You are on page 1of 85

Tindak Pidana Perbankan

Tindak Pidana Perbankan Agar industri perbankan menjadi industri yang makin sehat dan dapat dipercaya masyarakat, Bank Indonesia menerapkan law enforcement atas tindak pidana perbankan bekerjasama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Upaya ini sejalan dengan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), khususnya Pilar 3, yaitu menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. Kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan secara lengkap tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 (UU BI) maupun dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk : 1. memberikan izin (right to licence); 2. mengatur (right to regulate); 3. mengawasi (right to supervise); serta 4. mengenakan sanksi (right to impose sanction). Terkait dengan kewenangan mengenakan sanksi, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan hanya dapat menyelesaikan perbuatan yang bersifat administratif serta hanya berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap suatu bank yang terbukti melakukan kegiatan usaha yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sedangkan penyimpangan yang mempunyai indikasi tindak pidana, proses pengenaan sanksinya diserahkan kepada penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan dan Law Enforcement itu sendiri merupakan dua komponen yang tak terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional. Berkaitan dengan keterbatasan kewenangan tersebut, dalam rangka menegakkan hukum pada industri perbankan dan mengamankan dana masyarakat serta kekayaan negara yang ada pada bank, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana di bidang perbankan. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kepala Kepolisian R.I, Jaksa Agung R.I, dan Gubernur BI, yang dikeluarkan pertama kali pada tanggal 6 November 1997 dan diperbaharui pada tanggal 20 Desember 2004, ketiga instansi tersebut sepakat untuk bekerjasama dalam penanganan dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Melalui kerjasama ini, diharapkan setiap kasus perbankan dapat diselesaikan secara lancar, cepat dan optimal. Untuk mendukung pelaksanaan SKB dan melakukan tindakan represif terhadap pelanggaran dan penyimpangan serta ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, khususnya yang mengandung unsur tindak pidana di bidang perbankan, Bank Indonesia membentuk satuan kerja yang khusus menangani dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Pembentukan DIMP diharapkan dapat menimbulkan announcement effect terhadap dunia perbankan

yaitu law enforcement dalam kegiatan perbankan tetap dilaksanakan dan ditegakkan serta segala bentuk penyimpangan akan membawa konsekuensi hukum bagi para pelakunya. Dalam pelaksanaannya, diperlukan langkah yang memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan dugaan tindak pidana di bidang perbankan maka pada tahun 2007 dibuat Petunjuk Teknis SKB yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI dan Deputi Gubernur BI. Sejak tahun 1999 hingga saat ini, terdapat 580 kasus dugaan tindak pidana perbankan yang terjadi baik di bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang telah dilaporkan oleh Bank Indonesia kepada penegak hukum melalui mekanisme SKB. saat ini masih terdapat 448 kasus yang masih dalam proses penanganan penegak hukum. Kasuskasus tersebut merupakan bagian dari kasus-kasus tindak pidana perbankan yang telah dilaporkan oleh Bank Indonesia melalui mekanisme SKB sejak tahun 1999. Disamping melakukan kerjasama dengan penegak hukum, Bank Indonesia juga melakukan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mediasi Perbankan Sebagai bagian dari pelaksanaan perlindungan konsumen, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Arsitektur Perbankan Indonesia yang salah satu pilarnya (Pilar 6) adalah Perlindungan Nasabah. Pilar tersebut menjelaskan bahwa perbankan wajib menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah secara jelas dan mudah dipahami nasabah, pembentukan lembaga mediasi perbankan independen guna menjembatani sengketa yang terjadi antara bank dan nasabah, penyusunan transparansi informasi produk dan promosi edukasi untuk nasabah yang diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan memadai sehingga masyarakat mengerti dan paham mengenai produk dan jasa perbankan. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia yang dimulai sejak tahun 2006 terutama dilakukan untuk menjembatani kepentingan nasabah dan bank sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan yang bermanfaat bagi perlindungan nasabah dan dalam upaya menjaga terpeliharanya reputasi bank. Hingga saat ini Bank Indonesia telah menerima 737 kasus pengaduan nasabah di 71 bank. Prosentase terbesar, terkait masalah sistem pembayaran, penyaluran dana dan penghimpunan dana. Nasabah yang memanfaatkan produk/jasa bank dan menemui permasalahan dalam pemanfaatan produk/jasa tersebut, dapat mengajukan pengaduan kepada bank untuk mendapatkan penyelesaian. Apabila kemudian nasabah tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan bank, maka nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian permasalahannya melalui mediasi perbankan yang saat ini fungsinya dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Keunggulan pelaksanaan fungsi mediasi itu sendiri adalah : 1. Kesepakatan para pihak (voluntary); 2. Terjaganya hubungan baik (forward looking); 3. Terjaganya kepentingan masing-masing pihak (interest based); dan 4. Proses yang murah, cepat dan sederhana Dalam melaksanakan fungsi mediasi, Bank Indonesia juga melakukan berbagai kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan industri perbankan sendiri (melalui pembentukan Working Group Mediasi Perbankan), akademisi, praktisi dan lembaga/asosiasi mediasi.

Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank I. Pendahuluan Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.

Dengan demikian Perbankan memiliki fungsi penting dalam perekonomian negara.[1] Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa. Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.[2] Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dari semua kedudukan tersebut, pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan. Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:[3] 1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank; 2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;

3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana; 4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank. Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk menciptakan standar yang jelas dalam memberikan perlindungan kepada nasabah. II. Perlindungan Nasabah Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.[4] Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial paper) maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor perbankan[5]. Fokus persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundangundangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku[6]. Sisi lain yang menjadi fokus perlindungan konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian krdit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa: perjanjian kredit dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan[7].

Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat. Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Hal-hal yang menyangkut dengan usaha perlindungan nasabah diantaranya berupa laporan dan data-data yang merupakan bahan informasi. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank. Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai perlindungan nasabah bank diantaranya adalah Penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Media Perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks perlindungan nasabah bank yang sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabahnya. Mengingat pentingnya perlindungan nasabah tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar, bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan pada industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah: 1. Struktur perbankan yang sehat 2. Sistim pengaturan yang efektif 3. Sistim pengawasan yang independen dan efektif

4. Industri perbankan yang kuat 5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi 6. Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan nasabah dalam Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah[8]: 1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah; 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan; 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, dan 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah. Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di bank dan program pembentukan lembaga mediasi independen ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang saat ini sudah terjadi, sedangkan program penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk program edukasi nasabah, pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga mencakup mereka yang belum dan akan menjadi nasabah bank agar pada saat pertama kali berhubungan dengan bank para calon nasabah tersebut sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kegiatan usaha serta produk dan jasa bank. Edukasi masyarakat di bidang perbankan pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan usaha bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank. Pemberian Edukasi ini diharapkan dapat memfasilitasi pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka melakukan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya kesenjangan informasi pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.

III. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di

berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan. Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Dalam praktek dikenal berbagai bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala yang sering dihadapi. Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[9]. Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah: 1. Nasabah atau perwakilan nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;

2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial; 3. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah; 4. Pelaksaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank; 5. Akta kesepakatan dapat memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus yang disengketakan. Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut: 1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah 2. Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka. 3. Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.

IV. Lembaga Mediasi Perbankan Independen di Indonesia


Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006, yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen adalah asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen dapat terdiri dari gabungan asosiasi perbankan untuk menjaga independensinya. Selain dapat pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir. Bank Indonesia (BI) harus mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi perbankan. Agar mempunyai kekuatan hukum mengikat maka BI perlu membuat PBI tentang kewajiban Bank menjadi anggota lembaga mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi perbankan ini, maka BI dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi perbankan indonesia tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala pada BI mengenai sengketa yang pernah dimediasikan.

Kemudian dari laporan tersebut BI dapat mengevaluasi kinerja dari lembaga mediasi perbankan indpendent tersebut dan memberikan akreditasinya. Untuk prosedur akreditasi, maka BI perlu membentuk PBI tentang akreditasi. Dalam Lembaga mediasi ini harus ada mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan profesinya masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah hukum, maka harus ada seorang mediator yang ahli di bidang hukum perbankan. Kemudian lembaga ini harus berfungsi seperti arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian didaftarkan pada Pengadilan negeri agar mempunyai kekuatan hokum mengikat. Dalam mendirikan mediasi perlu diadakan segmentasi mediasi perbankan agar tercipta parallel institution lembaga mediasi perbankan sehingga masyarakat dapat memilih lembaga mana yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian pembentukan mediasi perbankan diharapkan akan memberikan nilai positif baik bagi nasabah maupun bank, yaitu seperti terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Melalui mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya keseimbangan hubungan antara posisi nasabah dengan bank. Tetapi dalam mendirikan Lembaga Mediasi ini terdapat beberapa kendala antara lain masalah dana. Dana yang diperlukan untuk mendirikan lembaga mediasi perbankan independen tersebut tentu sangat besar. Pada awalnya, lembaga mediasi perbankan tersebut memerlukan dana operasional. Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari lembaga mediasi perbankan, tentu sangat sulit. Saat ini bank di Indonesia sedang giat-giatnya melakukan konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan sertifikasi para bankir. Hal ini menyebabkan konsentrasi modal bank diprioritaskan untuk bank itu sendiri. Dari permasalahan tersebut terdapat pemikiran apa tidak sebaiknya mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja. Selama ini sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen, mediasi perbankan dijalankan oleh BI. BI telah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, pendanaan yang cukup dan sumber daya berupa mediator yang memperoleh pelatihan dan sertifikasi sebagai mediator dan mempunyai latar belakang perbankan.

V. Penutup
Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada nasabah.

Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga. Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank. end note --------------------------- ] Pustaka Arsitektur Perbankan Indonesia. //www.BI.go. id/API,html>. Diakses 27 November 2007. Burhanuddin Abdullah. Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003) Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Muliaman D. Hadad , Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007 Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996)

[1] Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) hal 2003. [2] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)., Hal 282 [3] Muliaman D. Hadad (a), Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007 [4] M. Djumhana, Opcit, hal 282. [5] Ibid

[6] Ibid, Hal 282-283 [7] Ibid, hal 283 [8] Muliaman D Hadad, op.cit [9] Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal 5.

Lemahnya Penegakan Pidana Perbankan Dijeratnya para pelaku tindak pidana perbankan dengan ketentuan tindak pidana korupsi beberapa tahun belakangan ini bisa menimbulkan efek buruk bagi dunia perbankan. Dalam skala luas, hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan perbankan nasional dan internasional terhadap kepastian hukum di Indonesia.

Pertanyaan yang bisa dimunculkan terhadap hal ini, kepada siapakah (adresat) hukum perbakan ditujukan? Lalu dalam hal-hal apa saja hukum perbankan bisa dikesampingkan oleh undang-undang Tindak Pidana Korupsi? Pertanyaan ini begitu penting dikedepankan, mengingat dalam beberapa kasus perbankan yang dijerat dengan tindak pidana korupsi telah menimbulkan keresahan dikalangan dunia perbankan. Ketidak pastian hukum dalam bidang perbankan sudah menunjukkan ciri terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi, yakni mengenai banyaknya atau melimpahnya perbuatan yang dikriminalisasikan dan krisispelampauan batas dari pidana, berupa pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang efektif. (muladi :1984). Tidak Taat Asas Pidana Penggunaan hukum pidana sebagai sebuah bentuk penghukuman merupakan hal yang limitatif sifatnya. Oleh karenanya, dalam mempergunakan hukum pidana haruslah memperhatikan garis-garis kebijakan penggunaan hukum pidana, salah satunya adalah mentaati asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana. Terkait dengan hal ini, Herbert L. Packer di dalam bukunya The Limit of Criminal Sanction,menyatakan bahwa ada tiga inti yang harus dijadikan patokan memandang hukum pidana, yakni : Pertama, Sanksi Pidana sangatlah diperlukan karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa depan tanpa pidana. Kedua, Sanksi Pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapai kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Ketiga, Sanksi Pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancam utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secar hemat-cermat dan secara manusiawi, atau sebaliknya akan menjadi pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Untuk itulah, hukum pidana dibatasi dengan beberapa asas-asas penting yang sifatnya mengikat, sehingga harus selalu diijadikan pedoman dalam penggunaan sarana hukum pidana, agar tujuan pemidanaan bisa terjaga dengan baik dalam suatu proses penegakan hukum pidana, dari awal hingga akhir. Dalam kasus tindak pidana perbankan yang diserap sebagai tindak pidana korupsi hal ini sering diabaikan. Banyak kasus yang kemudian muncul menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam kasus BLBI misalnya, hukum

pidana korupsi yang seharusnya ditegakkan, dinegasikan dengan penyelesaian hukum perdata. Hal ini jelasbertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi, yang menyatakan secara jelas bahwa pengembalian kerugian negara sebagai akibat perbuatan korupsi tidak menghilangkan sifat melawan hukum pidananya. Sebaliknya dalam kasus Neloe, Hukum Pidana Korupsi menjadi sangat superior terhadap hukum perbankan. Hal ini jelas sangat aneh bin ajaib. Karena secara normatif, perbuatan yang dilakukan oleh Neloe telah secara jelas dan tegas telah diatur dalam UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Tetapi faktanya, Neloe dihukum dengan UU Korupsi. Dalam dua contoh kasus diatas, tampak penegakan hukum yang dikedepankan tidak mempertimbangkan secara cermat dan tepat asaslex spesialis derogat legi generalis, menurut kekhususan yang sistematis. Kekhususan yang Sistematis (Sistematis Specialite) merupakan suatu ketentuan pidana yang menyatakan walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus Dampak buruk dari tidak dipahami dan diimplementasikannya asasasas hukum pidana secara baik adalah timbulnya ketidakjelasan pola penegakan hukum, sekaligus mengaburkan substansi penegakan hukum itu sendiri. Ini jelas sangat berbahaya, karena disamping bisa menimbulkan anomie, juga mengakibatkan terciptanya rasa takut dalam diri masyarakat. Padahal secara filosofis, undang-undang yang dibuat telah secara jelas dan tegas menuju kepada siapa (adresat) mereka ditujukan. Lebih lanjut, dampak buruk lainnya adalah timbulnya deligitimasi undang-undang perbankan itu sendiri. Padahal, jika melihat ketentuan hukum perbankan, aspek hukum yang terkait dalam undang-undang ini didominasi oleh ketentuan hukum administrasi dan perdata, sementara ketentuan hukum pidana mendapatkan porsi yang sangat kecil karena kapasitas dan misinya ditujukan sebagai sarana hukum terakhir (ultimum remedium). Pembagian porsi hukum ini bukan tanpa dasar, hal ini telah mempertimbangkan aspek iklim perbankan nasional pada khususnya dan kepercayaan luar negeri terhadap integritas aktor perbankan nasional pada umumnya.eh UU Korupsi, atau sebaliknya. Sehingga tercipta kepastian hukum dan kewibawaan undang-undang itu sendiri.

Perumusan Tindak Pidana Dalam Peraturan Perundang Undangan 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundangundangan telah memberikan pedoman dan teknik dasar dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Ketika hal itu menjadi bagian Ketentuan pidana dalam undang-undang administratif, maupun ketika merumuskannya dalam undangundang pidana. 2. Secara umum suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang: a. subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); b. perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan c. ancaman pidana (strafmaat). Sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya tersebut. Terlalu beragamnya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan bersambungan langsung dengan masalah penafsiran atas ketentuan tersebut, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pencapaian tujuan hukum itu sendiri, seperti kepastian hukum dan keadilan, yang pada gilirannya mempengaruhi efektivitas praktek penegakan hukum. 3. Adressaat norm suatu tindak pidana umumnya di hubungkan dengan suatu istilah yang kerap disebut sebagai kenmerk, elemen ataubestanddeel suatu tindak pidana. Dalam hal ini adalah idiom hij die atau di indonesia-kan barang siapa. 4. Idiom barang siapa merujuk kepada addressat suatu tindak pidana, yaitu siapakah yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana 5. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang adalah barang siapa sebagaimana dimaksud dalam rumusan tindak pidana, tergantung dari jawaban apakah seseorang tersebut adalah subyek hukum yang dituju oleh norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang memuat suatu tindak pidana. 6. Berdasarkan sejarahnya semua tindak pidana dalam KUHP tertuju pada orang perseorangan, sehingga jelas merupakan kekeliruan ketika praktek hukum mencoba memasukan dalam pengertian barang siapa dalam KUHP, bukan hanya terdapat orang perseorangan (naturlijk persoon) tetapi juga korporasi, baik badan hukum ( recht person) ataupun bukan badan hukum untuk mendapat gambaran tentang addressat suatu tindak pidana dapat juga dilakukan dengan melihat hal ihwal kepentingan yang hendak dilindungi oleh norma-norma hukum pidana itu. 7. Ada rumusan tindak pidana yang melarang perbuatan yang menyakiti, merugikan atau melukai obyek hukum, seperti pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau pencuruan (Pasal 362 KUHP). Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana di tujukan kepada orang perseorangan (natuurlijke person) atau korporasi (korporatie). 8. Sepintas lalu terlihat ketika ancaman pidana hanya di tujukan terhadap orang perseorangan (KUHP), digunakan sebutan umum Barang siapa untuk menujukan addressaat norm-nya. 9. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom setiap orang, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah barang siapa untuk menujukan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya. 10. Lain lagi halnya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang sekalipun telah menggunakan istilah setiap orang tetapi masih ditambahkan istilah lembaga untuk menunjukan addressaat norm-nya. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti Setiap pihak dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahutentang 1992 Pasar Modal atau 11. rang asing dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 12. Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada saksi karena saksi adalah orang yang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana. Demikian pula halnya Pasal 24 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengancam pidana bagi saksi, sehingga mengacaukan apakah seseorang itu sebagai pelaku pidana ataukah hanya saksi.demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, masih mengancam pidana terhadap perbuata, dengan menentukan: Percobaan atau permufakatan jahat diancam dengan pidana yang sama. 13. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undangundang yang harus dibuktikan penuntut umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Tidak pidana pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. 14. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. 15. Bukankah hukuman pidana hanya dapat bekerja jika masyarakat mendapat peringatan yang memadai baik mengenai perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan maupun perbuatan yang justru harus dilakukan.dengan demikian, perbuatanya tetap dirumuskan dalam undang-undang. 16. Persoalannya hingga sekarang landasan demikian belum juga dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga terhadap undang-undang diluar KUHP dibentuk dengan suatu asumsi bahwa perbuatan yang dilarang di dalam ketentuan pidana selalu dipandang sebagai dolus, kecuali dinyatakan dengan tegas sebagai delik culpa. Perlu kebijaksanan pembentukan undang-undang untuk menetapkan hanya perbuatan yang dapat terjadi karena kesengajaan pembuatnya saja yang dijadikan tindakan tindak pidana. 17. Dalam peraturan perundang-undangan, kesengajaan seharusnya dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Sementara itu, mengenai kealpaan dapat tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. 18. Ketentuan pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya (strafmaat), sedangkan perbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif ketentuan administratif ini dapat berupa suatu perintah ataupun larangan.

19. Ketika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan ketentuan administratif yang berisi atau larangan, maka ketentuan administratif tersebut menjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana. 20. Konsekuensinya, dalam lapangan hukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yang di dakwakan (berstanddeelen delict) dan karenanya harus dapat dibuktikan. 21. Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratif tersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindak pidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah ada dalam ketentuan pidana tersebut. 22. Demikian misalnya ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Dalam hal ini rumusan tindak pidananya adalah sebagai berikut: a. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 Peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). b. Padahal tindak pidana ini dapat dibedakan dalam pelanggaran perintah administratif, yaitu sebagaimana dalam hal terjadi pelanggaran norma administratif yang ditentukan dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 35 ayat (1) peraturan daerah ini; sedangkan tindak pidana sebagai akibat pelanggaran larangan administratif terjadi dalam hal melanggar ketentuan Pasal 26 dan Pasal 35 ayat (2) peraturan ini. 23. Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut 24. Antara perbuatan yang dilarang atau strafbaar dan ancaman pidana atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Bahkan larangan terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru timbul karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut; 25. Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan kepada pembuatannya 26. Artinya, dengan penjatuhan pidana maka celaan yang objektif ada pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi celaan subyektif kepad pembuatnya. Umumnya pengancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana, dapat mengikuti beberapa model, yaitu; a. satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu); b. satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana lain; c. satu jenis pidana diancamkan secara kombinasi alternatif-kumulatif. Oleh karena itu, pengkajian terhadap rumusan ancaman pidana dalam berbagai peraturan

perundang-undangan menujukan adanya keberagaman perumusan ancaman pidana, sebagaimana terurai di bawah ini. 27. Meskipun umumya para ahli sepakat, menggunakan istilah pidana tetapi istilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang. 28. Beberapa undang-undang mengunakan istilah hukum. dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pidana Pencucian Uang, didepan kata Penjara tidak digunakan kata Pidana, sehingga tetulis: Dipidana dengan penjara. 29. Misalnya Undang-Undang Nomor Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, menggunakan idiom Pidana denda. 30. Dalam Pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan ..Dipidana dengan pidana denda. Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan berbagai undangundang lainnya hanya menggunakan istilah Denda saja tanpa ditambahkah istilah Pidana didepannya. 31. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah Paling lama untuk pidana penjara dan Paling sedikit dan Paling banyak untuk denda. 32. Sementara itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggunakan istilah serendahrendahnya dan setinggi-tingginya untuk menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya. 33. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi khususnya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti, digunakan istilah Sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan : Dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah uraian perbuatannya digunakan istilah Diancam dengan pidana penjara... 34. Senada dengan hal ini Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya menggunakan istilah Dapat dipidana denganlain lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serika buruh, menggunakan anak kalimat: Dikenakan sanksi pidana penjara. 35. Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindak pidana. 36. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanya terhadap sebagian perbuatan saja (bagian perbuatan yang disebut terakhir). 37. Misalnya Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menentukan : Setiap orang yang senada dengan sengaja : Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan

atau menyamarkan,dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara.Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagai berikut : Dipidana dengan pidana penjara..,setiap orang yang: Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan atau menyamarkan. 38. Penempatan rumusan ancaman pidana yang tidak tepat secara demikian juga dilakukan pembentuk undang-Undang dalam banyak Undang-Undang diantaranya: - Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004; - Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002; - Pasal 13 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002; - Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000; - Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; - Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63, dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997. 39. Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum pengancaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung dan diantara dua jenis pidana yang diancam) atau model kombinasi alternatifkumulatif yang ditandai dengan kata penghubung dan/atau diantara dua jenis pidana yang diancamkan). 40. Persoalannya, pada subyek tindak pidana korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan. 41. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetap saja dengan model pengancaman kumulatif hakim. 42. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasurasian. 43. Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman pidana sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP. 44. Umumnya undang-undang menempatkan ancaman minimum khusus ini didepan ancaman maksimum khususnya. 45. Dengan demikian, ditentukan : dipidana dengan pidana penjara paling singkat dan paling lama... 46. Demikian pula halnya terhadap denda, ditentukan : Dipidana dengan denda paling sedikit .. dan paling banyak Namun demikian, tidak begitu halnya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 47. Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau Pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

48. Dengan demikian, pidana mati disebutkan lebih dulu daripada pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara seumur hidup disebutkan lebih dahulu dari pada pidana penjara selama waktu tertentu. 49. Argumen ini juga menjadi gugur, jika diperhatikan ketentuan Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. 50. Disini ancaman pidana tunggal (hanya pidana penjara selama waktu tertentu), tetapi menggunakan model minimum khusus. Minimum khusus disebutkan kemudian dari pada maksimum khususnya. 51. Sekalipun menggunakan minimum khusus, tetap saja harus disebut lebih dulu daripada maksimum khususnya. 52. Demikian misalnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Terorisme, sekalipun pidana penjara selama waktu tertentu merupakan alternatif dari pidana penjara seumur hidup dan pidana mati, dan dalam hal ini digunakan minimum khusus, maka minimum khusus disebutkan lebih dulu. Berdasarkan hal ini, mestinya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia menentukan: setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara singkat 10 (sepuluh) Tahun dan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. 53. Ada tiga model perumusan jumlah pidana. pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim. 54. Kedua, categorization model, dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. 55. Ketiga, free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim .Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undangundang Nomor 16 Tahun 2000 menggunakan free model. Demikian pula ketentuan Pasal 39 undang-undang tersebut. 56. Hal ini juga disadari oleh pembentuk undang-undang ini, karena dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 41 B, ancaman pidana denda disebut dengan tegas (fix model) berapa jumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Demikian pula hanya ketentuan Pasal 51, Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, tidak mencantumkan pidana denda secara jelas dalam ancaman pidana, melainkan diancamkan dengan perkalian nilai cukai yang seharusnya dibayar pelaku. 57. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan ini juga berlaku dalam undangundang diluar KUHP, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang itu. 58. Padahal Undang-Undang tersebut tidak menyatakan menyimpang dari ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP. Hal ini akan membuka disparitas pidana yang terlalu lebar antara satu tindak pidana dan tindak pidana yang lain.

59. Ketika mencantumkan pidana pokok dalam undang-undang di luar KUHP, umumnya undang-undang menggunakan jenis-jenis pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. 60. Selain yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP, diantaranya adalah: - Pembatasan gerak pelaku baik bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku (UU 23/2004); - Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu (UU 23/2004); - Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana (UU 27/2003); - Pembayaran uang pengganti (UU 31/1999); - Pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi (UU Nomor 20 Tahun 2002); - Kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan (UU Nomor 16 Tqahun 2001); - Pencabutan izin usaha (UU Nomor 5 Tahun 1999); - Larangan pada pelaku usaha untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (Dua) Tahun dan selama-lamanya 5 (Lima) Tahun (UU Nomor 5 Tahun 1999); - Penghentian kegitan lain atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (UU Nomor 5 Tahun 1999); - Pembayaran ganti rugi (UU Nomor 3 Tahun 1997). 61. Sementara itu, beberap ketentuan yang bersifat punitive tidak jelas apakah masuk sebagai sanksi pidana (straf) ataukah tindakan (maatreegel), misalnya : - Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 yang menentukan: Semua benda hasil tindak pidana atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 dapat dirampas atau dimusnahkan oleh Negara sesuai dengan perampasan. - Pasal 189 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan: Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja pekerja/buruh. - Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang menentukan : Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemegang izin usaha penyedia tenaga listrik dan pemegang izin operasi diwajibkan untuk memberi ganti rugi. - Pasal 78 ayat (15) Undanng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menentukan : Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini rampas untuk negara .

A. Ketentuan Hukum Dalam Kejahatan E-Commerce


Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama: 1. The rule of authentification; 2. Hearsay rule; dan 3. The Best Evidence rule.

Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem Ecommerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur?unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan?pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal?hal semacam email, chatting, dan tele?conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti. Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai bukti tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Faktor best?evidence berpegang pada hirarki jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan pihak?pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain sebagainya. Hal?hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini, pengadilan biasanya berpegang pada prinsip originalitas (mencari bukti yang asli). Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut : 1. Pasal 2 Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum

Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

2. Pasal 9 Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

3. Pasal 10 1. Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan. 2. Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Pasal 18 1. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. 2. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. 3. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. 4. Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. 5. Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional

5. Pasal 20

1. Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima. 2. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

6. Pasal 21 1. Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. 2. Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.

3. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. 4. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.

7. Pasal 22 1. Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8. Pasal 30 1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. 2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

9. Pasal 46 1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). 3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata 5. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan 7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang 8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

9. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 11. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan. Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce ini.

B. Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan ECommerce Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia
Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general preventif atau prevensi umum untuk membuat jera para calon-calon penjahat yang berniat merusak citra teknologi informasi Indonesia dimana dunia bisnis indonesia dan pergaulan bisnis internasional. Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu aparatur penegak hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukumhukum positif yang ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan e-commerce. Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas dikarenakan beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan khusus dari penegak hukum. Dalam menghadapi perkembangan di masyarakat, yang didalamnya termasuk juga tenologi, RUU KUHP tampak menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3). Dalam konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih mempertahankan asas legalitas. Pada ayat (3) bunyinya : ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang dapat dijerat dan ada yang tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang, walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang telah masuk ke pengadilan. Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera jelas bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong bahkan memberikan justifikasi

untuk interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman bila menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan Hukum, hakim untuk sementara dapat melakukan interpretasi. Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih, maka wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis yang canggih ini untuk selalu mengembangkan bakat kejahatannya di dunia maya khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain : a. Pembuktian (bukti elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.

b. Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak hukum dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam hukum positif yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.

c. Lemahnya penguasaan komputer


Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.

d. Sarana dan prasarana


Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum, namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan tersebut.

e. Kesulitan Menghadirkan korban


Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah berita acara pemeriksaan.

Menurut Ahmad P Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :

a. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.

b. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah dimana akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.

c. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.

d. Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari korban kejahatan.

e. Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.

f. Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan.

Money Loundry MONEY LOUNDRY BAGIAN I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah. Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang. Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama money laundering sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan organized crime, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UndangUndang No. 15 Tahun 2002, pengertian bank dirumuskan secara luas dalam Pasal l butir 4, yaitu : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Ada pelbagai perumusan bertalian dengan makna pencucian uang atau money laundering. Pada dasarnya perumusan itu menyangkut suatu proses pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan dan dicuci melalui suatu lembaga keuangan (bank) atau penyedia jasa keuangan, sehingga pada akhirnya uang yang haram itu mendapatkan suatu penampilan sebagai uang yang sah atau halal. Dalam Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dirumuskan : Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp 500 juta atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan :

a. korupsi b. penyuapan c. penyeludupan barang d. penyeludupan tenaga kerja e. penyeludupan imigran f. perbankan g. narkotika h. psikotropika i. perdagangan budak,wanita dan anak j. perdagangan senjata gelap k. penculikan l. terorisme m. pencurian n. penggelapan o. penipuan yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. B. Teori-Teori Tindak pidana pencucian uang dirumuskan dalam Pasal 3 UU TPPU, yaitu : (1) Setiap orang yang dengan sengaja : menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ). Sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar Crime menurut Hazel Croall (1992) sebagaimana dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo (2001) adalah sebagai berikut:

Tidak kasat mata (low visibility) Sangat kompleks (complexity) Ketidakjelasan pertanggung jawaban pidana (diffusion of responsibility) Ketidak ielasan korban (diffusion of victims) Aturan hukum yang samar atau tidak ielas (ambiguous criminal law) Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution). Untuk itu akan dijelaskan di bawah ini tiga tahap pencucian uang :

Pertama, apa yang dinamakan placement. Dengan placement dimaksudkan the physical disposal of cash proceeds derived from illegal activity. Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum. Metode yang paling penting dari placement ini adalah apa yang disebut sebagai smurfing. Melalui smurfing ini, maka keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari. Tahap yang kedua dinamakan layering. Dengan layering dimaksudkan separating illicit proceeds from their source by creating complex layers of financial transactions designed to disguise the audit trail and provide anonymity. Hubungan antara placement dengan layering adalah jelas. Setiap prosedur placement yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah juga salah satu bentuk layering. Strategi layering pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik, seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau real estate, atau instrumen keuangan seperti money orders, cashiers cheques or securities and multiple electronic transfers of funds to so called `bank secrecy havens, such as Switzerland or the Caymen Islands. Yang ketiga adalah integration. Dengan integration dimaksudkan the provision of apparent legitimacy to criminally derived wealth. If the layering process has succeeded,

integration schemes place the laundered proceeds back into the economy in such a way that the re-enter the financial system appearing to be normal business funds. Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang menyangkut pinjaman uang, juga melalui invoices and income of shell corporations, or more simply through an electronic transfer of the funds from a bank secrecy haven back to the moneys country of origin. Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi. Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah : United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988); Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990); European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991); BAGIAN II PERMASALAHAN DPR and lembaga eksekutif Pemerintah Indonesia saat ini sedang merevisi UU 15/2002 mengenai tindak pidana pencucian uang. Mereka melakukan ini sebagai respon terhadap tekanan dari Financial Action Task Force (FATF), sebuah lembaga antar negara yang memonitor implementasi undang-undang anti pencucian uang pada sektor keuangan secara global. Tahun lalu FATF mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan sanksi kepada Indonesia jika UU 15/2002 tidak diperbaiki sehingga memenuhi standar internasional. Dalam pembahasan revisi UU 15/2002 ini, salah satu dari sekian banyak isue yang seharusnya dipertimbangkan oleh Pemerintahan Megawati dan DPR adalah bagaimana menggunakan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan aktivitas ilegal di sektor kehutanan. Pembalakan liar, yang merupakan kejahatan kehutanan yang paling menonjol, diperkirakan merugikan negara paling sedikit sebesar Rp 9 trilliun, atau US$ 1 miliar, per tahun (dan menurut beberapa perkiraaaan, kerugian dapat mencapai US$ 3,4 miliar).

Kejahatan kehutanan ini sering dikaitkan dengan korupsi, penyuapan, penggelapan pajak, kejahatan perbankan, dan berbagai jenis kejahatan lainnya yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. Kejahatan kehutanan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk kehilangan ekosistem kehutanan dan berbagai jenis satwa langka. Pemerintah Indonesia saat ini terlibat dalam berbagai inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral untuk memerangi pembalakan liar dan jenis-jenis kejahatan kehutanan lainnya. Dengan memasukkan kejahatan kehutanan sebagai predicate offense didalam UU Perubahan terhadap UU 15/2002, pemerintah Indonesia dapat melakukan langkah yang sangat strategis dan menjadi preseden secara global untuk meningkatkan governance baik di sektor kehutanan maupun di sektor keuangan. A. Apa itu Kejahatan Kehutanan? Kejahatan kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-10 miliar. Beberapa dari aktivtias tersebut diantaranya adalah: v Merusak infrastruktur yang digunakan untuk perlindungan hutan; v Terlibat didalam kegiatan yang mendukung degradasi hutan; v Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri; v Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk atau danau; v Membakar hutan; v Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak; v Menambang didalam kawasan hutan tanpa izin Menteri; v Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang syah; v Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa memiliki izin. Sampai sejauh ini bentuk kejahatan kehutanan yang paling menonjol adalah aktivitas yang dikenal sebagai pembalakan liar. Di Indonesia, secara umum diperkirakan antara 60 sampai 80 persen dari 60 sampai dengan 70 juta m3 kayu yang dikonsumsi oleh industri kayu domestik setiap tahun diperoleh secara ilegal.

Di hampir semua propinsi yang kaya hutan, pembalakan liar melibatkan berbagai oknum termasuk: pegawai yang korup; personel TNI dan polisi; broker kayu ilegal; pemegang hak konsensi hutan yang beroperasi diluar kontrak HPH mereka; penduduk lokal yang terlibat didalam penebagan informal; dan jasa pengangkutan, eksportir, dan pegawai Bea Cukai. Pada umumnya pembalakan liar dan berbagai kejahatan kehutanan terkait langsung dengan aktivitas kriminal yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. Korupsi,misalnya, adalah sebuah kegiatan kriminal yang sangat menyebar luas dimana oknum pegawai pemerintah menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Perusahaan kayu sering terlibat didalam penggelapan pajak atau tax evasion dengan melaporkan penebangan kayu yang lebih rendah dari seharusnya. Beberapa produser pulp dan kertas di Indonesia telah melakukan tindak pidana kejahatan perbankan dengan melakukan mark-up biaya investasi mereka.Penyelundupan juga sangat menonjol di sektor kehutanan yang terlihat dari besarnya volume kayu dan hasil hutan lainnya yang dikirimkan keluar Indonesia tanpa dilengkapi surat-surat yang syah. B. Peran yang dimainkan bank Sering sekali diasumsikan bahwa pembalakan liar di Indonesia dilakukan oleh aktor berskala kecil yang bekerja secara tunai (cash basis) dengan sedikit kebutuhan untuk memperoleh pembiayaan. Pada kenyataannya, bank dan lembaga keuangan lainnya memainkan peran penting dalam menyediakan dana untuk kegiatan kehutanan yang legal dan tidak legal. Bank, misalnya, secara rutin memberikan modal kerja untuk aktivitas pembalakan; pembiayaan pembangunan hutan tanaman; pinjaman jangka panjang untuk fasilitas pemrosesan kayu; penjaminan penerbitan obligasi dan surat berhaga komersial; pembelian hutang perusahaan; dan pembiayaan perdagangan, disamping tentunya menerima deposit dari perusahaan kehutanan. Seperti diperlihatkan oleh angka-angka dibawah ini, jumlah uang yang keluar dan masuk sektor kehutanan di Indonesia sangatlah besar : v Industri kehutanan menghasilkan ekspor senilai lebih dari US$ 5 miliar per tahun; v Lebih dari US$ 15 miliar telah diinvestasikan di sektor pulp dan kertas sejak akhir tahun 1980-an; v Sebelum dilakukan penjualan, BPPN menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 3 miliar dan US$ 8.5 miliar dalam bentuk aset kehutanan yang digadaikan; v Bank Mandiri saat ini menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 1.3 miliar;

v Menteri Kehutanan menderita kerugian sebesar US$ 1 miliar per tahun akibat terjadinya pembalakan liar. Sebelum terjadinya krisis keuangan tahun 1997, hampir seluruh konglomerat kehutanan di Indonesia memiliki bank mereka sendiri. Dalam banyak hal, kondisi ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk memastikan tersedianya dana untuk membiayai kegiatan kehutanan yang ilegal dan merupakan kendaraan yang dapat digunakan untuk memanipulasi transaksi keuangan yang terkait dengan investasi di sektor kehutanan. C. Pencucian Uang Terjadi di Sektor Kehutanan Untuk lebih memahami bagaimana proses pencucian uang terjadi di sektor kehutanan di Indonesia, perhatikan contoh hipotesis berikut ini. Sebuah perusahaan plywood di Propinsi Riau membeli bahan baku kayu dari perusahaan kayu yang tidak memiliki izin pemanfaatan hasil hutan dan melakukan pembalakan liar di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Perusahaan plywood ini menjual panel kayu kepada pembelinya di China, Korea Selatan, dan Taiwan melalui perusahaan pemasaran Indonesia yang berlokasi di Hong Kong. Pegawai-pegawai perusahaan kayu dan perusahaan plywood serta perusahaan pemasaran di Hong Kong menyadari bahwa kayu yang digunakan untuk membuat panel kayu berasal dari pembalakan liar. Untuk menyamarkan kenyataan bahwa keuntungan perusahaan berasal dari kegiatan ilegal, ketiga perusahaan ini menerapkan starategi yang berbeda. Perusahaan kayu menempatkan hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan dengan mendepositokan kedalam sebuah rekening bank dengan nama fiktif. Perusahaan pemasaran melakukan layering dengan mengalihkan penerimaan uangnya melalui sebuah bank di Cayman Island. Sedangkan perusahaan plywood mengintegrasikan keuntungannya kedalam aktivitas bisnis legal dengan melakukan investasi disebuah kawasan wisata di Bali. Didalam ketiga kasus diatas, perusahaan yang terlibat telah mengambil langkah-langkah untuk membuat uang yang berasal dari kegiatan ilegal nampak seolah-olah berasal dari sumber yang syah. Jika kejahatan kehutanan secara spesifik masuk kedalam daftar predicate offensepada UU tindak pidana pencucian uang Indonesia, masing-masing perusahaan dapat dituntut terlibat pencucian uang. Hal ini tidak hanya dapat diterapkan kepada perusahaan kayu dan plywood yang berada di Indonesia, akan tetapi juga kepada perusahaan pemasaran Indonesia yang berada di Hong Kong. Jika lembaga keuangan terbukti membantu proses penyamaran asal dana yang diperoleh secara ilegal ini, mereka juga dapat dituntut terlibat tindak pidana pencucian uang. BAGIAN III ANALISIS

A. Manfaat Mengkaitkan Hutan Dengan Pencucian Uang Ada berbagai cara untuk mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan dengan tindak pidana pencucian uang. Memasukkan kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan didalam UU perubahan atas UU 15/2002 tentunya adalah langkah yang paling efektif untuk mencapai hal tersebut. Manfaat mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana pencucian uang diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Bank akan meningkatkan praktek due diligence dalam memberikan pinjaman disektor kehutanan: peraturan Know Your Customer meminta bank untuk menentukan apakah pelanggan terlibat didalam kegiatan ilegal atau tidak. Disektor kehutanan khususnya, bank memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan terhadap pelanggan yang diketahui menggunakan kayu dari pembalakan liar. 2) Bank diminta untuk memonitor dan melaporkan transaksi yang mencurigakan: UU 15/2002 mendefinisikan transaksi mencurigakan sebagai: transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan UU. Kenyataan bahwa hampir 70 persen kayu di Indonesia diperoleh dari sumber yang ilegal memunculkan pertanyaan penting tentang apa yang tergolong transaksi mencurigakan di sector kehutanan. Dalam konteks ini, secara konseptual bank dapat diwajibkan untuk memperlakukan setiap transaksi yang melibatkan aktivitas kehutanan sebagai salah satu bentuk transaksi mencurigakan paling tidak sampai perusahaan kehutanan memberikan bukti sebaliknya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah kepada peningkatan yang besar didalam tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan di sektor kehutanan. 3) Pemerintah akan memiliki alat baru untuk menegakkan peraturan kehutanan dan keuangan: Memasukan kejahatan kehutanan didalampredicate offense akan memperluas pilihan penegakan hukum untuk memutuskan sumber pembiayaan bagi kegiatan pembalakan liar. Disamping menuntut aktor yang secara langsung terlibat didalam pembalakan liar, pemerintah dapat juga menuntut lembaga keuangan yang membiayai kegiatan pembalakan liar. 4) Ketentuan hukum baru akan tersedia untuk penegakan hukum dan penuntutan: Untuk kegiatan pembalakan liar, sering terjadi kayu yang ditebang dan uang yang dihasilkan dari kayu tersebut dikirim keluar negeri. Berbeda dengan UU kehutanan, UU tindak pidana pencucian uang akan memungkinkan pemerintah Indonesia menuntut warga negara Indonesia yang mungkin terlibat didalam kegiatan pencucian uang, tanpa memperhatikan apakah mereka melakukannya di Indonesia atau diluar negeri. Dibawah FATF, penegakan hukum tindak pidana pencucian uang juga difasilitasi melalui kerjasama

dengan negara lain. B. Macam-Macam Kejahatan Keuangan Kehutanan 1. Menyatakan harga jual produk kayu dibawah harga pasar untuk melaporkan laba yang kecil atau rugi Menyatakan harga input produk kayu yang jauh diatas harga pasar untuk mengurangi laba atau melaporkan rugi 2. Tidak membayar kepada kreditur dengan memindahkan arus kas perusahaan ke bisnis yang lain. 3. Memanipulasi pembayaran hutang piutang kepada group perusahaan sendiri untuk mengurangi laba dan menghindari pajak perusahaan 4. Mark up nilai jasa dan produk yang diterima dari grup perusahaan sendiri untuk mengurangi besarnya laba dan pajak perusahaan 5. Tidak membayar DR dan PSDH dengan benar dengan under-grading, under measuring, under-reporting dan undervaluing kayu dan misklasifikasi spesies kayu 6. Tidak membayar DR dan PSDH dan kewajiban negara lainnya C. Perlunya Kepemimpinan dari Menteri Kehutanan Sejak April 2003, CIFOR telah terlibat dalam seri diskusi dengan Unit Intelejen Keuangan pemerintah Indonesia (PPATK) untuk mengupayakan tercantumnya kejahatan kehutanan didalam UU perubahan atas UU 15/2002. Pada awal Juni, PPATK memasukkan kejahatan dibidang kehutanan dan kejahatan dibidang lingkungan didalam daftar predicate offense didalam rancangan UU perubahan yang telah diserahkan kepada DPR untuk diratifikasi. Saat ini sangat dibutuhkan adanya kepemimpinan dari Menteri Kehutanan atas isue ini untuk memastikan kejahatan kehutanan tercakup dalam UU perubahan atas UU 15/2002 pada saat diratifikasi nanti. Secara khusus, Menteri Kehutanan menempati posisi unik untuk mengkomunikasikan apa implikasi bagi penegakan hukum dan governance dibidang kehutanan jika kejahatan kehutanan dimasukkan sebagai predicate offense pencucian uang. Sampai UU diratifikasi oleh DPR, akan sangat berguna jika Menteri mengkomunikasikan dengan PPATK dan dengan Komisi II DPR tentang pentingnya penerapan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan pembalakan liar. Setelah diratifikasi, Menteri Kehutanan perlu bekerja sama secara erat dengan PPATK dan lembaga keuangan kunci lainnya di Indonesia dan regulator untuk memastikan UU anti

pencucian uang diterapkan secara efektif disektor kehutanan. Lembaga ini termasuk Bank Indonesia, Bapepam dan Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan. Bank Indonesia telah menerbitkan peraturan know your customer (KYC) untuk perbankan. Sementara Bapepam mengeluarkan aturan serupa untuk perusahaan sekuritas dan Dirjen Lembaga Keuangan telah mengeluarkan peraturan untuk lembaga keuangan bukan bank. Peraturan KYC mewajibkan bank dan penyedian jasa keuangan lainnya untuk mengidentifikasi indetitas nasabah, memonitor transasksi nasabah, dan melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK. Menteri Kehutanan memegang peran penting untuk membantu bank dan lembaga keuangan lainnya untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aktivitas mencurigakan di sektor kehutanan, dan bagaimana aktivtas ini dimonitor. BAGIAN IV KESIMPULAN Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Setiap orang yang menerima atau menguasai hasil transaksi (penempatan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran) harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Alat Bukti Pemeriksaannya: sesuai hukum acara pidana, informasi yg diucapkan, dikirimkan, diterima, atau Disimpan secara elektronik, alat optik atau sejenis, tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi. Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah : United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);

Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990); European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991); REFERENSI

Keputusan Kepala PPATK No.2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyediaan Jasa Keuangan Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Rancangan UU Tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Studi Penerapan Sanksi Pidana Kehutanan, Bab III Analisis Pasal-Pasal Pidana Kehutanan dalam Peraturan Perundang-Undangan Terkait, Departemen Kehutanan UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan

Membangun Etika Bisnis dan Hukum PENDAHULUAN Pengalaman kita bernegara pada tiga dekade terakhir memperlihatkan masalah-masalah berat di berbagai bidang. Salah satunya adalah keadaan perekonomian yang menjadi demikian morat-marit meliputi berbagai seginya. Dari mulai rantai produksi, distribusi maupun finansial, serta lembaga intermediasi keuangan, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya di negeri ini mengalami suatu tekanan dan masalah yang luar biasa hebatnya. Bahwa kegiatan ekonomi ini, keseluruhannya dilakukan oleh manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa sumber dari segala sumber persoalan yang muncul adalah kembali kepada kualitas manusia yang melakukan kegiatan perekonomian tersebut. Konsepsi pengaturan perekonomian yang diatur oleh Undang-Undang Dasar negara yang berlaku, terpulang pula kepada kemampuan pengelolanya, baik di sektor pemerintah, swasta maupun koperasi. Sebaik apapun sistem itu dibuat, maka unsur kemampuan dan itikad baik dari penyelenggara negara dan penyelenggara perekonomian ini sangatlah menentukan keberhasilannya. Kita telah menyaksikan drama ekonomi Indonesia, sebagai negara yang secara potensial sangat kaya namun telah terperosok pada jurang perekonomian yang bermasalah sangat berat. Peluang usaha yang terjadi selama tiga dekade terakhir ternyata tidak membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi yang tinggi. Perkembangan usaha swasta, diwarnai berbagai kebijakan pemerintah yang kurang pas sehingga pasar menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan yang tidak sehat. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahankemudahan yang berlebihan sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. (Penjelasan UU No.5/99) Merajalelanya praktek korupsi yang sudah sedemikian rupa sistemik-nya terjadi hampir disemua lapisan masyarakat. Boleh dikatakan bahwa ujung dari segala persoalan yang ada sekarang ini adalah persoalan korupsi. Untuk mengatasi berbagai persoalan perekonomian beserta permaslahan yang ruwet ini telah dilahirkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, telah dijabarkan dalam UU Republik Indonesia No.28 tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN. Selanjutnya pula telah diundangkannya UU Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tanggal 5 Maret 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Hal ini merupakan landasan serta sekaligus dorongan untuk penciptaan dunia bisnis yang sehat, unggul yang bermoral. Kesemua ini dilandasi pemikiran harus berjalannya etika bisnis yang baik ditanah air. Untuk itulah semua kalangan perlu menciptakan dorongan lebih lanjut agar mencapai sasarannya.

SUATU CONTOH PERMASALAHAN PERBANKAN DI INDONESIA Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri perbankan di Indonesia, diantaranya adalah : 1. Kondisi Keuangan/Kesehatan Bank Kondisi keuangan yang mencerminkan tingkat kesehatan bank di Indonesia pada masa sebelum krisis dan sesudah krisis adalah kurang baik. Hal ini terbukti : Sebagaimana disebutkan dalam Majalah Infobank No. 199 Edisi Juli 1996 Vol XIX, terdapat dua puluh bank yang belum mengumumkan laporan keuangannya seperti yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/5/UPPB tanggal 25 Januari 1995. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, terjadi karena adanya kerugian yang cukup besar. Struktur keuangan bank di Indonesia khusus bank swasta nasional sangat rapuh, yang terjadi karena ekspansi yang dilakukan sangat berlebihan yang menyebabkan nilai kewajibannya sangat tinggi. Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Dalam pengeloaan valuta asing meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Perkembangan di atas menyebabkan tingginya kerentanan perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang terjadi di dalam perekonomian. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan kewajiban dalam valuta asing naik tajam sehingga mempersulit kondisi likuiditas perbankan. Hal ini diperburuk dengan kondisi debitur yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban valuta asing kepada perbankan. Besarnya kesulitan likuiditas pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis pada perbankan nasional. Perkembangan selanjutnya semakin memperlemah tidak saja kondisi likuiditas tetapi juga aspek rentabilitas dan solvabilitas perbankan. Hal ini antara lain tercermin pada meningkatnya nonperforming loan dan turunnya return on assets (ROA). 2. Menurunnya Kepercayaan Masyarakat Kondisi perbankan kemudian menjadi semakin rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana antarbank secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya sejak pencabutan izin usaha 16 bank pada awal November 1997. Krisis perbankan berkembang semakin dalam dengan munculnya berbagai isu negatif mengenai kondisi perbankan nasional. Akibatnya, pencabutan izin usaha terhadap 16 bank dan program penyehatan perbankan lainnya yang semula ditujukan untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat justru memperburuk keadaan. Turunnya peringkat (rating) dan gambaran pesimis yang diberikan lembaga pemeringkat internasional kepada perbankan nasional juga telah mengakibatkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, terhadap perbankan nasional. Kepanikan masyarakat telah mendorong terjadinya penarikan-penarikan tunai dana perbankan yang cukup besar dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Sebagai akibatnya, beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga ikut terkena dampak krisis

kepercayaan tersebut sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antarbank. Sementara itu, kredibilitas perbankan nasional juga menurun di luar negeri. Hal ini tercermin dari meningkatnya penolakan bank-bank internasional untuk melakukan transaksi valuta asing dan terhadap letter of credit yang diterbitkan bank-bank nasional. 3. Moral/Hazard Rendahnya moral/hazard dari pihak-pihak yang berhubungan dengan bank, juga merupakan pemicu terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Pihak pihak yang berhubungan dengan bank diantaranya adalah Pemilik, Manajemen, Nasabah, pejabat pemerintah dan lainnya. Moral sangat penting dalam dunia perbankan, mengingat karakteristik industri ini adalah kepercayaan dan beresiko. Rendahnya nilai moralitas mengakibatkan tidak dapat diterapkan sistem prudential banking dan terjadinya pelanggaran aturan yang ditetapkan yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pengawasan. Prilaku seperti ini berakibat pada peningkatan resiko dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat. Contoh konrit pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam dunia perbankan seperti BMPK, kurang dipenuhinya persyaratan dalam pemberian kredit karena adanya uang sogokan dari nasabah, adanya surat sakti atau kreditur merupakan pihak yang terkait dengan bank, pemberian komisi-komisi atas penanaman dana, adanya pemberian tingkat suku bunga diatas suku bungan penjaminan, membuat kinerja bank semakin berisiko dan tidak berjalan dengan efisien. Pelanggaran seperti ini sering dilakukan oleh pihak pemilik dan manajemen bank serta nasabah bank . Korupsi juga mempunyai dampak yang cukup significant terhadap industri perbankan. Seperti yang diungkapkan dalam Infobank No. 197, Edisi Mei 1996, Vol. XIX, disebutkan " menurut sejumlah pakar , berbagai pungutan liar itu membebani ekonomi nasional. Hal ini mendorong harga barang menjadi mahal dan akhirnya mebakar inflasi serta mendongkrak bunga menjadi lebih tinggi". Dengan tingkat suku bunga yang tinggi tentunya berdampak pada pengelolaan usaha perbankan menjadi tidak efisien. Laporan BI akhir 1999 menyebutkan hal-hal sbb : Laporan BI memperlihatkan betapa masalah rekayasa terhadap asset bank sangatlah parah (Perkembangan Proses Penyelesaian Aset 16 Bank Dalam Likuidasi/BDL) Total Aset 16 BDL menurut nilai buku per 31 Oktober 1997 yaitu pada saat bank-bank tersebut dilikuidasi berjumlah Rp13,9 triliun. Sebesar Rp11,5 triliun diantaranya merupakan nilai kredit sebelum dikurangi cadangan penghapusan, yang sebagian besar tergolong kredit bermasalah (non performing loan). Selanjutnya, sampai dengan bulan September 1999, terdapat pencairan aset BDL sebesar Rp2,4 triliun sehingga nilai buku. aset BDL menjadi Rp11,5 triliun. Namun demikian diperkirakan hanya sekitar 45-50% dari aset BDL tersebut yang dapat dicairkan/ditarik, hal ini diakibatkan adanya pemberian kredit tanpa jaminan yang jelas sehingga sulit untuk diperoleh pencairannya, perolehan aset yang nilainya telah di-mark-up oleh pemilik/pengurus bank, dan terdapatnya aktiva tidak berwujud. Dari sisi pasiva, Bank Indonesia menyediakan dana talangan untuk pembayaran simpanan dana para nasabah BDL sebesar Rp5,6 triliun. Dana talangan tersebut telah dialihkan

kepada Pemerintah sebesar Rp5,3 triliun, setelah dikurangi jumlah yang berhasil ditagih oleh Tim Likuidasi. Sampai dengan bulan September 1999, dari hasil pencairan aset yang berasal dari penagihan kredit dan penjualan aktiva tetap serta inventaris bank, sebagian digunakan untuk mengangsur pengembalian dana talangan Pemerintah sebesar Rp0,4 triliun sehingga sisa dana talangan perposisi September 1999 sebesar Rp4,9 triliun. Sementara itu Tim Likuidasi terus mengupayakan penjualan aset serta penagihan kredit macet BDL untuk melunasi kewajiban BDL lainnya. Rendahnya realisasi pencairan aset BDL disebabkan berbagai kendala antara lain : (i) sulitnya menjual aset BDL yang sebagian besar merupakan properti baik berupa harta tetap milik bank maupun agunan kredit; (ii) sebagian kredit yang tergolong bermasalah karena pengikatan hukum terhadap barang jaminannya sangat lemah disamping nilai jaminan yang diserahkan kepada bank tidak mencukupi; (iii) dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengeksekusi penagihan kredit dan pencairan aset sehingga hasil penjualan bersih tidak mencapai jumlah yang diinginkan; (iv) Tim Likuidasi tidak memiliki kewenangan hukum yang cukup kuat seperti BPPN, sehingga setiap proses penagihan kredit maupun pencairan aset harus menempuh prosedur hukum yang penyelesaiannya memakan waktu lama. Mengingat masa tugas Tim Likuidasi masih beberapa tahun lagi (selambat-lambatnya tahun 2002), diharapkan dalam jangka waktu tersebut upaya penagihan aset/kredit yang dapat digunakan untuk mengembalikan dana Pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu akan dilakukan intensifikasi tugas 5. Lemahnya Sistem Pengawasan Kelemahan manajemen terlihat antara lain dari belum efektifnya pengawasan intern bank dan sistem informasi yang relatif terbatas sehingga pelaksanaan self-regulatory banking yang telah dicanangkan dalam beberapa tahun terakhir belum berkembang dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya banykanya pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian meningkat, kecukupan likuiditas dan permodalan perbankan menurun drastis, dan ketergantungan perbankan kepada bantuan likuiditas dari Bank Indonesia naik tajam. Kelemahan ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pada perbankan sehingga mendorong peningkatan risiko kegagalan perbankan. Lebih dari itu, kelemahan tersebut juga mendorong pemberian kredit yang terkonsentrasi hanya kepada beberapa debitur, khususnya pada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank. Konsentrasi kredit tersebut telah mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap kelangsungan usaha debitur dimaksud sehingga krisis yang juga melanda usaha debitur telah memperburuk kinerja perbankan secara keseluruhan. Sementara itu, belum jelasnya mekanisme penyelesaian bank-bank bermasalah, khususnya exit mechanism, telah menimbulkan moral hazard yang mengarah pada perilaku mengambil risiko tinggi di kalangan perbankan. Tidak adanya sistem penjaminan terhadap simpanan masyarakat telah mengharuskan bank sentral memberikan jaminan terselubung (implicit guarantee) atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam

industri perbankan. Selain itu, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih kurang efektif terutama karena lemahnya law enforcement dan kurangnya independensi bank sentral. Hal ini diperburuk dengan masih terbatasnya informasi yang tersedia bagi masyarakat mengenai kondisi keuangan suatu bank sehingga kontrol masyarakat terhadap perkembangan perbankan tidak berjalan dengan semestinya.

ETIKA BISNIS DAN MASALAHNYA Bahwa keadaan tersebut diatas bisa dikatakan berawal dari masalah besar dalam dunia bisnis kita diberbagai sektor kegiatan yang ternyata diliputi oleh berbagai tindakan yang mencerminkan rendahnya etika bisnis. Bahwa istilah KKN juga berkaitan dengan pelanggaran etika bisnis yang sangat elementer. Rasa malu, sudah dirasakan hampir tidak ada. Semua dilihat dari keuntungan materi, finansial yang sangat berjangka pendek. Karenanya praktek bisnis seperti ini sangat mencerminkan kerakusan dan menghasilkan produk yang tidak kompetitif dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan output yang dihasilkan sangat tidak efesien. Secara lebih rinci bisa dilihat, antara lain sebagai berikut ; Rendahnya Kejujuran. Hal ini banyak terjadi dalam perjalanan kegiatan dunia usaha di negeri kita. Banyak pelaksana bisnis yang mengutamakan keuntungan fiansial dalam jangka pendek, sehingga mengabaikan kejujuran. Tidak bersikap benar, tulus, jernih, langsung, hati terbuka. Dalam langkah bisnisnya cenderung menipu, mencuri, berbohong, memperdayai konsumen, pelanggan, maupun pemerintah. Tidak memiliki Integritas. Dalam melakukan bisnisnya prinsip utamanya hanya uang dan untung jangka pendek, sehingga langkah yang dilakukannya tidak terhormat, tidak adil, berani dan bertindak dengan dorongan penuh muslihat dan tipu daya dan hawa nafsu dan bermuka dua. Tidak Mematuhi janji. Dalam bersikap tidak mampu bersikap penuh kepercayaan, tidak mampu memenuhi janji, mematuhi komitmen dan tidak berpegang berpegang pada surat perjanjian, seringkali mengintrepretasikan perjanjian secara tidak masuk akal, baik masalah policy maupun hal teknis dalam rangka upaya merasionalkan tindakan-tindakannya yang menyimpang untuk keuntungan sendiri. Loyalitas kepada keuntungan jangka pendek, Loyalitasnya hanya kepada keuntungan jangka pendek, dalam hal ini uang. Sehingga sangat terdorong untuk bersikap tidak jujur dan tidak loyal kepada keluarga, teman, atasan, klien, dan negara. Dia akan dengan sangat mudah mengungkapkan informasi rahasia, baik dalam konteks profesional, ataupun teknis, sehingga dia tak mampu menjaga pertimbangan profesional dengan tidak berusaha menghindari pengaruh buruk dan konflik kepentingan. Tidak mampu berbuat adil. Dalam Bersikap cenderung untuk tidak adil dan pikirannya terfokus pada dirinya sendiri, tidak berniat untuk menghapus kekeliruan, dan mau menang sendiri, komitmennya hanya terhadap dirinya dan usahanya saja. Tidak mampu berlaku sama terhadap orang lain, tidak mau menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan, sering kali memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkan keuntungannya sendiri. Tidak peduli pada orang lain. Bersikap tidak peduli, dan kurang berbelas kasihan, tidak mau berbagi rasa, tidak bersikap memberi, melayani orang lain, memberi pertolongan, terutama pada yang bukan kelompok usahanya, ataupun mengabaikan kepentingan masyarakat banyak

Tidak menghargai orang lain. Tidak Menunjukan penghargaan atas kemuliaan manusia, personalitas, dan hak atas orang. Bersikap kurang ramah dan kurang wajar, tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan orang lain untuk membuat keputusannya sendiri; sehingga cenderung merintangi orang lain. Kurang tanggung jawab. Cenderung untuk tidak menaati hukum, hukum cederung digunakan untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Cederung pula mengakali hukum.Dalam tindakannya cenderung otoriter, tidak mau melaksanakan semua hak-hak dan tanggung jawab demokrasi melalui partisipasi (pemungutan suara dan pengungkapan pendapat), kesadaran sosial dan pelayanan masyarakat. Jika berada dalam posisi memimpin atau memiliki otoritas, tidak menggunakan proses demokrasi secara terbuka dalam pengambilan keputusan, cenderung pula untuk menyembunyikan informasi, tidak transparan. Cenderung tidak berupaya untuk mencapai yang terbaik, Berupaya menjadi yang terbaik dalam konteks yang salah, artinya yang penting terkenal. Sehingga dalam memenuhi tanggungjawab perorangan dan profesional, tidak bersikap rajin, cenderung malas-malasan, dalam tindakannya seringkali tidak masuk akal, dan kurang tanggung jawab ; melaksanakan tugas dengan ogah-ogahan. Menyerahkan saja pada orang lain dan tidak mampu mengendalian orang-orangnya. Seringkali melakukan dan bertindak untuk hal-hal yang sia-sia. Tidak memiliki ketanggung-gugatan. Bersikap tidak bertanggung jawab, tidak mau menerima tanggung jawab terhadap keputusannya, tidak memahami lebih dulu konsekuensi tindakan, dan tidak meberikan contoh pada orang lain. Tidak untuk melindungi dan tidak ada upaya untuk meningkatkan integritas dan reputasi keluarga, perusahaan, profesi dan pemerintah. Seringkali melempar tanggung jawab, apalagi bila menyangkut pada kerugian yang bersifat finansial.

KORUPSI DAN PERMASALAHANNYA. Bahwa kaitan dari etika bisnis yang parah ini tampak dari maraknya prkatek korupsi, baik di instansi pemerintah, swasta maupun lembaga-lembaga lainnya. Kesemua ini adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Berbagai institusi resmi dan LSM dalam dan luar negeri telah membuat berbagai data, bahasan dsb. Yang meyimpulkan betapa parahnya korupsi di negri ini. Kita semua merasakan bahwa korupsi terjadi hampir disemua bidang kegiatan. Dari mulai urusan pelayanan sosial masyarakat, pemerintahan, bisnis retail, bisnis bersekala sedang, menengah dan besar. Sampai-sampai hal itu sudah dianggap suatu hal yang biasa saja. Berarti moralitas masyarakat kita memang sudah biasa untuk melakukan sogokan untuk memperlancar urusannya. Upaya pencegahan korupsi yang sudah berjalan selama ini dan bagaimana upaya untuk lebih mendorong keberhasilan pencegahan korupsi. Telaah khusus yang dibuat BPKP menyebutkan bahwa, Instansi penegak hukum yang memegang tongkat komado pemberatasan korupsi sejak 1967 yaitu Kejaksaan Agung walupun telah bekerja maksimal, ternyata masih memberikan hasil yang menggembirakan masyarakat dan ironisnya Indonesia malah menduduki ranking pertama se-Asia untuk tingkat korupsi menurut versi Transparancy International per April 1999. Sedangkan aparat pengawasan fungsional lainnya mempunyai tugas pokok dan fungsi yang semata-mata tidak

diarahkan untuk memberantas korupsi yaitu antara lain itwilprop, Itjen Departemen, BPKP, dan BEPEKA. Usaha pemberantasan korupsi sebagai isu sentral perlu ditangani secara serius oleh suatu lembaga/badan yang khusus mengingat korupsi mempunyai karakter kompleks, canggih, dan ruwet serta memerlukan keakhlian tertentu menanganinya. Urgensi perlu tidaknya suatu Badan Anti Korupsi (badan) masih menjadi perdebatan, akan tetapi BPKP tetap akan mengusulkan suatu Komisi atau Badan tersebut. Hal ini ini dudukung pula oleh bahasan Masyarakat Transparansi Indonesia, serta LSM lainnya. KONDISI INTERNAL PERUSAHAAN YANG BERMASALAH Kondisi masyarakat sangat berinteraktif pula dengan kondisi badan usaha yang melakukan kegiatannya di masyarakat. Dalam hubungan ini patut di konstantir kondisi intern perusahaan-perusahaan yang sering menimbulkan kecurangan dan pelanggaran terhadap etika bisnis adalah sebagai berikut ini : 1. Pengendalian internnya tidak ada, lemah atau terselenggara longgar. 2. Penempatan pegawai yang kurang mempertimbangkan integritas dan kejujurannya. (Koncoisme, Klik-isme) 3. Untuk mencapai tujuan dan sasaran, keuangan para pegawai berada dibawah tekanan yang sangat berat, diperlakukan buruk, sangat diperas tenaganya dan diperlakukan kasar. 4. Model manajemennya sendiri korup (KKN), tidak efisien atau tidak menunjukkan kemampuan. 5. Pegawai yang dipercaya, yang menjadi pengelola perusahaan, mempunyai problema pribadi yang tidak kunjung terselesaikan, misalnya masalah keuangan, masalah kehidupan keluarganya, kecanduan obat, judi atau mempunyai selera mahal. 6. Ruang usaha, atau area bisnis dimana perusahaan itu bergerak, merupakan bagian yang secara historis atau tradisional terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. 7. Perusahaan mengalami saat buruk, seperti kehilangan pasar, kerugian yang besar, produk atau jasa yang dihasilkan sudah ketinggalan zaman. Untuk membangun dan menciptakan dunia usaha yang sehat, unggul dan bermoral perlu interaksi positif antara dunia usaha, dunia bisnis antara perilaku bisnis yang baik dan sistem ekonomi politik yang kondusif. Disamping adanya perangkat hukum dan perundangundangan maka diperlukan pembinaan dan tumbuh kembangnya etika bisnis yang benar. ETIKA BISNIS Pelaku bisnis seringkali terbentur pada banyak pilihan, dan yang paling sulit adalah bila harus berhadapan dengan upaya menyeimbangkan antara tujuan bisnis yang terlihat jelas, yaitu keuntungan finansial dengan etika. Etika bisnis sangat berkepentingan untuk menyeimbangkan keduanya, mencegah terjadinya benturan kepentingan satu dengan lainnya. Untuk itu hanya dengan kesadaran pelaku bisnis saja etika bisnis bisa dilakukan. Karena lain sekali pendekatan hukum, yang bersifat memaksa dengan pendekatan etika yang lebih menekankan pada kesadaran dari pelakunya. Etika bisnis sangat berkaitan dengan keuntungan jangka panjang, jadi buat pengusaha yang berpikiran jangka pendek sangat sulit sekali memahami etika bisnis ini, apalagi bila keuntungan finansial telah didepan mata. Bisnis yang tak beretika itu sangat berkaitan pula dengan kondisi perusahaan dan kondisi

orang-orang yang ada dalam perusahaan. Dalam hal ini maka perilaku korupsi yang termasuk perilaku melakukan kecurangan, karena melakukan yang bukan semestinya patutlah ditelaah. Penerima sogokan atau koruptor menerima sesuatu yang bukan haknya, sedangkan yang melakukan sogokan, kalau dia instansi, maka cenderung juga untuk menjadi koruptor, karena uang yang dikeluarkan dari perusahaannya untuk menyogok juga biasanya tidak dibukukan pada pos pembukuan yang sebenarnya. Dalam hal ini terbuka peluang untuk penyogok juga mengambil sebagian dari uang yang digunakan untuk menyogok tersebut. Praktek-praktek seperti ini kerap terjadi dalam dunia bisnis. Gwynn Nettler dalam bukunya Lying, Cheating and Stealing memberikan kesimpulan tentang sebab-sebab seseorang berbuat curang, yaitu : 1. Orang yang sering mengalami kegagalan cenderung sering melakukan kecurangan. 2. Orang yang tidak disukai atau tidak menyukai dirinya sendiri cenderung menjadi pendusta. 3. Orang yang hanya menuruti kata hatinya, bingung dan tidak dapat menangguhkan keinginan memuaskan hatinya, cenderung berbuat curang. 4. Orang yang memiliki hati nurani (mempunyai rasa takut, prihatin dan rasa tersiksa) akan lebih mempunyai rasa melawan terhadap godaan untuk berbuat curang. 5. Orang yang cerdas (intelligent) cenderung menjadi lebih jujur dari pada orang yang dungu (ignorant). 6. Orang yang berkedudukan menengah atau tinggi cenderung menjadi lebih jujur. 7. Kesempatan yang mudah untuk berbuat curang atau mencuri, akan mendorong orang melakukannya. 8. Masing-masing individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan karena itu menempati tingkat yang berbeda, sehingga mudah tergerak untuk berbohong, berlaku curang atau menjadi pencuri. 9. Kehendak berbohong, main curang dan mencuri akan meningkat apabila orang mendapat tekanan yang besar untuk mencapai tujuan yang dirasakannya sangat penting. 10. Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa mendorong untuk berlaku tidak jujur. Pendapat lain lagi yang menguraikan bagaimana seseorang berbuat curang, berbohong atau mencuri dalam melaksanakan pekerjaannya, diungkapkan oleh G. Jack Bologna B.B.A dan Robert J. Linquist B. Comm. CA dalam bukunya yang berjudul Fraud Auditing and Forensic Accounting, menyatakan adanya 25 alasan, yaitu : 1. Yakin bahwa dia lolos. 2. Berfikir ia benar-benar sangat memerlukan atau mengingini uang atau barang yang ia curi. 3. Merasa frustasi atau tidak puas mengenai beberapa aspek dari tempat kerjanya. 4. Merasa frustasi atau tidak puas mengenai beberapa aspek dari kehidupan pribadinya tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya. 5. Merasa disalah gunakan oleh atasannya dan ingin membalas dendam. 6. Gagal mempertimbangkan konsekwensi yang harus dicapai. 7. Berfikir orang lain melakukan penyimpangan mengapa saya tidak. 8. Berfikir : "Ah ini kan begitu besar, diambil sedikit kan tidak akan ada bekasnya". 9. Tidak tahu bagaimana mengelola uang yang ada ditangannya, sehingga selalu bocor dan

siap dicuri. 10. Merasa bahwa merusak organisasi adalah tantangan dan bukan malah keuntungan ekonomi semata-mata. 11. Pada masa kanak-kanak kehilangan perlakuan ekonomis, sosial atau berbudaya. 12. Mengkompensasikan kehampaan yang diderita dalam kehidupan pribadinya dan ia memerlukan cinta, kasih sayang dan sebuah persahabatan. 13. Tidak memiliki pengendalian pribadi (self control) dan ingin keluar dari tekanan. 14. Yakin bahwa seorang teman ditempat kerja telah menjadi korban penghinaan atau penyalah gunaan atau telah diperlakukan secara tidak adil. 15. Terus terang malas dan tidak mau bekerja keras mencari penghasilan untuk membeli yang ia inginkan atau yang ia perlukan. 16. Tempat bekerja mempunyai organisasi pengendalian intern yang sangat lemah, sehingga setiap orang tergoda untuk mencuri. 17. Melihat tak seorangpun dihukum karena melakukan penyimpangan didalam organisasinya. 18. Melihat bahwa banyak orang yang tertangkap melakukan penyimpangan karena kebetulan saja bukan karena hasil audit atau hasil pola pengamanan. Oleh karena itu perasaan takut tertangkap bukan alat pencegah untuk melakukan penyimpangan. 19. Merasa tidak didorong untuk mendiskusikan masalah pribadi atau masalah keuangan sewaktu bekerja atau mencari nasihat dan berkonsultasi dengan pimpinan mengenai masalah tersebut. 20. Berpendapat bahwa pelanggaran adalah gejala situasi (situational phenomena). Setiap pelanggaran mempunyai kondisi yang mendahuluinya sendiri dan setiap pelanggaran mempunyai alasannya. 21. Berpendapat bahwa melanggar karena alasan kemanusiaan dan hayalannya membenarkan. 22. Merasa tidak akan dihukum oleh atasannya sekedar mencuri, menyalahi atau menggelapkan. 23. Berpendapat manusia itu lemah dan cenderung mudah berbuat dosa. 24. Berpendapat bahwa atasannya juga tidak bermoral, tidak punya etika dan tidak punya semangat. 25. Cenderung menipu atasannya. Kalau atasan berbuat curang mengapa mereka tidak berbuat serupa. Kajian yang lebih mendalam ternyata hal-hal itu disebabkan secara intern oleh gaya manajemen, disamping oleh keadaan sosial masyarakatnya. Dalam praktek sehari-hari sering ditemui bahwa kecurangan, penggelapan dan pencurian di satu organisasi lebih menonjol dibandingkan dengan organisasi yang lain. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dikemukakan diatas, maka kajian yang perlu sekali di sampaikan kepada masyarakat bisnis Indonesia adalah, seharusnya kita memulai bisnis dengan dasar etika yang baik. Dengan demikian maka untuk menekan terjadinya tindak kecurangan dalam berbisnis, baik secara intern maupun terhadap masyarakat bisnis dan masyarakat luas maka perlu ditegakannya etika bisnis yang benar. Etika adalah prinsip moral atau nilai, yang harus mendasari pelaksanaan bisnis di Indonesia

; 1. Kejujuran, Bersikap benar, tulus, jernih, langsung, hati terbuka, tidak menipu, tidak mencuri, tidak berbohong, tidak memperdayai dan tidak melenceng. 2. Integritas, Bersikap berprinsip, terhormat, adil, berani dan bertindak dengan dorongan penuh, tidak bermuka dua, atau bertindak menuruti hawa nafsunya, atau membenarkan suatu filosofi tanpa memperhatikan prinsipnya. 3. Mematuhi janji, Bersikap penuh kepercayaan, memenuhi janji, mematuhi komitmen, berpegang pada surat perjanjian, tidak mengintrepretasikan perjanjian secara tidak masuk akal baik hal teknis maupun masalahnya dalam rangka merasionalkan tindakan-tindakan yang menyimpang. 4. Loyalitas, Bersikap jujur dan loyal kepada keluarga, teman, atasan, klien, dan negara. Tidak mengungkapkan informasi rahasia, dalam konteks profesional, harus mampu menjaga kemampuan membuat pertimbangan profesional dengan berusaha menghindari pengaruh buruk dan konflik kepentingan. 5. Keadilan, Bersikap adil dan pikiran terbuka, berniat menghapus kekeliruan, dan kalau memang diperlukan mau mengubah pendirian, menunjukan komitmen terhadap keadilan, berlaku sama terhadap orang lain, menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan, tidak memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkan keuntungan. 6. Kepedulian pada orang lain, Bersikap peduli, baik hati, dan berbelas kasihan, berbagi rasa, bersikap memberi, bersikap melayani orang lain, memberi pertolongan jika dibutuhkan dan tidak merugikan orang lain. 7. Menghargai orang lain, Menunjukan penghargaan atas kemuliaan manusia, personalitas, dan hak atas setiap orang; Bersikap ramah dan wajar, memberikan informasi yang dibutuhkan orang lain untuk membuat keputusannya sendiri; tindak merintangi orang lain. 8. Menjadi warga yang bertanggung jawab, Menaati hukum, jika hukum tidak adil proteslah secara terbuka; melaksanakan semua hakhak dan tanggung jawab demokrasi melalui partisipasi (pemungutan suara dan pengungkapan pendapat), kesadaran sosial dan pelayanan masyarakat; jika berada dalam posisi memimpin atau memiliki otoritas, memakai proses demokrasi secara terbuka dalam pengambilan keputusan, menghindari penyembunyian informasi jika tidak diperlukan, dan menjamin bahwa setiap orang mempunyai semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat pilihan yang tepat dan melaksanakan hak-hak mereka. 9. Mencapai yang terbaik, Berupaya menjadi yang terbaik dalam setiap hal, dalam memenuhi tanggungjawab perorangan dan profesional, bersikap rajin, masuk akal, dan bertanggung jawab ; melaksanakan seluruh tugas sesuai kemampuan terbaik, mengembangkan dan memelihara tingkat kompetensi yang tinggi, memberi dan menerima informasi dengan baik; tidak melakukan hal-hal yang tidak berharga ; tidak selalu memperhitungkan biaya. 10. Ketanggung-gugatan. Bersikap bertanggung jawab, menerima tanggung jawab pengambilan keputusan,

memahami lebih dulu konsekuensi tindakan, dan dalam meberikan contoh pada orang lain. Orang tua, guru, atasan, para profesional, dan pegawai negeri mempunyai kewajiban khusus untuk memberikan contoh, untuk melindungi dan meningkatkan integritas dan reputasi keluarga, perusahaan, profesi dan pemerintah; secara etis, individu akan menghindari hasil kerja yang tidak memadai, dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah perilaku yang tidak memadai. SASARAN ETIKA BISNIS Sasaran etika bisnis adalah membangun kesadaran kritis pelaku bisnis, bahwa bisnis adalah profit making activity, yang harus dicapai dengan cara-cara baik, tidak curang, tidak merugikan orang lain. Keuntungan yang dicapai juga meliputi non financial profit, moral, citra, pelayanan, tanggung jawab sosial, integritas moral, mutu, kepercayaan. Meliputi juga keuntungan yang berjangka panjang. Kita juga perlu mendorong bangsa membangun sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih baik dan lebih demokratis. Menjadikan hukum yang supermasi diatas kekuasaan. Pelaku yang ingin maju ikuti aturan main yang jelas, adil, rasional dan obyektif tanpa mengandalkan KKN. Pemberdayaan masyarakat, ini juga perlu dikembangkan dalam ranga sasaran etika bisnis. baik secara individual maupun secara kelompok, seperti LSM dsb. Bila ada kecurangan, masyarakat harus berani dan bisa melakukan langkah-langkah koreksi dengan mengungkapkan pada yang berwenang. Upaya penyebarluasan pemahaman, pelaksanaan, penghayatan terhadap pemasyrakatan etika bisnis ini perlu dilakukan dengan luas diseluruh tanah air. Dengan demikian, bisnis sebagai suatu usaha yang ada dimasyarakat memerlukan pemuasan kepada semua pihak naik ekstern maupin intern. Pihak-pihak yang berkepentingan di luar organisasi : Pemerintah. Lembaga Keuangan dan Perbankan Pemasok. Distributor, agen dan pengecer. Pembeli atau konsumen. Masyarakat sekitar perusahaan dan secara ridak langsung masyarakat luas. Sedangkan yang bekepentingan dan berada dalam organisasi perusahaan ; Para pemilik saham dan pemodal. Berbagai kelompok manajemen yang tak tergolong manajemen puncak. Para karyawan. Etika bisnis yang sehat dibangun untuk memuaskan kepentingan semua pihak dengan caracara yang baik dan santun, tentunya akan menjalin hubungan yang baik pada semuanya. RUMUSAN KEY SUCCESS FACTOR Bila kita mencoba mengambil contoh pada sektor perbankan maka kedepan, disamping di sektor riil perlu sehat dan beretika maka perlu dibangun bank-bank yang baik, sehat dan prudent. Berdasarkan permasalahan permasalahan industri perbankan Indonesia saat ini, maka key success faktor dapat dirumuskan misalnya sebagai berikut :

1. Adanya visi dan misi Seperti yang dikemukakan oleh Robert G. Stemper dalam bukunya Consumer Banking Strategy, terdapat tujuh faktor kritis yang harus diperhatikan dalam Consumer Banking disebutkan bahwa "Penetapan visi dari menejemen puncak sangat dibutuhkan. Karena visi tersebut merupakan petunjuk arah atau merupakan gambaran bagimana kondisi dan bentuk bank di masa yang akan datang. Selain visi merupakan petunjuk arah akan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Bank. Disisi lain harus mencerminkan kebutuhankebuhan yang diinginkan oleh nasabah". Selain itu dia juga mengungkapkan bahwa "Jika visi merupakan gambaran umum bagimana kondisi bank pada periode mendatang, misi lebih specifik lagi, yaitu mengindikasikan mengenai apa yang harus dilakukan dalam hal ini adalah pemerolehan keuntungan dari pemenuhan kepuasan nasabah. Misi merefleksikan what the customer is buyingsatisfaction-and seguests that this wont happen in free economy unless the suplier makes a profit. Akan tetapi terdapat beberapa implikasi dari misi yang akan diekspliotasi. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa visi dan misi manajemen bank merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan untuk perkembangan suatu bank. Dengan visi yang jelas yang diterjemahkan dalam misi tentunya akan men-drive bank kearah yang sehat. Dengan adanya kejelasan arah tersebut akan menimbulkan terjadinya kesepahaman dan komitmen dari pihak stake holder dan nasabah dalam pengelolaan suatu bank karena meningkatkan nilai moral dan hazard dari beberap pihak. Untuk itu, visi dan misisi harus dikomunikasikan kepada semua pihak dan dalam pembuatannya harus memperhatikan kondisi lingkungan, penggalian isu dari bawah perlu diperhatikan sehingga feed back atas pelaksanaannya dapat diperoleh dalam rangka penentuan visi pada periode berikutnya. Disamping itu pembuatan misi harus dititik beratkan pada kepuasan nasabah dan besarnya keuntungan perusahaan (bank) yang akan dicapai. Dengan demikian akan terjadi sutau proses yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, dimana hal ini akan secara langsung dapat menjamin perkembangan bank yang wajar dan sehat. 2. Ketepatan pemilihan bentuk, jumlah jaringan bank. Seperti yang dikemukakan di atas bahwa : Kepuasan yang didapatkan oleh nasabah, terletak pada saat mereka berhubungan/berinteraksi dengan bank pada saat melakukan transaksi sebagimana diungkapan oleh Robert G. Stemper, yang menyebutkan bahwa "Customer interaction is the key to the business ". Drs. Sukristono, juga mengungkapkan bahwa "Masalah intern bank yang lainnya pada saat ini adalah masalah sistem penyampaian produk dan jasa bank kepada nasabah". Disamping dia juga menyebutkan bahwa "hampir sebagian besar aspek perencanaan strategis berfokus pada pemasaran. Kegiatan kegiatan lainnya seperti keuangan, sumber daya manusia, logistik dan lainnya hanya bersifat sebagai faktor pendukung. Hal ini didasarkan atas pengertian bahwa pasar perbankan merupakan suatu hubungan antara golongan nasabah dengan kelompok produk dan jasa-jasa yang ditawarkan oleh perbankan". Disisi lain sebagai akibat krisis perbankan, terdapat beberapa bank yang di tutup atau

dibekukan usahanya dan terdapat beberapa bank yang menutup jaringannya karena proses restrukturisasi dalam usaha efisiensi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan fungsi jaringan merupakan salah satu alat dalam memuaskan kebutuhan nasabah. Sedangkan disisi lain, perlu disadari bahwa pengadaan jaringan tidak terlepas dari besarnya nilai investasi yang akan ditanamkan, yang pada akhirnya menambah nilai ATMR berikut risiko lainnya. Tentunya besarnya jumlah jaringan akan memperluas span of controlnya. Oleh karena itu ketepatan pemilihan bentuk, jumlah dan letak akan jaringan (cabang, cabang pembantu, kantor kas, ATM, Merchant dll) harus disesuaikan dengan kondisi (jumlah, letak ) atau tingkah laku nasabah dalam bertransaksi dan dalam batas control yang memadai. Sehingga pola pelayanan dan operasinya dapat memuaskan kebutuhan nasabah, mendatangkan keuntungan dan dapat meminimalkan tingkat resiko yang akan terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa ketepatan pemilihan bentuk, letak dan jumlah jaringan merupakan salah kunci sukses suatu bank pada saat ini. 3. Tingkat kesehatan Seperti yang kita ketahui bahwa bank merupakan salah satu lembaga penghubung (intermediere) antara unit surplus dan defisit, dimana dalam pengelolaannya tidak terlepas dari derajat kepercayaan para nasabah kepada bank. Disisi lain tingkat pengetahuan nasabah terhadap kondisi perbankan semakin meningkat dan adanya penerapan prinsisp keterbukaan oleh pemerintah atas kondisi keuangan suatu bank, merupakan suatu tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh manajemen bank dewasa ini. Sehingga kondisi keuangan/kesehatan suatu bank dapat tercermin pada laporan keuangannya dan pada akhirnya mempengaruhi opini masyarakat akan kondisi bank tersebut yang bertindak sebagai control sosialnya. Disisi lain tingkat kesehatan bank juga sangat menentukan dalam perkembangan operasi perbankan pada periode berikutnya, dalam hal pemberian ijin pembukaan cabang/jaringan, penutupan bank , peningkatan status operasional perbankan dan keikut sertaan dalam proses kliring serta kegiatan-kegiatan lainnya yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Dengan demikian, tingkat kesehatan bank merupakan salah satu kunci sukses, dalam pengelolaan suatu bank. Mengingat hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat (terutama deposan) pada bank tersebut dan perkembangan bank pada periode berikutnya. 4. Adanya inovasi tepat guna dan berhasil guna Seperti yang diungkapkan oleh Robert G. Stemper bahwa "survival requires innovations, dimana perubahan peraturan di industri perbankan terjadi dengan cepat dan disisi lain bank harus lebih menfokuskan pada nasabah bukan hanya pada peraturan. Apabila terjadi perubahan akan berakibat berubahnya lingkungan bisnis yang secara langsung akan merubah keinginan nasabah, mengingat nasabah lebih berpengalaman dan mempunyai sifat menuntut". Sedangkan disisi lain tingkat kompetisi di dunia perbankan yang sangat tajam. Sehingga untuk menjawab tantangan tersebut, pihak manajemen bank harus melakukan inovasi dalam memenuhi kebutuhan nasabahnya. Mengingat bank akan ditinggalkan para nasabahnya apabila kebutuhannya tidak terpenuhi.

Agar supaya manajemen inovasinya berjalan dengan baik, unit khusus yang menangani tersebut perlu dibentuk dalam struktur organisasinya atau yang lebih di dengan sebutan R& D. Seperti yang yang dikemukakan oleh Drs. Sukristono menyebutkan bahwa " kegiatan R & D ini sesungguhnya tidak hanya mencakup pencarian produk baru dan penelitian pasar, akan tetapi juga mencakup penelitian kegiatan dan strategi pesaing, perkembangan lingkungan eksternal bank (ekonomi, sosial, politik, kebijakan-kebijakan pemerintah, perkembangan teknologi dan lainnya) dan kondisi internal bank". Dengan demikian inovasi yang dibuat dapat diaplikasikan dalam arti dapat memenuhi kebutuhan nasabah dan dapat memberikan hasil bagi bank. Sehingga dengan adanya inovasi tersebut, akan menimbulkan adanya competitive advantage dan dapat menciptakan image tersendiri bagi para nasabahnya yang pada akhirnya merupakan salah satu penujang dari perkembangan bank yang sehat dan wajar di masa mendatang. 5. Penguasan dan Aplikasi Tekhnologi informasi Yang Handal. Peranan tekhnologi tak kalah pentingnya dalam kehidupan suatu masayarakat dan khususnya dunia perbankan. Mengingat dengan tehnologi tersebut, dapat mempermudah dan menjawab kesulitan-kesulitan yang ada dalam kehidupan. Dalam dunia perbankan, peranan tehnologi sangat besar artinya, terutama dalam kecepatan pemberian informasi baik yang bersifat keuangan maupun yang bersifat non keuangan, disamping itu tehnologi dalam dunia perbankan dapat dijadikan sebagai kepanjangan tangan (jaringan) dalam melayani nasabah (ATM & Merchant). Oleh karena itu pengusaan dan aplikasi tehnologi informasi sangat mutlak dibutuhkan, jika menginginkan bank tersebut berkembang dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar supaya kebutuhan nasabah dan kebutuhan internnya dapat terpenuhi. Keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen bank dalam rangka menjalin hubungan dengan nasabah berjalan dengan cepat dan tepat karena didukung oleh data financial dan non financial yang akurat. Disisi lain keuntungan yang diperoleh adalah kegiatan operasi perbankan dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta dapat diterapkannya manajemen control yang baik. 6. Sumber daya manusia yang terlatih dan terpercaya Peranan sumber daya manusia yang terlatih dan terpercaya juga penting sekali dalam menunjang kelangsungan hidup suatu bank. Mengingat dengan adanya sumber daya manusia yang terlatih dan terpercaya : Dapat mempermudah menjalin hubungan dengan nasabah, mempermudah pemenuhan kebutuhan nasabah karena adanya pemahamanan akan produk dan dan peraturan yang memadahi, sehingga nasabah memeproleh kepuasan dan adanya keuntungan bagi bank. Hal ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh Robert G. Stemper yang menyebutkan bahwa "elemen manusia yang berupa contact staff yang merupakan variabel terpenting yang mengakibatkan adanya keuntungan dan terpenuhinya kepuasan". Mempermudah penerapan aplikasi teknologi Memperkecil terjadinya pemborosan, sehingga operasi bank dapat berjalan secara efisien. Menimbulkan tingkat inovasi, karena memperbesar nilai feed back dan input dari design sistem yang telah ada serta adanya temuan-temuan bisnis yang baru. PENUTUP

Untuk mencapai sasaran dalam penciptaan dunia usaha dan perbankan yang terpercaya, sehat, unggul yang bermoral maka etika yang baik harus menjadi landasan filosofisnya. Untuk itu perlu langkah-langkah yang simultan. 1. Upaya pemberantasan korupsi perlu dilakukanan dengan lebih "menggigit" lagi. Dari segi kelembagaan, langkah yang saat ini sedang dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan dengan membuat Komite Independen Anti Korupsi perlu segera dilaksanakan dan ditindak lanjuti. Memberikan terapi pada masyarakat, dengan menyeret dan menghukum koruptor besar. 2. Mempersiapkan lahan, agar semua rakyat Indonesia memahami bahwa perlu dibangun etika bisnis yang benar. Upaya pemasyarakatan Etika Bisnis dilakukan secara nasional dan besar-besaran dengan suatu Kampanye Nasional secara terus menerus. Semua mass media melakukan kampanye dengan iklan pelayanan masyarakat, yang menyatakan bahwa korupsi itu jahat, perlu dibasmi dan jangan lakukan. Kita perlu beretika dalam melakukan bisnis, dsb. Adanya trophy penghargaan nasional bagi perusahaan yang mampu melaksanakan etika bisnis dengan baik pada suatu periode tertentu. Dalam satu waktu tertentu, dimunculkan orang yang berperilaku jujur menghadapi sogokan sebagai suatu "bintang" yang dipublikasi. Bekerja keras adalah etos kerja positif yang menjadi dasar kesuksesan. Penghargaan bagi orang sukses yang jujur dan beretika 3. Etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi, sehingga setiap lulusan perguruan tinggi memahami bahwa etika dalam berbisnis adalah suatu dasar yang pokok bagi pengembangan sukses selanjutnya.. 4. Karena etika bisnis mencakupi bidang yang luas, maka sasaran-sasaran antara yang meliputi antara lain menekan dan menghapuskan korupsi menjadi prioriras utama. Yang diikuti etika dalam bidang lainnya. 5. Amar ma'ruf - atau mengajak pada kebenaran relatif lebih bisa dilaksanakan dan tinggal menyerukan serta berkampanye, namun nahi mungkar - atau mencegah kemungkaran, ini yang jadi masalah. Upaya pencegahan. Apalagi menangkap dan memproses secara hukum terhadap kesalahan bukan perkara yang mudah. Banyak aspek aspek lain yang terkait. Karenanya masalah etika bisnis, yang menjadi landasan political will perlu menjadi manadatory agar menjadi dasar bagi langkah-langkah selanjutnya. 6. Etika Bisnis dimulai dari individu, diluaskan ke perusahaan dengan mengkaji masalahmasalah intern perusahaan agar bisa beroperasi dengan etika bisnis yang baik, untuk itu etika beragama bisa dijadikan satu acuan dalam membentuk dan mengembangkannya. Beberapa Bahan Bacaan : 1. Sondang P. Siagian, Prof, Dr, MPA - "Etika Bisnis" - Jakarta, Pustaka Binaman Persssindo, 1996 2. Juniardi Soewartoyo, SE - "Korupsi, Pola Kegiatan dan Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya" Restu Agung, Jakarta Pusat, 1995 3. A. Sonny Keraf - "Persoalan Etika Bisnis Kita" - Afkar, Jurnal tigabulanan Cides, Vol.V No.4/1998 4. Tjukria P. Tawaf - "Audit Intern Bank" - buku ke satu dan buku ke dua, Penerbit Salemba

Empat, Jakarta 1999 5. UU Republik Indonesia No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktrk Monopoli dan persaingan Usaha tidak sehat. 6. UU Republik Indonesi No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN 7. BPKP - Perlunya Badan Anti Korupsi - Suatu Alternatif Upaya Pemberantasan Korupsi Yang Efektif di Masa datang - Jakarta, 1999 8. Marulak Pardede-"Hukum Pidana bank"- Cet.1, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995 9. Adrianus Meliala - "Menyingkap Kejahatan Krah Putih" , Cet.1 - Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 10. Memerangi Korupsi Internasional:- Peranan Masyarakat Bisnis - Fritz F. Heimann* 11. Bank Indonesia Laporan BI 1999 12. Info Bank 1997 1998 13. G. Jack Bologna B.B.A dan Robert J. Linquist B. Comm. CA - Fraud Auditing and Forensic Accounting

Dibalik Penutupan Bank Oleh Agus Sugiarto Peneliti Bank Eksekutif, Ketua Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia Minggu lalu, BI mencabut izin usaha Bank IFI karena ketidakmampuan bank tersebut membenahi permasalahan yang dihadapi. Penutupan tersebut menimbulkan berbagai komentar maupun kritikan dari masyarakat dan para pakar. Namun, penutupan bank bukanlah sesuatu yang luar biasa. Jika kita melihat ke belakang, penutupan bank dalah hal biasa. Seperti korporasi-korporasi lainnya, bank juga bisa bangkrut. Saat krisis moneter 1997, misalnya 16 bank ditutup, diikuti 38 bank pada 1999. Pada tahun 2004, Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi. Dan terakhir, Bank Global ditutup pada 2005. Di Amerika Serikat, puluhan bank ditutup di era 1980-an sebagai dampak merger wave karena tidak mampu lagi bersaing, sementara di Australia, beberapa bank kecil juga ditutup di era 1990-an akibat ketatnya persaingan dengan bank besar. Kebangkrutan sebuah bank bisa dipicu oleh berbagai faktor, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bank bisa bangkrut dan harus ditutup kalau kinerjanya buruk akibat naiknya kredit macet, atau aset bermasalah secara signifikan. Penyebab lain adalah bank tersebut kesulitan likuiditas karena adanya penarikandana secara besar-besaran dalam waktu bersamaan karena terjadinya krisis bersifat sistemik, bank run, maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Bisa juga kesulitan likuiditas tersebut akibat mismatch dari struktur pendanaan yang lebih bersifat jangka pendek. Penyebab lain jatuhnya bank-bank-seperti terjadi pada krisis perbankan periode 19971998-adalah banyaknya pemilik bank yang ikut campur tangan dalam operasional bank sehari-hari, pemberian kredit yang tidak hati-hati serta praktek bank dalam bank, sehingga kurang memperhatikan sama sekali aspek manajemen risiko, good governance, dan kehatihatian. Jadi, jelas bahwa pemicu bangkrutnya sebuah bank bisa datang dari bank itu sendiri maupun sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang memburuk. Untuk itu, kita tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan menyikapi kondisi seperti ini. Pemilik Tak Seenaknya Dengan penjelasan di atas, maka kejatuhan sebuah bank bukanlah semata-mata tanggung jawab bank sentral, melainkan pemilik atau pengurusnya. Bank sentral bukanlah nahkoda dari suatu bank. Nahkoda dari bank tersebut adalah pengurus bank itu sendiri, sedang

fungsi bank sentral hanya sebagai penunjuk jalan saja, mana yang boleh dilalui dan mana yang tidak boleh dilewati. Bank sentral berfungsi untuk mengawasi untuk menjaga kepentingan masyarakat dan melindungi para pengguna jasa bank. Kewenangan pemilik maupun pengurus bank tidaklah mutlak karena modal yang disetorkan oleh pemilik rata-rata hanya 20% maksimum dari total dana pihak ketiga yang ada di bank, sedangkan selebihnya yang para deposan yang dititipkan di bank tersebut. Mengingat pemilik dan pengurus bank mengelola uang masyarakat, maka sudah sewajarnya kalau bank sentral menetapkan aturan yang ketat dengan berbagai macam sanksi kepada bank-bank yang diawasi. Karena itu, pemilik bank jangan terlalu menuntut dan memperlakukan bank seenaknya. Begitu juga pengurus bank, jangan terlalu ceroboh dalam menjalankan kegiatan bank sehari-hari. Prinsip kehati-hatian harus dijaga. Apa yang Harus Dilakukan Menutup sebuah bank tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Penutupan sebuah bank itu melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak terkait serta mahal ongkosnya. BI sendiri sering menghadapi suatu pilihan yang sulit sebelum menutup suatu bank. Tapi, hal tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi dengan dampak yang lebih besar pula. Bahwa adanya usulan dari berbagai pihak agar BI mengumumkan saja nama-nama bank bermasalah ke publik, itu juga bukan hal mudah. Dampak pengumuman seperti ini bisa lebih berbahaya, karena bank bermasalah yang sedang dirawat di special surveillance unit (SSU) BI masih jatuh, padahal masih dilakukan proses penyehatan. Tidak selamanya bank yang masuk SSU ternyata mampu disehatkan kembali dan beroperasi normal. Ke depan, sangatlah sulit untuk mencegah kejatuhan suatu bank mengingat fungsi kontrol dan givernance-nya tidak sepenuhnya di tangan bank sentral. Apa yang bisa kita lakukan adalah meminimalisasi frekuensi kejadiannya dengan berbagai kebijakan, khususnya peningkatan modal minimum. Rasio CAR di atas 8%belumlah mencukupi kalau kegiatan usaha bank sangat kompleks dan berisiko tinggi. Karena itu diperlukanm CAR yang lebih tinggi dari 8% sesuai dengan profil risiko dan risk apetitte dari bank tersebut. Selain CAR yang cukup, bank, khususnya bank-bank kecil juga perlu melihat kembali modal intinya, apakah sudah di atas Rp 100 miliar atau belum. Tidak ada artinya suatu bank memiliki CAR 30%, tapi modal intinya hanya Rp 80 miliar atau kurang dari itu. Karena itu, kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan BI sejak 2004 harus dilaksanakan bank-bank kecil yang modalnya pas-pasan. Lebih baik mereka merger dengan bank lain, agaar modalnya lebih besar dan ketahan kelembagaan lebih kuat.

Kebijakan lain yang perlu dipertimbangkan adalah skema premi penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibedakan sesuai profil risiko atau kategori bank, seperti halnya di AS. Bank yang berisiko tinggi tentunya membayar premi yang lebih besar dibandingkan dengan bank yang berisiko rendah. Begitu pula bank-bank yang berkinerja baik dan berisiko rendah sudah sepantasnya mendapatkan reward sesuai upaya mereka. Di samping itu, pemilik dan pengurus bank yang banknya gagal dan terpaksa harus ditutup juga perlu diistirahatkan dulu. Mereka tidak boleh menjadi pemilik dan pengurus bank lagi. Penulis adalah Peneliti Bank Eksekutif, Ketua Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia.

PENTINGNYA BANK MEMILIKI PROGRAM PENCEGAHAN KECURANGAN Kecurangan bermula dari yang kecil, kemudian membesar dan pada akhirnya akan mencelakakan bank. Untuk itu perlu ada semacam program yang terstruktur serta tertata baik menekan praktik kecurangan. Tujuan utamanya mencegah dan mendeteksi kecurangan serta melakukan langkah penyelamatan dari kerugian yang tidak diinginkan. Kecurangan bisa terjadi dimana saja, kecurangan dalam institusi perbankan dampaknya akan sangat jauh, karena dasar bekerjanya bank adalah kepercayaan. Sehingga bila terjadi kecurangan maka bisa mengikis tingkat kepercayaan berbagai pihak yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan bank dan tentunya lebih jauh lagi pada perekonomian. Kerawanan terjadinya kecurangan di perbankan sebagai badan usaha sangatlah luas cakupannya, mengingat usahanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat. Bila kecurangan terjadi, maka fungsi intermediasi bank menjadi terganggu. Bila terjadi dalam frekuensi dan volume yang besar maka tentunya tujuan pencapaian sasaran kerjanya akan sulit bisa dicapai. The Institute of Internal Auditors (IIA) mendefinisikan kecurangan sbb; An array of irregulation and illegal acts characterized by intentional deception. It can be perpetrated for the benefit of or to the detriment of thr organization and by persons outside as well as inside organizatioan (Suatu kesatuan penyimpangan dan tindalan illegal yang ditandai dengan penipuan yang disengaja, yang dapat dilakukan oleh dan untuk keuntungan bagi organisasi dan atau individu baik di dalam maupun di luar organisasi) Dari definisi ini memperlihatkan bahwa dalam kecurangan ada penyimpangan dan atau tindakan illegal, penipuan yang disengaja yang menguntungkan individu maupun organisasi, artinya dibalik itu ada pihak yang dirugikan, sedangkan pelakunya bisa organisasi atau individu. Artinya ini dapat dilakukan untuk manfaat dan/atau kerugian organisasi oleh orang di luar atau orang lain dalam organisasi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kecurangan ini adalah suatu penyajian yang palsu atau penyembunyian fakta yang material yang menyebabkan seseorang memiliki sesuatu secara tidak sah. Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver (Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuntungan pada si penipu) G.Jack Bologna J.Lindquist & Joseph T.Wells dalam bukunya The Accountings Handbook of Fraud and Commercial Crime. Dia mengartikan kriminal adalah setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Namum pengartiannya tidak dilakukan secara ketat seperti dalam arti hukum. Dengan demikian, meskipun pelaku kecurangan dapat menghindari tuntuan kriminal pidana, tindakan ini dipertimbangkan tetap sebagai kriminal. Penyebab Kecurangan

Bank For International Settlements (BIS), menyebutkan penyebab terjadinya fraud (kecurangan), kerugian dan permasalahan bank, terutama disebabkan ; Kurang memadainya pengawasan dan akuntabilitas dari pengurus bank serta kegagalan mengembangkan budaya pengendalian yang kuat Tidak memadainya identifikasi risiko dan penilaian atas risiko dari kegiatan bank, baik on maupun off balance sheet Tidak ada atau gagalnya fungsi struktur dan kunci pengendalian, serta pemisahan fungsi, pengesahan/otorsasi, verifikasi dan kaji ulang atas kinerja bank. Tidak berjalannya komunikasi/arus informasi kepada pengurus mengenai permasalahan yang terjadi. Tidak memadainya atau tidak efektifnya program audit dan kegiatan pemantauan terutama dalam identifikasi dan pelaporan kelemahan dalam pengendalian permasalahan bank Kecurangan yang terjadi di bank salah satu penyebab utamanya justru faktor sumber daya manusia di sektor perbankan itu sendiri, yang melakukan praktik-praktik perbankan yang menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh para pemilik bank yang cenderung memanfaatkan bank untuk kepentingan grup usahanya, yang secara langsung atau tidak langsung juga mewakili kepentingan pribadinya. Selain itu, pengurus bank juga cenderung mengutamakan atau mengakomodasi kepentingan pemilik bank, yang pada akhirnya menjurus kepada penyimpangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata, yang dapat merugikan bank dan kepentingan masyarakat, khususnya penyimpan dana. Berbagai pihak di bank dapat melakukan kecurangan baik pemegang saham, pengurus, pegawai, nasabah, auditor intern, auditor ekstern maupun pihak lain seperti, kontraktor, appraisal dan konsultan. Dia bisa melakukannya sendiri-sendiri, dalam kelompok yang kecil bahkan mungkin dilakukan dengan kelompok yang besar, luas serta terorganisir. Mengingat luasnya kemungkinan pihak-pihak yang bisa melakukannya, maka konsep membangun system pengendalian yang handal dalam semua kegiatan menjadi satu hal yang teramat penting. Nah, kalau saja penyebab itu sudah ada dan pelakunya mungkin dari berbagai kalangan di bank, maka signal bahaya sudah didepan mata. PencegahanPencegahan kecurangan dimulai dari suatu pendapat bahwa tidak semua orang dapat berlaku jujur dan ini adalah merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan ini. Bahkan seorang yang sebenarnya jujur sekalipun bila dia ada ditengah-tengah organisasi yang memberinya banyak kesempatan untuk bisa berlaku curang maka ini akan menyeret dirinya pada suatu kultur tersebut. Apabila seseorang ditempatkan dalam lingkungan yang rendah integritasnya, lemah kontrolnya, jelek sistem pertanggungjawabannya, akuntabilitasnya, atau selalu dalam tekanan hal ini akan menimbulkan dorongan untuk tumbunya ketidak jujuran.

Menciptakan kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu. Empat faktor untuk pencegahan kecurangan adalah sangat krusial untuk menciptakan suatu kultur kejujuran, keterbukaan dan saling menolong dalam kebaikan. Hal ini meliputi : (1) Menempatkan orang-orang yang jujur dan terpercaya serta melakukan pelatihan tentang kesadaran bahaya kecurangan; (2) Menciptakan lingkungan kerja yang positif ; (3) Menyebarluaskan pemahaman terhadap kode etik ; (4) Melakukan program bantuan bagi karyawan (Employee Assistance Programs) Menempatkan Orang-Orang yang Jujur dan Terpercaya serta Melakukan Pelatihan Tentang Kesadaran Bahaya Kecurangan. Dari hasil studi di Amerika Serikat (John Kula, Director of Fraud and Service Consulting for Arthur Anderson, as quoted in Jerrr Thomas, Prosecution of White Collar Crime Rising, Chicago Tribune, June 10, 1991, p.B1.) terungkap bahwa 31% dari orang Amerika tidak jujur, 30% jujur secara situasional saja dan hanya 41% yang benar-benar jujur pada setiap keadaan. Studi ini juga memperlihatkan 25% dari kecurangan yang terjadi dilakukan oleh karyawan yang sudah bekerja 3 tahun atau lebih. Orang tersebut pada umumnya suka berjudi, mempunyai masalah keuangan, suka minumminum atau mempunyai problem kriminal. Walaupun data tersebut bukan terjadi di Indonesia, setidaknya bisa mengindikasikan bahwa kejujuran orang seharusnya dibangun dari awal. Dalam hubungan ini maka untuk membangun organisasi yang kuat memerlukan suatu kebijakan skrining yang baik bagi para karyawan. Kemantapan lingkungan pengendalian mencegah ketidak jujuran karyawan dan merupakan dorongan untuk mencegah kecurangan. Sehubungan dengan hal tersebut, organisasi perlu kreatif dalam proses penyaringan. Sebagai contoh bank-bank saat ini yang sudah melakukan penyaringan calon nasabah ataupun calon karyawannya misalnya dengan meneliti problem kreditnya dan kinerjanya, baik melalui sistem informasi nasabah di bank sentral, maupun melalui sistem informasi credit card. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah menginventarsir sidik jari seluruh karyawan dan nasabah dan menyimpannya dalam database yang selanjutnya bisa digunakan bila diperlukan dan jika terjadi persoalan yang berindikasi kriminal. Di Amerika bahkan banyak organisasi yang menyewa private investigators untuk meneliti latar belakang seseorang. Juga test terhadap tulisan tangan seseorang kerap kali digunakan sebagai salah satu caranya. Beberapa perusahaan telah melakukan pelatihan untuk bisa melakukan wawancara dengan melakukan cross-check terhadap berbagai latar belakang seseorang yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut. Wawancara ini tentunya diharap bisa mengungkap bila terjadi kebohongan latar belakang yang diberikan para calon nasabah ataupun karyawan. Diharapkan hal ini bisa mengungkap juga problem-problem antara lain ketidak puasan karyawan, pemalsuan tingkat pendidikan, catatan kriminal yang pernah dilakukan, keburukan rating kreditnya dan kinerjanya, mentalitas yang buruk, ketergantungan pada obat terlarang dan peminum, temperamen yang tak terkontrol. Orang-orang seperti ini secara umum mempunyai masalah potensial

untuk melakukan kecurangan dan sebaiknya tidak masuk dalam lingkungan aktivitas organisasi. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif. Adalah tidak mungkin menciptakan kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu tanpa menciptakan lingkungan kerja yang positif. Lingkungan kerja yang positif tidak terbentuk secara otomatis, dia harus diolah dan dibangun. Kebijakan pintu terbuka yang positif terhadap karyawan serta kepatuhan pada sistem dan prosedur merupakan dorongan bagi organisasi untuk melawan kecurangan. Kebijakan pintu terbuka untuk pencegahan kecurangan mempunyai dua jalan. Pertama, Sebenarnya banyak orang yang punya komitemen untuk melawan kecurangan namun dia tidak punya tempat kepada siapa dia mengadu dan meyampaikannya. Apabila dia menyimpannya sendiri dia kehilangan kesempatan yang tepat untuk melakukan tindakan dan konsekwensinya dia bisa melakukan tindakan yang salah. Kedua, Kebijakan pintu terbuka akan menolong para manajer dan lain-lainnya untuk memahami tekanan, problem dan alasan para karyawan. Pemahaman para manajer terhadap hal ini merupakan suatu langkah secara proaktif untuk mencegah kecurangan. Membangun Kode Etik. Kultur kejujuran, keterbukaan dan saling membantu tak mungkin tercipta tanpa adanya kode etik dan kepatuhan pada kode etik tersebut. Literatur tentang membangun moral mengatakan bila kita ingin orang-orang berlaku jujur, kita harus membentuk kebiasaan dengan model tersebut. Perusahaan yang berhasil mencegah kecurangan perlu mempunyai label program untuk itu dan biasanya diberi nama kode etik. Rumusan kode etik menggambarkan apa yang baik dan dapat dilakukan serta yang apa yang tidak baik dan jangan dilakukan. Para karyawan secara periodik harus membaca dan menandatangani kode etik perusahaan tidak hanya untuk mendorong kembali pemahamannya tentang apa makna yang patut dan yang tidak patut, tapi juga menegaskan bahwa hal ini penting bagi perusahaan. Ekspektasi diklarifikasikan dan ekspektasi yang sudah clear bisa menekan kecurangan. Misalnya, bila ada pernyataan karyawan Saya hanya meminjam uang ini sementara saja, kalaulah dia memahami apa keinginan dari perusahaan, maka dia tidak melakukan kecurangan, namun dia akan mengajukan pinjaman yang memperoleh persetujuan sebagaimana seharusnya. Selanjutnya perlu adanya code of conduct yang merupakan aturan tingkah laku yang merupakan statement dari filosofi bank haruslah menjadi dasar dari segenap perilaku dalam pengelolaan bank. Ini merupakan sumber dari strategi, cara dan langkah kerja bank. Hal ini perlu untuk membangun kesadaran kritis, bahwa bisnis bank profit making activity, yang harus dicapai dengan cara baik, tidak curang, tidak merugikan orang lain. Keuntungan yang dicapai juga meliputi non financial profit, moral, citra, pelayanan, tanggung jawab sosial, integritas moral, mutu, kepercayaan. Meliputi juga keuntungan berjangka panjang. Sebagai contoh, Institut Bankir Indonesia telah memberikan suatu dasar bagi para anggotanya dalam Kode Etik Bankir Indonesia yang bisa menjadi acuan awal dari setiap

bank untuk membuat aturan tingkah laku bagi banknya yang lebih teknis dengan penyesuaian sesuai kultur banknya masing-masing. 1. Patuh dan taat pada ketentuan dan perundang-undangan dan peraturan yg berlaku 2. Melakukan pencatatan yg benar mengenai segala transaksi yang berkaitan dengan banknya 3. Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat 4. Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi 5. Menghindarkan diri dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan 6. Menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya 7. Memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan 8. Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarganya 9. Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya Melakukan Program Bantuan Bagi Karyawan (Employee Assistance Programs). Salah satu elemen dari terjadinya kecurangan adalah adanya tekanan (pressure). Orang yang tertekan seperti ini bisa terdorong melakukan kecurangan. Program bantuan bagi karyawan ini utamanya menghadapi masalah seperti; penyalah gunaannya terhadap minuman keras atau obat-obatan, perjudian, kesulitan pengaturan keuangan, kesehatan, keluarga dan problem yang bersifat pribadi. Masalah-masalah seperti banyak terjadi di dalam suatu organisasi, apabila tidak tertangani secara baik dengan suatu program yang baik akan menjadi potensi kecurangan terjadi. Sebagai contoh ; Seorang karyawan bank tengah menghadapi kesulitan keluarga pada akhir tahun ajaran baru yang harus memasukan 3 orang anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini membutuhkan biaya besar padahal sumbersumber keuangannya sudah sangat terbatas. Dia telah mengajukan permintaan kepada manajemen HRD bank-nya untuk memperoleh pinjaman, namun karena pinjamannya sudah melampaui limit, maka permohonannya diolak. Pekerjaan sehari-harinya adalah melakukan rekonsiliasi pos-pos rekening sementara antar kantor yang terbuka. Melihat pos-pos yang sering lambat direspons, maka fikiran negatifnya terbuka untuk mendebet rekening tersebut sementara dialihkan ke rekening pribadinya dengan alasan menyelematkan pendidikan anaknya. Namun hal ini

berkelanjutan, sehingga menjadi suatu jumlah yang besar. Contoh lain adalah, seorang karyawan bank, account officer, yang pergaulannya memang sangat high class dan tidak sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dia terpaksa melakukan konsumsi yang jauh dari kemampuannya, seperti pakaian mahal, mobil mewah, seringkali keluar masuk pub dan restoran mewah serta gaya hidup yang wah. Kondisi ini mendorong dia melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan dalam lingkungan kerjanya di bank. Caranya bekerja sama dengan nasabah yang mengajukan permohonan kredit. Dia menjamin bahwa permohonan kredit nasabah ini pasti disetujui dan melakukan berbgai cara mark-up data, perhitungan kredit maupun agunan. Untuk itu dia memperoleh imbalan.

Menekan Kemungkinan Kecurangan Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sebab terjadi kecurangan ; merasa adanya tekanan, merasa adanya kesempatan dan adanya alasan untuk melakukannya. Bila ketiga hal ini telah ada secara bersamaan maka pintu kesempatan kecurangan sudah bisa terjadi. Dibawah ini diuraikan metode pencegahan kecurangan yang setidakmya menekan terjadinya kesempatan tersebut. Melaksanakan Internal Control yang Baik. Suatu cara terbaik untuk untuk menekan kemungkinan terjadinya kecurangan adalah menerapkan sistem control yang baik. The Institut of Internal Auditors menjelaskan tentang standar kecurangan sebagai contoh adalah sbb; Detterance consists of those actions taken to discourage the perpetration of fraud and limit the exposure if fraud does occur. The principle mechanisem for deffering fraud is control. Primary responsibility for establishing and maintaining control rests with management. Untuk menekan praktik kecurangan seharusnya ada semacam program yang terstruktur serta tertata baik. Tujuan utamanya adalah mencegah dan mendeteksi kecurangan serta melakukan langkah penyelamatan dari kerugian yang tidak diinginkan. Tujuan berikutnya adalah untuk membantu manajemen untuk mencapai target finansial dan tujuan banknya dengan membantu menekan pemborosan, selanjutnya bisa memberi kontribusi dengan menaikan harga saham bagi bank-bank yang go-public melalui perbaikan sistem untuk melawan kecurangan, melaksanakan, dan prosedur program memberantas kecurangan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan adanya standar yang harus dipahami dan dipatuhi oleh segenap manajemen dan karyawan. Standar ini meliputi adanya ; Organisasi: Adanya aturan, responsibilitas dan akuntabilitas untuk pencegahan dan mendeteksi kecurangan serta langkah recovery atas kerugian dan harus jelas didefinisikan serta dikomunikasikan kepada semuanya level.

Policy: Adanya kebijakan dan standar dibuat untuk semua risiko kecurangan. Perbaikan: Bisnis harus belajar dari kesalahan yang terjadi. Pengetahuan: Adanya transfer dan penyebaran pengetahuan yang merupakan suatu best practice agar pihak-pihak di bank punya pemahaman dan pengetahuan bahwa kecurangan itu buruk dan harus diberantas. Manajemen Risiko: Kelengkapan dan konsitensi dalam proses untuk mengukur, mengendalikan dan melaporkan risiko-risiko kecurangan merupakan bagian yang integral dari operasional bisnis perbankan yang dilakukan. Solusi: Adanya contact point untuk peningkatan dan mendalami issue kecurangan Kultur: Harus ada upaya peningkatan perhatian terhadap kecurangan melalui pelatihan, serta adanya penghargaan pada yang berprestasi serta sanksi pada yang bersalah. Keputusan: Mengidentifikasi risiko untuk memperkirakan keputusan yang tepat dari tiap tingkatan manajemen Standar seperti ini merupakan fondasi untuk membangun program pencegahan kecurangan yang efektif. Hal kritis yang harus dipahami para manajer adalah risiko yang paling penting yang ada dihadapannya. Apabila tidak ada keinginan untuk menggali lebih jauh atau adanya toleransi terhadap kemungkinan kecurangan, maka hal ini akan memperbesar bank menghadapi risiko yang potensial. Karenanya hal ini perlu masukan dari direksi, dewan komisaris, Bank Indonesia, risk manager, compliance dan manager lini dalam bank. Deteksi Kecurangan Tujuan utama dari deteksi ini adalah mengidentifikasikan kerugian atau mencoba untuk mengetahui penyebab kemungkinan kesempatan kerugian lebih dini dan sehingga dapat menekan jumlah kerugian. Hal in termasuk ; Penggunaan alat atau teknik untuk secara pro-aktif mengidentifikasikan kecurangan seperti o Menyaring dan meneliti data akuntansi dan data lainnya o Melakukan review terhadap kecurangan dengan fokus pada area yang spesifik. o Melakukan pemetaan risiko dan melakukan penilaiannya. o Membangun sistem baik berdasarkan inttilegent or knowledge based system. Adanya hot-line dari karyawan yang terjaga kerahasiaannya dalam pelaporannya.

Adanya personnel security (Ternasuk skrining untuk pegawai baru dan re-skrining dari pagawai bank yang ada, terutama yang duduk pada posisi yang sensitif) Investigasi Dan Recovery Langkah ini merupakan upaya untuk mencoba melakukan recovery untuk menekan kerugian dengan efektif dan efesien dari berbagai kejadian yang merugikan. Sebuah produk dari proses recovery adalah juga belajar dari kesalahan dan pengidentifikasikan ancamanancaman, dalam hal ini termasuk unsur manusianya, prosesnya atau prosedur untuk membangun langkah-langkah prefentif atau menekan kemungkinan berulangnya kejadian tersebut. Recovery ini termasuk ;

Investigasi yang terbuka dan tersembunyi, dilakukan diam-diam, wawancara serta dukungan manajemen secara profesional. Adanya hubungan internal dan eksternal dalam pelaporan, termasuk pada regulatornya. Menjadikannya suatu issue manajemen intern, termasuk crisis management. Presentasi temuan kepada direksi dan senior manajemen, dan bila dianggap perlu bisa dilakukan juga pada pihak eksternal rgulator, seperti BI dsb. Mengidentifikasikan kelemahan prosedur atau perbedaannya dengan sistem dan prosedur yang berlaku, membuat action plan untuk meredakan issue ini. Melakukan transfer pengetahuan (yang merupakan best practice untuk pembelajaran dari kejadian ini) melalui program pelatihan. Implementasi dari sasaran Program Pencegahan Kecurangan Pengimplementasian program manajemen risiko kecurangan disarankan perlu dirumuskan dan dilakukan dengan baik. Memang tidak semua elemen diperlukan dan mekanisme di setiap unit kerja yang sebenarnya sudah ada perlindungannya sendiri juga. Hal yang penting adalah tindakan selanjutnya, bila semua sudah tersedia di bank untuk mencapai sasarannya, maka dengan pencegahan terhadap terjadinya kecurangan, ini merupakan perlindungan terhadap uang dan kekayaan bank yang sangat berharga. Review lanjutannya adalah penilaian dan penyesuaian terhadap peraturan dan pelaksanaannya yang berjalan agar selalu melindungi bisnis bank dan harus memberikan manfaat yang kompetitif. (TPT)

Legal Audit Legal Audit pada umumnya dapat didefinisikan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang Legal Auditor untuk tujuan atau kepentingan tertentu baik bagi kepentingan internal maupun eksternal (klien). Rangkaian data di sini dapat berupa antara lain : mempelajari dokumen-dokumen hukum/data-data (terutama data-data hukum), menyusun/mengelompokkan dokumen, memeriksa kelengkapan dokumen (keaslian/keberlakuan) termasuk bila dianggap perlu mengecek kebenaran dokumen (on the spot) ke lapangan/instansi/pejabat yang berwenang. Kalangan Pasar Modal, Lembaga Keuangan dan Perbankan adalah badan yang selalu melakukan Legal Audit, khususnya untuk Pasar Modal, Legal Audit dilakukan oleh Kantor Hukum/Pengacara yang mempunyai sertifikat khusus/register terdaftar BAPEPAM, sedangkan untuk Lembaga Keuangan dan Perbankan, biasanya Legal Audit tersebut digunakan dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan atau fasilitas kredit dan itu dilakukan oleh petugas/pejabat lembaga keuangan/perbankan tersebut yang sering dikenal dengan sebutan Legal Officer. Hasil pemeriksaan Legal Audit biasanya didampingi oleh Finansial Audit ataupun Managemen Audit yang pada akhirnya memberikan data yang lengkap tentang kondisi suatu usaha atau perusahaan baik kepada masyarakat umum (jika Legal Audit dilakukan untuk kepentingan Go Public suatu Perusahaan di Pasar Modal) atau dalam rangka penyertaan dana/pemberian fasilitas kredit. LEGAL AUDIT DALAM RANGKA PENYERTAAN SAHAM Pada umumnya transaksi penyertaan saham yang akan mengakibatkan terjadinya peralihan control daripemegang saham lama kepada pemegang saham baru memerlukan dilakukannya Legal Audit (Legal Due Deligence DCD) atas perusahaan target. Bentuk dan ruang lingkup dari Legal Due Deligence yang dijalankan oleh Konsultan Hukum pada dasarnya berbeda dari satu transaksi ke transaksi yang lainnya, yang sering kali tergantung dari faktor besarnya nilai transaksi yang akan dijalankan. Pada dasarnya Legal Due Deligence dijalankan dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu Checklist atas dokumen-dokumen yang perlu untuk diperiksa dan dalam hal tertentu dilakukan juga kunjungan lapangan secara langsung (check on the spot)atas harta kekayaan perusahaan target. Check List tersebut pada dasarnya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Perseroan Dokumen-dokumen Korporasi, antara lain: a. Akta pendirian beserta seluruh perubahan-perubahan yang dibuat dihadapan Notaris, dan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman RI, serta diumumkan dalam Berita

Negara RI. b. Akta dan/atau perjanjian di bawah tangan tentang jual beli saham perseroan yang terakhir dan persetujuan RUPS perusahaan target atas jual beli saham tersebut. c. Akta tentang susunan terakhir pengurus Perusahaan target. d. Daftar pemegang saham. Daftar khusus dan contoh Surat Kolektif saham dan status pembebanan dari saham-saham yang telah dikeluarkan penuh. 2. Perizinan Dokumen-dokumen yang menyangkut izin-izin yang dimiliki Perusahaan target, antara lain: a. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI Wajib Daftar Perusahaan (Tanda Daftar Perusahaan) Surat Izin Usaha Perdagangan Angka Pengenalan Importir Terbatas (jika ada) b. Surat Keterangan Domisili, antara lain dari lurah setempat dan pengelola gedung. c. Izin Usaha dari Departemen Teknis yang bersangkutan sehubungan dengan kegiatan usaha perusahaan target, antara lain : Izin Lokasi Izin Tempat Usaha berdasarkan UU gangguan (HO) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Izin Penggunaan Bangunan (IPB) Izin untuk Pabrik AMDAL Izin Pengelolaan Limbah Izin Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (UKL dan UPL) d. Serta izin-izin lainnya yang dimiliki perusahaan target. 3. Harta Kekayaan Dokumen-dokumen yang merupakan bukti kepemilikan perusahaan target atas : a. Barang tidak bergerak, yaitu tanah dan banguanan beserta Akta Pelepasan Hak, Akta Jual Beli, Sertifikat-sertifikat tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). b. Barang bergerak antara lain kendaraan bermotor (bus, mobil, motor, dll), mesin-mesin, asset-asset lainnya, berupa Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan surat-surat lain yang menyatakan bukti kepemilikan atas asset-asset tersebut c. Hak Milik Intelektual (paten, hak cipta dan merk dagang) 4. Pajak dan Asuransi

a. Dokumen-dokumen perpajakan perusahaan target; Nomor Pokok Wajib Pajak GSK (NPWP) Keterangan Pengusaha Kena Pajak (PKP) b. Dokumen-dokukem asuransi Polis asuransi standar kebakaran Indonesia (Fire Insurance), pertanggungan terhadap bangunan, mesin-mesin dan asset-asset lainnya Polis Asuransi Kendaraan Bermotor (bus, mobil, motor, dll) (Motor Vehicle Insurance) 5. Tenaga Kerja GSK Dokumen-dokumen yang menyangkut ketenagakerjaan; a. Daftar Laporan dalam rangka wajib lapor ketenagakerjaan. b. Peraturan Perusahaan yang disahkan oleh Menaker (jika ada) c. Berita Acara PHK massal (jika ada) 5. Perikatan-perikatan a. Dokumen kerjasama kontraktual yang metrial, yaitu kerjasama antar perusahaan target dengan pihak ketiga, seperti misalnya; 1. Perjanjian Kredit 2. Perjanjian Sewa Guna Usaha 3. Perjanjian Kerjasama Perjanjian Pengelolaan/Managemen Perjanjian Kerjasama Operasional (joint operation/concortium) Perjanjian Kerjasama Pembagian Keuntungan (Profit Sharing) Perjanjian Kerjasama Pembiayaan (Modal Ventura, Anjak Piutang, dll) 4. Perjanjian Penggunaan Merek (bila ada) 5. Perjanjian Lisensi dan Bantuan Teknik 6. Perjanjian Distribusi/Kontrak Keagenan 7. Perjanjian Pemasokan Bahan Baku 8. Kontrak Produksi 9. Perjanjian Sewa Menyewa 10. Perjanjian Jual Beli 11. Perjanjian Material yang mengikat perusahaan target. b. Dokumen dari kerjasama patungan (Joint Venture) yaitu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mendirikan usaha patungan baik dengan pihak Indonesia maupun dengan investor asing, seperti dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas. c. Dokumen dari pembelian atau penyertaan saham perusahaan target pada perseroan terbatas lainnya. 6. Laporan Keuangan GSK Periode 1 Tahun Terakhir

Berdasarkan check list di atas dan setelah diperolehnya dokumen-dokumen yang diminta maka dapat disiapkan suatu Laporan Hasil Pemeriksaan Hukum LHPH dalam bentuk suatu Pendapat Hukum atau dikenal dengan LEGAL OPINION

Pidana Perbankan: Antara Asas Kolegial dan Vicarious Liability Penanganan kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan (tipibank) dalam suatu bank yang berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), perlu dipahami oleh penegak hukum mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organ PT, sehingga batasan tanggung jawab di dalam suatu perbuatan hukum yang memenuhi unsur tipibank dapat dipahami secara tepat dan memudahkan di dalam menentukan para pelaku dugaan tipibank. Ada perbedaan pandangan para penegak hukum terkait penerapan hukum di dalam penanganan suatu kasus, misalnya dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, dengan beberapa direktur di dalamnya, asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya akan kontradiktif dengan asas kolegial dalam hukum perusahaan yang termaktub dalam UU No.40. tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bagi ahli hukum pidana kecenderungan bahwa hanya pelaku yang secara langsung melakukan kesalahan yang akan dipidana dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain. Sedangkan dalam hukum perusahaan, secara jelas dan tegas, setiap pihak memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat dimungkinkan bahwa karena kewenangannya, suatu pihak, misalnya direksi, harus bertanggung jawab atas nama PT. dalam suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan. Berkembangnya wacana pemberlakuan vicarious liability yang menjadi perhatian sekaligus kekuatiran praktisi perbankan, merupakan kajian menarik dan penting dalam penanganan kasus tipibank. Doktrin yang diadopsi dari common law tersebut menyatakan bahwa Korporasi/ perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi dapat dipersalahkan meskipun tindakan yang dialakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol (Prof. Dr. Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan pertanggungjawabannya-2006). Hal tersebut berarti bahwa pemidanaan tidak selalu didasarkan kepada adanya unsur kesalahan, yang berbeda dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pandangan sebagian besar penegak hukum mengenai asas Ambelijk bevel atau perintah jabatan yang termaktub dalam Ps. 51 ayat 1 KUHP, sering digunakan untuk mengintepretasikan perbuatan hukum para pegawai bank yang turut melakukan tipibank atas tekanan dan paksaan atasan. Walaupun sesungguhnya asas tersebut digunakan dalam perintah untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan/ wettelijk voorschrift, bagi pejabat publik. (Prof. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia-1967). Namun, pada umumnya dengan penerapan asas tersebut kurang tepat kiranya di dalam penanganan kasus dugaan tipibank yang dilakukan pada bank umum dan BPR.

Atas beberapa hal yang telah dikemukakan tersebut di atas mengenai adanya perbedaan pandangan, kontradiksi antara penerapan lapanagan hukum pidana dan keperdataan merupakan topik bahasan yang menarik dan perlu dikaji, demi kemajuan yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Catatan: Bagi teman-teman yang sedang menyusun skripsi beberapa hal ketentuan dalam UU PT yang baru dan konsep maupun asas lama mengenai hukum perusahaan maupun mengarah pada hukum pidana dapat dijadikan bahan kajian. Perlu adanya terobosan yang membedah irisan antara dua lapangan hukum, bahkan lebih.

ISTILAH ISTILAH KREDIT DALAM DUNIA PERBANKAN 1. Committer Line Penyediaan fasilitas kredit yang telah di setujui untuk jumlah plafond, jangka waktu dan hal hal lain yang sudah dituangkan dalan Perjanjian Kredit ( PK ). Bank memberikan komitmen kepada debitur untuk memenuhi permintaan kreditnya hingga platfond dan jangka waktu tertentu. 2. Uncommitted LinePenyediaan fasilitas kredit yang telah di setujui untuk debitur tertentu dalam platfond tertentu yang tidak di tuangkan dalam PK. Bank tidak mempunyai komitmen untuk memenuhi permintaan kredit kepada debitur 3. PlatfondBatas maksimal fasilitas kredit yang di berikan Bank kepada debitur sesuai PK 4. Baki Debet ( Outstanding )Saldo debet dari fasilitas yang telah di tarik debitur 5. DebiturOrang yang mendapatkan fasilitas dari Bank 6. RevolvingFasilitas kredit yang dapat di tarik berulang kali hingga batas platfond yang ditentukan. Setiap ada pembayaran sebagian/seluruhnya untuk melunasi outstanding fasilitas kredit, maka jumlah fasilitas kredit uang bersangkutan dapat di tarik kembali hingga batas platfond yang di tentukan 7. Non Revolving Fasilitas kredit yang di tarik hingga batas platfond yang ditentukan dan penarikannya tidak dapat dilakukan berulang kali. Setiap ada pembayaran sebagian / seluruhnya untuk melunasi outstanding, maka jumlah kredit yang bersangkutan tidak dapat di tarik kembali. 8. Back to backFasilitas kredit dengan agunan berupa bilyet deposito Bank yang di gunakan untuk modal kerja, penarikan dana fasilitas kreditnya harus di lakukan secara sekaligus hingga batas platfond yang di berikan. 9. AgunanAgunan adalah asset yang harus di sediakan debitur dan di serahkan kepada Bank sebagai jaminan atas fasilitas kredit yang di nikmatinya. Dalam hal debitur tidak mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk melunasi utangnya sesui dengan yang di perjanjikan (wanprestasi), maka agunan kredit di gunakan sebagai alternative terakhir untuk pelunasan kredit yang di berikan ( lelang )

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan UNTUK kesekian kalinya, industri perbankan kita dinodai perilaku tidak terpuji dari pemiliknya sehingga Bank Indonesia akhirnya harus mencabut izin operasional dua bank, yaitu Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic. Jika melihat kasusnya, sebenarnya tidak canggih karena BI dapat mendeteksi permasalahannya sudah sejak lama. Dengan demikian, yang patut dan menarik dipertanyakan, mengapa perilaku tidak terpuji pemilik bank masih saja dapat terjadi di tengah gencarnya seruan implementasi manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik. TINDAKAN Bank Indonesia (BI) mencabut izin dua bank itu jelas merupakan edukasi yang luar biasa bagi pemilik maupun pengurus bank untuk lebih serius dan hati-hati dalam mengelola bank. Juga bagi deposan agar lebih selektif menerima tawaran menyimpan uang di bank. Penyebab di balik terjadinya perilaku yang tidak terpuji pada kedua bank tersebut disinyalir karena didorong adanya kepemilikan saham mayoritas di satu tangan pada kedua bank tersebut (I Gusti Made Oka pemegang saham 85-90 persen Bank Dagang Bali dan Tong Muk Keng menguasai 80-90 persen saham Bank Asiatic). Pada tahun 2003, perbankan kita sempat diguncang mega skandal surat kredit (L/C ekspor) di Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun dan kecurangan di Bank BRI yang berpotensi menimbulkan kerugian sekitar Rp 294 miliar. Modus operandi di kedua bank BUMN itu pada dasarnya sama, kolusi antara pegawai bank yang berniat melakukan korupsi dan pihak ketiga di luar bank. Adapun motif kecurangan yang terjadi di BDB dan Bank Asiatic baru-baru ini agak berbeda. Kecurangan yang dilakukan pemilik bank bermotif untuk menilep dana pihak ketiga melalui rekayasa pemberian kredit dengan jaminan negotiable certificate deposit atau melalui pembelian obligasi yang diterbitkan perusahaan satu grup. Tujuan transaksinya untuk menutupi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada perusahaan satu grup (Kompas, 10/4). Jika dicermati, komposisi kepemilikan saham dengan jenis kecurangan yang sering timbul di masing-masing bank dapat ditarik suatu pola hubungan keterkaitan, sebagaimana diuraikan di dalam tabel. Walaupun dua modus kecurangan di bank BUMN dan bank swasta dilakukan dua pihak yang berbeda (di satu sisi dilakukan pegawai bank dan di sisi lain pemilik bank), kerugian yang ditimbulkan mungkin relatif sama saja. Jika dilihat dari tabel, kecurangan di bank BUMN umumnya dilakukan pegawai bank yang berkolusi dengan pihak ketiga di luar bank. Pegawai di bank BUMN cenderung tidak terlalu peduli dengan kekuasaan yang dimiliki pemegang saham karena pada dasarnya Menteri Keuangan selaku pemilik bank BUMN bukanlah principal (pemilik), namun lebih banyak sebagai quasi agent (Mohamad Iksan, Kompas 13/3). Akhirnya, di bank BUMN kurang dirasakan eksistensi pressure group

(kelompok penekan) yang diharapkan mampu mendorong pegawai bank melaksanakan tata kelola perusahaan secara baik. Di bank swasta (baik yang telah tercatat di bursa maupun yang belum) yang mayoritas sahamnya dimiliki satu pihak, pada umumnya kecurangan yang timbul justru dilakukan pemilik bank. Pada bank tersebut, pemilik saham mayoritas dapat berperan sekaligus sebagai direksi maupun debitor bank. Begitu dominannya kekuatan pemegang saham mayoritas di bank itu, tak satu pun kekuatan internal yang dapat mencegah perilaku jahat pemilik, termasuk dalam menilep uang nasabah penyimpan. Kecurangan perbankan paling jarang terjadi di bank yang telah listed dan distribusi kepemilikannya cukup menyebar. Pada bank seperti itu proses penunjukan pengurus bank pada umumnya dilakukan secara profesional sehingga sistem dan prosedur operasional perbankan dapat ditegakkan dengan baik. Jika masih terjadi kecurangan di bank semacam itu, biasanya dilakukan dengan teknik sangat canggih yang tidak dapat dideteksi pihak internal bank secara dini. Beberapa pemikiran Menghadapi berbagai bentuk kecurangan perbankan pada berbagai kategori bank, kiranya perlu dirumuskan kembali upaya-upaya untuk mencegah terulangnya kasus kecurangan perbankan melalui berbagai cara. Misalnya, pertama, perlu segera ditetapkan batas maksimum kepemilikan saham bank di satu tangan. Sudah saatnya bagi BI segera memberlakukan batas kepemilikan saham oleh satu pihak di perbankan. Pembatasan ini bukanlah hal baru bagi perbankan di beberapa negara. Munculnya kekhawatiran akan gagalnya proses divestasi saham perbankan nasional jika BI memberlakukan pembatasan kepemilikan saham sebenarnya merupakan hal yang dibesarbesarkan. Komposisi kepemilikan saham yang cukup tersebar pada berbagai pihak jelas akan efektif mencegah terjadinya moral hazard pemilik bank untuk campur tangan dalam operasional perbankan serta akan menciptakan saling kontrol di antara pemegang saham (built in control). Kedua, pengawasan BI harus lebih diperkuat, khususnya pengawasan melalui tim on site supervision (OSP) yang selama ini dirasakan sebagai cara efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan di perbankan. Ketiga, pengenaan premi penjaminan simpanan wajib diikuti bank-bank yang berisiko tinggi, namun pengenaan tingkat preminya yang berbeda-beda. Pengenaan premi tinggi untuk bank yang berisiko tinggi diharapkan menjadi stimulus bagi bank tersebut untuk terus berusaha memperbaiki profil risiko banknya. Keempat, perbankan harus mulai menumbuhkan budaya kontrol, khususnya terhadap lingkungan sesama pegawai. Jika di suatu unit kerja terjadi kecurangan (khususnya KKN), hendaknya pegawai berusaha mencegah perbuatan itu agar bank terhindar dari kerugian.

Harus ditanamkan kepada seluruh pegawai bank bahwa kecurangan yang diperbuat oleh seorang pegawai akan berdampak pada kerugian yang akan menyebabkan seluruh pegawai menderita. Contohnya di Bank Asiatic dan BDB, terjadi PHK. Kelima, bank-bank harus didorong untuk segera go public, salah satu cara mendorong perbankan untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan benar, sekaligus menyebar komposisi kepemilikan saham. Namun, go public ini bukan sekadar kosmetik, menjual saham ke masyarakat dengan porsi kurang dari 50 persen. Bank adalah lembaga kepercayaan yang diperkenankan hidup dengan tingkat leverage sangat tinggi sehingga kepentingan masyarakat penabung harus mendapatkan perlindungan agar terhindar dari kecurangan yang dilakukan para pelaku yang terlibat dalam pengurusan bank.

Bahan Hukum Perbankan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia : Bank adalah usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalulintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut UU N0. 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan Pasal 1 (2) : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pengertian Perbankan : Pasal 1 (1) UU No. 10/1998 : perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan Bank Lembaga Keuangan Lembaga keuangan terdiri dari dua jenis yaitu : - Lembaga keuangan bank - Lembaga keuangan bukan bank Adalah suatu badan yang melakukan kegiatan dibidang keuangan berupa usaha menghimpun dana, memberikan kredit, sebagai perantara dalam usaha mendapatkan sumber pembiayaan, dan usaha penyertaan modal, semuanya dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui penghimpunan dana terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga. Lembaga bukan bank beroperasi dibidang pasar uang dan modal Segi usaha pokok yang dilakukan yaitu : - sektor pembiayaan pembangunan berupa pemberian kredit jangka menengah/panjang serta melakukan penyertaan modal. - Usaha ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang-bidang tertentu seperti memberikan pinjaman kepada masyarakat berupa pegadaian. Perbedaannya dengan bank. Lembaga keuangan bukan bank tidak diperkenankan menerima simpanan baik dalam bentuk giro, deposito maupun tabungan. Penghimpunan dana hanya dapat dilakukan dengan pengeluaran kertas berharga. Jenis Lembaga Keuangan Bukan Bank yaitu : 1. Asuransi 2. Lembaga pembiayaan 3. Pegadaian 4. Penyelenggara dana pensiun Sumber Hukum perbankan Undang-Undang Dasar 1945 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang perbankan UU No. 23 Tahun 1999

UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan UU Kepailitan Peraturan Pemerintah Surat Keputusan presiden Keputusan Menteri Keuangan Surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia Peraturan lainya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan, misalnya : Peraturan Menteri Agraria mengenai Hipotik dan Credietverband, dan sebagainya. ASAS DAN FUNGSI BANK I. ASAS Asas Perbankan Indonesia dapat dapat diketahui dalam UU No. 10/1998 tentang Perbankan pada Pasal 2: Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai prinsip kehati-hatian sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan, tidak ada penjelasan secara resmi, tetapi kita dapat mengemukakan bahwa bank dan orangorang yang terlibat didalamnya, terutama dalam membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya wajib menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat. Selain itu bank dalam menjalankan usahanya harus selalu mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten dengan didasari oleh itikad baik. II. Fungsi Diatur dalam Pasal 3 UU N0. 10/1998 : Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dari ketentuan ini terlihat fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds). JENIS DAN USAHA BANK I. JENIS JENIS BANK Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan membagi bank dalam dua jenis, yaitu : 1. Bank Umum Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran 2. Bank Perkereditan Rakyat. Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank umum kepemilikannya mungkin saja dimiliki oleh negara (pemerintah daerah), swasta asing, dan

koperasi sedangkan BPR hanya dimungkinkan dimiliki oleh negara (pemerintah daerah), swasta dan koperasi saja. Jenis bank dari segi kepemilikannya 1. Bank milik negara 2. Bank milik pemerintah daerah 3. Bank milik swasta baik dalam negeri maupun luar negeri 4. Bank koperasi PERIZINAN DAN BENTUK- BENTUK HUKUM BANK Perizinan Bank Pengaturan perizinan sangat penting dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama terhadap nasabah penyimpan dan simpanannya. Mengenai perizinan UU Perbankan telah mengatur dalam Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) yaitu : Pasal 16 (1) : Setia pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkereditan rakyat dari pimpinan bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang. Syarat Untuk Memperoleh Izin Pasal 16 (2) : Untuk memperoleh izin usaha bank umum dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang : a. susunan organisasi dan kepengurusan b. permodalan c. kepemilikan d. keahlian dibidang perbankan e. kelayakan rencana kerja. Pasal 16 (3) : Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. BENTUK HUKUM BANK Setelah berlakunya UU Perbankan, jenis bank hanya dikenal dua macam yaitu : 1. Bank Umum. 2. Bank Perkereditan Rakyat ( Pasal 5) Ketentuan tentang bentuk hukum bank menurut UU No. 10 Tahun 1998, yaitu sebagai berikut : Bentuk hukum Bank Umum - Perseroan terbatas (PT) - Koperasi

- Perusahaan Daerah (Pasal 21 ayat (1)) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang berkedudukan diluar negeri adalah mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya. (Pasal 21 ayat (3). Bentuk Hukum Bank Perkreditan Rakyat - Perusahaan Daerah - Koperasi - Perseroan Terbatas - Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah Bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat lebih banyak dari pada Bank Umum dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi penyelenggara lembaga perbankan yang lebih kecil dari Bank Perkreditan Rakyat, seperti Bank Desa, Badan Kredit Desa, dan Lembaga-lembaga lainya sebagaimana dimaksud Pasal 58 UU Perbankan. Pendirian Bank Umum hanya dapat didirikan oleh : - Warga Indonesia - Badan Hukum Indonesia - Warga negara Indonesia dan atau Badan Hukum Indonesia dengan warga negara asing atau Badan Hukum asing secara kemitraan (Joint Venture) (Pasal 22 ayat (2)) Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemilikannya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara ketiganya. PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDIRIAN Persyaratan dan tata cara pendirian Bank Umum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum. Pasal 5 Kep. Direksi B I mengemukakan bahwa pemberian izin Bank Umum harus melalui dua tahapan : 1. Tahapan Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan bank yang bersangkutan. 2. Tahapan pemberian izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa sebelum memperoleh izin usaha, pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usahanya. Ketentuan ini memberikan pemahaman bahwa untuk sahnya kegiatan usaha bank harus terlebih dahulu adanya izin usaha dari Bank Indonesia. Untuk mendapatkan persetujuan prinsip pemohon wajib melampirkan : - rancangan anggaran dasar; - daftar calon pemegang saham, susunan Direksi dan Dewan Komisaris; - rencana susunan organisasi; - rencana kerja; - bukti penyetoran sekurang-kurangnya sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal setor

Untuk mendapat izin usaha pemohon wajib menyampaikan laporan kesiapan pendirian bank dengan melampiri: - anggaran dasar yang sudah disahkan. - Daftar pemegang saham, susunan Direksi dan Dewan Komisaris - Susunan organisasi - Bukti pelunasan seluruh modal. Modal Bank Pada prinsipnya sumber modal dari suatu bank terdiri dari empat sumber yaitu : 1. Modal yang bersumber dari bank sendiri Yaitu modal dari para pemegang saham (pendiri bank) yang terdiri dari modal setor yang disebut modal tetap, karena tidak setiap saat dapat diambil. Sedang Bank Pemerintah modalnya terdiri dari dana/uang yang disisihkan dari anggaran belanja. 2. Modal yang bersumber dari masyarakat Adalah Merupakan simpanan dari masyarakat yang dikelola oleh bank dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh keuntungan, yang berupa : a. simpanan giro b. simpanan deposito c. tabungan 3. Modal yang bersumber dari Bank Indonesia Adalah modal yang dikucurkan Bank Indonesia melalui fasilitas kredit kepada bank-bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. 4. Modal yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Modal yang termasuk dalam hal ini berupa : - Pinjaman antar Bank - Call Money adalah dana talangan yang bersumber dari lembaga keuangan bank. Merupakan dana dalam rupian yang dipinjamkan oleh bank lainya dalam jangka waktu 7 hari yang setiap waktu dapat ditarik kembali oleh bank yang meminjamkan tanpa dikenakan suatu pembebanan. - Pinjaman Dana dari luar Negeri Penghimpunan Dana oleh Bank Penghimpunan dana merupakan jasa utama yang ditawarkan oleh dunia perbankan baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan bank dalam usahanya menghimpun dana antara lain meliputi : 1. Simpanan Giro. Pengertian Giro menurut Pasal 1 butir 6 UU Perbankan adalah : Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan. Dari pengertian tersebut dapat ditarik dua pemahaman tentang giro, yaitu : - penarikan dapat dilaksanakan setiap saat, yang berarti bahwa penarikan simpanan dalam bentuk giro dapat dilakukan oleh si penyimpan, pemilik girant tersebut setiap saat selama kas bank buka. - Cara penarikan menggunakan cek dan bilyet giro. Namun dengan batas-batas tertentu penarikan dalam bentuk lain seperti sarana perintah pembayaran lain dan pemindah bukuan dapat dilakukan.

2. Deposito. Deposito menurut Pasal 1 butir 7 UU Perbankan adalah : simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Jenis-jenis deposito : a. Sertifikat Deposito. Yakni deposito berjangka yang bukti penyimpanannya dapat diperdagangkan. b. Deposito On Call. Yakni deposito yang pengambilannya berdasarkan pemberitahuan terlebih dahulu (sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan Bank); c. Deposito Otomatic Rolled Over. Yakni deposito yang terus berjalan atau perpanjangan otomatis. 3. Tabungan. Pengertian Tabungan dimuat dalam Pasal 1 butir 9 UU Perbankan Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan itu. Ada 2 unsur yang dapat dikemuakan dari pengertian tersebut yaitu : - simpanan dalam bentuk tabungan hanya dapat dilakukan sesuai dengan persyaratan tertentu yang telah disepakati oleh nasabah penyimpan bank. - Dalam hal penarikan simpanan dalam bentuk tabungan dapat dilakukan secara langsung oleh sinasabah penyimpan atau orang lain yang dikuasakan olehnya dengan mengisi slip penarikan yang berlaku dibank yang bersangkutan. Penarikan simpanan dalam bentuk tabungan tidak dapat dilakukan dengan mempergunakan cek, bilyet giro, dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan itu. Aspek Hukum Pemberian Kredit Uang yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa tabungan, giro, atau deposito, pada akhirnya diedarkan kembali oleh bank. Misalnya lewat pasar uang (money market), pendepositoan, Investasi dalam bentuk lain, dan terutama dalam bentuk pemberian kredit. Pengertian Kredit Secara etimologis istilah kredit kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Sedangkan menurut UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Pasal 1 butir 11 dirumuskan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian diatas menunjukkan bahwa prestasi yang diwajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Kredit diberikan atas dasar kepercayaan, oleh karena itu dengan adanya pemberian kredit berati adanya kepercayaan. Makna kepercayaan tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu telah ditertentu sesuai dengan kesepakatan. Didalam ilmu perbankan dikenal adanya unsur-unsur kredit yang terdiri atas : a. Kepercayaan, berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan jangka waktu diperjanjikan. b. Waktu berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu. c. Degree of risk, berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung risiko didalamnya yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang waktu kredit semakin tinggi resiko kredit. d. Prestasi disini berarti bahwa setiap kesepakatan antara bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi Pemberian kredit oleh bank mempunyai resiko yang tinggi karena begitu kredit sudah berada ditangan debitur, pihak bank akan sulit untuk mengetahui dan mendeteksi uang tersebut. Sehingga mungkin saja terjadi sesuatu yang tidak dimungkinkan dikemudian hari. Dasar-Dasar Pemberian Kredit Dalam menyalurkan kredit, bank harus melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat yang lazim dikenal dengan prinsip (The five Cs of Credit Analysis) Yang merupakan dasar pemberian kredit, yaitu : a. Caracter (watak) Sasaran penilian terhadap nasabah (debitur) adalah kemapuan mengendalikan usaha, prospek masa depan usaha, produksi dan pemasaran. b. Capacity (kepampuan) Sasaran penilaian terhadap nasabah (debitur) adalah kemapuan mengendalikan usaha, prospek masa depan usaha, produksi dan pemasaran. c. Capital (modal) Kredit bank pada dasarnya hanya merupakan modal tambahan. Nasabah (debitur) harus sudah mempunyai modal awal tergantung dari jenis kegiatan usaha. Namun biasanya besar modal awal minimum 20 persen dari total dana yang dibutuhkan. d. Collateral (agunan/jaminan) Jaminan merupakan salah satu unsur perjanjian kredit, jaminan diperlukan untuk memberikan keyakinan pada bank bahwa nasabah (debitur) sanggup mengembalikan pinjaman sesuai dengan perjanjian. oleh karena itu besarnya jaminan dalam perjanjian kredit minimal 100 persen dari nilai kredit. e. Conditio of economy (kondisi perekonomian/prospek usaha debitur) Penilaian diutamakan pada situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi keadaan ekonomi dalam kurun waktu tertentu. Keadaan perekonomian disini adlah perekonomian negara, nasabah (debitur), maupun keadaan perekonomian bank pemberi kredit. Disampin ke 5 prinsip pemberian kredit tersebut diatas bank pada dasarnya memberikan kredit kepada nasabah harus berpedoman pada : Prinsip kehati-hatian (prundential principle) yaitu ;

Bank dalam menjalankankegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman pada menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan. Penggolongan Kredit Bank Istilah tersebut adalah untuk menunjukkan penggolangan kredit berdasarkan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas kredit tersebut. Menurut SK Direktur Bank Indonesia no. 30/267/KEP/DIR tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kredit Lancar, yaitu apabila memenuhi kriteria : Pembayaran angsuran pokok atau bunga tepat; Memiliki mutasi rekening yang aktif; atau Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai 2. Kredit dalam perhatian khusus, yaitu apabila memenuhi kriteria : Terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang belum melampaui 90 hari; Kadang-kadang terjadi cerukan; Mutasi rekening relatif rendah; Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang di perjanjikan; atau Didukung oleh pinjaman baru. 3. Kredit kurang lancar, yaitu apabila memenuhi kriteria : Terdapat tunggakan angsuran pokok atau bunga yang telah melampaui 90 hari; Sering terjadi cerukan; Frekuensi mutasi rekening relatif rendah; Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; 4. Kredit diragukan, yaitu apabila memenuhi kreteria : Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari; Sering terjadi cerukan yang bersifat permanen; Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; Terjadi kapitalisasi bunga, Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan. 5. Kredit Macet, apabila memenuhi kriteria : Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. PERJANJIAN KREDIT Istilah Perjanjian Kredit pertamakali dikemukakan dalam Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/10/1996 jo SE Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/UPK/Pemb/1966 Tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. Pengertian perjanjian menurut pakar hukum : Mariam Darus Badrulzaman : perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang, sebab

keberadaan perjanjian kredit bank ini didahului oleh adanya perjanjian pinjam meminjam yang merupakan perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. R. Subekti : Dalam bentuk apapun juga perjanjian kredit itu diadakan, pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata (Pasal 1754 sampai pasal 1769). Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa : - perjanjian kredit bank hanya terjadi dalam perjanjian pinjam uang saja - perjanjian kredit bank hanya terjadi dilingkungan perbankan antara nasabah dengan bank atau dengan bank sentral atau lain perkataan yang terjadi dilingkungan perbankan. ###

You might also like