You are on page 1of 5

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA

Ditulis oleh Zaenul Mahmudi Senin, 05 April 2010 09:29

A. Latar Belakang Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya. [1] Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional. Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga peran politik. B. Berdirinya MUI Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari. Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam, tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para dai menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk menderikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena: a) Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam, dan b) Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama. Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.

1/5

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA


Ditulis oleh Zaenul Mahmudi Senin, 05 April 2010 09:29

Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafii, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat. Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim. [2] Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka. Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid 5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar [3] C. Urgensi Majelis Ulama Indonesia Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam. Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim. Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang

2/5

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA


Ditulis oleh Zaenul Mahmudi Senin, 05 April 2010 09:29

dihadapi umat. D. Metode Penetapan Fatwa Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi: 1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mutabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. 2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yang mutabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzariah. 3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. 4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan. [4] Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya. Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi: Pasal 3 1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan. 2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qathiy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Quran dan Sunnah. 3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Pasal 4 Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan

3/5

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA


Ditulis oleh Zaenul Mahmudi Senin, 05 April 2010 09:29

pendapat dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa. Pasal 5 1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF). 2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas. 3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya. 4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut. Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional. Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam. [5] E. Fenomena di Lapangan Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten. Dalam pengamatan Atho Mudzhar, ada fatwa yang langsung merujuk kepada hadits, tanpa meninjau ayat al-Quran, ada pula fatwa yang langsung merujuk kepada kitab fikih, tanpa melihat kepada sumber yang lain, dan ada juga fatwa yang tidak memberikan dasar dan argument sama sekali, namun langsung menyebut dictum fatwa tersebut, sebagaimana kebolehan memutar film The Message karena tidak memperlihatkan wajah Nabi Muhammad. [6] Padahal banyak hadits yang berisi larangan untuk melukis wajah Rasulullah, namun dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut hadits ini tidak ditampilkan. Fatwa mengenai kehalalan daging kelinci juga tidak dilakukan menurut dasar dan prosedur yang benar, SKF ini hanya menampilkan hadits yang ada di kitab Nail al-Authar, tanpa menyebutkan keumuman ayat. Berdasarkan kajiannya terhadap fatwa MUI antara tahun 1975 1988 atau dari 22 fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI, Atho Mudzhar mengatakan bahwa kebanyakan fatwa MUI didasarkan kepada qiyas, karena qiyas memang ampuh untuk memecahkan permasalahn baru yang belum ada nashnya di dalam al-Quran dan Hadits. Namun, dalam pandangannya penerapan qiyas tidak tepat, seperti adanya ketidaksamaan illat antara maqis fih dan maqis alaih. Seperti keputusan MUI mengenai kebolehan membudidayakan kodok yang diqiyaskan dengan menyamak kulit. Ketidaktepatan tersebut adalah karena pembudidayaan kodok adalah

4/5

MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA


Ditulis oleh Zaenul Mahmudi Senin, 05 April 2010 09:29

untuk dimakan, sementara penyamakan kulit hanya untuk dipakai saja. Padahal menurut Atho Mudzhar, pembudidayaan kodok atau makan daging kodok lebih tepat apabila diqiyaskan dengan pembudidayaan dan memakan kepiting. [7] Dalam menetapkan hukum pembudidayaan kodok, yang tujuan akhirnya adalah dimakan, maka perlu diputuskan dahulu mengenai kehalalan kodok tersebut. Memakan daging kodok adalah diharamkan menurut mazhab Syafii, namun diperbolehkan menurut mazhab Maliki. Faktanya MUI menghalalkan pembudidayaan kodok, namun mengharamkan untuk memakannya. Pembudidayaan kodok diperbolehkan untuk mengambil manfaatnya, namun tetap tidak boleh dimakan. [8] Permasalahannya mengapa MUI tidak langsung mengambil pendapatnya Imam Malik yang membolehkan memakan daging kodok, yang berarti juga boleh membudidayakannya, baik diambil manfaatnya maupun untuk dimakan. MUI dalam prakteknya juga mendasarkan kepada madzhab yang berada di luar mainstream madzhab yang berada di Indonesia ketika MUI mengambil pendapat madzhab Zahiri dalam menetapkan keharusan musafir untuk melaksanakan shalat Jumat. [1] Mohamad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990, hal. 92 [2] http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami tanggal 6 Nopember 2008 [3] Ibid [4] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5 [5] Ibid, hal. 7 [6] H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134 [7] Ibid, hal. 135 [8] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan., hal. 207-208

5/5

You might also like