You are on page 1of 11

asma pada anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai timbulnya penyempitan luas saluran napas bagian bawah yang dapat berubahubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan. Diperkirakan 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar 510%. Asma terjadi karena interaksi kompleks diantara sel-sel dan mediator inflamasi di jalan napas dan pengaturan syaraf otonom dari jalan napas. Pada stadium permulaan terlihat mukosa jalan napas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret didalam lumen saluran napas. Penanggulangan asma pada anak sekarang yang lebih penting bukan mengatasi serangan tetapi terutama ditujukan untuk mencegah serangan asma. Anak yang menderita asma harus dapat hidup layak serta tumbuh dan berkembang sesuai dengan umurnya. Dengan demikian segala upaya penggunaan obat dan non obat harus dinilai untung ruginya berdasarkan tujuan utama tadi atau dengan kata lain tidak boleh mengganggu tumbuh kembang anak. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa/i mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan asma melalui pendekatan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. 2. Tujuan Khusus Diharapkan mahasiswa/i mampu : a. Menyebutkan tentang pengertian dan penyebab asma pada anak b. Menjelaskan manifestasi klinis dan patofisiologis asma pada anak c. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik d. Menjelaskan penatalaksanaan medik asma pada anak e. Menjelaskan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi. BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksitrakea dan bronkhus terhadap berbagai pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan jalan napas bagian bawah yang dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Ruseno Hasan & Dr. Husein Alatas, 1985). Asma adalah penyakit paru yang di dalamnya terdapat obstruksi jalan napas, inflamasi jalan napas, dan jalan napas yang hiperresponsif atau spasme otot polos bronchial (Cecily L. Bets dan Linda Sowden, 2002). Asma merupakan kondisi yang ditandai dengan dispnea paroksimal dari tipe wheezing, disebabkan oleh penyempitan dari lumen bronki yang lebih kecil dan bronkiolus (Rosa M. Sacharin, 1996). Asma adalah proses obstruksi reversible yang ditandai dengan peningkatan responsivitas dan inflamasi jalan napas bagian bawah (Donna L. Wong, 2003). B. Etiologi Asma terjadi karena interaksi kompleks diantara sel-sel dan mediator inflamasi di jalan napas dan pengaturan syaraf otonom dari jalan napas (Cecily L. Bets dan Linda Sowden, 2002) sehingga terjadi halhal berikut ini : 1. Kontraksi otot polos bronkial 2. Bronkospasme 3. Edema mukosa karena inflamasi sel-sel di jalan napas dengan cedera pada epitel 4. Peningkatan produksi mukus (lendir) 5. Sumbatan lendir 6. Udara yang terperangkap dibelakang jalan napas yang tersumbat atau menyempit

7. Oksigenasi dan ventilasi yang tidak mencukupi 8. Respons lapar udara yang menimbulkan perilaku gelisah Selain itu adapula beberapa faktor pencetus asma (Dr. Rusepno Hasan & Dr Husein Alatas, 1985) yaitu : Alergen Faktor alergi dianggap mempunyai peranan pada sebagian besar anak dengan asma. Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan faktor yang yang penting. Bila tingkat hiperreaktivitas bronkus tinggi, diperlukan jumlah alergen yang sedikit dan sebaliknya jika hiperreaktivitas rendah diperlukan jumlah antigen yang lebih tinggi untuk menimbulkan sarangan asma (Cockroft, dkk, 1979). Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergen berhubungan dengan umur. Bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi debu rumah, misalnya tunggu, serpih atau bulu binatang, spora jamur yang terdapat di rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Infeksi Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkan ialah Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya pertusis dan streptakokus, jamur misalnya aspergillus dan parasit seperti askaris. Iritan Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dari pipa, bau tajam dari cat, SO2 dan palutan udara berbahaya lainnya, juga udara dinign dan air dingin (Boushey, dkk, 1980). Iritasi hidung dan batuk sendiri dapat menimbulkan refleks bronkokanstriksi (Mc. Fadden, 1980). Udara kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (Straus, dkk, 1978, Zebailos, dkk, 1978). Cuaca Perubahan tekanan udara (Sultz, dkk, 1972), perubahan suhu udara, angina dan kelembaban (Lopez & Salvagio, 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma. Kegiatan jasmani Kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda memicu serangan asma. (Godfrey, 1978, Eggleston, 1980). Juga tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru di bawah optimal amal rentan terhadap kegiatan jasmani. Infeksi Saluran Napas Infeksi virus pada sinus baik sinusitis akut maupun kronik dapat memudahkan terjadinya asma pada anak (Rachelesfky dkk, 1978). Rhinitis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau refleks. Psikis Faktor psikis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks. Tidak adanya perhatian dan/atau tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri/keluarganya akan memperlambat bahkan menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Pembatasan aktivitas anak, sering anak tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengaluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa kuatir dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya. Karena itu semua interaksi kejadian itu perlu diperhatikan dan dicari jalan keluarnya seoptimal mungkin. C. Manifestasi Klinis Bukti klinis obstruksi jalan napas Obstruksi dapat terjadi secara bertahap atau akut dan perkiraan eksaserbasi akut disebut ringan, sedang atau berat. Dispnea dengan ekspirasi memanjang. Mengi ekspirasi, berkembang menjadi bunyi mengi inspirasi dan ekspirasi, berkembang menjadi bunyi napas yang tidak dapat didengar. Pernapasan cuping hidung pada bayi. Batuk Memakai obat pernapasan tambahan Ansietas, iritabilitas sampai penurunan tingkat kesadaran Sianosis Penurunan PaCO2 pada awalnya, akibat hiperventilasi ; kemudian naiknya PaCO2 saat obstruksi menghebat. D. Patofisiologi

Asma ditandai dengan 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada pada jalan napas. Pada stadium permulaan terlihat mukosa jalan napas pucat, terdapat edema dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret di dalam lumen saluran napas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut, akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membran hiallin basal, hiperplasia serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel goblet bertambah. Kadang-kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental dan mengandung oesinofil. Salah satu sel yang memegang peranan penting pada patogenesis asma ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya alergen, infeksi, exercise dan lain-lain. Sel ini akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macam mediator misalnya histamin slow reacting substance or anaphylaxis (SRS-A) yang dikenal sebagai lekotrin. Eoxinophyl chemotactic of anaphylaxis (ECF-A). Neutrophyl Chemotactic Factor of Anaphylaxis (NCF-A), platelet activating factor (PAF), bradikinin, enzim-enzim dan paroksidase. Selain sel mast, sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator. Bila alergen sebagai pencetus maka alergen yang masuk kedalam tubuh merangsang sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan antibodi reagenik yang disebut juga imunoglobulin E (Ig E). Selanjutnya IgE akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel mast. Apabila alergen yang serupa masuk dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator dapat juga menyebabkan bronkokonstriksi dengan mengiritasi reseptor iritant. PATHWAY

E. Gambaran Klinis Asma Pada Anak Pembagian asma menurut Phelan dkk, (FKUI, 2002) adalah sebagai berikut : 1. Asma episodik yang jarang Biasanya terdapat pada anak umur 3-4 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas bagian atas. Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi (wheezing) dapat berlangsung sekitar 3-4 hari. Sedangkan batuk-batuknya dapat berlangsung 10-14 hari. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan pada golongan ini. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan. Waktu remisi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Golongan ini merupakan 70-75% dari populusi asma anak. 2. Asma episodik sering Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada mulanya,serangan

berhubungan dengan infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara,adanya alergen,aktivitas fisik dan stret. Banyak kasus yang tidak jelas pencetusnya. Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling tinggi pada umur 8-13 tahun. Pada golongan lanjutan kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat menggangu tidur. Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Kalau waktu antara serangan lebih 1-2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dapat ditemukan pada golongan ini. Eksim dapat ditemukan, tetapi lebih jarang bila dibandingkan dengan golongan asma kronik atau persisten. Golongan ini jarang ditemukan gangguan petumbuhan. 3. Asma kronik atau persisten Pada 25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun. Lima puluh persen anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangannya episodik. Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi tiap hari. Pada malam hari sering terganggu oleh batuk dan mengi. Aktifitas fisik sering menyebabkan mengi. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan sering memerlukan perawatan rumah sakit. Terdapat juga golongan yang jarang mengalami serangan berat, hanya sesak sedikit dan mengi hampir sepanjang waktu. Setelah mendapat penanganan yang tepat biasanya baru disadari bahwa ada perbedaan dibandingkan sebelum mendapatkan penanganan. Anak dan orang tua baru menyadari mengenai asma pada anak itu serta permasalahannya. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8-14 tahun, setelah biasanya terjadi perubahan. Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik jarang yang normal. Dapat perubahan bentuk toraks seperti dada burung (Pigeon chest), barrel chest dan terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan yaitu bertumbuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sehingga tidak dapat melakukan olah raga dan kegiatan biasa lainnya. Demikian pula penderita sering tidak masuk sekolah sehingga mengganggu prestasi belajarnya. Sebagai kegiatan ada juga yang mengalami gangguan psikososial. Di samping tiga golongan besar tersebut di atas terdapat bentuk asma yang tidak dapat begitu saja dimasukan ke dalamnya. a. Asma episodik berat dan berulang Dapat terjadi pada semua umur, tetapi biasanya pada anak kecil dan umur sebelum sekolah. Serangan biasanya berat dan sering memerlukan perawatan rumah sakit. Biasanya berhubungan dengan infeksi virus saluran napas. Di luar serangan biasanya hilang pada umur 5-6 tahun. Tidak terdapat obstruksi saluran napas yang persisten. b. Asma persisten pada bayi Mengi yang persisten dengan takhipnu untuk beberapa hari atau beberapa minggu. Dapat terjadi pada beberapa anak umur 3-12 bulan. Mengi biasanya terdengar jelas kalau anak sedang aktif dan tidak terdengar kalau anak sedang tidur. Keadaan umum anak biasanya tetap baik dan tumbuh kembangnya juga baik. Beberapa anak bahkan menjadi gemuk sehingga ada istilah fat happy whezzer. Gambaran rontgen paru biasanya normal. Keadaan mengi yang persisten ini kemungkinan besar berhubungan dengan kecilnya saluran nafas pada golongan umur ini. Gejala obstruksi saluran napas pada golongan ini lebih banyak disebabkan oleh edema mukosa dan hipersekresi dari pada spasme ototnya. c. Asma hipersekresi Biasanya terdapat pada anak kecil dan permulaan umur sekolah. Gambaran utama serangan terdapatnya batuk, suara napas berderak (krek-krek, krok-krok) dan mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki basah kasar dan ronki kering. Jenis ini sering keliru diobati sebagai bronchitis infeksi, karena kadang-kadang menginya tidak jelas. d. Asma karena beban fisik (excerclse induced asthma) Serangan asma setelah melakukan kegiatan fisik sering dijumpai pada asma episodik sering dan pada asma kronik persisten. Di samping itu terdapat golongan asma yang manifestasi klinisnya baru timbul setelah ada beban fisik yang bertambah. Biasanya pada anak besar dan akil baliq. Penanggulangan

asma jenis ini termasuk yang biasanya berhasil. e. Asma dengan alergen atau sensitivitas spesifik Pada kebanyakan anak asma biasanya banyak faktor yang dapat mencetuskan serangan asma, tetapi pada anak yang serangan asmanya baru timbul segera setelah terkena alegen misalnya bulu binatang, minuman aspirin, zat warna tartarzine atau makan makanan dan minuman yang mengandung zat pengawet bisulfit. Pada golongan ini penghindaran biasanya jelas hasilnya. f. Batuk malam Batuk malam banyak terdapat pada semua golongan asma. Batuk terjadi karena inflamasi mukosa, edema dan produk mukus yang banyak. Bila gejala menginya tak jelas maka tak jarang salah diagonsis. Yaitu pada golongan asma anak berumur 2-6 tahun dengan gejala utama serangan batuk malam yang keras dan kering. Batuk biasanya terjadi pada jam 1-4 pagi, dan sering mengganggu tidur si anak dan keluarganya. Pada golongan ini sering didapatkan tanda adanya alergi pada anak dan keluarganya. g. Asma yang memburuk pada pagi hari (early morning dipping) Di samping umumnya asma lebih sering timbul gejalanya pada malam hari, ada juga golongan yang gejalanya paling buruk jam 1-4 pagi. Keadaan demikian dapat terjadi secara teratur atau intermiten. Keadaan ini diduga berhubungan dengan irama diurnal caliber saluran napas yang pada golongan ini sangat menonjol. Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak umur 2 tahun. Secara klinis asma dibagi dalam 3 stadium, yaitu: Stadium I Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk. Stadium II Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napa berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirium memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pusat dan sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal dan interkostal. Stadium III Obstruksi atau bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara nafas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernafasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi nafas yang mendadak meninggi. Fase-Fase Terjadinya Obstruksi Bronkus Pada serangan asma terjadi obstruksi bronkus. Obstruksi bronkus dapat mulai yang ringan sebentar yang berat dan lama serta mulai yang intermitten sampai yang terus-menerus. Terjadinya obstruksi bronkus dapat dimulai dari aktivitas biologi pada mediator sel mast dan dapat dibagi dalam 3 fase utama menurut Kay 1984: 1. Fase cepat dan spasmogenik Jika ada pencetus terjadilah peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10-15 menit. Reaksi tesebut dapat hilang segera secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik (beta agonis). Terdapat peninggian faktor kemotaktil netrofil sejalan dengan meningkatnya tahanan saluran napas. Fase cepat ini kemungkinan besar melalui kerja histamin terhadap otot polos secara langsung atau melalui refleks vagal. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis histamin H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini. 2. Fase lambat dan lama Rangsangan bronkus oleh alergen spesifik menyebabkan peninggian tahanan saluran nafas yang menghebat maksimum setelah 6-8 jam. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4-8 jam setelah rangsangan. Reaksi lambat mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Lekotrin, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromoglikat, kortikosteroid dan ketotilen sebelumnya.

3. Fase inflamasi sub-akut atau kronik Asma yang berlanjut yang tidak diobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan di sekitar bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklier. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklier terjadi akibat faktor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Akhir-akhir ini ditemukan mediator PAF (Platelet Activating Factor) yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus. Kedua kelainan bronkus ini juga sering didapatkan pada otopsi anak yang meninggal karena asma. PAF juga menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kostikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Mukus selain mengandung sel eosinofil juga mungkin mengandung sel-sel lainnya, kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshmann. Eosinofil di dinding bronkus, dahak dan darah merupakan tanda yang penting (lihat juga PA pada bronkitis kronis). F. Komplikasi Komplikasi dari asma (Cecily L. Betz, 2002) : a. Status Asmatikus b. Brontitis kronik, bronkiolitis, pneumonia c. Emfisema kronik d. Kor pulmonal dengan gagal jantung kanan e. Atelektasis f. Pneumotoraks g. Kematian G. Pemeriksaan Diagnostik a. Jumlah leukosit-menigkat pada infeksi b. Analisa gas darah (kasus berat) pada awalnya pH meningkat, PaCO2 dan PaO2, dan turun (alkalosis respiatori ringan akibat hiperventilasi); kemudian: penurunan PaO2, dan penigkatan PaCO2 (asidosis respiratorrius). c. Jumlah eosinofil meningkat dalam darah, sputum. d. Foto toraks menyingkirkan infeksi atau penyebab lain yang memperburuk status pernapasan. e. Uji fungsi paru volume tidak menurun, kapasitas vital menurun, kapasitas bernapas maksimus juga menurun. H. Penatalaksanaan a. Serangan akut dengan oksigen nasal atau masker. b. Terapi cairan parental. c. Terapi pengobatan sesuai program. d. Beta2-agonist untuk mengurangi bronkospasme: 1. Abuterol (provetil, ventolin); Dengan pemberian oksigen, dosis oral;0,1 mg/kg setiap 8 jam; nebulizer; 0,15 mg/kg per dosis dalam 2 ml normal salin; inhalasi 1 atau 2 isapan setiap 4-6 jam. Efeknya; tachycardia, palpitasi, pusing kepala, mual, dysrhythmia, tremor, hipertensi dan insomnia. Intervensi keperawatan; jelaskan pada orang tua tentang efek samping dan cara melakukan nebulizer dan fisioterapi dada. 2. Terbutalin; Dosis; usia 2-6 tahun; 0,15 mg/kg tiga hari sekali (tidak lebih dari 5 mg per hari ); 6-14 tahun; 2 mg tiga kali sehari (tidak lebih dari 24 mg per hari); 14 tahun dan dewasa; 2-6 mg/kg dalam tiga kali sehari atau empat kali sehari (tidak lebih dari 32 mg per hari); inhalasi; 1 atau 2 hispan setiap 4-6 jam; nebulizer; 0,51,5 mg setiap 4-6 jam. Efek samping tachycardia, pusing kepala, tremor atau gemetar, mual dan insomnia. Intervensi keperawatan; monitor efek samping dan ajarkan pada orang tua prinsip pemberian pengobatan. 3. Metaprotenol (alupen, mentrapil); Dosis; 0,3-0,5 mg/kg per dosis setiap 6-8 jam; maksimum 20 mg per dosis. Efek samping; tachycardia, palpital, hipertensi, gemetar, lemah, pusing kepala, mual, muntah, mual rasa tidak enak. 4. Bronkodilator Dilatasi bronkus dan bronkiolus, mengurangi bronkospasme, dan meningkatkan bersihan jalan napas. 5. Theophylline ethylenediamine (Aminophylline) Dosis; pada klien tanpa thophylline, dasis; 6 mg/kg dan melalui intravena usia 6-9 bulan: 1,0-1,2

mg/kg/jam usia 9-12 jam; 0,9-1,0 mg/kg/jam usia 12-16 tahun: 0,6-0,7 mg/kg/jam. Pemberian dengan melalui aliran cairan intravena jangan lebih dari 25 mg per menit. Efek samping, tachycardia, dysrhythmias, palpiasi, iritasi gastrointestinal rangsangan sistem saraf pusat; gejala toxic; sering muntah, haus, demam ringan, palpitasi, tinnitus, dan kejang. Intervensi keperawatan; aturan aliran infus secara ketat, gunakan alat infus khusus misalnya; infus pompa. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian a. Pengkajian fisik b. Pengkajian dada - Inspeksi : ukuran, bentuk, kesimetrisan, gerakan dan perkembangan payudara. - Lokalisasi : ruang interkostal (ICS), dengan palpasi dada secara inferior dari kedua iga. - Uvula : perhatikan adanya uvula bifid (terbelah di garis tengah) - Tonsil palatin : catat adanya eksudat dan pembesaran yang dapat menyumbat. - Faring posterior : kaji tanda-tanda infeksi (eritema, edema, lesi putih atau eksudat) - Gerakan : selama inspirasi dan ekspirasi sudut kostal lebar atau sempit - Pektus karinatum (dada burung) : sternum menonjol keluar - Pektus eksakavatum (dada tong) : posisi bawah sternum tertekan. c. Pengkajian paru-paru - Evaluasi gerakan pernapasan : frekuensi, irama, kedalaman, kualitas dan karakter. - Fremitus vokal : palpasi (anak pada posisi duduk, tempatkan kedua tangan datar di punggung atau dada dengan ibu jari di garis tengah sepanjang tepi kostal bawah) dan anak mengatakan gg atau eee. - Perkusi kedua sisi dada dalam urutan dari apeks ke dasar : untuk paru-paru anterior, anak duduk atau terlentang sedangkan untuk paru-paru posterior anak duduk. - Auskultasi pernapasan dan bunyi suara : intensitas, nada, kualitas, durasi relatif dari inspirasi dan ekspirasi. - Perhatikan bunyi-bunyi tambahan : Crakles : mempunyai ciri bunyi tidak terus-menerus, terdengar terutama selama inspirasi dari saluran udara melalui cairan atau kelembaban; bila crakles tidak ada pada napas dalam maka hal itu tidak dianggap patologis. Mengi (wheezing) : suara musikal terus-menerus, disebabkan oleh lewatnya udara melalui saluran sempit, tanpa memperhatikan penyebab (eksudat, inflamasi, benda asing, spasme, tumor). Mengi inspirasi audibel (stridor) : sonor, mengi, musikal terdengar tanpa stetoskop; menunjukkan obstruksi tinggi, misalnya : epiglotis. Mengi eksipiratori audibel : mengi bersiul, mendesah yang terdengar tanpa stetoskop; menunjukkan obstruksi rendah. Frection rub pleural : bunyi gemericik, bergesekan selama inspirasi dan ekspirasi, terjadi karena permukaan pleura yang mengalami inflamasi, tidak dipengaruhi oleh batuk. - Konsolidasi jaringan paru menghasilkan tiga jenis bunyi suara abnormal : Pektoriloquy berbisik : anak membisikan kata-kata dan perawat mendengarkan suku kata. Bronkofoni : anak mengucapkan kata-kata yang tidak dapat dibedakan tetapi resonan vokal meningkat dalam intensitas dan kejelasan. Egofoni : anak mengatakan ee yang terdengar sebagai bunyi nasal ay melalui stetoskop. d. Riwayat keluarga khususnya mengenai adanya atopi dalam anggota keluarga. e. Riwayat kesehatan termasuk adanya bukti-bukti atopi (misalnya : eksema, rinitis), bukti kemungkinan faktor pencetus, episode sesak napas sebelumnya, mengi dan batuk, adanya keluhan gatal pada bagian depan leher atau bagian atas punggung. f. Observasi adanya manifestasi asma bronkial : - Batuk : keras, paroksimal, iritatif dan non produktif, menjadi produktif dengan sputum yang banyak, jernih, kental. - Tanda-tanda yang berhubungan dengan pernapasan : napas pendek, fase ekspirasi memanjang, mengi dapat didengar, sering tampak pucat, telinga merah dan tonjolan pipi kemerahan, bibir berwarna merah tua, dapat berkembang menjadi sianosis, gelisah, ketakutan, ekspresi wajah cemas, berkeringat mungkin menonjol saat serangan berlanjut, bicara dengan frase singkat dan patah-patah.

- Pada episode ulangan : dada barrel, peningkatan bahu, penggunaan otot pernapasan aksesori, tampilan wajah tulang pipi datar, lingkaran di bawah mata, hidung menyempit, gigi atas menonjol, observasi adanya manifestasi distres pernapasan yang hebat dan ancaman gagal napas, berkeringat banyak, anak duduk tegak, menolak berbaring, tiba-tiba teragitasi, tiba-tiba diam setelah sebelumnya teragitasi. g. Kaji lingkungan untuk adanya kemungkinan faktor alergen. B. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d respons alergenik dan inflamasi pada percabangan bronkial. b. Resiko tinggi asfiksia b.d interaksi antara individu dan alergen c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen d. Perubahan proses keluarga b.d mempunyai anak dengan penyakit kronis e. Resiko tinggi asfiksia b.d bronkospasme, sekresi mukus, edema f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d kesulitan meminum cairan, kehilangan cairan tak kasat mata karena hiperventilasi dan diaforesis g. Resiko tinggi cedera (asidosis respiratorius) ketidakseimbangan elektrolit b.d hipoventilasi, dehidrasi h. Perubahan proses keluarga b.d kedaruratan hospitalisasi anak. C. Perencanaan Diagnosa I Goal : Klien akan mempertahankan jalan napas yang efektif selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 24 jam pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi dan menunjukkan bukti-bukti perbaikan kapasitas ventilasi. Intervensi : 1. Instruksikan dan / atau awasi latihan pernapasan R/ Meningkatkan pernapasan diafragmatik yang tepat, ekspirasi sisi, dan perbaikan mobilitas dinding dada. 2. Gunakan teknik bermain untuk latihan pernapasan pada anak kecil (misalnya : meniup gasing atau bola-bola kapas di meja) R/ Memperpanjang waktu ekspirasi dan meningkatkan tekanan ekspirasi. 3. Ajari penggunaan obat yang ditentukan dengan benar R/ Pengobatan yang tepat mempercepat penyembuhan. 4. Ajari keluarga untuk melakukan perkusi dan drainase postural dan untuk menganjurkan batuk bila diindikasikan R/ Mempermudah pengeluaran sekret 5. Anjurkan aktivitas yang memerlukan penggunaan energi pendek (misalnya : baseball, lari pendek, lompat tali) R/ Latihan ini ditoleransi dengan lebih baik daripada latihan yang memerlukan latihan ketahanan. 6. Anjurkan untuk berenang R/ Anak menghirup udara yang tersaturasi dengan kelembaban dan berekshalansi di bawah air dapat memperpanjang ekspirasi dan meningkatkan tekanan ekspirasi akhir. 7. Batasi aktivitas fisik R / Mencegah bronkospasme. 8. Dorong postur tubuh yang baik R/ Ekspansi paru maksimum 9. Bantu anak dan keluarga dalam memilih aktivitas yang tepat sesuai kemampuan dan kesukaan anak R/ Mencegah latihan yang dapat menyebabkan bronkospasme. Diagnosa II Goal : Pasien akan mempertahankan pernapasan yang optimal selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 24 jam pasien tidak mengalami episode asma. Intervensi : 1. Ajari anak dan keluarga bagaimana menghindari kondisi atau situasi yang mencetuskan episode asmatik. R/ Menghindari terjadinya episode asmatik. 2. Hindari suhu lingkungan yang ekstrim : bila anak terpapar udara dingin, anjurkan untuk bernapas melalui hidung dan menggunakan masker atau skarf, atau menangkupkan masker atau skarf, atau menangkupkan tangan pada hidung dan mulut. R/ Menciptakan reservoar udara hangat untuk bernapas.

3. Ajari anak dan keluarga untuk mengenali tanda-tanda dan gejala awal R/ Ancaman episode dapat dikontrol sebelum menimbulkan distres. 4. Ajari anak dan keluarga tentang penggunaan bronkodilator dan obat-obat antiinflamasi yang benar. R/ Mengetahui efek samping dan bahaya penggunaan yang berlebihan atau yang berkurang. 5. Anjurkan praktik kesehatan (diet seimbang dan bergizi, istirahat cukup, higiene baik). Latihan tepat, perawatan tindak lanjut. R/ Mendukung pertahanan tubuh alami. Diagnosa III Goal : Pasien akan mempertahankan aktivitas yang tepat sesuai kemampuan selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 24 jam pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kondisi dan istirahat dengan optimal. Intervensi : 1. Dorong aktivitas yang sesuai dengan kondisi. R/ Latihan yang ditoleransi lebih baik untuk mencegah bronkospasme. 2. Beri kesempatan untuk tidur, istirahat dan aktivitas tenang. R/ Menambah energi dan mengurangi kelelahan. Diagnosa IV Goal : Pasien / keluarga akan meningkatkan adaptasi positif selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 60 menit pasien dan keluarga akan menunjukkan koping yang positif. Intervensi : 1. Kembangkan hubungan keluarga yang positif. R/ Menguatkan mekanisme koping positif dari anak dan keluarga. 2. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman orang tua dan anak tentang penyakit dan terapi. R/ Pengetahuan yang adekuat dihubungkan dengan penggunaan pencegahan dan intervensi kedaruratan tepat waktu dari keluarga. 3. Berespons terhadap tanda awal dari ancaman episode asma dengan menggunakan obat yang ditentukan sesuai kebutuhan. R/ Menurunkan potensi eksaserbasi yang parah. 4. Waspadai aadnya tanda-tanda anak depresi, dan buat rujukan yang tepat untuk mendapatkan dukungan psikologis. R/ Anak depresi, khususnya remaja, mungkin tidak akan mematuhi terapi sebagai cara bunuh diri pasif. 5. Ajari anak dan keluarga tentang bagaimana memberikan tindakan pernapasan. R/ Menghilangkan adanya konfusi mengenai obat atau inhalor / nebuliser. 6. Anjurkan keluarga untuk menghubungi petugas sekolah. R/ Mengembangkan rencana perawatan yang konsisten di lingkungan sekolah. Diagnosa V Goal : Pasien akan mempertahankan fungsi pernapasan normal. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 30 menit pasien akan mengalami penghentian bronkospasme dan mengeluarkan sekresi bronkial dengan baik. Intervensi : 1. Berikan infus intravena R/ Pemberian obat dan hidrasi 2. Berikan bronkodilator aerosol dan kortikosteroid oral atau IV sesuai ketentuan. R/ Menghilangkan bronkospasme. 3. Pantau dengan cermat infus aminofilin IV atau teofilin oral. R/ Keefektifan maksimum dan efek samping minimum. 4. Beri oksigen yang dilembabkan dengan tent, masker atau kanula sesuai instruksi. R/ Mempertahankan oksigenasi yang memuaskan. 5. Pantau dengan ketat saturasi oksigen dan gas darah melalui oksimetri nadi. R/ Mendeteksi hipoksia dini atau ancaman hipoksia. 6. Pantau dengan ketat persentase oksigen yang diberikan. R/ Kadar yang tinggi dapat menekan pernapasan. 7. Berikan sedatif dan agens tranquilizer, bila diinstruksikan dengan kewaspadaan ekstrim dan bila agitasi tidak disebabkan oleh anoksia. R/ Obat-obat tersebut dapat mendepresi pernapasan dan menyamarkan tanda-tanda anoksia.

8. Beri hidrasi yang adekuat, oral atau intravena. R/ Mengencerkan sekresi agar lebih mudah dibuang. 9. Pertahankan puasa, bila perlu R/ Mencegah aspirasi cairan dan makanan 10. Berikan atmosfir lembab R/ Mencegah pengeringan membran mukosa. 11. Posisikan; posisi semi telungkup, posisi miring, bila perlu. R/ Mencegah aspirasi sekresi. Diagnosa VI Goal : Pasien akan mempertahankan keseimbangan volume cairan selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 24 jam pasien akan menunjukkan tanda-tanda hidrasi yang adekuat. Intervensi : 1. Pertahankan infus intravena pada frekuensi yang tepat. R/ Terapi cairan akan mengencerkan sekresi. 2. Berikan cairan bila distres pernapasan akut sudah berkurang. R/ Mengurangi resiko aspirasi 3. Hindari cairan dingin R/ Dapat mencetuskan reflekse bronkospasme. 4. Berikan cairan (dan makanan) dalam jumlah sedikit dan sering. R/ Menghindari distensi abdomen yang dapat mempengaruhi pengembangan diafragmatik. 5. Gunakan teknik bermain yang sesuai dengan usia anak. R/ Mendorong masukan cairan. 6. Ukur input dan output R/ Memonitori input dan output untuk intervensi selanjutnya. 7. Perbaiki dehidrasi dengan pertahanan. R/ Hidrasi berlebihan dapat meningkatkan akumulasi cairan paru insterstisial menimbulkan peningkatan obstruksi jalan napas. Diagnosa VII Goal : Pasien akan mempertahankan keseimbangan elektrolit selama dalam perawatan. Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 60 menit pasien tidak menunjukkan tanda-tanda asidosis. Intervensi : 1. Pantau pH darah dengan cermat R/ pH yang kurang dari 7,25 dapat merusak aliran darah sistemik, pulmonal dan koroner, dan pH normal meningkatkan efek bronkodilator. 2. Berikan natrium bikarbonat sesuai ketentuan. R/ Mencegah atau memperbaiki asidosis. 3. Pertahankan infus intravena R/ Memberikan obat-obat darurat mencegah muntah dan dehidrasi. 4. Cegah muntah dan dehidrasi R/ Menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. 5. Implementasikan tindakan untuk memperbaiki ventilasi. R/ Hipoventilasi dapat menyebabkan akumulasi karbondioksida yang akan menurunkan pH. 6. Pantau dengan ketat kadar elektrolit serum R/ Dehidrasi dapat mengubah elektrolit serum normal. Diagnosa VIII Goal : klien/keluarga akan mengalami penurunan ansietas selama dalam perawatan Objektif : Dalam jangka waktu 1 x 60 menit pasien/keluarga tidak menunjukkan tanda-tanda distress. Intervensi : 1. Jaga agar orang tua tetap mendapatkan informasi tentang kondisi anak. R/ Mengurangi kecemasan 2. Dorong untuk mengekspresi perasaan, khususnya tentang keparahan kondisi dan diagnosis R/ Mencegah distress 3. Biarkan orang tua untuk sebanyak mungkin bersama dengan anak. R/ Mendorong konsep keperawatan yang berpusat pada keluarga. 4. Kurangi stimuli sensor dengan mempertahankan lingkungan yang tenang dan rileks. R/ Mendorong perilaku koping yang positif.

D. Implementasi Sesuai intervensi. E. Evaluasi 1. Jalan napas pasien kembali normal Data pendukung : tidak ada bukti-bukti infeksi dan menunjukkan bukti-bukti perbaikan kapasitas ventilasi. 2. pernapasan pasien optimal Data pendukung : tidak mengalami episode asma 3. aktivitas pasien kembali normal Data pendukung : pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kondisi dan istirahat dengan optimal 4. Adaptasi pasien dan keluarga sudah positif. Data pendukung : pasien dan keluarga menunjukkan koping yang positif. 5. Fungsi pernapasan pasien kembali normal Data pendukung : penghentian bronkospasme dan mengeluarkan sekresi bronkial dengan baik. 6. Keseimbangan volume cairan pasien normal. Data pendukung : tanda-tanda hidrasi adekuat 7. Keseimbangan elektrolit Data pendukung : tidak ada tanda-tanda asidosis 8. Pasien/keluarga mengalami penurunan ansietas Data pendukung : keluarga mengungkapkan kekhwatiran dan menghabiskan waktu bersama anak serta keluarga tidak menunjukkan tanda-tanda distress.

You might also like