You are on page 1of 38

GLOBALISME IDEOLOGI DUNIA Dan PENGARUHNYA TERHADAP BANGSA IN Postby fkb_y at ...

Sun Aug 14, 2005 3:06 pm GLOBALISME IDEOLOGI DUNIA<?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoftcom:office:office" /> Dan PENGARUHNYA TERHADAP BANGSA INDONESIA Forum untuk Kemandirian Bangsa Yogyakarta edisi ke 9, Awal Agustus 2000 Berbicara tentang developmentalisme sebagai sebuah teori yang mewabah hampir di seluruh dunia ketiga pada awal tahun 70-an, negara-negara berkembang yang hampir seluruhnya berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin, dibanjiri oleh berbagai literatur tentang teori modernisasi, yang sebenarnya tidak lain adalah sebuah metamorfosa dari teori kapitalisme baru bagi negara-negara berkembang. Demikian juga dilihat dari berbagai teori serta formulasi rumus-rumus ekonomi yang ada. Sedikitnya ada empat syarat sifat dasar yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa bagi terciptanya angka pertumbuhan yang positif sebagai indikator keberhasilan ekonomi, yakni: semangat [b]individualistis, konsumsi tinggi (pola hidup konsumtif), mendorong terjadinya akumulasi kapital (penumpukan modal), konsentrasi kapital dan sentralisasi kapital, serta yang terakhir adalah mendorong terciptanya free market (pasar bebas). Karenanya, yang menjadi pertanyaan kita dari asumsi diatas adalah, adakah syarat-syarat dasar tadi dimiliki oleh negara-negara baru paska PD II? Sesuatu yang musti dibongkar satu persatu, sehingga jelas permasalahannya. Karena, apakah semangat tadi harus disosialisasikan sehingga menjadi semangat semua manusia didunia seperti yang dimaksud dengan globalisasi sekarang ini? Ataukah justru harus dieliminasi, karena ternyata tidak saja telah melahirkan kesenjangan yang luarbiasa antara negara-negara yang menguasai modal dan teknologi dengan negara-negara yang tidak atau kurang mempunyai keduanya? Melainkan, sekaligus melahirkan eksploitasi antar anak bangsa, dimana di satu bagian mereka menguasai modal atau bertindak sebagai agen dari modal internasional sebagai eksploitator, sementara di bagian lain, mereka yang tidak mempunyai modal dan sekaligus tidak bisa menempatkan posisinya sebagai agen dari pemegang modal terposisikan sebagai yang terekploitir. Untuk membongkar persoalan seperti ini, sudah tentu bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Tetapi akan sangat tergantung sekali kepada bagaimana cara pemahaman kita terhadap berbagai persoalan kehidupan yang melingkupi sistem kehiddupan kita, baik kita sebagai manusia maupun bangsa. Syarat-syarat untuk Terciptanya Masyarakat Kapitalis

Individualisme atau liberalisme, sebagai paham yang mengutamakan hak-hak individu atau perseorangan didalam hubungan sosial kemasyarakatan, melihat bahwa kewajiban sosial muncul semata-mata didorong oleh kehendak untuk mendapatkan hak-hak individualnya. Setiap perbuatan sosial yang dilakukan oleh seorang individualis, bukanlah didasari oleh rasa tanggungjawab sosialnya terhadap sesama manusia, akan tetapi lebih didorong oleh kehendak untuk mendapatkan hak-hak individualnya. Baik itu berupa pengakuan masyarakat atas keberadaan dirinya, maupun untuk mendapatkan perlindungan atas diri mereka termasuk aset yang dimilikinya. Dalam komunitas seperti ini, apa yang mereka lakukan hampir selalu memperhitungkan apa yang akan diperoleh daripada perbuatan tersebut. Karenanya, untung-rugi menjadi bahasa yang lajim didalam menyikapi setiap langkah yang hendak atau sedang diperbuat oleh seseorang. Jasa sebagai manifestasi dari pola hubungan ini muncul dan semakin menguat sejalan dengan semakin kuatnya pila semangat individualisme dari masyarakatnya. Dari sinilah, upah seabagai bentuk pola perhitungan atas jasa yang dikeluarkan oleh seseorang dalam hubungan sosial-ekonomi menemukan fungsi dan perannya. Pada tingkat awal, upah atau jasa hanya muncul pada hubungan-hubungan antar individu menyangkut soal produksi. Tetapi, pada tingkat lebih lanjut, upah atau jasa tidak saja berkaitan dengan soal produksi, melainkan hampir mewarnai setiap hubungan sosial-ekonomi antar individu dalam komunitas sosial kemasyrakatan yang ada. Dalam pola hubungan seperti ini, tidak ada lahi sesuatu yang gratis dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya hubungan sosial dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada digantikan oleh pola hubungan antar individu yang lebih bersifat ekonomis. Hal ini menjadi penting bagi masyarakat kapitalis, karena dalam sistem komunitas yang demikian, angka-angka ekono ekonomi sebagai perwujudan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan akan menunjukan signifikansi sejalan dengan semakin meningkatnya intensitas hubungan antar individu dalam masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari pola berpikir materialis yang menjadi induk dari lahirnya paham kapitalis; menguasai serta menikmati bentuk-bentuk kebendaan adalah hal yang wajar serta manusiawi. Karenanya, lahirnya berbagai karya inovasi sebagai bentuk implementasi dari semangat untuk menguasai serta menikmati berbagai hal yang bersifat kebendaan, menjadi hal yang lumrah serta harus diakui sebagai karya yang luar biasa dari manusia, yang baik secara kuantitatif maupun kualitatif berhamburan muncul, membangunkan bumi dari kesunyian alam sufi. Hal ini bisa ditelusuri dari sejak ditemukannya tenaga uap, yang kemudian berkembang menjadi mesin-mesin automotif. Manusia tidak mau lagi berlama-lama duduk diatas gerobak kuda untuk berpergian antar kota, atau bahkan mungkin hanya untuk pergi berbelanja ke pasar sekalipun. Demikian juga dengan ditemukannya listrik oleh Thomas alfa edison, yang kemudian berkembang menjadi teknologi transistor serta IC di bidang elektronika, telah pula mengubah pola hubungan antar manusi dalam sistem komunikasinya. Jarak antar benua menjadi semakin pendek oleh berbagai temuan sistem transportasi modern. Demikian juga transparansi pola hubungan antar bangsa menjadi tak terelakan lagi oleh berbagai temuan teknologi di bidang media, baik cetak, elektronika, komputer maupun satelit.

Namun berbagai temuan ini (meski tidak selalu benar) membutuhkan biaya cukup tinggi untuk berbagai eksperimen serta penelitian yang dilakukannya, keterbatasan pada jumlah produksi akan mengakibatkan harga produksinya menjadi sangat mahal. Untuk inilah, para produsen mengupayakan agar produknya bisa diproduksi dan dikonsumsi secara massal. Karena, hanya dengan cara demikian biaya produksi, termasuk didalamnya semua biaya inovasi yang telah dikeluarkan akan terbiayai dengan sendirinya, bersamaan dengan keuntungan besar yang diraih dari hasil penjualan produknya. Harus diakui bahwa peran kekuatan kaum kapitalis dalam mendorong lahirnya berbagai inovasi teknologi pada beberapa abad terakhir sangat luar biasa. Berbagai teknologi hampir menyentuh semua bidang kehidupan manusia. Tetapi, kenapa kaum kapitalis selalu dicemooh oleh berbagai kalangan penentangnya sebagai kaum pemeras? Hal inilah yang sebenarnya musthi kita bongkar. Sehingga kita tidak terjebak kedalam alur berpikir yang keliru. Karena dalam era serba keterbukaan sekarang ini, perbedaan antara baik dan buruk, salah dan benar adalah sangat limit sekali. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak punya argumentasi sendiri-sendiri, yang didukung pula dengan pola pembenarannya masingmasing, sehingga bagi yang kurang memahaminya, perdebatan tentang hal tadi bisa berati baik semua dan benar semua. Dilihat dari cara berpikir kapitalis yang telah teruji kebenarannya secara historis, daya dorong yang luar biasa yang menyemangati kaum kapitalis untuk membiayai serta memfasilitasi berbagai karya inovasi, sebenarnya bukanlah didasarkan kepada semangat pengabdiannya untuk kepentingan umat manusia. Tetapi, lebih didorong untuk memperoleh keuntungan maksimal semata. Hal ini terungkap dari semangat mereka dalam melakukan berbagai kegiatan ekonominya, yang kemudia banyak melahirkan karya-karya inovasinya, bahwa Keberhasilan seorang enterpreneur (pengusaha) bukan saja ditentukan oleh bagaimana dia mampu menguasai pasar; tetapi bagaimana dia mampu menciptakan pasar". Dalam pola berpikir seperti ini, jelas sekali bahwa bagi seorang pengusaha, manusia hanyalah obyek (konsumen) yang harus digiring kedalam sistem ketergantungan yang diciptakannya, sehingga akan menajdi konsumen setia dari setiap produk yang dilahirkannya. Ketika konsumen masih mengkonsumsi produk mereka sebata garis fungsionalnya, hal ini tidak banyak menimbulkan persoalan. Karena apa yang dikonsumsi masih mampu menunjukan adanya optimalisasi produktivitasnya. Tetapi, ketika karena sistem ketergantungan yang diciptakannya, konsumen sudah mengkonsumsi produk melampui garis batas fungsionalnya, orang (konsumen) sudah terjebak pada pola hidup yang disebut sebagai pola hidup konsumtif (high consumption). Dalam posisi ini, orang sering mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang, belum, atau bahkan tidak mereka butuhkan sama sekali. Hal ini bisa terjadi karena orang sudah masuk kedalam kawasan yang disebut sebagai "gengsi", status sosial, atau entah apalagi namanya sebagai manifestasi dari pola kongurensi yang terlahir dari sistem kehidupan yang individualistis. Sebuah proses pemiskinan massal yang harus dibayar oelh bangsa-bangsa di dunia ketiga dengan seluruh asset yang dimilikinya, tidak terkecuali asset budayanya. Kita memang sering terkecoh oleh berbagai ungkapan yang sebenarnya hanya merupakan iklan terselubung dari para pengusaha tentang produk temuan barunya yang sering terkesan humanis.

Tetapi, kita akan segera yakin apabila kita melihat bagaimana nasib sang ilmuwan yang dengan seluruh tenaga dan pikirannya tidak berdaya ketika berhadapan dengan perilaku para pengusaha yang sering memperlakukan hasil temuan tersebut berbeda jauh, bahkan kadang berlawanan dengan nurani kemanusiaan sang inovatornya. Hal ini bisa terjadi, karena ketika karya ini sudah terbeli, entah itu dengan yang namanya gaji atau dengan cara yang lainnya, dan dicatatkan oleh perusahaan sebagai pemegang hak patent. Segala sesuatu yang berkaitan dengan karya itu sudah menjadi hak milik penuh perusahaan pemegang hak patentnya. Untuk apa dan bagaimana, serta dengan harga berapa produk itu akan dijual, sudah tidak lagi menjadi kuasa bagi sang ilmuwan. Melainkan ditangan pemegang modal!!! Dalam sistem pergaulan hidup sepeti ini, modal bukan saja merupakan sesuatu yang musth dijaga keberadaanya oleh kaum kapitalis, melainkan harus dikembang-gelembungkan dengan berbagai cara, meski kadang harus menggunakan cara-cara yang kurang terpuji menurut ukuran etika maupun moral. Karenanya, munculnya bentuk-bentuk dalam perdagangan seperti monopoli, oligopoli, dumping dan bentuk lain sejenisnya hanyalah beberapa contoh dari bagaimana cara kaum kapitalis memperebutkan pasar untuk mendapatkan keuntungan besar sebagai hasil akhir. Berangkat dari keyakinannya bahwa kekuatan mereka terletak pada seberapa besar modal yang dia miliki, maka keuntungan yang oleh pengusaha atau pemegang modal, diyakini sebagai pendapatan, tidak semuannya dikonsumsi. Melainkan, sebagian darinya diinvestasikan kembali untuk memperkokoh kekuatan modalnya. Hal ini musthi dilakukan untuk memperkuat daya saing produknya dalam pertarungan di dalam pasar. Demikian juga bagi yang merasa kemampuan modalnya tidak kuat, untuk tidak gulung tikar, sebagai akibat dari kekalahannya dalam persaingan kadang mereka harus bergabung dalam kartel membentuk sesuatu kekuatan dalam persaingan baru. Dan disinilah sebenarnya bisa kita ketahui akumulasi kapital (penumpukan modal) yang menjurus kepada konsentrasi kapital dan sentralisasi kapital (pemusatan modal) adalah bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari strategi kaum kapitalis sebagai akibat dari terjainya persaingan didalam mekanisme pasar. Lalu, yang menjadi pertanyaan berikutnya, kenapa pasar bebas muncul sebagai syarat bagi terwujudnya ekonomi kapitalistik? Hal ini kiranya bisa dipahami karena dengan kekuatan modal serta teknologi yang dimilikinya, kaum kapitalis bisa memainkan pasar kedalam pola kepentingannya. Dengan pasar bebas, lalu lintas modal dan barang yang notabene dikuasai oleh apa itu yang namanya juragan, saudagar atau konglomerat bisa lalu lalang menembus kesegala arah dan wilayah dimana sumber-suber keuntungan berada. Memang, hukum permintaan dan penawaran yang menjadi landasan bagi lahirnya mekanisme pasar masih bisa diterima oleh logika ketika faktor-faktor non-ekonomi tidak berpengaruh (cateris paribus). Namun dalam kenyataannya. Tidak pernah dalam sejarah kehidupan manusia bahwa satu aspek dalam kehidupan manusia terlepas dari aspek-aspek yang lainnya. Langkah manusia dipengaruhi oleh sikap hidup, sikap hidup dipengaruhi oleh falsafah hidup, falsafah hidup terbentuk oleh sistem sosial kemasyarakatan yang ada, pengalaman hidup sebelumnya dst,..dstnya. Demikian juga dalam bidang ekonomi, tidak ada dalam kenyataan bahwa harga yang dihasilkan oleh adanya permintaan dan penawaran dalam pasar, terbentuk tanpa pengaruh faktor-faktor non-

ekonomi yang ada. Hal ini terjadi karena harga tidak saja ditentukan oleh produsen dan konsumen. Melainkan ditentukan pula oleh faktor ketiga yaitu: jasa. Bahkan, sering karena besarnya kekuatan modal finansial yang dimiliki oleh sektor jasa, harga yang terjadi cenderung diatur oleh mereka yang bergerak di sektor ini. Dengan kekuatan yang dimilikinya mereka bisa memobilisir barang dari dari satu daerah ke daerah yang lainnya, meski jaraknya ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Demikian juga dengan membiayai berbagai kegiatan sosial budaya, terlebih lagi pendidikan, atau bahkan kalau perlu melakukan kolusi dengan penguasa untuk mempengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan dengan kepentingannya, mereka mampu merubah perilaku konsumen kedalam kawasan kepentingannya. Dari sinilah sebenarnya pasar bebas menemukan arti yang sebenarnya. Pasar bebas sebagai mekanisme yang melahirkan harga equalibrium hanyalah kata-kata sandi bagi bagaimana kaum kapitalis bisa mengatur harga sebaik-baiknya untuk kepentingan modalnya. Atau dengan kata lainj, pasar bebas adalah sebuah mekanisme dimana modal bisa mengalir bebas melampaui batas bangsa dan negarauntuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa disertai oleh rasa kekhawatiran sedikitpun baik terhadap pemilik maupun modalnya, karena dilindungi oleh hukum internasional yang dibangun sebagai pranatan atas sistem kehidupan yang bernafaskan liberal-kapitalistik. [b]Perangkat sistem yang Musti Dibangun: [b]Liberalisme Untuk bisa mewujudkan ambisinya dalam memaksimalisasi keuntungan atas modal yang ditanam sebagaimana tercermin dai ke-empat watak dasar diatas, kaum kapitalis membangun perangkat sistem dimana berbagai manuvernya akan mendapatkan ruang serta tahapannya secara mantap. Untuk menciptakan masyarakat yang individualistis, [b]liberalisme sebagai sebuah ideologi yang mengutamakan hak-hak individu menjadi sangat penting kedudukannya. hal ini terjadi karena solidaritas sebagai sebuah komunitas yang terbentuk atas dasar kesetiakawanan atau persaudaraan tidak boleh tumbuh dalam masyarakat kapitalis. Karenanya, sistem politik yang dibangunpun harus diorientasikan kepada suatu kondisi yang mampu menjamin tidak mungkin tumbuhnya semangat kesetiakawanan. Sebaliknya, mampu menjamin hak-hak individu, dalam pengertian yang lebih sempit, menjamin kebebasan individu untuk berusaha meski harus melahirkan eksploitasi antar manusia maupun bangsa. Dalam masyarakat liberal, tidak boleh ada ada istilah solidaritas, melainkan yang ada hanyalah [b]kepentingan. Kesamaan sikap dalam suatu komunitas sering terbentuk [b]tidak atas dasar rasa kesetiakawanan atau persaudaraan, melainkan dikarenakan oleh adanya kesamaan kepentingan. Karenanya, dalam sistem politik yang menggunakan demokrasi liberal, kepentingan individu untuk memperoleh hak-haknya menjadi target strategis yang harus didukung oleh mekanisme sistem politik yang ada. [b]Rakyat, yang dalam konteks negara bangsa, harus dilihat sebagai satu kesatuan (unity) yang terdiri dari individu-individu yang telah menyatukan dirinya dalam konsensus pendirian negara, tidak pernah diperlakukan secara benar. Melainkan, tetap dilihat sebagai individu-individu dengan pluralitas kepentingan berikut haknya. Demikian juga, karena modal dijadikan sebagai nafas kehidupan kemasyarakatan yang dibangun. Pemegang modalpun mendapat tempat yang sangat istimewa sehingga mempunyai kekuatan serta daya desak luar

biasa dalam sistem pemerintahan. Pemerintah, MPR maupun DPR, dalam konteks negara kapitalis tidak lebih hanyalah merupakan corong serta perpanjangan tangan kepentingan segelintir atau kelompok orang yang dalam hal ini menguasai modal. Dalam kehidupan keseharian kita dewasa ini, meski sudah ada reformasi, kita bisa melihat dan merasakan dengan jelas, bagaimana instrumen tersebut berfungsi dengan baik dalam kehidupan bernegara kita. Kita melihat bagaimana ideologi kepentingan memperlihatkan watak aslinya dengan jelas, ketika kekuatan Orde Baru dan kekuatan yang mengaku paling reformis berada dalam satu kubu, untuk beramai-ramai membantai Megawati dalam Sidang Umum MPR yang lalu, yang kemudian melahirkan tampilnya Gus Dur sebagai presiden, yang meski dari ekspresinya berat untu menerimanya. Bagi seorang Gus Dur yang paham akan nilai-nilai etika dan moralitas dalam berpolitik, dia sadar betul bahwa apa yang terjadi dalam arena, benar-benar telah mencabik-cabik nurani kebangsaannya. Dia sadar betul, tanpa Megawati yang sejak peristiwa 27 Juli 1996 telah muncul sebagai simbul perlawanan kaum tertindas, yang natabene pula pemenang pemilu. Apa yang diraihnya dalam Sidang Majelis tidak ada apa-apanya, karena kekuasaan yang diperolehnya bukanlah dari rakyat, melainkan dari elite politik, yang sebagian besar pula dari mereka masih merupakan kekuatan statusquo, yang bersama Megawati pula sebenarnya dia ingin menumbangkannya. hal ini ternyata dibuktikan oleh keduanya setelah mereka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Tidak sedikit langkah yang diambil oleh Gus Dur dalam menjalankan pemerintahannya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kekuatan statusquo. Termasuk pula mereka yang sok mengaku reformis, baik dari kalangan Majelis, Dewan maupun intelektual. Baik dari kalangan kampus maupun dari luar kampus, yang anehnya justru dari kalangan pendukungnya sendiri yang mengangkat Gus Dur ke tampuk kekuasaan. Dalam masyarakat liberal, kejadian semacam ini bukanlah hal yang aneh. Karena dukungan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok bukanlah didasari oleh adanya kesamaan visi atau ideologi, melainkan [b]kepentingan!!! Sehingga ketika kepentingan mereka justru terancam oleh berbagai manuver yang dilakukan "Gus Dur - Mega" dalam memerangi KKN, mereka beramai-ramai pula mengguncang kekuasaan Gus Dur dengan berbagai cara. Termasuk didalamnya, memasukan orang-orang yang berada pada satu kepentingan ke dalam pusaran pusat kekuasaan, dimana diharapkan akan bisa memotong kedekatan Gus Dur dengan Mega. Hal ini menjadi sangat penting untuk mereka lakukan, karena terlalu sulit bagi mereka untuk menghadapi keduanya secara bersama-sama. Karena, kalaupun toh mereka paksakan, bisa dipastikan, hal ini akan berarti harus berhadapan dengan mayoritas bangsa yang kini tidak bisa lagi dibodohkan hanya dengan berbagai statemen kosong tanpa makna yang lahir dari ekspresi kepentingan yang memang tumbuh subur dalam alam liberal dewasa ini. [b]Modernisme

Bicara tentang [b]modernisme, sebenarnya membawa kita kepada perbincangan sejarah budaya manusia yang tumbuh dan berkembang menurut hukum dialektiknya, yang lajim kita sebut sebagai [b]dialektika sejarah (historical dialectic). Menurut hukum ni, apa yang ada saat ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa peran dari kondisi serta apa yang dihasilkan sebelumnya. Kita tidak akan mengenal komputer, kalau sebelumnya tidak diketemukan listrik. Demikian juga kita tidak kenal popa jet (jetpump), kalau sebelumnya tidak pernah ditemukan kincir angin, atau lebih jauh lagi ilmu tentang gaya sentrifugal yang melahirkan daya hisap. Jadi, barang sebagai hasil karya manusia hanyalah manifestasi daro perkembangan budaya manusia yang berjalan menurut hukum alam yang akan terus menerus bergerak maju menuju kesempurnaan. Lahirnya pengetahuan tentang timba (bhs. Jawa) adalah merupaka jawaban dari kebutuhan akan air oleh suatu masyarakat tertentu yang untuk mendapatkanya harus mengambilnya dari sumur. namun, karena perkembangan manusia yang mulai meningkat aktifitasnya, mereka mulai berpikir bagaimana waktu dan tenaga yang harus dipakai untuk menimba bisa digantikan oleh tenaga non-manusia? Lahirlah kincir angin. demikian pula, karena arah dan waktu datangnya angin juga tidak kontinue, bersamaan dengan majunya temuan dibidang listrik, orang masuk pada pompa air. demikian seterusnya, kemajuan teknologi berjalan seirama dengan kemajuan manusia baik secara evolusi maupun revolusi. dari uraian diatas kita bisa melihat bahwa kuno dan modern bukan suatu yang berbenturan, tetapi [b]satu mata rantai yang berkait berkesinambungan. Sesuatu yang sekarang dikatakan sebagai modern, tercipta karena pernah ada suatu hasil karya yang sekarang pula kita sebut sebagai kuno. Demikian juga, tidak pernah akan ada hasil karya manusia yang sekarang kita sebut sebagai modern, jika tidak pernah ada sebelumnya karya manusi yang sekarang kita sebut sebagi kuno. Modern, hanyalah sebuah konotasi terhadap sesuatu karya yang bersifat temporer, dan tidak akan berlaku secara permanen, melainkan akan ditelan oleh waktu berikut temuan-temuan baru sebagai hasil dari pengembangan darinya. Atau dengan kata lain, apa yang dikatakan modern akan dikatakan kuno dikemudian hari manakala temuan-temuan baru sebagai derivasi dari karya-karya sebelumnya telah muncul. Lalu, kenapa dalam konsep modernisme Barat, selalu harus diperhadapkan pengertian antara tradisional dengan modern? Dalam pandangan Barat (Kapitalis), tradisional selalu dikonotasikan sebagai kuno, tertinggal dst,..dstnya. Sebuah penilaian yang penuh dengan konotasi negatif terhadap prospek kemajuan manusia dilihat dari sisi rasionalitasnya. Sementara, modern diartikan oleh mereka (Barat) sebagai sebuah bentuk kemajuan yang berada jauh didepan, terlepas dari kondisi masa lalunya. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang mewakili modernitas, Barat menempatkan dirinya sebagai simbol kemajuan peradaban manusia. Sementara bangsa-bangsa Timur, untuk mengejar ketertinggalannya, harus berani membongkar dirinya dari kungkungan tradisi yang disimbolkan sebagai penuh dengan kebodohan irasionalitasnya. dari sinilah teori [b]n-Ach (need for Achievement) ditebarkan keseluruh penjuru dunia oleh sang "Pembaharu" untuk mengangkat umat manusia dari keterpurukannya (lihat edisi 3).

Semua yang berbau tradisional, dalam pengertian Timur harus dibabat. Diganti dengan budaya baru yang didasari oleh spirit "individualisme" dan "konsumtif". Karenanya , tradisi sebagai lem perekat dalam menjaga sistem kemasyarakatn yang sosialistis dalam budaya Timur harus dibantai, karena tidak efisien dan bertentangan dengan smangat yang hendak ditebarkan ke seluruh penjuru dunia sebagai satu-satunya model yang harus diterima. Karena dalam keyakinan mereka, hanya dengan semangat seperti inilah, manusia akan didorong secara terus-menerus sepanjang hidupnya untuk mencapai kemajuan umat manusia. Namun, benarkah semangat seperti ini telah melahirkan kenyataanya bagi peningkatan harkat hidup umat manusia? Sudah tentu kita bisa menjawabnya sendiri-sendiri. Karena sebagai bangsa, kitapun kini sedang berada dalam pergumulan akbar merebaknya teori tersebut, yang menempatkan kita bukan saja selalu berada sebagai obyek, tetapi bisa juga sebagai perencana atau bahkan kadang perantara. Secara faktual, kita harus mengakui kemajuan materiil yang dicapai oleh semangat ini. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa didaerah terpencil, dipuncak gunung, orang bisa menikmati siaran televisi berwarna dengan antena parabolanya sehingga kejernihan suara dan gambarnya tidak kalah dengan mereka yang menikmatinya di kota. Demikian juga dengan munculnya telepon genggam, orang tidak lagi dibatasi oleh gunung, laut atu bahkan benua untuk bisa berkomunikasi setiap saat, sambil duduk santai, tiduran atau bahkan sambil berak sekalipun. Semua produk industri masuk menembus konsumennya tanpa lagi mengenal batas daerah, wilayah atau bahkan negara. Apakah itu mereka yang berada di pegunungan atau pesisir? Apakah itu mereka yang yang berada dikota ataupun di desa? Apakah itu mereka berada di negara yang kaya ataupun yang miskin sekalipun? Pendek kata, selagi mereka mampu membeli atau setidaknya punya aset yang bisa dijaminkan untuk mendapatkan kredit atas sejumlah barang yang dibutuhkan, mereka bisa memiliki apapun yang mereka butuhkan. Mulai dari TV, VCD, sepeda motor, kulkas sampai barang-barang yang bersifat sangat privasi sekali seperti alat-alat make-up dlsb,..dlsnya. Dengan sistem perdagangan yang disebut sebagai pasar bebas, tidak ada lagi yan mampu membendung arus membanjirnya barang-barang konsumsi, selain yang disebut sebagai daya beli. Karenanya, daya beli dan semangat untuk membeli menjadi bagian yang sangat penting dalam strategi besar kapitalisme internasional. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita berikutnya adalah, benarkah daya beli kita ini memang tinggi betul, sehingga kita mampu mengkonsumsi hampir setiap barang yang ditawarkan di pasar? Hal inilah sebenarnya yang harus kita bongkar, sehingga kita tidak terjebak kepada bentuk-bentuk kemewahan semu sebagai akibat dari semakin meningkatnya kebutuhan hidup, karena semakin membengkaknya biaya pemenuhan pola konsumtif kita yang semakin tidak rasional lagi. Dilihat dari kesempatan konsumen untuk mengkonsumsi barang, pasar bebas memang seolah menjanjikan rasa keadilan yang memang menjadi dambaan setiap manusia. Setiap produk bisa dimiliki oleh siapapun tanpa membedakan fungsi dan jabatan seseorang. Namun, benarkah apa yang selama ini dipajang mulai dari ruang tamu sampai ruang dapur yang hampir mewarnai pola tata ruang, rumah tangga rakyat di dunia ketiga ini merupakan kebutuhan fungsional mereka, sehingga mempunyai produktifitas secara optimal atas kepemilikannya?Hal ini kiranya yang

perlu untuk dikaji lebih jauh. Karena pada kenyataanya, apa yang mereka lakukan selama ini ternyata lebih didorong untuk memperoleh status sosial yang mereka sendiri menamakannya sebagai modern, dariapada pemenuhan kebutuhan fungsionalnya. Dengan menangkap simbolsimbol yang ditawarkan, mereka lebih bangga dikatakan sebagai orang modern, meski untuk mencapainya harus mempertaruhkan aset yang dimilikinya termasuk tenaga dan harga dirinya daripada harus dikatakan sebagai kuno. Sebuah potret keberhasilan dari sebuah mahakarya yang amat luar biasa. dimana virus yang dikenal sebagai [b]n-Ach, mampu merubah bukan saja pola konsumsi umat manusia di dunia ketiga, tetapi sekaligus merubah perilaku mereka dari masyarakat yang mandiri, menjadi masyarakat yang sangat amat tergantung kepada masyarakat atau bangsa lain darimana modal mengalir. [b]Lembaga Perbankan Peranan Bank dalam menunjang kepentingan para pemegang modal memang sangat luar biasa dasyatnya. Hal ini dimungkinkan karena disamping berfungsi sebagai pencari modal bagi suatu investasi, dari keuntungan yang diperoleh dari beberapa perusahaan yang sudah ada, para pengusaha menginvestasikan kembali uangnya dalam bank yang mereka bangun untuk diusahakan kembali sehingga mendapatkan keuntungan ganda atas setiap kocek yang dikeluarkannya sebagai investasi. Memang, secara teoritis diharapkan munculnya bank-bank di daerah bisa mendorong tumbuhnya pegusaha-pengusaha lokal sehingga mampu mampu menjadi motor penggerak bagi tumbuhnya perekonomian daerah bersangkutan, serta diharapkan akan mampu ikut berperan dalam pembangunan ekonomi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Namun, yang terjadi sering justru berfungsi sebagai mesin penghisap uang daerah untuk diinvestasikan pada proyek-proyek yang dibangun oleh perusahaan groupnya. Dengan kata lain, kemunculan bank-bank swasta di Indonesia sebagai produk dari [b]liberalisme ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah atas desakan IMF pada pertengahan tahun 80-an, ternyata lebih memberikan kesempatan kepada para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa untuk menguras habis kekayaan nasional kita, daripada menempatkan fungsinya sebagai perangkat pemberdayaan perekonomian rakyat. alam era ekonomi yang demikian ini, rakyat, tidak lagi mempunyai peran signifikannya dalam proses pembangunan, selain menjadi obyek yang harus diperas tenaga berikut asetnya untuk memperbesar keuntungan para pemilik modal maupun para penguasanya. Peran perbankan sebagai motor pendorong investasi sekaligus pembina pengusaha ekonomi menengah kebawah, termasuk didalamnya petani sebagai produsen, tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dengan jelas dari bagaimana sulitnya pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan kredit dari bank, meski berbagai persyaratan yang tidak sederhana (menurut ukuran mereka) telah diupayakan. Sebaliknya, jangankan bank swasta, bank-bank pemerintah sendiripun lebih suka memberikan kreditnya kepada para pengusaha besar, setidaknya yang sudah jadi. Karena, disamping tidak perlu memberikan berbagai pembinaan, munculnya uang kolusi sebagai sesuatu yang yang dianggap lajim dalam sistemkapitalis, merupakan daya dorong yang luar biasa bagi semakin tumbuh kuatnya kaum kapitalis dalam memperebutkan kapital sebagai produk dan sentralisme kapital yang termanifestasikan dalam sistem perbankan yang ada. kondisi sistem perbankan seperti inilah sebenarnya yang telah mempunyai andil besar dalam melahirkan konglomerasi di Indonesia pada masa Orde Baru. Para pengusaha berkolusi dengan para pejabat (penguasa) untuk mendapatkan berbagai proyek berikut fasilitasinya, mulai dari perijinan sampai opersionalnya. Sementara

modal yang mereka butuhkan, mereka dapatkan dari dana murah masyarakat yang mereka himpun melalui bank-bank yan mereka dirikan sendiri. Hancurnya perbankan nasional kita sebagai akibat dari terlalu besarnya kredit macet ulah para konglomerat hanyalah menunjukan bagaimana hampir seluruh dana masyarakat yang terakumulasi dalam berbagai bentuk simpanan pada bank, dikuasai pemanfaatnya oleh perusahaan-perusahaan groupnya. disinilah sebenarnya peran bank dimata kaum kapitalis menunjukan fungsinya dengan baik. Hal ini tidak berati saya menolak terhadap peran perbankan dalam menunjang sistem perekonomian nasional kita. Tetapi, hanya ingin menunjukan bagaimana sebenarnya mereka (kaum kapitalis) melihat peran perbankan dari kacamata kepentingannya. koperasi sebagai institusi ekonomi rakyat yang dijamin keberadaannya baik oleh UUD maupun GBHN, rasanya masih terbatas menjadi retorika politik kaum elite saja. Karenanya sudah selayaknya apabila semangat ini diikuti pula oleh pembangunan infrastruktur di bidang politik maupun ekonomi yang memungkinkan tumbuhnya iklim politik yang kondusif bagi terbentuknya semangat kebersamaan, serta diikuti pula oleh sistem perbankan yang benar-benar mampu menjamin pelaksanaannya, khususnya menyangkut jaminan atas kredit permodalan, sehingga ungkapan yang terkandung baik dalam UUD maupun GBHN tersebut mampu menemukan bentuknya yang nyata. Disini, DPR sebagai pemegang amanah kedaulatan rakyat, tidak berlebihan kiranya kalau diharapkan mampu melahirkan undang-undang yang mampu mengarahkan sekaligus mengontrol sistem perbankan kita, termasuk didalamnya Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. Sehingga bank benar-benar bisa difungsikan sebagai katalisator pembangunan. Bukan sebaliknya, sekedar menjadi alat kaum kapitalis atau penguasa di dalam memenuhi hajat kerakusannya. [b]Pembentukan Lembaga-lembaga Perdagangan Dunia Banyak para politisi berpendapat bahwa produk yang paling istimewa dari PD II adalah lahirnya polarisasi dunia menjadi dua kekuatan besar. Dimana, di satu sisi, mereka yang menamakan diri sebagai negara-negara Barat (kapitalis). Sementara disisi lain mereka yang tergabung dalam kubu negara-negara komunis yang dipelopori oleh Rusia. Dibawah tekanan Sekutu, negara-negara kalah perang seperti Jerman dan Jepang dipaksa untuk membuat Undang-Undang Dasarnya yang pada intinya hanya memperbolehkan mereka mengembangkan teknologi militer maupun angkatan perangnya sebatas kemampuan defensif saja, dan menyerahkan sistem keamanannya kepada Sekutu. Dengan kata lain, meski dibawah kontrol Sekutu, mereka masih tetap diberi kebebasan untuk menumbuhkan kembali perekonomiannya. Dilihat dari situasi seperti ini, kita melihat seolah-olah Perang Dunia II lahir dari pertarungan untuk memperebutkan hegemoni. negara-negara sekutu termasuk Rusia, ingin mendapatkan opengaruh kekuasaannya atas negara-negara kalah perang seperti Jerman, Itali maupun Jepang.

Namun benarkah demikian? Tentu saja tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang mendorong kenapa negara-negara Barat tidak menginginkan negara-negara kalah perang untuk dibunuh sekalian kemungkinan bagi pengembangan perekonomiannya. Barat bahkan membangun kembali negara-negara Eropa dari akibat Perang Dunia II, termasuk mereka yang kalah perang dalam program Marshal Plan. Hal ini mereka lakukan karena mereka memang sadar betul bahwa inti Perang dunia II bukanlah sekedar perang untuk mendapatkan pengaruh. Juga bukan perang untuk mendapatkan negara jajahan seperti yang sering terjadi pada masa-masa sebelumnya. Melainkan, perang untuk memperebutkan pasar bagi produk industrinya yang sudah kelewat melimpah, sebagai akibat dari perang harga, yang memaksa mereka harus mampu melakukan ekspor secara besar-besaran. Hal ini terjadi karena dalam kerangka efisiensi. Untuk menekan tingkat pendapatan buruh jelas merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan. Sehingga satu-satunya cara yang paling efektif adalah dengan meningkatkan jumlah produksi, sehingga dicapai harga satuan yang cukup bersaing. Perlu dicatat kiranya bahwa Jerman dan Jepang adalah dua negara yang teknologi maupun ekonominya terbilang tertinggi di eropa dan Asia pada masa sebelu perang. Karenanya, bangkitnya kembali perekonomian di di kedua negara ini akan berati mengembalikan daya beli dan konsumsi masyarakatnya yang memang sebelumnya cukup tinggi, sehingga mampu dijadikan pasar yang luar biasa bagi produk industrinya. Inilah watak Perang Dunia II yang sebenarnya. Perang yang tidak bukan dan tidak lain hanyalah perang untuk memperebutkan pasar bagi produk mereka dengan membedah benteng pertahanan lawan yang disebut negara. Sebuah model perang yang sampai sekarang masih dipakai oleh negara-negara Barat (khususnya AS) terhadap negara-negara di dunia ketiga, meski dengan cara-cara yang berbeda. Dengan menggunakan isue "Bahaya Komunisme", tentara negara-negara Barat yang dikomndani oleh AS terlibat dalam berbagai kegiatan militer di hampir seluruh belahan bumi untuk sebuah kata yang namanya [b]modal atau [b]kapital. Mereka mengadu domba negara-negara dunia ketiga dengan menciptakan berbagai ketegangan hanya untuk tujuan [b]menjual peralatan pembunuh yang nilainya sulit terbayangkan untuk kocek sebuah negara berkembang, kecuali hanya diganti dengan selembar surat hutang yang harus dibayar dengan segala macam aset yang dimilikinya, termasuk harga dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau dengan harga sebuah Tank bisa dibangun sebuah pabrik yang mampu menampung ratusan buruh. apalagi untuk sebuah rudal, pesawat tempur atau entah apalagi yang lainnya. Namun strategi semacam ini menjadi tidak populer setelah AS harus menerima buah simalakama, ketika ribuan tentaranya terbunuh dalam perang Vietnam. Pemerintah Amerika Serikat diprotes habis-habisan oleh rakyatnya sendiri sehingga memaksa pemerintah menarik tentaranya dari Vietnam pada tahun 1975. Dari sinilah kebijakan luar negeri AS mengalami perubahan yang cukup drastis. Karenanya, dengan kekuatan dana dan dan pengaruhnya yang cukup kuat, AS menggunakan PBB sebagai bemper kepentingannya. Dengan menarik keterlibatan militernya secara langsung di banyak negara, AS menggantikannya dengan memaksakan [b]demokratisasi dunia untuk maksud [b]liberalisasi politik dan [b]perekonomian dunia, serta [b]Hak Azasi Manusia untuk maksud

[b]Individualisme, dimana hak-hak privasi seseorang dijamin sepenuhnya secara internasional meski kadang untuk mendapatkannya harus dengan jalan pembantaian!! Inilah wajah dunia kita sekarang ini. wajah yang penuh dengan bopeng-bopeng kerakusan umat manusia, yang dicoba untuk dipoles dengan kata-kata [b]demokratisasi dan [b]hak azasi manusia. Sebuah kata yang mengandung makna bagi sebuah [b]uniformitas dunia yang liberal kapitalistik, dimana perdagangan bebas dengan hukum rimbanya, menjadi ajang keseharian bagi praktek eksploitasi manusia ata s manusia maupun bangsa atas bangsa lain. Dari snilah sebenarnya apa itu yang namanya WTO, GATT, APEC atau entah apa lagi yang lainnya menemukan sumber cerita yang sesungguhnya. [b]Manuver Kapitalis Internasional di Dunia: Seperti pada edisi 3 yang lalu, Saya telah menjelaskan bagaimana kapitalisme internasional menjalankan strategi globalnya, yaitu: [b]1. Penetrasi budaya, Vaksinasi virus n-Ach yang dilakukan negara-negara Barat dengan PBB sebagai pelaksananya terhadap bangsa-bangsa di dunia ketiga sebenarnya mempunyai tiga target sasaran, Yakni terciptanya semangat [b]individualisme, westernisme dan [b]konsumerisme. Karena hanya dengan semangat seperti inilah sebenarnya kapitalisme menemukan ruh kehidupannya. Kapitalisme tidak akan tumbuh manakala semangat kebersamaan kokoh bersemayam di dalam kehidupan kemasyarakatan sebuah bangsa. Karenanya untuk menciptakan masyarakat yang kapitalistis, solidaritas sebagai manifestasi dara rasa kebersamaan harus digantikan dengan semangat kepentingan. Kebersamaan yang ada dalam masyarakat ini bukanlah didasari oleh rasa, melainkan oleh adanya kesamaan kepentingan dalam persaingan abadi. Kapitalisme juga tidak bisa tumbuh jika orang masih banyak menggunakan nuraninya seperti lajimnya masyarakat Timur yang mengandalkan hidupnya pada akal budinya. Karenanya, pola berpikir demikian harus pula digantikan oleh pola berpikir rasional, seperti lajimnya cara berpikir orang Barat, sehingga perhitungan untung-rugi mendapatkan rel berpikirnya yang mapan. Hal ini tidak berarti cara berpikir rasional itu salah. tetapi tanpa diikuti oleh kematangan nurani atau batiniahnya, sejarah telah membuktikan betapa dasyatnya kekuatan destruktif ini menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Yang terakhir, kapitalisme juga tidak akan bisa tumbuh apabila orang masih berpikir fungsional dalam berkonsumsi. Karenanya, semangat seperti inipun juga harus diubah. diganti dengan pola berkonsumsi yang tidak mengenal batas. atau lebih dikenal dengan high consumtion. Karena, hanya dengan cara seperti ini pulalah produk kapitalis akan menemukan pasarnya, dimana keuntungan sebagai sasaran akhir menemukan masksimalisasinya. [b] [b]2. Liberalisasi Ekonomi-politik Untuk mewujudkan target sasaran bagi terbentuknya masyarakat dunia yang liberal kapilastik. dengan kekuatan modal dan teknologi yang dikuasainya, kapitalis internasional yang terdiri dari negara-negara industri yang notabene negara-negara bekas penjajah, melakukan berbagai kegiatan politik baik dengan cara konstitusional maupun inkonstitusional, menurut hukum yang berlaku di negara dimana mereka melakukan manuvernya maupun hukum internasional.

Memaksakan terwujudnya uniformitas sistim politik-ekonomi dunia menuju masyarakat dunia yang liberal-kapitalistik. Berbagai manuver baik dalam bidang ekonomi maupun politik untuk mendorong terciptanya sistem ekonomi pasar yang tidak lagi mengenal batas kedaulatan bangsa atau negara, menjadi langkah kunci. Dalam prinsip mereka, modal harus mampu menembus keseluruh sudut bumi tanpa ada yang boleh menahannya. Karenanya, segala sesuatu yang menghambat atau menghalangi gerak ekspansi ini harus dijebol!!!. Meski kadang harus menggunakan kekuatan militernya seperti yang selama inidilakukan dalam berbagai pola hubungan dengan negra-negara dunia ketiga. [b]3. Justifikasi Untuk melindungi kepentingan globalnya, dengan memanfaatkan berbagai institusi internasional, mereka menciptakan sistem hukum yang mampu melindungi kepentingan kapital mereka melampaui batas negara. Hal ini penting mereka lakukan untuk melindungi nafsu eksploitatifnya. Sehingga modal berikut hasil usaha yang diperolehnya bisa selamat dan berjalan tanpa harus terganggu oleh berbagai tuntutan persyaratan yang sering diberlakukan oleh negara-negara dimana mereka hendak menyampaikan hajatnya. Karenanya, dalam implementasi hubungan mereka dengan negara-negara dunia ketiga, mereka tidak cukup hanya dengan langkah-langkah tersebut diatas. Melainkan sekaligus mendorong kepada terciptanya masyarakat baru yang sejalan dengan kepentingan globalnya, yakni, terbentuknya masyarakat dunia baru yang liberal-kapitalistik, dimana empat ciri dasar kapitalisme seperti diatas menjadi ciri umum sistem kehidupan global. Sebuah keinginan yang kini sedang menjadi proyek raksasa yang tidak saja melibatkan para politisi dan ekonom hampir seluruh negara-negara didunia, tetapi didukung pula oleh dunia intelektual yang kini sedang asyik dengan mainan barunya yang bernama "Westernisme". Sebuah mainan yang mampu menjanjikan kepada mereka akan sebuah kehidupan yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk berkompetisi serta berkonsumsi sebebas-bebasnya tanpa harus memperhatikan kondisi sekitarnya, baik dalam sistem sosial kemasyarakatan maupun alam lingkungannya. [b] [b]Jawaban Marx terhadap Kapitalisme Berangkat dari falsafahnya yang mengatakan bahwa watak atau perilaku seseorang ditentukan oleh alat produksi yang dipakainya didalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Marx melihat bahwa dengan cara apapun dan bagimanapun kapitalisme dijalankan, sudah dipastikan terjadinya eksploitasi baik antar manusia maupun antar bangsa. Hal ini terjadi dikarenakan oleh karena watak kapitalisme yang meisahkan faktor modal dengan tenaga kerja dalam sistem produksi. Dimana, nilai lebih atau marginal profit yang dihasilkan dalam proses produksi jatuh ketangan pemegang modal. Sementara, buruh harus puas dengan menerima upah sesuai sistem pengupahan yang berlaku yang ditentukan oleh perusahaan dibawah pengawasan pemerintah, yang oleh karena berbagai hal sering berpihak kepada kepentingan kapital. Kondisi seperti inilah sebenarnya yang dilihat oleh Marx pada masa itu, sebagai bentuk perampasan hak atas nilai lebih oleh pemegang modal dari tangan kaum proletar. Pola pembagian keuntungan yang tidak adil seperti inilah yang oleh Marx dinilai akan mengakibatkan ketidakadilan dalam sistem pembagian keuntungan yang membuat pemilik modal akan semakin kaya, sementara kaum buruh mengalami stagnasi kesejahteraan. Bahkan sering karena semakin meningkatnya kebutuhan

hidup mereka yang kurang diikuti oleh peningkatan upah penerimaanya, mengakibatkan posisi semakin terpuruk. Kesenjangan antara pemilik kapital dengan buruh semakin melebar, dan secara kumulatif melahirkan sebuah kondisi sosial dimana sekelompok kecil masyarakat yang menguasai kapital, menguasai hampir seluruh kehidupan mayoritas masyarakatnya. Sebuah proses pemiskinan massal yang terlahir [b]sebagai konsekuensi, bukan sekedar [b]akibat dari manifestasi sebuah keyakinan dimanan kapital diyakini sebagai satu-satunya sumber pendorong bagi tercapainya kemajuan serta kesempurnaan manusia. dari kenyataan seperti ini, Marx berkeyakinan bahwa kapitalisme mencapai puncak, atau klimaknya, hal ini aan diikuti oleh lahirnya kekuatan antiklimaks yang maha dasyat dari kekuatan kaum proletar yang terbentuk secara otomatis, sebagai konsekuensi logis dari ketidakadilan yang ada dalam proses pembagian keuntungan, dimana hak-hak buruh dirampas oleh kaum kapitalis. Gerakan besar-besaran yang dilakukan kaum proletar untuk melawan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap inilah yang kemudian akan melahirkan sebuah revolusi sosial yang dikemudian hari akan melahirkan sebuah masyarakat baru yang sosialistis. atau dengan kata lain, Marx berkeyakinan akan lahirnya masyarakat sosialis di dunia melalui jalan kapitalisme. Menurut Marx, revolusi sosial sebagai manifestasi dari bentuk perlawanan kaum proletar terhadap ekspolitasi modal, adalah sebuah sebuah kepastian sejarah. Karenanya, yang menjadi penting didalam gerakan ini adalah bagaimana mereka mampu membangun kesadaran buruh untuk memahami hak-haknya yang selama ini dirampas oleh kaum pemodal. Marx melihat bahwa ketidak berdayaan kaum pekerja dalam membangun kolektifitas perlawanan terhadap kaum penindas waktu iu, bukanlah dikarenakan semata-mata oleh terlalu kuatnya kaum kapitalis dimata mereka. Melainkan, disebabkan oleh adanya perkawinan kekuatan yang luarbiasa antara modal, gereja dan penguasa (raja) yang dimitoskan sebagai utusan Tuhan. Secara historis harus diakui, bahwa meski tidak secara langsung peran gereja dalam meredam kemungkinan munculnya gejolak sosial sebagai akibat dari semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dalam sistem kapitalisme, memang cukup besar. hal ini dikarenakan, distu sisi, gereja sering menempatkan diri atau ditempatkan posisinya oleh penguasa, sebagai institusi legitimasi bagi keberlangsungan sebuah kekuasaan. Sementara, disisi lain, gereja seolah menawarkan sebuah keyakinan, bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang harus diatasi dengan kerja yang lebih keras dengan dilandasi oleh kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Bukannya dengan melawan sumber kemiskinan itu sendiri. Bagi Marx, yang melihat bahwa kemiskinan adalah produk dari eksploitasi kapital terhadap para pekerja, melihat, bahwa, keberadaan gereja dengan pengaruhnya yang maha besar, dibelakang persekutuan [b]pengusaha-pengusaha adalah kondisi yang sangat menyulitkan bagi terjadinya proses sosialisai pemahaman bagi kaum buruh atas kondisi sosial ekonominya yang kian hari kian terpuruk. Karenanya, untuk dapat menghentikan proses pemiskinan yang terjadi, gereja sebagai sumber kekuatan rasionalitas pada masa itu harus dipotong dari mata rantai kekuasaan. Statemen Marx tentang agama yang banyak melahirkan caci maki kaum agamawan yang dikutip oleh Michael Lowy dalam karyanya "Theologi Pembebasan" kiranya harus dilihat dari kacamata ini.

Secara utuh kutipan tersebut berbunya sebagai berikut: "Kenestapaan keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan kesengsaraan nyata dan sekaligus protes melawan penderitaan nyata tersebut. Agama adalah keluh kesahnya makhluk yang tertindas, jantungnya dunia yang tak punya hati, karena itu ia merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki roh sama sekali. Ia adalah candu rakyat" Sebuah ungkapan yang lahir dari kondisi umum masyarakat Eropa pada waktu itu. dimana, perkawinanantara modal, gereja dan penguasa, benar-benar mampu membungkam berbagai kemungkinan gejolak sosial yang ada. Bagi Marx, yang melihat kemiskinan terjadi oleh karena adanya eksploitasi kapital terhadap kaum pekerja dalam sistem kapitalisme, statemen diatas haruslah pula dilihat sebagai jawaban kritis Marx terhadap ambivalensi agama dalam melihat kenyataan hidup. Kemiskinan, bukanlah suratan nasib yang harus diterima dengan besar hati oleh kaum pekerja, melainkan harus dilawan dengan menciptakan keadilan pembagian keuntungan dalam sistem produksi!!. Munculnya bangunan gereja disamping cerobong asap industri di negara-negara jajahan termasuk Indonesia pada waktu itu, hanyalah salah salah satu contoh dari situs perkawinan ini. Karenanya, bagi rakyat di negara-negara jajahan, apa yang diungkapkan Marx bukanlah sekedar teori, tetapi lebih merupakan fakta yang mereka sendiri bisa merasakan secara langsung bagaimana sakitnya gigitan tiga kekuatan (modal, gereja dan kekuasaan) yang menyatu ini dalam kehidupan mereka. Namun, Tuhan ternyata memang tidak buta. Meski dibawah cercaan dan cemooh kaum gerejani, apa yang dilakukan Marx rupanya memang tidak sia-sia. Analisis Marx yang terangkum dalam berbagai teorinya ternyata mampu membuka lebar-lebar mata kaum sosialis yang selama itu tidak berdaya melawan eksploitasi kapital terhadap sistem pergaulan hidup yang ada. Bahkan meski Marx menentang persekongkolan gereja dengan penguasa dan pengusaha, tidak sedikit rohaniawan gereja di Amerika Latin dan Philipina mengangkat senjata, bersatu dengan kaum marxis menentang apa yang disebut sebagai eksploitasi dalam sistem kapitalisme. Mereka melihat institusi gereja tidak mampu memberikan jawaban serta tidak berpihak kepada kaum tertindas atas kondisi sosial yang ada. gereja tiak banyak berbuat ketika melihat kemiskinan dang pengangguran semakin meluas, dan bahkan seolah membiarkan hal itu menjadi obyek belas kasihan dan kedermawanan kelas pemenang. Karenanya mereka menafsirkan sendiri ayat-ayat suci kedalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Kemiskinan dan keterpurukan tidak bisa diatasi hanya dengan menyelesaikan secara perorangan, melainkan harus dengan suatu langkah komunal yang hanya bisa dilakukan dengan cara sistemik. Dilihat dari karyanya, memang Marx tidak memberikan guiding instruction terhadap pola gerakan. Namun, secara brilian, setidaknya untuk masanya, Marx menyajikan sebuah cara pemahaman terhadap "bagaimana terjadinya eksploitasi modal atas para pekerja". karenanya, tidaklah mustahil kalau hal inipun melahirkan banyak tafsir yang kemudian melahirkan pula berbagai bentuk pola gerakan dalam mengantisipasi eksploitasi kapital terhadapkaum proletar di berbagai negeri.

Di Rusia, [b]Lenin menterjemahkannya sebagai sistem pemerintahan, dimana kekuasaan berada di tangan kaum pekerja, dalam hal ini butuh dan tani. Perangai kaum kapitalis yang eksploitatif yang hidup subur dibalik perlindungan kekuasaan Tzar, harus dilawan oleh seluruh kekuatana rakyat dibawah kepemimpinan kaum pekerja (buruh dan tani). Karenanya, dengan mengakomodir semua kekuatan perlawanan dibawah kepemimpinan kaum pekerja, lenin mengobarkan perlawanannya terhadap kaisar sebagai simbol dari perkawinan tiga kekuatan diatas. namun meski sama-sama bekerja untuk kaum pekerja di Rusia, berbeda dengan Lenin yang dalam menjalankan pemerintahannya masih mau mengakomodir kekuatan-kekuatan perlawanan lainny, meski tetap dalam format kepemimpinan kelas pekerja. [b]Stalin, yang kemudian diikuti oleh para pemimpin Uni Soviet sampai mendian presiden [b]Breznev, menjalankan kekuasaanya dengan cara otoriter. Segala hal yang menyangkut harkat hidup warga negara diatur sepenuhnya oleh negara, dalam hal ini partai komunis. Demikian juga China dibawah [b]Mao Tse Tung. Semua hal yang menyangkut baik persoalan ekonomi maupun politik diatur oleh negara, dibawah kendali Partai Komunis China. Karenanya, watak dalam sistem pemerintahan yang ada baik di China dibawah Mao, maupun Rusia dibawah Stalin sampai Breznev, tidak jauh berbeda: yakni sebua pemerintahan yang bercirikan kelas. sebagai kekuatan pendukung sekaligus penyangga dari sebuah pemerintahan, Partai Komunis, tidak saja memberikan masukan serta mengontrol jalannya sebuah pemerintahan. tetapi menentukan segala hal-ihwal mengenai pemerintahan. Atau dengan kata lain, [b]"Negara dibawah kekuasaan partai". Disinilah kaum komunis Uni Soviet dan China menafsirkan Marxisme dalam sistem katatanegaraan. [b]Sosial Demokrat, Lahir dan Perkembangannya Seperti halnya yang bisa dilakukan oleh Lenin yang bisa mengakomodir kelas menengah kedalam barisannya. Kaum buruh di Inggrispun menyadari, bahwa apabila perusahaan roboh, merekapun akan kehilangan pekerjaan, yang berarti pula kehilangan pendapatan. Sementara, kaum kapitalis melihatnya akan bahaya yang bisa muncul atas asumsi Marx tentang revolusi sosial. Karenanya, merekapun melakukan kompromi dengan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi kaum pekerjanya tanpa harus mengorbankan watak aslinya, yakni untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dari sinilah gerakan buruh di Inggris menemukan bentuknya. Organisasi buruh tidak digerakan untuk mengguncang produksi, tetapi untuk menuntut terjadinya pembagian yang lebih adil antara pengusaha dengan pekerjanya. Isue [b]distribusi pendapatan pun mengemuka menjadi sebuah jargon yang akhirnya menjadi trade mark kaum sosial demokrat, yang tidak saja menembus pengaruhnya sampai Eropa daratan, tetapi juga di benua lainnya, termasuk Asia. Demikian juga dalam persoalan kapital. Mereka tidak mengusik keberadaan serta posisi kaum kapitalis didalam sistem produksi. Melainkan melawannya dengan membangun kapital secara kolektif. dengan iuran anggota yang dikumpulkan mereka membangun koperasi-koperasi yang diantaranya akhirnya mampu bangkit sebagai perusahaan-perusahaan baru yang kadang menempatkan posisinya pula berdampingan dengan perusahaan induknya dimana anggota koperasi itu bekerja sebagi distributor. Disini kaum buruh melangkahkan kakinya pada tahpan keduanya, yakni mendapatkan peningkatan pendapatan dari keuntungan atas hasil usaha dari koperasi-koperasi atau perusahaan-perusahaan yang dibangun. Atau dengan kata lain yang lebih populer dengan semboyan [b]buruh punya buruh. Dengan kekuatan seperti inilah sebenarnya kaum sosial demokrat akan memainkan

manuver politiknya. Dengan merangkai kekuatan buruh baik secara likal, nasional maupun internasional, mereka berkeyakinan akan mampu membongkar dunia menuju masyarakat sosialis. Dilihat dari kacamata dimana pusat-pusat industri itu berada, memang sejak munculnya pemikiran serta gerakan kaum sosial demokrat, kegoncangan ekonomi negara-negara industri, khususnya di Eropa sebagai akibat dari revolusi sosial hampir tidak pernah terdengar. Dengan sistem welfare state meski tidak mengurangi keuntungan yang diraih oleh para pengusaha, tingkat upah tinggi yang diterima oleh kaum pekerja di Eropa seolah-olah menggugurkan teori Marx tentang eksploitasi kapital atas kaum pekerja. apalagi dengan munculnya usaha-usaha baru yang terlahir dari akumulasi kapital kaum pekerja yang terkumpul dari iuran anggota. Seolaholah membuat pupus asumsi Marx yang melihat kekuatan kelas yang diyakininya sebagai satusatunya kekuatan kelas yang diyakininya sebagai satu-satunya kekuatan yang akan mempu menghancurkan kapitalisme. Namun, benarkah demikian. Rupanya tidak! Seperti halnya yang diinginkan oleh kaum buruh, bahwa merekapun ingin menikmati hasil kerjanya dengan mendapatkan peningkatan pendapatan tanpa harus menambah jam kerjanya, kaum kapitalispun berfikir bagaimana tuntutan buruh ini bisa dipenuhi tanpa harus mengurangi hak-haknya atas keuntungan yang diperolehnya. Karena, sejalan dengan temuan-temuan di bidang teknologi, [b]mekanisasi produksi adalah satu jawaban yang paling ampuh untuk menjawab tantangan ini. Namun, inipun masih menimbulkan masalah bagi kaum kapitalis. Karena, seperti terungkap dalam watak aslinya yang mengharuskan bahwa setiap modal yang ditanam harus melahirkan keuntungan. Kaum pengusaha tidak mau modal yang dikucurkan untuk membongkar sistem produksi yang sudah ada, tidak menghasilkan peningkatan keuntungan baginya. Karenanya, mekanisasi produksi mesti pula diikuti oleh peningkatan jumlah produksi sehingga peningkatan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan baik untuk peningkatan upah maupun investasi bagi pengadaan alat produksi bisa ditutup oleh peningkatan penjualan. Hal inipun ternyata masih pula menimbulkan persoalan, karena dengan jumlah produksi yang jauh melampaui kebutuhan pasar lokal. Jelas ini akan menimbulkan persoalan serius bagi keberlangsungan perusahaan sebagai akibat dari merosotnya harga jual produk mereka, yang tidak saja akan menimbulkan kerugian besar bagi pengusahanya, tetapi sekaligus keberlangsungan bagi para pekerjanya. Sehingga untuk keluar dari kemelut antar kepentingan ini, satu-satunya jalan bagi mereka adalah dengan menjuala sebagaian produknya ke luar negeri (ekspor). Baik ini dilakukan dengan cara dumping, monopoli, perdagangan bebas atau dengan cara yang lain yang pada intinya adalah mengalihkan pos pengeluaran biaya yang semestinya dikeluarkan oleh pengusaha kepada konsumen. Inilah wajah sesungguhnya perekonomian dunia paska revolusi industri di Inggris yang kemudian merambah kedaratan Eropa dan Amerika yang getahnya dirasakan oleh negara-negara jajahan di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Perang Dunia adalah fakta paling kongrit, bagaimana perangai kaum kapitalis dalam memperebutkan pasar bagi produk mereka, tidak menemukan jalan kompromi. Hal mana kemudian menyadarkan serta mendorong mereka untuk membentuk kerjasama negara-negara industri G-7, yang kemudian menjadi G-8 untuk membuat peta perdagangan dunia bagi kepentingan mereka tanpa harus bertempur. disini, negara-negara dunia ketiga yang natbene bekas negara-negara jajahan dikapling-kapling untuk memenuhi kebutuhan pasar bagi produksi negara-negara industri.

Kemudian, apa keterkaitan uraian diatas dengan penjelasan tentang perkembangan sosial demokrat? Dilihat secara teoritis, argumentasi kaum sosial demokrat seolah memang bisa diterima. Dengan membangun kekuatan kapital secara kolektif dari iuran anggota, serta mengakumulasi kekuatan buruh baru dari karyawan koperasi maupun perusahaan yang dibangunnya, mereka berharap akan mampu melawan dominasi modal kaum kapitalis. Namun mereka lupa bahwa secara faktual, kesejahteraan yang yang diberikan oleh pengusaha (kaum kapitalis) kepada mereka sebenarnya bukanlah pengurangan dari bagian keuntungan yang diperoleh dari sistem pembagian keuntungan yang adil seperti yang mereka tuntut. melainkan diambil dari hasil eksploitasi baru dalam sistem perdagangan yang mereka bangun, yakni [b]konsumen. Yang secara spesifik disebut sebagai hasil ekspor. Namunkarena buruh sendiri juga merupakan konsumen dari produk yang diproduksi di dalam negeri. maka secara bersilang, terjadi pula eksploitasi kapital atas pekerja sebagai konsumen. Disinilah sebenarnya kenyataan yang bisa dibaca, bahwa apa yang dinikmati oleh kaum sosial demokrat bukanlah hasil sebuah pembagian yang adil dalam pembagian keuntungan antara pemodal dengan pekerjaanya, melainkan hasil eksploitasi baru terhadap konsumen. Demikian juga, pekerja dari koperasi maupun perusahaan yang dibangun atas modal kolektif, didorong untuk dapat membangun lagi unit usaha baru sebagai bentuk peningkatan atas pendapatannya. Sehingga, secara berkelanjutan, terjadilah [b]eksploitasi berjenjang, dimana semakin dekat mereka dengan kapital, semakin besar pula mereka menikmati hasil eksploitasi. Sementara, semakin jauh dari kapital, semakin besar pula mereka tereksploitir. Sebuah fenomena umum yang kini mewarnai sistem perdagangan dunia, dimana negara=negara dunia ketiga berebut untuk mendekatkan dirinya pada kekuatan modal. Bagi kaum sosial demokrat di negara-negara di negara-negara kapitalis dampak eksploitasi ini relatif tidak dirasakan. Karena, peningkatan kesejahteraan yang diperoleh di negara ini cukup tinggi sejalan dengan laju perkembangan perusahaan, sementara yang tereksplotir berada jauh di negara-negara jajahan atau yang kemudian setelah merdeka dikenal sebagai negara-negra dunia ketiga, dimana keberadaan konsumen sebagai yang tereksploitir adalah rakyat atau masyarakatnya sendiri. Cita-cita kaum sosial demokrat ini akan melahirkan banyak persoalan yang tidak sederhana. Hal ini akan terjadi, karena meski tujuan utamnya adalah memperjuangkan pembagian yang adil antara pengusaha dan pekerja atas keuntungan yang diperoleh, namun karena wataknya yang melekat pada kapital, dalam perkembangannya manuver kaum sosial demokrat yang mendorong terciptanya eksploitasi berjenjang sering lebih menampakan wajah [b]liberal kapitalistiknya, meski tidak pernah akan bisa meninggalkan watak kelasnya. [b]Kenapa kaum sosial demokrat (Sos-Dem) lebih memilih jalan kapitalis untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, meski sebenarnya mereka sendiri tetap saja tidak berubah sebagai pekerja?? Tentu saja hal ini hanya bisa dijawab oleh mereka sendiri, baik yang [b]masih berjuang, sedang menjadi [b]makelar kapital atau yang sudah menjadi [b]kapitalis beneran. Karena, memang demikian "Sosialis Demokrat" adalah mimpinya pekerja yang ingin jadi kapitalis. Sehingga ketika menjadi kapitalis beneran, wataknya sama persis seperti tuannya, atau bahkan sering lebih ganas; karena dengan pengalamannya sebagai pekerja, mereka lebih mengetahui banyak hal tentang kelemahan kaum pekerja.

[b]Kaum Nasionalis Bangsa Terjajah Menjawab. Meski pembicaraan tentang Nation atau Bangsa jauh lebih tua dibandingkan dengan kedua paham diatas, namun harus diakui bahwa keberadaan paham ini, baik kapitalisme maupun marxisme benar-benar telah memberi warna tersendiri salam sistem pergaulan hidup bangsabangsa di dunia, khususnya pada paska PD II. Dari sudut sosial-ekonomi, negara-negara dunia terpetakan ke dalam negara-negara maju (industri), menuju industri, berkembang dan terbelakang. Sementara secara politis, kita bisa melihat adanya negara pemilik modal sebagai penjajah, dan negara-negara miskin modal sebagai yang terjajah. Harus kita akui secara jujur bahwa tumbuhnya nasionalisme di negara-negara jajahan diwarnai oleh perlawanan kaum tertindas terhadap kaum penjajah tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan revolusi kelas yang marxistis di Rusia. Hal mana merupakan bentuk nyata jawaban bangsabangsa terjajah terhadap kondisi masa lalunya, dimana perangai kapitalisme yang eksploitatif telah melahirkan banyak penderitaan bangsa-bangsa terjajah didunia, tidak terkecuali Indonesia. Karenanya, bagaimana bentuk dan warna nasionalisme yang dilahirkannya akan sangat tergantung kepada seperti apa dan bagaimana bentuk eksploitasi itu terjadi. Bagi negara penjajah yang memiliki bahan baku serta telah mapan industrialisasinya seperti Inggris, kapitalisme berjenjang sebagaimana termanifestasikan dalam sistem welfare state, lebih memberikan keuntungan kepadanya. Bagi mereka yang penting adlah bagaimana negara bekas jajahan tetap bisa dikendalikan sehingga tetap menjadi pasar bagi produk industrinya. karenanya, penyerahan kedaulatan oleh Inggris kepada negara-negara jajahannya sebenarnya lebih memiliki makna taktis, dimana kemerdekaan yang telah mereka peroleh kelak akan akan digantikan oleh wadah baru yang bernanama "Negara-Negara Persemakmuran". Sebuah model penjajahan baru yang memberikan keleluasaan kepada sang penjajah, dimana dengan pounsterlingnya, Inggris bisa mengatur lalu-lintas modal maupun barang industrinya ke seluruh dunia, setidaknya ke negara-negara bekas jajahannya. Hanya saja, kalau sebelumnya tanggung-jawab Inggris terhadap peningkatan pendapatan negara-negara anggotanya tidak terlalu menkadi keharusan. Kini, Inggris harus mampu membangundaya beli masyarakat bekas jajahannya, sehingga dengan demikian seberat apapun kondisi mereka, mereka harus tetap mampu membeli produk ekspor mereka yang memang haus akan pasar luar negeri. Berbeda dengan Inggris yang emang kaya akan bahan baku industri dan telah mapan industrialisasinya, Negara-negara yang kurang memiliki bahan baku untuk industrinya seperti Belanda dan Perancis; kehilangan wilayah jajahan bisa menimbulkan petaka bagi perekonomiannya. Karenanya, mereka mempertahankan matimatian genggamannya atas sumber kehidupan perekonomiannya. Perlawanan rakyat negerinegeri jajahan atas penghisapan yang mereka lakukan dijawab dengan tindakan-tindakan represif yang tidak saja menimbulkan kerugian harta benda, tetapi juga jiwa manusia. Dalam kondisi seperti inilah perkembangan nasionalisme dinegeri-negeri terjajah menemukan bentuknya. Karenanya, temperamental nasionalismenyapun berbeda-beda pula. Ada yang kompromis, ada yang setengah radikal, dan ada pula yang radikal. hal ini akan sangat tergatung kepeda seperti apa sang fkb_y at ...

Top GLOBALISME IDEOLOGI DUNIA Dan PENGARUHNYA TERHADAP BANGSA IN Postby fkb_y at ... Sun Aug 14, 2005 3:07 pm GLOBALISME IDEOLOGI DUNIA<?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoftcom:office:office" /> Dan PENGARUHNYA TERHADAP BANGSA INDONESIA Forum untuk Kemandirian Bangsa Yogyakarta edisi ke 9, Awal Agustus 2000 Berbicara tentang developmentalisme sebagai sebuah teori yang mewabah hampir di seluruh dunia ketiga pada awal tahun 70-an, negara-negara berkembang yang hampir seluruhnya berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin, dibanjiri oleh berbagai literatur tentang teori modernisasi, yang sebenarnya tidak lain adalah sebuah metamorfosa dari teori kapitalisme baru bagi negara-negara berkembang. Demikian juga dilihat dari berbagai teori serta formulasi rumus-rumus ekonomi yang ada. Sedikitnya ada empat syarat sifat dasar yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa bagi terciptanya angka pertumbuhan yang positif sebagai indikator keberhasilan ekonomi, yakni: semangat [b]individualistis, konsumsi tinggi (pola hidup konsumtif), mendorong terjadinya akumulasi kapital (penumpukan modal), konsentrasi kapital dan sentralisasi kapital, serta yang terakhir adalah mendorong terciptanya free market (pasar bebas). Karenanya, yang menjadi pertanyaan kita dari asumsi diatas adalah, adakah syarat-syarat dasar tadi dimiliki oleh negara-negara baru paska PD II? Sesuatu yang musti dibongkar satu persatu, sehingga jelas permasalahannya. Karena, apakah semangat tadi harus disosialisasikan sehingga menjadi semangat semua manusia didunia seperti yang dimaksud dengan globalisasi sekarang ini? Ataukah justru harus dieliminasi, karena ternyata tidak saja telah melahirkan kesenjangan yang luarbiasa antara negara-negara yang menguasai modal dan teknologi dengan negara-negara yang tidak atau kurang mempunyai keduanya? Melainkan, sekaligus melahirkan eksploitasi antar anak bangsa, dimana di satu bagian mereka menguasai modal atau bertindak sebagai agen dari modal internasional sebagai eksploitator, sementara di bagian lain, mereka yang tidak mempunyai modal dan sekaligus tidak bisa menempatkan posisinya sebagai agen dari pemegang modal terposisikan sebagai yang terekploitir. Untuk membongkar persoalan seperti ini, sudah tentu bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Tetapi akan sangat tergantung sekali kepada bagaimana cara pemahaman kita terhadap berbagai persoalan kehidupan yang melingkupi sistem kehiddupan kita, baik kita sebagai manusia maupun bangsa. Syarat-syarat untuk Terciptanya Masyarakat Kapitalis

Individualisme atau liberalisme, sebagai paham yang mengutamakan hak-hak individu atau perseorangan didalam hubungan sosial kemasyarakatan, melihat bahwa kewajiban sosial muncul semata-mata didorong oleh kehendak untuk mendapatkan hak-hak individualnya. Setiap perbuatan sosial yang dilakukan oleh seorang individualis, bukanlah didasari oleh rasa tanggungjawab sosialnya terhadap sesama manusia, akan tetapi lebih didorong oleh kehendak untuk mendapatkan hak-hak individualnya. Baik itu berupa pengakuan masyarakat atas keberadaan dirinya, maupun untuk mendapatkan perlindungan atas diri mereka termasuk aset yang dimilikinya. Dalam komunitas seperti ini, apa yang mereka lakukan hampir selalu memperhitungkan apa yang akan diperoleh daripada perbuatan tersebut. Karenanya, untung-rugi menjadi bahasa yang lajim didalam menyikapi setiap langkah yang hendak atau sedang diperbuat oleh seseorang. Jasa sebagai manifestasi dari pola hubungan ini muncul dan semakin menguat sejalan dengan semakin kuatnya pila semangat individualisme dari masyarakatnya. Dari sinilah, upah seabagai bentuk pola perhitungan atas jasa yang dikeluarkan oleh seseorang dalam hubungan sosial-ekonomi menemukan fungsi dan perannya. Pada tingkat awal, upah atau jasa hanya muncul pada hubungan-hubungan antar individu menyangkut soal produksi. Tetapi, pada tingkat lebih lanjut, upah atau jasa tidak saja berkaitan dengan soal produksi, melainkan hampir mewarnai setiap hubungan sosial-ekonomi antar individu dalam komunitas sosial kemasyrakatan yang ada. Dalam pola hubungan seperti ini, tidak ada lahi sesuatu yang gratis dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya hubungan sosial dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada digantikan oleh pola hubungan antar individu yang lebih bersifat ekonomis. Hal ini menjadi penting bagi masyarakat kapitalis, karena dalam sistem komunitas yang demikian, angka-angka ekono ekonomi sebagai perwujudan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan akan menunjukan signifikansi sejalan dengan semakin meningkatnya intensitas hubungan antar individu dalam masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari pola berpikir materialis yang menjadi induk dari lahirnya paham kapitalis; menguasai serta menikmati bentuk-bentuk kebendaan adalah hal yang wajar serta manusiawi. Karenanya, lahirnya berbagai karya inovasi sebagai bentuk implementasi dari semangat untuk menguasai serta menikmati berbagai hal yang bersifat kebendaan, menjadi hal yang lumrah serta harus diakui sebagai karya yang luar biasa dari manusia, yang baik secara kuantitatif maupun kualitatif berhamburan muncul, membangunkan bumi dari kesunyian alam sufi. Hal ini bisa ditelusuri dari sejak ditemukannya tenaga uap, yang kemudian berkembang menjadi mesin-mesin automotif. Manusia tidak mau lagi berlama-lama duduk diatas gerobak kuda untuk berpergian antar kota, atau bahkan mungkin hanya untuk pergi berbelanja ke pasar sekalipun. Demikian juga dengan ditemukannya listrik oleh Thomas alfa edison, yang kemudian berkembang menjadi teknologi transistor serta IC di bidang elektronika, telah pula mengubah pola hubungan antar manusi dalam sistem komunikasinya. Jarak antar benua menjadi semakin pendek oleh berbagai temuan sistem transportasi modern. Demikian juga transparansi pola hubungan antar bangsa menjadi tak terelakan lagi oleh berbagai temuan teknologi di bidang media, baik cetak, elektronika, komputer maupun satelit.

Namun berbagai temuan ini (meski tidak selalu benar) membutuhkan biaya cukup tinggi untuk berbagai eksperimen serta penelitian yang dilakukannya, keterbatasan pada jumlah produksi akan mengakibatkan harga produksinya menjadi sangat mahal. Untuk inilah, para produsen mengupayakan agar produknya bisa diproduksi dan dikonsumsi secara massal. Karena, hanya dengan cara demikian biaya produksi, termasuk didalamnya semua biaya inovasi yang telah dikeluarkan akan terbiayai dengan sendirinya, bersamaan dengan keuntungan besar yang diraih dari hasil penjualan produknya. Harus diakui bahwa peran kekuatan kaum kapitalis dalam mendorong lahirnya berbagai inovasi teknologi pada beberapa abad terakhir sangat luar biasa. Berbagai teknologi hampir menyentuh semua bidang kehidupan manusia. Tetapi, kenapa kaum kapitalis selalu dicemooh oleh berbagai kalangan penentangnya sebagai kaum pemeras? Hal inilah yang sebenarnya musthi kita bongkar. Sehingga kita tidak terjebak kedalam alur berpikir yang keliru. Karena dalam era serba keterbukaan sekarang ini, perbedaan antara baik dan buruk, salah dan benar adalah sangat limit sekali. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak punya argumentasi sendiri-sendiri, yang didukung pula dengan pola pembenarannya masingmasing, sehingga bagi yang kurang memahaminya, perdebatan tentang hal tadi bisa berati baik semua dan benar semua. Dilihat dari cara berpikir kapitalis yang telah teruji kebenarannya secara historis, daya dorong yang luar biasa yang menyemangati kaum kapitalis untuk membiayai serta memfasilitasi berbagai karya inovasi, sebenarnya bukanlah didasarkan kepada semangat pengabdiannya untuk kepentingan umat manusia. Tetapi, lebih didorong untuk memperoleh keuntungan maksimal semata. Hal ini terungkap dari semangat mereka dalam melakukan berbagai kegiatan ekonominya, yang kemudia banyak melahirkan karya-karya inovasinya, bahwa Keberhasilan seorang enterpreneur (pengusaha) bukan saja ditentukan oleh bagaimana dia mampu menguasai pasar; tetapi bagaimana dia mampu menciptakan pasar". Dalam pola berpikir seperti ini, jelas sekali bahwa bagi seorang pengusaha, manusia hanyalah obyek (konsumen) yang harus digiring kedalam sistem ketergantungan yang diciptakannya, sehingga akan menajdi konsumen setia dari setiap produk yang dilahirkannya. Ketika konsumen masih mengkonsumsi produk mereka sebata garis fungsionalnya, hal ini tidak banyak menimbulkan persoalan. Karena apa yang dikonsumsi masih mampu menunjukan adanya optimalisasi produktivitasnya. Tetapi, ketika karena sistem ketergantungan yang diciptakannya, konsumen sudah mengkonsumsi produk melampui garis batas fungsionalnya, orang (konsumen) sudah terjebak pada pola hidup yang disebut sebagai pola hidup konsumtif (high consumption). Dalam posisi ini, orang sering mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang, belum, atau bahkan tidak mereka butuhkan sama sekali. Hal ini bisa terjadi karena orang sudah masuk kedalam kawasan yang disebut sebagai "gengsi", status sosial, atau entah apalagi namanya sebagai manifestasi dari pola kongurensi yang terlahir dari sistem kehidupan yang individualistis. Sebuah proses pemiskinan massal yang harus dibayar oelh bangsa-bangsa di dunia ketiga dengan seluruh asset yang dimilikinya, tidak terkecuali asset budayanya. Kita memang sering terkecoh oleh berbagai ungkapan yang sebenarnya hanya merupakan iklan terselubung dari para pengusaha tentang produk temuan barunya yang sering terkesan humanis.

Tetapi, kita akan segera yakin apabila kita melihat bagaimana nasib sang ilmuwan yang dengan seluruh tenaga dan pikirannya tidak berdaya ketika berhadapan dengan perilaku para pengusaha yang sering memperlakukan hasil temuan tersebut berbeda jauh, bahkan kadang berlawanan dengan nurani kemanusiaan sang inovatornya. Hal ini bisa terjadi, karena ketika karya ini sudah terbeli, entah itu dengan yang namanya gaji atau dengan cara yang lainnya, dan dicatatkan oleh perusahaan sebagai pemegang hak patent. Segala sesuatu yang berkaitan dengan karya itu sudah menjadi hak milik penuh perusahaan pemegang hak patentnya. Untuk apa dan bagaimana, serta dengan harga berapa produk itu akan dijual, sudah tidak lagi menjadi kuasa bagi sang ilmuwan. Melainkan ditangan pemegang modal!!! Dalam sistem pergaulan hidup sepeti ini, modal bukan saja merupakan sesuatu yang musth dijaga keberadaanya oleh kaum kapitalis, melainkan harus dikembang-gelembungkan dengan berbagai cara, meski kadang harus menggunakan cara-cara yang kurang terpuji menurut ukuran etika maupun moral. Karenanya, munculnya bentuk-bentuk dalam perdagangan seperti monopoli, oligopoli, dumping dan bentuk lain sejenisnya hanyalah beberapa contoh dari bagaimana cara kaum kapitalis memperebutkan pasar untuk mendapatkan keuntungan besar sebagai hasil akhir. Berangkat dari keyakinannya bahwa kekuatan mereka terletak pada seberapa besar modal yang dia miliki, maka keuntungan yang oleh pengusaha atau pemegang modal, diyakini sebagai pendapatan, tidak semuannya dikonsumsi. Melainkan, sebagian darinya diinvestasikan kembali untuk memperkokoh kekuatan modalnya. Hal ini musthi dilakukan untuk memperkuat daya saing produknya dalam pertarungan di dalam pasar. Demikian juga bagi yang merasa kemampuan modalnya tidak kuat, untuk tidak gulung tikar, sebagai akibat dari kekalahannya dalam persaingan kadang mereka harus bergabung dalam kartel membentuk sesuatu kekuatan dalam persaingan baru. Dan disinilah sebenarnya bisa kita ketahui akumulasi kapital (penumpukan modal) yang menjurus kepada konsentrasi kapital dan sentralisasi kapital (pemusatan modal) adalah bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari strategi kaum kapitalis sebagai akibat dari terjainya persaingan didalam mekanisme pasar. Lalu, yang menjadi pertanyaan berikutnya, kenapa pasar bebas muncul sebagai syarat bagi terwujudnya ekonomi kapitalistik? Hal ini kiranya bisa dipahami karena dengan kekuatan modal serta teknologi yang dimilikinya, kaum kapitalis bisa memainkan pasar kedalam pola kepentingannya. Dengan pasar bebas, lalu lintas modal dan barang yang notabene dikuasai oleh apa itu yang namanya juragan, saudagar atau konglomerat bisa lalu lalang menembus kesegala arah dan wilayah dimana sumber-suber keuntungan berada. Memang, hukum permintaan dan penawaran yang menjadi landasan bagi lahirnya mekanisme pasar masih bisa diterima oleh logika ketika faktor-faktor non-ekonomi tidak berpengaruh (cateris paribus). Namun dalam kenyataannya. Tidak pernah dalam sejarah kehidupan manusia bahwa satu aspek dalam kehidupan manusia terlepas dari aspek-aspek yang lainnya. Langkah manusia dipengaruhi oleh sikap hidup, sikap hidup dipengaruhi oleh falsafah hidup, falsafah hidup terbentuk oleh sistem sosial kemasyarakatan yang ada, pengalaman hidup sebelumnya dst,..dstnya. Demikian juga dalam bidang ekonomi, tidak ada dalam kenyataan bahwa harga yang dihasilkan oleh adanya permintaan dan penawaran dalam pasar, terbentuk tanpa pengaruh faktor-faktor non-

ekonomi yang ada. Hal ini terjadi karena harga tidak saja ditentukan oleh produsen dan konsumen. Melainkan ditentukan pula oleh faktor ketiga yaitu: jasa. Bahkan, sering karena besarnya kekuatan modal finansial yang dimiliki oleh sektor jasa, harga yang terjadi cenderung diatur oleh mereka yang bergerak di sektor ini. Dengan kekuatan yang dimilikinya mereka bisa memobilisir barang dari dari satu daerah ke daerah yang lainnya, meski jaraknya ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Demikian juga dengan membiayai berbagai kegiatan sosial budaya, terlebih lagi pendidikan, atau bahkan kalau perlu melakukan kolusi dengan penguasa untuk mempengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan dengan kepentingannya, mereka mampu merubah perilaku konsumen kedalam kawasan kepentingannya. Dari sinilah sebenarnya pasar bebas menemukan arti yang sebenarnya. Pasar bebas sebagai mekanisme yang melahirkan harga equalibrium hanyalah kata-kata sandi bagi bagaimana kaum kapitalis bisa mengatur harga sebaik-baiknya untuk kepentingan modalnya. Atau dengan kata lainj, pasar bebas adalah sebuah mekanisme dimana modal bisa mengalir bebas melampaui batas bangsa dan negarauntuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa disertai oleh rasa kekhawatiran sedikitpun baik terhadap pemilik maupun modalnya, karena dilindungi oleh hukum internasional yang dibangun sebagai pranatan atas sistem kehidupan yang bernafaskan liberal-kapitalistik. [b]Perangkat sistem yang Musti Dibangun: [b]Liberalisme Untuk bisa mewujudkan ambisinya dalam memaksimalisasi keuntungan atas modal yang ditanam sebagaimana tercermin dai ke-empat watak dasar diatas, kaum kapitalis membangun perangkat sistem dimana berbagai manuvernya akan mendapatkan ruang serta tahapannya secara mantap. Untuk menciptakan masyarakat yang individualistis, [b]liberalisme sebagai sebuah ideologi yang mengutamakan hak-hak individu menjadi sangat penting kedudukannya. hal ini terjadi karena solidaritas sebagai sebuah komunitas yang terbentuk atas dasar kesetiakawanan atau persaudaraan tidak boleh tumbuh dalam masyarakat kapitalis. Karenanya, sistem politik yang dibangunpun harus diorientasikan kepada suatu kondisi yang mampu menjamin tidak mungkin tumbuhnya semangat kesetiakawanan. Sebaliknya, mampu menjamin hak-hak individu, dalam pengertian yang lebih sempit, menjamin kebebasan individu untuk berusaha meski harus melahirkan eksploitasi antar manusia maupun bangsa. Dalam masyarakat liberal, tidak boleh ada ada istilah solidaritas, melainkan yang ada hanyalah [b]kepentingan. Kesamaan sikap dalam suatu komunitas sering terbentuk [b]tidak atas dasar rasa kesetiakawanan atau persaudaraan, melainkan dikarenakan oleh adanya kesamaan kepentingan. Karenanya, dalam sistem politik yang menggunakan demokrasi liberal, kepentingan individu untuk memperoleh hak-haknya menjadi target strategis yang harus didukung oleh mekanisme sistem politik yang ada. [b]Rakyat, yang dalam konteks negara bangsa, harus dilihat sebagai satu kesatuan (unity) yang terdiri dari individu-individu yang telah menyatukan dirinya dalam konsensus pendirian negara, tidak pernah diperlakukan secara benar. Melainkan, tetap dilihat sebagai individu-individu dengan pluralitas kepentingan berikut haknya. Demikian juga, karena modal dijadikan sebagai nafas kehidupan kemasyarakatan yang dibangun. Pemegang modalpun mendapat tempat yang sangat istimewa sehingga mempunyai kekuatan serta daya desak luar

biasa dalam sistem pemerintahan. Pemerintah, MPR maupun DPR, dalam konteks negara kapitalis tidak lebih hanyalah merupakan corong serta perpanjangan tangan kepentingan segelintir atau kelompok orang yang dalam hal ini menguasai modal. Dalam kehidupan keseharian kita dewasa ini, meski sudah ada reformasi, kita bisa melihat dan merasakan dengan jelas, bagaimana instrumen tersebut berfungsi dengan baik dalam kehidupan bernegara kita. Kita melihat bagaimana ideologi kepentingan memperlihatkan watak aslinya dengan jelas, ketika kekuatan Orde Baru dan kekuatan yang mengaku paling reformis berada dalam satu kubu, untuk beramai-ramai membantai Megawati dalam Sidang Umum MPR yang lalu, yang kemudian melahirkan tampilnya Gus Dur sebagai presiden, yang meski dari ekspresinya berat untu menerimanya. Bagi seorang Gus Dur yang paham akan nilai-nilai etika dan moralitas dalam berpolitik, dia sadar betul bahwa apa yang terjadi dalam arena, benar-benar telah mencabik-cabik nurani kebangsaannya. Dia sadar betul, tanpa Megawati yang sejak peristiwa 27 Juli 1996 telah muncul sebagai simbul perlawanan kaum tertindas, yang natabene pula pemenang pemilu. Apa yang diraihnya dalam Sidang Majelis tidak ada apa-apanya, karena kekuasaan yang diperolehnya bukanlah dari rakyat, melainkan dari elite politik, yang sebagian besar pula dari mereka masih merupakan kekuatan statusquo, yang bersama Megawati pula sebenarnya dia ingin menumbangkannya. hal ini ternyata dibuktikan oleh keduanya setelah mereka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Tidak sedikit langkah yang diambil oleh Gus Dur dalam menjalankan pemerintahannya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kekuatan statusquo. Termasuk pula mereka yang sok mengaku reformis, baik dari kalangan Majelis, Dewan maupun intelektual. Baik dari kalangan kampus maupun dari luar kampus, yang anehnya justru dari kalangan pendukungnya sendiri yang mengangkat Gus Dur ke tampuk kekuasaan. Dalam masyarakat liberal, kejadian semacam ini bukanlah hal yang aneh. Karena dukungan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok bukanlah didasari oleh adanya kesamaan visi atau ideologi, melainkan [b]kepentingan!!! Sehingga ketika kepentingan mereka justru terancam oleh berbagai manuver yang dilakukan "Gus Dur - Mega" dalam memerangi KKN, mereka beramai-ramai pula mengguncang kekuasaan Gus Dur dengan berbagai cara. Termasuk didalamnya, memasukan orang-orang yang berada pada satu kepentingan ke dalam pusaran pusat kekuasaan, dimana diharapkan akan bisa memotong kedekatan Gus Dur dengan Mega. Hal ini menjadi sangat penting untuk mereka lakukan, karena terlalu sulit bagi mereka untuk menghadapi keduanya secara bersama-sama. Karena, kalaupun toh mereka paksakan, bisa dipastikan, hal ini akan berarti harus berhadapan dengan mayoritas bangsa yang kini tidak bisa lagi dibodohkan hanya dengan berbagai statemen kosong tanpa makna yang lahir dari ekspresi kepentingan yang memang tumbuh subur dalam alam liberal dewasa ini. [b]Modernisme

Bicara tentang [b]modernisme, sebenarnya membawa kita kepada perbincangan sejarah budaya manusia yang tumbuh dan berkembang menurut hukum dialektiknya, yang lajim kita sebut sebagai [b]dialektika sejarah (historical dialectic). Menurut hukum ni, apa yang ada saat ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa peran dari kondisi serta apa yang dihasilkan sebelumnya. Kita tidak akan mengenal komputer, kalau sebelumnya tidak diketemukan listrik. Demikian juga kita tidak kenal popa jet (jetpump), kalau sebelumnya tidak pernah ditemukan kincir angin, atau lebih jauh lagi ilmu tentang gaya sentrifugal yang melahirkan daya hisap. Jadi, barang sebagai hasil karya manusia hanyalah manifestasi daro perkembangan budaya manusia yang berjalan menurut hukum alam yang akan terus menerus bergerak maju menuju kesempurnaan. Lahirnya pengetahuan tentang timba (bhs. Jawa) adalah merupaka jawaban dari kebutuhan akan air oleh suatu masyarakat tertentu yang untuk mendapatkanya harus mengambilnya dari sumur. namun, karena perkembangan manusia yang mulai meningkat aktifitasnya, mereka mulai berpikir bagaimana waktu dan tenaga yang harus dipakai untuk menimba bisa digantikan oleh tenaga non-manusia? Lahirlah kincir angin. demikian pula, karena arah dan waktu datangnya angin juga tidak kontinue, bersamaan dengan majunya temuan dibidang listrik, orang masuk pada pompa air. demikian seterusnya, kemajuan teknologi berjalan seirama dengan kemajuan manusia baik secara evolusi maupun revolusi. dari uraian diatas kita bisa melihat bahwa kuno dan modern bukan suatu yang berbenturan, tetapi [b]satu mata rantai yang berkait berkesinambungan. Sesuatu yang sekarang dikatakan sebagai modern, tercipta karena pernah ada suatu hasil karya yang sekarang pula kita sebut sebagai kuno. Demikian juga, tidak pernah akan ada hasil karya manusia yang sekarang kita sebut sebagai modern, jika tidak pernah ada sebelumnya karya manusi yang sekarang kita sebut sebagi kuno. Modern, hanyalah sebuah konotasi terhadap sesuatu karya yang bersifat temporer, dan tidak akan berlaku secara permanen, melainkan akan ditelan oleh waktu berikut temuan-temuan baru sebagai hasil dari pengembangan darinya. Atau dengan kata lain, apa yang dikatakan modern akan dikatakan kuno dikemudian hari manakala temuan-temuan baru sebagai derivasi dari karya-karya sebelumnya telah muncul. Lalu, kenapa dalam konsep modernisme Barat, selalu harus diperhadapkan pengertian antara tradisional dengan modern? Dalam pandangan Barat (Kapitalis), tradisional selalu dikonotasikan sebagai kuno, tertinggal dst,..dstnya. Sebuah penilaian yang penuh dengan konotasi negatif terhadap prospek kemajuan manusia dilihat dari sisi rasionalitasnya. Sementara, modern diartikan oleh mereka (Barat) sebagai sebuah bentuk kemajuan yang berada jauh didepan, terlepas dari kondisi masa lalunya. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang mewakili modernitas, Barat menempatkan dirinya sebagai simbol kemajuan peradaban manusia. Sementara bangsa-bangsa Timur, untuk mengejar ketertinggalannya, harus berani membongkar dirinya dari kungkungan tradisi yang disimbolkan sebagai penuh dengan kebodohan irasionalitasnya. dari sinilah teori [b]n-Ach (need for Achievement) ditebarkan keseluruh penjuru dunia oleh sang "Pembaharu" untuk mengangkat umat manusia dari keterpurukannya (lihat edisi 3).

Semua yang berbau tradisional, dalam pengertian Timur harus dibabat. Diganti dengan budaya baru yang didasari oleh spirit "individualisme" dan "konsumtif". Karenanya , tradisi sebagai lem perekat dalam menjaga sistem kemasyarakatn yang sosialistis dalam budaya Timur harus dibantai, karena tidak efisien dan bertentangan dengan smangat yang hendak ditebarkan ke seluruh penjuru dunia sebagai satu-satunya model yang harus diterima. Karena dalam keyakinan mereka, hanya dengan semangat seperti inilah, manusia akan didorong secara terus-menerus sepanjang hidupnya untuk mencapai kemajuan umat manusia. Namun, benarkah semangat seperti ini telah melahirkan kenyataanya bagi peningkatan harkat hidup umat manusia? Sudah tentu kita bisa menjawabnya sendiri-sendiri. Karena sebagai bangsa, kitapun kini sedang berada dalam pergumulan akbar merebaknya teori tersebut, yang menempatkan kita bukan saja selalu berada sebagai obyek, tetapi bisa juga sebagai perencana atau bahkan kadang perantara. Secara faktual, kita harus mengakui kemajuan materiil yang dicapai oleh semangat ini. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa didaerah terpencil, dipuncak gunung, orang bisa menikmati siaran televisi berwarna dengan antena parabolanya sehingga kejernihan suara dan gambarnya tidak kalah dengan mereka yang menikmatinya di kota. Demikian juga dengan munculnya telepon genggam, orang tidak lagi dibatasi oleh gunung, laut atu bahkan benua untuk bisa berkomunikasi setiap saat, sambil duduk santai, tiduran atau bahkan sambil berak sekalipun. Semua produk industri masuk menembus konsumennya tanpa lagi mengenal batas daerah, wilayah atau bahkan negara. Apakah itu mereka yang berada di pegunungan atau pesisir? Apakah itu mereka yang yang berada dikota ataupun di desa? Apakah itu mereka berada di negara yang kaya ataupun yang miskin sekalipun? Pendek kata, selagi mereka mampu membeli atau setidaknya punya aset yang bisa dijaminkan untuk mendapatkan kredit atas sejumlah barang yang dibutuhkan, mereka bisa memiliki apapun yang mereka butuhkan. Mulai dari TV, VCD, sepeda motor, kulkas sampai barang-barang yang bersifat sangat privasi sekali seperti alat-alat make-up dlsb,..dlsnya. Dengan sistem perdagangan yang disebut sebagai pasar bebas, tidak ada lagi yan mampu membendung arus membanjirnya barang-barang konsumsi, selain yang disebut sebagai daya beli. Karenanya, daya beli dan semangat untuk membeli menjadi bagian yang sangat penting dalam strategi besar kapitalisme internasional. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita berikutnya adalah, benarkah daya beli kita ini memang tinggi betul, sehingga kita mampu mengkonsumsi hampir setiap barang yang ditawarkan di pasar? Hal inilah sebenarnya yang harus kita bongkar, sehingga kita tidak terjebak kepada bentuk-bentuk kemewahan semu sebagai akibat dari semakin meningkatnya kebutuhan hidup, karena semakin membengkaknya biaya pemenuhan pola konsumtif kita yang semakin tidak rasional lagi. Dilihat dari kesempatan konsumen untuk mengkonsumsi barang, pasar bebas memang seolah menjanjikan rasa keadilan yang memang menjadi dambaan setiap manusia. Setiap produk bisa dimiliki oleh siapapun tanpa membedakan fungsi dan jabatan seseorang. Namun, benarkah apa yang selama ini dipajang mulai dari ruang tamu sampai ruang dapur yang hampir mewarnai pola tata ruang, rumah tangga rakyat di dunia ketiga ini merupakan kebutuhan fungsional mereka, sehingga mempunyai produktifitas secara optimal atas kepemilikannya?Hal ini kiranya yang

perlu untuk dikaji lebih jauh. Karena pada kenyataanya, apa yang mereka lakukan selama ini ternyata lebih didorong untuk memperoleh status sosial yang mereka sendiri menamakannya sebagai modern, dariapada pemenuhan kebutuhan fungsionalnya. Dengan menangkap simbolsimbol yang ditawarkan, mereka lebih bangga dikatakan sebagai orang modern, meski untuk mencapainya harus mempertaruhkan aset yang dimilikinya termasuk tenaga dan harga dirinya daripada harus dikatakan sebagai kuno. Sebuah potret keberhasilan dari sebuah mahakarya yang amat luar biasa. dimana virus yang dikenal sebagai [b]n-Ach, mampu merubah bukan saja pola konsumsi umat manusia di dunia ketiga, tetapi sekaligus merubah perilaku mereka dari masyarakat yang mandiri, menjadi masyarakat yang sangat amat tergantung kepada masyarakat atau bangsa lain darimana modal mengalir. [b]Lembaga Perbankan Peranan Bank dalam menunjang kepentingan para pemegang modal memang sangat luar biasa dasyatnya. Hal ini dimungkinkan karena disamping berfungsi sebagai pencari modal bagi suatu investasi, dari keuntungan yang diperoleh dari beberapa perusahaan yang sudah ada, para pengusaha menginvestasikan kembali uangnya dalam bank yang mereka bangun untuk diusahakan kembali sehingga mendapatkan keuntungan ganda atas setiap kocek yang dikeluarkannya sebagai investasi. Memang, secara teoritis diharapkan munculnya bank-bank di daerah bisa mendorong tumbuhnya pegusaha-pengusaha lokal sehingga mampu mampu menjadi motor penggerak bagi tumbuhnya perekonomian daerah bersangkutan, serta diharapkan akan mampu ikut berperan dalam pembangunan ekonomi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Namun, yang terjadi sering justru berfungsi sebagai mesin penghisap uang daerah untuk diinvestasikan pada proyek-proyek yang dibangun oleh perusahaan groupnya. Dengan kata lain, kemunculan bank-bank swasta di Indonesia sebagai produk dari [b]liberalisme ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah atas desakan IMF pada pertengahan tahun 80-an, ternyata lebih memberikan kesempatan kepada para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa untuk menguras habis kekayaan nasional kita, daripada menempatkan fungsinya sebagai perangkat pemberdayaan perekonomian rakyat. alam era ekonomi yang demikian ini, rakyat, tidak lagi mempunyai peran signifikannya dalam proses pembangunan, selain menjadi obyek yang harus diperas tenaga berikut asetnya untuk memperbesar keuntungan para pemilik modal maupun para penguasanya. Peran perbankan sebagai motor pendorong investasi sekaligus pembina pengusaha ekonomi menengah kebawah, termasuk didalamnya petani sebagai produsen, tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dengan jelas dari bagaimana sulitnya pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan kredit dari bank, meski berbagai persyaratan yang tidak sederhana (menurut ukuran mereka) telah diupayakan. Sebaliknya, jangankan bank swasta, bank-bank pemerintah sendiripun lebih suka memberikan kreditnya kepada para pengusaha besar, setidaknya yang sudah jadi. Karena, disamping tidak perlu memberikan berbagai pembinaan, munculnya uang kolusi sebagai sesuatu yang yang dianggap lajim dalam sistemkapitalis, merupakan daya dorong yang luar biasa bagi semakin tumbuh kuatnya kaum kapitalis dalam memperebutkan kapital sebagai produk dan sentralisme kapital yang termanifestasikan dalam sistem perbankan yang ada. kondisi sistem perbankan seperti inilah sebenarnya yang telah mempunyai andil besar dalam melahirkan konglomerasi di Indonesia pada masa Orde Baru. Para pengusaha berkolusi dengan para pejabat (penguasa) untuk mendapatkan berbagai proyek berikut fasilitasinya, mulai dari perijinan sampai opersionalnya. Sementara

modal yang mereka butuhkan, mereka dapatkan dari dana murah masyarakat yang mereka himpun melalui bank-bank yan mereka dirikan sendiri. Hancurnya perbankan nasional kita sebagai akibat dari terlalu besarnya kredit macet ulah para konglomerat hanyalah menunjukan bagaimana hampir seluruh dana masyarakat yang terakumulasi dalam berbagai bentuk simpanan pada bank, dikuasai pemanfaatnya oleh perusahaan-perusahaan groupnya. disinilah sebenarnya peran bank dimata kaum kapitalis menunjukan fungsinya dengan baik. Hal ini tidak berati saya menolak terhadap peran perbankan dalam menunjang sistem perekonomian nasional kita. Tetapi, hanya ingin menunjukan bagaimana sebenarnya mereka (kaum kapitalis) melihat peran perbankan dari kacamata kepentingannya. koperasi sebagai institusi ekonomi rakyat yang dijamin keberadaannya baik oleh UUD maupun GBHN, rasanya masih terbatas menjadi retorika politik kaum elite saja. Karenanya sudah selayaknya apabila semangat ini diikuti pula oleh pembangunan infrastruktur di bidang politik maupun ekonomi yang memungkinkan tumbuhnya iklim politik yang kondusif bagi terbentuknya semangat kebersamaan, serta diikuti pula oleh sistem perbankan yang benar-benar mampu menjamin pelaksanaannya, khususnya menyangkut jaminan atas kredit permodalan, sehingga ungkapan yang terkandung baik dalam UUD maupun GBHN tersebut mampu menemukan bentuknya yang nyata. Disini, DPR sebagai pemegang amanah kedaulatan rakyat, tidak berlebihan kiranya kalau diharapkan mampu melahirkan undang-undang yang mampu mengarahkan sekaligus mengontrol sistem perbankan kita, termasuk didalamnya Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. Sehingga bank benar-benar bisa difungsikan sebagai katalisator pembangunan. Bukan sebaliknya, sekedar menjadi alat kaum kapitalis atau penguasa di dalam memenuhi hajat kerakusannya. [b]Pembentukan Lembaga-lembaga Perdagangan Dunia Banyak para politisi berpendapat bahwa produk yang paling istimewa dari PD II adalah lahirnya polarisasi dunia menjadi dua kekuatan besar. Dimana, di satu sisi, mereka yang menamakan diri sebagai negara-negara Barat (kapitalis). Sementara disisi lain mereka yang tergabung dalam kubu negara-negara komunis yang dipelopori oleh Rusia. Dibawah tekanan Sekutu, negara-negara kalah perang seperti Jerman dan Jepang dipaksa untuk membuat Undang-Undang Dasarnya yang pada intinya hanya memperbolehkan mereka mengembangkan teknologi militer maupun angkatan perangnya sebatas kemampuan defensif saja, dan menyerahkan sistem keamanannya kepada Sekutu. Dengan kata lain, meski dibawah kontrol Sekutu, mereka masih tetap diberi kebebasan untuk menumbuhkan kembali perekonomiannya. Dilihat dari situasi seperti ini, kita melihat seolah-olah Perang Dunia II lahir dari pertarungan untuk memperebutkan hegemoni. negara-negara sekutu termasuk Rusia, ingin mendapatkan opengaruh kekuasaannya atas negara-negara kalah perang seperti Jerman, Itali maupun Jepang.

Namun benarkah demikian? Tentu saja tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang mendorong kenapa negara-negara Barat tidak menginginkan negara-negara kalah perang untuk dibunuh sekalian kemungkinan bagi pengembangan perekonomiannya. Barat bahkan membangun kembali negara-negara Eropa dari akibat Perang Dunia II, termasuk mereka yang kalah perang dalam program Marshal Plan. Hal ini mereka lakukan karena mereka memang sadar betul bahwa inti Perang dunia II bukanlah sekedar perang untuk mendapatkan pengaruh. Juga bukan perang untuk mendapatkan negara jajahan seperti yang sering terjadi pada masa-masa sebelumnya. Melainkan, perang untuk memperebutkan pasar bagi produk industrinya yang sudah kelewat melimpah, sebagai akibat dari perang harga, yang memaksa mereka harus mampu melakukan ekspor secara besar-besaran. Hal ini terjadi karena dalam kerangka efisiensi. Untuk menekan tingkat pendapatan buruh jelas merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan. Sehingga satu-satunya cara yang paling efektif adalah dengan meningkatkan jumlah produksi, sehingga dicapai harga satuan yang cukup bersaing. Perlu dicatat kiranya bahwa Jerman dan Jepang adalah dua negara yang teknologi maupun ekonominya terbilang tertinggi di eropa dan Asia pada masa sebelu perang. Karenanya, bangkitnya kembali perekonomian di di kedua negara ini akan berati mengembalikan daya beli dan konsumsi masyarakatnya yang memang sebelumnya cukup tinggi, sehingga mampu dijadikan pasar yang luar biasa bagi produk industrinya. Inilah watak Perang Dunia II yang sebenarnya. Perang yang tidak bukan dan tidak lain hanyalah perang untuk memperebutkan pasar bagi produk mereka dengan membedah benteng pertahanan lawan yang disebut negara. Sebuah model perang yang sampai sekarang masih dipakai oleh negara-negara Barat (khususnya AS) terhadap negara-negara di dunia ketiga, meski dengan cara-cara yang berbeda. Dengan menggunakan isue "Bahaya Komunisme", tentara negara-negara Barat yang dikomndani oleh AS terlibat dalam berbagai kegiatan militer di hampir seluruh belahan bumi untuk sebuah kata yang namanya [b]modal atau [b]kapital. Mereka mengadu domba negara-negara dunia ketiga dengan menciptakan berbagai ketegangan hanya untuk tujuan [b]menjual peralatan pembunuh yang nilainya sulit terbayangkan untuk kocek sebuah negara berkembang, kecuali hanya diganti dengan selembar surat hutang yang harus dibayar dengan segala macam aset yang dimilikinya, termasuk harga dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau dengan harga sebuah Tank bisa dibangun sebuah pabrik yang mampu menampung ratusan buruh. apalagi untuk sebuah rudal, pesawat tempur atau entah apalagi yang lainnya. Namun strategi semacam ini menjadi tidak populer setelah AS harus menerima buah simalakama, ketika ribuan tentaranya terbunuh dalam perang Vietnam. Pemerintah Amerika Serikat diprotes habis-habisan oleh rakyatnya sendiri sehingga memaksa pemerintah menarik tentaranya dari Vietnam pada tahun 1975. Dari sinilah kebijakan luar negeri AS mengalami perubahan yang cukup drastis. Karenanya, dengan kekuatan dana dan dan pengaruhnya yang cukup kuat, AS menggunakan PBB sebagai bemper kepentingannya. Dengan menarik keterlibatan militernya secara langsung di banyak negara, AS menggantikannya dengan memaksakan [b]demokratisasi dunia untuk maksud [b]liberalisasi politik dan [b]perekonomian dunia, serta [b]Hak Azasi Manusia untuk maksud

[b]Individualisme, dimana hak-hak privasi seseorang dijamin sepenuhnya secara internasional meski kadang untuk mendapatkannya harus dengan jalan pembantaian!! Inilah wajah dunia kita sekarang ini. wajah yang penuh dengan bopeng-bopeng kerakusan umat manusia, yang dicoba untuk dipoles dengan kata-kata [b]demokratisasi dan [b]hak azasi manusia. Sebuah kata yang mengandung makna bagi sebuah [b]uniformitas dunia yang liberal kapitalistik, dimana perdagangan bebas dengan hukum rimbanya, menjadi ajang keseharian bagi praktek eksploitasi manusia ata s manusia maupun bangsa atas bangsa lain. Dari snilah sebenarnya apa itu yang namanya WTO, GATT, APEC atau entah apa lagi yang lainnya menemukan sumber cerita yang sesungguhnya. [b]Manuver Kapitalis Internasional di Dunia: Seperti pada edisi 3 yang lalu, Saya telah menjelaskan bagaimana kapitalisme internasional menjalankan strategi globalnya, yaitu: [b]1. Penetrasi budaya, Vaksinasi virus n-Ach yang dilakukan negara-negara Barat dengan PBB sebagai pelaksananya terhadap bangsa-bangsa di dunia ketiga sebenarnya mempunyai tiga target sasaran, Yakni terciptanya semangat [b]individualisme, westernisme dan [b]konsumerisme. Karena hanya dengan semangat seperti inilah sebenarnya kapitalisme menemukan ruh kehidupannya. Kapitalisme tidak akan tumbuh manakala semangat kebersamaan kokoh bersemayam di dalam kehidupan kemasyarakatan sebuah bangsa. Karenanya untuk menciptakan masyarakat yang kapitalistis, solidaritas sebagai manifestasi dara rasa kebersamaan harus digantikan dengan semangat kepentingan. Kebersamaan yang ada dalam masyarakat ini bukanlah didasari oleh rasa, melainkan oleh adanya kesamaan kepentingan dalam persaingan abadi. Kapitalisme juga tidak bisa tumbuh jika orang masih banyak menggunakan nuraninya seperti lajimnya masyarakat Timur yang mengandalkan hidupnya pada akal budinya. Karenanya, pola berpikir demikian harus pula digantikan oleh pola berpikir rasional, seperti lajimnya cara berpikir orang Barat, sehingga perhitungan untung-rugi mendapatkan rel berpikirnya yang mapan. Hal ini tidak berarti cara berpikir rasional itu salah. tetapi tanpa diikuti oleh kematangan nurani atau batiniahnya, sejarah telah membuktikan betapa dasyatnya kekuatan destruktif ini menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Yang terakhir, kapitalisme juga tidak akan bisa tumbuh apabila orang masih berpikir fungsional dalam berkonsumsi. Karenanya, semangat seperti inipun juga harus diubah. diganti dengan pola berkonsumsi yang tidak mengenal batas. atau lebih dikenal dengan high consumtion. Karena, hanya dengan cara seperti ini pulalah produk kapitalis akan menemukan pasarnya, dimana keuntungan sebagai sasaran akhir menemukan masksimalisasinya. [b] [b]2. Liberalisasi Ekonomi-politik Untuk mewujudkan target sasaran bagi terbentuknya masyarakat dunia yang liberal kapilastik. dengan kekuatan modal dan teknologi yang dikuasainya, kapitalis internasional yang terdiri dari negara-negara industri yang notabene negara-negara bekas penjajah, melakukan berbagai kegiatan politik baik dengan cara konstitusional maupun inkonstitusional, menurut hukum yang berlaku di negara dimana mereka melakukan manuvernya maupun hukum internasional.

Memaksakan terwujudnya uniformitas sistim politik-ekonomi dunia menuju masyarakat dunia yang liberal-kapitalistik. Berbagai manuver baik dalam bidang ekonomi maupun politik untuk mendorong terciptanya sistem ekonomi pasar yang tidak lagi mengenal batas kedaulatan bangsa atau negara, menjadi langkah kunci. Dalam prinsip mereka, modal harus mampu menembus keseluruh sudut bumi tanpa ada yang boleh menahannya. Karenanya, segala sesuatu yang menghambat atau menghalangi gerak ekspansi ini harus dijebol!!!. Meski kadang harus menggunakan kekuatan militernya seperti yang selama inidilakukan dalam berbagai pola hubungan dengan negra-negara dunia ketiga. [b]3. Justifikasi Untuk melindungi kepentingan globalnya, dengan memanfaatkan berbagai institusi internasional, mereka menciptakan sistem hukum yang mampu melindungi kepentingan kapital mereka melampaui batas negara. Hal ini penting mereka lakukan untuk melindungi nafsu eksploitatifnya. Sehingga modal berikut hasil usaha yang diperolehnya bisa selamat dan berjalan tanpa harus terganggu oleh berbagai tuntutan persyaratan yang sering diberlakukan oleh negara-negara dimana mereka hendak menyampaikan hajatnya. Karenanya, dalam implementasi hubungan mereka dengan negara-negara dunia ketiga, mereka tidak cukup hanya dengan langkah-langkah tersebut diatas. Melainkan sekaligus mendorong kepada terciptanya masyarakat baru yang sejalan dengan kepentingan globalnya, yakni, terbentuknya masyarakat dunia baru yang liberal-kapitalistik, dimana empat ciri dasar kapitalisme seperti diatas menjadi ciri umum sistem kehidupan global. Sebuah keinginan yang kini sedang menjadi proyek raksasa yang tidak saja melibatkan para politisi dan ekonom hampir seluruh negara-negara didunia, tetapi didukung pula oleh dunia intelektual yang kini sedang asyik dengan mainan barunya yang bernama "Westernisme". Sebuah mainan yang mampu menjanjikan kepada mereka akan sebuah kehidupan yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk berkompetisi serta berkonsumsi sebebas-bebasnya tanpa harus memperhatikan kondisi sekitarnya, baik dalam sistem sosial kemasyarakatan maupun alam lingkungannya. [b] [b]Jawaban Marx terhadap Kapitalisme Berangkat dari falsafahnya yang mengatakan bahwa watak atau perilaku seseorang ditentukan oleh alat produksi yang dipakainya didalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Marx melihat bahwa dengan cara apapun dan bagimanapun kapitalisme dijalankan, sudah dipastikan terjadinya eksploitasi baik antar manusia maupun antar bangsa. Hal ini terjadi dikarenakan oleh karena watak kapitalisme yang meisahkan faktor modal dengan tenaga kerja dalam sistem produksi. Dimana, nilai lebih atau marginal profit yang dihasilkan dalam proses produksi jatuh ketangan pemegang modal. Sementara, buruh harus puas dengan menerima upah sesuai sistem pengupahan yang berlaku yang ditentukan oleh perusahaan dibawah pengawasan pemerintah, yang oleh karena berbagai hal sering berpihak kepada kepentingan kapital. Kondisi seperti inilah sebenarnya yang dilihat oleh Marx pada masa itu, sebagai bentuk perampasan hak atas nilai lebih oleh pemegang modal dari tangan kaum proletar. Pola pembagian keuntungan yang tidak adil seperti inilah yang oleh Marx dinilai akan mengakibatkan ketidakadilan dalam sistem pembagian keuntungan yang membuat pemilik modal akan semakin kaya, sementara kaum buruh mengalami stagnasi kesejahteraan. Bahkan sering karena semakin meningkatnya kebutuhan

hidup mereka yang kurang diikuti oleh peningkatan upah penerimaanya, mengakibatkan posisi semakin terpuruk. Kesenjangan antara pemilik kapital dengan buruh semakin melebar, dan secara kumulatif melahirkan sebuah kondisi sosial dimana sekelompok kecil masyarakat yang menguasai kapital, menguasai hampir seluruh kehidupan mayoritas masyarakatnya. Sebuah proses pemiskinan massal yang terlahir [b]sebagai konsekuensi, bukan sekedar [b]akibat dari manifestasi sebuah keyakinan dimanan kapital diyakini sebagai satu-satunya sumber pendorong bagi tercapainya kemajuan serta kesempurnaan manusia. dari kenyataan seperti ini, Marx berkeyakinan bahwa kapitalisme mencapai puncak, atau klimaknya, hal ini aan diikuti oleh lahirnya kekuatan antiklimaks yang maha dasyat dari kekuatan kaum proletar yang terbentuk secara otomatis, sebagai konsekuensi logis dari ketidakadilan yang ada dalam proses pembagian keuntungan, dimana hak-hak buruh dirampas oleh kaum kapitalis. Gerakan besar-besaran yang dilakukan kaum proletar untuk melawan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap inilah yang kemudian akan melahirkan sebuah revolusi sosial yang dikemudian hari akan melahirkan sebuah masyarakat baru yang sosialistis. atau dengan kata lain, Marx berkeyakinan akan lahirnya masyarakat sosialis di dunia melalui jalan kapitalisme. Menurut Marx, revolusi sosial sebagai manifestasi dari bentuk perlawanan kaum proletar terhadap ekspolitasi modal, adalah sebuah sebuah kepastian sejarah. Karenanya, yang menjadi penting didalam gerakan ini adalah bagaimana mereka mampu membangun kesadaran buruh untuk memahami hak-haknya yang selama ini dirampas oleh kaum pemodal. Marx melihat bahwa ketidak berdayaan kaum pekerja dalam membangun kolektifitas perlawanan terhadap kaum penindas waktu iu, bukanlah dikarenakan semata-mata oleh terlalu kuatnya kaum kapitalis dimata mereka. Melainkan, disebabkan oleh adanya perkawinan kekuatan yang luarbiasa antara modal, gereja dan penguasa (raja) yang dimitoskan sebagai utusan Tuhan. Secara historis harus diakui, bahwa meski tidak secara langsung peran gereja dalam meredam kemungkinan munculnya gejolak sosial sebagai akibat dari semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dalam sistem kapitalisme, memang cukup besar. hal ini dikarenakan, distu sisi, gereja sering menempatkan diri atau ditempatkan posisinya oleh penguasa, sebagai institusi legitimasi bagi keberlangsungan sebuah kekuasaan. Sementara, disisi lain, gereja seolah menawarkan sebuah keyakinan, bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang harus diatasi dengan kerja yang lebih keras dengan dilandasi oleh kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Bukannya dengan melawan sumber kemiskinan itu sendiri. Bagi Marx, yang melihat bahwa kemiskinan adalah produk dari eksploitasi kapital terhadap para pekerja, melihat, bahwa, keberadaan gereja dengan pengaruhnya yang maha besar, dibelakang persekutuan [b]pengusaha-pengusaha adalah kondisi yang sangat menyulitkan bagi terjadinya proses sosialisai pemahaman bagi kaum buruh atas kondisi sosial ekonominya yang kian hari kian terpuruk. Karenanya, untuk dapat menghentikan proses pemiskinan yang terjadi, gereja sebagai sumber kekuatan rasionalitas pada masa itu harus dipotong dari mata rantai kekuasaan. Statemen Marx tentang agama yang banyak melahirkan caci maki kaum agamawan yang dikutip oleh Michael Lowy dalam karyanya "Theologi Pembebasan" kiranya harus dilihat dari kacamata ini.

Secara utuh kutipan tersebut berbunya sebagai berikut: "Kenestapaan keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan kesengsaraan nyata dan sekaligus protes melawan penderitaan nyata tersebut. Agama adalah keluh kesahnya makhluk yang tertindas, jantungnya dunia yang tak punya hati, karena itu ia merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki roh sama sekali. Ia adalah candu rakyat" Sebuah ungkapan yang lahir dari kondisi umum masyarakat Eropa pada waktu itu. dimana, perkawinanantara modal, gereja dan penguasa, benar-benar mampu membungkam berbagai kemungkinan gejolak sosial yang ada. Bagi Marx, yang melihat kemiskinan terjadi oleh karena adanya eksploitasi kapital terhadap kaum pekerja dalam sistem kapitalisme, statemen diatas haruslah pula dilihat sebagai jawaban kritis Marx terhadap ambivalensi agama dalam melihat kenyataan hidup. Kemiskinan, bukanlah suratan nasib yang harus diterima dengan besar hati oleh kaum pekerja, melainkan harus dilawan dengan menciptakan keadilan pembagian keuntungan dalam sistem produksi!!. Munculnya bangunan gereja disamping cerobong asap industri di negara-negara jajahan termasuk Indonesia pada waktu itu, hanyalah salah salah satu contoh dari situs perkawinan ini. Karenanya, bagi rakyat di negara-negara jajahan, apa yang diungkapkan Marx bukanlah sekedar teori, tetapi lebih merupakan fakta yang mereka sendiri bisa merasakan secara langsung bagaimana sakitnya gigitan tiga kekuatan (modal, gereja dan kekuasaan) yang menyatu ini dalam kehidupan mereka. Namun, Tuhan ternyata memang tidak buta. Meski dibawah cercaan dan cemooh kaum gerejani, apa yang dilakukan Marx rupanya memang tidak sia-sia. Analisis Marx yang terangkum dalam berbagai teorinya ternyata mampu membuka lebar-lebar mata kaum sosialis yang selama itu tidak berdaya melawan eksploitasi kapital terhadap sistem pergaulan hidup yang ada. Bahkan meski Marx menentang persekongkolan gereja dengan penguasa dan pengusaha, tidak sedikit rohaniawan gereja di Amerika Latin dan Philipina mengangkat senjata, bersatu dengan kaum marxis menentang apa yang disebut sebagai eksploitasi dalam sistem kapitalisme. Mereka melihat institusi gereja tidak mampu memberikan jawaban serta tidak berpihak kepada kaum tertindas atas kondisi sosial yang ada. gereja tiak banyak berbuat ketika melihat kemiskinan dang pengangguran semakin meluas, dan bahkan seolah membiarkan hal itu menjadi obyek belas kasihan dan kedermawanan kelas pemenang. Karenanya mereka menafsirkan sendiri ayat-ayat suci kedalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Kemiskinan dan keterpurukan tidak bisa diatasi hanya dengan menyelesaikan secara perorangan, melainkan harus dengan suatu langkah komunal yang hanya bisa dilakukan dengan cara sistemik. Dilihat dari karyanya, memang Marx tidak memberikan guiding instruction terhadap pola gerakan. Namun, secara brilian, setidaknya untuk masanya, Marx menyajikan sebuah cara pemahaman terhadap "bagaimana terjadinya eksploitasi modal atas para pekerja". karenanya, tidaklah mustahil kalau hal inipun melahirkan banyak tafsir yang kemudian melahirkan pula berbagai bentuk pola gerakan dalam mengantisipasi eksploitasi kapital terhadapkaum proletar di berbagai negeri.

Di Rusia, [b]Lenin menterjemahkannya sebagai sistem pemerintahan, dimana kekuasaan berada di tangan kaum pekerja, dalam hal ini butuh dan tani. Perangai kaum kapitalis yang eksploitatif yang hidup subur dibalik perlindungan kekuasaan Tzar, harus dilawan oleh seluruh kekuatana rakyat dibawah kepemimpinan kaum pekerja (buruh dan tani). Karenanya, dengan mengakomodir semua kekuatan perlawanan dibawah kepemimpinan kaum pekerja, lenin mengobarkan perlawanannya terhadap kaisar sebagai simbol dari perkawinan tiga kekuatan diatas. namun meski sama-sama bekerja untuk kaum pekerja di Rusia, berbeda dengan Lenin yang dalam menjalankan pemerintahannya masih mau mengakomodir kekuatan-kekuatan perlawanan lainny, meski tetap dalam format kepemimpinan kelas pekerja. [b]Stalin, yang kemudian diikuti oleh para pemimpin Uni Soviet sampai mendian presiden [b]Breznev, menjalankan kekuasaanya dengan cara otoriter. Segala hal yang menyangkut harkat hidup warga negara diatur sepenuhnya oleh negara, dalam hal ini partai komunis. Demikian juga China dibawah [b]Mao Tse Tung. Semua hal yang menyangkut baik persoalan ekonomi maupun politik diatur oleh negara, dibawah kendali Partai Komunis China. Karenanya, watak dalam sistem pemerintahan yang ada baik di China dibawah Mao, maupun Rusia dibawah Stalin sampai Breznev, tidak jauh berbeda: yakni sebua pemerintahan yang bercirikan kelas. sebagai kekuatan pendukung sekaligus penyangga dari sebuah pemerintahan, Partai Komunis, tidak saja memberikan masukan serta mengontrol jalannya sebuah pemerintahan. tetapi menentukan segala hal-ihwal mengenai pemerintahan. Atau dengan kata lain, [b]"Negara dibawah kekuasaan partai". Disinilah kaum komunis Uni Soviet dan China menafsirkan Marxisme dalam sistem katatanegaraan. [b]Sosial Demokrat, Lahir dan Perkembangannya Seperti halnya yang bisa dilakukan oleh Lenin yang bisa mengakomodir kelas menengah kedalam barisannya. Kaum buruh di Inggrispun menyadari, bahwa apabila perusahaan roboh, merekapun akan kehilangan pekerjaan, yang berarti pula kehilangan pendapatan. Sementara, kaum kapitalis melihatnya akan bahaya yang bisa muncul atas asumsi Marx tentang revolusi sosial. Karenanya, merekapun melakukan kompromi dengan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi kaum pekerjanya tanpa harus mengorbankan watak aslinya, yakni untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dari sinilah gerakan buruh di Inggris menemukan bentuknya. Organisasi buruh tidak digerakan untuk mengguncang produksi, tetapi untuk menuntut terjadinya pembagian yang lebih adil antara pengusaha dengan pekerjanya. Isue [b]distribusi pendapatan pun mengemuka menjadi sebuah jargon yang akhirnya menjadi trade mark kaum sosial demokrat, yang tidak saja menembus pengaruhnya sampai Eropa daratan, tetapi juga di benua lainnya, termasuk Asia. Demikian juga dalam persoalan kapital. Mereka tidak mengusik keberadaan serta posisi kaum kapitalis didalam sistem produksi. Melainkan melawannya dengan membangun kapital secara kolektif. dengan iuran anggota yang dikumpulkan mereka membangun koperasi-koperasi yang diantaranya akhirnya mampu bangkit sebagai perusahaan-perusahaan baru yang kadang menempatkan posisinya pula berdampingan dengan perusahaan induknya dimana anggota koperasi itu bekerja sebagi distributor. Disini kaum buruh melangkahkan kakinya pada tahpan keduanya, yakni mendapatkan peningkatan pendapatan dari keuntungan atas hasil usaha dari koperasi-koperasi atau perusahaan-perusahaan yang dibangun. Atau dengan kata lain yang lebih populer dengan semboyan [b]buruh punya buruh. Dengan kekuatan seperti inilah sebenarnya kaum sosial demokrat akan memainkan

manuver politiknya. Dengan merangkai kekuatan buruh baik secara likal, nasional maupun internasional, mereka berkeyakinan akan mampu membongkar dunia menuju masyarakat sosialis. Dilihat dari kacamata dimana pusat-pusat industri itu berada, memang sejak munculnya pemikiran serta gerakan kaum sosial demokrat, kegoncangan ekonomi negara-negara industri, khususnya di Eropa sebagai akibat dari revolusi sosial hampir tidak pernah terdengar. Dengan sistem welfare state meski tidak mengurangi keuntungan yang diraih oleh para pengusaha, tingkat upah tinggi yang diterima oleh kaum pekerja di Eropa seolah-olah menggugurkan teori Marx tentang eksploitasi kapital atas kaum pekerja. apalagi dengan munculnya usaha-usaha baru yang terlahir dari akumulasi kapital kaum pekerja yang terkumpul dari iuran anggota. Seolaholah membuat pupus asumsi Marx yang melihat kekuatan kelas yang diyakininya sebagai satusatunya kekuatan kelas yang diyakininya sebagai satu-satunya kekuatan yang akan mempu menghancurkan kapitalisme. Namun, benarkah demikian. Rupanya tidak! Seperti halnya yang diinginkan oleh kaum buruh, bahwa merekapun ingin menikmati hasil kerjanya dengan mendapatkan peningkatan pendapatan tanpa harus menambah jam kerjanya, kaum kapitalispun berfikir bagaimana tuntutan buruh ini bisa dipenuhi tanpa harus mengurangi hak-haknya atas keuntungan yang diperolehnya. Karena, sejalan dengan temuan-temuan di bidang teknologi, [b]mekanisasi produksi adalah satu jawaban yang paling ampuh untuk menjawab tantangan ini. Namun, inipun masih menimbulkan masalah bagi kaum kapitalis. Karena, seperti terungkap dalam watak aslinya yang mengharuskan bahwa setiap modal yang ditanam harus melahirkan keuntungan. Kaum pengusaha tidak mau modal yang dikucurkan untuk membongkar sistem produksi yang sudah ada, tidak menghasilkan peningkatan keuntungan baginya. Karenanya, mekanisasi produksi mesti pula diikuti oleh peningkatan jumlah produksi sehingga peningkatan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan baik untuk peningkatan upah maupun investasi bagi pengadaan alat produksi bisa ditutup oleh peningkatan penjualan. Hal inipun ternyata masih pula menimbulkan persoalan, karena dengan jumlah produksi yang jauh melampaui kebutuhan pasar lokal. Jelas ini akan menimbulkan persoalan serius bagi keberlangsungan perusahaan sebagai akibat dari merosotnya harga jual produk mereka, yang tidak saja akan menimbulkan kerugian besar bagi pengusahanya, tetapi sekaligus keberlangsungan bagi para pekerjanya. Sehingga untuk keluar dari kemelut antar kepentingan ini, satu-satunya jalan bagi mereka adalah dengan menjuala sebagaian produknya ke luar negeri (ekspor). Baik ini dilakukan dengan cara dumping, monopoli, perdagangan bebas atau dengan cara yang lain yang pada intinya adalah mengalihkan pos pengeluaran biaya yang semestinya dikeluarkan oleh pengusaha kepada konsumen. Inilah wajah sesungguhnya perekonomian dunia paska revolusi industri di Inggris yang kemudian merambah kedaratan Eropa dan Amerika yang getahnya dirasakan oleh negara-negara jajahan di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Perang Dunia adalah fakta paling kongrit, bagaimana perangai kaum kapitalis dalam memperebutkan pasar bagi produk mereka, tidak menemukan jalan kompromi. Hal mana kemudian menyadarkan serta mendorong mereka untuk membentuk kerjasama negara-negara industri G-7, yang kemudian menjadi G-8 untuk membuat peta perdagangan dunia bagi kepentingan mereka tanpa harus bertempur. disini, negara-negara dunia ketiga yang natbene bekas negara-negara jajahan dikapling-kapling untuk memenuhi kebutuhan pasar bagi produksi negara-negara industri.

Kemudian, apa keterkaitan uraian diatas dengan penjelasan tentang perkembangan sosial demokrat? Dilihat secara teoritis, argumentasi kaum sosial demokrat seolah memang bisa diterima. Dengan membangun kekuatan kapital secara kolektif dari iuran anggota, serta mengakumulasi kekuatan buruh baru dari karyawan koperasi maupun perusahaan yang dibangunnya, mereka berharap akan mampu melawan dominasi modal kaum kapitalis. Namun mereka lupa bahwa secara faktual, kesejahteraan yang yang diberikan oleh pengusaha (kaum kapitalis) kepada mereka sebenarnya bukanlah pengurangan dari bagian keuntungan yang diperoleh dari sistem pembagian keuntungan yang adil seperti yang mereka tuntut. melainkan diambil dari hasil eksploitasi baru dalam sistem perdagangan yang mereka bangun, yakni [b]konsumen. Yang secara spesifik disebut sebagai hasil ekspor. Namunkarena buruh sendiri juga merupakan konsumen dari produk yang diproduksi di dalam negeri. maka secara bersilang, terjadi pula eksploitasi kapital atas pekerja sebagai konsumen. Disinilah sebenarnya kenyataan yang bisa dibaca, bahwa apa yang dinikmati oleh kaum sosial demokrat bukanlah hasil sebuah pembagian yang adil dalam pembagian keuntungan antara pemodal dengan pekerjaanya, melainkan hasil eksploitasi baru terhadap konsumen. Demikian juga, pekerja dari koperasi maupun perusahaan yang dibangun atas modal kolektif, didorong untuk dapat membangun lagi unit usaha baru sebagai bentuk peningkatan atas pendapatannya. Sehingga, secara berkelanjutan, terjadilah [b]eksploitasi berjenjang, dimana semakin dekat mereka dengan kapital, semakin besar pula mereka menikmati hasil eksploitasi. Sementara, semakin jauh dari kapital, semakin besar pula mereka tereksploitir. Sebuah fenomena umum yang kini mewarnai sistem perdagangan dunia, dimana negara=negara dunia ketiga berebut untuk mendekatkan dirinya pada kekuatan modal. Bagi kaum sosial demokrat di negara-negara di negara-negara kapitalis dampak eksploitasi ini relatif tidak dirasakan. Karena, peningkatan kesejahteraan yang diperoleh di negara ini cukup tinggi sejalan dengan laju perkembangan perusahaan, sementara yang tereksplotir berada jauh di negara-negara jajahan atau yang kemudian setelah merdeka dikenal sebagai negara-negra dunia ketiga, dimana keberadaan konsumen sebagai yang tereksploitir adalah rakyat atau masyarakatnya sendiri. Cita-cita kaum sosial demokrat ini akan melahirkan banyak persoalan yang tidak sederhana. Hal ini akan terjadi, karena meski tujuan utamnya adalah memperjuangkan pembagian yang adil antara pengusaha dan pekerja atas keuntungan yang diperoleh, namun karena wataknya yang melekat pada kapital, dalam perkembangannya manuver kaum sosial demokrat yang mendorong terciptanya eksploitasi berjenjang sering lebih menampakan wajah [b]liberal kapitalistiknya, meski tidak pernah akan bisa meninggalkan watak kelasnya. [b]Kenapa kaum sosial demokrat (Sos-Dem) lebih memilih jalan kapitalis untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, meski sebenarnya mereka sendiri tetap saja tidak berubah sebagai pekerja?? Tentu saja hal ini hanya bisa dijawab oleh mereka sendiri, baik yang [b]masih berjuang, sedang menjadi [b]makelar kapital atau yang sudah menjadi [b]kapitalis beneran. Karena, memang demikian "Sosialis Demokrat" adalah mimpinya pekerja yang ingin jadi kapitalis. Sehingga ketika menjadi kapitalis beneran, wataknya sama persis seperti tuannya, atau bahkan sering lebih ganas; karena dengan pengalamannya sebagai pekerja, mereka lebih mengetahui banyak hal tentang kelemahan kaum pekerja.

[b]Kaum Nasionalis Bangsa Terjajah Menjawab. Meski pembicaraan tentang Nation atau Bangsa jauh lebih tua dibandingkan dengan kedua paham diatas, namun harus diakui bahwa keberadaan paham ini, baik kapitalisme maupun marxisme benar-benar telah memberi warna tersendiri salam sistem pergaulan hidup bangsabangsa di dunia, khususnya pada paska PD II. Dari sudut sosial-ekonomi, negara-negara dunia terpetakan ke dalam negara-negara maju (industri), menuju industri, berkembang dan terbelakang. Sementara secara politis, kita bisa melihat adanya negara pemilik modal sebagai penjajah, dan negara-negara miskin modal sebagai yang terjajah. Harus kita akui secara jujur bahwa tumbuhnya nasionalisme di negara-negara jajahan diwarnai oleh perlawanan kaum tertindas terhadap kaum penjajah tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan revolusi kelas yang marxistis di Rusia. Hal mana merupakan bentuk nyata jawaban bangsabangsa terjajah terhadap kondisi masa lalunya, dimana perangai kapitalisme yang eksploitatif telah melahirkan banyak penderitaan bangsa-bangsa terjajah didunia, tidak terkecuali Indonesia. Karenanya, bagaimana bentuk dan warna nasionalisme yang dilahirkannya akan sangat tergantung kepada seperti apa dan bagaimana bentuk eksploitasi itu terjadi. Bagi negara penjajah yang memiliki bahan baku serta telah mapan industrialisasinya seperti Inggris, kapitalisme berjenjang sebagaimana termanifestasikan dalam sistem welfare state, lebih memberikan keuntungan kepadanya. Bagi mereka yang penting adlah bagaimana negara bekas jajahan tetap bisa dikendalikan sehingga tetap menjadi pasar bagi produk industrinya. karenanya, penyerahan kedaulatan oleh Inggris kepada negara-negara jajahannya sebenarnya lebih memiliki makna taktis, dimana kemerdekaan yang telah mereka peroleh kelak akan akan digantikan oleh wadah baru yang bernanama "Negara-Negara Persemakmuran". Sebuah model penjajahan baru yang memberikan keleluasaan kepada sang penjajah, dimana dengan pounsterlingnya, Inggris bisa mengatur lalu-lintas modal maupun barang industrinya ke seluruh dunia, setidaknya ke negara-negara bekas jajahannya. Hanya saja, kalau sebelumnya tanggung-jawab Inggris terhadap peningkatan pendapatan negara-negara anggotanya tidak terlalu menkadi keharusan. Kini, Inggris harus mampu membangundaya beli masyarakat bekas jajahannya, sehingga dengan demikian seberat apapun kondisi mereka, mereka harus tetap mampu membeli produk ekspor mereka yang memang haus akan pasar luar negeri. Berbeda dengan Inggris yang emang kaya akan bahan baku industri dan telah mapan industrialisasinya, Negara-negara yang kurang memiliki bahan baku untuk industrinya seperti Belanda dan Perancis; kehilangan wilayah jajahan bisa menimbulkan petaka bagi perekonomiannya. Karenanya, mereka mempertahankan matimatian genggamannya atas sumber kehidupan perekonomiannya. Perlawanan rakyat negerinegeri jajahan atas penghisapan yang mereka lakukan dijawab dengan tindakan-tindakan represif yang tidak saja menimbulkan kerugian harta benda, tetapi juga jiwa manusia. Dalam kondisi seperti inilah perkembangan nasionalisme dinegeri-negeri terjajah menemukan bentuknya. Karenanya, temperamental nasionalismenyapun berbeda-beda pula. Ada yang kompromis, ada yang setengah radikal, dan ada pula yang radikal. hal ini akan sangat tergatung kepeda seperti apa sang

You might also like