You are on page 1of 97

PROPOSAL

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP


KEWARISAN ASURANSI JIWA
(STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA JALAN
JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.70 MALANG )


Proposal Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)


Dosen pembimbing:
ZAENUL MAHMUDI. MA


Oleh:
Rofiatul Hasanah
(05210008)














JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
2008
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis
menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
KEWARISAN ASURANSI JIWA
(STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN
JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.70 MALANG )
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik dari segi isi, logika, maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian,
maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.


Malang, 20 April 2009
Penulis,


Rofiatul Hasanah
NIM. 05210008


PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan skripsi saudara Rofiatul Hasanah, NIM 05210008, mahasiswi
Fakultas Syariah Universitas Islam nageri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,
setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan
mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
KEWARISAN ASURANSI JIWA
(STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN
JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 70 MALANG)
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis
dewan penguji.



Malang, 20 April 2009
Pembimbing,


ZAENUL MAHMUDI, MA.
NIP. 150 295 155



PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Rofiatul Hasanah, NIM 05210008, mahasiswi Fakultas
Syariah angkatan tahun 2005, dengan judul
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
KEWARISAN ASURANSI JIWA
(STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN
JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 70 MALANG)
Telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A (Sangat Memuaskan).

Dewan Penguji:
Drs. H. DAHLAN TAMRIN, M.Ag ( )
NIP. 150 216 425 PENGUJI UTAMA

H. FAKHRUDIN, M.Hi ( )
NIP.150 302 236 KETUA

ZAENUL MAHMUDI, MA. ( )
NIP. 150 295 155 SEKERTARIS


Malang, 20 April 2009
Dekan,


Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag
NIP. 150 216 425
PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN

KARYA INI
AKU PERSEMBAHKAN KEPADA
MAS FUAD YANG SELALU MEMBERI AKU SEMANGAT DAN
SELALU PERCAYA KALO AKU PASTI BISA.
ABI DAN IBU YANG SANGAT AKU SAYANGI DAN
MENGERTI AKU
BAPAK DAN IBU MERTUAKU YANG AKU SAYANGI DAN
SELALU MEMBERIKU KEBAHAGIAAN.

KEPADA BAPAK ZAINUL MAHMUDI DAN WARGA
TAKAFUL YANG DENGAN SABAR MEMBERIKAN
BIMBINGAN KEPADAKU
SERTA KAKAK-KAKAKKU, ADEKKU DAN LIMA
KEPONAKANKU TERSAYANG.

SAHABATKU YANG SELALU MENDUKUNG KEPUTUSANKU
(MBAK AIN SI REPORTER HANDAL, SI CANTIQ JANGGEM,
SI KUTILANG MEMEY, SI KREMPENG ZIZI)

TEMAN-TEMAN SYARIAH YANG SELALU BAIK PADAKU
DAN SELALU MEMBERI BANTUAN KEPADAKU
SERTA PERHATIAN KEPADAKU. SEMUA PIHAK YANG
MEMBANTU TERSELESAIKANNYA PENULISAN SKRIPSI
INI.
MOTTO

- ` - ' =` , , ' ''' - -' - - ' ' - ' - - ' . - , = , ' , - - ' , '
, ' - - ' _ -' - , ' _ - - ' - = _ ' = ' - ' _ -' , , - -' ' - ' , ' -' -' ., - -' -
-' ' -' - ' , -' -' - ' = - + - , , - ' ' ' _ -' ` -' ' ' '
- - ' = - ' , - - , - ' = - ' ' - ' , = , - ) --' : 177 .(

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.













KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim.
Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, yang selalu memberikan kekuatan dan rizki yang
begitu melimpah kepada kita semua terutama penulis, sehingga terselesaikan penyusunan
skripsi ini.
Shalallahu Ala Muhammad, marilah selalu kita lantunkan untuk Baginda
Muhammad yang telah memberikan jalan terang benderang kepada seluruh umat Islam
dengan membawa amanah dari Allah SWT.
Syukron Katsir, penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang selalu membantu
terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang beserta Stafnya, para Dosen dan Karyawan dilingkungan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan
layanan terbaik kepada penulis selama menuntut ilmu.
2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3. Bapak Zaenul Mahmudi, M.A selaku Ketua Jurusan Syariah dan pembimbing yang
sangat baik serta penuh kesabaran dalam membimbing penulis hingga selesai.
4. Kedua orang tua yang sabar dan ikhlas membesarkan dan mendukung penulis untuk
selalu menuntut ilmu. Serta kedua adikku yang menjadi penyemangat hidup penulis.
5. Ridwan Fuad, Amd. yang selalu berusaha memberikan yang terbaik dan selalu
memberikan semangat disetiap waktu kepada penulis.
6. Warga Takaful cabang Malang yang selalu membantu kesulitan dalam pencarian data
untuk skripsi ini, terutama kepada Bapak Zainul, Bapak Nastain, Bapak Khamim, dan
Bu Kris.
7. Sahabat-sahabat dekatku yang paling baik (Janggem, Zizi, Memey, Zila, Anas, Olif,
Chrys, Bang Jo, Bude Ilul, Tante Istiq, Yu Er, Mbak Ain, Mbak Irma, Neng Aziz,
Mbak Fifin) dan semua penduduk syariah, terutama angkatan 2005 yang selalu
memberikan semangat kepada penulis.
Hanya ucapan terimakasih yang dapat penulis sampaikan, dan semoga Allah
memberikan balasan kebaikan kepada semuanya.
Skripsi ini adalah tulisan yang jauh dari kata sempurna, oleh karena itu mohon
kritikan dan saran untuk memperbaiki skripsi ini.
Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sedikit manfaat kepada para
pembaca, terutama untuk penulis sendiri.


Malang, 20 April 2009
Penulis


(Rofiatul Hasanah)


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN.................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vi
HALAMAN MOTTO........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii
DAFTAR ISI......................................................................................................... x
HALAMAN LAMPIRAN.................................................................................... xii
ABSTRAK............................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
E. Penelitian terdahulu .................................................................................. 7
F. Sistematika pembahasan ........................................................................... 9

BAB II PANDANGAN TENTANG TIRKAH DAN ASURANSI JIWA
A. Tirkah
1. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya ............................................... 13
2. Pengertian Tirkah.................................................................................. 15
3. Hak-hak yang Berkaitan dengan Tirkah ............................................... 18
4. Sebab-sebab Mawaris ........................................................................... 20
5. Syarat dan Halangan Mawaris .............................................................. 21


B. Asuransi Jiwa
1. Pengertian Asuransi (Syariah) ............................................................. 26
2. Akad dalam Asuransi ............................................................................ 30
3. Status Hukum Fiqih Sistem Asuransi Jiwa........................................... 38

BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian....................................................................................... 47
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................................... 47
C. Metode Pengumpulan Data....................................................................... 49
D. Sumber Data.............................................................................................. 51
E. Metode Pengolahan Data .......................................................................... 52

BAB IV PENYAJIAN DATA DARI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA
CABANG MALANG DAN ANALISIS DATA
A. Penyajian data
1. PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang ..................................... 56
2. Persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh nasabah mulai dari
pendaftaran awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan dalam
Asuransi jiwa sehingga menjadi harta yang dapat diwarisi. ................. 66
B. Analisis
1. Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang
diperoleh dari perjanjian Asuransi jiwa .................................................... 70
2. Posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang
telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak
Takaful Indonesia.................................................................................. 78

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 83
B. Saran ........................................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 86
Lampiran-lampiran
HALAMAN LAMPIRAN

1. Susunan Dewan
2. Profil Dewan Komisaris dan Direksi
3. Data Perusahaan
4. Penghargaan dan Pengakuan
5. Peristiwa Penting
6. Produk-produk
7. Formulir Permohonan Peserta Individu
8. Formulir Pengajuan Klaim Individu
9. Surat Pengantar Penelitian
10. Surat Bukti Penelitian
11. Surat Bukti Konsultasi











ABSTRACT

Rofiatul Hasanah. 05210008. 2009. Analysis of Islamic Law Toward Inheritance of
Life Insurance (Case Study in PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang),
Thesis. Islamic Law Faculty. Family Law Departement. State Islamic University (UIN)
of Malang. Advisor: Zaenul Mahmudi, M.A.
Key Words: Insurance, Islamic Law, Inheritance.

Compensation fund that is given by insurance company to the participant is
money that is cashed down by heir trough claim. This claim is claim for right to the
insurance company (insurer) ironically, this claim does not have basis of Islamic law. The
result of this claim is positioned as al-tirkah that will be used to the needs of human
corpse and as inheritance. In addition, one of heirs is appointed in contract of life
insurance finally, this appointing emerge problem from the other heirs.
Based on the problem above, the problems research are (a) how does Islamic law
view al-tirkah is a claim that is obtained from life insurance and (b) how to position the
other heirs that are not put down in life insurance contract to obtain fund claim from
insurance company (Takaful Indonesia). Therefore, the purpose of this study is to
describe the determination of insurance in Islamic law especially concerning al-tirkah
(inheritance), and to describe the position the heir who is not put dawn in life insurance
contract to take fund claim from party of PT. Takaful Indonesia.
Kind of this research is field research that will be harmonized with Islamic law.
The research approach is qualitative approach.
The result of this research can be concluded that compensation fund of death that
is obtained from claim can be al-tirkah, because in al-tirkah is found determination. The
determination is permitting of inheritance existence of contract fund. This view is based
on the base that basically, that fund (money) is right of heirs which is legalized by Islamic
law because this contract is done by willingness concept without deception. In other
hand, majority of Muslim scholar permit guarantees (assurance) of property if the
accident happened. Therefore, that claim is human corpse property that can be
categorized in al-tirkah. Whereas to cash down claim fund, the heirs can position it as
property of inheritance and it can be divided to right man (heir) because all of property
that is leaved by corpse both the money and right can be bequeathed and it is called al-
tirkah.
To position of other heir that is not appointed in insurance policy is same position.
It means that other heirs have same right in inheritance namely compensation fund of
death that is chased down trough claim, because the heir that is appointed in insurance
policy is only as share holder of mandate from Takaful party to divide compensation fund
to the heirs after the needs of corps.














BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia akan mengalami yang namanya musibah, baik musibah secara
finansial atau fisik. Segala musibah yang menimpa manusia adalah kehendak Allah, yang
tidak bisa kita cegah maupun kita hindari. Namun, musibah yang menimpa manusia bisa
diperkecil resikonya dengan banyak menanam amal baik kepada sesama. Atau dengan
membagi resikonya kepada pihak ketiga, dalam hal ini adalah Asuransi. Membagi resiko
kepada pihak ketiga merupakan salah satu usaha untuk memperkecil beban terhadap
keluarga atas resiko keuangan yang dialami.
Usaha untuk memperkecil beban resiko keuanganlah yang dijadikan sebagai alasan
masyarakat untuk mengumpulkan harta, baik ditabung atau didaftarkan ke lembaga yang
menawarkan asuransi. Usaha tersebut adalah bentuk antisipasi, agar kelak saat ajal
menjemput atau sakit menimpa dirinya anak-anak yang tidak bisa mereka jaga lagi,
minimal diberi peninggalan untuk mengurusi berbagai keperluan pemakaman, untuk
pemberian terakhir dari orang tuanya, atau untuk biaya perawatan mereka sendiri saat
sakit. Harta yang ditinggalkan orang tua karena meninggal dunia untuk anak-anak (ahli
waris) dalam Islam dikenal dengan sebutan harta waris, yang artinya adalah harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.
1

Adapun dasar hukum waris telah disuratkan di dalam ayat suci Al-Quran, antara lain
dalam surat An-Nisaa ayat 33 yang berbunyi:
- ' - - ' , - ' - ' = . ' - ' , ' ' '' + -, - - , -' -' - , - - = , - ' , - `
- . _ ' = -, + - ) '--' : 33 .(
Dan bagi masing-masing orang kami adakan pewaris (ahli waris,pen) atas milik
yang ditinggalkan orang tua dan kerabat. (Demikian pula) mereka dengan siapa kamu
mengikat perjanjian berikanlah kepadanya bagiannya. Sungguh Allah menjadi saksi atas
segala sesuatu.
2


Dalam hal harta waris yang dalam bahasa Arab juga disebut Tirkah yang telah
disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan tirkah atau harta
peninggalan pada dasarnya adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah
meninggalnya, baik merupakan harta, maupun merupakan hak yang bersifat harta, atau
hak yang padanya lebih kuat unsur kehartaan atas hak per-orangan, tanpa melihat kepada
siapa yang berhak menerimanya.
3


1
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris-Hukum-hukum Warisan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, ), 17
2
Suwardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 22
3
Opcit, 21-22
Seperti halnya tirkah yang berupa harta, yang diperoleh dari sebuah perjanjian
pertanggungan yang dapat dijadikan sebagai harta peninggalan si mayit, dalam hal ini
pertanggungan asuransi jiwa. Sebelum meninggal, seorang pewaris adakalanya telah
membuat sebuah perjanjian yang berkaitan dengan kematiannya. Yakni suatu
pertanggungan yang meninggalkan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak,
pertanggungan tersebut disebut dengan asuransi jiwa. Dalam pertanggungan ini,
diwajibkan bagi pihak tertanggung untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan
ketentuan dari pihak penanggung, bila pihak tertanggung meninggal, maka uang yang
telah dijanjikan akan diberikan kepada ahli waris yang telah ditunjuk didalam polis
sebagai penerima uang dari pihak asuransi.
Dalam pembagian harta waris dikenal juga istilah faktor wala atau yang bisa disebut
dengan nasab hukmi yang menyebabkan terjadinya kewarisan sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
-=' `,' ---' -=' ) --' '=' '-= - - (

Wala itu satu pertalian daging seperti pertalian daging nasab (keturunan). (HR. Ibnu
Hibban, Hakim dan Ad-Darimiy)
4


Dalam hal wala bisa karena hubungan persaudaraan yang ditetapkan syariat atau
karena adanya perjanjian dengan orang lain. Selain itu juga ada faktor lain yaitu
hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Sedangkan seoarang pewaris dalam sebab
hubungan perkawinan dan hubungan nasab, diberikan hak atas harta peniggalan (harta
waris). Dan karena dinegara kita cukup beragam, baik dari segi budaya, agama maupun
sistem hukumnya, maka dalam hal waris-mewarisi dikenal dengan tiga macam sebab,
yakni :

4
Muh. Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulughul Maram (Bandung: PT. Al-MaArif, 1985), 709
1. Harta yang di peroleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha dari salah
seorang dari keduanya dan dikenal juga dengan Harta Gono Gini. Seperti yang telah
diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) mengenai harta yang
diperoleh selama perkawinan dan merupakan harta bersama.
2. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai hasil usaha masing-masing.
Menurut pasal 35 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 harta ini ditetapkan dalam
pengawasan masing-masing pihak.
3. Harta bersama yang yang dimiliki oleh suami atau istri dapat dimanfaatkan atau
digunakan oleh salah satu dari suami atau istri sesuai dengan perjanjian kedua belah
pihak, seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974
yang menyatakan harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua
belah pihak.
Dorongan manusia untuk menyimpan harta sebagai dana untuk mengurusi kematian,
harta warisan dan lain-lain telah memberikan stimulus kepada lembaga khusus untuk
berdiri, terutama yang menawarkan asuransi. Berbagai jenis asuransi diberbagai Negara
ditawarkan untuk masyarakat, seperti: asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi
niaga.
5
Setiap lembaga asuransi yang ada selalu menawarkan sistem yang berbeda-beda
tergantung resiko yang dicovernya. Bila akan bergabung dengan lembaga ini harus
menyetujui kontraknya, yang meliputi premi (pembayaran/harga jaminan), uang jaminan
yang akan diberikan, dan waktu pemberian uang asuransi atau klaim yang akan
disepakati.
Agama Islam juga mengenal asuransi yaitu asuransi syariah, yang didalamnya
terdapat unsur-unsur yang menganut hukum Islam. Mengenai asuransi syariah, yang

5
KA Fallasufa (STP Sabda), Asuransi Dalam Perspektif Syariah (Jakarta: AMZAH, 2006), 5-6
mulai muncul dengan membawa prinsip-prinsip yang selalu diusahakan untuk tetap
berada dalam jalur Islam, telah memberikan wadah bagi umat Islam mempercayakan
hartanya untuk dikelola oleh pihak asuransi yang berada dibawah pengawasan Dewan
Syariah.
Berangkat dari berbagai pemahaman diatas, peneliti ingin mengkaji lebih dalam
tentang asuransi jiwa ditinjau dari perspektif Islam, terlebih lagi bila dana santunan
asuransi jiwa (kematian tersebut) dijadikan sebagai harta warisan yang telah menjadi
tirkah. Dan akan menjadi suatu permasalahan tersendiri, bila dalam kontrak asuransi
hanya menyebutkan salah satu ahli waris dalam menerima harta yang akan diberikan oleh
pihak asuransi. Sehingga, perlu dianalisis lebih jauh terutama segi kewarisan menurut
hukum Islamnya.
Dalam mendeteksi proses pendaftaran hingga pencairan dana/klaim pada asuransi
sehingga menjadi harta yang nantinya akan dijadikan sebagai tirkah, peneliti mengambil
salah satu lembaga Asuransi Syariah sebagai alat untuk mengungkap suatu proses yang
terjadi dalam lembaga asuransi tersebut. Peneliti mengambil lembaga yang telah
menggunakan aturan sesuai Syariah karena dalam Asuransi Syariah tidak terdapat
perselisihan pendapat tentang kehalalannya di kalangan para Ulama di Indonesia atau
MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang tegabung dalam Dewan Pengawas Syariah yang
merupakan pengawas setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak asuransi sehingga tetap
dalam koridor Islam. Lembaga Asuransi Syariah tersebut adalah PT. Asuransi Takaful
Indonesia cabang Malang. Untuk itu peneliti menggunakan judul: Analisis Hukum
Islam Terhadap Kewarisan Asuransi Jiwa (Studi di PT. Asuransi Takaful Indonesia
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 70 Malang).
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumya, perlu adanya rumusan masalah
yang terkait dengan penelitian, yang akan digunakan sebagai alat untuk mendapatkan titik
fokus serta penyelesaian permasalahan secara tuntas. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang
diperoleh dari perjanjian Asuransi jiwa?
2. Bagaimanakah posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa
yang telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana Klaim dari pihak Takaful
Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN
Dari rumusan masalah yang merupakan permasalahan yang akan dicari
penyelesaiannya oleh peneliti, memiliki tujuan penelitian. Dan tujuan penelitian ini
selaras dengan permasalahan yang tertuang di dalam rumusan masalah di atas. Adapun
tujuan penelitian tersebut adalah:
1. Mendeskripsikankan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum Islam, mengenai
tirkah atau harta peninggalan. Sekaligus mengenai status hukum warisan yang
diperoleh dari dana santunan asuransi jiwa dalam bentuk klaim ditinjau dari perspektif
Hukum Islam beserta pembagian harta warisnya.
2. Mengungkap posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang
telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak Takaful
Indonesia.
D. BATASAN MASALAH
Dari beberapa rumusan masalah yang ada, perlu adanya batasan masalah yang akan
membatasi ruang gerak penelitian agar fokus penelitian tetap menjadi titik acuan dan
tidak melebar pembahasannya. Selain itu batasan masalah ini diperlukan untuk
membatasi pembahasan yang akan diteliti, mengingat tentang banyaknya ketentuan yang
ada dalam hukum Islam yang mengatur segala peraturan serta banyaknya sistem asuransi
di Indonesia. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian ini agar tidak terdapat kesalah
fahaman dengan hanya meneliti hukum-hukum serta ketentuan-ketentuan dalam
kewarisan Islam dan asuransi jiwa Syariah yang tidak diperdebatkan lagi hukumnya,
terutama dikalangan MUI karena telah menggunakan sistem syariah secara keseluruhan
dan dalam pengawasan Dewan Pengawas Syariah.

E. MANFAAT PENELITIAN
Selain terdapat tujuan penelitian seperti yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini
juga mempunyai manfaat penelitian yaitu secara teoritis dan praktis. Yang mana manfaat
penelitian ini ditujukan untuk para pembaca atau para peneliti selanjutnya, yang
berkeinginan untuk meneliti asuransi jiwa dari sisi yang lain. Adapun manfaat yang
diharapkan oleh peneliti adalah:
1. Teoritis
a). Dapat melengkapi khazanah keilmuan para penuntut ilmu;
b). Untuk memahami bentuk-bentuk hukum pertanggungan yang merupakan salah satu
bentuk kontrak prestasi dengan hukum warisnya;
c). Untuk memahami pula proses pencairan klaim yang akan diberikan kepada nasabah;
d). Sebagai pengayaan wacana dan pengetahuan tentang pandangan Islam mengenai
asuransi Islam.
2. Praktis
a). Dapat dimanfaatkan lebih dalam oleh peneliti lain yang berminat untuk menelaah
secara mendalam dari sisi latar belakang, misalnya tentang motivasi, peranan, dan
nilai;
b). Dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam kajian penelitian selanjutnya.

F. PENELITIAN TERDAHULU
Studi yang membahas tentang asuransi jiwa sangatlah banyak, namun untuk kali ini
peneliti hanya menyajikan tiga penelitian terdahulu yang dianggap peneliti sesuai dengan
penelitian yang dilakukan peneliti. Dan dapat menunjukkan sisi yang berbeda dengan
penelitian kali ini, agar tidak terjadi anggapan bahwa adanya plagiat atas penelitian ini.
Dalam penelitian terdahulu ini, peneliti akan sedikit menyebutkan perbedaannya dengan
penelitian para sarjana yang telah meneliti tentang asuransi.
Penelitian terdahulu itu antara lain skripsi yang telah ditulis oleh Andri pada tahun
2007 yang merupakan mahasiswa UIN Malang, dengan judul Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Dana Santunan Kematian Bagi Warga Nahdlatul Ulama (NU) melalui Asuransi
(Studi di Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim). Pada skripsi ini menitik
beratkan pada pendapat para tokoh NU dalam menanggapi dana santunan untuk aggota
NU yang telah meninggal dunia melalui asuransi, berbeda dengan penelitian kali ini yang
menitik beratkan pada proses pencairan klaim sehingga dapat dijadikan sebagai tirkah
dan diperbolehkan menurut ajaran Islam, serta posisi ahli waris lain yang berhak atas
harta waris si mayit namun tidak disebutkan didalam kontrak perjanjian asuransi.
Skripsi kedua yaitu Muhammad Tasan mahasiswa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya
pada tahun 2000, dengan judul Asuransi Jiwa dalam Pemikiran Murtadha Muthahhari dan
Hukum Positif Indonesia. Skripsi ini menggunakan studi komparatif, yaitu menggali
pemikiran Murtadha Muthahhari tentang hukum asuransi dan mengkomparasikan atau
membandingkannya dengan aturan dalam Hukum Positif Indonesia, dan penelitian ini
adalah jenis penelitian kepustakaan yang berbeda dengan penilitian yang dilakukan
peneliti pada kesempatan ini, yang lebih mengarah pada penelitian lapangan yaitu
penelitian di PT. Asuransi Takaful Indonesia.
Sedangkan skripsi yang ketiga yaitu Studi Analisa Pemikiran Sayyid Sabiq tentang
Status Hukum Asuransi Jiwa, yang ditulis oleh Imroatul Aliyah yang merupakan
mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya dan ditulis pada tahun 2004. Dalam skripsi
tersebut sejenis dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Tasan yang
dipaparkan sebelumnya yaitu penelitian kepustakaan, namun penelitian yang dilakukan
oleh Imroatul Aliyah ini difokuskan pada pemikiran Sayyid Sabiq tentang asuransi jiwa
serta status hukumnya dalam Islam yang bersifat global dan tidak hanya mengarah pada
satu bahasan.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dalam sistematika pembahasan ini, peneliti akan sedikit memberikan gambaran atas
hal-hal yang termuat disetiap bab pada skripsi ini. Penulisan skripsi ini secara
keseluruhan mencakup lima bab, yang masing-masing disusun secara sistematis. Skripsi
terdiri dari lima bab yang masing-masing mengandung beberapa sub bab, antara lain:
Bab I : Pendahuluan. Pendahuluan terdiri dari deskripsi latar belakang masalah, yang
akan menjelaskan alasan peneliti memilih judul tersebut. Rumusan masalah, yang
merupakan kompas atau inti dalam melakukan penelitian yang akan diteliti. Tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, yang merupakan efek dari melakukan penelitian baik
secara teoritis maupun praktis. Penelitian terdahulu, untuk pembanding dan sistematika
pembahasan yang menjelaskan gambaran dari isi skripsi. Bab ini akan menjelaskan
permasalahan serta signifikansi penelitian yang akan diteliti. Bab ini adalah bab utama,
yang menjadi acuan pembahasan bab-bab selanjutnya.
Bab II : Kajian Pustaka. Kajian Pustaka meliputi kajian ontologis dan epistimologis
permasalahan dan objek kajian yang terdiri dari dua sub bahasan. Objek kajian yang
dibahas pada sub pertama adalah Ilmu waris, yang terdiri dari pengertian, dan berbagai
hal yang terkait dengan harta warisan dalam Islam. Dan objek kajian pada sub kedua
adalah tentang Asuransi jiwa yang dalamnya mencakup berbagai hal tentang asuransi
yang dapat mendukung penelitian kali ini.
Bab III : Metode Penelitian yang dijadikan sebagai instrument dalam penelitian, sehingga
penelitian yang akan dilakukan bisa lebih terarah. Adapun pembagian dari metode
penelitian ini adalah lokasi penelitian yang telah dipilih oleh peneliti sebagai tempat
untuk mendapatkan pemahaman tentang proses dalam pengeluaran klaim. Selain itu
terdapat pula jenis penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, sumber
data, metode pengolahan data yang didalamnya terdapat pula analisis data yang
digunakan untuk arahan bagi peneliti dalam menganalisis (prosedur/tahap yang akan
dilakukan peneliti dalam menganalisis data sehingga dapat ditemukan jawaban atas
rumusan masalah).
Bab IV : Dalam bab ini dibagi atas dua poin yaitu yang pertama Penyajian Data.
Penyajian data ini membahas tentang persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh
nasabah mulai dari pendaftaran awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan
dalam Asuransi jiwa. Selain itu juga menyajikan berbagai hal tentang PT. Asuransi
Takaful Indonesia. Dan yang kedua adalah Analisis Data. Analisis data ini mendiskusikan
lebih lanjut data yang yang telah disampaikan sebelumnya tentang pemaparan data yang
telah diperoleh serta mengintepretasikannya. Analisis, diskusi, serta intepretasi ini
disesuaikan dengan permasalahan dan hasil kajian teoritis yang telah disebutkan pada
Bab II. Artinya, kajian ontologis dan epistemologis pada Bab II dijadikan bahan diskusi
terhadap data yang telah diperoleh (pada panyajian data) untuk mendapatkan titik temu
antara data lapangan dengan teori yang telah ada, terutama berbagai teori yang mengarah
pada harta warisan, sehingga dapat ditemukan penyelesaian atau jawaban yang ingin
dicapai oleh peneliti. Analisis dilakukan dengan mengembangkan hasil pengumpulan
data yang sejalan dengan permasalahan yang sedang dikaji, yaitu analisis terhadap
kewarisan asuransi jiwa melalui kacamata Islam.
Bab V : Penutup. Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud
bukanlah pengulangan bahasan pada bab-bab sebelumnya, melainkan memaparkan main
poin pembahasan atau natijah singkat dari masing-masing bab. Kesimpulan harus sejalan
dan dapat menjawab pertanyaan atau permasalahan yang disebutkan pada rumusan
masalah di Bab I. Sedangkan saran adalah berbagai hal yang belum dilakukan dalam
penelitian, namun bisa dihimbaukan serta dikembangkan dalam penelitian berikutnya.
Selanjutnya adalah lampiran-lampiran. Lampiran-lampiran ini disertakan sebagai
tambahan informasi dan bukti kemurnian data. Serta sebagai bukti, bahwa peneliti benar-
benar melakukan penelitian tersebut.





























BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG TIRKAH DAN ASURANSI JIWA

A. TIRKAH
1. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya
Mawaris adalah jama dari kata Al-Mrts. Untuk mrts itu sendiri dimaknakan
dengan mauruts, yang artinya adalah harta peninggalan orang yang telah meninggal
yang diwarisi oleh para warisnya.
6
Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh
waris disebut muwarits. Sedangkan yang berhak menerima pusaka dinamakan warits.
Dengan mempelajari mawaris ini, akan dapat menyampaikan atau meneruskan cara
membagikan harta si mayit yang telah meninggal kepada para ahli waris.
Adapun dasar hukum waris adalah surat An-Nisa, yang berbunyi:
- -' - ' - ' ` ' ` + ' , -- ` , ' - - ' , , `- ` = = . ` - -' ' ` '' , -, ,
- ' - - - -' ' - + - - - = . ' , , - ` - - -' ' + ' - = ` - ' ' , ' ' - ' ' '

6
Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum waris dalam Syariat Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), 17
` ' - - ' -' , ' + - -, , , - - - - - -' - ` , = ' ' ' - ' `' - ` - , -
- - ' + , - - ' -, = ' -, ' = ' '' '' - -, ' ) '--' : 11 (
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
7
; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua
8
, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
9



- - - - ' - - _ - ' ' - ' + ' ' ' - ' + ' , ' = - ' - - - - '
- ' ' , ' - - ' - - _ - ' + ' , ' + - , -, , , - ' - - - `' + ' - ' ' ' '
. ' - = ' - ' ` , , . = ' , ' +- , -, - , - - - - - -
- ` , -' ' - -' ' - + - - - = , ' + - _ -, , , - - - - - ' `' ' - + = '
, ' = , ' = '' '' - , - '- - , = ) '--' : 12 (
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberii mudharat (kepada

7
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan,
seperti kewajiban membayar maskawin dan memberii nafkah.
8
Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
9
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 504
ahli waris)
10
. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
11


'' + -, - - , -' -' - , - - = , - ' , - ` - ' , ' - ' - - ' , - ' - ' = . ' _ ' = '
-, + - - . ) '--' : 33 .(
Dan bagi masing-masing orang kami adakan pewaris (ahli waris,pen) atas milik
yang ditinggalkan orang tua dan kerabat. (Demikian pula) mereka dengan siapa kamu
mengikat perjanjian berikanlah kepadanya bagiannya. Sungguh Allah menjadi saksi atas
segala sesuatu.
12


Dan untuk kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada pembahasan tirkah, karena
penelitian kali ini berkaitan dengan harta yang diwariskan.


2. Pengertian Tirkah
Tirkah dalam pengertian bahasa semakna dengan mrts atau harta yang
ditinggalkan. Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seseorang pemilik harta mawarits
sesudah meninggalnya untuk warisnya dinamakan tarikah si mayit (tarikatul maiyiti).
13

Dalam buku Muhammad Ali Ash-Shabuniy mendefinisikan tirkah dengan Apa saja
yang ditinggalkan seseorang sesudah matinya, baik berupa harta, hak-hak maliyah atau
ghairu maliyah (mayat punya hutang atau tidak, baik berupa hutang aniaya atau
syahsyiyyah
14
).
15

Menurut ulama penganut madzhab Hanafi, tirkah berarti harta kekayaan yang
ditinggalkan si mayit yang lepas dari hak kepemilikan orang lain.
16
Para fuqaha berbeda

10
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti:
a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
11
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemah (Surabaya: Al-Hidayah, 1971), 116
12
Suwardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 22
13
Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 21
14
Pengertian hutang aniaya ialah hutang-hutang yang berkaitan dengan harta benda, seperti: gadai yang
berkaitan dengan benda yang digadaikan. Sedangkan pengertian hutang syakhsiyyah adalah hutang yang
berkaitan dengan pertanggungan orang yang berhutang seperti pinjaman, mas kawin dan yang lainnya.
15
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), 49
16
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, 504
pendapat dalam memaknakan tarikah secara istilah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa,
tarikah adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah meninggalnya, baik
merupakan harta, maupun merupakan hak yang bersifat hak perorangan, tanpa melihat
kepada siapa yang berhak menerimanya.
17


Jadi segala sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada saat kematiannya disebut
dengan tarikah, dan yang masuk dalam pembagian ini berbagai hal yang berhubungan
dengan si mayit baik itu berhubungan sebelum meninggal ataupun tidak, baik hutang-
hutangnya berpautan dengan benda seperti hutang karena menggadaikan sesuatu, atau
hutang-piutang dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti hutang mas kawin atau yang
lainnya. Ulama-ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ditinggalkan, baik barupa hak-hak yang bersifat kebendaan maupun tidak.
Sebagian golongan Ulama Hanafiyah membagi hak-hak yang dapat dipusakai
menjadi dua, yaitu:
a). Hak-hak yang bersangkutan dengan tempat.
18
Maksud dari pernyataan tersebut adalah
hak-hak yang masih tetap berwujud selama tempat untuk menyangkutkan hak
tersebut masih berwujud, walaupun orang yang mempunyai hak yang sebenarnya
telah meninggal dunia.
b). Hak-hak yang bersangkutan dengan perbuatan.
19
Maksudnya adalah hak-hak yang
masih tetap berwujud selama orang yang mempunyai hak masih dalam keadaan cakap
bertindak.
Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit, memiliki jalur masing-masing bila
dipilah-pilah jadi harus diartikan sedemikian luas sehingga dapat mencakup kepada hal-

17
Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 21
18
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT. Al-Maarif, 1994), 38
19
Ibid.
hal berikut ini yang tidak mengarah pada satu madzhab tertentu, akan tetapi lebih bersifat
global:
a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Maksud dari poin ini adalah benda-benda bergerak atau benda-benda tetap yang
menjadi hak si mayit untuk mendapatkannya atau telah bebas dari tanggungan si mayit,
seperti denda wajib yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh karena telah dilakukan
pembunuhan tidak disengaja atau hutang-piutang yang telah ditanggung oleh orang lain.
b. Hak-hak kebendaan
Hak-hak yang dimaksud disini adalah hak-hak yang dimiliki oleh si mayit saat masih
hidup atas sesuatu, seperti hak untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu
sumber air minum, irrigasi pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.

c. Hak-hak yang bukan kebendaan
Hak-hak yang ini, adalah hak-hak yang sifatnya hanya untuk memanfaatkan saja,
tidak untuk mendapatkan hasil. Misalnya hak-hak memanfaatkan yang dimiliki atas
barang wasiat dan lain sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain
Benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda yang sebenarnya merupakan
milik atau menjadi hak milik si mayit, namun masih belum diberikan kepada si mayit
karena alasan tertentu atau masih dalam masa perjanjian untuk dimanfaatkan orang lain.
Contohnya seperti benda-benda yang berada dalam pegadaian, benda-benda yang telah
dibeli oleh si mayit akan tetapi masih dibuatkan barangnya jadi belum diberikan kepada
si mayit, atau lain sebagainya.
3. Hak-hak yang Berkaitan dengan Tirkah
Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan hak-hak yang harus ditunaikan dalam
kaitannya dengan tirkah, dan hak-hak tersebut harus dipenuhi secara berurutan. Sehingga
apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan seluruh tarikah, maka tidak ada
lagi hak untuk yang lainnya.
Adapun hak-hak tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan segala keperluan mayit dan mengkafaninya dengan ukuran ongkos
pada umumnya, tidak berlebih dan tidak kurang. Keperluan mayit (Tajhiz) ini
merupakan ungkapan dari suatu kegiatan apa saja yang diperlukan mayat. Sejak
wafatnya sampai ia dikuburkan. Dan hal lain yang diperlukan mayat adalah: ongkos
memandikannya, harga kafannya, ongkos penguburannya dan apa saja yang
diperlukan mayat sampai ia diletakkan di kuburnya yang terakhir. Untuk hal ini tentu
berbeda besarnya menurut perbedaan keadaan si mayat, kaya atau miskinnya. Di
samping itu disebabkan oleh perbedaan jenisnya, laki-laki atau perempuan.
20

b. Dibayarkan hutang-hutangnya, yaitu hutang-hutang yang dituntut oleh seseorang dan
hutang-hutang yang menjadi tanggung jawab si mayat yang meninggalkan warisan.
Maka tirkah tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya, sebelum semua hutang-
hutang si mayat telah tuntas dibayarkan. Ketidak bolehan dalam membagikan tirkah
sebelum hutangnya dibayarkan dengan tuntas, didasarkan pada Sabda Nabi SAW.
berikut ini:



20
Opcid, 25
-= --, -= -,-- -'- -,-' -- ) --= - (
Jiwa (roh) orang beriman itu bergantung pada hutangnya, sehingga hutangnya
dibayarkan.
21


c. Memenuhi wasiat yang jumlahnya sepertiga, yang diberikan kepada selain ahli waris,
tanpa menunggu izin seseorang. Hal ini dilakukan sesudah membayar apa yang
diperlukan sesudah membayar segala kebutuhan mayat dan setelah semua hutangnya
dibayarkan. Jika wasiat lebih dari sepertiga harta, maka tidak dapat dilaksanakan
kecuali ada kerelaan dari ahli waris. Mengingat Sabda Rasulullah berikut kepada Saad
bin Abi Waqqas:
'-' ,---, ''= -- - ,= ',-= =-` -- =- ,` -'`' -'`'.
..Sepertiga. Sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu
meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang
banyak. (Rw. Bukhari-Muslim)
22


d. Sisa dari tirkah yang telah diambil keperluan tajhiz, membayar hutang si mayat dan
washiyatnya, dibagi di antara ahli waris menurut ketentuan syara.
23
Dan pembagian
tersebut dimulai pemberiannya kepada ashabul furudl, kemudian ashabat dan
seterusnya.

4. Sebab-sebab Mewarisi
Terdapat tiga hal yang menyebabkan adanya hak untuk mewarisi suatu harta, yaitu:

21
Ahmad Al Basyuni, Tarjamah Qabasaat min as Sunnah an Nabawiyyah (Bandung: Trigenda Karya,
1994), 187
22
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Terjamah Mukhtashar Shahih Muslim (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), 689-690
23
Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 33
a. Kekerabatan sesungguhnya, yakni hubungan nasab. Yaitu: Ibu, bapak, anak-anak,
saudara-saudara, para paman dan lain-lain. Ringkasnya adalah orang tua, anak dan
orang-orang yang berhubungan nasab dengannya. Dan untuk kekerabatan ini memiliki
tingkatan masing-masing, bila posisinya sebagai kerabat yang dapat dihilangkan oleh
kerabat lain untuk mendapatkan harta warisan, jadi meskipun sebagai kerabat dari si
mayit maka tidak akan mendapatkan harta warisan dari si mayit.
b. Pernikahan. Yaitu akad nikah yang sah, yang terjadi di antara suami istri, sekalipun
sesudah pernikahan itu belum bersetubuh atau belum berduaan dalam tempat sunyi
(khalwat). Untuk pernikahan yang fasid atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak
mewaris, karena dianggap tidak pernah terjadi pernikahan.
c. Pebudakan, yaitu kekerabatan berdasarkan hukum, yang disebut Walaul Itqi atau
Walaun Nimati. Disebut demikian karena tuan yang memerdekakan telah
memberikan nikmat (kemerdekaan) kepada budaknya. Oleh karena itu, seorang tuan
yang telah memerdekakan budaknya maka akan menimbulkan hubungan yang disebut
Walaul Itqi. Dengan sebab itu, ia berhak mewarisi karena ia telah memberiikan
kesenangan kepada budak, yang menyebabkan budakitu memperoleh kemerdekaan
dan sifat kemanusiaanya kembali sesudah ia dianggap sebagai binatang. Maka Allah
sebagai pembuat hukum, menentukan hak untuk mewarisi harta budak yang telah
dimerdekakan apabila budak tersebut meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris
atau kerabat lain yang berhak mewarisi hartanya.
Adapun rukun-rukun waris, adalah sebagi berikut:
a. Muwarrits (orang yang memberikan waris), yakni mayat dimana orang lain berhak
mewaris daripadanya akan apa saja yang ditinggalkan sesudah matinya.
b. Waris (menerima waris), yakni orang yang berhak mewarisi dengan sebab yang telah
dijelaskan, seperti: kekerabatan, pernasaban, perkawinan dan sebagainya.
c. Mauruts (benda yang diwariskan), yakni sesuatu yang ditinggalkan mayat, seperti:
harta, kebun dan sebagainya. Mauruts ini disebut: Irtssun, Turatsun, Miratsun. Yang
semuanya itu merupakan sebutan bagi sesuatu yang ditinggalkan mayat untuk ahli
waris.
24


5. Syarat dan Halangan Mewaris
Terdapat tiga syarat yang harus ada dalam hal mewaris, yaitu:
a. Wafatnya pemberi waris secara hakekat atau menurut hukum
Dalam pembagian tirkah tidak dapat dilaksanakan sebelum ada kepastian bahwa
muwaris (pemberi waris) nyata meninggal dunia, atau hakim telah menetapkan
kematiannya. Hakim menetapkan kematian seseorang karena ada sebab-sebab tertentu,
seperti adanya bukti bahwa kendaraan yang ditumpanginya tenggelam dilautan dan tidak
menyisa seorangpun penumpang yang selamat, atau bukti bahwa orang tersebut
meninggal dunia karena telah hilang beberapa tahun yang lalu serta tidak diketahui lagi
keberadaannya. Dari berbagai bukti yang menguatkan hakim untuk mengambil
keputusan, sehingga keluarlah keputusan bahwa orang tersebut meninggal dunia maka
harta tersebut boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Untuk orang yang dinyatakan mati
melalui keputusan hakim, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh orang-orang
yang hadir saat keputusan tersebut ditetapkan dan memenuhi syarat pewarisan.
25


24
Opcid, 56
25
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, 506
Syarat wafatnya waris secara hakekat atau secara hukum, diperlukan sebagai bukti
untuk berpindahnya suatu harta. Karena setiap harta tidak bisa dikelola atau berpindah
kelain orang apabila tidak ada penyerahan dari pemilik itu sendiri, dan apabila pengelola
masih mampu untuk mengelolanya maka tidak ada hak untuk orang lain mengambil
posisi pemilik untuk mengelola harta tersebut atau bahkan mewarisinya. Jadi syarat
pertama ini mutlak harus ada.
b. Ahli waris nyata-nyata hidup ketika muwaris meninggal
Syarat ahli waris masih dalam keadaan hidup harus ada, karena bila ternyata ahli
waris telah meninggal pula, maka harta yang seharusnya menjadi bagiannya akan
berpindah kepada anak-anak ahli waris yang meninggal tersebut atau kepada yang berhak
mendapatkan harta warisan tersebut. Ahli waris saat pembagian waris harus terbukti
masih hidup, diperlukan dalam pembuktian saat pembagian harta waris, karena seorang
mayit tidak lagi ahli untuk memiliki harta warisan dengan alasan tidak perlu lagi untuk
mayit suatu harta duniawi (telah putus hubungannya dengan urusan dunia termasuk harta-
benda).
c. Diketahui jihat kekerabatan dan sebab mewaris
Jihat kekerabatan harus diketahui atas haknya sebagai orang yang berhak
mendapatkan harta warisan. Adapun macam-macam jihat tersebut adalah: perkawinan,
kekerabatan dan keberadaan dalam derajat kekekrabatan, sehingga bagi orang yang tahu
akan menjadi mudah di dalam membagi harta warisan. Hal itu disebabkan karena terdapat
perbedaan dalam hukum-hukum mewaris, yaitu perbedaan dalam mendapatkan bagian
antara jihat mewaris dengan derajat kekerabatan. Dengan kata lain, status dari hubungan
dengan si mayit perlu diketahui untuk mempermudah pembagian sesuai dengan aturan.
Misal: seorang saudara laki-laki sekandung si mayit tidak akan mendapatkan bagian yang
sama dengan saudara laki-laki seibu atau sebapak.
Sedangkan untuk halangan mewaris, terdapat tiga golongan yaitu:
a. Budak
Seorang budak yang dikuasai seseorang tidak dapat mewarisi harta kerabatnya,
karena apabila ia mewarisi sesuatu maka akan diambil oleh tuannya. Para ahli hukum
telah menyatakan bahwa, budak dan apa saja yang dimilikinya adalah menjadi milik
tuannya karena seorang budak adalah harta milik tuannya. Oleh karena alasan itu pula
para ahli hukum menyatakan bahwa seorang budak tidak boleh mewaris. Hal itu
diperlukan agar harta yang seharusnya menjadi haknya untuk menikmati atau
memanfaatkannya tidak berpindah kepada tuan yang memilikinya.
Ada beberapa macam budak yang tidak berhak mendapatkan harta warisan, adapun
keadaan budak yang tidak berhak untuk mendapatkan waris tersebut adalah, budak qinna
(budak murni), budak mudabbar (yaitu budak yang merdeka dengan adanya syarat
kematian tuannya, misal: kamu bebas merdeka setelah kematianku), budak mukatab
(yaitu: budak yang diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta bila ingin
merdeka), dan budak yang dikaitkan dengan suatu sifat untuk kemerdekaannya (misal:
jika istriku melahirkan anak laki-laki, maka kamu bebas merdeka).
b. Pembunuhan
Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka tidak boleh pembunuh
tersebut mendapatkan bagian atas harta muwaris yang telah dibunuhnya. Mengingat
sabda Rasulullah berikut ini:

,---' - - .-'-'' ,' _- ) -=-' '-` '--' - (
Orang yang membunuh tidak berhak atas harta peninggalan orang yang dibunuh
sedikitpun.
26


Di samping itu, karena pembunuh telah berbuat untuk mempercepat dalam
mendapatkan warisan dengan cara membunuh, maka seorang pembunuh dilarang
mendapatkan harta warisan. Seperti dilarangnya pembunuh pamannya untuk
mendapatkan warisan pada kisah yang dipaparkan dalam surat Al-Baqarah ayat 72
berikut ini:
= - '' ' +, - ' ' - - - -' - , - - - -- ' - ) --' : 72 .(

Dan ingatlah ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling menuduh
tentang itu. Dan Allah hendak menyingkap apa yang selama ini kamu sembunyikan.
27


Hikmah adanya larangan untuk pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuh
adalah, agar tidak banyak orang yang melakukan pembunuhan demi mendapatkan harta
warisan seseorang.
Menurut golongan Malikiyah, pembunuhan dengan sengajalah yang dapat
menghalangi dari mendapat warisan, lainnya tidak. Menurut golongan Hanabilah, semua
pembunuhan yang menyebabkan qisas atau diyat, atau kafarat dapat menghalangi dari
mendapat warisan, lainnya tidak. Sedangkan menurut golongan Syafiiyyah, pembunuh
dengan segala macamnya menghalangi dari mendapatkan warisan, sekalipun
pembunuhan dilakukan karena persaksiannya atau menambah kesaksian. Seperti apabila
seseorang menyaksikan kerabatnya yang memberi warisan berzina, lalu ia dihukum rajam
yang didasarkan atas kesaksiannya atau tambahan dari kesaksiannya. Maka semua itu
dapat menghalangi warisan.

26
Muhammad. Sjarief Sukandy. Tarjamah Bulughul , 351
27
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris., 60
c. Perbedaan Agama
Perbedaan agama seperti Islam dan kafir, tidak boleh saling mewarisi. Mengingat
sabda Rasulullah berikut ini:
'--' ''` '' '--' , ` ) '-- '=- - (
Orang Islam tidak boleh mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak
mewaris (harta) orang Islam. (HR. Bukhari Muslim)
28


Empat Madzhab berpegang pada hadits diatas, jadi tidak memperbolehkan waris-
mewaris antara orang Islam dengan orang kafir.

B. Asuransi Jiwa
1. Pengertian Asuransi (Syariah)
Di dalam bahasa Arab, Asuransi disebut dengan kata At-tamn, untuk pihak
penanggung disebut dengan muamn, sedangkan pihak tertanggung disebut dengan
muamman lah atau mustamin. Pengertian dari At-tamn, diambil dari kata amana yang
artinya adalah memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut,
sebagaimana yang telah tercantum di dalam Al-Quran yang bermakna Dialah Allah
yang mengamankan mereka dari ketakutan. (Quraisy:4)
29

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (At-tamn) adalah
transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan
pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran
jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
30


Dari berbagai pengertian dari At-tamn, yang dirasa paling tepat untuk dijadikan
pengertian oleh asuransi itu sendiri adalah memberi rasa aman. Karena, dalam

28
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Terjamah, 697
29
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Jakarta: Gema Insani, 2004), 28
30
Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 138
mengasuransikan sesuatu berarti menyerahkan atau membayarkan uang cicilan untuk
diberikan kepada ahli warisnya saat pihak tertanggung meninggal dunia, pemberian uang
kepada ahli warisnya itu sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang telah disepakati.
Pemberian kepada ahli waris dalam asuransi, merupakan ganti rugi atas hartanya yang
hilang, baik itu yang dimaksud hilang hidupnya atau hartanya untuk memberikan
keringanan pada beban ahli waris, namun dalam hal ini yang dimaksud adalah hilangnya
hidup tertanggung.
Dalam Islam, kecukupan dan keamanan dikenal dengan kebutuhan yang sangat
mendasar, seperti ayat diatas yang mengartikan bahwa Dialah Allah yang mengamankan
mereka dari ketakutan, dari firman tersebut masyarakat ada yang menilai bahwa bebas
dari rasa lapar adalah bentuk dari keamanan. Dari penilaian tersebut, Islam mengarahkan
kepada umatnya untuk mencari rasa aman dalam kehidupannya sendiri dan kehidupan
keluarganya. Pengarahan untuk mencari rasa aman, telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
kepada Saad bin Abi Waqqash yang berisi agar Saad menyedekahkan sepertiga
hartanya saja. Selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi
beban masyarakat.
Al-Fajari mengartikan tadhamun, takaful, at-tamn atau asuransi syariah dengan
pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Pendapat lain juga diberikan
oleh Mushtafa Ahmad Zarqa, yang menyebutkan bahwa makna asuransi secara istilah
adalah kejadian.
31
Maksudnya adalah asuransi merupakan cara atau metode untuk
memelihara manusia dalam meghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang
akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas
ekonominya.

31
Opcid, 28-29
Abbas Salim memahami asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian
yang belum pasti.
32
Dapat dikatakan bahwa maksud dari pernyataa Abbas Salim, adalah
perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang bergerak sebagai alat masyarakat dalam
mengantisipasi bahaya masa depan yang belum diketahui. Semuanya telah siap
mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka
semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit
memberiikan harta yang diberikan oleh masing-masing peserta sebagai tanda kepedulian
kepada sesama. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka yang tertimpa musibah
dapat menutupi berbagai kerugian yang dialami. Daria arti tersebut menunjukkan bahwa
asuransi adalah taawun yang terpuji, kerena di dalamnya terdapat kegiatan saling tolong
menolong dalam berbuat baik dan taqwa. Dengan taawun mereka dapat saling
membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang
mengancam mereka.
Dalam buku yang berjudul Aqdu At-tamn wa Mauqifu asy-Syariah al-Islamiyyah
Minhu, Az-Zarqa juga mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama
hukum (syariah) adalah sebuah sistem taawun dan tadhamun yang bertujuan untuk
menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan
kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberiikan pengganti kepada orang yang
tertimpa musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Para
ulama ahli syariah juga mengatakan bahwa dalam penetapan hukum yang berkaitan
dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup

32
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 59
berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan
kewajiban.
Menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), asuransi
syariah (Tamn, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan saling tolong-
menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan
atau tabarru yang memberiikan pada pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
33


Definisi tersebut menunjukkan bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi
dan tolong menolong yang disebut dengan taawun. Yaitu, prinsip-prinsip saling
melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah islamiah antara sesama anggota
peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko). Oleh sebab itu, premi
pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang terdiri dari dana tabungan dan tabarru.
Maksud dari data tabungan adalah titipan dari peserta asuransi syariah yang nantinya
akan mendapatkan bagi hasil atau mudharabah yang berasal dari investasi bersih setiap
satu tahun. Dana tabungan dan mudharabah akan diberikan kepada peserta saat pengajuan
klaim, baik klaim itu berupa nilai tunai ataupun manfaat asuransi. Sedangkan, tabarru
adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi
lain jika sewaktu-waktu dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi
kepada peserta lainnya.
Dari berbagai pendapat tentang asuransi, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi
dalam segi teori dan sistem diperbolehkan, karena telah relevan dengan tujuan umum
syariah. Namun, bila dilihat dari segi sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan
sistem dan mempraktikkan teorinya perlu dikaji lebih lanjut, terutama dalam akad
asuransi.

33
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah., 30
Konsep asuransi syariah telah ada sejak jaman Rasulullah. Menurut Thomas Patrick
dalam bukunya Dictionary of Islam, sudah merupakan kebisaaan suku arab sejak zaman
dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota dari suku lain,
pewaris korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi
dari saudara terdekat pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut disebut Aqilah.
Menurut Dr. Muhammad Muhsin Khan, ide pokok dari Aqilah adalah suku arab zaman
dahulu harus siap untuk melakukan konstribusi finansial atas nama pembunuh untuk
membayar pewaris dari korban.
34
Kebisaaan untuk mempersiapkan diri dalam membayar
kontribusi keuangan kepada pihak ahli waris korban sama dengan premi praktik asuransi.
Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan Aqilah mungkin sama dengan nilai
pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena sama-sama memberikan
keringanan dalam hal finansial kepada pewaris korban.

2. Akad dalam Asuransi
Lafal akad berasal dari akad arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan
permufakatan (al-ittifaq).
35
Sedangkan bila diartikan secara istilah fiqih, maka yang
dimaksud dengan akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh
kepada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan kehendak syariat adalah seluruh
rangkaian perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila
tidak sejalan dengan kehendak syara, atau dengan kata lain segala sesuatu yang tercover
didalam sebuah perikatan tidak boleh keluar dari koridor Islam, misalnya kesepakatan

34
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah.,31
35
Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi., 63
untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain atau merampok orang lain itu yang
dilarang. Sedangkan pencantuman kalimat berpengaruh pada obyek perikatan
maksudnya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari pihak yang melakukan ijab
kepada pihak yang menyatakan qobul.
Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan syara, suatu akad merupakan ikatan
secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama
berkeinginan untuk mengikatkan diri.
36
Keinginan seseorang yang tersimpan dihati
hendaknya dinyatakan dalam suatu pernyataan oleh masing-masing pihak. Dari
pernyataan yang telah diungkapkan tersebut disebut dengan ijab dan qobul. Atas dasar itu
pula Az-Zarqa menyatakan bahwa pernyataan pertama yang dilakukan oleh salah satu
pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan
setiap pernyataan kedua yang diungkap pihak lain setelah ijab disebut dengan qobil
(pelaku qobul).
Apabila ijab dan qobul telah memenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan ketentuan
syara, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab qobul dan
muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu.
Syeikhul Islam ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya Majmu
Fatawa (28/384) mengatakan, akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan
keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab, pada asalnya harta seseorang muslim lain
itu tidak halal, kecuali jika dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan).
Akan tetapi hatinya tidak akan suka, kecuali apabila ia memberikan miliknya itu dengan
kerelaan bukan paksaan, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh".
37


Untuk itu, setiap akad dalam muamalah sangat luas cakupannya dan tujuan utamanya
dalam hal pencapaian segalanya yang dapat merealisasi kemaslahatan. Sebab, muamalah
pada dasarnya adalah boleh dan tidak terlarang dan kaidah-kaidahnya memberi

36
Opcid, 39
37
Ibid, 40
kemungkinan mengadakan macam-macam akad baru yang dapat merealisasi pola-pola
muamalah baru pula. Hal inilah yang menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran
agama yang memberikan kemudahan, keluasan, keuniversalan.
Kejelasan akad dalam praktik mumalah penting dan menjadi prinsip karena akan
menentukan sah tidaknya muamalah tersebut secara syari. Demikian pula dalam halnya
asuransi, akad antara perusahaan dengan nasabah harus jelas. Apakah akadnya jual beli
(aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli) atau akad lainnya. Dalam
asuransi bisaa atau konvensional tidak ada kejelasan dalam masalah akad. Pada asuransi
konvensional, akad yang melandasinya semacam akad jual beli, dan karena akadnya jual
beli maka syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar ketentuan
syariah. Adapun syarat transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang
dijual belikan, harga, dan akadnya. Pada asuransi konvensional, terdapat penjual,
pembeli, barang yang diperjual belikan atau yang akan diperoleh serta akadnya telah
jelas. Namun, yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan
dibayar) kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita
akan meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian ini
jelas, tapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia kita. Seperti
firman Allah berikut ini:
, ' = - . - '' - ' - + , ''' - -, , - '' ' - ` -, -- - ' - ' - ) -'-' : 11 (
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.
(at-Taghabun: 11)

Dalam penentuan suatu akad, para ulama fiqh berbeda pendapat. Jumhur ulama fiqh
menyatakan bahwa rukun dari akad dibagi atas tiga hal, yaitu:
a. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-aqd)
b. Pihak-pihak yang berakad (al-mutaaqidain)
c. Obyek akad (al-maqud alaih)
38

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al-
aqd (ijab dan qabul). Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut
mereka tidak termasuk rukun akad. Tetapi, termasuk syarat-syarat akad, karena menurut
mereka yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri.
Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad berada di luar esensi akad. Ijab dan
qabul ini bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat.
Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia, dijelaskan bahwa rukun-rukun
akad adalah:
a. Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan akad (misalnya Takaful dan peserta)
b. Makud alaihi, yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan bayaran), dalam
asuransi konvensional rukun kedua ini masih dianggap gharar (ketidak pastian atau
penipuan), karena akad yang melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun
(kontrak pertukaran harta benda) atau aqd tabaduli (akad jual-beli).
c. Sighah ijab kabul
Ketiga rukun tersebut telah diterapkan didalam asuransi syariah. Dalan asuransi
syariah didasarkan pada akad tolong-menolong (aqd takafuli) dan menciptakan
instrument baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru (hibah).
Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa
khusus tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai berikut:



38
Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi.., 64
1) Ketentuan Umum
a. Asuransi Syariah (Tamn, Takaful, Tadhamun) merupakan usaha yang bertujuan
untuk saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi atau penanaman modal dalam bentuk aset dan tabarru yang nantinya akan
memberikan pola pengembalian untuk para peserta yang menghadapi risiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang disesuaikan dengan syariah Islam sehingga tidak
terdapat hal-hal yang bersifat haram didalamnya.
b. Akad yang disesuaikan dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah sebuah
perjanjian awal yang jelas dan atas kesepakatan sehingga tidak mengandung gharar
(penipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain
39
), maysir
(perjudian), riba (bunga), zulmu (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan
maksiat lainnya.
c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
40

d. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan
tolong-menolong terhadap sesama peserta yang mengalami musibah sehingga sesuai
dengan ajaran Islam, bukan semata untuk tujuan komersial.
e. Premi adalah sebuah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan sesuai dengan kesepakatan dan akad, atau dapat disebut dengan uang
cicilan untuk menabung kepada perusahaan agar diinvestasikan oleh perusahaan
sehingga akan mendapatkan keuntungan dari investasi atau pengelolaan perusahaan
asuransi tersebut. Dalam kamus asuransi, premi diartikan dengan pembayaran berkala

39
Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi., 399
40
Opcid, 67
yang dikehendaki untuk menjaga polis asuransi khusus berlaku atau total standar unit
untuk suatu polis yang diambil.
41

f. Klaim adalah tuntutan yang merupakan hak peserta untuk mendapatkannya atau
mengajukannya dan pihak perusahaan asuransi wajib diberikan dana dari tuntutan
tersebut sesuai dengan kesepakatan dalam akad yang telah disepakati.
2) Akad dalam Asuransi
a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan
atau akad tabarru yang sesuai dengan aturan Islam.
b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah atau bagi hasil atas
pengelolaan dana yang diinvestasikan, sedangkan akad tabarru adalah hibah untuk
peserta lain yang mengalami musibah.
c. Dalam akad minimal disebutkan beberapa hal di bawah ini, yaitu:
1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan yang harus ditaati dan dipenuhi
2) Cara dan waktu pembayaran premi, agar terdapat kejelasan dan tidak ada yang merasa
ditipu
3) Jenis akad tijarah dan akad tabarru yang ditawarkan, serta syarat-syarat yang harus
dipenuhi apabila terdapat kesepakatan sesuai dengan jenis asuransi yang akan
diakadkan.
3) Kedudukan Setiap Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru
a. Dalam akad tijarah (mudharabah atau bagi hasil), perusahaan hanya bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
b. Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah sebagai dana santunan yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan

41
A. Hasymi Ali. dkk, Kamus Asuransi (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 248
perusahaan, sebagai pengelola dana hibah yang dikumpulkan jadi satu dalam tabungan
tabarru.
4) Ketentuan dalam Akad Tijarah dan Tabarru
a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru, bila pihak yang tertahan
haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
b. Jenis akad tabarru tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. Karena akad tabarru
adalah akad untuk hibah, jadi tidak dapat dirubah.
5) Jenis Asuransi dan Akadnya
a. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian yang akan
mengcover ganti rugi pihak tertanggung dan asuransi jiwa yang akan memberikan
santunan kepada ahli waris bila terjadi musibah atas jiwa pemegang Polis. Dan
macam-macam asuransi dari kedua jenis asuransi ganti rugi dan asuransi jiwa secara
umum yang telah mengacu pada sistem syariah adalah:
a) Takaful Dana Investasi; merupakan bentuk perlindungan atas perorangan yang
menginginkan dan merencanakan pengumpulan uang sebagai dana investasi yang
diperuntukkan bagi ahli warisnya bila peserta ditakdirkan meninggal lebih awal atau
dapat pula digunakan untuk tabungan hari tua.
b) Takaful Dana Siswa; merupakan bentuk perlindungan yang bertujuan untuk
menyediakan dana pendidikan bagi anak-anak mereka hingga jenjang perkuliahan.
c) Takaful Dana Haji; merupakan bentuk perlindungan atas peserta yang menginginkan
mengumpulkan dana sebagai biaya menjalankan haji.
d) Takaful Dana Jabatan; merupakan bentuk perlindungan atas direksi atau pejabat teras
suatu perusahaan yang menginginkan dana santunan bagi ahli warisnya bila
ditakdirkan untuk meninggal lebih awal atau sebagai dana santunan pada saat tidak
aktif lagi di tempat kerja.
e) Takaful Hasanah; merupakan bentuk perlindungan untuk peserta atas pengumpulan
dana yang akan digunakan sebagai modal usaha atau diperuntukkan sebagai
peninggalan bagi ahli waris jika terjadi meninggal lebih awal.
f) Takaful Kesehatan Individu; merupakan bentuk perlindungan atas peserta yang
bermaksud menyediakan dana santunan rawat inap dan oprasi bila peserta sakit dan
kecelakaan dalam masa perjanjian.
g) Takaful Kecelakaan Diri Individu; merupakan bentuk perlindungan atas diri pribadi
peserta yang bermaksud menyediakan santunan bagi ahli waris bila terjadi kematian
karena kecelakaan dalam masa perjanjian.
h) Takaful Al-Khairat Individu; merupakan bentuk perlindungan atas diri seseorang yang
bermaksud menyediakan santunan bagi ahli waris bila terjadi kematian dalam masa
perjanjian baik karena sakit atau kecelakaan.
i) Takaful Kebakaran; merupakan bentuk perlindungan atas kerugian atau kerusakan
barang yang diakibatkan oleh kebakaran. Termasuk yang discover di dalamnya adalah
kerusakan karena gempa bumi, banjir, tanah longsor, badai dan pemogokan umum.
j) Takaful Kendaraan Bermotor; merupakan bentuk perlindungan atas kendaraan
bermotor yang mengalami kerusakan akibat kecelakaan, atau hilang karena pencurian.
k) Takaful Surety Bond; merupakan bentun perlindungan yang menjamin atas kerugian
kontraktor kepada pemilik proyek.
l) Takaful Rangka Kapal; merupakan bentuk perlindungan atas kerusakan rangka kapal
dan mesin kapal akibat kecelakan dan berbagai bahaya yang dialami.
m) Takaful Energi; merupakan perlindungan atas kerugian karena kecelakaan atau
berbagai bahaya dalam pekerjaan pengeboran minyak dan gas di darat maupun lepas
pantai.
b. Sedangkan akad yang dimaksud oleh kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah
atau bagi hasil dan hibah yang ditujukan untuk tolong menolong.
6) Premi
a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru yang
dipilih oleh pemegang Polis.
b. Untuk menentukan besarnya premi, perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan
table mortalita (jumlah kejadian meninggal relative diantara sekelompok orang
tertentu) untuk asuransi jiwa dan table morbidita (jumlah kejadian relatif sakit atau
penyakit disekelompok orang tertentu) untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.
42

Fatwa tersebut merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia,
terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah dan ketentuan-
ketentuan lain yang terkait dengannya.
Dengan melandaskan diri pada prinsip takafuli, asuransi syariah (terutama untuk
asuransi jiwa) menerapkan dua bentuk akad di awal penerimaan premi, yakni akad
tabungan investasi dan akad konstribusi. Pada akad tabungan investasi prinsipnya
didasarkan kepada prinsip mudharabah, sementara pada akad konstribusi berdasarkan

42
Ibid, 67
pada prinsip hibah. Hibah tersebut dilakukan secara berjamaah dan didalamnya
mengandung adanya efek saling menanggung antar sesama nasabah atau pemegang polis.

3. Status Hukum Fiqih Sistem Asuransi Jiwa
Pada poin ini, akan dijelaskan mengenai Asuransi Jiwa. Yang mana asuransi jiwa
adalah bahasan pokok dalam penulisan karya ilmiah ini. Adapun penjelasannya akan
dibagi dalam beberapa bagian, agar lebih mudah untuk difahami serta lebih terstruktur.
a. Konsep Asuransi Jiwa
Dalam sistem asuransi jiwa, konsep yang diterapkan didasarkan pada konsep
kesepakatan seorang nasabah dengan perusahaan jasa asuransi, untuk membayar premi
secara berkala dengan konpensasi perusahaan harus memberikan sejumlah uang yang
telah disepakati sebelumnya kepada pihak nasabah, atau kepada ahli warisnya, atau
kepada orang tertentu yang ditunjuknya, ketika pihak nasabah sebagai pemegang polis
mencapai usia tertentu atau meninggal dunia. Mengenai pembayaran nilai tunai saat
klaim atau manfaat takaful, dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan pihak nasabah
dengan perusahaan takaful.
43

b. Tujuan Sistem Asuransi Jiwa
Adapun tujuan dari sistem asuransi jiwa adalah sebagai berikut:
1) Menjamin sumber keuangan atau pemasukan berkala bagi seseorang ketika usia
pensiun untuk membantunya dalam menanggung beban kehidupan.
2) Menjamin sumber keuangan atau pemasukan bagi ahli warisnya atau yang lain setelah
kematiannya.

43
Husain Syahatah, Asuransi Dalam Perspektif Syariah (Jakarta: Amzah, 2006), 22
3) Tabungan untuk persiapan usia tertentu atau setelah meninggal dunia.
44

c. Jenis-jenis Asuransi Jiwa
Untuk jenis dari asuransi jiwa yang saat ini dikenal dalam masyarakat adalah:
1) Asuransi kematian; nominal asuransi (santunan) dibayarkan kepada ahli waris atau
orang yang ditunjuk dalam polis setelah pihak nasabah meninggal dunia.
2) Asuransi hidup; nasabah memperoleh uang asuransi dalam bentuk kontan atau dalam
bentuk pemasukan bulanan (sesuai kesepakatan).
3) Asuransi kematian dan jaminan hari tua sekaligus; nasabah akan memperoleh
pemasukan bulanan dari nilai asuransinya jika pihak nasabah telah pensiun, sementara
sisanya diberikan kepada ahli waris jika ia nasabah tersebut meninggal dunia.
45

d. Status Hukum Fiqih Asuransi Jiwa
Dengan didasarkan kepada asumsi awal tentang ajaran Islam tentang sempurma dan
mempunyai nilai yang universal serta mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia telah dijamin
adanya norma yang mengatur aktivitas kehidupan tersebut. Selaras dengan firman Allah
SWT. dalam QS. Al-Maidah ayat 3 berikut ini:
. .........
) : 3 .(
Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu..
46



44
Ibid, 23
45
Ibid.
46
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif , 97
Imam Syafii, sebagai seorang yang pakar dalam hukum Islam, menyatakan bahwa
kaidah-kaidah itu untuk menjaga semangat hukum Islam yang fungsi utamanya adalah
mengontrol masyarakat dan bukan untuk dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya,
Wahyu Allah, seperti dikemukakan dalam Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. diturunkan
untuk menghadapi setiap kejadian yang mungkin terjadi". Secara implisit Imam Syafii
berpendapat bahwa segala sesuatu masalah itu sudah disiapkan pemecahannya dalam Al-
Quran dan sunnah Nabi SAW.
Begitu pula dengan masalah asuransi, para ulama yang mengacu atau mendasarkan
pendapatnya pada kitab fiqih juga memberiikan hukum pada asuransi. Adapun para
ulama tersebut adalah:
a) Syaikh Abdur Rahman Isa
Syaikh Abdur Rahman Isa menyatakan dengan tegas bahwa asuransi merupakan
praktik muamalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian pula
dengan para sahabat Nabi yang belum pernah mempraktikkannya. Asuransi merupakan
sebuah perusahaan yang menghasilkan kemaslahatan yang banyak. Ulama menetapkan
bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara patut diamalkan. Dan
karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka hukum asuransi halal menurut
syara.
Syaikh Abdur Rahman Isa juga mengatakan, bahwa perusahaan asuransi dengan
nasabahnya saling menjalin hubungan dalam perbuatan yang didasarkan atas keridhoan.
Perusahaan asuransi, merupakan perusahaan jasa yang yang bergerak dibidang pelayan
masyarakat dalam hal kepentingan umum, yaitu dengan memelihara harta milik nasabah,
dan menolak resiko atas harta benda. Dan untuk memelihara harta milik nasabah atau
menolak resiko atas harta benda nasabah, pihak asuransi mendapatkan laba yang
disepakati antara kedua belah pihak. Dari berbagai alasan itulah, Syaikh Abdur Rahman
Isa memperbolehkan Asuransi.
b) Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo)
Menurut Yusuf Musa, asuransi sama halnya dengan koprasi yang memiliki tujuan
menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa, menguntungkan nasabah dan
menguntungkan pihak pengelola asuransi. Menurut beliau, sepanjang sebuah perusahaan
asuransi jauh dan bersih dari riba, maka asuransi tersebut diperbolehkan. Dengan
pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam
polis, dan meminta pembayaran kembali atas uang premi yang dibayarkan, maka pihak
asuransi akan membayar sebesar uang premi yang telah dibayarkan tanpa adanya
tambahan. Tetapi apabila nasabahnya telah meninggal sebelum batas akhir perjanjian,
maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi yang telah tercantum di dalam polis.
Hal seperti itulah yang dibenarkan atau halal menurut syara.
c) Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo
Syekh Abdul Wahab Kholaf menyatakan bahwa asuransi itu diperbolehkan dengan
dalih bahwa asuransi merupakan akad mudharabah. Akad mudharabah dalam Islam
adalah sebuah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan
oleh satu pihak dan dengan tenaga dari pihak lain. Demikian halnya pada asuransi, yang
didalamnya terdapat kerjasama antara nasabah dengan pihak asuransi dengan
memberikan atau mempercayakan harta milik nasabah dikelola oleh pihak asuransi demi
mendapatkan sebuah keuntungan yang akan didapatkan untuk kesejahteraan kedua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang tel;ah disepakati oleh keduanya.
Dalam majalah yang berjudul Hiwaul Islam No. 11 tahun VII tepatnya pada
kesimpulan, Syekh Abdul Wahab menyatakan bahwa perikatan asuransi jiwa adalah sah,
berguna bagi para anggota (nasabah), bagi perusahaan asuransi, bagi masyarakat dan
tidak merusak seseorang. Juga tidak memakan harta seseorang dengan tidak benar,
melainkan merupakan tabungan, koprasi, dan memberiikan kecukupan pada nasabah
yang memiliki usia lanjut, serta memberiikan bantuan kepada ahli waris ketika si nasabah
tiba-tiba meninggal dunia.
Menurut Fathurrahman Djamil, pendapat Kholaf yang memperbolehkan asuransi
salah satunya dengan alasan bahwa akadnya berdasarkan kerelaan kedua belah pihak, dan
menguntungkan kedua belah pihak.
47

d) Prof. Dr. Muhammad Al-Bahi, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir
Muhammad Al-Bahi menyatakan, bahwa perusahaan asuransi hukumnya halal
karena di dalam asuransi terdapat sistem tolong-menolong, pengembang harta benda
nasabah dengan akad mudharabah, bersih dari riba, tidak adanya tipu daya karena selalu
terbuka untuk nasabah, memperluas lapangan kerja baru, serta memberikan jaminan
kepada nasabah yang terkena musibah dengan berbagi dalam hal finansial.
e) Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir
Beliau berpendapat bahwa tujuan dari asuransi adalah meringankan dan
memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta benda milik nasabah, sehingga
beban yang berat atas suatu musibah dapat dipikul bersama pihak asuransi. Dan karena
terpeliharanya suatu harta benda merupakan salah satu tujuan dari agama, maka praktik
dari asuransi diperbolehkan menurut syara.


47
Ibid, 144
f) Syaikh Muhammad Dasuki
Beliau berpendapat bahwa hukum dari asuransi adalah halal, karena asuransi sama
dengan syirkah mudharabah, akad pada asuransi sama dengan akad kafalah atau syirkatul
ainan, dan pelaksanaan dari asuransi dapat didasarkan pada firman Allah SWT. dalam
surat Al-Anam ayat 82 sebagai berikut:

- - + - - ` + ' = - ' '= - + -' -, , - - ' , ' , - -' , - ' ) '-` : 82 .(

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

g) Syaikh Muhammad Ahmad, MA. LLB. Sarjana dan Pakar Ekonomi Pakistan
Syaikh Muhammad Ahmad menyatakan bahwa asuransi jiwa hukumnya adalah halal,
dengan alasan bahwa dalam persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal
kepada Allah SWT., di dalam asuransi tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau
dirugikan karena berangkat dari kesepakatan awal yang saling merelakan, dan tujuan dari
asuransi adalah saling tolong-menolong serta menjalin sebuah kerja sama.
h) Syaikh Muhammad Al-Madni, seorang Ulama yang cukup dikenal di Al-Azhar kairo
Beliau menyatakan bahwa asuransi menurut hukum syara adalah boleh, karena pada
premi atau iuran yang dibayarkan oleh nasabah akan diinvestasikan dan iuran tersebut
memiliki manfaat untuk tolong-menolong kepada sesama.
i) Prof. Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar pada Universitas Syiria, dan cukup
produktif dalam menulis seputar ekonomi Islam
Az-Zarqa menyatakan bahwa, kebolehan sebuah asuransi dikarenakan tidak adanya
gharar di dalamnya. Menurut beliau perikatan asuransi ini diperlukan, terutama untuk
pegawai negeri yang telah pensiun (merupakan ketentuan baru dan belum ada zaman
dahulu) untuk memberikan kesejahteraan atas jasa mereka, dan pihak asuransi membantu
meringankan pemerintah untuk memberikan uang pensiunan.
48























48
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah.., 75












BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan
prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu, definisi
tersebut dijelaskan dalam kamus Websters New International.
49
Sedangkan maksud dari
Metode penelitian itu sendiri adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya dan dibandingkan dengan standart ukuran yang telah
ditentukan.
50
Dan metode penelitian ini digunakan peneliti untuk mengatur langkah
penelitian agar lebih teratur dan berjalan sesuai prosedur yang benar, serta dalam

49
Moh. Nazir, metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 12
50
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 126-
127
pengambilan data bisa lebih tepat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa
metode penelitian yang dianggap tepat dan bisa peneliti terapkan keseluruhannya, adapun
metode penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih oleh penulis dalam penyempurnaan skripsi ini adalah PT.
Asuransi Takaful Syariah yang memiliki cabang di Kota Malang, tepatnya di Jalan Jaksa
Agung Suprapto Nomor 70 Malang. Lembaga asuransi tersebut, merupakan lembaga jasa
asuransi syariah yang pertama di Indonesia, dan keberadaannya telah dilegalkan atau
dinyatakan tidak bertentangan dengan aturan Islam oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia)
yang tergabung dalam Dewan Pengawas Syariah yang merupakan pengawas segala
lembaga yang bergerak dibidang jasa atau lainnya yang menggunakan atau menerapkan
sistem keislaman, seperti Takaful, Bank Muamalah dan lain sebagainya.
2. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dan jenis penelitian, merupakan metode penelitian yang pertama harus
dicari dan disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Pendekatan dan jenis
penelitian harus dilakukan, karena pendekatan dan jenis penelitian tersebut merupakan
kunci utama untuk menentukan berbagai metode penelitian selanjutnya yang diperlukan
dan sesuai dengan jenis penelitiannya. Bila dilihat dari pendekatannya, maka penelitian
ini termasuk penelitian kualitatif yang memuat penjabaran yang bersifat nilai, bukan
perhitungan angka atau pengukuran tingkatan tertentu. Penelitian kualitatif menurut
Bogdan dan Taylor (1975) sebagaimana dikutib oleh Lexy J. Moleong, yaitu sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Selain definisi yang dikemukakan oleh
Bogdan dan Taylor, Denzin dan Lincoln (1987) juga mendefinisikan penelitian kualitatif
dengan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang
ada.
51
Pendekatan penelitian ini digolongkan dalam pendekatan kualitatif, karena
penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati
52
.
Adapun jenis dari penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk
memperoleh atau mengambil data-data yang diperlukan, dalam hal ini PT. Asuransi
Takaful Syariah, yang nantinya akan diselaraskan atau diperkuat dengan berbagai
referensi yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas. Ide penting dalam penelitian
lapangan ini adalah bahwa peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan
pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah atau in situ.
53

Dalam penelitian lapangan, bisaanya menghasilkan berbagai catatan-catatan dari apa
yang telah dilihat atau diamati.
Selain pendekatan dan jenis penelitian, ada pula tipe penelitian yang dijadikan
pelengkap oleh peneliti, dan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif, karena penelitian ini dilakukan dengan cara mencari fakta yang ada mengenai
proses pencairan dana klaim yang selalu dilakukan oleh PT. Asuransi tersebut kemudian
dibandingkan dengan Hukum Islam dan selanjutnya menjabarkannya
54
.

51
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2006), 4-5
52
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Perss, 2000), 3
53
Opcid, 26
54
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 54-55
Dapat dipahami bahwa dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencari jawaban
secara mendasar dari PT. Asuransi Takaful Syariah terkait dengan berbagai kontrak yang
ditawarkan, sehingga menyebutkan salah satu dari ahli waris yang akan diberi dana
santunan oleh PT. Asuransi Takaful Syariah. Selain itu, peneliti mencoba untuk mencari
tahu posisi ahli waris lain yang tidak ditunjukkan dalam polis, terkait dengan dana klaim
yang akan diterima oleh nasabah atau ahli waris yang telah ditunjuk oleh pemberi
warisan, dan kemudian dikomaparasikan dengan aturan Hukum dalam Islam yang
menjadi pedoman umat Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data, adalah cara yang akan digunakan peneliti dalam
memperoleh data yang diperlukan dalam pencarian dan penyelesaian jawaban penelitian.
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini, dapat dilakukan melalui
beberapa jalan berikut ini:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data, yang menuntut adanya pengamatan dari
peneliti baik secara langsung atau tidak langsung terhadap obyek penelitian yang sedang
diteliti. Obsevasi yang dilakukan harus bersifat objektif, karena sebagai peneliti yang
dalam kondisi mencari tahu hal baru, secara otomatis tidak boleh langsung menghukumi
setiap permasalahan yang ada, hal itu diperlukan agar berbagai data dapat terkumpul
dengan sempurna dan tidak ada sistem penambahan dari peneliti itu sendiri, karena data
yang diperoleh dari observasi harus bersifat murni atau tidak membenarkan dan
menyalahkan berbagai data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pengamatan secara langsung dengan cara yang tidak formal yaitu melihat dan mengamati
berbagai hal yang terkait dengan penelitian ini, seperti melihat lembaga yang dipilih,
responden yang akan diteliti dan lain sebagainya.
b. Interview
Interview (Wawancara) merupakan proses interaksi antara Pewawancara dengan
informan.
55
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian suatu
data, dan wawancara ditujukan untuk responden yang dianggap mengerti tentang objek
penelitian yang dilakuakan. Menurut Suharsimi, responden atau informan adalah orang
yang diminta untuk memberikan tanggapan, keterangan dan informasi tentang suatu fakta
atau pendapat, baik lisan atau tulisan.
56

Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang menjadi
obyek penelitian, yaitu para pegawai yang bekerja di PT. Asuransi Takaful Syariah,
terutama pegawai yang menangani asuransi jiwa dan pegawai yang menangani proses
pencairan dana klaim untuk nasabah. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang
terkait dengan masalah kontrak Asuransi Syariah yang telah diterapkan di PT. Asuransi
tersebut, serta menanyakan bagaimana cara petugas tersebut mencairkan dana klaim
sehingga menjadi suatu harta yang dapat dijadikan sebagai harta waris oleh pemegang
polis yang telah ditunjuk.
Selain dari para pegawai PT. Asuransi Takaful Indonesia, peneliti juga mengadakan
wawancara dengan salah satu nasabah yang terdaftar sebagai pemegang polis Asuransi
Jiwa. Nasabah atau pemegang polis asuransi keluarga tersebut, akan peneliti jadikan
informan yang terkait dengan penyebutan dari salah satu ahli waris dalam kontrak
asuransi yang telah disepakati oleh pihak Takaful, sehingga peneliti akan mendapatkan

55
Ibid, 194
56
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian.........., 122
data yang akan digunakan untuk mendeteksi posisi ahli waris lain yang tidak disebutkan
dalam polis dalam perspektif hukum Islam.
4. Sumber Data
Sumber data dalam suatu penelitian sering didefinisikan sebagai subjek dari mana
data-data penelitian itu diperoleh.
57
Dan sumber data ini, yang akan menunjukkan
berbagai alat yang digunakan oleh peneliti terkait dengan perolehan data. Mengenai
sumber data penelitian ini, dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Sumber Data Primer
Menurut Husein Umar data primer ialah data yang didapat dari sumber pertama baik
dari individu atau perseorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian koesoner
yang bisaa dilakukan oleh peneliti.
58

Adapun data primer dalam penelitian ini dapat diperoleh dari pegawai PT. Asuransi
Takaful Syariah dan salah satu nasabah yang menggunakan jasa asuransi jiwa pada PT
Asuransi Takaful Indonesia tersebut, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang
terkait dengan penelitian kepada mereka yang telah dipilih sebagai nara sumber.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung atau data tambahan dari data pokok atau
primer. Data sekunder menurut sebagian pakar adalah data primer yang telah diolah lebih
lanjut kemudian disajikan, baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain.
59

Dan untuk kali ini, data sekunder didapatkan dari data primer pihak lain atau pakar yang
telah menyajikan berbagai data pendukung penelitian yang tersaji dalam sebuah tulisan,

57
Ibid, 107.
58
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
42.
59
Ibid., 43.
buku atau pihak lain yang tidak dijadikan sebagai responden utama untuk mengkroscek
kebenaran dari pernyataan responden utama. Adapun data sekunder dalam penelitian ini
dapat diperoleh dari beberapa orang yang tidak terkait dengan penelitian ini atau literatur-
literatur fiqih yang membahas tentang masalah Asuransi Syariah dan sistem kewarisan
Islam.
5. Metode Pengolahan Data
Sebagaimana umumnya sebuah penelitian, apabila data yang diperlukan telah
terkumpul, maka tahap berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah
mengolah data. Pengolahan data ini dibutuhkan untuk menyempurnakan penyajian
jawaban yang telah diperoleh, serta untuk memudahkan dalam memahami maksud dan
jawaban dari penelitian yang disajikan karena telah tersusun dengan sistematis.
Pengolahan data dilakuakan dengan berbagai tahap, dan tahapan-tahapan pengolahan data
yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
a. Edit (Editing)
Pada bagian ini peneliti merasa perlu untuk menelitinya kembali terutama dari
kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan data-data yang
lain.
60
Teknik pertama ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana data-data yang telah
diperoleh, baik yang bersumber dari hasil observasi atau wawancara, sudah cukup baik
serta dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses selanjutnya. Dan dalam teknik ini,
data yang diperoleh dipilah-pilah sesuai dengan tempat dan kebutuhan, apabila terdapat
data yang tidak ada kaitannya atau tidak sesuai maka akan direduksi dan untuk data yang
sesuai dan dibutuhkan akan diolah atau diatur baik dari segi tata bahasa, atau yang
lainnya.

60
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2003), 125.
b. Klasifikasi (Classifying)
Langkah selanjutnya setelah tahap editing selesai adalah menyusun dan
mensistematikkan data-data yang telah diperoleh ke dalam pola tertentu untuk
memepermudah bahasan yang erat kaitannya dengan kajian dalam penelitian ini. Menurut
Nana Sudjana dalam tahap ini peneliti menyeleksi data yang diperoleh untuk kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang ada.
61
Dalam teknik ini, peneliti lebih
mengarah kepada menempatkan data-data yang telah diperoleh dan telah diedit sesuai
dengan tingkatannya, sehingga data-data tersebut benar-benar sesuai dengan bahasan
penelitian dan mudah difahami. Tingkatan yang dimaksud adalah bila suatu proses atau
langkah awal akan didahulukan, dari pada tuntutan atau klaim yang merupakan proses
akhir, dan dalam hal ini proses hingga akhir dalam sebuah perjanjian asuransi yang
dilakukan di PT. Asuransi Takaful Indonesia. Selain itu, meruntutkan data juga
digunakan oleh peneliti dalam hal mengklasifikasikan hasil wawancara yang telah
diperoleh dari para responden, baik dari pihak pegawai Takaful atau nasabah pemegang
polis.
c. Verifikasi (Verifying)
Setelah dua tahap diatas, tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah memeriksa
kembali data yang diperoleh agar validitasnya bisa terjamin, selain itu juga untuk
mempermudah peneliti dalam menganalisis data.
62
Dalam tahapan ini, peneliti
mengkroscek ulang data yang ada kepada para responden dan data-data yang diperoleh.
Selain itu, peneliti menggunakan responden lain sebagai pembanding dalam memperoleh
kebenaran atau kevalitan data, baik itu kebenaran dari hasil wawancara atau kebenaran

61
Ibid., 126
62
Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru
Algasindo, 2000), 84-85.
data dari sebuah dokumen. Dan tahapan ini perlu dilakukan untuk menunjukkan atau
membuktikan kebenaran dan kevalitan suatu data yang disajikan dalam penelitian ini.
d. Analisis (Analysing)
Agar data mentah yang diperoleh dari informan dapat lebih mudah dipahami, maka
tahap selanjutnya adalah menganalisa. Analisa data diperlukan untuk menjawab berbagai
permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Setiap data mentah yang telah diperoleh
akan dianalisis berdasarkan literatur-literatur fiqh yang merupakan pedoman umat Islam
dan menyajikan berbagai hukum atas suatu permasalahan, meskipun permasalahan itu
hanya sama dari segi illat atau yang lainnya. Sedangkan analisa tersebut, merupakan
suatu cara yang digunakan untuk mengkritisi setiap data yang telah diperoleh dari
informan dan dokumen-dokumen untuk dipaparkan kembali. Sedangkan metode analisis
yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode komparatif kualitatif. Yang mana
peneliti menggambarkan secara jelas tentang proses kontrak hingga pencairan dana klaim
yang dilakukan oleh PT. Asuransi tersebut sampai menjadi suatu harta yang dapat
diwariskan beserta berbagai informasinya, kemudian dikomparasikan dengan hukum
Islam yang terangkum dalam kitab-kitab fiqh untuk mencari kejelasan status hukumnya,
terutama dalam hal posisi ahli waris lain yang tidak tercantum dalam polis yang telah
disepakati pihak takaful dan pemegang polis atau pemberi warisan.
e. Konklusi (Concluding)
Setelah keempat tahapan dalam teknik pengolahan data telah selesai, maka tahap
terakhir adalah konklusi atau menyimpulkan. Menyimpulkan dari berbagai hasil analisis
ini yang menjadi puncak dari sebuah penelitian.
63
Dalam tahapan terakhir ini, peneliti
menyajikan titik temu antara data yang telah dianalisis dengan pertanyaan yang diteliti,

63
Ibid., 86
dalam hal ini pertanyaan tersebut disajikan dalam rumusan masalah. Dan pada tahap ini
pula, peneliti dipastikan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam
rumusan masalah baik yang tersurat maupun yang tersirat.































BAB IV
PENYAJIAN DATA DARI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG
MALANG DAN ANALISIS DATA
A. Penyajian data
1. PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang
Pada poin ini, akan disajikan berbagai data tentang takaful. Data tentang takaful itu
sendiri, diperlukan untuk memberikan informasi awal kepada pembaca tentang
perusahaan yang telah dipilih peneliti dalam mencari jawaban atas rumusan masalah.
Adapun data tentang takaful itu sendiri, akan peneliti paparkan dengan beberapa poin,
yaitu:


a) Profil Perusahaan
Perusahaan Asuransi Takaful Indonesia, didirikan atas prakarsa Cendekiawan
Muslim Indonesia, seperti Pt. Bank Muamalat Indonesia, Syarikat Takaful Malaysia
Sdn.Bhd, Para Pengusaha Muslim, dan Praktisi Asuransi. Landasan pendirian perusahaan
ini adalah Islam yang mulia, yang memerintahkan kepada umat muslim untuk
memberikan pertolongan kepada sesama dengan memberikan santunan kepada orang
yang kehilangan harta benda, kematian kerabat, maupun musibah lainnya. Tindakan
seperti itu merupakan tindak sosial dan bentuk kepedulian terhadap sesama, dan bentuk
tolong menolong (taawun) antar warga masyarakat, baik Muslim atau non-Muslim.
Dengan cara peduli kepada sesama, akan menjalin persaudaraan (ukhuwah) yang semakin
kokoh. Selain kepedulian tersebut, kegiatan membantu meringankan musibah orang lain
dapat mengurangi kesedihan orang yang tertimpa musibah, serta menghindarkan mereka
dari kemiskinan atau kehilangan masa depan. Semua kegiatan santunan yang merupakan
suatu hal yang baik dan akan mendapat pahala dari Allah, akan berubah menjadi suatu
yang dilaknat oleh Allah apabila didalamnya terdapat unsur ketidakpastian (gharar),
untung-untungan atau perjudian, riba, dan hal-hal lain yang bersifat maksiat.
Visi Takaful. Takaful Indonesia adalah lembaga keuangan yang konsisten
menjalankan transaksi asuransi secara Islami. Operasional perusahaan dilakukan atas
dasar prinsip-prinsip syariah yang bertujuan memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik
bagi umat dan masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan, Takaful memiliki visi
yaitu akan berjuang dan berkembang untuk menjadi perusahaan yang terkemuka.
64


64
Cacan S. Agis, dkk , Modul Pengetahuan Dasar Takaful (TRenDi [Training, Research, & Development]
PT. Syarikat Takaful Indonesia: Jakarta, 2005), 1
Tujuan Takaful. Tujuan dari pendirian Takaful yang utama adalah memberikan
pelayanan terbaik, amanah dan professional kepada umat Islam dan Bangsa Indonesia.
b) Konsep dan Manfaat Asuransi
Dalam kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan pada kemungkinan terjadinya
musibah dan bencana yang dapat menyebabkan hilang atau berkurangnya nilai ekonomi
seseorang baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaan yang diakibatkan oleh:
meinggalnya dunia, kecelakaan, sakit, atau usia lanjut (masa pensiun). Segala bencana
dan musibah merupakan ketentuan Allah SWT., namun manusia (muslim) wajib
berikhtiar melakukan tindakan antisipasi untuk memperkecil resiko timbul. Dan dalam
menghadapi resiko ini, setiap manusia dapat berikhtiar dengan pilihan alternatif yaitu
menanggung sendiri, membagi resiko dengan pihak lain, atau menyerahkan resiko
sepenuhnya kepada pihak lain.
Bila sebuah resiko akan ditanggung sendiri, salah satu upaya bisa dengan menabung,
namun usaha ini sering kali tidak mencukupi karena resiko yang ditanggung lebih besar
dari yang diperkirakan. Sedangkan bila resiko tersebut dibagi atau dialihkan, diharapkan
pada saat terjadi musibah, maka berkurangnya nilai ekonomi atau kesejahteraan keluarga
dapat terjamin (tergantikan), begitu juga dengan hilangnya fungsi sebuah benda dapat
digantikan juga.
Asuransi sebagai sebuah perlindungan merupakan langkah yang tepat bagi seseorang
dalam membagi atau mengalihkan suatu resiko, karena asuransi menjawab kebutuhan
rasa aman bagi setiap orang.
65
Dan untuk asuransi yang tepat bagi umat Islam, adalah
Takaful yang memegang syariah Islam dengan memperhatikan berbagai unsur yang ada
dalam fiqih muamalah.

65
Ibid, 10
Pada sistem Takaful setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong (taawun)
satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut
dengan tabarru. Dari dana kumpulan tersebut digunakan untuk menyantuni siapa pun
diantara peserta Takaful yang mengalami musibah. Sistem ini bukan menggunakan
pengalihan resiko dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi merupakan
pembagian resiko dimana peserta saling menanggung.
Adapun Takaful sebagai perusahaan berperan sebagai mudharib, pengelola dan
pemegang amanah dari premi yang terhimpun untuk dikelola dan dikembangkan pada
usaha dan cara-cara yang ditolerir oleh syariah Islam dengan adanya pertimbangan dari
Dewan Pengawas Syariah (DPS).
c) Landasan Hukum Asuransi Jiwa
Dalam kontrak asuransi masing-masing pihak yang terlibat harus memperhatikan
landasan hukum dan prinsip yang mendasari kontrak asuransi. Dasar hukum asuransi jiwa
merupakan unsur-unsur penting dalam perjanjian yang mengatur hubungan, hak
kewajiban dua pihak agar perjanjian pertanggungan dapat berjalan dan berlaku. Beberapa
landasan hukum yang terpenting di antaranya:
1) Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan-Insurable Interest Pasal 250 KUHD
Adalah hubungan kepentingan antara peserta dengan obyek pertanggungan atau
pihak yang dipertanggungkan. Peserta dianggap mempunyai kepentingan yang insurable
jika mengalami musibah.
66
Dalam kamus Asuransi, pengertian dari Insurable Interest
adalah minat atau kepentingan yang muncul ketika seseorang memiliki pengharapan yang
masuk akal untuk mengambil maslahat dari kelangsungan hidup orang lain atau maslahat
dari penderita orang lain akibat kematiannya.
67


Yang dimaksud dengan kepentingan disini adalah kepentingan yang timbul karena
hubungan keluarga (suami,istri, anak, orang tua atau ahli waris), hubungan bisnis

66
Ibid, 12
67
A. Hasymi Ali. Dkk, Kamus Asuransi.., 161
(perusahaan dengan karyawan dan kreditur dengan debitur), kepemilikan (pemilik
kendaraan dengan kendaraannya), kuasa orang lain (bengkel dengan kendaraan yang
diperbaiki), karena undang-undang (Tanggung jawab hotel terhadap tamunya). Dan bila
ternyata tertanggung tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak berhak memperoleh
santunan (ganti rugi).
2) Itiqad Baik-Utmost Good Faith Pasal 251 KUHD
Para pihak yang melakukan kontrak asuransi, baik penanggung maupun tertanggung
harus beritiqad baik yang diwujudkan dengan kejujuran dan mengemukakan keterbukaan
(disclosure).
68
Dalam poin ini bertujuan agar tidak terdapat gharar atau penipuan antara
kedua belah pihak. Maksudnya dimana penanggung harus memberikan semua informasi
mengenai pertanggungan dan tertanggung memberikan informasi mengenai obyek
pertanggungan baik diminta maupun tidak. Informasi tertanggung termasuk informasi
yang mempengaruhi opini penanggung apakah akan menerima atau menolak obyek
pertanggungan. Sedangkan informasi dari penanggung terutama isi dan kondisi polis
yang mungkin mempengaruhi apakah tertanggung jadi mengasuransikan obyeknya atau
tidak. Jika utmost good faith dilanggar terutama oleh tertanggung, maka akan
mengakibatkan pertanggungan menjadi batal.
3) Indemnitas-Indemnity
Dalam kamus Asuransi artinya Indemnity adalah pembayaran dengan sejumlah uang
untuk mengganti semua atau sebagian dari kerugian yang telah diasuransikan.
69
Prinsip
ini merupakan ganti-rugi/santunan bila terjadi musibah yang dijamin, yaitu pihah asuransi
akan mengembalikan uang pemegang polis atau tertanggung dalam keadaan semula

68
Opcid, 13
69
Opcid, 154
seperti sebelum terjadi musibah, atau dengan kata lain pihak asuransi mengembalikan
uang milik tertanggung yang selama ini diserahkan pada pihak asuransi. Dengan prinsip
ini tertanggung tidak dimungkinkan mendapat keuntungan dari penanggung. Untuk
keperluan ini maka sangat disarankan harga pertanggungan yang dipakai berdasarkan
harga pasar. Hal ini guna menghindari asuransi dibawah harga (under insurance) ataupun
asuransi diatas harga (over insurace).
70

4) Subrogasi-Pengalihan Hak
Bilamana penanggung telah membayar santunan ganti rugi kepada tertanggung,
padahal dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian tersebut tertanggung tidak
bersalah maka hak menuntut kepada pihak yang bertanggung jawab atau yang bersalah
(pihak ketiga) beralih kepada penanggung.
5) Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tentang Perusahaan
Perasuransiaan
Bab VI Pasal 7 ayat 1, Bentuk Hukum Usaha Perasuransian yaitu Perusahaan
Perseroan (Persero), Koprasi, Perseroan Terbatas (PT), Usaha Bersama (mutual). Bab XI
Pasal 21 ayat 2 tentang Ketentuan Pidana yang berisi Barang siapa menggelapkan premi
asuransi diancam pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000 (Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah).
Pasal 381 KUHP: Barangsiapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung
(perusahaan) asuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan.
71


d) Peranan Asuransi
Adapun peranan dari asuransi jiwa adalah:

70
Ibid, 13
71
Ibid, 14
1). Proteksi bagi keluarga
a. Pendapatan
Keluarga
b. Dana Penyesuaian
c. Dana Pemutihan
2). Menabung
a. Dana Hari Tua
b. Dana Pendidikan
3). Alat Bisnis
a. Proteksi Kredit
b. Proteksi Hipotik
c. Key-Person
d. Kelangsungan
Usaha
e. Kesejahteraan
Karyawan

Bila pencari nafkah ditakdirkan meninggal atau cacat, maka kebutuhan dan
kesejahteraan keluarganya akan kurang terjamin. Oleh karena itu bila menjadi peserta
asuransi diharapkan pada saat terjadinya resiko, hasil investasi dari manfaat asuransi
dapat menggantikan pendapatan atau sebagai dana penyesuaian bagi keluarga, sehingga
kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya akan lebih terjamin.
e) Produk Asuransi pada PT. Asuransi Takaful Indonesia
Dalam PT. Asuransi Takaful Indonesia terdapat berbagai macam asuransi yang
ditawarkan, yaitu pembagian dari jenis asuransi ganti rugi dan asuransi jiwa. Untuk
pembagian dari produk asuransi ganti rugi adalah:
a. Takaful Kebakaran; kerusakan dan/atau kerugian pada harta benda dan/atau
kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung yang disebabkan oleh
kebakaran, petir, peledakan, kejatuhan pesawat terbang, atau karena asap..
b. Takaful Kendaraan Bermotor atau abror; merupakan program Takaful yang
mengcover kerugian atas kendaraan bermotor yang disebabkan musibah kecelakaan,
pencurian, serta tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga.
Adapun asuransi jiwa yang dalam Takaful disebut dengan asuransi Keluarga yaitu
sebagai berikut:
a. Takaful Dana Investasi (FULDANA); merupakan bentuk perlindungan dalam mata
uang Rupiah atau US Dolar sebagai dana investasi, untuk tabungan hari tua atau untuk
ahli waris bila terjadi musibah meninggal dunia dalam masa perjanjian.
b. Takaful Dana Siswa (FULNADI); merupakan Takaful keluarga yang ditujukan bagi
orang tua yang berkeinginan merencanakan dana pendidikan untuk putra-putrinya
sampai sarjana, dalam mata uang Rupiah dan US Dolar.
c. Takaful Dana Haji (FULHAJI); merupakan bentuk perlindungan dalam mata uang
rupiah atau US Dolar sebagai biaya menjalankan ibadah haji, dan bila terjadi musibah
meninggal dunia dalam masa perjanjian maka jumlah simpanannya akan diberikan
kepada ahli waris.
d. Takaful Kesehatan Individu; merupakan program yang menyediakan dana santunan
Rawat Inap dan Operasi saja, tidak termasuk meninggal dunia.
e. Takaful Kecelakaan Diri Individu; merupakan program yang bermaksud menyediakan
santunan untuk ahli waris bila terjadi kecelakaan atau dana santunan bagi dirinya
sendiri bila terjadi cacat tetap akibat kecelakaan dalam masa perjanjian.
f. Takaful Al-Khairat Individu; diperuntukkan bagi seseorang yang bermaksud
menyediakan santunan untuk ahli waris bila terjadi musibah meninggal dunia dalam
masa perjanjian, yang mana usia plus kontrak tidak boleh lebih dari 65 tahun.
Dan untuk penelitian kali ini, akan lebih fokus kepada produk Takaful yang
mengcover jiwa peserta, terutama yang akan memberikan dana santunan kematian bagi
ahli waris bila peserta meninggal. Yaitu Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji,
Takaful Kecelakaan Diri Individu, dan Takaful Al-Khairat Individu.
f) Perbedaan Asuransi Takaful dengan Asuransi biasa
Keterangan Asuransi Takaful Asuransi Bisaa
Dewan Pengawas
Syariah
Dewan Pengawas Syariah,
fungsinya mengawasi produk
yang dipasarkan dan investasi
dana.
Tidak ada
Akad Tolong-menolong (Takafuli) Jual beli (Tabaduli)
Investasi Dana
Investasi Dana berdasarkan
Syariah dengan sistem bagi
hasil (Mudharabah)
Investasi Dana
berdasarkan bunga (Riba)
Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari
nasabah (Premi) merupakan
milik peserta. Perusahaan
hanya sebagai Pemegang
Amanah untuk mengelolanya.
Dana yang terkumpul dari
nasabah (Premi) menjadi
hak milik Perusahaan.
Perusahaan bebas untuk
menentukan investasinya.
Pembayaran Klaim
Dari rekening Tabarru (Dana
Kebajikan) seluruh peserta,
sejak awal sudah diiklaskan
Dari rekening Dana
Perusahaan
oleh peserta untuk keperluan
tolong-menolong bila terjadi
musibah.
Keuntungan
(Profit)
Dibagi antara Perusahaan
dengan Peserta (sesuai prinsip
bagihasil/Al-Mudharabah)
Seluruhnya menjadi milik
perusahaan.

g) Syarat Umum Polis Individu
Dalam syarat umum polis individu, terdapat beberapa pengertian yang harus
difahami yaitu:
Perusahaan : PT. Asuransi Takaful Keluarga (Pemegang Amanah)
Peserta : Pemegang polis yang mengadakan perjanjian dengan takaful
Takaful : Kerjasama saling melindungi dan tolong menolong antara peserta
Polis : Surat Perjanjian antara peserta dengan perusahaan
Premi : Dana yang dibayarkan peserta, terdiri dari dana tabungan dan tabarru
Manfaat : Dana yang akan diperoleh peserta bila terjadi klaim
Santunan : Dana yang diambil dari Rekening Tabarru saat terjadi musibah
Manfaat Awal : Rencana menabung (Premi Tahunan x Masa Perjanjian)
Syarat umum polis individu ini diatur dalam beberapa pasal, dan mengenai
persyaratan yang harus terpenuhi dan harus dilakukan oleh pihak peserta atau nasabah
dan pihak perusahaan diatur dalam pasal 2 yang menjelaskan tentang dasar perjanjian,
pasal 3 yang memaparkan tentang ketentuan mulai berlakunya suatu perjanjian antara
perusahaan asuransi dengan pihak tertanggung atau peserta, pasal 4 yang mengatur
tentang tata cara pembayaran premi yang akan diserahkan kepada perusahaan, pasal 4a
mengatur tentang biaya penagihan bila pembayaran premi tidak dilakukan langsung ke
perusahaan asuransi pada tanggal yang ditentukan saat perjanjian dibuat dan disepakati,
pasal 5 yang membahas tentang tata cara memulihkan atau memperbaharui Polis bila
Polis tidak berlaku karena keterlambatan membayar premi, pasal 6 mengatur tentang
perubahan Polis atau perjanjian baik itu perubahan atas alamat pemegang Polis atau ahli
waris atau yang lainnya, pasal 8 & 9 mengatur tentang klaim mulai cara pengajuan klaim
hingga cara pembayaran klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.

2. Persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh nasabah mulai dari pendaftaran
awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan dalam Asuransi jiwa
sehingga menjadi harta yang dapat diwarisi.
Dalam persyaratan untuk menjadi anggota takaful diperlukan beberapa tahapan,
untuk awal tahapan tersebut adalah penjelasan secara gamblang tentang produk takaful,
agar dalam perjanjian selanjutnya didasarkan kepada kesepakatan dan kejelasan.
Persyaratan yang dimaksud mengrah kepada produk asuransi jiwa atau asuransi keluarga
karena produk tersebut adalah bentuk dari perlindungan atas jiwa seseorang yang mana
akan menyediakan santunan untuk ahli waris apabila pemegang polis atau peserta telah
meninggal dunia dalam masa perjanjian. Dan pada penjelasan ini pula, calon nasabah
akan diminta untuk menunjuk beberapa ahli waris yang nantinya akan diberikan dana
santunan oleh pihak takaful, yaitu anak dan saudara selain didalam rumah (saudara yang
dimaksud adalah bibi, paman, kemenkan, sepupu, atau yang lainnya selain istri dan anak-
anak mereka).
Produk asuransi jiwa yang dicover dalam asuransi keluarga pada takaful adalah
bentuk jaminan yang diberikan oleh pihak Takaful atau perusahaan kepada peserta bila
terdapat musibah yang dialami atas diri peserta. Dan produk asuransi jiwa atau keluarga
rata-rata memberikan perlindungan atas diri peserta bila mengalami musibah kematian,
sehingga ahli waris dari peserta akan memperoleh dana santunan kematian untuk
mengurusi segala keperluan peserta yang telah meninggal dunia atau dapat juga dijadikan
sebagai harta warisan bila segala kebutuhan si mayit terselesaikan secara keseluruhan.
Salah seorang nasabah mengatakan bahwa, Saya mengikuti Asuransi Al-Khairat ini,
supaya anak-anak saya nanti mendapatkan uang santunan sebesar 300 juta rupiah dari
Takaful, bila sewaktu-waktu (yang pasti sebelum usia saya 54 tahun) saya dipanggil
menghadap Allah, jadi saya bisa lebih tenang .
72

Pada produk takaful keluarga, bila terjadi musibah kematian atas peserta maka pihak
Takaful akan memberikan manfaat pada ahli waris yang telah ditunjuk dalam polis bila
pemegang polis meninggal dunia. Pemberian manfaat tersebut berupa uang untuk
mengurusi si mayit (bila lebih bisa dijadikan harta waris). Keuntungan lain yang dapat
diperoleh langsung untuk si mayit sebagai pemegang polis adalah terhentinya premi yang
harus dibayarkan dan dianggap telah lunas. Untuk masalah pembayaran premi bisa
dilakukan dengan bulanan atau tahunan, dan jumlah uang pembayarannya sesuai dengan
kemampuan pemegang polis. Dalam penjelasan atau pengantar yang diberikan pihak
marketing Takaful, akan disertakan pula ilustrasi atas uang bagi hasil yang akan diperoleh
dan jumlah yang akan diberikan kepada ahli warisnya atau yang ditunjukkan pada polis
sampai masa perjanjian selesai, baik itu bila pemegang polis meninggal ataupun masih
dalam keadaan hidup saat dalam masa perjajian.

72
Wawancara, Didiek Heri Tjahjono (Peserta Takaful Al-Khairat), 20 April 2009 jam 16.45
Setelah calon nasabah atau calon pemegang polis faham serta ingin bergabung
dengan takaful untuk mengasuransikan pendidikan anaknya, maka calon nasabah akan
diberi aplikasi atau formulir perjanjian untuk diisi secara lengkap. Pengisian formulir
yang telah dilakukan akan diserahkan ke kantor pusat dan diinput. Cara pendaftaran
tersebut juga diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tentang Dasar Perjanjian yang berisi Setiap
Peserta yang mengadakan Perjanjian dengan Perusahaan diwajibkan mengisi dan
menandatangani sendiri surat Pengajuan Asuransi (SPA/Aplikasi) beserta formulir
pendukung dan persyaratan yang telah dipersiapkan untuk itu, dengan lengkap dan jujur
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kemudian menyerahkan kepada Perusahaan.
Dalam proses pengisian formulir, pihak nasabah akan ditanya masalah riwayat
kesehatan, apakah dia perokok, pernah menderita penyakit parah atau orang tua memiliki
penyakit yang dimungkinkan akan diderita oleh pihak nasabah. Dan bila terdapat indikasi
penyakit, maka pihak nasabah akan diminta untuk medical ceck up terlebih dahulu.
Riwayat kesehatan diperlukan untuk menentukan besarnya tabarru (uang kebajikan)
yang akan dibayarkan, karena bila difikir secara normal dan terlepas dari kehendak Allah
sebagai Pencipta, orang yang telah menderita penyakit akan lebih dulu meninggal dari
pada orang yang dalam keadaan sehat. Bila segala rangkaian diatas telah dilewati dan
pihak asuransi menyetujui permohonan nasabah untuk bergabung dengan takaful, maka
akan dikeluarkan surat perjanjian atau sertifikat perjanjian yang dinamakan polis, sebagai
bukti keikut sertaan dengan takaful dan telah menjadi nasabah takaful.
73

Setelah surat perjanjian telah dipegang oleh nasabah yang telah bergabung dengan
pihak Takaful, maka nasabah atau peserta yang telah sah menjadi bagian dari Takaful
telah memiliki hak atas klaim bila terdapat musibah yang dialami. Besarnya klaim yang

73
Wawancara, Moh. Nastain (Manager Operasional Officer), tanggal 3 Februari 2009, jam 10.00
akan diberikan kepada peserta dalam hal ini pemegang Polis, akan disesuaikan dengan
jumlah premi yang dibayarkan (yaitu uang cicilan yang dibayar bulanan, tahunan,
triwulan atau semesteran), besarnya tabarru yang dibayarkan, dan musibah yang
menimpanya (pemberian akan berbeda antara yang meninggal karena kecelakaan atau
meninggal biasa). Klaim dapat diambil, bila yang mengambil adalah ahli waris yang telah
tertera dalam Polis. Dan ahli waris yang tertera dalam Polislah yang akan diberikan
amanah oleh pihak Takaful untuk mendapatkan uang santunan agar digunakan untuk
mengatur segala kebutuhan si mayit dan membagikan kepada ahli waris lainnya.
74

Pemberian amanah tersebut dilakukan, karena pihak Takaful tidak memungkinkan untuk
mengurusi segala sesuatu untuk si mayit hingga membagikan kepada ahli warisnya yang
berhak.
Cara pengajuan klaim sangatlah mudah, ahli waris yang diberi amanah oleh pihak
takaful hanya perlu mengisi blangko yang telah disediakan oleh pihak Takaful, mengisi
daftar pertanyaan yang ada di dalam blangko lain yang akan diberikan, Fotocopy KTP
dan Pembayaran Premi pertama, serta pengisian blangko untuk dokter atau pihak rumah
sakit (bila ada atau meninggal dirumah sakit). Dan untuk jangka waktu pengajuan klaim
untuk peserta yang meninggal dunia adalah 6 bulan setelah kejadian meninggal dunia.
Seperti yang tercantum dalam Pasal 8 tentang syarat-syarat Pengajuan Klaim yang
pada ayat (1) berisi bahwa Dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk pengajuan
klaim adalah a). Untuk syarat secara umum: Polis asli, mengisi formulir pengajuan klaim
yang disediakan oleh perusahaan, fotocopy identitas diri yang masih berlaku,
melampirkan surat pemberian jatuh tempo tahapan (khusus untuk program yang ada
Tahapannya, jika ada), dan surat keterangan medis dari dokter atau rumah sakit yang
merawat (untuk klaim rawat inap atau cacat tetap karena kecelakaan). b). Dan khusus
untuk klaim meninggal dunia, dilengkapi dengan: mengisi formulir daftar pertanyaan
untuk klaim yang disediakan oleh Perusahaan, surat kematian dari instansi pemerintah
yang berwenang, surat dari dokter yang berisikan keterangan sebab-sebab meninggal,
melampirkan surat keterangan dari polis (bila meninggal karena kecelakaan). untuk ayat

74
Ibid.
(2) berisi bahwa Perusahaan berhak untuk meminta diberikan dokumen-dokumen lain
yang dianggap perlu dalam pengajuan klaim. Sedangkan pada ayat (3) berisi bahwa
Dalam hal Peserta meninggal dunia, jangka waktu pengajuan berikut bukti-bukti yang
diperlukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggal.
75




B. Analisis
1. Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang diperoleh
dari perjanjian Asuransi jiwa
Produk asuransi yang ditawarkan oleh Takaful dan sesuai dengan penelitian kali ini
adalah Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, Takaful Dana Jabatan, Takaful
Hasanah, Takaful Kecelakaan Diri Individu, dan Takaful Al-Khairat Individu. Dan
keenam produk asuransi itulah yang akan dianalisis dalam hal harta yang akan diperoleh
ahli waris yang dicairkan melalui klaim, karena keenam produk tersebut memiliki
manfaat santunan kematian bila peserta meninggal dunia pada masa perjanjian. Keikut
sertaan para peserta dalam hal mengasuransikan diri mereka, adalah sebuah usaha yang
dilakukan untuk memproteksi atas resiko keuangan yang akan dialami, terutama dalam
hal kematian. Karena seperti yang diyakini oleh seluruh makhluk hidup yang ada dibumi,
bahwa kematian itu pasti akan datang, namun belum tahu kapan itu terjadi. Muhammad
Al-Bahi menyatakan, bahwa perusahaan Asuransi hukumnya halal karena di dalam
asuransi terdapat sistem tolong-menolong, pengembang harta benda nasabah dengan akad
mudharabah, bersih dari riba, tidak adanya tipu daya karena selalu terbuka untuk nasabah,
memperluas lapangan kerja baru, serta memberikan jaminan kepada nasabah yang
terkena musibah dengan berbagi dalam hal finansial. Jadi, sah-sah saja apabila setiap

75
Cacan S. Agis, dkk , Syarat-syarat Umum dan Khusus Polis Individu (TRenDi [Training, Research, &
Development] PT. Syarikat Takaful Indonesia: Jakarta, 2005), 5-6
manusia akan berusaha untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum kematian itu terjadi
terutama dalam hal ini adalah persiapan akan finansial yang akan dialami keluarga
apabila terjadi kematian atas peserta agar tidak bertambah-tambah kesusahan yang akan
dibebankan kepada keluarga. Selain itu, asuransi jiwa diperbolehkan apabila mengandung
sistem tolong menolong seperti yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Ahmad bahwa
Asuransi jiwa hukumnya adalah halal, dengan alasan bahwa dalam persetujuan asuransi
tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah SWT., di dalam asuransi tidak ada pihak
yang merasa diuntungkan atau dirugikan karena berangkat dari kesepakatan awal yang
saling merelakan, dan tujuan dari asuransi adalah saling tolong-menolong serta menjalin
sebuah kerja sama.
Dana santunan kematian bagi nasabah PT. Asuransi Takaful Indonesia (yang bisa
disebut pemegang polis), merupakan program utama untuk membantu meringankan
musibah yang terjadi atas pihak tertanggung, dan PT. Asuransi Takaful Indonesia ini
telah bergabung dengan Bank Muamalah dalam masalah mencairkan dana santunan
kematian tersebut. Dana santunan kematian ini, berasal dari uang bagi hasil yang
diperoleh dari pengelolaan dana investasi oleh pihak pengelola atau pihak asuransi
sebagai penanggung. Seperti yang dikemukakan dalam sebuah buku bahwa Mudharabah
adalah sebuah kontrak atas harta pemilik yang diserahkan kepada kelompok lain untuk
membentuk kerja sama bagi hasil.
76
Jadi dana santunan tersebut adalah mutlak hak dari
pemberi investasi atau peserta asuransi, karena uang tersebut adalah uang bagi hasil yang
didapatkan berdasarkan kesepakatan. Dan karena akad mudharabah itu pula Syekh Abdul
Wahab Kholaf memperbolehkan praktik asuransi dengan menyatakan bahwa Asuransi

76
A. Rahman I. Doi, Penjelassan lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
467
itu diperbolehkan dengan dalih bahwa asuransi merupakan akad mudharabah. Akad
mudharabah dalam Islam adalah sebuah perjanjian persekutuan dalam keuntungan,
dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga dari pihak lain.
Untuk setiap nasabah atau pemegang polis yang ingin mencairkan dana kematian,
harus mengajukan klaim kepada pihak penanggung dalam hal ini PT. Asuransi Takaful
Indonesia agar dicairkan uang yang telah dijanjikan kepada tertanggung semasa
hidupnya. Dan pengajuan ini, hanya dapat dilakukan oleh ahli waris yang telah ditunjuk
di dalam surat perjanjian atau polis.
Pada dasarnya klaim atau tuntutan, yang diminta oleh ahli waris pemegang polis
adalah hak mutlak setiap ahli waris yang telah ditunjuk di dalam surat perjanjian. Karena
klaim yang akan mencairkan uang tersebut merupakah hak dari ahli waris yang telah
diketahui oleh pihak si mayit, dalam hal ini pemegang polis. Dari pencairan dana klaim
ini, pihak ahli waris dapat mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan si mayit, seperti
mengkavani, menguburkan dan lain sebagainya yang membutuhkan biaya. Selain itu,
dengan klaim ini, pihak ahli waris dapat menuntaskan segala sesuatu yang menjadi
tanggung jawab si mayit untuk membayarnya, misalnya hutang kepada orang lain atau
hutang mas kawin kepada istrinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan bahwa hak-hak
yang harus ditunaikan dalam kaitannya dengan tirkah yaitu mempersiapkan segala
keperluan si mayit, membayarkan hutang-hutangnya, menunaikan wasiatnya, dan yang
terakhir bila terdapat sisa harta maka dibagikan kepada ahli waris yang berhak, untuk
pemenuhan hak-hak tersebut harus dipenuhi secara berurutan sebelum harta tersebut
dibagikan kepada ahli waris. Sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua
menghabiskan seluruh tarikah, maka tidak ada lagi hak untuk yang lainnya. Semua
tanggungan si mayit harus ditunaikan, terutama masalah hutang, karena seperti yang telah
diperingatkankan oleh Islam bahwa:
-= --, -= -,-- -'- -,-' -- ) --= - (
Jiwa (roh) orang beriman itu bergantung pada hutangnya, sehingga hutangnya
dibayarkan.
77


Dari peringatan diatas, pastilah seluruh ahli waris memperhatikan secara sungguh-
sungguh dan mencari pihak-pihak yang pernah memberikan pinjaman atau hutang kepada
si mayit namun belum dilunasi semasa hidup si mayit. Kebisaaan untuk mencari tahu
pihak-pihak yang pernah memberikan pinjaman kepada si mayit semasa hidupnya namun
belum dilunasi, di beberapa desa diterapkan dengan mengumumkannya pada saat si mayit
hendak diberangkatkan ke tempat persemayaman, dan bisanya kata-katanya seperti jika
si mayit ini memiliki tanggungan hutang kepada bapak-ibu sekalian, diharapkan untuk
berurusan dengan ahli waris, agar ditunaikan hutang-hutang si mayit ini.
Pembayaran hutang dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan si mayit,
merupakan tanggung jawab ahli waris untuk menyelesaikannya. Penyelesaian tersebut
bisa dari harta atau uang ahli waris sendiri, atau uang dari si mayit yang masih ada dan
menjadi hak ahli waris. Uang si mayit semasa hidupnya, baik uang itu berasal dari
tabungan si mayit sendiri atau uang yang diperoleh dari perjanjian dengan pihak ketiga
(dalam hal ini asuransi), merupakan hak dari setiap ahli waris yang dalam ketentuan
Islam diperbolehkan dan tidak ada halangan baginya untuk mewarisi harta si mayit
seperti budak, pembunuh, atau perbedaan agama yang telah diatur dalam ajaran Islam.
Pencairan dana klaim oleh ahli waris dapat dijadikan sebagai harta warisan dan dapat
dibagikan kepada yang berhak, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

77
Ahmad Al Basyuni, Tarjamah Qabasaat ., 187
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit baik berupa harta atau hak dapat
diwariskan, dan harta atau hak tersebut disebut dengan tirkah. Dan dana santunan
kematian yang dicairkan dengan cara mengajukan klaim ini adalah hak setiap ahli waris
untuk mendapatkannya.
Dana kematian dari pihak takaful adalah hak si mayit yang baru bisa didapatkan
ketika kematiannya dapat dipastikan benar atau telah habis masa perjanjiannya. Dan pada
saat pembayaran premi berlangsung, uang premi tersebut dikelola oleh pihak asuransi
untuk dikembangkan, dan nantinya akan diberikan kepada si mayit bila terjadi klaim.
Dana santunan kematian yang diberikan kepada ahli waris yang dicairkan berdasarkan
pengajuan klaim, dapat dikategorikan dalam pengertian harta peninggalan si mayit yang
termasuk pada penjelasan yang menyatakan tentang benda-benda yang bersangkutan
dengan hak orang lain benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda yang
sebenarnya merupakan milik atau menjadi hak milik si mayit, namun masih belum
diberikan kepada si mayit karena alasan tertentu atau masih dalam masa perjanjian untuk
dimanfaatkan orang lain. Yang mana sebenarnya, uang dari pencairan klaim tersebut
adalah milik si mayit, namun masih menjadi hak takaful untuk mengelolanya serta tidak
mencairkannya sebelum ada klaim dari pihak tertanggung atau pemegang polis. Dan
setelah terdapat klaim, baru bisa diserahkan keseluruhan hak milik si mayit sesuai dengan
perjanjian.
Dana santunan yang diperoleh dari pencairan klaim adalah bentuk dari tanggung
jawab penanggung, dalam hal ini asuransi. Dalam buku Bidayatul Mujtahid dijelaskan
bahwa jaminan yang diperbolehkan berdasarkan kesepakatan Jumhur ulama adalah
jaminan atas harta seseorang yang mana harta tersebut berkaitan dengan jiwa seseorang.
Imam Malik juga memperbolehkan adanya jaminan atas kerugian seseorang bila terjadi
kematian atas orang yang dijamin, yaitu dengan dalih Bahwa perjanjian dengan jiwa
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pemilik hak, sehingga ia harus
menanggung kerugiannya apabila orang yang dijamin tidak ada.
78
Hal tersebut sesuai
dengan pertanggungan yang dilakukan oleh pihak takaful, yaitu memberikan jaminan atas
harta seseorang yang mengalami musibah kematian, yang mana dalam takaful disebut
dengan jaminan yang bersifat membagi kerugian atas finansial peserta. Dan bentuk dari
tanggung jawab tersebut diberikan melalui pencairan klaim.
Selain itu, biasanya bila terdapat klaim atas kematian pemegang polis, maka akan
diberikan pula dana santunan yang bukan dari miliknya sendiri, akan tetapi berasal dari
uang tabarru atau uang kebijaksanaan yang diperoleh dari seluruh nasabah Asuransi
sebagai uang tolong menolong sebesar 5-14% dari jumlah premi pertama yang
dibayarkan. Takaful membedakan antara tabungan peserta dengan tabungan tabarru
untuk menghindarkan dari gharar, maisir, atau riba. Untuk uang tolong menolong tersebut
selaras dengan tujuan asuransi yang dikemukakan oleh Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi,
Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir yang menyatakan bahwa Tujuan dari asuransi adalah
meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta benda milik
nasabah, sehingga beban yang berat atas suatu musibah dapat dipikul bersama pihak
asuransi.
Uang kebijaksanaan atau tabarru ini didapatkan dari para nasabah setiap tahunnya,
dan pengambilan uang tabarru dari para nasabah telah diketahui dan disepakati oleh
kedua belah pihak saat awal kontrak. Dan karena uang tabarru diperoleh dari uang bagi
hasil antara nasabah dan perusahaan asuransi dalam hal ini takaful, serta perolehannya

78
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid [2] (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2007), 585
berdasarkan atas kesepakatan, maka dana santunan yang diberikan dari tabungan tabarru
tersebut diperbolehkan karena terhindar dari gharrar, maisir, atau riba. Selain itu,
perolehan dana santunan dari tabungan tabarru yang diterapkan pada Perusahaan
Asuransi Takaful Indonesia tersebut sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia dalam hal pedoman umum asuransi syariah. Yaitu, tabarru yang
diterapkan oleh Takaful bertujuan untuk saling melindungi dan saling menolong di antara
sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kebersihannya dari riba, gharrar, dan maisir.
Dana santunan yang diterima dari klaim yang diajukan oleh salah satu ahli waris
yang ditunjuk ialah sebuah uang yang dapat diwariskan, karena telah jelas bahwa uang
tersebut adalah uang dari perjanjian semasa hidup si mayit yang didasarkan atas
kesepakatan kedua belah pihak dan pada dasarnya uang tersebut milik si mayit, namun
dipindah alihkan kepada takaful untuk dikelola. Oleh karena itu, dana santunan kematian
yang diperoleh dari pencairan klaim diperbolehkan untuk dijadikan harta warisan dan
dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak mendapatkannya, setelah uang dari
pencairan klaim tersebut digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan si mayit hingga si
mayit dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan hak untuk ahli waris menuntut penjamin
harta si mayit sesuai dengan perjajian yang telah disepakati.
Cara pengajuan klaim sangatlah mudah, hanya dengan mengisi blangko klaim serta
bukti-bukti tertulis untuk memastikan kebenarannya, misalnya seperti pernyataan Dokter
bila orang tersebut meninggal dirumah sakit, pernyataan dari kepolisian bila orang
tersebut meninggal karena kecelakaan, atau dari pernyataan saudara-saudaranya dengan
mengisi pernyataan pada blangko yang disediakan oleh pihak takaful. Bukti-bukti
kematian pemegang polis dibutuhkan perusahaan, agar terdapat kepastian dan kejelasan
bila dana santunan kematian tersebut akan dikeluarkan. Selain itu bukti-bukti tersebut
diperlukan untuk memastikan bahwa pemegang polis tersebut telah meninggal dunia dan
haknya dapat diberikan kepada ahli waris yang telah ditunjuk, seperti dalam ketentuan
yang menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk mewaris salah satunya adalah
wafatnya pemberi waris secara hakekat atau menurut hukum.
Dari berbagai pernyataan diatas telah jelas adanya, bahwa harta yang ditinggalkan
oleh si mayit atau tirkah dalam bentuk klaim diperbolehkan, karena klaim tersebut adalah
hak dari ahli waris yang belum ditunaikan atau belum dikeluarkan bila klaim tidak terjadi.
Dan klaim itu sendiri telah sejalan dengan pemikiran para Ulama seperti Hanbaliyah,
Syafiiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa peninggalan yang berupa hak dapat
dijadikan harta warisan, baik itu hak berupa kebendaan atau bukan, sedangkan untuk
klaim itu sendiri masuk kedalam suatu hak yang bersifat kebendaan karena hak si mayit
untuk mendapatkan dana santunan bila terjadi musibah sesuai dengan perjajian yang telah
disepakati oleh pihak Takaful dengan si mayit semasa hidup si mayit.
Oleh karena alasan yang telah dipaparkan diatas, dana santunan kematian yang
diperoleh dari pencairan klaim dapat dijadikan harta waris, dan posisi dari klaim itu
sendiri sama seperti harta yang ditinggalkan si mayit yang termasuk dalam rukun si harta
warisan, meskipun sebenarnya yang dimaksud dengan klaim itu sendiri adalah tuntutan
yang dijadikan sebagai perantara untuk mencairkan uang sehingga dapat dijadikan
sebagai harta peninggalan si mayit atau tirkah.
2. Posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang telah
ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak Takaful
Indonesia
Seperti yang sedikit disinggung sebelumnya, bahwa untuk setiap nasabah atau
pemegang polis yang ingin mencairkan dana kematian, harus mengajukan klaim kepada
pihak penanggung dalam hal ini PT. Asuransi Takaful Indonesia agar dicairkan uang
yang telah dijanjikan kepada tertanggung semasa hidupnya. Dan pengajuan ini, hanya
dapat dilakukan oleh ahli waris yang telah ditunjuk di dalam surat perjanjian atau polis.
Hal itu, merupakan langkah antisipasi dari pihak perusahaan, agar tidak ada pihak lain
yang tidak dipercaya oleh si mayit untuk mendapatkan manfaat dari Perusahaan Takaful
yang berupa dana santunan kematian. Hal ini memang perlu dilakukan agar pemberian
dana santunan kematian untuk ahli waris tepat sasaran, sesuai dengan keinginan si mayit
di masa hidupnya.
Selain itu, penunjukan salah satu dari ahli waris oleh si mayit saat masih hidup
merupakan hal yang positif, karena hanya si mayit atau pihak keluargalah yang tahu sifat
masing-masing keluarganya. Dan karena itu, penyebutan salah satu pihak untuk
mendapatkan dana santunan dari pihak takaful sangatlah baik, untuk memberikan harta si
mayit kepadanya dan pengurusan segala sesuatu si mayit hingga masuk liang kubur dan
pembagian harta warisnya bisa tepat atau tidak diselewengkan. Selain itu tujuan
penunjukan salah satu dari ahli waris sebagai pemegang amanah, supaya dalam
membagikan harta waris si mayit kepada seluruh ahli waris yang berhak sesuai dengan
ketentuan Islam yaitu tidak terdapat halangan untuk mewarisi harta si mayit tersebut.
Pemberian amanah kepada salah seorang ahli waris atau orang lain untuk membagikan
harta warisan kepada yang berhak, telah diterapkan sejak dahulu di Indonesia, dengan
menunjuk seorang pengacara untuk menyebutkan siapa saja ahli waris yang berhak diatas
surat bermaterai agar disampaikan kepada ahli warisnya saat pemberi warisan meninggal
dunia. Jadi, sudah tidak asing lagi mengenai penunjukan salah seorang yang dipercaya
oleh si mayit atau pemberi warisan untuk memegang amanah dalam membagikan harta
warisan kepada ahli waris lain yang berhak.
Pada produk Takaful keluarga yang telah dipilih sebagai titik acuan penelitian,
memiliki ketentuan bahwa pihak ahli waris yang akan diberikan amanah oleh pihak
Takaful berhak atas sejumlah santunan yang dijanjikan oleh Takaful dan telah diketahui
serta disepakati pada saat perjanjian awal. Dan dana santunan kematian tersebut
merupakan harta warisan yang dapat dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak dan
tidak terdapat halangan untuk mewaris. Sedangkan untuk ahli waris yang ditunjuk di
dalam polis, hanya sebagai perantara dari takaful untuk memanfaatkan uang tersebut agar
dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak mendapatkannya atau disebut dengan ahli
waris yang diberi amanah. Pemanfaatan itu mulai dari mengurusi si mayit, membayar
hutang si mayit, menunaikan wasiat, sampai membagikan kepada ahli waris yang berhak
bila ada sisa harta. Dan yang dimaksud dengan pemberian amanah oleh takaful adalah
pemberian kepercayaan kepada orang yang ditunjuk oleh si mayit semasa hidupnya
dalam surat perjanjian atau polis untuk membagikan kepada yang berhak setelah
kebutuhan dan tanggungan si mayit terpenuhi, bukan sebagai pemilik tunggal atas harta
yang dikeluarkan oleh pihak takaful. Jadi jelas adanya, bahwa posisi ahli waris lain dalam
kaitannya pada hak untuk mendapatkan harta warisan dari pencairan dana klaim adalah
sama, meskipun tidak ditunjuk di dalam polis atau surat perjanjian selama keluarga
tersebut memang termasuk kedalam pihak-pihak yang berhak mendapatkan harta waris
serta tidak terhalang apapun untuk mewarisi harta tersebut.
Ahli waris yang disebut dalam polis, sebagai pemegang amanah dari takaful untuk
mendapatkan dana santunan dalam Islam dapat dikenal dengan sebutan wakalah. Yang
mana, seorang ahli waris menjadi wakil dari pihak takaful untuk membagikan harta
warisan kepada ahli waris lain yang berhak namun tidak tercantum dalam polis. Dan
pemberian amanah dari pihak takaful kepada wakil atau ahli waris yang ditunjuk, telah
disepakati oleh si mayit pada masa hidupnya sebagai orang yang dipercaya oleh si mayit.
Untuk wakalah itu sendiri telah disebutkan di berbagai kitab, yang salah satunya adalah
Al Wajiz yang menyebutkan bahwa wakalah adalah penyerahan, seperti wakkalatu amra
ilaihi saya menyerahkan urusan kepadanya
79
dan disyariatkan pula dalam surat Al-
Kahfi ayat 19 yang berbunyi:
' - - ' = - , '' , , - ' -, , ' - ` - ' , '' - ` - ' + - - . -' ' + - , - , ' ' - - , ' ' - ` - = ' -
` -' - ` - ' ` - = ' - , ' - - - -' , ' ' -' = _ ' + , =- , ' -, - - ' _ ' - - , - - = ,
- = - - , ) -+' : 19 ( .
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah
kamu berada (disini?)." Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah
hari." Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang
lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.

Jadi, telah jelas bahwasanya ahli waris yang ditunjuk dalam polis adalah orang
kepercayaan si mayit yang akan diberi amanah oleh takaful untuk mendapatkan dana

79
Maruf Abdul Jalil, Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007), 731
santunan kematian. Selain itu ahli waris yang ditunjuk bertugas mewakili takaful sebagai
pihak penanggung untuk membagikan harta tersebut kepada ahli waris yang berhak
apabila terdapat sisa dari kebutuhan si mayit, mulai mengkafani hingga masuk dalam
liang kubur, membayar hutang dan menunaikan wasiat si mayit bila ada. Perwakilan yang
diberikan pihak Takaful kepada ahli waris yang telah direkomendasikan pemegang polis
pada masa hidupnya, adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam karena seperti yang
telah dipaparkan dalam kitab-kitab Fiqih bahwasanya kaum muslimin sepakat adanya
wakalah. Hal itu disebabkan karena bentuk dari wakalah tersebut dapat dikategorikan
dalam taawun atau tolong- menolong yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dan
untuk pemberian perwakilan kepada ahli waris dalam membagikan dana santunan dari
Takaful adalah kegiatan dalam rangka kebaikan dan menjalankan keinginan si mayit atau
peserta yang telah meninggal, karena telah membantu Takaful dalam meringankan
tanggung jawabnya.
Namun, terdapat kekurangan dalam hal penyebutan ahli waris yang akan diberi
amanah oleh takaful untuk mendapatkan dana santunan kematian tersebut, dan
kekurangan dari penyebutan salah satu ahli waris dan keluarga adalah apabila ahli waris
yang ditunjuk atau saudara yang ditunjuk lupa atau bahkan menghiraukan hal-hal seperti
uang perjanjian yang menjadi hak ahli waris karena masih dalam keadaan berkabung,
maka uang itu tidak akan dapat dicairkan dan secara otomatis tidak dapat dibagikan
kepada ahli warisnya yang berhak. Padahal seperti yang telah dikemukakan oleh pihak
takaful bahwa pencairan dana klaim hanya dapat dilaksanakan paling lambat enam bulan
( 6 bulan) terhitung dari peristiwa kematian.











BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Segala peninggalan yang berupa hak dapat dijadikan harta warisan, baik itu hak
berupa kebendaan atau bukan, sedangkan untuk klaim itu sendiri masuk kedalam suatu
hak yang bersifat kebendaan karena hak si mayit untuk mendapatkan dana santunan
bila terjadi musibah sesuai dengan perjajian yang telah disepakati oleh pihak Takaful
dengan si mayit semasa hidup si mayit. Pencairan dana klaim oleh ahli waris dapat
dijadikan sebagai harta warisan dan dapat dibagikan kepada yang berhak, karena
segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit baik berupa harta atau hak dapat
diwariskan, dan harta atau hak tersebut disebut dengan tirkah. Dan dana santunan
kematian yang dicairkan dengan cara mengajukan klaim ini adalah hak setiap ahli
waris untuk mendapatkannya. Oleh karena uang tersebut adalah uang santunan yang
ditujukan untuk si mayit, maka uang tersebut akan menjadi hak ahli waris untuk
mendapatkannya apabila segala kebutuhan si mayit, baik itu untuk mengurusi jenazah
hingga masuk dalam liang kubur, hutang yang belum terbayar, dan wasiat yang harus
ditunaikan. Dan dana santunan kematian yang diperoleh dari klaim dapat dijadikan
sebagai tirkah, karena di dalam tirkah terdapat ketentuan yang membolehkan adanya
warisan terhadap harta perjanjian atau pertanggungan, karena pada dasarnya uang
tersebut adalah hak ahli waris yang telah sah menurut Islam (perjanjian yang
dilakukan berdasarkan kerelaan, tanpa adanya penipuan). Selain itu pencairan dana
klaim tersebut diperbolehkan untuk dijadikan sebagai tirkah yang akan digunakan
untuk mengurusi si mayit dan dijadikan harta warisan bila terdapat sisa, karena klaim
tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dari pihak penanggung atas perjanjian
yang telah disepakati. Dan jaminan atas harta bila terjadi musibah kematian atas jiwa
seseorang diperbolehkan oleh Jumhur ulama. Jadi klaim tersebut adalah harta si mayit
yang dapat dikategorikan ke dalam tirkah.
2. Untuk posisi ahli waris lain yang tidak ditunjuk dalam Polis adalah memiliki hak yang
sama dalam masalah harta peninggalan yang berupa dana santunan kematian yang
dicairkan melalui pengajuan klaim, karena pihak ahli waris yang ditunjuk hanya
sebagai pemegang amanah dari pihak takaful untuk mendapatkan dana santunan dari
Takaful. Dan untuk pemberian amanah dalam membagikan dana santunan tersebut
kepada ahli waris yang berhak bila terdapat sisa dari kebutuhan si mayit, dapat juga
disebut sebagai wakil dari Takaful atas rekomendasi dari si mayit di masa hidupnya.
B. Saran
1. Dana santuna kematian yang hanya dapat dicairkan dengan pengajuan klaim
diharapkan untuk diperpanjang waktu pengajuannya dari hari kejadian, mengingat
akan terlupanya ahli waris untuk mencairkannya karena dalam keadaan berkabung.
2. Perlu adanya pengurus disetiap wilayah dalam memfasilitasi pengajuan klaim, untuk
mencari tahu atau mendeteksi kondisi pemegang Polis terutama yang usianya sudah
udzur, agar tidak ada yang merasa dirugikan karena tidak mendapat uang santunan
akibat keterlambatan mengajukan klaim.
3. Perlu adanya penjelasan kepada ahli waris yang ditunjuk tentang posisinya sebagai
pemegang amanah untuk membagikan, karena seperti yang penulis ketahui bahwa
yang mengetahui masalah pemberian amanah untuk membagikan hanya pembuat
perjanjian atau pemegang Polis saja.






















DAFTAR PUSTAKA


Ali, A. Hasymi, dkk. 1996. Kamus Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara.

Ali, Hasan. 2004. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media.

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Terjamah Mukhtashar Shahih Muslim.
Jakarta: Pustaka Azzam.

Al Basyuni, Ahmad. 1994. Tarjamah Qabasaat min as Sunnah an Nabawiyyah.
Bandung: Trigenda Karya.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.

Ash Shabuniy, Muhammad Ali. 1995. Hukum Waris Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1967. Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan Dalam Syariat
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve.

Departemen Agama. 1971. Al-Quran dan Terjemah. Surabaya: Al-Hidayah.

Fallasufa (STP Sabda), KA. 2006. Asuransi Dalam Perspektif Syariah. Jakarta:
AMZAH.

I. Doi, A. Rahman. 2002. Penjelassan lengkap Hukum-hukum Allah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Jalil, Maruf Abdul. 2007. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

J. Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
karya.

K. Lubis, Suwardi dan Komis Simanjutak. 2004. Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis). Jakarta: Sinar Grafika.

Nazir, Mohammad. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rahman, Fatchur. 1994. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Maarif.

Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid [2]. Jakarta: Pustaka Azzam.

Soekanto, Soerjono. 2000. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Perss.
Sukandy, Muh. Sjarief. 1985. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung: PT. Al-MaArif,
1985

Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah. 2000. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi.
Bandung: Sinar Baru Algasindo.

Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah. Jakarta: Gema Insani.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
persada.

Syahatah, Husain. 2006. Asuransi Dalam Perspektif Syariah. Jakarta: Amzah.

S. Agis, Cacan, dkk. 2005. Modul Pengetahuan Dasar Takaful. Jakarta: TRenDi
[Training, Research, & Development] PT. Syarikat Takaful Indonesia.

--------- Syarat-syarat Umum dan Khusus Polis Individu. Jakarta: TRenDi [Training,
Research, & Development] PT. Syarikat Takaful Indonesia.

Umar, Husein. 2000. Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Uwaidah, Kamil Muhammad. 2004. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

You might also like