You are on page 1of 37

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini, yang berjudul : PERSPEKTIF AL QURAN DAN KESETARAAN GENDER DI INDONESIA Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Adapun tujuan dari penyusunan Makalah ini adalah untuk memperoleh nilai dan juga merupakan kurikulum yang ditetapkan bagi mahasiswa. Dengan terselesaikannya Makalah ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunannya. Penulis menyadari bahwa isi dari Makalah ini jauh dari sempurna, penulis berharap pembaca bersedia memberikan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Makalah ini.

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................... DAFTAR ISI...................................................... BAB I PENDAHULUAN


1.1 1.2

1 2 3 8

Latar Belakang Masalah................................. Rumusan Masalah.......................................... BAB II


2.1

PEMBAHASAN Islam.................................................. 9

Paham Kesetaraan Gender dalam Studi


Refleksi Teologi Islam mengenai Kesetaraan Gender........................................................... 17
Ide Kesetaraan Gender bertentangan dengan Kodrat Kaum Wanita...........................................

2.2

2.3

20

2.4

Demokratisasi dan masalah Kesetaraan Gender............................................... 23 PENUTUP

BAB III

3.1 Kesimpulan.......................................... 32 DAFTAR PUSTAKA........................................... 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico.[1] Kemudian pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) . Secara aklamasi , para peserta konferensi menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 30 pasal dalam 6 bagian yang bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut. Dan yang lebih menarik lagi, kesepakatan ini diperlakukan secara paksa kepada seluruh negara yang dianggap sepakat terhadapnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Barang kali sebagian orang menyambut gembira kesepakatan tersebut , karena menjanjikan kemerdekaan , kebebasan dan masa depan perempuan. Namun , tidak semua orang berpikir demikian, paling tidak bagi seorang DR. Fuad Abdul Karim, justru menganggapnya sebagai konferensi yang paling berbahaya yang ada kaitannya dengan perempuan. Beliau menemukan tiga indikasi yang mengarah kesana, yaitu :

Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan pada seluruh segi kehidupan , yang meliputi : ilmu pengetahuan , politik, ekonomi , sosial, budaya dan lain- lainya, tentunya dengan pola pikir Barat , yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang berlandaskan dua hal : kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak. Ketiga : Konferensi tersebut, merupakan satu satunya kesepakatan yang mengikat kepada seluruh negara yang ikut menandatanginya, dan harus melasanakan segala isinya, tanpa boleh mengritik pasal- pasal yang ada di dalamnya. Berhubung sebagian perempuan muslimat belum mau mengikuti pola pikiran barat tersebut, maka PBB telah menetapkan bahwa tahun 2000 M, merupakan batas terakhir untuk seluruh negara agar ikut menandatangani kesepakatan tersebut, sekaligus tahun itu di gunakan PBB untuk menetapkan langkah- langkah strategis agar wanita muslimah dengan segera mengikuti dan mempraktekkan kesepakatan tesebut. [2]

Salah satu langkah strategis yang di tempuh adalah sosialisasi istilah Gender . Istilah ini dilontarkan pertama kalinya pada konferensi Beijing. Pada waktu itu banyak negara dan utusan yang menolak istilah tersebut, karena tidak ada kejelasan. Ternyata dikemudian hari ditemukan bahwa Gender, secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial- budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki - laki dan perempun dari segi anatomi biologi. [3]

DR. Ishom Basyir, Menteri Penerangan dan Wakaf Sudan, menganggap bahwa sosialisasi istilah jender merupakan 4

langkah- langkah yang bertujuan untuk menghapus jati diri umat Islam dengan melalui jalur perundang-undangan. Menurut beliau, bahwa konsekuensi logis dari definisi jender di atas, adalah seorang perempuan berubah menjadi laki- laki, dan seorang perempuan bisa menjadi seorang suami dan menikah dengan perempuan lain. [4] Dari kenyataan tersebut , maka tidak aneh kalau DR. Fuad Abdul Karim memandang bahwa sosialisasi istilah jender ini bertujuan untuk melegitimasi praktek homosex, yaitu hubungan sex yang dilakukan antara sesama laki- laki ( gay ) ataupun sesama perempuan ( lesbian ) [5]

Masalah gender ini kemudian mendapat perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qatar, Yaman, Mesir, Tunisia dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada tahun 1984 , di tetapkan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada tahun 1999 di tetapkan Undang-Undang tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan menuju kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada tahun 2000, presiden mengeluarkan INPRES no. 9 tentang Gender Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang menekankan perlunya pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional : mulai perencanaan sampai tahap evaluasi.[6] Kemudian fenomena ini, dikuti dengan munculnya kajian- kajian ilmiah tentang gender, walupun masih relatif sedikit , diantaranya yang paling menyolok adalah Argumen Kesetaraan gender Perspektif Al Quran , karya DR. Nasarudin Umar, MA .

Namun sangat disayangkan, usaha- usaha untuk mengangkat derajat perempuan tersebut tidak dibarengi dengan kepekaan terhadap konspirasi international untuk menggulung umat Islam lewat isu gender dan minimnya bekal keilmuan agama. Sehingga, kadang terlalu semangatnya, bukan saja mereka mengkritisi masalah- masalah yang seharusnya memang wajar di kritik, tapi bahkan mereka berani mengkritisi hal- hal yang sudah baku dalam agama Islam, seperti masalah poligami , warisan, pemegang tanggung jawab dalam keluarga , hak tholak, hijab, dan lain-lainnya. . Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mendiskusikan kembali isu- isu tersebut , dan berusaha untuk menjawab syubhat- syubhat yang sering dilontarkan dengan menukil beberapa pernyataan ulama seputar isu- isu tersebut. Karena terbatasnya waktu dan tempat, penulis hanya membahas beberapa ayat gender , yang sering dijadikan menjadi bahan justifikasi oleh para pengusung isu gender. Diantaranya yang ada di dalam surat al Nisa.

SURAH AN NISA DAN KESETARAAN GENDER

Al Quran secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Quran yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.

Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama sama membicarakan wanita, yaitu surat Al Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al Nisa al Kubro , sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al Tholak, disebut surat al-Nisa al Sughro. [7]

Surat Al Nisa ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan. Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa kita dapatkan , bahwa Allahtelah menyamakan kedudukan laki- laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) .

Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Quran tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu tadafu ) , harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada 7

emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbedabeda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.

Al Quran telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapat di dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Jelaskan yang dimaksud Paham Kesetaraan Gender Bagaimana penjelasan terkait Al Quran tentang Bagaimana Mengapa refleksi ide teologi Islam mengenai menurut Hukum Islam ? Paham Kesetaraan Gender ? kesetaraan gender ? kesetaraan gender bertentangan dengan kodrat kaum wanita ? apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis menarik suatu rumusan masalah

5.

Sebutkan dan jelaskan masalah kesetaraan gender di serta bagaimana upaya Pemerintah untuk

Indonesia

menanggulangi masalah tersebut ?

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar ibn al-Khattab r.a, hendak mengadukan akhlak isterinya. Sesampainya di sana, dia berdiri menunggu di depan pintu. Tibatiba dia mendengar isteri Umar sedang ngomel-ngomel memarahi beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan isterinya. Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: "Jika saja seorang Amirul Mukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?" Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: "Apa keperluanmu?!" Dia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak isteriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku mendengar isterimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: "Jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan isterinya, lalu kenapa saya harus mengeluh?" Maka Umar berkata: "Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang isteriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Di samping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, aku bersabar atas segala pengorbanannya". "Wahai Amirul Mukminin, isteriku pun demikian", kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: "Bersabarlah wahai saudaraku, karena omelan istrimu itu hanyalah sebentar". Demikianlah kedudukan perempuan dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan suri tauladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka. Namun ternyata tidak sedikit umat Islam yang tidak perduli dengan teladan yang diberikan tokoh-tokoh terkemuka umat Islam dan justru terkesima dengan paham-paham yang berasal dari Barat. Paham feminisme dan kesetaraan gender misalnya, yang merupakan respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi 10

masyarakat Barat dalam menempatkan perempuan di ruang publik, justru marak didengung-dengungkan di dunia Islam. Padahal umat Islam memiliki tradisi, khazanah keilmuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda dengan Barat. Ini tentu tidak terlepas dari hegemoni Barat, yang memang pada zaman ini menjadi sebuah kawasan yang sedang maju dalam bidang teknologi, persenjataan dan pembangunan fisik-empirik lainnya, sehinga mempengaruhi kawasan-kawasan yang belum maju. Hal ini sudah menjadi sunnatullah bahwa pihak yang kalah akan meniru yang menang, sebagaimana disindir oleh Ibnu Khaldun (1332-1406M) dalam pernyataannya: "Si Pecundang akan selalu meniru pihak yang mengalahkannya, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadatnya". Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin kuat pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. Di Indonesia, feminisme bak sebuah franchise yang telah merasuk jauh kedalam lingkungan institusi-institusi pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan, diktat-diktat perkuliahan, beragam seminar dan pelatihan, serta tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi disusun untuk mendukung paham ini. Kuatnya pengaruh feminisme dalam pendidikan, di antaranya bisa dilihat dari festival Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Acara ini diikuti oleh utusan universitas-universitas Islam di Indonesia. Banyak 11

makalah tentang isu kesetaraan gender dibentangkan untuk mengkaji ulang hukum Islam yang berkenaan dengan hak-hak perempuan. Artikel ini secara ringkas akan difokuskan pada pembahasan kesetaraan gender dalam studi Islam, seperti metode mendudukkan al-Qur'an dalam kerangka jender, beberapa contoh hasil penafsiran feminis terhadap ayat-ayat al-Qur'an, serta diskripsi ringkas tentang perkembangan gerakan gender di perguruan tinggi. Namun demikian, kajian ini tidak menyinggung kasus-kasus yang bukan merupakan substansi paham kesetaraan gender, seperti pelanggaran hukum dan kriminal terhadap perempuan, serta pembelaan terhadap nasib buruh perempuan.

Definisi Feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis. Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender. 12

Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undangundang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan halhal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan. Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahanpermasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat. Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender --seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia--, adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat". Ada beberapa definisi jender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan kebudayaan. Perkembangan Wacana Kesetaraan Gender dalam Studi Islam di Indonesia Di atas telah disinggung sekilas tentang usaha-usaha membumikan paham kesetaraan gender di lingkungan pendidikan tinggi, seperti penyusunan kurikulum, diktat perkuliahan, tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi, serta penyelenggaraan seminar dan pelatihan. 13

Pada sub bab ini, penulis akan menguraikan sebagian kecil contoh dari gerakan feminisasi pendidikan, khususnya dalam penerbitan buku. 1) Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku yang diterbitkan atas kerjasama dengan McGill-ICIHEP ini merupakan kumpulan makalah yang menjadi bahan pengajaran mata kuliah gender di tingkat universitas. Buku ini menguraikan sejarah, konsep dan perkembangan fahaman feminisme, sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, metode penelitian berasaskan gender, analisis gender, dan kajian gender dalam Islam. 2) Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ditulis oleh Andayani, dkk., dan diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerjasama dengan Mc.Gill IISEP. Buku ini menguraikan panduan (guidance) untuk melaksanakan kaedah pengarusutamaan gender dalam strategi pembelajaran dan sistem manajemen di UIN Sunan Kalijaga. 3) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender ditulis oleh Aksin Wijaya. Buku ini asalnya merupakan tesis master di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menguraikan perlunya memandang al-Quran secara terpisah, antara kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut Aksin bahwa yang sakral dalam al-Qur'an hanyalah pesan Tuhan yang ada di dalamnya, dan itu pun masih belum jelas, karena masih dalam tahap pencarian. Oleh sebab itu tidak salah jika manusia bermain-main dengan mushaf al-Quran. 4) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menulis beberapa elemen dasar ajaran Islam yang mengukuhkan landasan teori gender melalui bukunya yang berjudul Gender Dalam Perspektif Islam. Di dalam bukunya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ini, dia menguraikan prinsip-prinsip tauhid dan ajaran Islam yang tidak membedakan jenis kelamin dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai pintu masuk untuk menjustifikasi kesetaraan gender. Di samping itu dia juga menjelaskan perlunya penafsiran ulang terhadap alQur'an dan al-Hadith. Ini karena tafsiran yang ada merupakan rekayasa dan konspirasi ulama untuk menempatkan perempuan sebagai korban, baik di dalam rumah tangga maupun di ranah publik. Penolakan terhadap formalisasi shari'ah di beberapa kawasan di Indonesia juga dibincangkan untuk menjamin adanya keadilan terhadap hak-hak perempuan.

14

5) Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (editor) mengedit kumpulan makalah yang diterbitkan dalam buku berjudul: Bias Jender Dalam Pemahaman Islam (Jilid I) dan Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Jilid II). Buku ini menguraikan adanya ketidakadilan jender dalam memahami teks-teks keagamaan. Kedua buku ini ditulis oleh para dosen IAIN Walisongo Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang merupakan aktivis di dalam Pusat Studi Jender (PSJ). Dengan menggunakan metode kritik sejarah dan hermeneutika, pemahaman terhadap al-Qur'an dan al-Hadith yang dipandang merugikan perempuan, dipermasalahkan kembali. Isu-isu berkenaan dengan hak perempuan sebagai wali kawin, imam shalat, pemimpin negara dan rumah tangga, relativitas batasan aurat perempuan, kebolehan perempuan pergi tanpa mahram, kesaksian perempuan setengah laki-laki, menolak perbedaan lelaki dan perempuan di dalam aqqah, air kencing bayi dan hak waris dibahas dalam perspektif gender. 6) Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah diedit oleh Waryono Abdul Ghafur, M.Ag dan Drs. Muh. Isnanto, M.Si. Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya Fiqh, Tafsir dan Hadith yang diajarkan di berbagai sekolah dasar hingga menengah yang dianggapnya menindas perempuan. Buku yang diterbitkan atas kerjasama antara PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP Jakarta ini merupakan salah sebuah upaya untuk menghilangkan unsurunsur patriarkhisme dalam kurikulum pendidikan. Isu-isu yang diangkat sebagai bentuk benih-benih penindasan terhadap perempuan di antaranya yaitu adanya ilustrasi gambar anakanak yang sedang mengerjakan ahrah, shalat berjama'ah, adhn, iqmah, puasa, tadarrus al-Qur'an, imam, aktivitas membangun masjid, memotong hewan kurban dan lain-lain didominasi laki-laki. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kritik terhadap pembedaan lelaki dan perempuan dalam gerakan shalat, pakaian irm, kurangnya ditampilkan perawi hadith dari kalangan perempuan, dst. Metode pembahasan yang digunakan dalam buku ini adalah analisis gender dan tafsir hermeneutika. 7) M. Nuruzzaman menulis buku berjudul Kyai Husein Membela Perempuan. Kajian buku ini awalnya merupakan tesis masternya di Universitas Indonesia di fakultas sosiologi. Dalam bukunya ini, dia menguraikan pandangan-pandangan Kyai Husein Muhammad, seorang kyai feminis di Cirebon, tentang paham kesetaraan gender. Pembahasan buku ini hanya terbatas kepada kajian kasus di kalangan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam klasik yang berwawasan gender dan menghargai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. 15

8) Zunly Nadia dalam bukunya yang berjudul Waria, Laknat atau Kodrat!?, menguraikan pembelaan terhadap eksistensi waria (mukhannath) yang terasing dari ruang sosial, budaya dan politik. Buku ini pada awalnya adalah hasil skripsi (tesis) sarjana S1 di fakultas Ushuluddin, bagian Tafsir Hadith. Argumen dan dukungan terhadap kaum waria dalam buku ini dilengkapi dengan teks-teks al-Qur'an dan al-Hadith, kemudian dipahami berdasarkan konteks realitas sosial masyarakat setempat. 9) S. Edy Santosa (Ed.,) mengedit kumpulan makalah dalam buku yang berjudul Islam dan Konstruksi Seksualitas. Buku ini awalnya merupakan himpunan kertas kerja dalam seminar Nasional yang berjudul: "Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan", yang diprakarsai oleh PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ford Foundation, 26-29 Juli 2000. Buku ini menguraikan berbagai realitas sosial dan tafsiran agama berkenaan dengan wujudnya diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. 10) Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menerbitkan buku berjudul Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Tela'ah Kitab 'Uqud alLujjayn melalui kerjasamanya dengan The Ford Foundation. Buku ini mengkritik Kitab 'Uqud al-Lujjayn yang ditulis oleh Syaikh Nawawi al-Bantani yang membahas hubungan suami-isteri, masalah-masalah rumah tangga, kewajiban dan hak suami-isteri, ibadah dan tingkah laku perempuan. Kajian buku ini hanya terbatas pada kritik dan ulasan terhadap hadith-hadith yang dipandang turut mengekalkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian membahasnya dengan pendekatan kontekstual melalui metode kritik sejarah. 11) Dr. Nasaruddin Umar, MA, menulis buku berjudul: Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an. Buku ini awalnya adalah tesis Ph.D-nya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Dia menguraikan kritik terhadap berbagai metode dan pendekatan dalam memahami teks keagamaan, seperti tafsir, 'Ulm al-Qur'n dan fiqh yang dinilainya bercorak patriarkhis. Metode pemahaman nas al-Qur'an dan al-Hadith yang ada sejak zaman Sahabat diklaim turut memberi dukungan atas munculnya ketidakadilan jender, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qir'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti (amr); penetapan batasan pengecualian; penetapan arti huruf 'af, pengaruh riwayat isra'iliyyat, ketidakadilan jender dalam struktur bahasa Arab, kamus bahasa Arab, metode tafsir, dan pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Kemudian dia mengusulkan perlunya metode dan pendekatan baru dalam memahami teks-teks wahyu, seperti metode kritik sejarah dan tafsir hermeneutis. 16

12) Srinthil, Media Perempuan Multikultural: merupakan jurnal yang membahas masalah-masalah perempuan dan hubungannya dengan agama dan realitas sosial. Edisi IV jurnal ini misalnya, mengangkat tema: "Ketika Aurat Dikuasai Surat". Di sini diuraikan tentang hak dan kebebasan perempuan yang dirampas oleh aturan-aturan agama dan perundang-undangan negara, termasuk hak perempuan berekspresi dalam bidang seni, hak memiliki suami lebih dari seorang, hak melakukan kawin kontrak (kawin mut'ah), dan isu-isu lainnya terkait dengan ketidakadilan gender dalam perkawinan. 13) Jurnal Perempuan merupakan media akademik yang terbit setiap 3 bulan untuk mendukung perjuangan kesetaraan gender. Kajian jurnal ini mencakup isu-isu gender yang dipandang merugikan perempuan, baik berkenaan dengan realitas sosial, pemikiran keagamaan, budaya, ekonomi atau politik. Sebagai media untuk menolak hegemoni patriarkhi, maka isu-isu yang dikaji berasaskan analisis dan perspektif gender, termasuk kajian tentang pemikiran Islam, seperti metode penafsiran, fiqh, ilmu hadith dan seumpamanya. 14) Diah Ariani Arimbi menulis tesis Ph.D di Fakulti Art and Social Sciences University of New South Wales berjudul Reading the Writings Contemporary Indonesian Muslim Women Writers: Representation, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian Fictions. Tesis ini menguraikan isu-isu perempuan tentang kesetaraan gender di Indonesia yang didasarkan pada tulisan-tulisan empat tokohnya. Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada masalah bagaimana permasalahan gender dikonstruksi dan bagaimana konsepsi-konsepsi tentang identitas, peranan (role) dan status perempuan Indonesia dibentuk, baik sebelum atau sesudah zaman kemerdekaan. Selain penerbitan buku-buku karya pengusung feminisme lokal, juga dilakukan penterjemahan buku feminisme manca negara. Di antaranya adalah sebagai berikut: 15) Buku "Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate" karya Leila Ahmed telah diterjemahkan dengan judul Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Dalam bukunya ini, Leila menguraikan tentang akar-akar sejarah yang menjadi perdebatan hingga kini tentang pandangan Islam terhadap perempuan. Pembahasan buku ini dimulai dari kondisi kawasan Timur Tengah sebelum Islam, zaman kedatangan Islam dan penghargaannya terhadap perempuan. Selain itu juga dibahas masalah penafsiran dan kejumudan Islam abad pertengahan, sehingga munculnya wacana perubahan sosial dan intelektual berkenaan dengan hak dan kebebasan perempuan. 17

16) "Women's Rebellion & Islamic Memory" karya Fatima Mernissi telah diterjemahkan dengan judul: Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim. Buku ini menguraikan fenomena ketidakadilan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan di negara-negara muslim. Mernissi lebih banyak mengkaji isu-isu fiqh, masalah kesehatan, politik dan peranan sosial yang dipandang merugikan perempuan. Sebagai justifikasi atas idenya tentang kesetaraan gender, dia memaparkan kisah-kisah kepahlawanan para perempuan sejak masa Sahabat dan peran sosial mereka. 17) "Islam and Democracy, Fear of the Modern World" karya Fatima Mernissi ini telah diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Mernissi menguraikan sejarah hitam peradaban Islam yang dipenuhi dengan pembunuhan politik, karena ketakutan para penguasa terhadap kebebasan berfikir. Buku ini juga menganalisis ketakutan di kalangan umat saat ini untuk membahas wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang disebabkan adanya trauma sejarah dalam menempatkan perempuan di balik jilbab dan tembok-tembok pergundikan. 18) Karya Fatima Mernisi lainnya juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik. Di buku ini dia menjelaskan masalah peran politik kaum perempuan dan realitas ketidakadilan terhadapnya. Pembahasan isu perempuan dalam berpolitik dalam buku ini lebih terfokus kepada jilbab yang merupakan indikasi perampasan hak dan kebebasan perempuan di ruang publik. 19) Haideh Moghissi menulis buku berjudul: Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya, "Feminism and Islamic Fundamentalism, The Limits of Postmodern Analysis". Haideh memamparkan realitas sosial di kawasan Iran dan Timur Tengah tentang masalah hak dan kebebasan perempuan. Kajian buku ini didasarkan pada analisis postmodernis dan menempatkan fundamentalisme dalam Islam sebagai "rival antagonis" pembahasan untuk mengekalkan adanya kekecewaan muslim feminis dan seruan kepada perubahan sosial. 20) Budhi Munawar Rachman dkk menulis buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan yang diterbitkan atas anjuran Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII). Buku ini adalah kumpulan kertas kerja yang dibentangkan dalam seminar nasional berjudul "Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern" di UII Yogyakarta. Ringkasnya, buku ini menguraikan perlunya perubahan fiqh konvensional yang dianggap membelenggu kaum perempuan dalam 18

mengembangkan perannya di berbagai sektor kehidupan secara makro. Hal ini dikarenakan bangunan fiqh yang sarat dengan norma dan doktrin di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa permasalahan zaman klasik, sehingga fiqh klasik dipandang tidak relevan dan menghambat aktualisasi potensi kaum perempuan dalam transformasi sosial.

2.2 Refleksi Teologi Islam mengenai Kesetaraan Gender


Dalam salah satu bukunya, Hassan Hanafi mengatakan bahwa teologi Islam sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan dan abai terhadap masalah sosial di hadapannya (Hassan Hanafi, 2003). Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat Islam, tidak boleh diperbarui. Sejatinya, teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan jender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan teologis. Seakan beban jender perempuan adalah "kodrat" dari Tuhan. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan "diamankan". Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Di sini peran teologi Islam diuji.

Teologi dan realitas sosial Pada awalnya teologi Islam dibangun di atas kepentingan politik. Peristiwa pemberontakan Muawiyah terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib dicatat Harun Nasution sebagai awal munculnya perdebatan teologi (Harun Nasution, 1986). Perdebatan tersebut bermuara pada kebutuhan untuk mencari legitimasi politik, terutama Muawiyah, setelah ia memperoleh kursi kekhalifahan. Maka, konsep "fatalisme" atau "predestination" lebih dimotivasi kepentingan status quo ketimbang teologi itu sendiri. Dalam "fatalisme", pemberontakan Muawiyah diyakini sebagai takdir. Meski agak berbeda dengan awal kemunculannya, Abu Hasan AlAsyari dipuji Nurcholish Madjid, sebab Asyari dianggap sukses menciptakan sebuah konsep teologi yang membuktikan peran 19

besar Tuhan dalam jagat raya (Nurcholish Madjid, 1992). Saat itu, Asyari di tengah "keputus-asaan teologis" umat Islam berhadapan dengan Aristotelianisme yang menempatkan Tuhan pada posisi kurang signifikan. Lantas tokoh-tokoh Mutazilah juga dianggap sukses dalam melapangkan pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menuntut banyak peran akal. Dalam konsep teologinya mereka menerangkan bahwa akal manusia sejalan dengan wahyu. Bahkan, menurut mereka, tanpa wahyu sekalipun manusia mampu mengetahui tentang Tuhan dan kebaikan. Turunnya wahyu mereka anggap sebagai afirmasi dan konfirmasi atas pengetahuan tersebut. Pandangan serupa ini menjadi landasan teologis dalam mengembangkan filsafat yang saat itu ditentang keras oleh ulama, terutama para ahli fikih (fuqoha) Dengan demikian, raison detre teologi Islam adalah tuntutan "realitas sosial". Teks kitab suci (Al Quran) didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, teologi Islam begitu modern dan relevan dengan kebutuhan manusia. Dewasa ini, teologi Islam berhenti berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar jika Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali Engineer, 1998). Sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam). Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi jender. Teologi yang sejatinya memosisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, justru disesaki kepentingan laki-laki. Kata ganti Tuhan dalam Al Quran, misalnya, ialah Huwa, yang berarti Dia (laki-laki). Hal ini dibenarkan teolog feminis, Anne McGrew Bennet. Menurut dia teologi yang ada selama ini disesaki kepentingan laki-laki. 20

Bennet menyatakan bahwa "revolusi teologis" adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia (Anne McGrew Bennet, 1989). Jadi, dialog teologi dengan permasalahan-permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan. Hasil dialog semacam ini dapat kita temukan dalam teologi feminis. Di dalamnya, konsep ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persoalan pembebasan dan pemberdayaan perempuan. Lebih tepatnya, teologi feminis adalah teologi yang menggali aspek-aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Dalam Al Quran, Tuhan digambarkan memiliki 99 sifat. Oleh Ibnu Arabi, sifat-sifat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan (maskulin) dan keindahan (feminin). Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi feminis. Dalam pandangan Arabi, meski sifat maskulin dan feminin Tuhan dikatakan sejajar, sebenarnya sifat feminin Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat feminin-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan. Kemudian, pemeliharaan alam juga merupakan representasi sifat kasih dan sayang-Nya. Bahkan, sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh keluasan kasih sayang-Nya. Maha Pemberi Hukuman diimbangi dengan Maha Pengampun, Maha Pemarah diimbangi dengan Maha Penyayang, dan seterusnya. Dengan demikian aspek feminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin. Hal inilah yang ingin didekonstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif, dan tidak bisa tegas sehingga menyebabkan kaum perempuan dianggap tidak layak berperan dalam wilayah publik. Padahal, pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi teologis. Perendahan terhadap kualitas feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminin Tuhan. Atas dasar itu, diskriminasi jender sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan

21

sendiri. Oleh karena itu, paling tidak, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam. Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-oleh terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah. Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki. Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan jender. 2.3 Ide

Kesetaraan Gender bertentangan dengan Kodrat Kaum Wanita

Ide kesetaraan gender dapat diartikan sebagai sebuah ide yang mengusahakan penyamaan kedudukan, hak-hak serta kebebasan kaum perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seperti, dibolehkannya wanita menduduki kursi legislatif dan sebagainya. Karena adanya persamaan kedudukan, hak-hak serta kebebasan kaum perempuan dengan laki-laki ini, sehingga muncul anggapan bahwa kaum perempuan bebas dalam beraktifitas dan berkarir. Ide-ide ini tentunya ditanamkan oleh Negara-negara kapitalis yang tujuannya untuk menghancurkan keluarga kaum muslimin dengan meminimalisir peran kaum wanita sebagai seorang ibu rumah tangga (IRT). Hendaklah kita renungkan firman Allah SWT. berikut ini : Katakanlah, hai kaum Ku, berbuatlah sepenuh kemampuan mu, sesungguhnya Aku pun berbuat. Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang 22

akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan (QS. Al-Anam [6]:135). Akibat dari ide-ide yang merusak ini tentang adanya persamaan kedudukan, hak-hak serta kebebasan kaum perempuan dengan laki-laki di masyarakat yang ditanamkan oleh Negara-negara kapitalis, para kaum wanita lebih tertarik untuk beraktifitas di luar rumah. Seperti, bekerja di kantor pemerintahan ataupun di kantor swasta, menjadi sekretaris, penerima tamu, dan lain sebaginya. Bahkan kaum wanita merasa rendah diri jika sekedar berperan sebagai ibu rumah tangga (IRT). Sehingga lahirlah generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal seorang ibu (Al Islam Edisi 502/tahun XI). Sudut Pandang Islam Tentang Ide Penyetaraan Gender Dilihat dari kacamata Islam, ide penyetaraan gender ini tentunya sangat bertentangan dengan kodrat kaum wanita. Tidak adanya kewajiban bekerja (beraktifitas) di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan bagi kaum wanita atau merawat dirinya adalah semata-mata untuk menjaganya agar kaum wanita tidak masuk ke jurang kenistaan serta kehinaan. Ini mengingat, betapa banyaknya pekerjaan yang dilakukan wanita demi meningkatkan taraf kehidupan, namun ternyata meniscayakan penghinaan, pelecehan, dan penderitaan. Seandainya kaum wanita dituntut bekerja (beraktifitas) di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ditambah lagi dia pun mesti menunaikan tugas-tugas alamiahnya. Seperti mengandung, melahirkan, menyusui, maka hal itu menjadi kewajiban yang di luar kemampuannya, serta merupakan ketidakadilan baginya. Tentunya aktivitasnya akan menyita waktunya dalam menjalankan tugas-tugas alamiah tersebut. Sedihnya lagi, banyak kaum wanita justru senang dengan keadaan mereka yang harus mengombinasikan pekerjaan di luar rumah dengan tugas-tugas alamiah mereka. Bahkan wereka lupa akan peran mereka dalam kehidupan ini, yang memang sudah menjadi kodrat mereka sebagai seorang wanita sekaligus sebagai seorang ibu. Selain itu, terangkatnya tanggung jawab bekerja di luar rumah dari wanita adalah untuk menjaganya dari godaan dan percampuran dengan laki-laki (ikhtilath). Segenap hikmah dari aturan-aturan Islam tersebut merupakan bagian dari keistimewaan yang Allah ciptakan untuk ciptaan-Nya.

23

Dari studi terhadap 2000 lembaga dan industri tampak jelas, bahwa daya tarik seksual (sex appeal) menjadi salah satu persyaratan mutlak yang terselubung untuk mendapatkan pekerjaan khususnya karyawati operator telepon, penerima tamu, sekretaris, dan tukang ketik. Sampai pada penerimaan pegawai Pemerintah Federal pun sudah menjadi ketetapan baku yang tidak diumumkan (dakwahkampus.com). Lebih jauh lagi, setiap wanita yang bekerja di luar rumah, dalam banyak kesempatan menjadi penyebab terbatasnya kesempatan bekerja bagi kaum laki-laki yang bisa bekerja di posisi perempuan. Sementara laki-laki yang mengambil posisi seorang wanita di dalam rumah tangga tidak akan bisa menggantikannya dalam melakukan berbagai tugas domestik. Sehingga munculah pertanyaan bagi kita dari penjelasanpenjelasan di atas, Kenapa semua itu bisa terjadi? Semua itu terjadi dikarenakan manusia jauh dari Allah sehingga menjalani kehidupan yang nestapa. Allah telah memeringatkan siapa saja yang menjauhkan diri dari-Nya. Dia berfirman, Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah dia, Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman, Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan (QS. Thaha 124-126). Tentunya kita sudah mengetahui bahwa, fungsi atau peran utama kaum wanita adalah sebagai seorang ibu dan manajer dalam rumah tangga. Bukan hanya itu saja, seorang perempuan (ibu) adalah benteng dari suami dan anak-anaknya. Peran ibu sangatlah besar dalam keluarga, seperti menjaga serta mendidik anak-anaknya, tentunya dengan pendidikan yang islami. Sehingga dapat melahirkan generasi muda yang akan mengguncangkan sekaligus meruntuhkan dominasi kafir barat dengan peradaban sampahnya. Tentu betapa nikmatnya menjadi seorang muslimah, tidak perlu bekerja, namun tetap diberi hak kepemilikan harta. Ya, Allah mengangkat dari wanita kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau untuk mendukung kemampuan finansial diri dan keluarganya. Allah menetapkan bahwa kewajiban tersebut adalah mutlak milik kaum laki-laki. Dia

24

menginstruksikan laki-laki agar bertanggungjawab memelihara dan mengasuh perempuan di setiap fase kehidupan mereka.

2.4 Demokratisasi dan masalah Kesetaraan Gender


Proses demokratisasi telah berjalan setua usia republik ini yang mendasarkan kedaulatannya di tangan rakyat. Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya manifestasi dari penolakan terhadap nilai-nilai traditional yang feodalistik dan nilai-nilai kolonial yang eksploitatif. Baik sistem feodal maupun kolonial menyisakan berbagai ketidakadilan yang berbasis pada ras, etnik, agama dan juga gender. Oleh sebab itu, kmerdekaan, sesungguhnya, merupakan pintu gerbang bagi proses demokratisasi di Indonesia. Kemerdekaan memberikan garansi bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat yang melahirkan berbagai preferensi politik. Di samping itu, demokratisasi juga menjamin akses dan parrisipasi segenap elemen masyarakat dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara (Sudarsono, 2001:18). Masalah Kesetaraan Gender di Indonesia Kesetaraan merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif ini merupakan konsekwensi logis dari suatu pandangan yang bias dan posisi asimetris dalam relasi sosial. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan. hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai. Menurut catatan Bank Dunia, diskriminasi gender yang menghalangi kesetaraan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, kekuasaan dan partisipasi olitik antara laki-laki dan perempuan (Bank Dunia: 2000: 1). Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat mengalaminya. 25

Gender merupakan konstruksi sosial terhadap perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menghasilkan atribut, posisi, peran dan kategori sosial tertentu. Konstruksi sosial tersebut dibutuhkan sebagai bagain dari mekanisme survival suatu masyarakat. Oleh sebab itu, konstruksi gender bersifat kontektual dan relative sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Gender menjadi persoalan sosial ketika terjadi perubahan dalam masyarakat disebabkan oleh pergeseran techno-environment pada tingkat makro namun tidak disertai dengan perubahan pola relasi dan posisi sosial sehingga membawa kerugian bagi mereka yang berada pada posisi yang subordinatif. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya, budaya patriarkhi dianggap sebagai akar persoalan. Budaya patriarkhi diteguhkan oleh pembakuan peran di mana kepentingan dan nilai-nilai phallo-centris dipandang sebagai standar kepantasan dan lebih banyak memberikan keuntungan pada laki-laki (Steger & Lind 1999: xviii). Gender, sebagaimana kategori sosial yang lain seperti ras, etnis, agama dan klas, dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, termasuk partisipasi mereka dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu masyarakat dengan nilai patriarkhi yang kental dapat menghalangi kaum perempuan untuk mendapatkan manfaat dari pembangunan dan kemajuan peradaban manusia. Kesetaraan dalam konteks ini adalah kesetaraan akses pada bidang hukum, kesempatan, termasuk kesetaraan upah kerja, kesetaraan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan sumber-sumber produktif lainnya (Bank Dunia: 2000: 3). Kemerdekaan Indonesia merupakan jaminan bagi terjadinya proses demokratisasi sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945 yang memuat persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, baik lakilaki dan perempuan. Namun demikian, persamaan hak berbasis gender ini seringkali terhalang oleh berbagai kepentingan di mana subordinasi perempuan memberikan manfaat secara politik maupun kultural. Masalah-masalah ketimpangan gender yang masih lazim terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

26

1. Ketimpangan Jenjang Pendidikan Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan. Namun dalam prakteknya, partisipasi perempuan dalam pendidikan makin menurun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap kecenderungan putus sekolah apabila keuangan keluarga tidak mencukupi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga maupun sebagai mencari nafkah utama. Pandangan tersebut sangat merugikan perempuan dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah di mana mereka juga harus memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Akses pendidikan yang rendah sangat berpengarruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah. 2. Kesenjangan Akses Sumber Daya Produktif Perbedaan gender dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya produktif (productive resources) informasi dan permodalan, termasuk pemilikan tanah. Di daerah pedesaan kepemilikan tanah perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Banyak perempuan yang tidak memiliki akses permodalan yang sama dengan laki-laki sehingga berpengaruh terhadap kontribusinya terhadap ketahanan keluarga. Di tempat kerja, posisi perempuan cenderung lebih rendah secara managerial dan struktural. Bias gender tentang kepemimpinan mengakibatkan rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatanjabatan tersebut. Perbedaan pembagian kerja produksi dan reproduksi antara lakilaki dan perempuan turut serta mempertajam kesenjangan struktural. Pada umumnya, pekerjaan reproduksi seperti pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak yang secara kultural diserahkan pada perempuan tidak diberi nilai setara dengan pekerjaan produksi dalam kebijakan kerja. Peran ganda (produksi dan reproduksi) yang harus dilakukan oleh kaum perempuan membuat mereka tidak dapat berkompetisi secara objektif dalam mencapai jenjang promosi dan kepangkatan serta pendidikan lanjutan yang sama. Pada level yang lebih rendah, terbatasnya akses perempuan di bidang ekonomi juga 27

menurunkan daya tahan dan daya tawar perempuan dalam rumah tangga (Bank Dunia, 200:7). 3. Ketidaksetaraan Partisipasi Politik Ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan dan akses terhadap suber daya produktif juga mempengaruhi partisipasi politik. Pola relasi patriarkhis priyayi Jawa dan konsep `pencari nafkah utama` (breadwinner) kolonial diadopsi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik perempuan terhadap laki-laki (Murniati, 1992: 24, Dzuhayatin, 2001: 257). Manfaat politik dari pembakuan peran ini merupakan kombinasi antara konsep kontrol patriarkhi dan modal ekonomis (economic captial) kapitalisme. Secara sederhana dapat diasumsikan bahwa mereka yang mengendalikan ekonomi adalah yang mengendalikan kekuasaan. Pada struktur yang lebih makro, negara dengan kemampuan ekonomi besar dan mengendalikan politik global dan pada tingkat yang lebih mikro, termasuk dalam pola relasi keluarga mereka yang memiliki akses terhadap `cash economy (gaji) adalah penentu orientasi politik keluarga. Interpretasi keagamaan konservatif turut serta menguatkan pola ketergantungan ini dengan menjadikan aspek nafkah yang bersifat mendukung fungsi reproduksi perempuan menjadi fungsi ketergantungan submisif perempuan terhadap superioritas lakilaki di dalam rumah dan, juga, di luar rumah. Pola ketergantungan yang secara kultural mendapatkan legitimasi keagamaan dan secara struktural dibutuhkan oleh kekuasaan telah melemahkan posisi perempuan dalam pengambilan kebijakan publik, baik dalam komunitas maupun dalam politik nasional. Menurut Mariyah (2001) perempuan merupakan 57% pemilih (voter) pada pemilu yang lalu. Namun, jumlah perempuan dalam posisi-posisi strategis dan politis tidak mencapai 10 %. Hal senada disinyalir oleh Maridjan (2002: 11) bahwa keterwakilan suara perempuan makin merosot dari masa ke masa. Pada pemilu 1987 keterwakilan perempuan mencapai 13 %, 1992 menurun menjadi 12,5 %, 1997 9,8 persen dan pada tahun 1999 menurun lagi menjadi kurang dari 9 % yaitu 45 perempuan dari sekitar 500 anggota legistatif. Jumlah tersebut makin memburuk pada tingkat-tingkat yang lebih rendah seperti di provinsi dan kabupaten. Jabatan pada level eksekutif juga menunjukkan angka yang masih suram seperti menteri, gubernur, bupati, camat dan lurah. Di samping itu, rendahnya partisipasi politik perempuan juga disebabkan oleh tradisi politik konvensial yang bersifat power over yang cenderung 28

memerintah, mengendalikan, mendominasi dan menguasai merupakan karakter maskulinitas. Perempuan yang dibentuk dengan karakter yang power for yang lebih mengedepankan hati nurani, potensi dan melindungi menjadi terhalang untuk dapat masuk dalam politik (Mariyah, 2000: 288). 4. Kekerasan yang berbasis Gender Ketimpangan jenjang pendidikan dan kesenjangan akses sumber daya produktif serta rendahnya partisipasi politik perempuan telah menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap kekerasan, baik yang bersifat fisik, psikologis dan seksual. Kekerasan tersebut dapat dilakukan secara individual, kelompok maupun negara. Kekerasan tersebut dapat terjadi di mana saja. Bahkan, rumah yang diasumsikan sebagai tempat berlindung justru menjadi tempat yang paling tidak aman bagi perempuan. Kekerasan berbasis gender dapat bersifat tersamar dan simbolik seperti ekploitasi media dan pornografi namun juga konkrit dan nyata seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Peristiwa Perkosaan massal (gang rape) tahun 1998 merupakan suatu kekerasan kelompok dan juga merupakan kekerasan negara terhadap perempuan karena dianggap lalai sehingga kekerasan tersebut terjadi (guilty by ommission). Namun demikian, kekerasan dalam rumah tangga justru merupakan kekerasan yang paling sering terjadi di Indonesia. Rifka Annisa mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan JanuariJuli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati urutan teratas yaitu 146 kasus dan kekerasan pada masa pacaran (KDP) 60 kasus dan perkosaan 30 kasus (Rifka Media, 2002: 2). Demokratisasi dan Upaya Pencapaian Kesetaraan Gender Demokratisasi yang tengah berlangsung pasca reformasi diharapkan dapat mewujudkan suatu kehidupan yang lebih setara dengan menghargai perbedaan sebagai keniscayaan. Demokratisasi tidak akan berjalan dengan baik apabila prasangka dan stereotipe terhadap kategori sosial seperti ras, etnis, agama dan gender masih menjadi cara pandang politik. Seperti ditegaskan oleh Sudarsono (2000) bahwa penguatan masyarakat sipil merupakan prasyarat berlangsungnya demokratisi. Masyarakat sipil dapat ditegakkan apabila relasi sosial dapat berjalan secara egaliter dan bertanggung jawab. Relasi semacam ini hanya dapat berlangsung ketika setiap elemen menempati posisi yang setara dalam memperoleh 29

kesempatan untuk mendapatkan manfaat yang adil dari lingkungannya termasuk politik, ekonomi, sosial budaya. Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi, kalau tidak menghilangkan sama sekali, ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dialakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk:

1. Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi Hak-hak dasar seperti sosial, hukum, politik dan ekonomi sangat menentukan akses laki-laki dan perempuan terhadap berbagai kesempatan, sumber daya dan skill serta dapat menguatkan partisipasi produktif keduanya dalam masyarakat (Bank Dunia, 2000: 17). Pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak dasar ini dapat menurunkan kemampuan keduanya untuk bertahan dan mancapai kualitas hidup. Selanjutnya, kesetaraan terhadap hakhak dasar memungkinkan setiap individu dapat mendapatkan manfaat dari peluang-peluang yang ditawarkan oleh pembangunan dan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Hak-hak dasar ini seringkali tidak dapat diperoleh secara setara karena disebabkan oleh berbagai tradisi yang tidak lagi sejalan dengan keharusan zaman. Interpretasi agama yang menjadi dasar pembaharuan hukum, misalnya, justru membelenggu perempuan ketimbang melindunginya. Pembaharuan peraturan yang dijalankan oleh berbagai daerah dalam rangka desentralisasi telah banyak membatasi ruang gerak perempuan secara wajar dan leluasa. Peraturan penggunaan jilbab di ruang publik dan larangan keluar rumah tanpa disertai `mahram seperti yang digagas oleh perancang Syariah Islam lebih banyak merugikan perempuan daripada melindunginya. Banyak perempuan yang justru mengalami kekerasan seperti penarikan rambut, pemukulan setelah sosialisasi penerapan Syariah Islam digulirkan. Untuk itu, perlu dilakukan reinterpretasi yang dapat memungkinkan reaktualisasi ajaran Islam sebagai `rahmatan lil alamin. Sesungguhnya, studi-studi Islam yang dikembangkan, baik klasik dan kontemporer menyediakan perangkat 30

metodologis untuk melakukan pembaharuan. Namun, sebagaimana, disinyalir oleh Mernissi (1992) menegaskan bahwa konservatisisme sendiri bukan karena mempertahankan Islam namun mempertahankan otoritas. Mengajarkan toleransi dan kebebasan berfikir, humanisme (sekuler) merupakan serangan, bukan terhadap Tuhan tetapi terhadap jabatan, posisi...... (Mernissi, 1992: 55). Maryam Rajawi (2000) mengingatkan bahwa awal dari suatu regim teokrasi seperti Iran dan Afganistan akan dimulai bagaimana mengendalikan perempuan dan menajdikannya sebagai simbol tegaknya negara Islam dan sekaligus menutupi segala bentuk tirani yang dilakukan atas nama Islam. Mengendalikan perempuan hanyalah awal dari upaya represif mengendalikan seluruh elemen sosial dan, ini merupakan isyarat bagi `matinya demokrasi. 2. Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender Selain melakukan rekonstruksi nilai. budaya melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama dominan, langkah lebih konkrit perlu dilakukan pada tataran kebijakan. Pengarusutamaan gender (gender meanstreaming) kini tengah digalakkan untuk mempersempit kesenjangan gender pada akses sumber daya produktif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan `afrmative action pada tingkat pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dan ekonomi. Menurut catatan dari Bank Dunia (2000) ada korelasi positif antara peningkatan jenjang pendidikan dengan peningktan kesehatan keluarga. Sedangkan penguatan ekonomi perempuan dapat meningkatkan kesadaran perempuan terhadap kesehatan reproduksinya. Affirmative Action diarahkan untuk memberikan dukungan publik terhadap perempuan, yang karena peran tradisionalnya, menghadapi kendala untuk memperoleh manfaat dari kemajuan. Penyediaan kebutuhan praktis gender perempuan seperti prasarana hernat waktu, pelayanan penitipan anak di tempat kerja, keleluasaan kerja pada saat perempuan harus melakukan peran reproduksi seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui dapat secara signifikan menguatkan posisi sosial ekonomi perempuan yang, juga, merupakan penguatan ketahanan keluarga. Pergeseran paradigma pembangunan dalam tubuh Bank Dunia 31

dari ekonomi pertumbuhan dan efisiensi menuju ekonomi yang berorintasi pada kesejahteraan manusia telah banyak memberikan perbaika i terhadap kualitas hidup perempuan. Insentif-insentif terhadap peran-peran kodrati dan tradisional yang sebelumnya dianggap ineffisien ini menjadi bagian dari bentuk menguatan perempuan. 3. Peningkatan Partisipasi Politik Upaya-upaya di atas tidak akan secara maksimal dapat dicapai bilamana partisipasi aktif perempuan belum maksimal. Partisipasi aktif dalam kancah politik menjadi prasyarat bagi terjaminnya hak-hak perempuan secara asasi seperti hak mendapatkan tunjangan keluarga yang memadai bagi perempuan, dan hak cuti reproduksi. Bahkan, di negara seperti Australia, misalnya, kepedulian terhadap hak reproduksi perempuan telah menjadi bagian dari masyarakat sehingga para bapak dan suami berdemonstrasi untuk dapat memperoleh hak cuti menjadi orang tua (paternity leave) selama dua minggu menjelang dan sesudah istri melahirkan. Sementara itu, mereka menuntut cuti melahirkan untuk istri selama 14 bulan (Bernas, 2002). Keterwakilan perempuan dalam politik juga menjadi agenda publik pasca gerakan reformasi untuk memenuhi rekomendasi Dewan Sosial dan Ekonomi (ECOSOC) bahwa negara anggota PBB perlu memenuhi target minimum keterwakilan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan sebesar 30 persen. Bahkan Konferensi Dunia Beijing plus 5 di New York mengusulkan keterwakilan 50 persen pada tahun 2005 (Masruchah, 2002). Di Indonesia, proses pengarusutamaan gender yang dilaksanakan melalui Inpres No. 9 tahun 2000 terus ditindaklanjuti melalui berbagai perda dan Surat Edaran Gubernur untuk meningkatkan partisipasi politik dan sosial perempan. Di Yogyakarta, Surat Gubernur No. 411.4/0195 tahun 2002 menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan mulai dari penyusunan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan di DIY (Bernas, 2002). Berkait dengan masalah partisipasi politik perempuan, Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2002 melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/2002 telah mengesahkan angka keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pengambil keputusan sebesar 30 persen. Masrurah 32

(2002) menambahkan bahwa pasal 46 UU no.39 tahun 1999 menetapkan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota legeslatif, sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan. Namun demikian, upaya-upaya untuk menjamin keterwakilan perempuan seringkali menimbulkan polemik, baik dari kaum perempuan sendiri maupun laki-laki. Bahkan, sebagaimana disinyalir Masrurah (2002), presiden Megawati sendiri sebagai figur politis tertinggi bagi perempuan Indonesia mengatakan dalam Pidato Hari Ibu ke 73 tanggal 22 Desember 2001 bahwa kemajuan perempuan harus dilakukan secara wajar tanpa rekayasa. Kalau yang dikatakan rekayasa adalah perlakuan khusus (affirmative action) maka pernyataan tersebut merupakan langkah mundur. Sebab perlakuan khusus tersebut dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada mereka yang mengalami ketertinggalan karena adanya sikap-sikap diskriminatif, baik berbasis ras, etnis, agama dan gender untuk dapat mengejar ketinggalan tersebut. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Mahathir Muhammad yang melakukan afrmative action bagi masyarakat Melayu dalam bidang ekonomi dan dalam kurun waktu tertentu. Affirmative action ini tidak dimaksudkan untuk memberikan keistimewaan abadi bagi perempuan tetapi bersifat sementara sampai kesenjangan sosial tersebut teratasi. Meski sistem kuota telah ditetapkan namun banyak pihak meragukan keberhasilannya, karena adanya berbagai faktor. Menurut Maridjan (2002), kuota tersebut sulit dipenuhi apabila Pemilu masih menggunakan sistem proporsional. Oleh sebab itu, agenda penguatan politik perempuan juga harus diarahkan pada adanya perubahan perundangan. Tanpa itu, sistem kuota tersebut tidak akan berhasil meningkatkan partisipasi perempuan. Maridjan dan Priyatmoko (2002) menilai bahwa kuota perempuan di parlemen bukan merupakan hal yang substansial, sebab perempuan yang menduduki jabatan strategis, seperti presiden tidak secara otomatis memiliki perspektif feminist dan sensitif dengan isu-isu perempuan. Menurut mereka, kuota bukan hal yang penting tetapi bagaimana kepentingan perempuan terwakili dalam pengambilan keputusan. Kalangan feminist memandang kuota menjadi penting karena dapat memberikan suatu justifikasi politis dan mendorong proses peningkatan kapabilitas (Nussbaum, 1999: 101). Oleh sebab itu, 33

kuota harus diperjuangkan pada tingkat normatif melalui berbagai mekanisme kenegaraan seperti undang-undang dan sejenisnya. Pada saat yang sama, pemberdayaan (empowerment) perempuan terhadap isu-isu strategis dan praktis perempuan harus mengiringi proses pemenuhan kuota tersebut. Kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok marginal yang berbasis pada perbedaan ras, etnis, agama, klas seringkali terabaikan manakala mereka tidak secara fisik terwakili dalam pengambilan keputusan, demikian juga kepentingan perempuan.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

1. Feminisme atau Paham Kesetaraan Gender adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. 2. Al Quran secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Quran yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya 34

pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka. 3. Dewasa ini, teologi Islam berhenti berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar- jika Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali Engineer, 1998). Sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam).

4.

Dilihat dari kacamata Islam, ide penyetaraan gender ini tentunya sangat bertentangan dengan kodrat kaum wanita. Tidak adanya kewajiban bekerja (beraktifitas) di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan bagi kaum wanita atau merawat dirinya adalah semata-mata untuk menjaganya agar kaum wanita tidak masuk ke jurang kenistaan serta kehinaan. Ini mengingat, betapa banyaknya pekerjaan yang dilakukan wanita demi meningkatkan taraf kehidupan, namun ternyata meniscayakan penghinaan, pelecehan, dan penderitaan. Hendaklah kita renungkan firman Allah SWT. berikut ini : Katakanlah, hai kaum Ku, berbuatlah sepenuh kemampuan mu, sesungguhnya Aku pun berbuat. Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang-orang

35

yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan (QS. Al-Anam [6]:135). 5. Masalah-masalah ketimpangan gender yang masih lazim terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut: Ketimpangan Jenjang Pendidikan Kesenjangan Akses Sumber Daya Produktif Ketidaksetaraan Partisipasi Politik Kekerasan yang berbasis Gender

Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi, kalau tidak menghilangkan sama sekali, ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dialakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk: Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender Peningkatan Partisipasi Politik

DAFTAR PUSTAKA
Sheikh Muhammad Nawawi ibn 'Umar, Shar 'Uqd al-Lujjayni fi Bayn uqq alZawjayni, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jakarta, 1428H/2007M, hal. 9 Ibn Khaldn, al-Allmah Abdurrahman ibn Muhammad, 2004, Muqaddimah Ibn Khaldn, editor Dr. Muhammad al-Iskandarni, Dr al-Kitb al-Arabi, Beirut, hal. 146. Teks aslinya: Al-Maghlb mlaun abadan bi l-iqtid bi l-ghlib fi shirihi wa ziyyihi wa nilatihi wa siri awlihi wa awidihi Helen Tierney (ed.), Women's Studies Encyclopedia, vol. 1, New York: Green Wood Press, h. 153 dalam Dr. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an, Paramadina, Jakarta: 2001, hal. 33-34 Dr. Muammad Sharr, Nawa Ulin Jaddatin li l-Fiqh al-Islm: Fiqh al-Mar'ah (al-Waiyah al-irth al-Qawmah al-Ta'addudiyah al-Libs), al-Ahl, Damaskus, cet I, 2000, hal. 370

36

al- hir al-addd, 1992, Imraatun fi l-Sharah wa l-Mujtama, al-Dr alTnisiyyah li l-nashr, khususnya bab Imraatun fi l-Sharah (wanita kita dalam syariah). Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, Imam Khori (penterj), AK Group, Yogyakarta, cet. II, 2007, hal. 110 ensiklopedi Britannika, Feminism, khususnya Influence of the Enlightenment dalam Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite Ibn Sa'd, vol. VIII, hal. 49-50 dalam Dr. 'Abdullah Abu al-Su'ud Badr, Tafsr Umm alMu'minn 'ishah, (Dr 'lam al-Kutub, Kairo:1996) cet I, hal. 217 a al-Bukhr, kitb tafsr al-Qur'n, dan Sunan Ab Dwud, kitb al-libs, 3579 Murniati, A.P, Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan dalam Budi Susanto, ed., Citra Wanita dan Kekuasaan Dawa), (Yogyakarta: Kanisius, 1992) Dzuhayatin, S. Ruhaini, Gender and Pluralism in Indonesid, dalam Robert W. Hefner, ed., The Politics of Multicwlturalirm (Honolulu: University of Hawaii Press. 2001). hal. 253-267 Maridjan, Kacung, Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen Tak Substansial, Berita Nasional, 16 Oktober 2002. Masruchah, Memperjuangkan Keterwakilan Perempuan, Berita Nasional, 15 Oktober 2002. Nussbaum, Martha, Women and Human Development: TheCapabilities

37

You might also like