You are on page 1of 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN RHINITIS ALERGIKA

OLEH : SGD 3 Ni Koming Kusuma Antari Putu Rudi Mahardikaputra I Gusti Ayu Meila Satria Dewi Ni Made Sintha Pratiwi (0902105021)

(0902105023) (0902105025)

(0902105027)

Putu Eka Dryastiti (0902105029) Nyoman Diah Somawardani (0902105033)

Kadek Laras Prasanti Dewi (0902105035) Ni Made Yunita Debi N. (0902105037)

Komang Udiyana Sariartha (0902105039) I Kadek Dwipayana (0902105075) Made Deny Widiada (0902105080)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2010

LEARNING TASK RHINITIS (KELOMPOK 3&6) Tn Ali datang ke Poliklinik RS Rahayu dengan keluhan hidung meler terus menerus, di RS Tn Ali didiagnosa mengalami rhinitis 1. Apa yang dimaksud dengan rhinitis? 2. Apa etiologi dari rhinitis? 3. Apa saja jenis-jenis dari rhinitis? 4. Bagaimana patofisiologi rhinitis (disertai dengan pohon masalah)? 5. Apa saja keluhan-keluhan penderita rhinitis? 6. Apa saja tanda-tanda yang terjadi pada penderita rhinitis? 7. Apa saja hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan rhinitis? 8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan rhinitis? 9. Apa komplikasi dari rhinitis? 10. Apa diagnose keperawatan yang muncul pada Tn Ali? 11. Buatlah asuhan keperawatan pada klien dengan rhinitis: pengkajian (hal-hal apa saja yang perlu dikaji), diagnose keperawatan yang mungkin muncul, rencana intervensi, evaluasi.

Pembahasan : 1. Definisi Rhinitis :

Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ) Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 ) Rhinitis alergi adalah penyakit atau kelainan yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I (Gell&Coombs) dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran. (Mansjoer,2001 : 106) Rhinitis alergi(hay fever, rhinitis alergik kronik,polinosis) merupakan bentuk alergi respiratorius yang paling sering ditemukan dan diperkirakan diantarai oleh reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I). (Brunner & Suddart, 2002 : 1767)
2. Etiologi Rhinitis Alergika:

Inhalan : masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, virus, serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur Ingestan : masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang Injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

3. Klasifikasi Rhinitis Alergika : Dapat di bagi menjadi 3 bagian :

Berdasarkan sifat berlangsungnya :


1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis). Hanya ada di Negara yang

memiliki 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) Gejala keduanya hamper sama, hanya tempat berlangsungnya saja yang berbeda. Berdasakan waktu berlangsungnya : 1. Rhinitis intermitten : (gejala <4 hari dan lamanya <4 minggu 2) rhinitis persisten : gejala >4 hari dan berlangsungnya >4 minggu Berdasarkan berat gejala berlangsungnya : 1. Ringan (tidur normal, tidak menggangu aktifitas) 2. Berat (tidur terganggu, aktifitas terganggu)

4 . Patofisiologi : Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor : Alergen Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting. Polutan Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas. Aspirin Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu. Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi. Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi

sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5.Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin. Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika. (Anonim, 2006) 5 . Keluhan- keluhan penderita Rhinitis : Pasien yang menderita rhinitis alergika sering mengeluhkan bersin-bersin, hidung yang mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan terasa gatal. Selain itu pasien juga sering mengeluhkan sukar berkonsentrasi, dan sulit dalam mengatasi bersin-bersin serta cairan yang keluar dari hidung mereka. Penyakit ini juga menyebabkan kelelahan dan mengganggu hubungan interpersonal. Anak-anak dengan rhinitis alergika memiliki kesulitan untuk belajar dan sering cepat lelah di sekolah. Selain itu, berkurangnya waktu malam dan sulit tidur menjadi masalah yang umum pada pasien dengan rhinitis alergika. 6. Tanda-tanda yang terjadi pada penderita rhinitis:

Bersin berulang lebih dari 5 kali. Rinorea encer dan banyak.

Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuningkuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus. Hidung tersumbat. Hidung dan mata terasa gatal. Kadang disertai lakrimasi.

(Mansjoer,2000: 107)

7. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan rhinitis :


Pemeriksaan fisik :

- Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid - Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi Pemeriksaan penunjang : - Pemeriksaaan sitologi hidung sebagai pemeriksaan penyaring atau pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, basofil kemungkinan alergi ingestan, dan sel polimorfonuklear menunjukkan infeksi bakteri.
-

Pada pemeriksaan darah tepi, hitung eosinofil dan IgE total serum dapat normal atau meningkat. Yang lebih bermakna tes IgE spesifik dengan RAST (radio immunosorbent test) atau ELISA (enzyme linked immune assay). Dapat juga dicari secara in vivo dengan uji intrakutan yang tunggal atau berseri, uji tusuk (prick test), uji provokasi hidung/uji inhalasi, dan uji gores. Dilakukan diet eleminasi dan provokasi untuk alergi makanan.

8. Penatalaksanaan pada pasien dengan rhinitis : Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi. Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian antihistamin dengan atau tanpa vasokonstriktor atau kortikosteroid per oral atau local. Preparat yang dipakai adalah agonosis alfa adrenoseptor, terutama untuk mengatasi sumbatan hidung. Diberikan peroral, biasanya dalam kombinasi dengan antihistamin seperti pseudoefedrin fenilpropanolamin. Pemberian topical harus hemat dan jangka panjang (4-10 hari). Efek kortikosteroid baru terasa setelah pemakaian agak lama. Pemakaian topical dengan preparat baru, seperti beklometason, flunisolid, dan budesonid untuk jangka panjang dan cukup aman. Pemakaian peroral dengan pemberian intermiten atau tapering off hanya untuk kasus berat, diberikan selama 2 minggu sebelum pemberian topical agar pemberian topical afektif. Dapat diberikan natrium kromolat dalam bentuk inhalasi untuk pencegahan. Untuk hipertrofi konka, pasien hanya dirujuk agar dapat dilakukan kauterisasi konka inferior dengan nitras argenti atau triklor asetat. Jika hipertropi sudah berat dapat dilakukan konkotomi. Untuk gejala yang berat dan lama serta bila terapi lain tidak memuaskan, dilakukan imunoterapi melalui desensitisasi dan hiposensitisasi atau netralisasi (Arif Mansjoer,1999:108)

Pemilihan obat-obatan Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain : 1. 2. 3. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. Tidak menimbulkan takifilaksis. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistem

4.

Jenis obat dan efek terapetik. Jenis obat Antihistamin H1 Oral Intranasal ++ ++ ++ ++ 0 +++ + + 0 +++ +++ ++ 0 ++ ++ 0 +++ ++ Bersin Rinorea Buntu Gatal hidung Keluhan mata

Intraokuler 0 Kortikosteroid intranasal +++ Kromolin Intranasal Intraokuler Dekongestan Intranasal Oral Antikolinergik Antilekotrien + 0

+ 9

+ 0

+ 0

0 ++

0 0 0 9

0 0 ++ +

+++ + 0 ++

0 0 0 0

0 0 0 ++

Jenis obat yang sering digunakan :

Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari. Kortikosteroid intranasal Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
-

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 12 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 12 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.

Leukotrien antagonis Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

9. Komplikasi dari rhinitis :

Polip hidung Otitis media Sinusitis paranasal. (Mansjoer, 2001 : 107)

10. Diagnosa keperawatan yang muncul :


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas, mucus

banyak, alergi ditandai dengan dispnea dan gelisah.

2. Pola napas tidak efektif berhubunhan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea, napas pendek, RR diatas 20x /menit
3. Gangguan sensori persepsi penciuman berhubungan dengan perubahan penerimaan

sensori, transmisi dan atau integrasi ditandai dengan perubahan respon terhadap stimuli dan gelisah. 4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan agen cidera ( biologi) ditandai dengan bersin,gatal pada hidung, dan hidung tersumbat. 5. Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan dan peningkatan paparan ligkungan.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas Pasien Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, bangsa, pendidikan dan pekerjaan pasien. 2. Keluhan Utama Pasien mengalami bersin-bersin, hidung mengeluarkan secret, hidung tersumbat, dan hidung gatal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Hal yang perlu dikaji yaitu apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit THT. 4. Riwayat Keluarga Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga sebelumnya yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang. 5. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik untuk rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, dan telinga juga penting. a. Hidung

Inspeksi : permukaan hidung terdapat secret mukoid. Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi. - Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak. - Dalam hal ini kita menentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus kental, purulen, dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi. - Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis. b. Wajah Inspeksi : - Adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung. - Adanya nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan. c. Mata Inspeksi : - Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai dengan produksi air mata. d. Telinga Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitits media sekunder. B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas, mucus

banyak, alergi ditandai dengan dispnea dan gelisah. 2. Pola napas tidak efektif berhubunhan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea, napas pendek, RR diatas 20x /menit
3. Gangguan sensori persepsi penciuman berhubungan dengan perubahan penerimaan

sensori, transmisi dan atau integrasi ditandai dengan perubahan respon terhadap stimuli dan gelisah. 4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan agen cidera ( biologi) ditandai dengan bersin,gatal pada hidung, dan hidung tersumbat.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan dan peningkatan paparan ligkungan.

C. Rencana Keperawatan

1. Prioritas Diagnosa
1. Gangguan sensori persepsi penciuman berhubungan dengan perubahan penerimaan

sensori, transmisi dan atau integrasi ditandai dengan perubahan respon terhadap stimuli dan gelisah. 2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan agen cidera ( biologi) ditandai dengan bersin,gatal pada hidung, dan hidung tersumbat. 3. Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan dan peningkatan paparan ligkungan.
4. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas, mucus

banyak, alergi ditandai dengan dispnea dan gelisah. 5. Pola napas tidak efektif berhubunhan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea, napas pendek, RR diatas 20x /menit

2. Intervensi

1. Gangguan sensori persepsi penciuman berhubungan dengan perubahan penerimaan

sensori, transmisi, dan atau integrasi ditandai dengan perubahan respon terhadap stimuli dan gelisah.

Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan x 24 jam diharap gangguan penciuman klien teratasi dengan kriteria hasil :
-

Dapat merespon stimuli dengan baik Klien tidak tampak gelisah

Intervensi :
1. Kaji ketajaman pembau pasien

Rasional : memeriksa fungsi indra penciuman klien dan mengetahui keparahan gangguan penciuman klien
2. Ciptakan lingkungan yang aman disekitar pasien. Hindarkan allergen dari

allergen. Rasional : mencegah penyakit bertambah parah atau terjadinya kekambuhan


3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi program terapi

Rasional : mencegah penyakit bertambah parah dan untuk kelancaran pemulihan kondisi pasien
4. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi

Beri stimulasi bau bau tertentu

Rasional : untuk melatih dan merangsang indra penciuman klien agar kembali peka

2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan agen cidera ( biologi) ditandai dengan bersin,gatal pada hidung, dan hidung tersumbat.

Tujuan: Setelah diberikan askep selama x 24 jam diharapkan gangguan rasa nyaman yang dirasakan klien dapat berkurang dengan kriteria hasil : secara subjektif, klien menyatakan sudah merasa lebih nyaman. TTV dalam batas normal. Wajah klien tampak relaks.

Intervensi: 1 Catat karakteristik ketidaknyamanan, lokasi, intensitas, lama dan penyebarannya Rasional : Variasi penampilan dan perilaku klien karena ketidaknyamanan terjadi sebagai temuan pengkajian. 2 Lakukan manajemen mengurangi ketidaknyamanan: - Atur posisi fisiologis - Istirahatkan klien - Manajemen lingkungan (lingkungan tenang dan batasi pengunjung) - Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam - Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Rasional : - Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan oksigen, dan meningkatkan kenyamanan. - Istirahat akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer, sehingga akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan. - Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. - Dapat mengurangi ketidaknyamanan. - Dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang dapat menenangkan pikiran 3. Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan dan peningkatan paparan ligkungan. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil : Pasien dapat menunjukkan penurunan infeksi Tidak ada tanda-tanda infeksi

Intervensi : 1. Monitor tanda vital setiap 4 jam Rasional : data dasar untuk mengetahui keadaan normal (evaluasi keadaan px) 2. Gunakan metode pengontrol adanya infeksi

Rasional : melindungi px dari infeksi 3. Pertahankan diet adekuat, vitamin C, dan tablet Fe Rasional : meningkatkan daya tahan tubuh 4. Catat hasil laboratorium Rasional : mengidentifikasi adanya infeksi 5. Monitor pemberian antibiotic dan kaji efek sampingnya Rasional : mencegah komplikasi 6. Informasikan ttg efek pengobatan Rasional : mencegah infeksi silang 7. Lakukan teknik steril Rasional : mencegah terjadinya infeksi 8. Lakukan penkes ttg : Pencegahan dan penularan infeksi Tanda dan gejala infeksi Hidup sehat

Rasional : memberikan pengetahuan dasar bagaimana cara memproteksi diri

D. Evaluasi Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan diantaranya:
1) Klien dapat merespon stimuli dengan baik dan klien tidak tampak gelisah 2) Klien menyatakan sudah merasa lebih nyaman, TTV dalam batas normal, dan

wajah klien tampak relaks. 3) Klien dapat menunjukkan penurunan infeksi, tidak ada tanda-tanda infeksi

You might also like