You are on page 1of 20

MAKALAH PENGANTAR ILMU FIQH

TENTANG

PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB FIQH

OLEH NAMA

: KELOMPOK 4 : ----------------- MUHAMMAD AWALUDIN FAIZIN AHMAD JUPRI SAMSURI ALAN PURWANSYAH : AS A : I ( SATU )

JURUSAN SEMSTER

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) MATARAM

2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Dan tak lupa pula salawat serta salam kami haturkan kepangkuan baginda nabi besar Muhammad Saw, karena berkat perjuangan dan usaha beliau kita semua dapat menikmati islam dengan sebaik-baiknya agama. Syukur alhamdulillah makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Didalam makalah ini kami akan membahas tentang Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Fiqh ( M. Noor, M.HI ) yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membuat makalah ini. Dengan rendah hati, kami ingin menyampaikan beribu maaf apabila terjadi kesalahan dan kekeliruan pada penulisan makalah ini. Kami juga mohon kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah ini, karena kami masih dalam tahap belajar. Akhirul kalam jazakumullahu khairon ,wassalam.

Mataram, 28 Oktober 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 Latar Belakang Tujuan

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian madzhab a. Titik tolak atau sejarah pembentukan madzhab b. Factor factor yang menimbulkan madzhab 2.2 2.3 Macam macam madzhab Dasar dasar madzhab

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri. Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.

1.2

Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita khususnya para mahasiswa dapat

memahami dan mengerti tentang : 1. pengertian mazhab, 2. latar belakang munculnya madzhab 3. macam macam madzhab dalam fiqh

BAB II PEMBAHSAN 2.1 Pengertian Madzhab Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. 1Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. a. Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat) di kalangan sahabat ada tiga yakni : 2 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena rayu. Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabiin, muncullah generasi Tabiit Tabiin. Ijtihad para Sahabat dan Tabiin dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabiit Tabiin. Di dalam sejarah dijelaskan

1 2

www.wikipedia.org Pengantar ilmu fiqh

bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah. Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab Mazhab Hanafi, Maliki, Syafiie dan Hambali seperti yang ada sekarang. Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang Ahlu Sunnah, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Said bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auzaie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sad (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafiie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) . Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih . 1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang

hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. 2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. 3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut. 4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid

(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah arRisalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah. 5. Periode tahrir, takhrij, dan tarjih Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masingmasing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.

o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. 6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling

tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani). Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama dan yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang pokok agama maupun dalam bidang cabang cabang agama. Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat islam di bidang ushul dan bidang furu. Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat ialah mengenai pendapat bahwa : apakah Nabi benar benar meninggal atau hanya diangkat Allah saja 3. Sedang dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan perselisihan yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari. Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab : 1. Golongan para sahabat yang berani membahas dan menganalisa, dan berani memberi fatwa baru tanpa ragu. Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami, mendalami di jiwa syariat. 2. Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa fatwa terhadap kejadian kejadian yang baru. Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang membatasi diri dalam petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut makna yang lahir saja (jelas adanya). b. Faktor factor yang menimbulkan madzhab
3

Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan oleh tiga factor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah yaitu: 1. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dll. 2. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut. 3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi. Pada masa tabiin, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu yang lebih banyak menggunakan rayu yang ditampilkan Madrasah Kufah, dan yang lebih banyak menggunakan hadis atau sunnah yang ditampilkan Madrasah Madinah. Masing-masing madrasah menghasilkan para mujtahid kenamaan. Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut ushul. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berkutnya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis, terinci, dan operasional yag kemudian disebut fiqh. Mujtahid yang mengembangkan rumusan ilmu ushul dan metode tersendiri disebut mujtahid mandiri. Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatau pendapat tentang hukum, kemudian disebut mazhab dan tokoh mujtahidnya dinamai imam mazhab.

2.2

Macam macam madzhab

a. Imam Hanafi (Tahun 80 150 H.)- Mazhab Hanafi Imam Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan. Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila tidak memeperolah nash dalam kitabullah, sunnaturrasul atau Idjma. Hingga terciptalah Madzhab beliau atau yang sering kita kenal dengan Madzhab Hanafi. Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Numan bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, abid, wara, taqiy, khusyu dan tawadhu. Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada rayun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama . Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya . Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud . Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.

b. Imam Maliki (Tahun 93 179 H.)- Mazhab Maliki

Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah . Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani . Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal AlQuran dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta yang berarti kemudahan atau kesederhanaan. Keistimewaan Al-Muwatta adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar. Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau berpegang kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma dan qiyas. Dalam hal ini Imam malik tidak memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu Hanifah. c. Imam Syafii (Tahun 150 204 H.)-mazhab Syafii Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafii bin Saaib bin Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi . Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafii lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah . Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafii sudah menghafal Al-Quran, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafii juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafii dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya.

Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafii yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru). Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafii dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafii ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafii dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak. Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafii di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun. Karakteristik pemikiran Syafii tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furuiyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafii. Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahuntahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir . d. Imam Hambali ( Tahun 164 241 H.)-Madzhab Hambali Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya. Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Quran hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).

Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Jafar, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafii, Waki bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Maqil. Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafii. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.sehingga madzhab Hambali pun ada. Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jumat bertepatan dengan tanggal dua belas Rabiul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan. 2.3 Dasar Dasar Fiqh Empat Madzhab a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Syabi, Hasan Ibnu Sirin, Atha dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabiien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.

Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah AlQuran, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Quran dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut diambil dari AlQuran dan As-Sunnah. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut melalui qiyas. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teoriteori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya . Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Quran dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Quran dan Sunnah. Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.

b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, muridmurid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya. Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Quran, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i, muraat al khilaf, maslahah mursalah dan syaru man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Quran, Sunnah, Ijma, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, urf, sadd ad-darai, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Quran, Sunnah, ijma, dan rayi (rasio) . c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafii Bagi Imam Syafii Al-Quran dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi. Pemahaman integral Al-Quran dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafiie. Menurut Syaafiie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Quran, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Quran. Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafiie adalah pernyataannya, Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Quran. Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafiie menyebut empat cara Al-Quran dalam menerangkan suatu hukum.

Pertama, Al-Quran menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya. Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Quran dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Quran dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Quran. Bentuk penjelasan Al-Quran untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Quran dan Hadits. Penjelasan Al-Quran dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syariah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Quran, Sunnah dan nash ijma, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Quran dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd aldara-i, (8) istishab, (9) ibthal al jal, (10) maslahah mursalah. Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempurnan di tangan muridmuridnya, disusun secara sitematis sehingga mengasilkan kitab-kitab fiqh mazhab. Ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh itulah yang diikuti para pengikutnya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitabkitab fiqh peninggalan imam mazhab ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan dan perkembangan pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang. Ringkasnya, pebedaan pendapat atau timbulnya mazhab itu telah ada dimasa sahabat, terus berkembang hingga masa tabiin, kemudian meluas sesuai dengan makin berlipat gandanya Peristiwa Baru yang bermunculan. Mereka telah berhasil memberikan beragam jawaban terhadap masalah-masalah baru tersebut, malah ulama-ulama masa lampau itu telah melewati peristiwa-peristiwa yang terjadi, sehingga mereka telah sukses dalam menciptakan rumusan fiqh andaian.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1953. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU FIQH. Yogyakarta: Untuk Kalangan Sendiri

Madzhab . Bandung : Pustaka Setia Ilmu Fiqh. Jakarta : C.V. Mulya empat-mazhab-fiqih.html belakang.html

Syalthut, Prof. Dr. Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh

Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1968. Pengantar

http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-

http://himawarief.blogspot.com/2009/12/latar-

You might also like