilainilai budayanya. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Baik dari segi proses maupun output sebuah perencanaan, landasan konstitusional itu nampaknya harus selalu dijadikan acuan utama, karena itulah aturan main dan kesepakatan kita dalam berbangsa dan bernegara.

4.2. Undang-Undang No.25 Tahun 2004


Berdasarkan Undang-Undang rencana yaitu: No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Nasional, setiap Kota / Kabupaten perlu memiliki dokumen

BAPEDA KOTA DEPOK

85

Kajian Perencanaan Partisipatif

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD. 4. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). 5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). 4.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional (Pasal 5 ayat 1) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah. (Pasal 10 ayat 2). Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dengan mengikutsertakan masyarakat (Pasal 11 ayat 1). Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (Pasal 11 ayat 3). Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah (Pasal 12 ayat 2) RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 13).

4.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah.

RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.

BAPEDA KOTA DEPOK

86

Kajian Perencanaan Partisipatif

RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, program Perangkat strategi Satuan pembangunan Kerja dan kerja Daerah, kebijakan lintas umum, Satuan dan dan Kerja Perangkat program dalam Daerah,

Daerah,

kewilayahan regulasi

disertai

dengan kerangka

rencana-rencana

kerangka

pendanaan yang bersifat indikatif (Pasal 7 ayat 2). Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah (Pasal 14 ayat 2). Kepala Bappeda menyusun rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD dan berpedoman pada RPJP Daerah (Pasal 15 ayat 4). Rancangan RPJM Daerah menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah. (Pasal 16 ayat 1) Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dan mengikutsertakan masyarakat (Pasal 16 ayat 2). Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (Pasal 16 ayat 4). Musrenbang Jangka Menengah Daerah dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. (Pasal 17 ayat 2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah (Pasal 18 ayat 2) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik (Pasal 19 ayat 3).

BAPEDA KOTA DEPOK

87

Kajian Perencanaan Partisipatif

4.2.3. Rencana Kerja Tahunan Daerah, disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RKPD sebagai penjabaran dari RPJM Daerah (Pasal 20 ayat 2) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (Pasal 21 ayat 4) Rancangan RKPD menjadi bahan bagi Musrenbang (Pasal 22 ayat 1). Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan (Pasal 22 ayat 2). Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD (Pasal 22 ayat 4). Musrenbang penyusunan RKPD dilaksanakan paling lambat bulan Maret (Pasal 23 ayat 2). Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang (Pasal 24 ayat 2) RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD (Pasal 25 ayat 2). RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Pasal 26 ayat 2).

4.2.4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) Renstra-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.

BAPEDA KOTA DEPOK

88

Kajian Perencanaan Partisipatif

Renstra-SKPD

memuat

visi,

misi,

tujuan,

strategi,

kebijakan,

program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif (Pasal 7 ayat 1). Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah (Pasal 15 ayat 3) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah setelah disesuaikan dengan RPJM Daerah (Pasal 19 ayat 4) 4.2.5. Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat (Pasal 7 ayat 2). Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan Renja-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKPD dan berpedoman pada Renstra-SKPD (Pasal 21 ayat 3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan pelaksanaan Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah (Pasal 27 ayat 2). Dari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal UU keharusan bagi penyelenggara negara masyarakat dalam proses penyusunan rencana. ini, nampak adanya mengikutsertakan untuk

BAPEDA KOTA DEPOK

89

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dari ketentuan Pasal 27 ayat 2 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kepada setiap Daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur sendiri tentang meskipun tata cara pengikutsertaan keharusan masyarakat tersebut. Daerah Bahkan, untuk tidak ada bagi Pemerintah

mengikutsertakan masyarakat dalam dan Renja-SKPD, namun jika ada

proses Musrenbang penyusunan kesepakatan di daerah untuk

RKPD (Pasal 22 ayat 2), dan dalam proses penyusunan Renstra-SKPD menciptakan proses yang lebih partisipatif, maka hal itu dapat dilakukan.

4.3. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Dan Menteri Dalam Negeri
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 24 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Namun karena PP tersebut belum ada, maka sejak tahun 2005 dikeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang pada tahun yang bersangkutan. Pada tahun 2005 diterbitkan Surat Edaran Bersama kedua Menteri tersebut No: 0259/M.PPN/I/2005 050/166/SJ tanggal 20 Januari 2005 dan pada tahun 2007 diterbitkan Surat Edaran Bersama No: 0008/M.PPN/01/2007 050/264A/SJ tanggal 12 Januari 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007. Jika mengacu pada pada SEB tersebut, pelaksanaan Musrenbang 2007 berkaitan dengan kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyusun rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2008 sebagai
BAPEDA KOTA DEPOK

90

Kajian Perencanaan Partisipatif

landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2008. SEB itu mengatur waktu pelaksanaan Musrenbang Desa/kelurahan pada bulan Januari, Musrenbang Kecamatan pada bulan Pebruari dan Musrenbang Kota pada bulan Maret. Sistematika Pedoman itu adalah: I. II. Musrenbang Desa / Kelurahan Tahun 2007 Musrenbang Kecamatan

III. Forum Satuan kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) IV. Musrenbang Kota / Kabupaten V. Paska Musrenbang Kabupaten / Kota.

Masing-masing bagian itu, kecuali bagian V, berisi penjelasan yang rinci dengan muatan materi sebagai berikut: A. Pengertian B. Tujuan C. Masukan D. Mekanisme 1. Tahap Persiapan 2. Tahap Pelaksanaan E. Keluaran F. Peserta G. Narasumber H. Tugas Tim Penyelenggara I. Tugas Delegasi Desa / Kelurahan

BAPEDA KOTA DEPOK

91

Kajian Perencanaan Partisipatif

4.4. Surat Mendagri No: 414.2/2435/Sj (2005)


Surat Mendagri No: 414.2/2435/SJ tertanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Umum Pengelolaan pembangunan Partisipatif. Surat yang ditujukan kepada Gubernur, Ketua DPRD Provinsi, Bupati / Walikota dan Ketua DPRD Kabupaten / Kota. Secara spesifik, Pedoman ini hanya ditujukan untuk penguatan pengelolaan pembangunan partisipatif di desa / kelurahan dan kecamatan. Semangat dari Pedoman ini adalah ingin menjadikan paradigma

pemberdayaan dalam pengelolaan pembangunan. Secara terbuka diakui bahwa: Pengelolaan pembangunan yang ada saat ini kurang bisa menjawab tuntutan pemberdayaan. Hal ini dapat dilihat dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian belum melibatkan peran serta masyarakat secara aktif, sehingga secara sistem belum mencerminkan pembangunan partisipatif yang berbasis masyarakat. Untuk dapat melaksanakan pembangunan yang partisipatif, Pedoman ini juga mensyaratkan: Pada tataran pemerintah perlu ditambahkan perilaku kepemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggung jawab, dan demokratis (good governance). Sedangkan pada tataran kemasyarakatan dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang partisipasi warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama. Tujuan dari Pedoman ini adalah: 1. Memberikan acuan terhadap para pemeran pembangunan dalam rangka melakukan fasilitasi proses pembangunan partisipatif. 2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di yang desa / kelurahan. 3. Membangun kemitraan melalui jejaring kerja lintas sektor terkait. desa / kelurahan dalam pengelolaan pembangunan partisipatif sesuai potensi

BAPEDA KOTA DEPOK

92

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Penguatan partisipatif.

kemampuan

masyarakatdalam

rangka

meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan ketrampilan dalam melakukan pembangunan

Pedoman ini menyarankan beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengelolaan pembangunan partisipatif yaitu: (1) Metode Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD), (2) Metode Partisipatif dalam Identifikasi Kebutuhan melalui Pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA), (3) Metode Partisipasi dalam perencanaan Sosial Participatory Rural Appraisal (PRA), (4) Metoda Focus Group Discusion (Kelompok Diskusi Terarah), dan (5) Metode ZOPP (Ziel Oriented Project Planning). Prinsip-prinsip pembangunan partisipatif yang dimuat dalam Pedoman ini adalah: 1. Pemberdayaan (empowerment), yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan 2. Keterbukaan dan kemandirian masyarakat setiap dalam dan kehidupan tahapan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (transparancy), yaitu proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan secara terbuka yang bisa diakses seluruh masyarakat. 3. Akuntabilitas (accountability), yaitu proses dan tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara benar, yaitu pembangunan baik kepada proses dapat dipertanggungjawabkan 4. Keberlanjutan pemerintah tahapan

maupun warga masyarakat. (sustainability), setiap dan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan harus berjalan secara berkelanjutan. 5. Partisipasi (participatory), yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.

BAPEDA KOTA DEPOK

93

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Efisien dan Efektif, yaitu pelaksanaan dan pemanfaatan kegiatan sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia dan pengelolaan sesuai dengan perencanaan. 7. Aspirasi, yaitu pengelolaan kegiatan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhannya. Menurut Pedoman ini, hasil dan manfaat yang diharapkan dari

pengelolaan pembangunan yang partisipatif adalah: 1. Terwujudnya peningkatan partisipasi masyarakat dalam aktifitas kajian keadaan dusun/rukun dan warga desa/kelurahan,pemilihan serta pengembangan tindakan untuk mengatasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, dan penggalian, pemanfaatan pelestarian program menuju masyarakatyang madani,mandiri, dan sejahtera. 2. Terwujudnya peningkatan modal sosial, keberdayaan, manajemen penguatan dukungan lembaga kemasyarakatan di desa / kelurahan. 3. Terwujudnya peningkatan produktivitas ekonomi dalambentuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat,perluasan kesempatan kerja serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara merata melalui pengembangan potensi lokal. 4. Terwujudnya penguatan lembaga kemasyarakatan di desa/kelurahan sehingga berperan secara aktif dalam pengelolaan pembangunan partisipatif. 5. Tumbuhnya kecamatan sebagai wilayah pengembangan. 6. Terwujudnya pengelolaan pembangunan yang partisipatif 7. Terwujudnya proses pembelajaran bagi masyarakatdan aparat pemerintah dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

4.5. Keputusan Walikota Depok No: 02 Tahun 2004


Sebelum diterbitkannya Surat Edaran Bersama Menteri Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri

BAPEDA KOTA DEPOK

94

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam

Negeri

pada

tahun

2005 di

yang tingkat Forum

mengatur Kota

tentang

Teknis

Penyelenggaraan No: 02 Tahun

Musrenbang, 2004

Depok,

mekanisme Perencanaan

perencanaan partisipatif ditetapkan melalui tentang Pembangunan (FKPP). FKPP adalah media secara guna untuk menampung dengan

Keputusan Walikota Depok Komunikasi

aspirasi

masyarakat para prioritas

yang pelaku

dilaksanakan pembangunan 6).

partisipatif,

melibatkan

merumuskan

indikasi

kegiatan

pembangunan daerah untuk satu tahun anggaran tertentu (Pasal 1 ayat

FKPP dilaksanakan secara berjenjang dengan nama FKPP Kelurahan, FKPP Kecamatan dan FKPP Kota (Pasal 3). Sedangkan pelaksanaan FKPP dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan meliputi: Sosialisasi Pembangunan, Pemantapan Perencanaan Partisipatif, FKPP Kelurahan, FKPP Kecamatan, Diskusi Terfokus Bidang Kewenangan, Survey Teknis Perencanaan, Diskusi Terfokus Antar Bidang Kewenangan Terkait, Kompilasi dan Restrukturisasi Program, serta FKPP Kota (Pasal 5 ayat 1). Tujuan dari dibentuknya FKPP adalah untuk: (a) meningkatkan

partisipasi seluruh pelaku pembangunan, (b) meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan, (c) meningkatkan kualitas pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Pasal 7). Sedangkan fungsi FKPP adalah: (a) pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan yang melibatkan para pelaku pembangunan, dan (b) peningkatan kualitas pengelolaan pembangunan (Pasal 8). Keputusan Walikota ini juga mengatur penanggung jawab untuk masingmasing tahapan, yaitu: (a) Lurah untuk FKPP tingkat Kelurahan, (b) Camat untuk FKPP tingkatKecamatan, dan (c) Walikota untuk FKPP tingkat Kota (Pasal 9). Sedangkan penanggung jawab tahapan lainnya

BAPEDA KOTA DEPOK

95

Kajian Perencanaan Partisipatif

yang mendukung FKPP adalah: (a) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk Sosialisasi Pembangunan, Pemantapan Perencanaan Partisipatif, Survey Teknis Perencanaan, Diskusi Terfokus Antar Bidang Kewenangan Terkait, Kompilasi dan Restrukturisasi Program, dan (b) Kepala Unit Kerja Perangkat Darah untuk Diskusi Terfokus Bidang Kewenangan. Pada Lampiran Surat Keputusan Walikota ini dipaparkan mekanisme dari setiap tahapan dan memuat: (1) tujuan, (2) pihak yang terlibat, (3) materi, (4) mekanisme, serta (5) waktu dan tempat.

BAPEDA KOTA DEPOK

96

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tolok ukur yang akan digunakan untuk melakukan penilaian evaluatif terhadap proses perencanaan partisipatif di Kota Depok adalah: (a) tolok ukur peraturan perundang-undangan untuk melihat seberapa taat proses yang terjadi dikaitkan dengan aturan yang ada, (b) tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi untuk melihat pada level mana derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok, dan (c) tolok ukur pengembangan modal sosial untuk melihat sejauh mana pelaksanaan proses perencanaan partisipatif dikaitkan dengan pengembangan modal sosial.

5.1. Tolok ukur peraturan perundangan dan juknis (petunjuk teknis).


Tolok ukur peraturan perundang-undangan termasuk terhadap petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dimaksudkan untuk mengetahui seberapa sesuai pelaksanaan proses perencanaan partisipatif yang ada di Kota Depok sesuai dengan aturan atau petunjuk teknis yang ada. Setidaknya terdapat tiga aturan yang ada, masing-masing sebuah UU yaitu UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sebuah Surat Edaran Bersama (SEB), yaitu SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang, serta Keputusan Walikota Depok No. 2 Tahun 2004 tentang FKPP. Kategori evaluasinya adalah sesuai dan belum sesuai.
BAPEDA KOTA DEPOK

97

Kajian Perencanaan Partisipatif

5.2. Tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi


Tolok ukur tipologi partisipasi adalah untuk mengetahui derajat

partisipasi dari proses perencanaan yang dilakukan di Kota Depok telah berada pada jejang / tangga partisipassi yang mana. Tipologi yang digunakan adalah tipologi partisipasi yang dikemukakan oleh Sherry Arnstein (1969), seorang mantan birokrat. Pilihan terhadap tipologi Arnstein ini adalah karena kesederhanaan konsepnya, sehingga relatif mudah untuk dipahami, serta telah menggambarkan derajat partisipasi yang ada dalam proses perencanaan di lingkungan pemerintahan. Arnstein adalah penasehat utama tentang partisipasi warga pada Departemen pengembangan Perumahan dan Perkotaan Amerika Serikat, ketika Presiden Amerika Lyndon Johnson memulai Program Kota Model pada tahun 1966. Dalam berbagai kepustakaan terakhir tentang pengembangan partisipasi warga, seperti dalam buku Mewujudkan partisipasi; 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21 terbitan The British Council, tipologi Arsntein ini yang digunakan.

5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial


Tolok ukur kontribusi proses perencanaan terhadap pengembangan modal sosial merupakan langkah awal untuk memasukan aspek pengembangan modal sosial dalam setiap proses pembangunan. Itu artinya, setiap aktivitas yang dilakukan, terutama oleh pemerintah, dan menggunakan dana publik, perlu mempertimbangkan aspek memupuk modal sosial ini. Dalam banyak kasus, terdapat banyak kegiatan pemerintah yang didanai oleh anggaran publik yang justru mengikis modal sosial yang ada. Meskipun aspek modal sosial ini memiliki banyak dimensi, namun aspek kepercayaan (saling percaya) merupakan faktor yang paling menentukan dalam menentukan tinggi rendahnya modal sosial. Artinya jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
BAPEDA KOTA DEPOK

98

Kajian Perencanaan Partisipatif

menambah kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan sebalikya, maka itu artinya kegiatan itu memberikan kontribusi positif pada pembentukan modal sosial. Derajat kontribusi positif dapat bervariasi dari rendah, sedang, dan tinggi. mengurangi kepercayaan Sebaliknya jika kegiatan itu malah kepada pemerintah, maka masyarakat

kontribusi kegiatan itu pada pembentukan modal sosial bersifat negatif. Sedangkan jika kegiatan itu tidak mengubah sama sekali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, maka kontribusi kegiatan itu terhadap pembentukan modal sosial bersifat netral. Pendekatan ini dimaksudkan agar setiap perencana dan pelaksana kegiatan pembangunan di Kota Depok ke depan, sosial ini. perlu senantiasa mempertimbangkan aspek modal

5.4. Tinjauan Evaluatif


Berdasarkan ketiga tolok ukur tersebut di atas, maka evaluasi terhadap proses perencanaan di Kota Depok dapat dilihat pada Tabel Tabel 14. Tinjauan Evaluatif Proses Perencanaan di Kota Depok Peraturan Perundang-undangan / Kebijakan I. UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 1. Penyusunan RPJP Musrenbang Penyusunan RPJP yang melibatkan masyarakat (Pasal 11 ayat 1) No. Pelaksanaan di Kota Depok Catatan Evaluatif

Pemerintah menyiapkan draft RPJP dan dibahas dalam lokakarya stakeholders. Pendapat stakeholders hanya dianggap sebagai masukan.

2. Penyusunan RPJM Musrenbang Penyusunan RPJM yang melibatkan masyarakat (Pasal 16 ayat 2)

Pemerintah menyiapkan draft RPJM dan dibahas dalam lokakarya stakeholders. Pendapat stakeholders hanya dianggap sebagai masukan.

Sesuai dengan aturan Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi pada modal sosial: Positif Rendah Sesuai dengan aturan Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi pada modal sosial: Positif Rendah

BAPEDA KOTA DEPOK

99

Kajian Perencanaan Partisipatif

3. Penyusunan RKPD Musrenbang Penyusunan RKPD hanya melibatkan unsur-unsur penyelenggara pemerintahan (Pasal 22 ayat 2) 4. Penyusunan Renstra-SKPD Tidak ada ketentuan pelibatan masyarakat

Pemerintah kota menyiapkan RKPD dan dibahas oleh unsur-unsur pemerintah.

Masing-masing SKPD telah memiliki Renstra, penyusunannya tanpa keterlibatan masyarakat

5. Penyusunan Renja-SKPD Tidak ada ketentuan pelibatan masyarakat

Masing-masing SKPD menyusun Renja-SKPD tanpa melibatkan masyarakat

6. Perda tentang Tata Cara Penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Pelaksanaan Musrenbang Daerah (Pasal 27 ayat 2). II. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri 1. Musrenbang Kelurahan Masukan dari Kelurahan - Daftar prioritas masalah RW dan kelompok-kelompok masyarakat - Daftar permasalahan kelurahan seperti kerawanan, kemiskinan, pengangguran - Daftar masalah dan usulan kegiatan prioritas kelurahan - Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah kelurahan - Hasil evaluasi kegiatan pembangunan kelurahan tahun sebelumnya Masukan dari Kecamatan / Kota - Hasil evaluasi pemerintah kota dan kecamatan - Informasi dari pemerintah Kota tentang indikasi jumlah alokasi
BAPEDA KOTA DEPOK

Belum ada Perda tentang Tata Cara Penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, RenjaSKPD dan Pelaksanaan Musrenbang Daerah.

Sesuai dengan aturan Derajat Partisipasi: Menginformasikan Kontribusi pada modal sosial: Netral Sesuai dengan aturan Derajat partisipasi: Menginformasikan Kontribusi pada modal sosial: Netral Sesuai dengan aturan Derajat partisipasi: Menginformasikan Kontribusi pada modal sosial: Netral Belum sesuai dengan aturan

Masukan dari kelurahan: - Daftar prioritas dari RW umumnya belum ada - Belum ada dokumen Rencana Pembangunan Jangka menengah (RPJM) Kelurahan - Hasil evaluasi belum dipaparkan

Kesesuaian dengan Jukius : Belum sepenuhnya sesuai dengan Juknis Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi terhadap modal sosial: Negatif sampai Netral

Masukan dari Kecamatan - Pemberian informasi dari kecamatan dan kota belum dilaksanakan

100

Kajian Perencanaan Partisipatif

dana kelurahan - Kegiatan prioritas pembangunan daerah tahun mendatang Mekanisme - Tahap Persiapan (penetapan tim fasilitator musrenbang, musyawarah di RW dan kelompok-kelompok masyarakat, pengumuman terbuka dan pendaftaran) - Tahap pelaksanaan (pemaparan camat, pemaparan lurah, pembahasan dan penetapan prioritas kegiatan, pemisahan kegiatan yang diselesaikan di kelurahan dan yang akan menjadi tanggung jawab SKPD, penetapan perwakilan ke musrenbang kecamatan. Keluaran - Dokumen Rencana Kerja Pembangunan Kelurahan (form 1.5) yang berisi prioritas kegiatan pembangunan skala desa (form 1.1. dan 1.2) dan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan melalui SKPD (form 1.3) - Berita Acara dan Daftar nama delegasi ke musrenbang kecamatan. Peserta Peserta adalah perwakilan komponen masyarakat (individu atau kelompok): ketua RT/RW, tokoh agama, wakil kelompok perempuan, wakil kelompokpemuda, organisasi masyarakat, pengusaha, kelompok tani, komite sekolah dll. 2. Musrenbang Kecamatan Masukan dari Kelurahan - Dokumen Rencana Kerja Pembangunan Tahunan dari
BAPEDA KOTA DEPOK

Mekanisme: - Musrenbang di RW dan kelompok masyarakat belum dilaksanakan - Pengumuman terbuka dan pendaftaran terbuka belum dilaksanakan

Keluaran: - Sesuai dengan Juknis

Peserta: - Belum sepenuhnya mewakili kelompokkelompok yang ada di kelurahan

Masukan dari kelurahan - Dokumen RKPT dari masing-masing kelurahan

Kesesuaian dengan Jukius: Belum sepenuhnya sesuai dengan Juknis

101

Kajian Perencanaan Partisipatif

masing-masing kelurahan - Daftar nama delegasi dari kelurahan dan wakilkelompok fungsional / organisasi sosial kemasyarakatan, koperasi, LSM yang bekerja di kecamatan. Masukan dari Kecamatan / Kota - Kegiatan prioritas pembangunan daerah tahun mendatang yang dirinci berdasarkan SKPD - Penjelasan nama dan jumlah Forum SKPD dan Forum Gabungan SKPD Mekanisme - Tahap Persiapan (penetapan Tim Penyelenggara Musrenbang Kecamatan, pengumuman terbuka dan pendaftaran) - Tahap pelaksanaan (pemaparan camat, pemaparan kepala cabang SKPD setempat atau pejabat SKPD Kota, pemaparan Tim Penyelenggara Musrenbang, Verifikasi dari delegasi kelurahan, kesepakatan kegiatan prioritas pembangunan kecamatan berdasarkan masing-masing SKPD, penetapan perwakilan ke Forum SKPD dan Musrenbang Kota. Keluaran - Dokumen Rencana Kerja Pembangunan Kecamatan yang akan dibiayai oleh anggaran kecamatan - Daftarkegiatan prioritas yang akan dilaksanakan melalui SKPD - Berita Acara dan Daftar nama delegasi ke Forum SKPD dan Musrenbang Kota. Peserta Peserta Musrenbang Kecamatan
BAPEDA KOTA DEPOK

tersedia / tidka tersedia

Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi terhadap modal sosial: Netral sampai Positif-Rendah

Masukan dari Kec. /Kota - Prioritas kegiatan tahun mendatang dari SKPD tersedia / tidak tersedia

Mekanisme: - Pengumuman terbuka 7 hari sebelumnya dan pendaftaran terbuka belum dilakukan.

Keluaran:

Peserta: - Belum semua perwakilan

102

Kajian Perencanaan Partisipatif

adalah perwakilan dari kelurahan dan dari kelompok-kelompok masyarakat yang beroperasi dalam skala kecamatan. 3. Forum SKPD Masukan dari Provinsi dan Kementerian Negara: informasi kegiatan dan sumber pendanannya dari APBN dan APBD Provinsi. Masukan dari Kota: - Daftar kegiatan prioritas yang bersumber dari Renstra SKPD - Kegiatan prioritas pembangunan / rancangan RKPD (jika ada) - Rancangan Renja SKPD - Daftar individu /organisasi masyarakat skalakota seperti asosiasi profesi, LSM, perguruan tinggi, serta ahli yang berkaitan dengan SKPD yang bersangkutan Masukan dari Kecamatan: - Daftar kegiatan prioritas pembangunan hasil Musrenbang Kecamatan - Daftar delegasi kecamatan Mekanisme - Tahap Persiapan (penetapan Tim Penyelenggara Forum SKPD, pengumuman terbuka dan pembukaan pendaftaran) - Tahap pelaksanaan (pemaparan oleh Kepala SKPD, verifikasi kegiatan prioritas dari kecamatan, menetapkan kegiatan prioritas, menyusun rekomendasi regulasi, penetapan perwakilan Forum SKPD ke Musrenbang Kota. Keluaran - Rancangan Renja-SKPD - Kegiatan prioritas yang sudah
BAPEDA KOTA DEPOK

kelompok masyarakat di kecamatan hadir Kesesuaian dengan Jukius: Belum sepenuhnya sesuai dengan Juknis Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi terhadap modal sosial: Netral sampai Positif - Sedang

Masukan dari Provinsi dan kementerian Negara: - Di beberapa SKPD dilaksanakan Masukan dari Kota

Masukan dari kecamatan: - Tersedia

Mekanisme: - Pengumuman terbuka dan pendaftaran tidak dilakukan. Peserta datang karena diundang. - Rekomendasi regulasi belum banyak dieksplorasi

Keluaran: - Sesuai dengan Juknis

103

Kajian Perencanaan Partisipatif

dipilah berdasar sumber pendanaan. - Berita Acara dan Daftar nama delegasi dari Forum SKPD ke musrenbang Kota. Peserta Peserta adalah delegasi kecamatan dan dari kelompokkelompok masyarakat yang berkaitan dengan SKPD atau gabungan SKPD. 4. Musrenbang Kota Masukan dari Provinsi dan Kementerian Negara: informasi kegiatan dan sumber pendanannya dari APBN dan APBD Provinsi. Masukan dari Kota: - Daftar kegiatan prioritas yang bersumber dari Renstra SKPD - Kegiatan prioritas pembangunan / rancangan RKPD (jika ada) - Rancangan Renja SKPD - Daftar individu /organisasi masyarakat skalakota seperti asosiasi profesi, LSM, perguruan tinggi, serta ahli yang berkaitan dengan SKPD yang bersangkutan Masukan dari Kecamatan: - Daftar kegiatan prioritas pembangunan hasil Musrenbang Kecamatan - Daftar delegasi kecamatan Mekanisme - Tahap Persiapan (penetapan Tim Penyelenggara Musrenbang Kota, pengumuman terbuka dan pembukaan pendaftaran) - Tahap pelaksanaan (pemaparan Rancangan RKPD, dan plafon anggaran, pemaparan hasil kompilasi dan
BAPEDA KOTA DEPOK

Peserta: - Belum semua kelompok yang berkaitan dengan SKPD hadir Masukan dari Provinsi dan Kementerian Negara: - Masukan hanya dari Provinsi Masukan dari Kota: Kesesuaian dengan Jukius: Belum sepenuhnya sesuai dengan Juknis Derajat partisipasi: Konsultasi Kontribusi terhadap modal sosial: Netral sampai Positif-Rendah.

Masukan dari Kecamatan: - Telah sesuai Juknis

Mekanisme: - Pengumuman terbuka dan pembukaan pendaftaran belum dilakukan. - Dilakukan penyederhanaan proses dibandingkan dengan Juknis.

104

Kajian Perencanaan Partisipatif

verifikasi oleh SKPD, delegasi kecamatan, dan delegasi forum SKPD, pembahasan kriteria untuk kegiatan prioritas, penetapan prioritas, pemutakhiran rancangan RKPD dan pembahasan kebijakan pendukung) Keluaran - Kesepakatan untuk pemutakhiran rancangan RKPD dan rancangan Renja-SKPD. Peserta Peserta adalah delegasi dari Musrenbang Kecamatan dan delegasi dari Forum SKPD Keluaran: - Sesuai dengan Juknis

Peserta: Peserta bukan hanya delegasi Musrenbang Kecamatan dan Forum SKPD, juga dengan kelompok-kelompok masyarakat yang mewakili organisasi-organisasi skala kota. Sosialisasi Pembangunan - Sesuai dengan aturan Kesesuaian dengan Juknis: Sudah sesuai sesuai atuan Derajat partisipasi: Menginformasikan Kontribusi terhadap modal sosial: Negatif sampai Netral

III.

Keputusan Walikota No.2 Tahun 2004 1. Sosialisasi Pembangunan Materi: APBD Kota Depok tahun yang bersangkutan Mekanisme Pemaparan oleh Kepala Bappeda dan dialog interaktif pihak eksekutif (Walikota / Wakil Walikota / Sekda) dengan peserta Peserta Peserta adalah elemen masyarakat kecamatan dan kelurahan, pemerintah daerah dan anggota DPRD dari daerah pemilihan yang bersangkutan. 2. Pemantapan Perencanaan partisipatif Peserta: Pengurus LPM Kelurahan dan FKA LPM Kecamatan,aparatur perencana di setiap unit kerja perangkat daerah

Pemantapan Perencanaan Partisipatif

BAPEDA KOTA DEPOK

105

Kajian Perencanaan Partisipatif

Fasilitator: Bappeda dan unsur perguruan tinggi / tenaga ahli / NGOs yang memiliki kompetensi dalam perencanaan partisipatif Materi: - Konsep dan mekanisme perencanaan partisipatif - Konsep dan Teknik Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja - Teknik Penyusunan Anggaran Biaya - Metode Penjaringan Aspirasi Masyarakat - Teknik Penyusunan Dokumen Usulan Perencanaan Mekanisme - Persiapan - Metode: kuliah umum, tanya jawab, simulasi dan praktekl penyusunan rencana 3. Survey Teknis Perencanaan Pihak yang terlibat - Tim Survey Bappeda dan Unit Kerja Perangkat Daerah - Pendamping dari perwakilan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan Materi Hasil kesepakatan diskusi terfokus Mekanisme - Penetapan tim survey - Penetapan mekanisme dan penilaian hasil oleh tim survey - Pelaksanaan survey - Penilaian hasilsurvey 5. Kompilasi dan Restrukturisasi Program Pihak yang terlibat: Bappeda dan unit peranghkat kerja, FKA LPM Kecamatan dan
BAPEDA KOTA DEPOK

Survey Teknis Perencanaan

Kompilasi dan Restrukturisasi Program

106

Kajian Perencanaan Partisipatif

perwakilan diskusi stakeholders terfokus. Mekanisme - Tim kompilasi dan restrukturisasi program melakukan rapat koordinasi untuk menetapkan mekanisme - Tim melakukan sinkronisasi program yang diusulkan tiap unit kerja sebagai hasildiskusi terfokus dan hasil survey Materi Usulan program kegiatan unit kerja, hasil FKPP Kecamatan dan hasil diskusi terfokus yang telah disurvey. IV Lain-lain 1. Workshop Isu Strategis

Workshop Isu Strategis

5.5. Pembahasan
5.5.1. Evaluasi Kesesuaian Proses Berdasarkan Aturan. Dari segi peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang

perencanaan, proses perencanaan yang dilakukan di Kota Depok secara garis besar telah sesuai dengan prosedur yang ada, meskipun masih terdapat beberapa yang belum sesuai dengan aturan / kebijakan yang ada. Sebagai sebuah proses, evaluasi terhadap perencanaan yang dilakukan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu berkaitan dengan input, proses dan output. Dari segi masukan (input), hal ini dapat dilihat dari sisi input materi dan input peserta yang terlibat dalam proses perencanaan. Input materi adalah bahan-bahan tertulis / dokumen serta materi berupa bahan

BAPEDA KOTA DEPOK

107

Kajian Perencanaan Partisipatif

pemaparan dari berbagai unit birokrasi yang perlu diterima oleh peserta, sebagai basis untuk menyepakati rencana di level masing-masing. Di level kelurahan, yang sangat menyolok adalah ketiadaan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kelurahan. Kemudian, pada level Kecamatan, SKPD, dan Musrenbang Kota, beberapa dokumen yang seharusnya dimiliki peserta Musyawarah juga umumnya tidak tersedia. Kemudian evaluasi terhadap hasil pembangunan tahun tidak dapat sebelumnya pada masing-masing tingkatan, serta program-program yang akan dilaksanakan pada tahun yang sedang berjalan, disediakan. Padahal evaluasi terhadap hasil pembangunan pada tahun selanjutnya. Berkaitan dengan penyusunan RPJM Kelurahan, Pemerintah Kota Depok tampaknya belum merasa urgen terutama dikaitkan belum diakuinya Kelurahan sebagai SKPD di masa lalu. Namun dengan adanya Peraturan yang mengakui Kelurahan sebagai SKPD, maka pengadaan RPJM atau Renstra Kelurahan harus menjadi prioritas di masa datang yang segera. Berkaitan dengan penyediaan dokumen-dokumen sebagai bahan bagi peserta dalam proses perencanaan, alasan klasiknya adalah keterbatasan dana untuk penggandaan berbagai dokumen. Karena ketiadaan dana untuk penggandaan materi, maka tidak ada insentif untuk mengadakannya. Idealnya, seluruh dokumen yang dibutuhkan telah

menjadi acuan bagi peserta musyawarah untuk membuat perencanaan

diterima peserta beberapa hari sebelumnya, sehingga bisa dipelajari lebih awal. Yang kerap kali muncul adalah ketergesa-gesaan dalam persiapan pelaksanannya. Padahalkondisi ini, secara tidak disadari, berpotensi menurunkan kepercayaan warga kepada pemerintah. Artinya, proses yang ada malah memberikan kontribusi negatif bagi pengembangan modal sosial.

BAPEDA KOTA DEPOK

108

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagaimana diidentifikasi oleh Uphoff dan Cernea (1988), salah satu cara untuk menjamin partisipasi masyarakat (penerima manfaat) dalam perencanaan pembangunan adalah adanya komitmen keuangan yang terpisah untuk menfasilitasi proses partisipasi, karena kemauan baik saja belum cukup. Sehubungan dengan itu diperlukan studi tentang biaya transaksi yang dibutuhkan untuk pencapaian kesepakatan / keputusan pada forum musyawarah perencanaan pada berbagai tingkatan. Hasil studi ini akan menjadi masukan dalam penyusunan anggaran biaya yang dibutuhkan dalam proses perencanaan. Dari sisi input peserta, model yang dilaksanakan selama ini adalah peserta hadir dalam berbagai forum musyawarah perencanaan karena diundang. Dapat dikatakan sangat sedikit, atau bahkan mungkin tidak ada peserta yang hadir di forum perencanaan karena mendapatkan informasi mendaftar. Dalam Petunjuk Teknis yang ada, kepada Tim Penyelenggara Musrenbang atau Forum SKPD diharuskan mengumumkan secara terbuka jadual, agenda pembahasan, dan tempat penyelenggaraan acara, selambatlambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan. Kemudian Tim Penyelenggara membuka pendaftaran dan atau tentang kegiatan itu dan karena kepeduliannya datang

mengundang para peserta. yang aktif mungkin memiliki

Acuan ini memang dapat ditafsirkan dan berminat mengikuti forum

berbeda-beda tentang apakah apakah jika ada warga Depok yang peduli, gagasan, musyawarah perencanaan itu dapat ikut mendaftar? Pendaftaran secara ini penting untuk mengukur keseriusan warga untuk mengikuti kegiatan Musrenbang atau Forum SKPD. Jika hal ini tidak dimungkinkan karena alasan klasik keterbatasan dana, maka setidaknya dibuka pemberian kesempatan untuk mengajukan usulan tertulis yang dikirim melalui faksimili atau melalui e-mail.
BAPEDA KOTA DEPOK

109

Kajian Perencanaan Partisipatif

Disamping sehingga

itu

pemberitahuan

selambat-lambatnya kepada

hari

sebelum untuk

diadakan Musrenbang atau memberikan

Forum SKPD seharusnya dapat dilakukan, berbagai pihak

kesempatan

mempersiapkan materi yang akan dibawa ke forum tersebut. Ini antara lain untuk menjamin kualitas pelaksanaan dari Musrenbang atau Forum SKPD. Dari segi proses (mekanisme), kendala yang umum terjadi adalah kendala waktu. Pelaksanaannya umumnya hanya sehari, bahkan setengah hari di Musrenbang Kelurahan. Hal ini tidak memberikan kesempatan yang luas kepada para peserta untuk mendiskusikan, menyampaikan usulan, mengkritisi usulan, mengklarifikasi usulan serta berbagai aspek dari hal-hal yang direncanakan. dibanding dengan Musrenbang di tingkat Padahal Musrenbang dan dapat Kelurahan merupakan ruang terbesar bagi masyarakat yang terlibat selanjutnya, dianggap sebagai proses belajar (social learning) sekaligus membangun modal sosial di antara sesama warga. Disamping itu ada keengganan dari para peserta musyawarah untuk berdiskusi secara lebih rinci karena telah terbentuk persepsi bahwa belum tentu apa yang diusulkan dapat diakomodir dan dibiayai oleh dana APBD. Disamping itu belum utuhnya pemahaman terhadap peran sebagai warga negara yang memiliki hak untuk ikut menentukan tentang apa yang terbaik bagi diri dan lingkungannya memberikan kontribusi pada sikap apatisme masyarakat dalam proses-proses perencanaan. Akhirnya, Musrenbang atau Forum SKPD, bagi sebagian warga, hanya dianggap kegiatan ritual semata tanpa makna yang berarti untuk kemajuan kotanya. Dari sisi keluaran (output), yang terjadi adalah masih kuatnya cara-cara lama dengan berlomba-lomba membuat semacam shoping list atau
BAPEDA KOTA DEPOK

110

Kajian Perencanaan Partisipatif

daftar

belanja

yang

sebanyak-banyaknya

tanpa

memperhatikan

kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran. Disamping itu, tidak ada informasi balik segera kepada warga tentang nasib dari usulan-usulan mereka, maka ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat tentang kemungkinan berperan serta dalam membuat keputusan dalam forum sejenis di masa datang. Dari sisi output akhir pun (dalam bentuk APBD), kesan bahwa program masih didominasi untuk kepentingan pemerintah, politis, dan egoisme sektoral, terbukti dengan kecilnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor ekonomi kerakyatan, pengentasan kemiskinan, dan lingkungan hidup, sulit dihindari. Menurut Kajian Bappenas, terdapat beberapa fakta berkaitan dengan pelaksanaan proses perencanaan (Musrenbang dan Forum SKPD), yaitu (Rudiyanto dan Setiawan 2007): 1. Masyarakat belum enggan karena Jadi usulannya belum saja tentu dapat ke mempengaruhi proses penganggaran. Usulan yang terdahulu pun direalisasikan. merasa percuma datang musrenbang. 2. Waktu pelaksanaan musrenbang sangat singkat, sehingga masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk mengkritisi maupun mengklarifikasi usulannya. 3. Masyarakat kurang memahami proses musrenbang 4. Masyarakat kurang menguasai substansi dari program-program yang diusulkan oleh dinas-dinas. 5. Pemahaman partisipasi dari pemerintah daerah yang muncul dalam Musrenbang adalah menempatkan masyarakat sebagai pihak yang harus mendukung kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, dan provinsi
BAPEDA KOTA DEPOK

111

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Keengganan besar.

pemerintah

untuk

melibatkan

masyarakat

karena

memerlukan waktu yang cukup panjang dan biaya yang relatif cukup

5.5.2. Evaluasi Derajat Partisipasi Dari sisi derajat partisipasi, proses Musrenbang dan Forum SKPD masih berkisar pada, menurut Tipologi Partisipasi Arnstein, derajat tokenisme. Istilah tokenisme ini bermakna bahwa langkah yang dilakukan merupakan kebijakan sekadarnya yang berupa upaya artifisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Derajat tokenisme ini meliputi jenjang mulai dari dan informing placation (menginformasikan), strategis. Pada derajat tokenisme ini, maka pendapat, pandangan, usulan, dan masukan dari masyarakat hanya sekadar didengar atau dicatat, dan dalam beberapa aspek ikut mengubah hal-hal kecil dari draft rencana yang ada. Namun tidak ada umpan balik dan mekanisme bagi warga untuk mengetahui apakah berbagai usulan itu benar-benar diakomodir dalam rancangan rencana untuk pembahasan selanjutnya atau hanya sekadar dicatat dalam notulen pertemuan. Yang terjadi adalah, tanpa mengetahui apakah berbagai usulan warga diakomodir atau tidak, warga kemudian telah diajak lagi untuk mengikuti proses sejenis (Musrenbang dan Forum SKPD) untuk proses perencanaan tahun berikutnya. Dari segi proses, perencanaan dengan jenjang derajat tokenisme ini memang memberikan hasil. Namun output yang dihasilkan dari proses seperti ini memiliki derajat legitimasi dan akseptabilitas yang relatif lebih rendah, dibandingkan dengan jika prosesnya dilaksanakan secara kemitraan (partnership).
BAPEDA KOTA DEPOK

consultation

(konsultasi),

(penentraman), yaitu dengan mengakomodir hal-hal yang kecil dan tidak

112

Kajian Perencanaan Partisipatif

Kondisi seperti itu terjadi karena musrenbang hanya dipandang sebagai kegiatan bermusyawarah belaka, sehingga dokumen hasil musrenbang dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak ada sanksi khusus yang jelas ketika Pemerintah tidak mengakomodir hasilhasil musrenbang secara layak. Di masa mendatang, perlu aturan yang jelas tentang hal ini. 5.5.3. Evaluasi Kontribusi terhadap Modal Sosial Sebagai akibat dari proses yang dipaparkan pada bagian terdahulu, maka proses kontribusi proses perencanaan Kota Depok melalui Musrenbang kelurahan, Musrenbang kecamatan, Forum SKPD, dan Musrenbang Kota, terhadap pengembangan modal sosial berkisar antara negatif, netral dan positif tingkat rendah. Kontribusi negatif. Kontribusi proses perencanaan bersifat negatif, karena secara tidak disadari proses yang dilaksanakan justru mengurangi kepercayaan warga kepada pemerintah. Seoptimal dan sekeras apa pun upaya pemerintah untuk melaksanakan proses perencanaan dengan melibatkan masyarakat, namun kesan bahwa pelaksanaan kegiatan itu hanya sekadar ritual tahunan merupakan indikator berkurangnya kepercayaan masyarakat. Belum lagi usulan-usulan dari kelurahan dan kecamatan yang ternyata tidak diakomodir sama sekali dalam APBD. Malahan muncul kegiatan yang justru tidak diusulkan semakin menambah ketidakpercayaan itu. Ungkapan-ungkapan ketidakpercayaan itu biasanya muncul dalam kegiatan Sosialisasi Pembangunan ketika Pemerintah Kota Depok mensosialisasikan APBD yang akan dilaksanakan pada tahun yang sedang berjalan. Namun faktor proses perencanaan memang bukan faktor tunggal yang memberikan kontribusi terhadap kondisi ini. Faktor lainnya adalah masih adanya dualisme antara proses perencanaan yang melibatkan

BAPEDA KOTA DEPOK

113

Kajian Perencanaan Partisipatif

masyarakat dengan proses penganggaran yang sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. Hal ini menyebabkan usulan yang disepakati dalam proses perencanaan banyak yang tereduksi di proses penganggaran. Usulan dari masyarakat terhenti hanya sampai pada penyusunan RKPD. Proses selanjutnya dilakukan oleh panitia anggaran eksekutif, panitia anggaran legislatif, dan masing-masing SKPD. Peran masyarakat tidak ada sama sekali dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran. Hal ini yang menyebabkan usulan dari masyarakat hasil musrenbang bisa tidak diperhatikan. Di samping itu, proses penyusunan dan penetapan anggaran ini sudah diwarnai oleh kepentingan politik baik dari pihak DPRD maupun eksekutif (Rudiyanto dan Setiawan, 2007). Lebih lanjut dijelaskan, bahwa tidak tuntasnya proses partisipasi

masyarakat sampai ke tingkat perencanaan anggaran menyebabkan masyarakat tidak mengetahui seberapa banyak program dalam APBD mengakomodasi hasil-hasil musrenbang. Dengan kata lain sering terjadi adanya inkonsistensi antara APBD yang ditetapkan pemerintah dengan hasil kesepakatan dalam musrenbang. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi bahwa pendekatan partisipatif pada akhirnya hanya sekedar mobilisasi masyarakat saja untuk melegalkan proses perencanaan pembangunan. Oleh sebab itu, perlu pembenahan dalam proses penyelenggaraan musrenbang termasuk ketersediaan informasi, waktu, keterwakilan pemangku kepentingan dalam pembahasan, kejelasan kriteria dalam penetapan hasil, serta pemanfaatan hasil musrenbang secara langsung dalam penetapan prioritas kebijakan, program dan kegiatan dalam Renja-SKPD dan RKA-SKPD, dan penetapan RAPBD. Kontribusi netral. Kontribusi proses perencanaan dapat bersifat netral

terhadap modal sosial karena proses yang ada tidak mengubah apa-apa
BAPEDA KOTA DEPOK

114

Kajian Perencanaan Partisipatif

dari sisi pengembangan modal sosial. Proses yang ada tidak menambah atau mengurangi posisi tingkat kepercayaan masyarakat yang ada terhadap pemerintah. Ini dapat terjadi karena bagi kelompok ini telah terbentuk persepsi bahwa mungkin seperti itulah proses perencanaan yang seharusnya ada. Proses itulah yang optimal bisa dijalankan, meskipun ada ketidakpuasan-ketidakpuasan. Kontribusi positif. Proses perencanaan dapat memberikan kontribusi positif pada modal sosial, jika proses itu memberikan hasil yang nyata berupa usulan-usulan yang disampaikan dalam proses perencanaan di musrenbang itu diterima, dan mereka bisa terlibat dalam kegiatankegiatan kontribusi yang mereka usulkan yang didanai tidak oleh cukup APBD. besar Namun dalam positif proses perencanaan

pengembangan modal sosial, karena kesan umum yang muncul adalah bahwa secara keseluruhan proses perencanaan belum separtisipatif yang mereka bayangkan. Artinya, kualitas partisipasi dari proses perencanaan yang ada di Kota Depok sesungguhnya masih dapat ditingkatkan.

BAPEDA KOTA DEPOK

115

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan tinjauan evaluatif yang dilakukan, maka penguatan proses perencanaan di Kota Depok ke depan setidaknya memenuhi tiga kriteria: (1) sesuai dengan aturan yang ada, (2) derajat partisipasinya mencapai level kemitraan (partnership) menurut Tipologi Arnstein, (3) memberikan kontribusi positif pada pengembangan modal sosial. Dengan menggunakan ketiga kriteria itu, maka setidaknya terdapat empatskenario untuk penguatan proses perencanaan partisipatif di Kota Depok, yaitu: (1) Skenario Status Quo, (2) Skenario Taat Aturan, (3) Skenario Kemitraan, dan (4) Skenario Kemitraan-Apresiatif.

6.1. Skenario I : Tanpa perubahan berarti (status quo)


Skenario pertama ini dapat disebut sebagai Skenario Status Quo. Mempertahankan status quo atau pendekatan tidak mengubah apa pun berarti melaksanakan proses dan mekanisme perencanaan pembangunan seperti yang sudah dilakukan selama ini. Penerapan proses itu sendiri merupakan interpretasi Pemerintah Kota Depok, yakni Bapeda, terhadap Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang sebagaimana yang tertuang dalam lampiran Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri.

BAPEDA KOTA DEPOK

116

Kajian Perencanaan Partisipatif

Meskipun masih muncul kekecewaan terutama dari masyarakat (LPM dan LSM) mengenai proses perencanaan tersebut, dibutuhkan yaitu menghasilkan Rencana namun secara prosedur kepemerintahan proses yang ada itu telah menghasilkan output yang Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), sebagai basis untuk penyusunan RAPBD. 6.1.1. Kelebihan Skenario Status Quo Kelebihan dari skenario ini adalah dapat mempertahankan hal-hal positif yang sudah terbentuk melalui proses yang sudah dilaksanakan dan kebutuhan biaya untuk pelaksanaannya telah diketahui. Hal-hal positif yang ada dari proses yang sudah dijalani selama ini antara lain: (1) berbagai pihak yang terlibat dalam proses itu (pemerintah dan warga) sudah memiliki pengalaman bersama tentang bagaimana proses perencanaan itu dijalankan, (2) karena sudah berlangsung beberapa tahun dengan proses yang relatif sama, maka telah terbentuk persepsi bahwa memang seperti itulah proses perencanaan di sebuah kota berlangsung, (3) telah terbangun mekanisme-mekanisme untuk mengatasi perbedaaan-perbedaaan, baik antara sesama warga, sesama pemerintah, dan perbedaana antara warga dan pemerintah, terutama berkaitan dengan penetapan prioritas, (4) membutuhkan biaya yang relatif tidak besar dan besarannya sudah diketahui, (5) 6.1.2. Kekurangan Skenario Status Quo Kekurangan dari skenario status quo ini adalah: (1) jika mengacu pada Petunjuk Teknis yang ada masih terdapat beberapa hal yang masih harus dipenuhi, terutama dari segi masukan, peserta, dan mekanisme, (2) jika mengacu pada tipologi partisipasi yang ada, proses yang ada saat ini masih berada pada derajat tokenisme, warga sehingga terhadap memunculkan output yang ungkapan-ungkapan ketidakpuasan

dihasilkan, (3) dari perspektif pengembangan modal sosial, proses yang ada berpotensi untuk membangun ketidakpercayaan warga (distrust)
BAPEDA KOTA DEPOK

117

Kajian Perencanaan Partisipatif

kepada pemerintah, (4) tidak terbangun kemandirian warga untuk membangun wilayahnya sendiri, dan sepenuhnya bergantung pada sumber daya terutama dana dari luar yaitu APBD, (5).

6.2. Skenario II : Memenuhi aturan / pedoman yang ada


Skenario kedua ini bisa disebut sebagai Skenario Taat Aturan / Pedoman Pusat. Dengan skenario kedua ini, proses perencanaan pembangunan yang ada diupayakan untuk semaksimal mungkin mengikuti peraturan perundangan dan petunjuk teknis yang ada. Disamping itu, agar semua pihak yang terlibat dapat semaksimal mungkin mengikuti proses perencanaan sesuai dengan aturan yang ada, maka pemerintah kota perlu membuat pedoman-pedoman dan pelatihan capacity building, terutama bagaimana bagi pemerintah kelurahan di dan masyarakat, tentang proses perencanaan level RW, kelompok-kelompok

masyarakat, dan di level kelurahan. Jika Petunjuk Teknis Musrenbang 2007 dijadikan acuan, maka beberapa hal yang sehaharusnya ada adalah: 1. Pada Tahap Persiapan Musrenbang Kelurahan perlu dilakukan musyawarah pada level masyarakat di tingkat Rukun Warga (RW) dan kelompok-kelompok masyarakat seperti: kelompok tani, kelompok perempuan, kelompok pemuda, dll). Keluaran dari musyawarah di tingkat RW / kelompok masyarakat ini adalah: a. daftar masalah dan kebutuhan b. gagasan dan atau usulan kegiatan prioritas masing-masing RW/Kelompok untuk diajukan ke Musrenbang Kelurahan. c. Wakil / delegasi RW / kelompok yang akan hadir di Musrenbang kelurahan.

BAPEDA KOTA DEPOK

118

Kajian Perencanaan Partisipatif

2. Membuka

pendaftaran

bagi

warga

kelurahan

yang

peduli

dan

berkeinginan untuk hadir. 3. Perlu tersedia dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kelurahan. Di Kota Depok, ketiga hal tersebut di atas sebagai contoh, dari sekian banyak hal yang harus dilakukan, belum terlaksana. RW-RW dan kelompok-kelompok masyarakat belum secara rutin melakukan melakukan musyawarah sebagaimana yang diminta dalam Petunjuk Teknis itu. Kepada warga kelurahan belum diberikan kesempatan terbuka bagi siapa saja yang peduli yang ingin mengikuti Musrenbang. Alasan yang kerap dikemukakan adalah biaya yang terbatas dan ketidaktersediaan tempat yang memadai untuk menampung peserta yang banyak. Kemudian belum tersedia dokumen RPJM Kelurahan pada masing-masing kelurahan. Bahkan acuan untuk penyusunan RPJM Kelurahan pun belum tersedia. Jika skenario ini yang dipilih, maka Pemerintah Kota antara lain perlu menyediakan berbagai pedoman tertulis bagi warga RW dan kelompokkelompok masyarakat tentang bagaimana melakukan musyawarah, termasuk pelatihan bagi tenaga fasilitator untuk pelaksanaan musyawarah pada level ini, serta pedoman penyusunan RPJM Kelurahan dan pelatihan bagi tim penyusunnya. 6.2.1. Kelebihan Skenario Taat Pedoman Pusat Kelebihan dari skenario ini adalah: (1) semua dokumen untuk proses pengambilan keputusan dalam setiap tahapan proses perencanaan akan tersedia, (2) akan terbentuk kepuasan secara psikologis terutama di pun yang terlewatkan, (3) jika aparat perencana bahwa seluruh proses perencanaan telah mengikuti aturan yang ada, tanpa ada satu pedoman-pedoman untuk musyawarah RW dan kelompok-kelompok
BAPEDA KOTA DEPOK

119

Kajian Perencanaan Partisipatif

masyarakat tersedia, maka itu akan memunculkan persepsi positif tentang keseriusan pemerintah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, (4) pemberian kesempatan kepada pihak-pihak yang peduli dan ingin hadir sebagai peserta Musrenbang (Kelurahan, Kecamatan dan Kota) dan Forum SKPD akan meningkatkan legitimasi dan akseptibilitas terhadap hasil dari proses perencanaan, (5) akan terjadi proses belajar bersama (social learning) di tingkat lokal, dan berpotensi membangun modal sosial di level lokal, (6). 6.2.2. Kekurangan Skenario Taat Pedoman Pusat Kekurangan dari skenario ini pedoman-pedoman, serta biaya dan kemungkinan diusulkan adalah: (1) akan ada biaya tambahan bagi di fasilitator level dimana musyawarah (2) yang

untuk melaksanakan semua proses yang ada, termasuk pengadaan pelatihan-pelatihan tim penyusunan ledakan RPJM harapan, kelurahan, kegiatan

munculnya

warga kemungkinan besar tidak dapat diakomodir oleh

anggaran yang tersedia, sehingga berpotensi menimbulkan kekecewaan dan berkontribusi negatif terhadap pengembangan modalsosial, (3) skenario ini masih menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), sehingga secara tidak disadari memunculkan mentalitas ketergantungan, (4) derajat partisipasi yang ada tidak beranjak dari derajat tokenisme, (5)

6.3. Skenario III : Memenuhi Aturan + Kemitraan


Skenario ketiga ini dapat disebut Skenario Kemitraan. Melalui skenario ini, maka dokumen-dokumen perencanaan di berbagai level (Kelurahan, Kecamatan, SKPD, dan Kota), draftnya dihasilkan oleh Tim yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat, kemudian

BAPEDA KOTA DEPOK

120

Kajian Perencanaan Partisipatif

pembahasan draft dokumen rencana itu dilaksanakan dalam forum stakeholders pada setiap level. Dokumen-dokumen rencana itu adalah: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Depok 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Depok 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) 4. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). 5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). 6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kelurahan 7. Rencana Kerja Pemerintah Kelurahan (RKPK) Model kemitraan dalam penyusunan dokumen rencana ini mengharuskan adanya pelembagaan stakeholders (semacam forum warga) pada berbagai level. 1. Pada level kota difasilitasi pembentukan Forum Stakleholders Kota 2. Pada level kecamatan difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kecamatan 3. Pada tiap SKPD difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders SKPD 4. Pada level kelurahan difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kelurahan. Dengan demikian, maka pemilihan dan penetapan individu yang akan duduk dalam Tim Penyusun draft dokumen rencana itu dilaksanakan dalam masing-masing forum stakeholders secara terbuka dan demokratis. 6.3.1. Kelebihan Skenario Kemitraan Kelebihan dari skenario kemitraan ini adalah: (1) keluaran dokumen akan lebih aspiratif dan mengakomodir kepentingan dan cara pandang pemerintah serta kepentingan dan cara pandang masyarakat, (2)
BAPEDA KOTA DEPOK

121

Kajian Perencanaan Partisipatif

keluaran dokumen akan memiliki legitimasi dan akseptabilitas yang tinggi, (3) karena terjadi proses belajar bersama (social learning process), maka akan terbangun modal sosial pada berbagai level pemerintahan, mulai di level kelurahan, kecamatan, SKPD, dan kota, (4) akan terjadi pengembangan kapasitas dari sektor masyarakat, (5) 6.3.2. Kekurangan Skenario Kemitraan Kekurangan dari Skenario Kemitraan ini adalah: (1) akan ada resistensi dari pihak-pihak, terutama berbagai tambahan peran biaya yang setara untuk di pemerintahan (SKPD), karena harus dengan masyarakat, (2) dibutuhkan forum-forum menfasilitasi pelembagaan

stakehodlers pada berbagai level, serta berbagai biaya transaksi untuk biaya informasi, biaya koordinasi, dan biaya lainnya untuk mencapai kesepakatan, pemecahan (3) pendekatan (problem yang dilakukan masih pendekatan tidak masalah solving approach), sehingga

memunculkan kemandirian, inisiatif, dan energi kolektif warga secara optimal, (4) membutuhkan dukungan politis dalam bentuk payung hukum yang jelas tentang pembentukan forum-forum stakleholders dan pemberian peran yang lebih besar dari unsur masyarakat.

6.4. Skenario IV : Kemitraan + Pendekatan Apresiatif


Skenario keempat bisa disebut Skenario Kemitraan-Apresiatif. Melalui skenario ini, maka proses perencaan mengintegrasikan antara pendekatan kemitraan seperti pada Skenario III dan dipadukan dengan pendekatan apresiatif pada berbagai level, mulai dari level RT/RW dan kelompok-kelompok masyarakat di Kelurahan, di Kecamatan, SKPD, dan Kota.

BAPEDA KOTA DEPOK

122

Kajian Perencanaan Partisipatif

Untuk

dapat

terlaksana yang

skenario dapat

ini

dibutuhkan oleh

fasilitator berbagai

yang level

memahami pendekatan kemitraan dan pendekatan apresiatif, serta pedoman-pedoman perencanaan. 6.4.1. Kelebihan Skenario Kemitraan-Apresiatif Kelebihan dari skenario ini adalah: (1) akan terbangun energi positif kolektif pada berbagai level, mulai dari RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, SKPD, dan Kota untuk melaksanakan pembangunan di masing-masing level, (2) dokumen perencanaan yang dihasilkan pada masing-masing level merupakan rencana aksi bersama, sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi / harapan bersama, sehingga akan memunculkan insiatif-insiatif dan kemandirian pada masing-masing level, (3) ledakan harapan dapat dikurangi karena pendekatan apresiatif akan memunculkan prakarsa-prakarsa pada masing-masing level, tarutama pada level lokal, yang perwujudan prakarsa-prakarsa lokal itu akan lebih menggunakan sumber daya, potensi, dan kearifan lokal, (4). 6.4.2. Kekurangan Skenario Kemitraan-Apresiatif Kekurangan dari Skenario Kemitraan Apresiatif adalah: (1) resistensi dari pihak-pihak tertentu, terutama dari pemerintahan, yang harus berbagi peran secara setara dengan masyarakat, (2) membutuhkan tambahan biaya untuk melatih fasilitator yang mampu menfasilitasi pendekatan kemitraan dan pendekatan apresiatif, serta membuat pedoman-pedoman yang dapat digunakan pada berbagai level, (3) membutuhkan dukungan politis dalam bentuk payung hukum yang jelas tentang pembentukan forum-forum stakleholders dan pemberian peran yang lebih besar dari unsur masyarakat. digunakan

BAPEDA KOTA DEPOK

123

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 2, UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap Pemerintah Daerah perlu membuat Peraturan Daerah yang mengatur Tata Cara Pnyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, RenjaSKPD dan pelaksanaan Musrenbang Daerah. Penyusunan Peraturan Daerah seperti itu membutuhkan kajian ilmiah dalam bentuk draft akademis dan setidaknya membutuhkan disain skenario, dimana skenario itu diasumsikan akan memberikan hasil yang terbaik ditinjau dari berbagai sudut. Berdasarkan hasil kajian ini, maka skenario yang direkomendasikan untuk muatan Perda adalah Skenario Kemitraan-Apresiatif. Adapun garis besar teknis pelaksanaan musrenbang berdasarkan

skenario ini adalah mengikuti mekanisme yang ada sesuai dengan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang dengan modifikasi sebagai berikut :

7.1. Musrenbang RW dan Kelompok-Kelompok Masyarakat


Fasilitasi warga RW atau Kelompok-kelompok masyarakat di kelurahan dengan menggunakan pendekatan apresiatif. Output dari fasilitasi ini adalah dokumen Kajian dan Pendekatan Apresiatif
BAPEDA KOTA DEPOK

124

Kajian Perencanaan Partisipatif

(KPA) RW yang memuat: (1) identifikasi prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh RW / Kelompok masyarakat bersangkutan di masa lalu, (2) kondisi yang diinginkan bersama di masa datang sebagai wujud dari mimpi bersama, (3) rancangan langkahlangkah dan rencana-rencana aksi yang akan dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang diinginkan tersebut, (4) Fasilitasi untuk menghasilkan: (a) dokumen rencana yang akan dilaksanakan oleh komunitas RW atau kelompok masyarakat yang bersangkutan dalam mewujudkan kondisi ideal yang diimpikan bersama, dan (b) rencana yang akan diusulkan (diteruskan) ke Musrenbang Kelurahan untuk mendukung terwujudnya kondisi ideal yang diimpikan bersama.

7.2. Musrenbang Kelurahan


Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kelurahan. Forum ini dapat juga dianggap sebagai forum Musyawarah Anggota menurut Perda Kota Depok No. 13 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan RT, RW dan LPM. Keanggotaan Forum Stakeholders Kelurahan dilakukan secara proaktif dan stelsel aktif. Siapa pun warga kelurahan yang peduli terhadap pembangunan kelurahan yang bersangkutan warga dapat bergabung dalam Forum tersebut dengan mendaftar. Fasilitasi yang tergabung dalam Forum Stakeholders Kelurahan dengan menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan untuk proses ini adalah dokumen KPA RW / Kelompok Masyarakat. Output: dokumen KPA Kelurahan. Penetapan tim penyusun draft RPJM Kelurahan yang terdiri dari unsur pemerintah kelurahan dan unsur warga kelurahan yang dipilih dalam Forum Stakeholders Kelurahan.

BAPEDA KOTA DEPOK

125

Kajian Perencanaan Partisipatif

Draft

RPJM

Kelurahan

di

bahas

dalam

Forum

Stakeholders

Kelurahan Untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Kelurahan (RKPK) dibentuk tim penyusun draft RKPK Kelurahan yang terdiri dari unsur pemerintah kelurahan dan unsur warga yang dipilih dan ditetapkan dalam Forum Stakeholders Kelurahan. Draft RKPK dibahas dan disepakati dalam Forum Stakeholders Kelurahan

7.3. Musrenbang Kecamatan


Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kecamatan.

Keikutsertaan dalam Forum ini bersifat stelsel aktif. Warga kecamatan yang peduli terhadap pembangunan kecamatan dapat menjadi anggota Forum ini. Fasilitasi kegiatan warga ini yang tergabung hasil dalam Forum Stakeholders apresiatif di Kecamatan menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan untuk adalah fasilitasi pendekatan kelurahan. Output: Dokumen Kajian dan Pendekatan secara Apresiatif (KPA) Kecamatan.

7.4. Forum SKPD


Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders SKPD. Keikutsertaan dalam Forum Stakeholders SKPD bersifat stelselaktif. Individu atau organisasi yang peduli terhadap bidang tugas SKPD dapat mendaftar menjadi anggota Forum tersebut. Fasilitasi warga yang tergabung dalam Forum Stakeholders SKPD menggunakan pendekatan apresiatif. Output: Dokumen Kajian dan Pendekatan Apresiatif (KPA) SKPD.
BAPEDA KOTA DEPOK

126

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam

penyusunan

Renstra-SKPD

dan

Renja-SKPD,

draftnya

disiapkan oleh Tim yang beranggotakan unsur pemerintah / SKPD dan unsur masyarakat. Individu unsur masyarakat yang dipilih dan ditetapkan dalam Forum Stakeholders SKPD. Draft Renstra-SKPD dan draft Renja-SKPD dibahas dan disepakati dalam Forum Stakeholders SKPD.

7.5. Musrenbang Kota


Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kota. Keanggotaan dalam Forum ini bersifat terbuka dan stelsel aktif. Individu dan organisasi yang peduli pada Pembangunan Kota Depok dapat mendaftar menjadi anggota Forum. Fasilitasi warga yang tergabung dalam Forum Stakeholders Kota menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan untuk kegiatan ini adalah dokumen KPA Kecamatan dan SKPD. Output dari kegiatan ini adalah: dokumen KPA Kota Depok. Dalam penyusunan RPJP, RPJM, dan RKPD, draftnya disusun oleh Tim yang beranggotakan unsur masyarakat dan unsur pemerintah Kota Depok. Individu dari unsur masyarakat dipilih secara terbuka dan demokratis dalam Forum Stakeholders Kota. Draft-draft RPJP, RPJM, dan RKPD dibahas dan disepakati dalam Forum Stakeholders Kota Depok.

BAPEDA KOTA DEPOK

127

Kajian Perencanaan Partisipatif

8.1. Kesimpulan
Proses perencanaan pembangunan di Kota Depok adalah untuk menghasilkan dokumen rencana yang menurut UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari dari: 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD. 4. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). 5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). Evaluasi terhadap proses perencanaan di Kota Depok dapat dilakukan melalui 3 tolok ukur: (1) tolok ukur peraturan perundang-undangan untuk menilai seberapa sesuai pelaksanaan proses perencanaan dengan aturan / pedoman yang ada, (2) tolok ukur tipologi partisipasi untuk menilai derajat partisipasi yang tercipta dalam proses perencanaan perencanaan pembangunan di Kota Depok, dan (3) tolok ukur kontribusi pada pengembangan modal sosial untuk menilai kontribusi proses perencanaan pembangunan di Kota Depok terhadap

BAPEDA KOTA DEPOK

128

Kajian Perencanaan Partisipatif

pengembangan

modal

sosial,

terutama

dalammembangun

kepercayaan (trust) warga kepada pemerintah. Berdasarkan tolok ukur peraturan perundang-undangan / pedoman, maka pelaksanaan proses perencanaan di Kota Depok secara umum telah sesuai dengan aturan yang ada, yaitu UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang, dan SK Walikota Depok Keputusan Walikota Depok No: 02 Tahun 2004 tentang Forum Komunikasi Perencanaan Pembangunan (FKPP). Berdasarkan tolok ukur peraturan perundang-undangan / pedoman dari pusat, hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah: 1. pengoptimalan masukan (input) baik berupa input materi maupun input peserta pada semua tingkatan forum musrenbang dan forum SKPD dengan ikhtiar untuk semaksimal mungkin mengikuti aturan / pedoman yang ada. 2. pengoptimalan mekanisme pelaksanaan forum musrenbang dan forum SKPD dengan semaksimal mungkin mengikuti mekanisme yang diatur dalam aturan / pedoman yang ada. Berdasarkan tolok ukur tipologi partisipasi, jika mengacu pada tipologi yang yang dikemukakan di Kota oleh Sherry barulah Arnstein pada (1969), taraf proses perencanaan Depok konsultasi

(consultation). Pada taraf ini kepada warga memang telah diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, tapi keputusan akhir tetap berada di pemerintah. Taraf partisipasi ini ini berpotensi menimbulkan kekecewaan warga dan berpotensi juga menurunkan tingkat kepercayaan warga kepada pemerintah.

BAPEDA KOTA DEPOK

129

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

tolok

ukur

kontribusi

proses

perencanaan

dalam

pengembangan modal sosial, maka disain proses perencanaan yang dilaksakanan belum secara sadar mempertimbangkan aspek ini. Berbagai tahapan proses perencanaan pembangunan di Kota Depok memberikan kontribusi yang berkisar dari negatif (menurunkan tingkat kepercayaan), netral, dan kontribusi positif tingkat rendah. Terdapat empat skenario penguatan proses perencanaan di Kota Depok, yaitu: 1. Skenario Status Quo yaitu skenario dimana proses perencanaan dilakukan tanpa perubahan yang berarti atau sama seperti tahuntahun sebelumnya. 2. Skenario Taat Aturan Pusat. Dalam skenario ini proses perencanaan dengan dilakukan dengan mengikuti semaksimal mungkin peraturan perundangan dan pedoman dari Pusat, baik dari segi input (masukan), mekanisme, maupun output (keluaran). 3. Skenario Kemitraan adalah skenario dimana derajat partisipasi yang diinginkan adalah derajat kemitraan (partnership). Dalam skenario ini, setiap draft dokumen rencana disiapkan oleh tim penyusun draft yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur warga, dan pembahasan draftnya dilaksanakan dalam forum stakeholders. Dengan demikian dkumen rencana merupakan hasil kesepakatan stakeholders. 4. Skenario Kemitraan-Apresiatif. Skenario ini sama dengan Skenario Kemitraan, namun diintegrasikan dengan pendekatan apresiatif, mengikuti pendekatan Appreciative Inquiry yang dikemukakan oleh David Cooperrider. KPA dilakukan menemukan Pendekatan ini dilakukan melalui penerapan melalui tahapan mendefinisikan (dream), (define), merancang mengimpikan

(discover),

(design), dan mewujudkan (deliver).

BAPEDA KOTA DEPOK

130

Kajian Perencanaan Partisipatif

8.2. Saran
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional (Pasal 27 ayat 2), Pemerintah Kota Depok sebaiknya dapat segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, RenstraSKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Pelaksanaan Musrenbang. Substansi dan semangat Peraturan Daerah tersebut hendaknya dapat mengakomodir Skenario Kemitraan Apresiatif dari hasil kajian ini.

BAPEDA KOTA DEPOK

131

Abbas, R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani. Tesis. Bogor:Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ahmad W T. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Pembangunan di Tingkat Komunitas. Thesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Arnstein S.R, 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP, Vol 35. No. 4, Juli 1969. Burns D, Hambleton, Hogget. 1994. The Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy. London: Mac Millan Press. Hasibuan FD. 2003. Jenjang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan pembangunan Melalui Forum Komunikasi Perencanaan Pembangunan di Kota Depok. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia. Korten DC, Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: yayasan Obor Indonesia. Lugiarti E. 2004. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalamproses Perencanaan Program Pengembangan Masyarakat di Komunitas Desa Cijayanti. Tesis. Bogor: Sekolah pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pusat Kajian Bina Swadaya 2007. Pembangunan yang Diprakarsai Masyarakat (Community Driven Development); Buku 1. Jakarta: Pusat kajian Bina Swadaya. Rudiyanto, A dan Setiawan, A. 2007. Relevansi Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dalam Memperkuat Perencanaan Partisipatif. Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD). Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Diktat Perencanaan Pengembangan Wilayah. Edisi Januari 2006. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bpogor. Tadaro M P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih bahasa Han Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Thomsen, D. 2003. Community-Based Research; An Opportunity for Collaboration and Social Change. Submitted ini fulfilment of requirements

of the degree of Doctor of Philosophy. Australian School ofEnvironmental Studies, Faculty of Environmental Sciences, Griffith University. WHO Regional Offfice for Europe. 2002. Community Participation in Local Health and Sustainable Development; Approach and Techniques. World Bank. 2003. Kota-Kota dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaanm Pada Era Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: The World Bank Office. Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi,Teori & Strategi. Malang: Bayumedia Publishing. Zakaria, RY et al. 2001. Seputar Partisipasi Warga dan Pemerintahan Lokal. Dalam Annotated Bibliography on Citizen Participation and Local Governance. Brighton: Logo Link.

You might also like