You are on page 1of 18

Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan

PENDAHULUAN Zakat adalah ibadah maliyah ijtimaiyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan masyarakat) dan merupakan salah satu dari lima rukun islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syariat islam, sehingga al-Quran menegaskan kewajiban zakat bersama dengan kewajiban sholat di 82 tempat (ayat). Dan Allah telah menetapkan hukum wajibnya, baik dengan kitab-Nya maupun dengan sunnah rasul-Nya serta ijma dari umatnya. Sebagaimana kita ketahui zakat hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan wajib dikeluarkan setiap panen yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) yang mana tanaman dan buahbuahan itu ditanam di tanah miliknya sendiri, maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil tanaman-tanamannya dan buah-buahannya, akan tetapi jika hasil bumi itu ditanam di atas tanah sewaan, maka siapakah yang wajib menzakati hasil bumi yang disewakan tersebut, pemilik tanah atau penyewa tanah? Dan berapakah zakat yang harus dikeluarkan? Dan masalah inilah yang akan kami bahas dalam makalah kami ini.

PEMBAHASAN Para ulama telah sepakat mewajibkan zakat atas hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buahbuahan yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada setiap panen, berdasarkan Al-Quran surat Al-Anam ayat 141: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun, delima yang serupa dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berubah, dan tunaikanlah haknya (zakat) pada hari memetik hasilnya Dan surat Al-Baqarah ayat 267: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu Presentasi zakatnya adalah 10% bagi tanah yang tadah hujan, tanpa alat memetik atau tanpa biaya dan 5% bagi tanah yang yang mendapat air dengan alat memetik atau dengan biaya, berdasarkan hadist nabi (dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi saw. Bersabda: Tanam-tanaman yang dialiri oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri, zakatnya sepersepuluh, dan yang dialiri dengan alat penyiram seperduapuluh.(Hadist riwayat Bukhari dan lain-lain) Kedu ayat diatas dari surat Al-Baqarah dan Al-Anam menunjukan bahwa semua hasil bumi wajib dizakati tanpa ada terkecuali termasuk pula hasil yang terkena pajak, tanaman keras seperti cengkeh, tanaman hias seperti bunga anggrek, semua jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Dan zakat bumi ini berkaitan dengan masa panennya bukan setahun sekali tetapi bisa lebih dari sekali, jika bisa panen lebih dari sekali setahun dan sebaliknya bisa lebih dari setahun sekali zakatnya, jika tanaman itu panennya lebih dari setahun. Ulama hanya mewajibkan zakat atas empat macam hasil tanam-tanaman dan buah-buahan yang ditetapkan berdasarkan nas itu tidak berarti bahwa selain empat macam hasil bumi tersebut bebas zakat sama sekali. Sebab apabila selain empat macam hasil bumi yang ditetapkan zakatnya berdasarkan nas hadist itu ditanam untuk dijadikan komoditi perdagangan, maka sudah tentu

wajib dizakati atas nama perdagangan (2,5% setahun) bukan zakat hasil pertanian/perkebunan, misalnya cengkeh, tebu dan kopi. Maka dari itu, apabila hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan ditanam diatas tanah sewaan, siapakah yang wajib menzakati hasil tanah yang disewakan, pemilik tanahkah atau penyewa tanah yang mengeluarkan zakathasil tanahnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut: 1. Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, jika ada orang yang menyewa sebidang tanah lalu ditanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya dengan tanaman yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban mengeluarkan zakat dibebankan kepada penyewa atau orang yang meminjam tanah itu, bukan kepada pemilik tanah karena sesungguhnya zakat itu diwajibkan atas tanaman. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya. (QS. Al-Anam : 141) Adalah tidak adil bila kewajiban zakat diberikan kepada pemilik tanah sebab zakat dikenakan atas tanamannya, dengan demikian dia berkewajiban mengeluarkan zakat karena menanami tanahnya. Begitulah keterkaitan antara zakat, tanah, dan tanamannnya. Mahmud Syaltut memperkuat pendapat jumhur dengan alasan bahwa beban zakat berkaitan dengan hasil tanamannya, sehingga zakatnya itu sebagai pernyataan syukur yang bersangkutan atas hasil tanaman yang baik, selamat dari musibah banjir, hama wereng dan sebagainya. 2. Abu Hanifah berpendapat, pemilik tanah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya, sebab tanah itulah asal mula timbulnya kewajiban zakat, tiada tanah tiada pulahasil tanaman. Madzab Maliki dan Syafii tidak sepakat dengan Abu Hanifah, mereka mengatakan,kewajiban zakat tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh dan yang menikmati hasil tanah itu adalah pinak penyewa. Oleh karena itu pihak penyewa dibebani untuk membayar zakat sebesar sepersepuluh dan dia dianggap sebagai peminjam, akan tetapi kita harus meminta fatwa imam untuk melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada. Bila kewajiban zakat atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin, kewajiban itu mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama mutaakhirin. Berkata Ibnu Rusyd,sebab pertikaian mereka adalah, apakah zakat itu kewajiban tanah atau kewajiban tanaman, ataukah kedua-duanya, yakni tanah dan hasilnya. Nampaknya Jumhur melihat kepada harta benda yang wajib dizakati, ialah berupa hasil tanaman itu, sedangkan Abu Hanifah melihat kepada harta benda yang menjadi asal mula timbulnya kewajiban zakat yaitu tanah. Maka dari itu Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya,zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan, dan mengeluarkan tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri. Jalan yang baik dan aman dalam pandangan agama adalah zakat dikeluarkan oleh pemilik tanah dan penyewa walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak sama besarnya. Mungkin si pemilik tanah yang lebih besar atau sebaliknya atas kesepakatan bersama pada saat di buat perjanjian sewamenyewa, dapat juga dengan cara bahwa pemilik tanah mengeluarkan zakat dari hasil sewanya bila telah mencapai nisab, demikian juga penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil tanah yang dikelolanya, dengan jalan ini baik pemilik tanah maupun penyewanya telah bersih jiwanya atau dirinya. Begitu pula dengan harta yang diperoleh pemilik tanah (sewanya) dan penyewa (hasil tanah yang diolah) telah bersih dari hak orang lain didalamnya. Dengan cara ini tidak ada helah atau upaya dari masing-masing pemilik dan penyewa membebaskan diri dari kewajiban zakat, namun kuncinya sangat tergantung kepada kesadaran kedua belah pihak.

Akan tetapi dari pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan di atas bahwa yang berhak mengeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah atau yang memiliki tanaman tersebut yang mana sesuai dengan pendapat jumhur yang lebih kuat yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dan juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik, Imam SyafiI, ats-Tsauri Ibnui-mubarak, Abu Tsaur dan golongan fuqaha lainnya. Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan darinya ialah 10% atau 5% tergantung dari tanahnya apa diairi dengan alat mekanik (dengan biaya) atau tidak, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/disepakati para ulama berdasarkan hadist Nabi.

KESIMPULAN Maka dari itu kami menyimpulkan zakat hasil bumi (tanah) berupa tanam-tanaman ataupun buah-buahan apabila ditanam diatas tanah sewaan yang wajib megeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah bukan pemilik tanah sesuai dengan isi dari pembahasan makalah kami dan diperkuat dengan pendapat-pendapat ulama, karena zakat itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin dan kewajiban itu harus dilaksanakan atau zakatnya dikeluarkan oleh pemilik tanah dan penyewa sesuai atas kesepakatan bersama pada saat dibuat perjanjian sewa-menyewa. Sedangkan zakatnya yang harus dikeluarkan sebesar 10% (sepersepuluh) apabila diairi tanpa mmenggunakan alat atau tanpa biaya dan 5% (seperduapuluh)apabila diairi dengan menggunakan alat atau dengan air yang dibeli.

DAFTAR PUSTAKA Masud, Ibnu, Abidin, Zaenal, Fiqih madzhab syafiI buku 1 ibadah, Bandung: Pustaka Seta, 2005 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994 Hasbi, T.M. Ash Shiddiqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002 Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Malang: Toko Gunung agung, 1994

( ZAKAT KASB AL-AMAL WA AL-MIHAN AL-HURRAH ) (Link Sponsor) : 762 - Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu lalu kamu infaqkan dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS Al-Baqarah, 2:267) A. Pendahuluan

Zakat adalah salah satu syariat yang menjadi sendi tegaknya Islam (min arkan al- Islam). Syariat ini selain mempunyai dimensi kesalehan kepada Allah (habl min Allah) juga mempunyai dimensi social (habl min al-naas). Tujuan disyariatkannya untuk menciptakan kesejahteraan umat secara merata, sekaligus untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan mensucikan jiwa dari bermacam-macam sifat tercela. Kebanyakan kaum muslimin dalam memahami masalah zakat masih terfokus pada pembahasan fiqh yang memandangnya sebagai masalah ritual semata (ibadah mahdhah) dan statis, belum menyentuh pada masalah-masalah social yang berkembang sekarang ini. Kategori orang kaya adalah orang-orang yang memiliki sapi 30 ekor, atau memiliki kambing 40 ekor, atau memiliki unta 5 ekor, atau memiliki gandum, beras, jagung, kurma dan anggur sebanyak 5 wasaq, atau memiliki emas 20 dinar/misqal atau perak murni sebanyak 200 dirham. Karena sector ekonomi yang mendominasi masyarakat zaman klasik adalah sector peternakan, pertanian, perkebunan dan perniagaan yang menggunakan standar emas dan perak. Hasil profesi atau hasil kerja seperti pegawai negeri dan swasta, dokter, pengacara, konsultan, notaries dan sebagainya belum dikenal di zaman klasik sebagai suatu sumber penghidupan yang menjanjikan kesejahteraan. Dengan demikian Ulama Salaf tidak banyak mempersoalkan masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi dan hasil kerja tersebut, terutama yang berhubungan dengan masalah zakat. Lain halnya dengan bentuk-bentuk kasab tradisional seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perniagaan yang sudah popular di masyarakat zaman itu, maka bidang-bidang ini telah mendapat perhatian para Ulama sehingga mendapat porsi pembahasan lebih luas yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Ulama kontemporer seperti Muhammad Abu Zahrah, Yusuf Qardhawi dan Wahbah Zuhaili melakukan pembahasan terhadap bentuk-bentuk kasab di bidang jasa seperti dokter, pengacara, konsultan, notaries, seniman, artis, pegawai negeri atau swasta dan sebagainya dan mengaitkannya dengan kewajiban zakat. Tampaknya struktur masyarakat kaya dan miskin saat ini mengalami perubahan mendasar. Kata amwal atau harta dipahami oleh orang Arab zaman klasik adalah binatang ternak. Dengan demikian orang kaya adalah orang yang banyak memiliki binatang ternak. Sekarang orang kaya bukan hanya orang yang memiliki ternak banyak

atau memiliki lahan ratusan hektar, tetapi para pejabat tinggi negara, pemimpin perusahaan, pemimpin partai politik dan pekerja-pekerja profesonal yang memperoleh harta yang banyak. Dalam kehidupan modern kasab model ini lebih menjanjikan kesejahteraan, sementara kasab model tani, ternak dan nelayan terkesan sebagai kesederhanaan. Patutkah zakat dibebankan kepada orang-orang ini sementara orang-orang yang mempunyai pendapatan lebih besar tidak dibebani? B. Pengertian Zakat Profesi

Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Quran maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab, 6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris profession yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud zakat profesi dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya. Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb alamal). Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaries, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2:865-866). C. Dasar Hukum Zakat

Dasar hukum kewajiban zakat secara umum diseebutkan baik dalam Al-Quran maupun AlHadits yang antara lain sebagai berikut :

34 -

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS Al-Baqarah,2:43)

304 -

Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS At-Taubah,9:103)

: -

Rasulullah SAW bersabda: Agama Islam didirikan di atas lima pilar, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan (HR Bukhari Muslim) Dan dasar hukum zakat profesi dapat diambil dari mafhum ayat dan hadits sebagai berikut :

762 -

Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (QS AlBaqarah,2:267)

333 -

Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacammacam itu) apabila ia berbuah dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) (QS Al-Anam,6:141)
: : , , , , , -

Dari Ibnu Abbas RA berkata: bahwa ketika Nabi SAW mengutus Muadz ke negeri Yaman beliau memberikan amanat (kepadanya): Sesungguhnya engkau akan menghadapi masyarakat Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah; apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima kali sehari semalam; apabila

mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka. Apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka kamu hendaklah berhati hati, jangan mengambil yang baikbaiknya saja dari harta mereka, dan hindarilah doa orang-orang yang teraniaya, karena antara doanya dengan Allah tidak ada hijab (HR Sejumlah besar Ahli Hadits) Beberapa ayat dan hadits tersebut menunjukkan kewajiban zakat dan tujuan serta teknis penarikannya. Dalam garis besarnya obyek zakat meliputi keseluruhan hasil usaha (min thayyibati ma kasabtum) dan keseluruhan komoditas yang mencakup flora dan fauna (min ma akhrajna lakum min al-ardli). Dan pada prinsipnya sistem zakat adalah sistem pemerataan kesejahteraan masyarakat yang diatur melalui penarikan harta dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin. D. Tujuan dan Manfaat Zakat

Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat di atas, bahwa secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan sekali gus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara social menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi.
: , : -

Dari Anas RA berkata: Seorang dari Suku Tamim menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: Hai Rasulullah aku mempunyai harta yang banyak dan mempunyai keluarga yang banyak pula serta banyak tamu-tamu yang datang, maka berikanlah aku petunjuk bagaimana sebaiknya aku beramal dan berinfaq? Maka Rasulullah memberikan petunjuk: Keluarkanlah zakatnya dari hartamu itu, karena dengan mengeluarkan zakatnya kamu dapat membersihkan (harta dan jiwamu), dan kamu dapat mempererat tali kekeluargaanmu, serta kamu mengerti hak-hak fakir miskin, hak-hak tetangga dan hak-hak orang yang meminta-minta (HR Ahmad) Hadits ini memberikan petunjuk singkat mengenai tujuan dan manfaat zakat harta, baik tujuan teologis maupun tujuan sosialnya. Allah memberikan rizki kepada hambanya berbeda-beda, ada yang diberi kemudahan-kemudahan dan ada yang diberi kesulitan dan kesukaran. Yang demikian sudah menjadi sunnatullah, tujuannya agar saling membutuhkan (QS AzZukhruf,43:32). Seorang suku Tamim diberi harta yang melimpah dan mempunyai tanggungan keluarga yang banyak. Di samping itu banyak pula orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bantuan. Rasulullah SAW memberikan petunjuk agar dikeluarkan zakatnya sehingga secara proporsional harta yang digunakan untuk keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang memperkokoh persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah (1989,II:732-733) antara lain :

1. Menghindari kecemburuan social sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat. 2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya. 3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mumin yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan. 4. Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki. Bukankah banyak orang yang telah bekerja keras dan membanting tulang tetapi rizkinya pas-pasan. B. Kewajiban Zakat Profesi Perubahan masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. Misalnya seperti pejabat tinggi negara, pimpinan partai politik, pegawai negeri, pegawai perusahaan, perbankan, penerbangan, angkutan umum, transportasi, telkom dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan secara rutin yang cukup besar pada setiap bulannya. Atau seorang pegawai professional yang memberikan pelayanan tanpa terikat oleh kontrak dan waktu seperti dokter praktek, pengacara, konsultan, kontraktor, seniman dan sebagainya yang memperoleh bayaran atau imbalan jasa yang besar pada setiap kegiatan. Semua usaha ini umumnya lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang sekarang sudah mulai tidak diminati orang. Inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka tidak diwajibkan membayar zakat? Sementara para petani tradisional yang pengahasilannya relatif kecil dibebani kewajiban zakat? Ada beberapa pandangan Ulama dalam masalah ini baik dari kalangan shahabat maupun tabiin sebagai berikut: F. Ulama yang mewajibkan zakat profesi :

1. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa telah sah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau mewajibkan zakat pada setiap harta yang wajib dizakati pada waktu dimiliki oleh seorang muslim (Al-Muhalla, VI:83).

2. Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yarim bahwa Abdullah Ibnu Masud memungut zakat gaji prajurit (al-atha) yang terjadi dalam beberapa peperangan kecil (Fiqh alZakat, I:500) 3. Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama memungut zakat dari gaji (al-athiyah) adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (Al-Muwatha, I:207). Ini mungkin maksudnya orang pertama dari kalangan Khalifah yang memungut zakat dari gaji pegawai, karena sebelumnya Abnu Masud sudah melakukan hal itu. Dalam riwayat Abu Ubaid bahwa Muawiyah apabila menyerahkan gaji pegawainya diambil zakatnya. Demikian pula apabila membagi-bagikan harta terlantar yang dikuasai oleh negara (radd al-madzalim) kepada masyarakat dipungut zakatnya juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz (Khalifah al-Rasyidin ke lima) selalu mengeluarkan zakat dari gaji (al-atha) dan honorarium (al-jaizah). Bahkan sampai kepada honor dan hadiah yang diberikan kepada delegasi sebagai imbalan jasa atau suatu prestasi dipungut zakatnya. Ulama Tabiin yang lain yang memandang wajib mengeluarkan zakat dari gaji dan pendapatan lainnya (al-mal al-mustafad) ialah Az-Zuhri, Al-Hasan. Makhul dan Al-Auzaie Madzhab Ahlul Bait seperti An-Nashir, Ash-Shadiq dan Al-Baqir sependapat dengan Daud AdhDhahiri bahwa orang yang menerima gaji mencapai nisab harus mengeluarkan zakatnya seketika, tanpa menunggu haul (Fqh al-Zakat,I:502-503) Dari Imam Ahmad ada riwayat bahwa barang siapa yang menyewakan rumah atau tanah (iqar) dan harganya mencapai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya saat itu. (Al-Mughni, II:638) Asy-Syirazie dari kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa orang yang memperoleh uang sewa dari sebuah rumah dan telah mencapai haul maka zakatnya wajib dikeluarkan walaupun pihak penyewa belum memanfaatkan sampai habis masa kontraknya. Alasannya karena uang sewa tersebut telah menjadi milik penuh pihak yang menyewakan sama halnya dengan uang mahar bagi seorang wanita. Secara teknis An-Nawawie menjelaskan sebagai berikut: 1. Seandainya sebuah rumah dikontrakkan selama 4 tahun dengan uang sewa sebanyak 160 dinar, setiap tahun 40 dinar, maka membayar zakatnya pada tahun pertama 4 dinar, begitu pula tahun-tahun berikutnya harus membayar zakatnya sebanyak 4 dinar pertahun. Demikian ini jika uang zakat dibayar dari dana lain, tetapi apabila dibayar dari dana hasil sewaan rumah tersebut, maka tinggal dikurangi dengan jumlah pengeluaran tersebut. 2. Dibayar sesuai dengan jumlah uang sewa pertahun; tahun pertama 40 dinar, zakatnya 1 dinar; tahun kedua menjadi 80 dinar, zakatnya 2 tahun X 2 dinar = 4 dinar, tetapi karena sudah dibayar 1 dinar, maka membayarnya 3 dinar; tahun ketiga uang sewanya menjadi 120 dinar, maka zakatnya 3 tahun X 3 dinar = 9 dinar, tetapi karena sudah dibayar sebanyak 4 dinar, maka membayarnya 5 dinar; tahun keempat atau tahun terakhir uang sewanya menjadi 160 dinar, maka zakatnya 4 tahun X 4 dinar = 16 dinar, tetapi karena sudah dibayar 9 dinar, maka membayarnya hanya 7 dinar (Al-Thabah al-Kamilah min Kitab Al-Majmu, 5:508-509)

Ada yang menarik untuk dikaji dari pandangan Ulama Syafiiyah ini, yakni bahwa setiap pendapatan (income) yang diterima oleh seorang muslim, baik berupa uang hasil sewaan rumah atau uang mahar apabila mencapai nisab dan haul, maka wajib dibayar zakatnya. Hal ini bisa dianalogkan dengan pendapatan hasil profesi, karena kedua-duanya sama-sama menawarkan jasa dan pelayanan. G. Ulama yang tidak mewajibkan zakat profesi: 1. Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Uqbah bahwa dia bertanya kepada Qasim bin Muhammad tentang seorang budak yang membebaskan diri dengan membayar sejumlah besar uang, apakah harus membayar zakatnya? Qasim menjawab bahwa Abu Bakar al-Shiddiq tidak memungut zakat dari harta kecuali jika mencapai haul. Qasim memberikan penjelasan bahwa Abu Bakar apabila membayar gaji pegawai bertanya kepada mereka apakah mereka mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila mereka menjawab punya, maka beliau langsung memungut zakat harta itu, dan apabila menjawab tidak mempunyai, maka beliau menyerahkan gajinya tanpa dipungut apapun. a. Imam Malik meriwayatkan dari Umar bin Husain, dari Aisyah binti Qudamah, dari bapaknya bahwa bapaknya (Qudamah) menerangkan: apabila aku datang menghadap Utsman bin Affan untuk mengambil gaji beliau bertanya kepadaku: apakah kamu mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila aku menjawab ya, maka zakatnya dipungut langsung dari harta itu, tetapi apabila aku menjawab tidak, maka gajinya diserahkan kepadaku. b. Abdullah bin Umar mengatakan bahwa harta tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul (Al-Muwatha, I:206-207) c. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad) kecuali jika mencapai haul. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila seseorang mempunyai harta sebanyak 200 dirham pada awal tahun kemudian uang itu digunakan sampai habis hingga tinggal satu dirham saja tetapi sesudah itu kira-kira sesaat sebelum akhir tahun orang itu usaha lagi hingga memperoleh hasil 199 dirham, maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya karena secara keseluruhan pada awal dan akhir tahun harta tersebut mencapai nisab. d. Imam Malik menegaskan bahwa harta hasil profesi tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul, baik yang bersangkutan mempunyai harta lain yang sejenis yang wajib dizakati atau tidak. Demikian pula pendapat Imam Asy-SyafiI (Al-Muhalla, VI:84) H. Pendapat Ulama Kontemporer

Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :

1. Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal almustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil am atau mentaqyidi yang muthlaq. 2. Ulama shahabat dan tabiin telah berbeda pendapat mengenai zakat hasil profesi (almaal al-mustafad), sebahagian mereka mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya dikembalikan kepada otoritas nash : Apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (al-Hadits) 3. Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak. 4. Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya. 5. Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profeonal yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoyafoya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung. 6. Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat (Fiqh al-Zakat, I:505-509) I. Nisab Zakat Profesi dan Kadar Kakatnya

Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal

ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sector perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras dan kadar zakatnya 5-10% (Fiqh al-Zakat, I:483 & 510) Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sector pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,- atau 7.20 kwintal beras X Rp 2500,- = Rp 1.800.000,- sedangkan kadar zakatnya 10% yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 180.000,- atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha X 4 mud X 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup Qardhawi memberikan komentar barang kali Pembuat syariat menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru). Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya 90 gram emas atau Rp 8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram, maka 20 misqal/dinar = 90 gram, lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 6:1991) Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam. Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sector pertanian sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin. J. Cara Menghitung Nisab

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ada kalanya pegawai memperoleh gajinya secara rutin pada setiap bulan atau setiap minggu atau setiap dua minggu dan ada kalanya tidak menentu, misalnya seperti pengacara, konsultan, mediator, kontraktor, garmen dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan menunggu klien atau order yang masuk untuk dikerjakan. Untuk menghitung nisabnya ada dua cara: 1. Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar. Dengan demikian zakat hanya dibebankan kepada

pegawai tinggi dan para professional kelas menengah ke atas, tidak dibebankan kepada pegawi kecil yang menerima gaji atau hasil profesi pas-pasan. Ketentuan ini mempunyai landasan yang kuat sebagaimana telah dijelaskan oleh atsar Shahabat dan Tabiin di atas. 2. Dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (income) baik dari gaji maupun dari jasa profesi yang diterima berturut-turut dalam waktu yang berdekatan. Karena dalam prakteknya amat sedikit jumlah pegawai atau pekerja profesional yang menerima gaji atau memperoleh imbalan jasa sebesar satu nisab (apabila diukur dengan nisab usaha perdagangan, yaitu Rp 8100.000,- tetapi apabila diukur dengan nisab pertanian hanya berkisar Rp 1800.000,-). Dengan demikian sebahagian besar dari pegawai dan para professional terlepas dari kewajiban zakat. Adapun mengenai landasan hukumnya ialah seperti yang ditetapkan oleh Ahli Fiqih dalam nisab harta madin, jumlah perolehan yang satu digabungkan dengan perolehan yang lain dalam rangka menggenapkan nisab. Ulama Ahli Fiqh memang berselisih mengenai hukumnya menggabungkan hasil-hasil pertanian dalam satu tahun. Ulama Hanabilan berpendapat bahwa hasil-hasil pertanian yang satu digabungkan dengan yang lain dalam satu tahun walaupun berbeda jenis dan lokasinya untuk menggenapkan nisab. Dengan landasan ini bahwa satu tahun merupakan satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan sebagaimana dalam ketentuan adanya haul. Maka penggabungan jumlah gaji dan honor-honor yang diterima dalam satu tahun dapat ditetapkan dalam rangka menghitung nisab walaupun kenyataannya dibayar secara bertahap pada setiap bulan atau setiap transaksi (Fiqh al-Zakat, I:514-515) K. Cara Mengeluarkan Zakatnya

Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang cara penghitungan nisab, maka cara mengeluarkan zakatnya ada dua obsih : 1. Menganalogkan zakat profesi dengan zakat penghasilan bumi baik nisab maupun kadarnya karena kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka nisabnya senilai Rp 1.800.000,- dan zakatnya Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- dikeluarkan pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (watu haqqahu yauma hashadih). 2. Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas atau perdagangan secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab al-amal). Maka nisabnya Rp 8.100.000,- dan zakatnya Rp 202.500,- dengan memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan (haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan kepada materinya (al-ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi (Fiqh al-Zakat,I:519-520). 3. Ada pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu menganalogkan nisab dengan zakat pengahsilan bumi (Rp 1.800.000,-), alasannya untuk memberikan kemaslahatan kepada mustahik, dan menganalogkan kadar zakat dengan zakat emas atau perdagangan (2,5% X 1.800.000,- = Rp 45.000,-), alasanya untuk memberikan kemaslahatan kepada muzakki. L. Penutup

Masih banyak persoalan yang perlu dikaji dalam membahas zakat profesi ini, terutama yang menyangkut masalah teknis. Di samping kontroversi masalah haul, masalah penggabungan (aldhamm) dan pembebanan wajib zakat apakah pada benda (wujub ala al-ain) ataukah pada nilai (wujub ala al-qimah), juga masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan biaya operasional, kebutuhan keluarga dan pembayaran utang piutang makin sulit didefinisikan. Para Ulama mensyaratkan harta yang wajib dizakati adalah harta milik penuh, terlepas dari jeratan utang dan macam-macam kridit serta merupakan kelebihan dari kebutuhan hidup keluarganya. Sekarang sudah ada syarat tambahan, yaitu harus merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya operasional. Persyaratan-persyaratan ini adalah logic, karena dasarnya dari petunjuk Rasulullah SAW :

Tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya (HR Ahmad) Akan tetapi persoalannya adalah bagaimana mengukur kebutuhan-kebutuhan keluarga? Dalam teks-teks fikih kewajiban memberi nafkah kepada keluarga yang kaya (al-musir) hanya 2 mud dan keluarga miskin (al-musir) 1 mud. Dari asumsi ini ketentuan membayar fidyah atas pelanggaran norma tertentu hanya disuruh memberi makan orang-orang miskin untuk masingmasingnya hanya 1 mud, berapa nilainya? Sementara kebutuhan keluarga sekarang sudah tak terukur, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, listrik, kulkas, telephon, PAM dan lain-lainnya hingga sulit dihitung jumlahnya. Belum lagi mengkaji masalah utang-piutang, pada zaman klasik kasus utang umumnya untuk menutupi kebutuhan primair yang sangat mendesak (dlaruriyat), tetapi sekarang menyentuh kebutuhan sekunder (hajiyat) bahkan kebutuhan tersier (tahsiniyat). Banyak perusahaan yang memiliki pinjaman lebih besar dari pada jumlah saham, dan banyak pula orang-orang yang mempunyai kridit mobil, rumah mewah dan fasilitas lain yang serba lux yang harus dibayar dalam jumlah yang sangat besar dan diangsur bertahun-tahun lamanya. Tidak wajib zakatkah mereka? Marilah kita merenung, dan marilah kita mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, kemudian marilah kita beramal shaleh dan beramal shadaqah, minimalnya 2,5% dari rizki yang telah kita terima, mudah-mudahan Allah akan memberikan keberkahan-keberkahan kepada kita, sehingga rizkinya semakin bertambah dan amalnya semakin bertambah pula. Amin Mari Beramal Dengan Menyebarkan Artikel Ini :

ZAKAT GAJI DAN JASA PROFESI


Diposkan oleh KOmunikASI PENYIaRAN ISlaM Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook kata zakat asal bahasanya adalah "zakaah" kata zakat adalah isim masdhar, ada artinya perkembangan dan ada artinya pembersihan. Syekh husseinin Muhammad makluf mengemukakan: harta benda yang diberikan kepada orang orang fakir itu dinamakan zakat yang artinya perkembangan dan pembersihan, oleh karena mengeluarkan harta benda iyu menyebabkan bertambah berkembang dan mempernesar berkat kekayaan mereka, serta membersihkan dan penjagaan bagi orang yang memiliki kekayaan tadi dari bahaya dan kecurigaan yang menimpanya. Pengertian zakat menurut istilah ialah : memberikan sebagian arta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat. Jadikalau ditilik pula zakat menurut istilah agama islam adalah: kadar harta yang tertentu diberikan kepada yang behak menerimanya denganbeberapa syarat tertentu. B. PANDANGAN FIQIH TENTANG PENCARIAN DAN PROFESI Pencarian dan profesi dapat di ambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup nisabnya, jika kita berpegang kepada pendapat abu Hanifah, abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tetapi cukup tecapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah - tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk wajib zakat atas hasil pencarian sebagai sumber zakat, karena terdapat menetapkan hasil pencarian sumber zakat karena terdapat nya illat (penyebab), yang menurut ulama ulama fiqih, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat. Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegasakan , bahwa jarang seorang pekerja yang menghasilkan tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun ia wajib mengeluarakan zakat sesuai dengan nisab yang berumur setahun C. MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI Yang kita bicarakan disini adalah tentang "harta penghasilan" yang berkembang bukan dari kekayaan lain, tetapi karena penyebab bebas seperti upah kerja, investasi modal, pemberian dan semacamnya, baik dari sejenis dengan dengan kekayan lainnya yang ada padanya atau tidak. Berlaku jugakah kententuan setahun penuh bagi zakat kekayan hasil kerja ini? Ataukah di gabungkan dengan zakat dengan harta yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung saat harta tersebut di peroleh dan sudah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup nisabnya, bersih dari hutang dan lebih dari kebutuhan kebutuhan pokok? Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama fiqih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fiqih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak tiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis hadis mengenai ketentuan setahun tersebut dan penilaiyan bahwa hadist- hadist tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha, 1. Kelemahan Hadist Tentang Ketentuan Setahun Ketentuan setahun itu di tetapkan berdasarkan hadis-hadis dari empat sahabat, yaitu ali, ibnu umar, annas dan aisyah r.a, tetapi hadis hadis itu lemah, tidak biasa di jadikan landasan hukum. Hadist dari aisyah ..

. " tidak ada zakat ada suatu harta sampai lewat setahun, " diriwayatkan oleh abu Husein bin Basyran dari usman bin simak dari ibnu munadi. Hadis dari aistah diriwayatkan oleh ibnu majah, daruquthni, Baihaqi, serta uqaili dalam adzdzu'afa' di dalam sanatnya terdapat harisha bin abur rijal yang lemah Dengan penjelasan ini jelas bagi kita bahwa mengenai persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar hadis yang kuat dan berasal dari nabi saw apalagi mengenai "harta penghasilan" seperti yang dikatakan oleh Baihaqi. Bila berasal dari nabi saw maka hal itu, tentulah mengenai kekayaan yang bukan "harta penghasilan " berdasarkan jalan tengah dan dalil tersebut ini biasa di terima 2. Pendapat Yang Lebih Kuat Tentang Pengeluaran Zakat Penghasilan Pada Waktu Diterima Berhubungan dengan dengan status zakat dalam berbagai macam, diperhatikan hikmah yang dan maksud pembuatan syari'at tentang mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan umat islam pada masa sekarang ini, (maka saya berpendapat) hasil usaha seperti gaji pegawai, pendapatan dokter, insinyur mengerjakan provesi tetentu wajib terkena zakat persyaratan pertahun dan di keluarkan pada waktu diterima. Dalam masalah ini banyak pendapat para ahli yang beralasan dengan dalilnya sendiri sendiri yang memperkaya wawasan dalam ilmu fiqih, selanjutnya kita akan melihat bagai mana didalam buku prof. H.masjfuk zuhdi permasalahan ini akan dibahas. D. ZAKAT GAJI Yang disebut dengan gaji, ialah upah yang dibayar di waktu yang tetap dan di Indonesia gaji dibayar tiap bulan. Di samping gaji yang merupakan penghasilan tetap tiap bulan, seorang pegawai karyawan terkadang menerima honorium sebagai balas jasa terhapad sesuatu pekerjaan yang dilakukn di luar tugas pokoknya. Misalnya seorang dosen ptn mengajar beberapa fakultas yang melebihi tugas pokok mengajarnya ia berhak menerima honorarium atas kelebihan jam mengajarnya, Selain dari gaji dan honorarium yang biasa di terima oleh seorang pegawai karyawan negeri atau swasta, ada pula penghasilan yang jumlahnya relativ besar dan bisanya melebhi dari gaji resmi seorang pegaiwai negri yang golongan IV c, seperti pengacara, notaries, konsultan, dokter spesalis. Yang biasanya disebut white collar, ialah profesi modern yang tampakya dengan mudah mendatangkan penghasilan yang besar, Bagaimana cara menzakati harta dari penghasilan yang tetap (gaji resmi) penghasilan yang tidak tetap (honorarium) dan penghasilan yang semi tetap dari profesi-profesi modern, yang biasanya dilakukan bukan sebagai pengawai negri atau swasta, melainkan sebagai praktisi mandiri.

Zakat penghasilan tersebut termasuk masalah ijtihadi, yang perlu dikaji dengan seksama menurut pandangan hukum syari'ah dengan memperhatikan hikamah zakat dan dalil-dalil syar'i yang berkaitan dengan masalah zakat. Berdasarkan surat al-baqoroh ayat 276 . " hai orang orang beriman nafkahkanlah ( di jalan allah ) sebagian dari hasil usahamu yang baik baik." (al- baqoroh 276) Kata mengandung pengertian umum, apa saja menghandung pengertian umum , yang artinya apa saja jadi " artinya baik maka jelaslah, bahwa semua macam penghasilan (gaji, honorarium, dan lain-lainnya ) terkena wajib zakat berdasarka surat al-baqarah ayat 267 tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yang berupa sandang,

pangan, papan beserta alat-alat rumah tangga, lalat-alat kerja usaha dan kendaraan, dan lainlainnya, bebas dari beban utang, baik terhadap allah seperti nazar haji yang belum di tunaikan maupun terhapap manusia. Kemudian harta sisa harta masih mencapai satu nisab yakni senilai 93,6 gram emas dan telah genab setahun. Maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5% dari seluruh penghasilan yang masih ada pada akir tahun (haulnya ) Contoh menghitung zakat penghasilan dari gaji, honorarium, dan lain lain ialah: 1) Ibrahim adalah seorang dosen PTN golongan IV/b dengan masa kerja 20 tahun, dan keluarganya terdiri dari suami istri dan 3 anak penghasilan tiapa bulan : Gaji resmi dari PTN 400.000 Honorium PTN 25.000 Honorium dari beberapa PTS 225.000 Honorium lain-lain 50.000 Jumlah Rp 700.000,00

Pengeluaran tiap bulan: Keperluan hidup pokok keluarga 300.000 Angsuran kredit rumah perumnas 75.000 Dan lain-lain 75.000 Jumlah: Rp 450.000 Penerimaan : 700.000 Pengeluaran : 450.000 Sisa : 250.000,00 setiap bulan : setahun Rp 250.000 * 12 = 3000.000 dan sisa tersebut setiap bulan di tabanaskan / didepositokan di koperasi atau bank dengan bunga kuntungan 18% setahun maka perhitungan zakatnya ialah : 2,5% *( 3000.000,00 plus bunga deposito) = Sisa perbulan : 3000.000 Bunga bank : 540.000 Jumlah : 3540.000 2,5% dari 3540.000 adalah = Rp 88,500 bagi mereka yang mempunyai penghasilan yang cukup besar, atau mereka yang mempunyai profesi modern atau jabatan yang basah, maka disarankan agar mereka mengeluarkan zakatnya secara ta'jil artinya mengeluarkan sebelum waktunya dengan cara memotong 2.5% (sebagai zakat ) atas take home pay nya (gaji remi yang dibawa pulang) atau setiap seorang menerima rizki yang cukup melimpah, misalnya seorang kontraktor, konsultan, yang telah menyelesaikan proyek besar hendaknya sekaligus mengeluarkan 2,5% dengan niat zakatnya. Ta'jil zakat (mengeluarkan zakat sebelum waktunya) mereka yang mempunyai penghasilan besar untuk memudahkan perhitungan zakat, untuk meringankan perasaan si muzakki agar tidak ada rasa berat jika orang mengeluarkan zakat sekaligus pada akhir tahun (haulnya). Dengan demikian singkatnya islam memerintahkan kepada pemeluknya agar bekerja keras mencari rezki yang halal guna mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, baik kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani islam memberikan kebebasan kepada setiap individu muslim memilih usaha/pekerjaan dan profesi yang sesuai dengan bakat, keterampilan, dan keahlian masing-masing. Baik yang berat dan kasar yang memberikan penghasilan yang besar

seperti notaris, yang penting penghasilan itu di peroleh secara sah dan halal, bersih dari unsur pemerasan eksploitasi, kecurangan, paksaan menggunakan kesempatan dalam kesempitan, dan tidak membahayakan dirinya dan masarakat BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat sahih atau hasan yang darinya biasa siambil ketentuan hukum syara' yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang diakui kebenarannya. 2. para ulama memang berbeda pendapat dalam zakat penghasilan: sebagian mempersaratkan adanya masa satu tahun, sedangkan sebagian yang lain tidak mempersyaratkan satu tahun itu sebagai sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang muslim. 3. perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih baik dari pada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya di kembalikan pada kaedah kaedah yang lebih umum, misalnya firman allah swt " bila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada allah dan rasul (AN-Nisa')

You might also like