You are on page 1of 14

Filsafat Hukum

Kajian Filsafat Hukum terhadap Hukuman Mati dalam Sistem Hukum Indonesia

Oleh: I Nyoman Rma Putra Iswara (09133102) Hukum 2011/2012

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Mengingat semakin merajalelanya tindakan kriminal, dari skala kecil sampai skala besar, seakan-akan warga negara Indonesia ini begitu tidak gentar menghadapi hukum. Pejabat kebal hukum, rakyat bebal hukum. Ya, tampaknya seperti itulah karakteristik orang Indonesia. Hukum menjadi semacam alat untuk bermain bagi pihak-pihak tertentu. Terang saja, tindakan kriminal skala kecil dibesar-besarkan sedangkan tindakan kriminal skala besar dikecil-kecilkan. Untuk tindakan kriminal skala besar, banyak pihak yang ingin agar pelakunya diganjar hukuman mati agar menciptakan efek takut bagi orang lain dalam hal ini berarti bernilai preventif. Namun, ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujuinya bersamaan dengan adanya HAM. Ada yang mengatakan hukuman mati bukan cara irasional, tidak manusiawi, tidak bijaksana, hanya merupakan hak Tuhan. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tindakan ini tegas dan bisa menjaga wibawa negara. Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba mengulas bagaimanakah sebaiknya tentang hukuman mati dikaji dengan dengan filsafat hukum dan sistem hukum.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sebaiknya penerapan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia?

Bab 2 Pembahasan
A. Pengertian Filsafat Hukum
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. [1] Berkaitan dengan hukum, beberapa ahli mendefinisikan filsafat hukum sebagai berikut: Menurut Soetikno: Filsafat hukum adalah mencari hakekat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum. Menurut Satjipto Raharjo: Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang hakekat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta sistem hukumnya sendiri. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan. _________________________________________________________________________________________
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Menurut Lili Rasjidi: Filsafat hukum berusaha membuat dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normatif, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi dasar hukum dan etis bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo Kantianisme). [2] Menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta: Ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakekat. [3] Secara garis besar filsafat hukum berupa suatu ilmu yang mengkaji hukum secara mendalam, penuh kebijaksanaan, berjangka panjang dan fleksibel sehingga hukum itu sendiri menjadi selaras (keserasian nilai-nilai) dengan karakteristik masyarakat. Kajian filsafat hukum sendiri tentu membutuhkan cabang-cabang ilmu lain yang berkaitan dengan hukum, seperti: antropologi hukum, sosiologi hukum, psikologi hukum dan sebagainya. Dengan demikian kajian filsafat hukum akan mampu mencakup semua aspek dalam masyarakat.

B. Hukuman Mati dalam Sistem Hukum Indonesia


Pada dasarnya sistem hukum di Indonesia terdiri dari tiga jenis sistem hukum. Yaitu hukum Eropa, hukum agama dan hukum adat. Dari ketiganya, _________________________________________________________________________________________
[2] http://kuliahade.wordpress.com/2009/11/22/pengertian-filsafat-hukum-menurut-para-ahli/ [3]

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Huku m%20dan%20Perannya%20dalam%2 0Pembentukan%20Hukum%20d i%20Indonesia.pdf

baik pidana maupun perdata sebagian besar hukum di Indonesia bersistem hukum Eropa. Sedangkan sistem hukum agama dan adat biasanya berlaku pada urusan perkawinan, kewarisan dan kekerabatan. Namun kembali pada salah satu asas berlakunya undang-undang yaitu: Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi, sehingga apabila ada dua macam undang-undang yang tidak sederajat mengatur objek yang sama dan saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan undang-undang yang lebih tinggi dan menyatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak mengikat (lex superior derogat legi inferiori). Ini berarti apabila hukuman mati diberlakukan oleh negara, maka hukum adat perda tidak berhak menentang. Sebaliknya, jika hukum adat atau perda memberlakukan hukuman mati tetapi negara tidak, maka tidak boleh ada hukuman mati. Jika ditinjau dari segi hukum agama, faktanya terdapat beberapa agama yang mengindikasikan adanya hukuman mati termasuk bagian yang tidak mendukungnya. Berikut saya sampaikan indikasi pro dan kontra hukuman mati dari berbagai agama: 1. Agama Hindu Di dalam kitab hukum Hindu salah satunya Manawa Dharmastra memuat tentang tindakan yang dilarang beserta sanksinya. Beberapa ayat memuat hukuman mati untuk bentuk kejahatan tertentu. Namun dalam nti Parva (Mahbharta) ada sebuah percakapan antara pangeran Satyavan dengan raja Dyumatsena sebagai berikut: Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.

Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar. Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu. Percakapan ini menjadi landasan bahwa hukuman mati tidak diperlukan dalam agama Hindu. [4] 2. Agama Kristen Kalangan Kristen dari umat biasa sampai pendeta baik dari Kristen Katolik maupun Kristen Protestan memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukuman mati. Surat Paulus kepada Jemaat di Roma bab 13 ayat 1-4 tentang keharus-patuhan rakyat terhadap pemerintah menjadi landasan berlakunya hukuman mati. Namun bagi kalangan Kristen yang menentang, mereka berlandaskan Exodus bab 20 ayat 13, yang menuliskan: Kamu tidak boleh melakukan pembunuhan.. Kemudian dalam Surat Yesaya ayat 5 dijelaskan: Beginilah firman Allah, Tuhan yang menciptakan langit dan membentangkannya, yang menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberi nafas kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di atasnya. 5

Kesimpulannya dalam Kristen ada ayat (dalam surat Exodus) yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak boleh membunuh. [5] 3. Agama Islam Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud (suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti dan tazir (suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada negara). Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas (memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap korbanDasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat 178 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa diat adalah suatu ganti rugi yang dibayarkan kepada ahli waris korban. Dalam hukum Islam hukuman mati dapat diganti dengan pembayaran ganti rugi kepada ahli waris korban apabila sebelumnya ahli waris korban telah memaafkan pelaku kejahatan pembunuhan atas apa yang dilakukannya. Selanjutnya dalam ayat 179 Allah SWT berfirman: Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu ber-taqwa. Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni 6

surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zalim.. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari pembunuhan tersebut. Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu: a. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal. b. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja. c. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi. d. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain. Kisas tidak dapat diberlakukan apabila pembunuhan yang terjadi melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan. Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.

Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum. Prinsip ini menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah dilakukannya serta bertaubat dengan sungguhsungguh, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah. Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses penjatuhan hukuman. [6] 4. Agama Buddha Dalam agama Budha dikenal apa yang dinamakan dengan Panca-sila. Panca-sila dalam agama Buddha ini adalah sebagai prinsip dasar bagi umat Budha dalam pengembangan kepribadian agar dapat berperikelakuan baik. Aturan pertama dalam Panca-sila adalah larangan terhadap pencabutan nyawa. Aturan pertama ini yang dijadikan dasar dalam menentang hukuman mati. Dalam kitab umat Buddha, Dhammapada, juga terdapat pasal yang berhubungan dengan hukuman mati yaitu pasal 10 yang menyatakan Setiap orang takut akan hukuman, setiap orang takut akan kematian, sebagaimana kamu juga rasakan. Maka janganlah kalian membunuh atau menyebabkan terjadinya pembunuhan. Setiap orang takut akan hukuman, setiap orang mencintai kehidupan, sebagaimana kamu juga rasakan. Maka janganlah kalian membunuh atau menyebabkan terjadinya pembunuhan.. Selanjutnya dalam pasal terakhir dari Dhammapada ini, pasal 26, menyatakan Dia Kami sebut brahmin, barangsiapa yang menanggalkan senjatanya dan menghindari kekerasan terhadap semua umat. Dia tidak membunuh atau membantu orang lain untuk membunuh..

Hal ini diinterpretasikan oleh sebagian besar umat Buddha, terutama umat Buddha di Barat, sebagai suatu dasar dalam menentang hukuman mati. Namun ada pula interpretasi yang berbeda dengan interpretasi umat Buddha di Barat tersebut, misalnya Thailand yang kita ketahui bahwa Buddha sebagai salah satu agama yang resmi diakui negaranya, tetapi menerapkan hukuman mati. Begitu pula dengan Sri Lanka, Jepang, Taiwan yang mayoritas warga negaranya menganut agama Budha, tetap mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya. Teori absolut yang dipandang sebagai alasan pembenar terkuat dalam penerapan hukuman mati tidak sejalan dengan ajaran agama Buddha sebagaimana tersirat dalam Panca-sila dan Dhammapada. Maka tidak heran apabila hampir semua umat Budha menentang hukuman mati sebagai pembalasan, seperti dalam ajaran absolut. [7] Dari polling atau pemungutan suara dan jajak pendapat yang saya lakukan (2 Nopember 2011 - 13.05) , didapat hasil sebagai berikut: Dari 166 koresponden dengan latar belakang teracak: 137 koresponden setuju dengan adanya hukuman mati di Indonesia. 29 koresponden tidak setuju dengan adanya hukuman mati di Indonesia[8] Beberapa koresponden mengatakan bahwa hukuman mati perlu diadakan terutama bagi pelaku korupsi dan terorisme atau pembunuhan massal berencana, alasan-alasannya sebagai berikut: Karena hukuman mati merupakan salah satu efek jera bagi para pelaku kejahatan; Untuk memberikan efek rasa takut terhadap calon pelaku kriminal lainnya; Hukuman penjara tidak cukup karena setelah bebas bisa korupsi lagi; Jika kasusnya sangat merugikan masyarakat dan negara;

Seperti pemerintah RRC yang berhasil menekan kasus korupsi dengan hukuman mati; Pelaku tidak serta-merta dapat dilindungi HAM karena pelaku sendiri melanggar HAM rakyat sipil berskala besar dengan merenggut hak makan, hak pendidikan, hak kesehatan dan sebagainya.

Beberapa koresponden yang tidak setuju dengan adanya hukuman mati di Indonesia mengemukakan beberapa alasannya sebagai berikut: Matinya seseoranga ada di tangan Tuhan; Kurang menimbulkan efek jera, lebih baik diganti dengan pemiskinan, hukuman mental dengan mempermalukan terdakwa di publik dan sebagainya; Kurang manusiawi (melanggar HAM), sebaiknya hukuman penjara seumur hidup; Bertentangan dengan UUD Pasal 28 tentang hak hidup; Kematian terdakwa tidak menyelesaikan masalah; Perlu diberi kesempatan ke-dua. Jika ditinjau dari segi hukum adat, sebagaimana tertera dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X bahwa dalam berbagai hukum adat terdapat salah satu reaksi adat yaitu hukuman badan, bahkan sampai hukuman mati. [9] _________________________________________________________________________________________
[4] http://www.jambilawclub.com/2011/03/tinjauan -agama-hindu-atas-hukuman-

mati.html
[5] http://www.jambilawclub.com/2011/03/tinjauan-agama-kristen-atas-hukuman.html [6] http://www.jambilawclub.com/2011/03/tinjauan-agama-islam-atas -hukuman-mati.html [7]

http://www.jambilawclub.com/ 2011/03/tinjauan-agama-budha-atas-hukuman-mati.ht ml

[8] http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11254823 [9] http://www.jambilawclub.com/2011/03/hukuman-mati-perspektif-hukum -adat.html

10

Bab 3 Penutup
A. Kesimpulan
Sampai saat ini hukuman mati masih berlaku di Indonesia yang salah satunya sebagaimana termuat di dalam Pasal 36 UU No. 26 Tahun 2000: Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Dilihat dari aspek agama, hukuman mati tidak mutlak ditentang. Begitu juga dalam beberapa hukum adat. Namun demikian, beberapa pihak tertentu ingin agar hukuman mati berhenti diberlakukan di Indonesia. Setelah memaparkan beberapa kajian mengenai tentang hukuman mati, dari segi agama sosial dan adat, maka saya akan mengemukakan beberapa kesimpulan. Apakah hukuman mati perlu ditidiadakan? Apabila hukuman mati dihapus dari sistem hukum di Indonesia lalu digantikan dengan hukuman kurungan penjara dan pemiskinan, jika dikaji secara filosofis, jika terdakwa yang melakukan kejahatan berskala besar misalnya terorisme, maka besar kemungkinan ia akan membunuh lebih banyak lagi. Dengan pertimbangan ini, hukuman mati perlu diberlakukan agar tidak ada korban yang berjatuhan lagi. Tetapi hukuman mati bisa saja ditiadakan apabila aparat penegak hukum mampu menjamin untuk memberantas tuntas seluruh jaringan yang terkait dalam kasus itu. Kenyataannya, seorang terdakwa bandar narkoba masih bisa melakukan akses dan menguasai jalur transaksi penjualan narkoba berskala besar di dalam lapas. Apabila sulit mengawasi oknum lapas yang terlibat, maka hukuman mati perlu diberlakukan. Hukuman mati bisa ditiadakan

11

apabila terjamin bahwa tardakwa bandar narkoba tidak bisa berkutik sama sekali di lapas di mana pegawai lapas benar-benar bertanggung jawab. Alasan HAM dan otoritas Tuhan mengenai hukuman mati, juga tidak sepenuhnya benar. Jika membunuh terdakwa sebagai hukuman dikatakan melanggar HAM, lalu mengapa militer membunuh penjajah tidak dikatakan melanggar HAM? Padahal keduanya sama-sama membunuh. Hukuman mati dapat ditiadakan dengan digantikan dengan hukuman kurungan penjara seumur hidup di mana fasilitas setiap narapidana tidak dibeda-bedakan. Selain itu harus ada jaminan atau kepastian bahwa terdakwa benar-benar jera dikurung di penjara dan akses narapidana dengan kasus kriminal berskala besar ke dunia luar benar-benar dijaga ketat, dibatasi dan diawasi. Setiap penjaga lapas juga harus bertanggung jawab. Bagi kasus korupsi, pemiskinan atas aset-aset hasil korupsi harus dilakukan oleh negara. Dengan demikian efek jera benar-benar dapat dirasakan oleh pelaku dan menjadi bentuk preventif terhadap calon pelaku.

B. Saran
Bagaimanapun juga negara belum tentu bisa menjamin bahwa setiap aparat penegak hukum dapat bertanggung jawab sepenuhnya atas kewajibannya. Bagi terdakwa kasus luar biasa yang tidak dihukum mati, melainkan dihukum penjara beberapa tahun atau seumur hidup. Ada yang mengatakan penjara seumur hidup membuat negera mengeluarkan biaya karena narapidana bisa makan gratis seumur hidup. Letak permasalahan bukan di situ. Tetapi selalu saja ada oknum aparat penegak hukum yang mencari kesempatan. Tujuan agar narapidana yang dikurung penjara agar jera, malah dengan bekerja sama dengan oknum tertentu, narapidana tersebut masih tetap bisa melakukan kejahatannya di dalam penjara. Saya menyayangkan hukuman mati dihapuskan.

12

Menurut saya, kita tidak perlu menuntut penghapusan hukuman mati dengan alasan apapun. Hukuman mati tetap perlu diberlakukan, namun dengan rumusan yang tepat. Kapan, kepada siapa, karena kasus apa, dengan alasan apa dan sebagainya. Dengan pertimbangan sosiologi hukum yang matang. Hukuman mati sangat tepat diberlakukan kepada pelaku kriminal berskala besar dan kepada kepala jaringan kriminal, yang menyebabkan kerugian materil dan imateril yang berskala besar pula. Namun demikian, hukum harus tetap menyelidiki dan memberantas setiap orang yang terlibat di dalamnya. Hukuman mati perlu dihapuskan apabila hukuman mati itu diberlakukan tanpa alasan yang jelas atau kepada pelaku kriminal berskala kecil.

13

You might also like