Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Proposal ini membahas analisis hukum Islam terhadap kewarisan asuransi jiwa.
2. Penelitian ini dilakukan di PT Asuransi Takaful Indonesia cabang Malang.
3. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembagian warisan polis asuransi jiwa.
Original Description:
Original Title
Analisis Hukum Islam Terhadap Kewarisan Asuransi Jiwa
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Proposal ini membahas analisis hukum Islam terhadap kewarisan asuransi jiwa.
2. Penelitian ini dilakukan di PT Asuransi Takaful Indonesia cabang Malang.
3. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembagian warisan polis asuransi jiwa.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Proposal ini membahas analisis hukum Islam terhadap kewarisan asuransi jiwa.
2. Penelitian ini dilakukan di PT Asuransi Takaful Indonesia cabang Malang.
3. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembagian warisan polis asuransi jiwa.
KEWARISAN ASURANSI JIWA (STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.70 MALANG )
Proposal Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Dosen pembimbing: ZAENUL MAHMUDI. MA
Oleh: Rofiatul Hasanah (05210008)
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG 2008 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEWARISAN ASURANSI JIWA (STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.70 MALANG ) benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik dari segi isi, logika, maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 20 April 2009 Penulis,
Rofiatul Hasanah NIM. 05210008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Rofiatul Hasanah, NIM 05210008, mahasiswi Fakultas Syariah Universitas Islam nageri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEWARISAN ASURANSI JIWA (STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 70 MALANG) telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 20 April 2009 Pembimbing,
ZAENUL MAHMUDI, MA. NIP. 150 295 155
PENGESAHAN SKRIPSI Dewan penguji skripsi saudara Rofiatul Hasanah, NIM 05210008, mahasiswi Fakultas Syariah angkatan tahun 2005, dengan judul ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEWARISAN ASURANSI JIWA (STUDI DI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 70 MALANG) Telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A (Sangat Memuaskan).
Dewan Penguji: Drs. H. DAHLAN TAMRIN, M.Ag ( ) NIP. 150 216 425 PENGUJI UTAMA
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425 PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN PERSEMBAHAN
KARYA INI AKU PERSEMBAHKAN KEPADA MAS FUAD YANG SELALU MEMBERI AKU SEMANGAT DAN SELALU PERCAYA KALO AKU PASTI BISA. ABI DAN IBU YANG SANGAT AKU SAYANGI DAN MENGERTI AKU BAPAK DAN IBU MERTUAKU YANG AKU SAYANGI DAN SELALU MEMBERIKU KEBAHAGIAAN.
KEPADA BAPAK ZAINUL MAHMUDI DAN WARGA TAKAFUL YANG DENGAN SABAR MEMBERIKAN BIMBINGAN KEPADAKU SERTA KAKAK-KAKAKKU, ADEKKU DAN LIMA KEPONAKANKU TERSAYANG.
SAHABATKU YANG SELALU MENDUKUNG KEPUTUSANKU (MBAK AIN SI REPORTER HANDAL, SI CANTIQ JANGGEM, SI KUTILANG MEMEY, SI KREMPENG ZIZI)
TEMAN-TEMAN SYARIAH YANG SELALU BAIK PADAKU DAN SELALU MEMBERI BANTUAN KEPADAKU SERTA PERHATIAN KEPADAKU. SEMUA PIHAK YANG MEMBANTU TERSELESAIKANNYA PENULISAN SKRIPSI INI. MOTTO
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim. Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, yang selalu memberikan kekuatan dan rizki yang begitu melimpah kepada kita semua terutama penulis, sehingga terselesaikan penyusunan skripsi ini. Shalallahu Ala Muhammad, marilah selalu kita lantunkan untuk Baginda Muhammad yang telah memberikan jalan terang benderang kepada seluruh umat Islam dengan membawa amanah dari Allah SWT. Syukron Katsir, penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang selalu membantu terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang beserta Stafnya, para Dosen dan Karyawan dilingkungan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan layanan terbaik kepada penulis selama menuntut ilmu. 2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Bapak Zaenul Mahmudi, M.A selaku Ketua Jurusan Syariah dan pembimbing yang sangat baik serta penuh kesabaran dalam membimbing penulis hingga selesai. 4. Kedua orang tua yang sabar dan ikhlas membesarkan dan mendukung penulis untuk selalu menuntut ilmu. Serta kedua adikku yang menjadi penyemangat hidup penulis. 5. Ridwan Fuad, Amd. yang selalu berusaha memberikan yang terbaik dan selalu memberikan semangat disetiap waktu kepada penulis. 6. Warga Takaful cabang Malang yang selalu membantu kesulitan dalam pencarian data untuk skripsi ini, terutama kepada Bapak Zainul, Bapak Nastain, Bapak Khamim, dan Bu Kris. 7. Sahabat-sahabat dekatku yang paling baik (Janggem, Zizi, Memey, Zila, Anas, Olif, Chrys, Bang Jo, Bude Ilul, Tante Istiq, Yu Er, Mbak Ain, Mbak Irma, Neng Aziz, Mbak Fifin) dan semua penduduk syariah, terutama angkatan 2005 yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Hanya ucapan terimakasih yang dapat penulis sampaikan, dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada semuanya. Skripsi ini adalah tulisan yang jauh dari kata sempurna, oleh karena itu mohon kritikan dan saran untuk memperbaiki skripsi ini. Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sedikit manfaat kepada para pembaca, terutama untuk penulis sendiri.
Malang, 20 April 2009 Penulis
(Rofiatul Hasanah)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGAJUAN.................................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. iv HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vi HALAMAN MOTTO........................................................................................... vii KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii DAFTAR ISI......................................................................................................... x HALAMAN LAMPIRAN.................................................................................... xii ABSTRAK............................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah..................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7 E. Penelitian terdahulu .................................................................................. 7 F. Sistematika pembahasan ........................................................................... 9
BAB II PANDANGAN TENTANG TIRKAH DAN ASURANSI JIWA A. Tirkah 1. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya ............................................... 13 2. Pengertian Tirkah.................................................................................. 15 3. Hak-hak yang Berkaitan dengan Tirkah ............................................... 18 4. Sebab-sebab Mawaris ........................................................................... 20 5. Syarat dan Halangan Mawaris .............................................................. 21
B. Asuransi Jiwa 1. Pengertian Asuransi (Syariah) ............................................................. 26 2. Akad dalam Asuransi ............................................................................ 30 3. Status Hukum Fiqih Sistem Asuransi Jiwa........................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian....................................................................................... 47 B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................................... 47 C. Metode Pengumpulan Data....................................................................... 49 D. Sumber Data.............................................................................................. 51 E. Metode Pengolahan Data .......................................................................... 52
BAB IV PENYAJIAN DATA DARI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG DAN ANALISIS DATA A. Penyajian data 1. PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang ..................................... 56 2. Persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh nasabah mulai dari pendaftaran awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan dalam Asuransi jiwa sehingga menjadi harta yang dapat diwarisi. ................. 66 B. Analisis 1. Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang diperoleh dari perjanjian Asuransi jiwa .................................................... 70 2. Posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak Takaful Indonesia.................................................................................. 78
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 83 B. Saran ........................................................................................................ 85 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 86 Lampiran-lampiran HALAMAN LAMPIRAN
1. Susunan Dewan 2. Profil Dewan Komisaris dan Direksi 3. Data Perusahaan 4. Penghargaan dan Pengakuan 5. Peristiwa Penting 6. Produk-produk 7. Formulir Permohonan Peserta Individu 8. Formulir Pengajuan Klaim Individu 9. Surat Pengantar Penelitian 10. Surat Bukti Penelitian 11. Surat Bukti Konsultasi
ABSTRACT
Rofiatul Hasanah. 05210008. 2009. Analysis of Islamic Law Toward Inheritance of Life Insurance (Case Study in PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang), Thesis. Islamic Law Faculty. Family Law Departement. State Islamic University (UIN) of Malang. Advisor: Zaenul Mahmudi, M.A. Key Words: Insurance, Islamic Law, Inheritance.
Compensation fund that is given by insurance company to the participant is money that is cashed down by heir trough claim. This claim is claim for right to the insurance company (insurer) ironically, this claim does not have basis of Islamic law. The result of this claim is positioned as al-tirkah that will be used to the needs of human corpse and as inheritance. In addition, one of heirs is appointed in contract of life insurance finally, this appointing emerge problem from the other heirs. Based on the problem above, the problems research are (a) how does Islamic law view al-tirkah is a claim that is obtained from life insurance and (b) how to position the other heirs that are not put down in life insurance contract to obtain fund claim from insurance company (Takaful Indonesia). Therefore, the purpose of this study is to describe the determination of insurance in Islamic law especially concerning al-tirkah (inheritance), and to describe the position the heir who is not put dawn in life insurance contract to take fund claim from party of PT. Takaful Indonesia. Kind of this research is field research that will be harmonized with Islamic law. The research approach is qualitative approach. The result of this research can be concluded that compensation fund of death that is obtained from claim can be al-tirkah, because in al-tirkah is found determination. The determination is permitting of inheritance existence of contract fund. This view is based on the base that basically, that fund (money) is right of heirs which is legalized by Islamic law because this contract is done by willingness concept without deception. In other hand, majority of Muslim scholar permit guarantees (assurance) of property if the accident happened. Therefore, that claim is human corpse property that can be categorized in al-tirkah. Whereas to cash down claim fund, the heirs can position it as property of inheritance and it can be divided to right man (heir) because all of property that is leaved by corpse both the money and right can be bequeathed and it is called al- tirkah. To position of other heir that is not appointed in insurance policy is same position. It means that other heirs have same right in inheritance namely compensation fund of death that is chased down trough claim, because the heir that is appointed in insurance policy is only as share holder of mandate from Takaful party to divide compensation fund to the heirs after the needs of corps.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap manusia akan mengalami yang namanya musibah, baik musibah secara finansial atau fisik. Segala musibah yang menimpa manusia adalah kehendak Allah, yang tidak bisa kita cegah maupun kita hindari. Namun, musibah yang menimpa manusia bisa diperkecil resikonya dengan banyak menanam amal baik kepada sesama. Atau dengan membagi resikonya kepada pihak ketiga, dalam hal ini adalah Asuransi. Membagi resiko kepada pihak ketiga merupakan salah satu usaha untuk memperkecil beban terhadap keluarga atas resiko keuangan yang dialami. Usaha untuk memperkecil beban resiko keuanganlah yang dijadikan sebagai alasan masyarakat untuk mengumpulkan harta, baik ditabung atau didaftarkan ke lembaga yang menawarkan asuransi. Usaha tersebut adalah bentuk antisipasi, agar kelak saat ajal menjemput atau sakit menimpa dirinya anak-anak yang tidak bisa mereka jaga lagi, minimal diberi peninggalan untuk mengurusi berbagai keperluan pemakaman, untuk pemberian terakhir dari orang tuanya, atau untuk biaya perawatan mereka sendiri saat sakit. Harta yang ditinggalkan orang tua karena meninggal dunia untuk anak-anak (ahli waris) dalam Islam dikenal dengan sebutan harta waris, yang artinya adalah harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya. 1
Adapun dasar hukum waris telah disuratkan di dalam ayat suci Al-Quran, antara lain dalam surat An-Nisaa ayat 33 yang berbunyi: - ' - - ' , - ' - ' = . ' - ' , ' ' '' + -, - - , -' -' - , - - = , - ' , - ` - . _ ' = -, + - ) '--' : 33 .( Dan bagi masing-masing orang kami adakan pewaris (ahli waris,pen) atas milik yang ditinggalkan orang tua dan kerabat. (Demikian pula) mereka dengan siapa kamu mengikat perjanjian berikanlah kepadanya bagiannya. Sungguh Allah menjadi saksi atas segala sesuatu. 2
Dalam hal harta waris yang dalam bahasa Arab juga disebut Tirkah yang telah disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan tirkah atau harta peninggalan pada dasarnya adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah meninggalnya, baik merupakan harta, maupun merupakan hak yang bersifat harta, atau hak yang padanya lebih kuat unsur kehartaan atas hak per-orangan, tanpa melihat kepada siapa yang berhak menerimanya. 3
1 Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris-Hukum-hukum Warisan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, ), 17 2 Suwardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 22 3 Opcit, 21-22 Seperti halnya tirkah yang berupa harta, yang diperoleh dari sebuah perjanjian pertanggungan yang dapat dijadikan sebagai harta peninggalan si mayit, dalam hal ini pertanggungan asuransi jiwa. Sebelum meninggal, seorang pewaris adakalanya telah membuat sebuah perjanjian yang berkaitan dengan kematiannya. Yakni suatu pertanggungan yang meninggalkan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak, pertanggungan tersebut disebut dengan asuransi jiwa. Dalam pertanggungan ini, diwajibkan bagi pihak tertanggung untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan ketentuan dari pihak penanggung, bila pihak tertanggung meninggal, maka uang yang telah dijanjikan akan diberikan kepada ahli waris yang telah ditunjuk didalam polis sebagai penerima uang dari pihak asuransi. Dalam pembagian harta waris dikenal juga istilah faktor wala atau yang bisa disebut dengan nasab hukmi yang menyebabkan terjadinya kewarisan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: -=' `,' ---' -=' ) --' '=' '-= - - (
Wala itu satu pertalian daging seperti pertalian daging nasab (keturunan). (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Ad-Darimiy) 4
Dalam hal wala bisa karena hubungan persaudaraan yang ditetapkan syariat atau karena adanya perjanjian dengan orang lain. Selain itu juga ada faktor lain yaitu hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Sedangkan seoarang pewaris dalam sebab hubungan perkawinan dan hubungan nasab, diberikan hak atas harta peniggalan (harta waris). Dan karena dinegara kita cukup beragam, baik dari segi budaya, agama maupun sistem hukumnya, maka dalam hal waris-mewarisi dikenal dengan tiga macam sebab, yakni :
4 Muh. Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulughul Maram (Bandung: PT. Al-MaArif, 1985), 709 1. Harta yang di peroleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha dari salah seorang dari keduanya dan dikenal juga dengan Harta Gono Gini. Seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan dan merupakan harta bersama. 2. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai hasil usaha masing-masing. Menurut pasal 35 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 harta ini ditetapkan dalam pengawasan masing-masing pihak. 3. Harta bersama yang yang dimiliki oleh suami atau istri dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh salah satu dari suami atau istri sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak, seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Dorongan manusia untuk menyimpan harta sebagai dana untuk mengurusi kematian, harta warisan dan lain-lain telah memberikan stimulus kepada lembaga khusus untuk berdiri, terutama yang menawarkan asuransi. Berbagai jenis asuransi diberbagai Negara ditawarkan untuk masyarakat, seperti: asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi niaga. 5 Setiap lembaga asuransi yang ada selalu menawarkan sistem yang berbeda-beda tergantung resiko yang dicovernya. Bila akan bergabung dengan lembaga ini harus menyetujui kontraknya, yang meliputi premi (pembayaran/harga jaminan), uang jaminan yang akan diberikan, dan waktu pemberian uang asuransi atau klaim yang akan disepakati. Agama Islam juga mengenal asuransi yaitu asuransi syariah, yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang menganut hukum Islam. Mengenai asuransi syariah, yang
5 KA Fallasufa (STP Sabda), Asuransi Dalam Perspektif Syariah (Jakarta: AMZAH, 2006), 5-6 mulai muncul dengan membawa prinsip-prinsip yang selalu diusahakan untuk tetap berada dalam jalur Islam, telah memberikan wadah bagi umat Islam mempercayakan hartanya untuk dikelola oleh pihak asuransi yang berada dibawah pengawasan Dewan Syariah. Berangkat dari berbagai pemahaman diatas, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang asuransi jiwa ditinjau dari perspektif Islam, terlebih lagi bila dana santunan asuransi jiwa (kematian tersebut) dijadikan sebagai harta warisan yang telah menjadi tirkah. Dan akan menjadi suatu permasalahan tersendiri, bila dalam kontrak asuransi hanya menyebutkan salah satu ahli waris dalam menerima harta yang akan diberikan oleh pihak asuransi. Sehingga, perlu dianalisis lebih jauh terutama segi kewarisan menurut hukum Islamnya. Dalam mendeteksi proses pendaftaran hingga pencairan dana/klaim pada asuransi sehingga menjadi harta yang nantinya akan dijadikan sebagai tirkah, peneliti mengambil salah satu lembaga Asuransi Syariah sebagai alat untuk mengungkap suatu proses yang terjadi dalam lembaga asuransi tersebut. Peneliti mengambil lembaga yang telah menggunakan aturan sesuai Syariah karena dalam Asuransi Syariah tidak terdapat perselisihan pendapat tentang kehalalannya di kalangan para Ulama di Indonesia atau MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang tegabung dalam Dewan Pengawas Syariah yang merupakan pengawas setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak asuransi sehingga tetap dalam koridor Islam. Lembaga Asuransi Syariah tersebut adalah PT. Asuransi Takaful Indonesia cabang Malang. Untuk itu peneliti menggunakan judul: Analisis Hukum Islam Terhadap Kewarisan Asuransi Jiwa (Studi di PT. Asuransi Takaful Indonesia Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 70 Malang). B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumya, perlu adanya rumusan masalah yang terkait dengan penelitian, yang akan digunakan sebagai alat untuk mendapatkan titik fokus serta penyelesaian permasalahan secara tuntas. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang diperoleh dari perjanjian Asuransi jiwa? 2. Bagaimanakah posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana Klaim dari pihak Takaful Indonesia?
C. TUJUAN PENELITIAN Dari rumusan masalah yang merupakan permasalahan yang akan dicari penyelesaiannya oleh peneliti, memiliki tujuan penelitian. Dan tujuan penelitian ini selaras dengan permasalahan yang tertuang di dalam rumusan masalah di atas. Adapun tujuan penelitian tersebut adalah: 1. Mendeskripsikankan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum Islam, mengenai tirkah atau harta peninggalan. Sekaligus mengenai status hukum warisan yang diperoleh dari dana santunan asuransi jiwa dalam bentuk klaim ditinjau dari perspektif Hukum Islam beserta pembagian harta warisnya. 2. Mengungkap posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak Takaful Indonesia. D. BATASAN MASALAH Dari beberapa rumusan masalah yang ada, perlu adanya batasan masalah yang akan membatasi ruang gerak penelitian agar fokus penelitian tetap menjadi titik acuan dan tidak melebar pembahasannya. Selain itu batasan masalah ini diperlukan untuk membatasi pembahasan yang akan diteliti, mengingat tentang banyaknya ketentuan yang ada dalam hukum Islam yang mengatur segala peraturan serta banyaknya sistem asuransi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian ini agar tidak terdapat kesalah fahaman dengan hanya meneliti hukum-hukum serta ketentuan-ketentuan dalam kewarisan Islam dan asuransi jiwa Syariah yang tidak diperdebatkan lagi hukumnya, terutama dikalangan MUI karena telah menggunakan sistem syariah secara keseluruhan dan dalam pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
E. MANFAAT PENELITIAN Selain terdapat tujuan penelitian seperti yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini juga mempunyai manfaat penelitian yaitu secara teoritis dan praktis. Yang mana manfaat penelitian ini ditujukan untuk para pembaca atau para peneliti selanjutnya, yang berkeinginan untuk meneliti asuransi jiwa dari sisi yang lain. Adapun manfaat yang diharapkan oleh peneliti adalah: 1. Teoritis a). Dapat melengkapi khazanah keilmuan para penuntut ilmu; b). Untuk memahami bentuk-bentuk hukum pertanggungan yang merupakan salah satu bentuk kontrak prestasi dengan hukum warisnya; c). Untuk memahami pula proses pencairan klaim yang akan diberikan kepada nasabah; d). Sebagai pengayaan wacana dan pengetahuan tentang pandangan Islam mengenai asuransi Islam. 2. Praktis a). Dapat dimanfaatkan lebih dalam oleh peneliti lain yang berminat untuk menelaah secara mendalam dari sisi latar belakang, misalnya tentang motivasi, peranan, dan nilai; b). Dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam kajian penelitian selanjutnya.
F. PENELITIAN TERDAHULU Studi yang membahas tentang asuransi jiwa sangatlah banyak, namun untuk kali ini peneliti hanya menyajikan tiga penelitian terdahulu yang dianggap peneliti sesuai dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Dan dapat menunjukkan sisi yang berbeda dengan penelitian kali ini, agar tidak terjadi anggapan bahwa adanya plagiat atas penelitian ini. Dalam penelitian terdahulu ini, peneliti akan sedikit menyebutkan perbedaannya dengan penelitian para sarjana yang telah meneliti tentang asuransi. Penelitian terdahulu itu antara lain skripsi yang telah ditulis oleh Andri pada tahun 2007 yang merupakan mahasiswa UIN Malang, dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Dana Santunan Kematian Bagi Warga Nahdlatul Ulama (NU) melalui Asuransi (Studi di Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim). Pada skripsi ini menitik beratkan pada pendapat para tokoh NU dalam menanggapi dana santunan untuk aggota NU yang telah meninggal dunia melalui asuransi, berbeda dengan penelitian kali ini yang menitik beratkan pada proses pencairan klaim sehingga dapat dijadikan sebagai tirkah dan diperbolehkan menurut ajaran Islam, serta posisi ahli waris lain yang berhak atas harta waris si mayit namun tidak disebutkan didalam kontrak perjanjian asuransi. Skripsi kedua yaitu Muhammad Tasan mahasiswa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2000, dengan judul Asuransi Jiwa dalam Pemikiran Murtadha Muthahhari dan Hukum Positif Indonesia. Skripsi ini menggunakan studi komparatif, yaitu menggali pemikiran Murtadha Muthahhari tentang hukum asuransi dan mengkomparasikan atau membandingkannya dengan aturan dalam Hukum Positif Indonesia, dan penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan yang berbeda dengan penilitian yang dilakukan peneliti pada kesempatan ini, yang lebih mengarah pada penelitian lapangan yaitu penelitian di PT. Asuransi Takaful Indonesia. Sedangkan skripsi yang ketiga yaitu Studi Analisa Pemikiran Sayyid Sabiq tentang Status Hukum Asuransi Jiwa, yang ditulis oleh Imroatul Aliyah yang merupakan mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya dan ditulis pada tahun 2004. Dalam skripsi tersebut sejenis dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Tasan yang dipaparkan sebelumnya yaitu penelitian kepustakaan, namun penelitian yang dilakukan oleh Imroatul Aliyah ini difokuskan pada pemikiran Sayyid Sabiq tentang asuransi jiwa serta status hukumnya dalam Islam yang bersifat global dan tidak hanya mengarah pada satu bahasan.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Dalam sistematika pembahasan ini, peneliti akan sedikit memberikan gambaran atas hal-hal yang termuat disetiap bab pada skripsi ini. Penulisan skripsi ini secara keseluruhan mencakup lima bab, yang masing-masing disusun secara sistematis. Skripsi terdiri dari lima bab yang masing-masing mengandung beberapa sub bab, antara lain: Bab I : Pendahuluan. Pendahuluan terdiri dari deskripsi latar belakang masalah, yang akan menjelaskan alasan peneliti memilih judul tersebut. Rumusan masalah, yang merupakan kompas atau inti dalam melakukan penelitian yang akan diteliti. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian, yang merupakan efek dari melakukan penelitian baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian terdahulu, untuk pembanding dan sistematika pembahasan yang menjelaskan gambaran dari isi skripsi. Bab ini akan menjelaskan permasalahan serta signifikansi penelitian yang akan diteliti. Bab ini adalah bab utama, yang menjadi acuan pembahasan bab-bab selanjutnya. Bab II : Kajian Pustaka. Kajian Pustaka meliputi kajian ontologis dan epistimologis permasalahan dan objek kajian yang terdiri dari dua sub bahasan. Objek kajian yang dibahas pada sub pertama adalah Ilmu waris, yang terdiri dari pengertian, dan berbagai hal yang terkait dengan harta warisan dalam Islam. Dan objek kajian pada sub kedua adalah tentang Asuransi jiwa yang dalamnya mencakup berbagai hal tentang asuransi yang dapat mendukung penelitian kali ini. Bab III : Metode Penelitian yang dijadikan sebagai instrument dalam penelitian, sehingga penelitian yang akan dilakukan bisa lebih terarah. Adapun pembagian dari metode penelitian ini adalah lokasi penelitian yang telah dipilih oleh peneliti sebagai tempat untuk mendapatkan pemahaman tentang proses dalam pengeluaran klaim. Selain itu terdapat pula jenis penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, sumber data, metode pengolahan data yang didalamnya terdapat pula analisis data yang digunakan untuk arahan bagi peneliti dalam menganalisis (prosedur/tahap yang akan dilakukan peneliti dalam menganalisis data sehingga dapat ditemukan jawaban atas rumusan masalah). Bab IV : Dalam bab ini dibagi atas dua poin yaitu yang pertama Penyajian Data. Penyajian data ini membahas tentang persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh nasabah mulai dari pendaftaran awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan dalam Asuransi jiwa. Selain itu juga menyajikan berbagai hal tentang PT. Asuransi Takaful Indonesia. Dan yang kedua adalah Analisis Data. Analisis data ini mendiskusikan lebih lanjut data yang yang telah disampaikan sebelumnya tentang pemaparan data yang telah diperoleh serta mengintepretasikannya. Analisis, diskusi, serta intepretasi ini disesuaikan dengan permasalahan dan hasil kajian teoritis yang telah disebutkan pada Bab II. Artinya, kajian ontologis dan epistemologis pada Bab II dijadikan bahan diskusi terhadap data yang telah diperoleh (pada panyajian data) untuk mendapatkan titik temu antara data lapangan dengan teori yang telah ada, terutama berbagai teori yang mengarah pada harta warisan, sehingga dapat ditemukan penyelesaian atau jawaban yang ingin dicapai oleh peneliti. Analisis dilakukan dengan mengembangkan hasil pengumpulan data yang sejalan dengan permasalahan yang sedang dikaji, yaitu analisis terhadap kewarisan asuransi jiwa melalui kacamata Islam. Bab V : Penutup. Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud bukanlah pengulangan bahasan pada bab-bab sebelumnya, melainkan memaparkan main poin pembahasan atau natijah singkat dari masing-masing bab. Kesimpulan harus sejalan dan dapat menjawab pertanyaan atau permasalahan yang disebutkan pada rumusan masalah di Bab I. Sedangkan saran adalah berbagai hal yang belum dilakukan dalam penelitian, namun bisa dihimbaukan serta dikembangkan dalam penelitian berikutnya. Selanjutnya adalah lampiran-lampiran. Lampiran-lampiran ini disertakan sebagai tambahan informasi dan bukti kemurnian data. Serta sebagai bukti, bahwa peneliti benar- benar melakukan penelitian tersebut.
BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG TIRKAH DAN ASURANSI JIWA
A. TIRKAH 1. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya Mawaris adalah jama dari kata Al-Mrts. Untuk mrts itu sendiri dimaknakan dengan mauruts, yang artinya adalah harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya. 6 Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh waris disebut muwarits. Sedangkan yang berhak menerima pusaka dinamakan warits. Dengan mempelajari mawaris ini, akan dapat menyampaikan atau meneruskan cara membagikan harta si mayit yang telah meninggal kepada para ahli waris. Adapun dasar hukum waris adalah surat An-Nisa, yang berbunyi: - -' - ' - ' ` ' ` + ' , -- ` , ' - - ' , , `- ` = = . ` - -' ' ` '' , -, , - ' - - - -' ' - + - - - = . ' , , - ` - - -' ' + ' - = ` - ' ' , ' ' - ' ' '
6 Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum waris dalam Syariat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 17 ` ' - - ' -' , ' + - -, , , - - - - - -' - ` , = ' ' ' - ' `' - ` - , - - - ' + , - - ' -, = ' -, ' = ' '' '' - -, ' ) '--' : 11 ( Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan 7 ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua 8 , maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 9
- - - - ' - - _ - ' ' - ' + ' ' ' - ' + ' , ' = - ' - - - - ' - ' ' , ' - - ' - - _ - ' + ' , ' + - , -, , , - ' - - - `' + ' - ' ' ' ' . ' - = ' - ' ` , , . = ' , ' +- , -, - , - - - - - - - ` , -' ' - -' ' - + - - - = , ' + - _ -, , , - - - - - ' `' ' - + = ' , ' = , ' = '' '' - , - '- - , = ) '--' : 12 ( Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberii mudharat (kepada
7 Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberii nafkah. 8 Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi. 9 Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), 504 ahli waris) 10 . (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. 11
'' + -, - - , -' -' - , - - = , - ' , - ` - ' , ' - ' - - ' , - ' - ' = . ' _ ' = ' -, + - - . ) '--' : 33 .( Dan bagi masing-masing orang kami adakan pewaris (ahli waris,pen) atas milik yang ditinggalkan orang tua dan kerabat. (Demikian pula) mereka dengan siapa kamu mengikat perjanjian berikanlah kepadanya bagiannya. Sungguh Allah menjadi saksi atas segala sesuatu. 12
Dan untuk kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada pembahasan tirkah, karena penelitian kali ini berkaitan dengan harta yang diwariskan.
2. Pengertian Tirkah Tirkah dalam pengertian bahasa semakna dengan mrts atau harta yang ditinggalkan. Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seseorang pemilik harta mawarits sesudah meninggalnya untuk warisnya dinamakan tarikah si mayit (tarikatul maiyiti). 13
Dalam buku Muhammad Ali Ash-Shabuniy mendefinisikan tirkah dengan Apa saja yang ditinggalkan seseorang sesudah matinya, baik berupa harta, hak-hak maliyah atau ghairu maliyah (mayat punya hutang atau tidak, baik berupa hutang aniaya atau syahsyiyyah 14 ). 15
Menurut ulama penganut madzhab Hanafi, tirkah berarti harta kekayaan yang ditinggalkan si mayit yang lepas dari hak kepemilikan orang lain. 16 Para fuqaha berbeda
10 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan. 11 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemah (Surabaya: Al-Hidayah, 1971), 116 12 Suwardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 22 13 Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 21 14 Pengertian hutang aniaya ialah hutang-hutang yang berkaitan dengan harta benda, seperti: gadai yang berkaitan dengan benda yang digadaikan. Sedangkan pengertian hutang syakhsiyyah adalah hutang yang berkaitan dengan pertanggungan orang yang berhutang seperti pinjaman, mas kawin dan yang lainnya. 15 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), 49 16 Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, 504 pendapat dalam memaknakan tarikah secara istilah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa, tarikah adalah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah meninggalnya, baik merupakan harta, maupun merupakan hak yang bersifat hak perorangan, tanpa melihat kepada siapa yang berhak menerimanya. 17
Jadi segala sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada saat kematiannya disebut dengan tarikah, dan yang masuk dalam pembagian ini berbagai hal yang berhubungan dengan si mayit baik itu berhubungan sebelum meninggal ataupun tidak, baik hutang- hutangnya berpautan dengan benda seperti hutang karena menggadaikan sesuatu, atau hutang-piutang dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti hutang mas kawin atau yang lainnya. Ulama-ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa segala sesuatu yang ditinggalkan, baik barupa hak-hak yang bersifat kebendaan maupun tidak. Sebagian golongan Ulama Hanafiyah membagi hak-hak yang dapat dipusakai menjadi dua, yaitu: a). Hak-hak yang bersangkutan dengan tempat. 18 Maksud dari pernyataan tersebut adalah hak-hak yang masih tetap berwujud selama tempat untuk menyangkutkan hak tersebut masih berwujud, walaupun orang yang mempunyai hak yang sebenarnya telah meninggal dunia. b). Hak-hak yang bersangkutan dengan perbuatan. 19 Maksudnya adalah hak-hak yang masih tetap berwujud selama orang yang mempunyai hak masih dalam keadaan cakap bertindak. Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit, memiliki jalur masing-masing bila dipilah-pilah jadi harus diartikan sedemikian luas sehingga dapat mencakup kepada hal-
17 Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 21 18 Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT. Al-Maarif, 1994), 38 19 Ibid. hal berikut ini yang tidak mengarah pada satu madzhab tertentu, akan tetapi lebih bersifat global: a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan Maksud dari poin ini adalah benda-benda bergerak atau benda-benda tetap yang menjadi hak si mayit untuk mendapatkannya atau telah bebas dari tanggungan si mayit, seperti denda wajib yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh karena telah dilakukan pembunuhan tidak disengaja atau hutang-piutang yang telah ditanggung oleh orang lain. b. Hak-hak kebendaan Hak-hak yang dimaksud disini adalah hak-hak yang dimiliki oleh si mayit saat masih hidup atas sesuatu, seperti hak untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu sumber air minum, irrigasi pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.
c. Hak-hak yang bukan kebendaan Hak-hak yang ini, adalah hak-hak yang sifatnya hanya untuk memanfaatkan saja, tidak untuk mendapatkan hasil. Misalnya hak-hak memanfaatkan yang dimiliki atas barang wasiat dan lain sebagainya. d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain Benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda yang sebenarnya merupakan milik atau menjadi hak milik si mayit, namun masih belum diberikan kepada si mayit karena alasan tertentu atau masih dalam masa perjanjian untuk dimanfaatkan orang lain. Contohnya seperti benda-benda yang berada dalam pegadaian, benda-benda yang telah dibeli oleh si mayit akan tetapi masih dibuatkan barangnya jadi belum diberikan kepada si mayit, atau lain sebagainya. 3. Hak-hak yang Berkaitan dengan Tirkah Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan hak-hak yang harus ditunaikan dalam kaitannya dengan tirkah, dan hak-hak tersebut harus dipenuhi secara berurutan. Sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan seluruh tarikah, maka tidak ada lagi hak untuk yang lainnya. Adapun hak-hak tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut: a. Mempersiapkan segala keperluan mayit dan mengkafaninya dengan ukuran ongkos pada umumnya, tidak berlebih dan tidak kurang. Keperluan mayit (Tajhiz) ini merupakan ungkapan dari suatu kegiatan apa saja yang diperlukan mayat. Sejak wafatnya sampai ia dikuburkan. Dan hal lain yang diperlukan mayat adalah: ongkos memandikannya, harga kafannya, ongkos penguburannya dan apa saja yang diperlukan mayat sampai ia diletakkan di kuburnya yang terakhir. Untuk hal ini tentu berbeda besarnya menurut perbedaan keadaan si mayat, kaya atau miskinnya. Di samping itu disebabkan oleh perbedaan jenisnya, laki-laki atau perempuan. 20
b. Dibayarkan hutang-hutangnya, yaitu hutang-hutang yang dituntut oleh seseorang dan hutang-hutang yang menjadi tanggung jawab si mayat yang meninggalkan warisan. Maka tirkah tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya, sebelum semua hutang- hutang si mayat telah tuntas dibayarkan. Ketidak bolehan dalam membagikan tirkah sebelum hutangnya dibayarkan dengan tuntas, didasarkan pada Sabda Nabi SAW. berikut ini:
20 Opcid, 25 -= --, -= -,-- -'- -,-' -- ) --= - ( Jiwa (roh) orang beriman itu bergantung pada hutangnya, sehingga hutangnya dibayarkan. 21
c. Memenuhi wasiat yang jumlahnya sepertiga, yang diberikan kepada selain ahli waris, tanpa menunggu izin seseorang. Hal ini dilakukan sesudah membayar apa yang diperlukan sesudah membayar segala kebutuhan mayat dan setelah semua hutangnya dibayarkan. Jika wasiat lebih dari sepertiga harta, maka tidak dapat dilaksanakan kecuali ada kerelaan dari ahli waris. Mengingat Sabda Rasulullah berikut kepada Saad bin Abi Waqqas: '-' ,---, ''= -- - ,= ',-= =-` -- =- ,` -'`' -'`'. ..Sepertiga. Sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak. (Rw. Bukhari-Muslim) 22
d. Sisa dari tirkah yang telah diambil keperluan tajhiz, membayar hutang si mayat dan washiyatnya, dibagi di antara ahli waris menurut ketentuan syara. 23 Dan pembagian tersebut dimulai pemberiannya kepada ashabul furudl, kemudian ashabat dan seterusnya.
4. Sebab-sebab Mewarisi Terdapat tiga hal yang menyebabkan adanya hak untuk mewarisi suatu harta, yaitu:
21 Ahmad Al Basyuni, Tarjamah Qabasaat min as Sunnah an Nabawiyyah (Bandung: Trigenda Karya, 1994), 187 22 Muhammad Nashiruddin Al Albani, Terjamah Mukhtashar Shahih Muslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 689-690 23 Hasbi Ash Shiddieqi, Fiqhul Mawaris, 33 a. Kekerabatan sesungguhnya, yakni hubungan nasab. Yaitu: Ibu, bapak, anak-anak, saudara-saudara, para paman dan lain-lain. Ringkasnya adalah orang tua, anak dan orang-orang yang berhubungan nasab dengannya. Dan untuk kekerabatan ini memiliki tingkatan masing-masing, bila posisinya sebagai kerabat yang dapat dihilangkan oleh kerabat lain untuk mendapatkan harta warisan, jadi meskipun sebagai kerabat dari si mayit maka tidak akan mendapatkan harta warisan dari si mayit. b. Pernikahan. Yaitu akad nikah yang sah, yang terjadi di antara suami istri, sekalipun sesudah pernikahan itu belum bersetubuh atau belum berduaan dalam tempat sunyi (khalwat). Untuk pernikahan yang fasid atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak mewaris, karena dianggap tidak pernah terjadi pernikahan. c. Pebudakan, yaitu kekerabatan berdasarkan hukum, yang disebut Walaul Itqi atau Walaun Nimati. Disebut demikian karena tuan yang memerdekakan telah memberikan nikmat (kemerdekaan) kepada budaknya. Oleh karena itu, seorang tuan yang telah memerdekakan budaknya maka akan menimbulkan hubungan yang disebut Walaul Itqi. Dengan sebab itu, ia berhak mewarisi karena ia telah memberiikan kesenangan kepada budak, yang menyebabkan budakitu memperoleh kemerdekaan dan sifat kemanusiaanya kembali sesudah ia dianggap sebagai binatang. Maka Allah sebagai pembuat hukum, menentukan hak untuk mewarisi harta budak yang telah dimerdekakan apabila budak tersebut meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris atau kerabat lain yang berhak mewarisi hartanya. Adapun rukun-rukun waris, adalah sebagi berikut: a. Muwarrits (orang yang memberikan waris), yakni mayat dimana orang lain berhak mewaris daripadanya akan apa saja yang ditinggalkan sesudah matinya. b. Waris (menerima waris), yakni orang yang berhak mewarisi dengan sebab yang telah dijelaskan, seperti: kekerabatan, pernasaban, perkawinan dan sebagainya. c. Mauruts (benda yang diwariskan), yakni sesuatu yang ditinggalkan mayat, seperti: harta, kebun dan sebagainya. Mauruts ini disebut: Irtssun, Turatsun, Miratsun. Yang semuanya itu merupakan sebutan bagi sesuatu yang ditinggalkan mayat untuk ahli waris. 24
5. Syarat dan Halangan Mewaris Terdapat tiga syarat yang harus ada dalam hal mewaris, yaitu: a. Wafatnya pemberi waris secara hakekat atau menurut hukum Dalam pembagian tirkah tidak dapat dilaksanakan sebelum ada kepastian bahwa muwaris (pemberi waris) nyata meninggal dunia, atau hakim telah menetapkan kematiannya. Hakim menetapkan kematian seseorang karena ada sebab-sebab tertentu, seperti adanya bukti bahwa kendaraan yang ditumpanginya tenggelam dilautan dan tidak menyisa seorangpun penumpang yang selamat, atau bukti bahwa orang tersebut meninggal dunia karena telah hilang beberapa tahun yang lalu serta tidak diketahui lagi keberadaannya. Dari berbagai bukti yang menguatkan hakim untuk mengambil keputusan, sehingga keluarlah keputusan bahwa orang tersebut meninggal dunia maka harta tersebut boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Untuk orang yang dinyatakan mati melalui keputusan hakim, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh orang-orang yang hadir saat keputusan tersebut ditetapkan dan memenuhi syarat pewarisan. 25
24 Opcid, 56 25 Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, 506 Syarat wafatnya waris secara hakekat atau secara hukum, diperlukan sebagai bukti untuk berpindahnya suatu harta. Karena setiap harta tidak bisa dikelola atau berpindah kelain orang apabila tidak ada penyerahan dari pemilik itu sendiri, dan apabila pengelola masih mampu untuk mengelolanya maka tidak ada hak untuk orang lain mengambil posisi pemilik untuk mengelola harta tersebut atau bahkan mewarisinya. Jadi syarat pertama ini mutlak harus ada. b. Ahli waris nyata-nyata hidup ketika muwaris meninggal Syarat ahli waris masih dalam keadaan hidup harus ada, karena bila ternyata ahli waris telah meninggal pula, maka harta yang seharusnya menjadi bagiannya akan berpindah kepada anak-anak ahli waris yang meninggal tersebut atau kepada yang berhak mendapatkan harta warisan tersebut. Ahli waris saat pembagian waris harus terbukti masih hidup, diperlukan dalam pembuktian saat pembagian harta waris, karena seorang mayit tidak lagi ahli untuk memiliki harta warisan dengan alasan tidak perlu lagi untuk mayit suatu harta duniawi (telah putus hubungannya dengan urusan dunia termasuk harta- benda). c. Diketahui jihat kekerabatan dan sebab mewaris Jihat kekerabatan harus diketahui atas haknya sebagai orang yang berhak mendapatkan harta warisan. Adapun macam-macam jihat tersebut adalah: perkawinan, kekerabatan dan keberadaan dalam derajat kekekrabatan, sehingga bagi orang yang tahu akan menjadi mudah di dalam membagi harta warisan. Hal itu disebabkan karena terdapat perbedaan dalam hukum-hukum mewaris, yaitu perbedaan dalam mendapatkan bagian antara jihat mewaris dengan derajat kekerabatan. Dengan kata lain, status dari hubungan dengan si mayit perlu diketahui untuk mempermudah pembagian sesuai dengan aturan. Misal: seorang saudara laki-laki sekandung si mayit tidak akan mendapatkan bagian yang sama dengan saudara laki-laki seibu atau sebapak. Sedangkan untuk halangan mewaris, terdapat tiga golongan yaitu: a. Budak Seorang budak yang dikuasai seseorang tidak dapat mewarisi harta kerabatnya, karena apabila ia mewarisi sesuatu maka akan diambil oleh tuannya. Para ahli hukum telah menyatakan bahwa, budak dan apa saja yang dimilikinya adalah menjadi milik tuannya karena seorang budak adalah harta milik tuannya. Oleh karena alasan itu pula para ahli hukum menyatakan bahwa seorang budak tidak boleh mewaris. Hal itu diperlukan agar harta yang seharusnya menjadi haknya untuk menikmati atau memanfaatkannya tidak berpindah kepada tuan yang memilikinya. Ada beberapa macam budak yang tidak berhak mendapatkan harta warisan, adapun keadaan budak yang tidak berhak untuk mendapatkan waris tersebut adalah, budak qinna (budak murni), budak mudabbar (yaitu budak yang merdeka dengan adanya syarat kematian tuannya, misal: kamu bebas merdeka setelah kematianku), budak mukatab (yaitu: budak yang diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta bila ingin merdeka), dan budak yang dikaitkan dengan suatu sifat untuk kemerdekaannya (misal: jika istriku melahirkan anak laki-laki, maka kamu bebas merdeka). b. Pembunuhan Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka tidak boleh pembunuh tersebut mendapatkan bagian atas harta muwaris yang telah dibunuhnya. Mengingat sabda Rasulullah berikut ini:
,---' - - .-'-'' ,' _- ) -=-' '-` '--' - ( Orang yang membunuh tidak berhak atas harta peninggalan orang yang dibunuh sedikitpun. 26
Di samping itu, karena pembunuh telah berbuat untuk mempercepat dalam mendapatkan warisan dengan cara membunuh, maka seorang pembunuh dilarang mendapatkan harta warisan. Seperti dilarangnya pembunuh pamannya untuk mendapatkan warisan pada kisah yang dipaparkan dalam surat Al-Baqarah ayat 72 berikut ini: = - '' ' +, - ' ' - - - -' - , - - - -- ' - ) --' : 72 .(
Dan ingatlah ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkap apa yang selama ini kamu sembunyikan. 27
Hikmah adanya larangan untuk pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuh adalah, agar tidak banyak orang yang melakukan pembunuhan demi mendapatkan harta warisan seseorang. Menurut golongan Malikiyah, pembunuhan dengan sengajalah yang dapat menghalangi dari mendapat warisan, lainnya tidak. Menurut golongan Hanabilah, semua pembunuhan yang menyebabkan qisas atau diyat, atau kafarat dapat menghalangi dari mendapat warisan, lainnya tidak. Sedangkan menurut golongan Syafiiyyah, pembunuh dengan segala macamnya menghalangi dari mendapatkan warisan, sekalipun pembunuhan dilakukan karena persaksiannya atau menambah kesaksian. Seperti apabila seseorang menyaksikan kerabatnya yang memberi warisan berzina, lalu ia dihukum rajam yang didasarkan atas kesaksiannya atau tambahan dari kesaksiannya. Maka semua itu dapat menghalangi warisan.
26 Muhammad. Sjarief Sukandy. Tarjamah Bulughul , 351 27 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris., 60 c. Perbedaan Agama Perbedaan agama seperti Islam dan kafir, tidak boleh saling mewarisi. Mengingat sabda Rasulullah berikut ini: '--' ''` '' '--' , ` ) '-- '=- - ( Orang Islam tidak boleh mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak mewaris (harta) orang Islam. (HR. Bukhari Muslim) 28
Empat Madzhab berpegang pada hadits diatas, jadi tidak memperbolehkan waris- mewaris antara orang Islam dengan orang kafir.
B. Asuransi Jiwa 1. Pengertian Asuransi (Syariah) Di dalam bahasa Arab, Asuransi disebut dengan kata At-tamn, untuk pihak penanggung disebut dengan muamn, sedangkan pihak tertanggung disebut dengan muamman lah atau mustamin. Pengertian dari At-tamn, diambil dari kata amana yang artinya adalah memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana yang telah tercantum di dalam Al-Quran yang bermakna Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan. (Quraisy:4) 29
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (At-tamn) adalah transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. 30
Dari berbagai pengertian dari At-tamn, yang dirasa paling tepat untuk dijadikan pengertian oleh asuransi itu sendiri adalah memberi rasa aman. Karena, dalam
28 Muhammad Nashiruddin Al Albani, Terjamah, 697 29 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Jakarta: Gema Insani, 2004), 28 30 Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 138 mengasuransikan sesuatu berarti menyerahkan atau membayarkan uang cicilan untuk diberikan kepada ahli warisnya saat pihak tertanggung meninggal dunia, pemberian uang kepada ahli warisnya itu sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang telah disepakati. Pemberian kepada ahli waris dalam asuransi, merupakan ganti rugi atas hartanya yang hilang, baik itu yang dimaksud hilang hidupnya atau hartanya untuk memberikan keringanan pada beban ahli waris, namun dalam hal ini yang dimaksud adalah hilangnya hidup tertanggung. Dalam Islam, kecukupan dan keamanan dikenal dengan kebutuhan yang sangat mendasar, seperti ayat diatas yang mengartikan bahwa Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan, dari firman tersebut masyarakat ada yang menilai bahwa bebas dari rasa lapar adalah bentuk dari keamanan. Dari penilaian tersebut, Islam mengarahkan kepada umatnya untuk mencari rasa aman dalam kehidupannya sendiri dan kehidupan keluarganya. Pengarahan untuk mencari rasa aman, telah dicontohkan oleh Nabi SAW. kepada Saad bin Abi Waqqash yang berisi agar Saad menyedekahkan sepertiga hartanya saja. Selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat. Al-Fajari mengartikan tadhamun, takaful, at-tamn atau asuransi syariah dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Pendapat lain juga diberikan oleh Mushtafa Ahmad Zarqa, yang menyebutkan bahwa makna asuransi secara istilah adalah kejadian. 31 Maksudnya adalah asuransi merupakan cara atau metode untuk memelihara manusia dalam meghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.
31 Opcid, 28-29 Abbas Salim memahami asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian yang belum pasti. 32 Dapat dikatakan bahwa maksud dari pernyataa Abbas Salim, adalah perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang bergerak sebagai alat masyarakat dalam mengantisipasi bahaya masa depan yang belum diketahui. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit memberiikan harta yang diberikan oleh masing-masing peserta sebagai tanda kepedulian kepada sesama. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka yang tertimpa musibah dapat menutupi berbagai kerugian yang dialami. Daria arti tersebut menunjukkan bahwa asuransi adalah taawun yang terpuji, kerena di dalamnya terdapat kegiatan saling tolong menolong dalam berbuat baik dan taqwa. Dengan taawun mereka dapat saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka. Dalam buku yang berjudul Aqdu At-tamn wa Mauqifu asy-Syariah al-Islamiyyah Minhu, Az-Zarqa juga mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem taawun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberiikan pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Para ulama ahli syariah juga mengatakan bahwa dalam penetapan hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup
32 Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 59 berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), asuransi syariah (Tamn, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan saling tolong- menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberiikan pada pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. 33
Definisi tersebut menunjukkan bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan taawun. Yaitu, prinsip-prinsip saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah islamiah antara sesama anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko). Oleh sebab itu, premi pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang terdiri dari dana tabungan dan tabarru. Maksud dari data tabungan adalah titipan dari peserta asuransi syariah yang nantinya akan mendapatkan bagi hasil atau mudharabah yang berasal dari investasi bersih setiap satu tahun. Dana tabungan dan mudharabah akan diberikan kepada peserta saat pengajuan klaim, baik klaim itu berupa nilai tunai ataupun manfaat asuransi. Sedangkan, tabarru adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi lain jika sewaktu-waktu dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi kepada peserta lainnya. Dari berbagai pendapat tentang asuransi, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi dalam segi teori dan sistem diperbolehkan, karena telah relevan dengan tujuan umum syariah. Namun, bila dilihat dari segi sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktikkan teorinya perlu dikaji lebih lanjut, terutama dalam akad asuransi.
33 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah., 30 Konsep asuransi syariah telah ada sejak jaman Rasulullah. Menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary of Islam, sudah merupakan kebisaaan suku arab sejak zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi dari saudara terdekat pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut disebut Aqilah. Menurut Dr. Muhammad Muhsin Khan, ide pokok dari Aqilah adalah suku arab zaman dahulu harus siap untuk melakukan konstribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris dari korban. 34 Kebisaaan untuk mempersiapkan diri dalam membayar kontribusi keuangan kepada pihak ahli waris korban sama dengan premi praktik asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan Aqilah mungkin sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena sama-sama memberikan keringanan dalam hal finansial kepada pewaris korban.
2. Akad dalam Asuransi Lafal akad berasal dari akad arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). 35 Sedangkan bila diartikan secara istilah fiqih, maka yang dimaksud dengan akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan kehendak syariat adalah seluruh rangkaian perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara, atau dengan kata lain segala sesuatu yang tercover didalam sebuah perikatan tidak boleh keluar dari koridor Islam, misalnya kesepakatan
34 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah.,31 35 Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi., 63 untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain atau merampok orang lain itu yang dilarang. Sedangkan pencantuman kalimat berpengaruh pada obyek perikatan maksudnya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari pihak yang melakukan ijab kepada pihak yang menyatakan qobul. Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan syara, suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. 36 Keinginan seseorang yang tersimpan dihati hendaknya dinyatakan dalam suatu pernyataan oleh masing-masing pihak. Dari pernyataan yang telah diungkapkan tersebut disebut dengan ijab dan qobul. Atas dasar itu pula Az-Zarqa menyatakan bahwa pernyataan pertama yang dilakukan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkap pihak lain setelah ijab disebut dengan qobil (pelaku qobul). Apabila ijab dan qobul telah memenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan ketentuan syara, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab qobul dan muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu. Syeikhul Islam ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya Majmu Fatawa (28/384) mengatakan, akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab, pada asalnya harta seseorang muslim lain itu tidak halal, kecuali jika dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan). Akan tetapi hatinya tidak akan suka, kecuali apabila ia memberikan miliknya itu dengan kerelaan bukan paksaan, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh". 37
Untuk itu, setiap akad dalam muamalah sangat luas cakupannya dan tujuan utamanya dalam hal pencapaian segalanya yang dapat merealisasi kemaslahatan. Sebab, muamalah pada dasarnya adalah boleh dan tidak terlarang dan kaidah-kaidahnya memberi
36 Opcid, 39 37 Ibid, 40 kemungkinan mengadakan macam-macam akad baru yang dapat merealisasi pola-pola muamalah baru pula. Hal inilah yang menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran agama yang memberikan kemudahan, keluasan, keuniversalan. Kejelasan akad dalam praktik mumalah penting dan menjadi prinsip karena akan menentukan sah tidaknya muamalah tersebut secara syari. Demikian pula dalam halnya asuransi, akad antara perusahaan dengan nasabah harus jelas. Apakah akadnya jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli) atau akad lainnya. Dalam asuransi bisaa atau konvensional tidak ada kejelasan dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional, akad yang melandasinya semacam akad jual beli, dan karena akadnya jual beli maka syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar ketentuan syariah. Adapun syarat transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang dijual belikan, harga, dan akadnya. Pada asuransi konvensional, terdapat penjual, pembeli, barang yang diperjual belikan atau yang akan diperoleh serta akadnya telah jelas. Namun, yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan dibayar) kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita akan meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian ini jelas, tapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia kita. Seperti firman Allah berikut ini: , ' = - . - '' - ' - + , ''' - -, , - '' ' - ` -, -- - ' - ' - ) -'-' : 11 ( Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. (at-Taghabun: 11)
Dalam penentuan suatu akad, para ulama fiqh berbeda pendapat. Jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun dari akad dibagi atas tiga hal, yaitu: a. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-aqd) b. Pihak-pihak yang berakad (al-mutaaqidain) c. Obyek akad (al-maqud alaih) 38
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al- aqd (ijab dan qabul). Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka tidak termasuk rukun akad. Tetapi, termasuk syarat-syarat akad, karena menurut mereka yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri. Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad berada di luar esensi akad. Ijab dan qabul ini bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat. Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia, dijelaskan bahwa rukun-rukun akad adalah: a. Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan akad (misalnya Takaful dan peserta) b. Makud alaihi, yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan bayaran), dalam asuransi konvensional rukun kedua ini masih dianggap gharar (ketidak pastian atau penipuan), karena akad yang melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta benda) atau aqd tabaduli (akad jual-beli). c. Sighah ijab kabul Ketiga rukun tersebut telah diterapkan didalam asuransi syariah. Dalan asuransi syariah didasarkan pada akad tolong-menolong (aqd takafuli) dan menciptakan instrument baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru (hibah). Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa khusus tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai berikut:
38 Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi.., 64 1) Ketentuan Umum a. Asuransi Syariah (Tamn, Takaful, Tadhamun) merupakan usaha yang bertujuan untuk saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi atau penanaman modal dalam bentuk aset dan tabarru yang nantinya akan memberikan pola pengembalian untuk para peserta yang menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang disesuaikan dengan syariah Islam sehingga tidak terdapat hal-hal yang bersifat haram didalamnya. b. Akad yang disesuaikan dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah sebuah perjanjian awal yang jelas dan atas kesepakatan sehingga tidak mengandung gharar (penipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain 39 ), maysir (perjudian), riba (bunga), zulmu (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat lainnya. c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. 40
d. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong terhadap sesama peserta yang mengalami musibah sehingga sesuai dengan ajaran Islam, bukan semata untuk tujuan komersial. e. Premi adalah sebuah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dan akad, atau dapat disebut dengan uang cicilan untuk menabung kepada perusahaan agar diinvestasikan oleh perusahaan sehingga akan mendapatkan keuntungan dari investasi atau pengelolaan perusahaan asuransi tersebut. Dalam kamus asuransi, premi diartikan dengan pembayaran berkala
39 Abdul Aziz dahlan, dkk., Ensiklopedi., 399 40 Opcid, 67 yang dikehendaki untuk menjaga polis asuransi khusus berlaku atau total standar unit untuk suatu polis yang diambil. 41
f. Klaim adalah tuntutan yang merupakan hak peserta untuk mendapatkannya atau mengajukannya dan pihak perusahaan asuransi wajib diberikan dana dari tuntutan tersebut sesuai dengan kesepakatan dalam akad yang telah disepakati. 2) Akad dalam Asuransi a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru yang sesuai dengan aturan Islam. b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah atau bagi hasil atas pengelolaan dana yang diinvestasikan, sedangkan akad tabarru adalah hibah untuk peserta lain yang mengalami musibah. c. Dalam akad minimal disebutkan beberapa hal di bawah ini, yaitu: 1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan yang harus ditaati dan dipenuhi 2) Cara dan waktu pembayaran premi, agar terdapat kejelasan dan tidak ada yang merasa ditipu 3) Jenis akad tijarah dan akad tabarru yang ditawarkan, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila terdapat kesepakatan sesuai dengan jenis asuransi yang akan diakadkan. 3) Kedudukan Setiap Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru a. Dalam akad tijarah (mudharabah atau bagi hasil), perusahaan hanya bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis). b. Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah sebagai dana santunan yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan
41 A. Hasymi Ali. dkk, Kamus Asuransi (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 248 perusahaan, sebagai pengelola dana hibah yang dikumpulkan jadi satu dalam tabungan tabarru. 4) Ketentuan dalam Akad Tijarah dan Tabarru a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru, bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. b. Jenis akad tabarru tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. Karena akad tabarru adalah akad untuk hibah, jadi tidak dapat dirubah. 5) Jenis Asuransi dan Akadnya a. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian yang akan mengcover ganti rugi pihak tertanggung dan asuransi jiwa yang akan memberikan santunan kepada ahli waris bila terjadi musibah atas jiwa pemegang Polis. Dan macam-macam asuransi dari kedua jenis asuransi ganti rugi dan asuransi jiwa secara umum yang telah mengacu pada sistem syariah adalah: a) Takaful Dana Investasi; merupakan bentuk perlindungan atas perorangan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan uang sebagai dana investasi yang diperuntukkan bagi ahli warisnya bila peserta ditakdirkan meninggal lebih awal atau dapat pula digunakan untuk tabungan hari tua. b) Takaful Dana Siswa; merupakan bentuk perlindungan yang bertujuan untuk menyediakan dana pendidikan bagi anak-anak mereka hingga jenjang perkuliahan. c) Takaful Dana Haji; merupakan bentuk perlindungan atas peserta yang menginginkan mengumpulkan dana sebagai biaya menjalankan haji. d) Takaful Dana Jabatan; merupakan bentuk perlindungan atas direksi atau pejabat teras suatu perusahaan yang menginginkan dana santunan bagi ahli warisnya bila ditakdirkan untuk meninggal lebih awal atau sebagai dana santunan pada saat tidak aktif lagi di tempat kerja. e) Takaful Hasanah; merupakan bentuk perlindungan untuk peserta atas pengumpulan dana yang akan digunakan sebagai modal usaha atau diperuntukkan sebagai peninggalan bagi ahli waris jika terjadi meninggal lebih awal. f) Takaful Kesehatan Individu; merupakan bentuk perlindungan atas peserta yang bermaksud menyediakan dana santunan rawat inap dan oprasi bila peserta sakit dan kecelakaan dalam masa perjanjian. g) Takaful Kecelakaan Diri Individu; merupakan bentuk perlindungan atas diri pribadi peserta yang bermaksud menyediakan santunan bagi ahli waris bila terjadi kematian karena kecelakaan dalam masa perjanjian. h) Takaful Al-Khairat Individu; merupakan bentuk perlindungan atas diri seseorang yang bermaksud menyediakan santunan bagi ahli waris bila terjadi kematian dalam masa perjanjian baik karena sakit atau kecelakaan. i) Takaful Kebakaran; merupakan bentuk perlindungan atas kerugian atau kerusakan barang yang diakibatkan oleh kebakaran. Termasuk yang discover di dalamnya adalah kerusakan karena gempa bumi, banjir, tanah longsor, badai dan pemogokan umum. j) Takaful Kendaraan Bermotor; merupakan bentuk perlindungan atas kendaraan bermotor yang mengalami kerusakan akibat kecelakaan, atau hilang karena pencurian. k) Takaful Surety Bond; merupakan bentun perlindungan yang menjamin atas kerugian kontraktor kepada pemilik proyek. l) Takaful Rangka Kapal; merupakan bentuk perlindungan atas kerusakan rangka kapal dan mesin kapal akibat kecelakan dan berbagai bahaya yang dialami. m) Takaful Energi; merupakan perlindungan atas kerugian karena kecelakaan atau berbagai bahaya dalam pekerjaan pengeboran minyak dan gas di darat maupun lepas pantai. b. Sedangkan akad yang dimaksud oleh kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah atau bagi hasil dan hibah yang ditujukan untuk tolong menolong. 6) Premi a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru yang dipilih oleh pemegang Polis. b. Untuk menentukan besarnya premi, perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita (jumlah kejadian meninggal relative diantara sekelompok orang tertentu) untuk asuransi jiwa dan table morbidita (jumlah kejadian relatif sakit atau penyakit disekelompok orang tertentu) untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya. 42
Fatwa tersebut merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia, terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah dan ketentuan- ketentuan lain yang terkait dengannya. Dengan melandaskan diri pada prinsip takafuli, asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa) menerapkan dua bentuk akad di awal penerimaan premi, yakni akad tabungan investasi dan akad konstribusi. Pada akad tabungan investasi prinsipnya didasarkan kepada prinsip mudharabah, sementara pada akad konstribusi berdasarkan
42 Ibid, 67 pada prinsip hibah. Hibah tersebut dilakukan secara berjamaah dan didalamnya mengandung adanya efek saling menanggung antar sesama nasabah atau pemegang polis.
3. Status Hukum Fiqih Sistem Asuransi Jiwa Pada poin ini, akan dijelaskan mengenai Asuransi Jiwa. Yang mana asuransi jiwa adalah bahasan pokok dalam penulisan karya ilmiah ini. Adapun penjelasannya akan dibagi dalam beberapa bagian, agar lebih mudah untuk difahami serta lebih terstruktur. a. Konsep Asuransi Jiwa Dalam sistem asuransi jiwa, konsep yang diterapkan didasarkan pada konsep kesepakatan seorang nasabah dengan perusahaan jasa asuransi, untuk membayar premi secara berkala dengan konpensasi perusahaan harus memberikan sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya kepada pihak nasabah, atau kepada ahli warisnya, atau kepada orang tertentu yang ditunjuknya, ketika pihak nasabah sebagai pemegang polis mencapai usia tertentu atau meninggal dunia. Mengenai pembayaran nilai tunai saat klaim atau manfaat takaful, dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan pihak nasabah dengan perusahaan takaful. 43
b. Tujuan Sistem Asuransi Jiwa Adapun tujuan dari sistem asuransi jiwa adalah sebagai berikut: 1) Menjamin sumber keuangan atau pemasukan berkala bagi seseorang ketika usia pensiun untuk membantunya dalam menanggung beban kehidupan. 2) Menjamin sumber keuangan atau pemasukan bagi ahli warisnya atau yang lain setelah kematiannya.
43 Husain Syahatah, Asuransi Dalam Perspektif Syariah (Jakarta: Amzah, 2006), 22 3) Tabungan untuk persiapan usia tertentu atau setelah meninggal dunia. 44
c. Jenis-jenis Asuransi Jiwa Untuk jenis dari asuransi jiwa yang saat ini dikenal dalam masyarakat adalah: 1) Asuransi kematian; nominal asuransi (santunan) dibayarkan kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk dalam polis setelah pihak nasabah meninggal dunia. 2) Asuransi hidup; nasabah memperoleh uang asuransi dalam bentuk kontan atau dalam bentuk pemasukan bulanan (sesuai kesepakatan). 3) Asuransi kematian dan jaminan hari tua sekaligus; nasabah akan memperoleh pemasukan bulanan dari nilai asuransinya jika pihak nasabah telah pensiun, sementara sisanya diberikan kepada ahli waris jika ia nasabah tersebut meninggal dunia. 45
d. Status Hukum Fiqih Asuransi Jiwa Dengan didasarkan kepada asumsi awal tentang ajaran Islam tentang sempurma dan mempunyai nilai yang universal serta mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia telah dijamin adanya norma yang mengatur aktivitas kehidupan tersebut. Selaras dengan firman Allah SWT. dalam QS. Al-Maidah ayat 3 berikut ini: . ......... ) : 3 .( Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. 46
44 Ibid, 23 45 Ibid. 46 Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif , 97 Imam Syafii, sebagai seorang yang pakar dalam hukum Islam, menyatakan bahwa kaidah-kaidah itu untuk menjaga semangat hukum Islam yang fungsi utamanya adalah mengontrol masyarakat dan bukan untuk dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya, Wahyu Allah, seperti dikemukakan dalam Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. diturunkan untuk menghadapi setiap kejadian yang mungkin terjadi". Secara implisit Imam Syafii berpendapat bahwa segala sesuatu masalah itu sudah disiapkan pemecahannya dalam Al- Quran dan sunnah Nabi SAW. Begitu pula dengan masalah asuransi, para ulama yang mengacu atau mendasarkan pendapatnya pada kitab fiqih juga memberiikan hukum pada asuransi. Adapun para ulama tersebut adalah: a) Syaikh Abdur Rahman Isa Syaikh Abdur Rahman Isa menyatakan dengan tegas bahwa asuransi merupakan praktik muamalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian pula dengan para sahabat Nabi yang belum pernah mempraktikkannya. Asuransi merupakan sebuah perusahaan yang menghasilkan kemaslahatan yang banyak. Ulama menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara patut diamalkan. Dan karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka hukum asuransi halal menurut syara. Syaikh Abdur Rahman Isa juga mengatakan, bahwa perusahaan asuransi dengan nasabahnya saling menjalin hubungan dalam perbuatan yang didasarkan atas keridhoan. Perusahaan asuransi, merupakan perusahaan jasa yang yang bergerak dibidang pelayan masyarakat dalam hal kepentingan umum, yaitu dengan memelihara harta milik nasabah, dan menolak resiko atas harta benda. Dan untuk memelihara harta milik nasabah atau menolak resiko atas harta benda nasabah, pihak asuransi mendapatkan laba yang disepakati antara kedua belah pihak. Dari berbagai alasan itulah, Syaikh Abdur Rahman Isa memperbolehkan Asuransi. b) Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo) Menurut Yusuf Musa, asuransi sama halnya dengan koprasi yang memiliki tujuan menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa, menguntungkan nasabah dan menguntungkan pihak pengelola asuransi. Menurut beliau, sepanjang sebuah perusahaan asuransi jauh dan bersih dari riba, maka asuransi tersebut diperbolehkan. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, dan meminta pembayaran kembali atas uang premi yang dibayarkan, maka pihak asuransi akan membayar sebesar uang premi yang telah dibayarkan tanpa adanya tambahan. Tetapi apabila nasabahnya telah meninggal sebelum batas akhir perjanjian, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi yang telah tercantum di dalam polis. Hal seperti itulah yang dibenarkan atau halal menurut syara. c) Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo Syekh Abdul Wahab Kholaf menyatakan bahwa asuransi itu diperbolehkan dengan dalih bahwa asuransi merupakan akad mudharabah. Akad mudharabah dalam Islam adalah sebuah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga dari pihak lain. Demikian halnya pada asuransi, yang didalamnya terdapat kerjasama antara nasabah dengan pihak asuransi dengan memberikan atau mempercayakan harta milik nasabah dikelola oleh pihak asuransi demi mendapatkan sebuah keuntungan yang akan didapatkan untuk kesejahteraan kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang tel;ah disepakati oleh keduanya. Dalam majalah yang berjudul Hiwaul Islam No. 11 tahun VII tepatnya pada kesimpulan, Syekh Abdul Wahab menyatakan bahwa perikatan asuransi jiwa adalah sah, berguna bagi para anggota (nasabah), bagi perusahaan asuransi, bagi masyarakat dan tidak merusak seseorang. Juga tidak memakan harta seseorang dengan tidak benar, melainkan merupakan tabungan, koprasi, dan memberiikan kecukupan pada nasabah yang memiliki usia lanjut, serta memberiikan bantuan kepada ahli waris ketika si nasabah tiba-tiba meninggal dunia. Menurut Fathurrahman Djamil, pendapat Kholaf yang memperbolehkan asuransi salah satunya dengan alasan bahwa akadnya berdasarkan kerelaan kedua belah pihak, dan menguntungkan kedua belah pihak. 47
d) Prof. Dr. Muhammad Al-Bahi, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir Muhammad Al-Bahi menyatakan, bahwa perusahaan asuransi hukumnya halal karena di dalam asuransi terdapat sistem tolong-menolong, pengembang harta benda nasabah dengan akad mudharabah, bersih dari riba, tidak adanya tipu daya karena selalu terbuka untuk nasabah, memperluas lapangan kerja baru, serta memberikan jaminan kepada nasabah yang terkena musibah dengan berbagi dalam hal finansial. e) Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir Beliau berpendapat bahwa tujuan dari asuransi adalah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta benda milik nasabah, sehingga beban yang berat atas suatu musibah dapat dipikul bersama pihak asuransi. Dan karena terpeliharanya suatu harta benda merupakan salah satu tujuan dari agama, maka praktik dari asuransi diperbolehkan menurut syara.
47 Ibid, 144 f) Syaikh Muhammad Dasuki Beliau berpendapat bahwa hukum dari asuransi adalah halal, karena asuransi sama dengan syirkah mudharabah, akad pada asuransi sama dengan akad kafalah atau syirkatul ainan, dan pelaksanaan dari asuransi dapat didasarkan pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Anam ayat 82 sebagai berikut:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
g) Syaikh Muhammad Ahmad, MA. LLB. Sarjana dan Pakar Ekonomi Pakistan Syaikh Muhammad Ahmad menyatakan bahwa asuransi jiwa hukumnya adalah halal, dengan alasan bahwa dalam persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah SWT., di dalam asuransi tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan karena berangkat dari kesepakatan awal yang saling merelakan, dan tujuan dari asuransi adalah saling tolong-menolong serta menjalin sebuah kerja sama. h) Syaikh Muhammad Al-Madni, seorang Ulama yang cukup dikenal di Al-Azhar kairo Beliau menyatakan bahwa asuransi menurut hukum syara adalah boleh, karena pada premi atau iuran yang dibayarkan oleh nasabah akan diinvestasikan dan iuran tersebut memiliki manfaat untuk tolong-menolong kepada sesama. i) Prof. Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar pada Universitas Syiria, dan cukup produktif dalam menulis seputar ekonomi Islam Az-Zarqa menyatakan bahwa, kebolehan sebuah asuransi dikarenakan tidak adanya gharar di dalamnya. Menurut beliau perikatan asuransi ini diperlukan, terutama untuk pegawai negeri yang telah pensiun (merupakan ketentuan baru dan belum ada zaman dahulu) untuk memberikan kesejahteraan atas jasa mereka, dan pihak asuransi membantu meringankan pemerintah untuk memberikan uang pensiunan. 48
48 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah.., 75
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu, definisi tersebut dijelaskan dalam kamus Websters New International. 49 Sedangkan maksud dari Metode penelitian itu sendiri adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya dan dibandingkan dengan standart ukuran yang telah ditentukan. 50 Dan metode penelitian ini digunakan peneliti untuk mengatur langkah penelitian agar lebih teratur dan berjalan sesuai prosedur yang benar, serta dalam
49 Moh. Nazir, metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 12 50 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 126- 127 pengambilan data bisa lebih tepat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode penelitian yang dianggap tepat dan bisa peneliti terapkan keseluruhannya, adapun metode penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih oleh penulis dalam penyempurnaan skripsi ini adalah PT. Asuransi Takaful Syariah yang memiliki cabang di Kota Malang, tepatnya di Jalan Jaksa Agung Suprapto Nomor 70 Malang. Lembaga asuransi tersebut, merupakan lembaga jasa asuransi syariah yang pertama di Indonesia, dan keberadaannya telah dilegalkan atau dinyatakan tidak bertentangan dengan aturan Islam oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang tergabung dalam Dewan Pengawas Syariah yang merupakan pengawas segala lembaga yang bergerak dibidang jasa atau lainnya yang menggunakan atau menerapkan sistem keislaman, seperti Takaful, Bank Muamalah dan lain sebagainya. 2. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan dan jenis penelitian, merupakan metode penelitian yang pertama harus dicari dan disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Pendekatan dan jenis penelitian harus dilakukan, karena pendekatan dan jenis penelitian tersebut merupakan kunci utama untuk menentukan berbagai metode penelitian selanjutnya yang diperlukan dan sesuai dengan jenis penelitiannya. Bila dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang memuat penjabaran yang bersifat nilai, bukan perhitungan angka atau pengukuran tingkatan tertentu. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975) sebagaimana dikutib oleh Lexy J. Moleong, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Selain definisi yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor, Denzin dan Lincoln (1987) juga mendefinisikan penelitian kualitatif dengan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. 51 Pendekatan penelitian ini digolongkan dalam pendekatan kualitatif, karena penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati 52 . Adapun jenis dari penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh atau mengambil data-data yang diperlukan, dalam hal ini PT. Asuransi Takaful Syariah, yang nantinya akan diselaraskan atau diperkuat dengan berbagai referensi yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas. Ide penting dalam penelitian lapangan ini adalah bahwa peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah atau in situ. 53
Dalam penelitian lapangan, bisaanya menghasilkan berbagai catatan-catatan dari apa yang telah dilihat atau diamati. Selain pendekatan dan jenis penelitian, ada pula tipe penelitian yang dijadikan pelengkap oleh peneliti, dan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, karena penelitian ini dilakukan dengan cara mencari fakta yang ada mengenai proses pencairan dana klaim yang selalu dilakukan oleh PT. Asuransi tersebut kemudian dibandingkan dengan Hukum Islam dan selanjutnya menjabarkannya 54 .
51 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2006), 4-5 52 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Perss, 2000), 3 53 Opcid, 26 54 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 54-55 Dapat dipahami bahwa dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencari jawaban secara mendasar dari PT. Asuransi Takaful Syariah terkait dengan berbagai kontrak yang ditawarkan, sehingga menyebutkan salah satu dari ahli waris yang akan diberi dana santunan oleh PT. Asuransi Takaful Syariah. Selain itu, peneliti mencoba untuk mencari tahu posisi ahli waris lain yang tidak ditunjukkan dalam polis, terkait dengan dana klaim yang akan diterima oleh nasabah atau ahli waris yang telah ditunjuk oleh pemberi warisan, dan kemudian dikomaparasikan dengan aturan Hukum dalam Islam yang menjadi pedoman umat Islam. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data, adalah cara yang akan digunakan peneliti dalam memperoleh data yang diperlukan dalam pencarian dan penyelesaian jawaban penelitian. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini, dapat dilakukan melalui beberapa jalan berikut ini: a. Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data, yang menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara langsung atau tidak langsung terhadap obyek penelitian yang sedang diteliti. Obsevasi yang dilakukan harus bersifat objektif, karena sebagai peneliti yang dalam kondisi mencari tahu hal baru, secara otomatis tidak boleh langsung menghukumi setiap permasalahan yang ada, hal itu diperlukan agar berbagai data dapat terkumpul dengan sempurna dan tidak ada sistem penambahan dari peneliti itu sendiri, karena data yang diperoleh dari observasi harus bersifat murni atau tidak membenarkan dan menyalahkan berbagai data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengamatan secara langsung dengan cara yang tidak formal yaitu melihat dan mengamati berbagai hal yang terkait dengan penelitian ini, seperti melihat lembaga yang dipilih, responden yang akan diteliti dan lain sebagainya. b. Interview Interview (Wawancara) merupakan proses interaksi antara Pewawancara dengan informan. 55 Wawancara dilakukan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian suatu data, dan wawancara ditujukan untuk responden yang dianggap mengerti tentang objek penelitian yang dilakuakan. Menurut Suharsimi, responden atau informan adalah orang yang diminta untuk memberikan tanggapan, keterangan dan informasi tentang suatu fakta atau pendapat, baik lisan atau tulisan. 56
Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang menjadi obyek penelitian, yaitu para pegawai yang bekerja di PT. Asuransi Takaful Syariah, terutama pegawai yang menangani asuransi jiwa dan pegawai yang menangani proses pencairan dana klaim untuk nasabah. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan masalah kontrak Asuransi Syariah yang telah diterapkan di PT. Asuransi tersebut, serta menanyakan bagaimana cara petugas tersebut mencairkan dana klaim sehingga menjadi suatu harta yang dapat dijadikan sebagai harta waris oleh pemegang polis yang telah ditunjuk. Selain dari para pegawai PT. Asuransi Takaful Indonesia, peneliti juga mengadakan wawancara dengan salah satu nasabah yang terdaftar sebagai pemegang polis Asuransi Jiwa. Nasabah atau pemegang polis asuransi keluarga tersebut, akan peneliti jadikan informan yang terkait dengan penyebutan dari salah satu ahli waris dalam kontrak asuransi yang telah disepakati oleh pihak Takaful, sehingga peneliti akan mendapatkan
55 Ibid, 194 56 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian.........., 122 data yang akan digunakan untuk mendeteksi posisi ahli waris lain yang tidak disebutkan dalam polis dalam perspektif hukum Islam. 4. Sumber Data Sumber data dalam suatu penelitian sering didefinisikan sebagai subjek dari mana data-data penelitian itu diperoleh. 57 Dan sumber data ini, yang akan menunjukkan berbagai alat yang digunakan oleh peneliti terkait dengan perolehan data. Mengenai sumber data penelitian ini, dibagi menjadi dua jenis yaitu: a. Sumber Data Primer Menurut Husein Umar data primer ialah data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian koesoner yang bisaa dilakukan oleh peneliti. 58
Adapun data primer dalam penelitian ini dapat diperoleh dari pegawai PT. Asuransi Takaful Syariah dan salah satu nasabah yang menggunakan jasa asuransi jiwa pada PT Asuransi Takaful Indonesia tersebut, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan penelitian kepada mereka yang telah dipilih sebagai nara sumber. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data pendukung atau data tambahan dari data pokok atau primer. Data sekunder menurut sebagian pakar adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut kemudian disajikan, baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain. 59
Dan untuk kali ini, data sekunder didapatkan dari data primer pihak lain atau pakar yang telah menyajikan berbagai data pendukung penelitian yang tersaji dalam sebuah tulisan,
57 Ibid, 107. 58 Husein Umar, Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 42. 59 Ibid., 43. buku atau pihak lain yang tidak dijadikan sebagai responden utama untuk mengkroscek kebenaran dari pernyataan responden utama. Adapun data sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa orang yang tidak terkait dengan penelitian ini atau literatur- literatur fiqih yang membahas tentang masalah Asuransi Syariah dan sistem kewarisan Islam. 5. Metode Pengolahan Data Sebagaimana umumnya sebuah penelitian, apabila data yang diperlukan telah terkumpul, maka tahap berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengolah data. Pengolahan data ini dibutuhkan untuk menyempurnakan penyajian jawaban yang telah diperoleh, serta untuk memudahkan dalam memahami maksud dan jawaban dari penelitian yang disajikan karena telah tersusun dengan sistematis. Pengolahan data dilakuakan dengan berbagai tahap, dan tahapan-tahapan pengolahan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut: a. Edit (Editing) Pada bagian ini peneliti merasa perlu untuk menelitinya kembali terutama dari kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan data-data yang lain. 60 Teknik pertama ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana data-data yang telah diperoleh, baik yang bersumber dari hasil observasi atau wawancara, sudah cukup baik serta dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses selanjutnya. Dan dalam teknik ini, data yang diperoleh dipilah-pilah sesuai dengan tempat dan kebutuhan, apabila terdapat data yang tidak ada kaitannya atau tidak sesuai maka akan direduksi dan untuk data yang sesuai dan dibutuhkan akan diolah atau diatur baik dari segi tata bahasa, atau yang lainnya.
60 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2003), 125. b. Klasifikasi (Classifying) Langkah selanjutnya setelah tahap editing selesai adalah menyusun dan mensistematikkan data-data yang telah diperoleh ke dalam pola tertentu untuk memepermudah bahasan yang erat kaitannya dengan kajian dalam penelitian ini. Menurut Nana Sudjana dalam tahap ini peneliti menyeleksi data yang diperoleh untuk kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang ada. 61 Dalam teknik ini, peneliti lebih mengarah kepada menempatkan data-data yang telah diperoleh dan telah diedit sesuai dengan tingkatannya, sehingga data-data tersebut benar-benar sesuai dengan bahasan penelitian dan mudah difahami. Tingkatan yang dimaksud adalah bila suatu proses atau langkah awal akan didahulukan, dari pada tuntutan atau klaim yang merupakan proses akhir, dan dalam hal ini proses hingga akhir dalam sebuah perjanjian asuransi yang dilakukan di PT. Asuransi Takaful Indonesia. Selain itu, meruntutkan data juga digunakan oleh peneliti dalam hal mengklasifikasikan hasil wawancara yang telah diperoleh dari para responden, baik dari pihak pegawai Takaful atau nasabah pemegang polis. c. Verifikasi (Verifying) Setelah dua tahap diatas, tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah memeriksa kembali data yang diperoleh agar validitasnya bisa terjamin, selain itu juga untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data. 62 Dalam tahapan ini, peneliti mengkroscek ulang data yang ada kepada para responden dan data-data yang diperoleh. Selain itu, peneliti menggunakan responden lain sebagai pembanding dalam memperoleh kebenaran atau kevalitan data, baik itu kebenaran dari hasil wawancara atau kebenaran
61 Ibid., 126 62 Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 84-85. data dari sebuah dokumen. Dan tahapan ini perlu dilakukan untuk menunjukkan atau membuktikan kebenaran dan kevalitan suatu data yang disajikan dalam penelitian ini. d. Analisis (Analysing) Agar data mentah yang diperoleh dari informan dapat lebih mudah dipahami, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa. Analisa data diperlukan untuk menjawab berbagai permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Setiap data mentah yang telah diperoleh akan dianalisis berdasarkan literatur-literatur fiqh yang merupakan pedoman umat Islam dan menyajikan berbagai hukum atas suatu permasalahan, meskipun permasalahan itu hanya sama dari segi illat atau yang lainnya. Sedangkan analisa tersebut, merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengkritisi setiap data yang telah diperoleh dari informan dan dokumen-dokumen untuk dipaparkan kembali. Sedangkan metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode komparatif kualitatif. Yang mana peneliti menggambarkan secara jelas tentang proses kontrak hingga pencairan dana klaim yang dilakukan oleh PT. Asuransi tersebut sampai menjadi suatu harta yang dapat diwariskan beserta berbagai informasinya, kemudian dikomparasikan dengan hukum Islam yang terangkum dalam kitab-kitab fiqh untuk mencari kejelasan status hukumnya, terutama dalam hal posisi ahli waris lain yang tidak tercantum dalam polis yang telah disepakati pihak takaful dan pemegang polis atau pemberi warisan. e. Konklusi (Concluding) Setelah keempat tahapan dalam teknik pengolahan data telah selesai, maka tahap terakhir adalah konklusi atau menyimpulkan. Menyimpulkan dari berbagai hasil analisis ini yang menjadi puncak dari sebuah penelitian. 63 Dalam tahapan terakhir ini, peneliti menyajikan titik temu antara data yang telah dianalisis dengan pertanyaan yang diteliti,
63 Ibid., 86 dalam hal ini pertanyaan tersebut disajikan dalam rumusan masalah. Dan pada tahap ini pula, peneliti dipastikan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah baik yang tersurat maupun yang tersirat.
BAB IV PENYAJIAN DATA DARI PT. ASURANSI TAKAFUL INDONESIA CABANG MALANG DAN ANALISIS DATA A. Penyajian data 1. PT. Asuransi Takaful Indonesia Cabang Malang Pada poin ini, akan disajikan berbagai data tentang takaful. Data tentang takaful itu sendiri, diperlukan untuk memberikan informasi awal kepada pembaca tentang perusahaan yang telah dipilih peneliti dalam mencari jawaban atas rumusan masalah. Adapun data tentang takaful itu sendiri, akan peneliti paparkan dengan beberapa poin, yaitu:
a) Profil Perusahaan Perusahaan Asuransi Takaful Indonesia, didirikan atas prakarsa Cendekiawan Muslim Indonesia, seperti Pt. Bank Muamalat Indonesia, Syarikat Takaful Malaysia Sdn.Bhd, Para Pengusaha Muslim, dan Praktisi Asuransi. Landasan pendirian perusahaan ini adalah Islam yang mulia, yang memerintahkan kepada umat muslim untuk memberikan pertolongan kepada sesama dengan memberikan santunan kepada orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat, maupun musibah lainnya. Tindakan seperti itu merupakan tindak sosial dan bentuk kepedulian terhadap sesama, dan bentuk tolong menolong (taawun) antar warga masyarakat, baik Muslim atau non-Muslim. Dengan cara peduli kepada sesama, akan menjalin persaudaraan (ukhuwah) yang semakin kokoh. Selain kepedulian tersebut, kegiatan membantu meringankan musibah orang lain dapat mengurangi kesedihan orang yang tertimpa musibah, serta menghindarkan mereka dari kemiskinan atau kehilangan masa depan. Semua kegiatan santunan yang merupakan suatu hal yang baik dan akan mendapat pahala dari Allah, akan berubah menjadi suatu yang dilaknat oleh Allah apabila didalamnya terdapat unsur ketidakpastian (gharar), untung-untungan atau perjudian, riba, dan hal-hal lain yang bersifat maksiat. Visi Takaful. Takaful Indonesia adalah lembaga keuangan yang konsisten menjalankan transaksi asuransi secara Islami. Operasional perusahaan dilakukan atas dasar prinsip-prinsip syariah yang bertujuan memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik bagi umat dan masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan, Takaful memiliki visi yaitu akan berjuang dan berkembang untuk menjadi perusahaan yang terkemuka. 64
64 Cacan S. Agis, dkk , Modul Pengetahuan Dasar Takaful (TRenDi [Training, Research, & Development] PT. Syarikat Takaful Indonesia: Jakarta, 2005), 1 Tujuan Takaful. Tujuan dari pendirian Takaful yang utama adalah memberikan pelayanan terbaik, amanah dan professional kepada umat Islam dan Bangsa Indonesia. b) Konsep dan Manfaat Asuransi Dalam kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan pada kemungkinan terjadinya musibah dan bencana yang dapat menyebabkan hilang atau berkurangnya nilai ekonomi seseorang baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaan yang diakibatkan oleh: meinggalnya dunia, kecelakaan, sakit, atau usia lanjut (masa pensiun). Segala bencana dan musibah merupakan ketentuan Allah SWT., namun manusia (muslim) wajib berikhtiar melakukan tindakan antisipasi untuk memperkecil resiko timbul. Dan dalam menghadapi resiko ini, setiap manusia dapat berikhtiar dengan pilihan alternatif yaitu menanggung sendiri, membagi resiko dengan pihak lain, atau menyerahkan resiko sepenuhnya kepada pihak lain. Bila sebuah resiko akan ditanggung sendiri, salah satu upaya bisa dengan menabung, namun usaha ini sering kali tidak mencukupi karena resiko yang ditanggung lebih besar dari yang diperkirakan. Sedangkan bila resiko tersebut dibagi atau dialihkan, diharapkan pada saat terjadi musibah, maka berkurangnya nilai ekonomi atau kesejahteraan keluarga dapat terjamin (tergantikan), begitu juga dengan hilangnya fungsi sebuah benda dapat digantikan juga. Asuransi sebagai sebuah perlindungan merupakan langkah yang tepat bagi seseorang dalam membagi atau mengalihkan suatu resiko, karena asuransi menjawab kebutuhan rasa aman bagi setiap orang. 65 Dan untuk asuransi yang tepat bagi umat Islam, adalah Takaful yang memegang syariah Islam dengan memperhatikan berbagai unsur yang ada dalam fiqih muamalah.
65 Ibid, 10 Pada sistem Takaful setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong (taawun) satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut dengan tabarru. Dari dana kumpulan tersebut digunakan untuk menyantuni siapa pun diantara peserta Takaful yang mengalami musibah. Sistem ini bukan menggunakan pengalihan resiko dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi merupakan pembagian resiko dimana peserta saling menanggung. Adapun Takaful sebagai perusahaan berperan sebagai mudharib, pengelola dan pemegang amanah dari premi yang terhimpun untuk dikelola dan dikembangkan pada usaha dan cara-cara yang ditolerir oleh syariah Islam dengan adanya pertimbangan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS). c) Landasan Hukum Asuransi Jiwa Dalam kontrak asuransi masing-masing pihak yang terlibat harus memperhatikan landasan hukum dan prinsip yang mendasari kontrak asuransi. Dasar hukum asuransi jiwa merupakan unsur-unsur penting dalam perjanjian yang mengatur hubungan, hak kewajiban dua pihak agar perjanjian pertanggungan dapat berjalan dan berlaku. Beberapa landasan hukum yang terpenting di antaranya: 1) Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan-Insurable Interest Pasal 250 KUHD Adalah hubungan kepentingan antara peserta dengan obyek pertanggungan atau pihak yang dipertanggungkan. Peserta dianggap mempunyai kepentingan yang insurable jika mengalami musibah. 66 Dalam kamus Asuransi, pengertian dari Insurable Interest adalah minat atau kepentingan yang muncul ketika seseorang memiliki pengharapan yang masuk akal untuk mengambil maslahat dari kelangsungan hidup orang lain atau maslahat dari penderita orang lain akibat kematiannya. 67
Yang dimaksud dengan kepentingan disini adalah kepentingan yang timbul karena hubungan keluarga (suami,istri, anak, orang tua atau ahli waris), hubungan bisnis
66 Ibid, 12 67 A. Hasymi Ali. Dkk, Kamus Asuransi.., 161 (perusahaan dengan karyawan dan kreditur dengan debitur), kepemilikan (pemilik kendaraan dengan kendaraannya), kuasa orang lain (bengkel dengan kendaraan yang diperbaiki), karena undang-undang (Tanggung jawab hotel terhadap tamunya). Dan bila ternyata tertanggung tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak berhak memperoleh santunan (ganti rugi). 2) Itiqad Baik-Utmost Good Faith Pasal 251 KUHD Para pihak yang melakukan kontrak asuransi, baik penanggung maupun tertanggung harus beritiqad baik yang diwujudkan dengan kejujuran dan mengemukakan keterbukaan (disclosure). 68 Dalam poin ini bertujuan agar tidak terdapat gharar atau penipuan antara kedua belah pihak. Maksudnya dimana penanggung harus memberikan semua informasi mengenai pertanggungan dan tertanggung memberikan informasi mengenai obyek pertanggungan baik diminta maupun tidak. Informasi tertanggung termasuk informasi yang mempengaruhi opini penanggung apakah akan menerima atau menolak obyek pertanggungan. Sedangkan informasi dari penanggung terutama isi dan kondisi polis yang mungkin mempengaruhi apakah tertanggung jadi mengasuransikan obyeknya atau tidak. Jika utmost good faith dilanggar terutama oleh tertanggung, maka akan mengakibatkan pertanggungan menjadi batal. 3) Indemnitas-Indemnity Dalam kamus Asuransi artinya Indemnity adalah pembayaran dengan sejumlah uang untuk mengganti semua atau sebagian dari kerugian yang telah diasuransikan. 69 Prinsip ini merupakan ganti-rugi/santunan bila terjadi musibah yang dijamin, yaitu pihah asuransi akan mengembalikan uang pemegang polis atau tertanggung dalam keadaan semula
68 Opcid, 13 69 Opcid, 154 seperti sebelum terjadi musibah, atau dengan kata lain pihak asuransi mengembalikan uang milik tertanggung yang selama ini diserahkan pada pihak asuransi. Dengan prinsip ini tertanggung tidak dimungkinkan mendapat keuntungan dari penanggung. Untuk keperluan ini maka sangat disarankan harga pertanggungan yang dipakai berdasarkan harga pasar. Hal ini guna menghindari asuransi dibawah harga (under insurance) ataupun asuransi diatas harga (over insurace). 70
4) Subrogasi-Pengalihan Hak Bilamana penanggung telah membayar santunan ganti rugi kepada tertanggung, padahal dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian tersebut tertanggung tidak bersalah maka hak menuntut kepada pihak yang bertanggung jawab atau yang bersalah (pihak ketiga) beralih kepada penanggung. 5) Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tentang Perusahaan Perasuransiaan Bab VI Pasal 7 ayat 1, Bentuk Hukum Usaha Perasuransian yaitu Perusahaan Perseroan (Persero), Koprasi, Perseroan Terbatas (PT), Usaha Bersama (mutual). Bab XI Pasal 21 ayat 2 tentang Ketentuan Pidana yang berisi Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah). Pasal 381 KUHP: Barangsiapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung (perusahaan) asuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. 71
d) Peranan Asuransi Adapun peranan dari asuransi jiwa adalah:
70 Ibid, 13 71 Ibid, 14 1). Proteksi bagi keluarga a. Pendapatan Keluarga b. Dana Penyesuaian c. Dana Pemutihan 2). Menabung a. Dana Hari Tua b. Dana Pendidikan 3). Alat Bisnis a. Proteksi Kredit b. Proteksi Hipotik c. Key-Person d. Kelangsungan Usaha e. Kesejahteraan Karyawan
Bila pencari nafkah ditakdirkan meninggal atau cacat, maka kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya akan kurang terjamin. Oleh karena itu bila menjadi peserta asuransi diharapkan pada saat terjadinya resiko, hasil investasi dari manfaat asuransi dapat menggantikan pendapatan atau sebagai dana penyesuaian bagi keluarga, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya akan lebih terjamin. e) Produk Asuransi pada PT. Asuransi Takaful Indonesia Dalam PT. Asuransi Takaful Indonesia terdapat berbagai macam asuransi yang ditawarkan, yaitu pembagian dari jenis asuransi ganti rugi dan asuransi jiwa. Untuk pembagian dari produk asuransi ganti rugi adalah: a. Takaful Kebakaran; kerusakan dan/atau kerugian pada harta benda dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung yang disebabkan oleh kebakaran, petir, peledakan, kejatuhan pesawat terbang, atau karena asap.. b. Takaful Kendaraan Bermotor atau abror; merupakan program Takaful yang mengcover kerugian atas kendaraan bermotor yang disebabkan musibah kecelakaan, pencurian, serta tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga. Adapun asuransi jiwa yang dalam Takaful disebut dengan asuransi Keluarga yaitu sebagai berikut: a. Takaful Dana Investasi (FULDANA); merupakan bentuk perlindungan dalam mata uang Rupiah atau US Dolar sebagai dana investasi, untuk tabungan hari tua atau untuk ahli waris bila terjadi musibah meninggal dunia dalam masa perjanjian. b. Takaful Dana Siswa (FULNADI); merupakan Takaful keluarga yang ditujukan bagi orang tua yang berkeinginan merencanakan dana pendidikan untuk putra-putrinya sampai sarjana, dalam mata uang Rupiah dan US Dolar. c. Takaful Dana Haji (FULHAJI); merupakan bentuk perlindungan dalam mata uang rupiah atau US Dolar sebagai biaya menjalankan ibadah haji, dan bila terjadi musibah meninggal dunia dalam masa perjanjian maka jumlah simpanannya akan diberikan kepada ahli waris. d. Takaful Kesehatan Individu; merupakan program yang menyediakan dana santunan Rawat Inap dan Operasi saja, tidak termasuk meninggal dunia. e. Takaful Kecelakaan Diri Individu; merupakan program yang bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris bila terjadi kecelakaan atau dana santunan bagi dirinya sendiri bila terjadi cacat tetap akibat kecelakaan dalam masa perjanjian. f. Takaful Al-Khairat Individu; diperuntukkan bagi seseorang yang bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris bila terjadi musibah meninggal dunia dalam masa perjanjian, yang mana usia plus kontrak tidak boleh lebih dari 65 tahun. Dan untuk penelitian kali ini, akan lebih fokus kepada produk Takaful yang mengcover jiwa peserta, terutama yang akan memberikan dana santunan kematian bagi ahli waris bila peserta meninggal. Yaitu Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, Takaful Kecelakaan Diri Individu, dan Takaful Al-Khairat Individu. f) Perbedaan Asuransi Takaful dengan Asuransi biasa Keterangan Asuransi Takaful Asuransi Bisaa Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah, fungsinya mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana. Tidak ada Akad Tolong-menolong (Takafuli) Jual beli (Tabaduli) Investasi Dana Investasi Dana berdasarkan Syariah dengan sistem bagi hasil (Mudharabah) Investasi Dana berdasarkan bunga (Riba) Kepemilikan Dana Dana yang terkumpul dari nasabah (Premi) merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai Pemegang Amanah untuk mengelolanya. Dana yang terkumpul dari nasabah (Premi) menjadi hak milik Perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya. Pembayaran Klaim Dari rekening Tabarru (Dana Kebajikan) seluruh peserta, sejak awal sudah diiklaskan Dari rekening Dana Perusahaan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah. Keuntungan (Profit) Dibagi antara Perusahaan dengan Peserta (sesuai prinsip bagihasil/Al-Mudharabah) Seluruhnya menjadi milik perusahaan.
g) Syarat Umum Polis Individu Dalam syarat umum polis individu, terdapat beberapa pengertian yang harus difahami yaitu: Perusahaan : PT. Asuransi Takaful Keluarga (Pemegang Amanah) Peserta : Pemegang polis yang mengadakan perjanjian dengan takaful Takaful : Kerjasama saling melindungi dan tolong menolong antara peserta Polis : Surat Perjanjian antara peserta dengan perusahaan Premi : Dana yang dibayarkan peserta, terdiri dari dana tabungan dan tabarru Manfaat : Dana yang akan diperoleh peserta bila terjadi klaim Santunan : Dana yang diambil dari Rekening Tabarru saat terjadi musibah Manfaat Awal : Rencana menabung (Premi Tahunan x Masa Perjanjian) Syarat umum polis individu ini diatur dalam beberapa pasal, dan mengenai persyaratan yang harus terpenuhi dan harus dilakukan oleh pihak peserta atau nasabah dan pihak perusahaan diatur dalam pasal 2 yang menjelaskan tentang dasar perjanjian, pasal 3 yang memaparkan tentang ketentuan mulai berlakunya suatu perjanjian antara perusahaan asuransi dengan pihak tertanggung atau peserta, pasal 4 yang mengatur tentang tata cara pembayaran premi yang akan diserahkan kepada perusahaan, pasal 4a mengatur tentang biaya penagihan bila pembayaran premi tidak dilakukan langsung ke perusahaan asuransi pada tanggal yang ditentukan saat perjanjian dibuat dan disepakati, pasal 5 yang membahas tentang tata cara memulihkan atau memperbaharui Polis bila Polis tidak berlaku karena keterlambatan membayar premi, pasal 6 mengatur tentang perubahan Polis atau perjanjian baik itu perubahan atas alamat pemegang Polis atau ahli waris atau yang lainnya, pasal 8 & 9 mengatur tentang klaim mulai cara pengajuan klaim hingga cara pembayaran klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.
2. Persyaratan/tahap yang perlu dilakukan oleh nasabah mulai dari pendaftaran awal hingga permintaan klaim yang ingin dicairkan dalam Asuransi jiwa sehingga menjadi harta yang dapat diwarisi. Dalam persyaratan untuk menjadi anggota takaful diperlukan beberapa tahapan, untuk awal tahapan tersebut adalah penjelasan secara gamblang tentang produk takaful, agar dalam perjanjian selanjutnya didasarkan kepada kesepakatan dan kejelasan. Persyaratan yang dimaksud mengrah kepada produk asuransi jiwa atau asuransi keluarga karena produk tersebut adalah bentuk dari perlindungan atas jiwa seseorang yang mana akan menyediakan santunan untuk ahli waris apabila pemegang polis atau peserta telah meninggal dunia dalam masa perjanjian. Dan pada penjelasan ini pula, calon nasabah akan diminta untuk menunjuk beberapa ahli waris yang nantinya akan diberikan dana santunan oleh pihak takaful, yaitu anak dan saudara selain didalam rumah (saudara yang dimaksud adalah bibi, paman, kemenkan, sepupu, atau yang lainnya selain istri dan anak- anak mereka). Produk asuransi jiwa yang dicover dalam asuransi keluarga pada takaful adalah bentuk jaminan yang diberikan oleh pihak Takaful atau perusahaan kepada peserta bila terdapat musibah yang dialami atas diri peserta. Dan produk asuransi jiwa atau keluarga rata-rata memberikan perlindungan atas diri peserta bila mengalami musibah kematian, sehingga ahli waris dari peserta akan memperoleh dana santunan kematian untuk mengurusi segala keperluan peserta yang telah meninggal dunia atau dapat juga dijadikan sebagai harta warisan bila segala kebutuhan si mayit terselesaikan secara keseluruhan. Salah seorang nasabah mengatakan bahwa, Saya mengikuti Asuransi Al-Khairat ini, supaya anak-anak saya nanti mendapatkan uang santunan sebesar 300 juta rupiah dari Takaful, bila sewaktu-waktu (yang pasti sebelum usia saya 54 tahun) saya dipanggil menghadap Allah, jadi saya bisa lebih tenang . 72
Pada produk takaful keluarga, bila terjadi musibah kematian atas peserta maka pihak Takaful akan memberikan manfaat pada ahli waris yang telah ditunjuk dalam polis bila pemegang polis meninggal dunia. Pemberian manfaat tersebut berupa uang untuk mengurusi si mayit (bila lebih bisa dijadikan harta waris). Keuntungan lain yang dapat diperoleh langsung untuk si mayit sebagai pemegang polis adalah terhentinya premi yang harus dibayarkan dan dianggap telah lunas. Untuk masalah pembayaran premi bisa dilakukan dengan bulanan atau tahunan, dan jumlah uang pembayarannya sesuai dengan kemampuan pemegang polis. Dalam penjelasan atau pengantar yang diberikan pihak marketing Takaful, akan disertakan pula ilustrasi atas uang bagi hasil yang akan diperoleh dan jumlah yang akan diberikan kepada ahli warisnya atau yang ditunjukkan pada polis sampai masa perjanjian selesai, baik itu bila pemegang polis meninggal ataupun masih dalam keadaan hidup saat dalam masa perjajian.
72 Wawancara, Didiek Heri Tjahjono (Peserta Takaful Al-Khairat), 20 April 2009 jam 16.45 Setelah calon nasabah atau calon pemegang polis faham serta ingin bergabung dengan takaful untuk mengasuransikan pendidikan anaknya, maka calon nasabah akan diberi aplikasi atau formulir perjanjian untuk diisi secara lengkap. Pengisian formulir yang telah dilakukan akan diserahkan ke kantor pusat dan diinput. Cara pendaftaran tersebut juga diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tentang Dasar Perjanjian yang berisi Setiap Peserta yang mengadakan Perjanjian dengan Perusahaan diwajibkan mengisi dan menandatangani sendiri surat Pengajuan Asuransi (SPA/Aplikasi) beserta formulir pendukung dan persyaratan yang telah dipersiapkan untuk itu, dengan lengkap dan jujur sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kemudian menyerahkan kepada Perusahaan. Dalam proses pengisian formulir, pihak nasabah akan ditanya masalah riwayat kesehatan, apakah dia perokok, pernah menderita penyakit parah atau orang tua memiliki penyakit yang dimungkinkan akan diderita oleh pihak nasabah. Dan bila terdapat indikasi penyakit, maka pihak nasabah akan diminta untuk medical ceck up terlebih dahulu. Riwayat kesehatan diperlukan untuk menentukan besarnya tabarru (uang kebajikan) yang akan dibayarkan, karena bila difikir secara normal dan terlepas dari kehendak Allah sebagai Pencipta, orang yang telah menderita penyakit akan lebih dulu meninggal dari pada orang yang dalam keadaan sehat. Bila segala rangkaian diatas telah dilewati dan pihak asuransi menyetujui permohonan nasabah untuk bergabung dengan takaful, maka akan dikeluarkan surat perjanjian atau sertifikat perjanjian yang dinamakan polis, sebagai bukti keikut sertaan dengan takaful dan telah menjadi nasabah takaful. 73
Setelah surat perjanjian telah dipegang oleh nasabah yang telah bergabung dengan pihak Takaful, maka nasabah atau peserta yang telah sah menjadi bagian dari Takaful telah memiliki hak atas klaim bila terdapat musibah yang dialami. Besarnya klaim yang
73 Wawancara, Moh. Nastain (Manager Operasional Officer), tanggal 3 Februari 2009, jam 10.00 akan diberikan kepada peserta dalam hal ini pemegang Polis, akan disesuaikan dengan jumlah premi yang dibayarkan (yaitu uang cicilan yang dibayar bulanan, tahunan, triwulan atau semesteran), besarnya tabarru yang dibayarkan, dan musibah yang menimpanya (pemberian akan berbeda antara yang meninggal karena kecelakaan atau meninggal biasa). Klaim dapat diambil, bila yang mengambil adalah ahli waris yang telah tertera dalam Polis. Dan ahli waris yang tertera dalam Polislah yang akan diberikan amanah oleh pihak Takaful untuk mendapatkan uang santunan agar digunakan untuk mengatur segala kebutuhan si mayit dan membagikan kepada ahli waris lainnya. 74
Pemberian amanah tersebut dilakukan, karena pihak Takaful tidak memungkinkan untuk mengurusi segala sesuatu untuk si mayit hingga membagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Cara pengajuan klaim sangatlah mudah, ahli waris yang diberi amanah oleh pihak takaful hanya perlu mengisi blangko yang telah disediakan oleh pihak Takaful, mengisi daftar pertanyaan yang ada di dalam blangko lain yang akan diberikan, Fotocopy KTP dan Pembayaran Premi pertama, serta pengisian blangko untuk dokter atau pihak rumah sakit (bila ada atau meninggal dirumah sakit). Dan untuk jangka waktu pengajuan klaim untuk peserta yang meninggal dunia adalah 6 bulan setelah kejadian meninggal dunia. Seperti yang tercantum dalam Pasal 8 tentang syarat-syarat Pengajuan Klaim yang pada ayat (1) berisi bahwa Dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk pengajuan klaim adalah a). Untuk syarat secara umum: Polis asli, mengisi formulir pengajuan klaim yang disediakan oleh perusahaan, fotocopy identitas diri yang masih berlaku, melampirkan surat pemberian jatuh tempo tahapan (khusus untuk program yang ada Tahapannya, jika ada), dan surat keterangan medis dari dokter atau rumah sakit yang merawat (untuk klaim rawat inap atau cacat tetap karena kecelakaan). b). Dan khusus untuk klaim meninggal dunia, dilengkapi dengan: mengisi formulir daftar pertanyaan untuk klaim yang disediakan oleh Perusahaan, surat kematian dari instansi pemerintah yang berwenang, surat dari dokter yang berisikan keterangan sebab-sebab meninggal, melampirkan surat keterangan dari polis (bila meninggal karena kecelakaan). untuk ayat
74 Ibid. (2) berisi bahwa Perusahaan berhak untuk meminta diberikan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu dalam pengajuan klaim. Sedangkan pada ayat (3) berisi bahwa Dalam hal Peserta meninggal dunia, jangka waktu pengajuan berikut bukti-bukti yang diperlukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggal. 75
B. Analisis 1. Pandangan Hukum Islam terhadap Tirkah dalam Bentuk Klaim yang diperoleh dari perjanjian Asuransi jiwa Produk asuransi yang ditawarkan oleh Takaful dan sesuai dengan penelitian kali ini adalah Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, Takaful Dana Jabatan, Takaful Hasanah, Takaful Kecelakaan Diri Individu, dan Takaful Al-Khairat Individu. Dan keenam produk asuransi itulah yang akan dianalisis dalam hal harta yang akan diperoleh ahli waris yang dicairkan melalui klaim, karena keenam produk tersebut memiliki manfaat santunan kematian bila peserta meninggal dunia pada masa perjanjian. Keikut sertaan para peserta dalam hal mengasuransikan diri mereka, adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk memproteksi atas resiko keuangan yang akan dialami, terutama dalam hal kematian. Karena seperti yang diyakini oleh seluruh makhluk hidup yang ada dibumi, bahwa kematian itu pasti akan datang, namun belum tahu kapan itu terjadi. Muhammad Al-Bahi menyatakan, bahwa perusahaan Asuransi hukumnya halal karena di dalam asuransi terdapat sistem tolong-menolong, pengembang harta benda nasabah dengan akad mudharabah, bersih dari riba, tidak adanya tipu daya karena selalu terbuka untuk nasabah, memperluas lapangan kerja baru, serta memberikan jaminan kepada nasabah yang terkena musibah dengan berbagi dalam hal finansial. Jadi, sah-sah saja apabila setiap
75 Cacan S. Agis, dkk , Syarat-syarat Umum dan Khusus Polis Individu (TRenDi [Training, Research, & Development] PT. Syarikat Takaful Indonesia: Jakarta, 2005), 5-6 manusia akan berusaha untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum kematian itu terjadi terutama dalam hal ini adalah persiapan akan finansial yang akan dialami keluarga apabila terjadi kematian atas peserta agar tidak bertambah-tambah kesusahan yang akan dibebankan kepada keluarga. Selain itu, asuransi jiwa diperbolehkan apabila mengandung sistem tolong menolong seperti yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Ahmad bahwa Asuransi jiwa hukumnya adalah halal, dengan alasan bahwa dalam persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah SWT., di dalam asuransi tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan karena berangkat dari kesepakatan awal yang saling merelakan, dan tujuan dari asuransi adalah saling tolong-menolong serta menjalin sebuah kerja sama. Dana santunan kematian bagi nasabah PT. Asuransi Takaful Indonesia (yang bisa disebut pemegang polis), merupakan program utama untuk membantu meringankan musibah yang terjadi atas pihak tertanggung, dan PT. Asuransi Takaful Indonesia ini telah bergabung dengan Bank Muamalah dalam masalah mencairkan dana santunan kematian tersebut. Dana santunan kematian ini, berasal dari uang bagi hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana investasi oleh pihak pengelola atau pihak asuransi sebagai penanggung. Seperti yang dikemukakan dalam sebuah buku bahwa Mudharabah adalah sebuah kontrak atas harta pemilik yang diserahkan kepada kelompok lain untuk membentuk kerja sama bagi hasil. 76 Jadi dana santunan tersebut adalah mutlak hak dari pemberi investasi atau peserta asuransi, karena uang tersebut adalah uang bagi hasil yang didapatkan berdasarkan kesepakatan. Dan karena akad mudharabah itu pula Syekh Abdul Wahab Kholaf memperbolehkan praktik asuransi dengan menyatakan bahwa Asuransi
76 A. Rahman I. Doi, Penjelassan lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 467 itu diperbolehkan dengan dalih bahwa asuransi merupakan akad mudharabah. Akad mudharabah dalam Islam adalah sebuah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga dari pihak lain. Untuk setiap nasabah atau pemegang polis yang ingin mencairkan dana kematian, harus mengajukan klaim kepada pihak penanggung dalam hal ini PT. Asuransi Takaful Indonesia agar dicairkan uang yang telah dijanjikan kepada tertanggung semasa hidupnya. Dan pengajuan ini, hanya dapat dilakukan oleh ahli waris yang telah ditunjuk di dalam surat perjanjian atau polis. Pada dasarnya klaim atau tuntutan, yang diminta oleh ahli waris pemegang polis adalah hak mutlak setiap ahli waris yang telah ditunjuk di dalam surat perjanjian. Karena klaim yang akan mencairkan uang tersebut merupakah hak dari ahli waris yang telah diketahui oleh pihak si mayit, dalam hal ini pemegang polis. Dari pencairan dana klaim ini, pihak ahli waris dapat mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan si mayit, seperti mengkavani, menguburkan dan lain sebagainya yang membutuhkan biaya. Selain itu, dengan klaim ini, pihak ahli waris dapat menuntaskan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab si mayit untuk membayarnya, misalnya hutang kepada orang lain atau hutang mas kawin kepada istrinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan bahwa hak-hak yang harus ditunaikan dalam kaitannya dengan tirkah yaitu mempersiapkan segala keperluan si mayit, membayarkan hutang-hutangnya, menunaikan wasiatnya, dan yang terakhir bila terdapat sisa harta maka dibagikan kepada ahli waris yang berhak, untuk pemenuhan hak-hak tersebut harus dipenuhi secara berurutan sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris. Sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan seluruh tarikah, maka tidak ada lagi hak untuk yang lainnya. Semua tanggungan si mayit harus ditunaikan, terutama masalah hutang, karena seperti yang telah diperingatkankan oleh Islam bahwa: -= --, -= -,-- -'- -,-' -- ) --= - ( Jiwa (roh) orang beriman itu bergantung pada hutangnya, sehingga hutangnya dibayarkan. 77
Dari peringatan diatas, pastilah seluruh ahli waris memperhatikan secara sungguh- sungguh dan mencari pihak-pihak yang pernah memberikan pinjaman atau hutang kepada si mayit namun belum dilunasi semasa hidup si mayit. Kebisaaan untuk mencari tahu pihak-pihak yang pernah memberikan pinjaman kepada si mayit semasa hidupnya namun belum dilunasi, di beberapa desa diterapkan dengan mengumumkannya pada saat si mayit hendak diberangkatkan ke tempat persemayaman, dan bisanya kata-katanya seperti jika si mayit ini memiliki tanggungan hutang kepada bapak-ibu sekalian, diharapkan untuk berurusan dengan ahli waris, agar ditunaikan hutang-hutang si mayit ini. Pembayaran hutang dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan si mayit, merupakan tanggung jawab ahli waris untuk menyelesaikannya. Penyelesaian tersebut bisa dari harta atau uang ahli waris sendiri, atau uang dari si mayit yang masih ada dan menjadi hak ahli waris. Uang si mayit semasa hidupnya, baik uang itu berasal dari tabungan si mayit sendiri atau uang yang diperoleh dari perjanjian dengan pihak ketiga (dalam hal ini asuransi), merupakan hak dari setiap ahli waris yang dalam ketentuan Islam diperbolehkan dan tidak ada halangan baginya untuk mewarisi harta si mayit seperti budak, pembunuh, atau perbedaan agama yang telah diatur dalam ajaran Islam. Pencairan dana klaim oleh ahli waris dapat dijadikan sebagai harta warisan dan dapat dibagikan kepada yang berhak, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
77 Ahmad Al Basyuni, Tarjamah Qabasaat ., 187 segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit baik berupa harta atau hak dapat diwariskan, dan harta atau hak tersebut disebut dengan tirkah. Dan dana santunan kematian yang dicairkan dengan cara mengajukan klaim ini adalah hak setiap ahli waris untuk mendapatkannya. Dana kematian dari pihak takaful adalah hak si mayit yang baru bisa didapatkan ketika kematiannya dapat dipastikan benar atau telah habis masa perjanjiannya. Dan pada saat pembayaran premi berlangsung, uang premi tersebut dikelola oleh pihak asuransi untuk dikembangkan, dan nantinya akan diberikan kepada si mayit bila terjadi klaim. Dana santunan kematian yang diberikan kepada ahli waris yang dicairkan berdasarkan pengajuan klaim, dapat dikategorikan dalam pengertian harta peninggalan si mayit yang termasuk pada penjelasan yang menyatakan tentang benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain benda-benda yang dimaksud disini adalah benda-benda yang sebenarnya merupakan milik atau menjadi hak milik si mayit, namun masih belum diberikan kepada si mayit karena alasan tertentu atau masih dalam masa perjanjian untuk dimanfaatkan orang lain. Yang mana sebenarnya, uang dari pencairan klaim tersebut adalah milik si mayit, namun masih menjadi hak takaful untuk mengelolanya serta tidak mencairkannya sebelum ada klaim dari pihak tertanggung atau pemegang polis. Dan setelah terdapat klaim, baru bisa diserahkan keseluruhan hak milik si mayit sesuai dengan perjanjian. Dana santunan yang diperoleh dari pencairan klaim adalah bentuk dari tanggung jawab penanggung, dalam hal ini asuransi. Dalam buku Bidayatul Mujtahid dijelaskan bahwa jaminan yang diperbolehkan berdasarkan kesepakatan Jumhur ulama adalah jaminan atas harta seseorang yang mana harta tersebut berkaitan dengan jiwa seseorang. Imam Malik juga memperbolehkan adanya jaminan atas kerugian seseorang bila terjadi kematian atas orang yang dijamin, yaitu dengan dalih Bahwa perjanjian dengan jiwa adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pemilik hak, sehingga ia harus menanggung kerugiannya apabila orang yang dijamin tidak ada. 78 Hal tersebut sesuai dengan pertanggungan yang dilakukan oleh pihak takaful, yaitu memberikan jaminan atas harta seseorang yang mengalami musibah kematian, yang mana dalam takaful disebut dengan jaminan yang bersifat membagi kerugian atas finansial peserta. Dan bentuk dari tanggung jawab tersebut diberikan melalui pencairan klaim. Selain itu, biasanya bila terdapat klaim atas kematian pemegang polis, maka akan diberikan pula dana santunan yang bukan dari miliknya sendiri, akan tetapi berasal dari uang tabarru atau uang kebijaksanaan yang diperoleh dari seluruh nasabah Asuransi sebagai uang tolong menolong sebesar 5-14% dari jumlah premi pertama yang dibayarkan. Takaful membedakan antara tabungan peserta dengan tabungan tabarru untuk menghindarkan dari gharar, maisir, atau riba. Untuk uang tolong menolong tersebut selaras dengan tujuan asuransi yang dikemukakan oleh Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir yang menyatakan bahwa Tujuan dari asuransi adalah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta benda milik nasabah, sehingga beban yang berat atas suatu musibah dapat dipikul bersama pihak asuransi. Uang kebijaksanaan atau tabarru ini didapatkan dari para nasabah setiap tahunnya, dan pengambilan uang tabarru dari para nasabah telah diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak saat awal kontrak. Dan karena uang tabarru diperoleh dari uang bagi hasil antara nasabah dan perusahaan asuransi dalam hal ini takaful, serta perolehannya
78 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid [2] (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2007), 585 berdasarkan atas kesepakatan, maka dana santunan yang diberikan dari tabungan tabarru tersebut diperbolehkan karena terhindar dari gharrar, maisir, atau riba. Selain itu, perolehan dana santunan dari tabungan tabarru yang diterapkan pada Perusahaan Asuransi Takaful Indonesia tersebut sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam hal pedoman umum asuransi syariah. Yaitu, tabarru yang diterapkan oleh Takaful bertujuan untuk saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebersihannya dari riba, gharrar, dan maisir. Dana santunan yang diterima dari klaim yang diajukan oleh salah satu ahli waris yang ditunjuk ialah sebuah uang yang dapat diwariskan, karena telah jelas bahwa uang tersebut adalah uang dari perjanjian semasa hidup si mayit yang didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak dan pada dasarnya uang tersebut milik si mayit, namun dipindah alihkan kepada takaful untuk dikelola. Oleh karena itu, dana santunan kematian yang diperoleh dari pencairan klaim diperbolehkan untuk dijadikan harta warisan dan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak mendapatkannya, setelah uang dari pencairan klaim tersebut digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan si mayit hingga si mayit dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan hak untuk ahli waris menuntut penjamin harta si mayit sesuai dengan perjajian yang telah disepakati. Cara pengajuan klaim sangatlah mudah, hanya dengan mengisi blangko klaim serta bukti-bukti tertulis untuk memastikan kebenarannya, misalnya seperti pernyataan Dokter bila orang tersebut meninggal dirumah sakit, pernyataan dari kepolisian bila orang tersebut meninggal karena kecelakaan, atau dari pernyataan saudara-saudaranya dengan mengisi pernyataan pada blangko yang disediakan oleh pihak takaful. Bukti-bukti kematian pemegang polis dibutuhkan perusahaan, agar terdapat kepastian dan kejelasan bila dana santunan kematian tersebut akan dikeluarkan. Selain itu bukti-bukti tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa pemegang polis tersebut telah meninggal dunia dan haknya dapat diberikan kepada ahli waris yang telah ditunjuk, seperti dalam ketentuan yang menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk mewaris salah satunya adalah wafatnya pemberi waris secara hakekat atau menurut hukum. Dari berbagai pernyataan diatas telah jelas adanya, bahwa harta yang ditinggalkan oleh si mayit atau tirkah dalam bentuk klaim diperbolehkan, karena klaim tersebut adalah hak dari ahli waris yang belum ditunaikan atau belum dikeluarkan bila klaim tidak terjadi. Dan klaim itu sendiri telah sejalan dengan pemikiran para Ulama seperti Hanbaliyah, Syafiiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa peninggalan yang berupa hak dapat dijadikan harta warisan, baik itu hak berupa kebendaan atau bukan, sedangkan untuk klaim itu sendiri masuk kedalam suatu hak yang bersifat kebendaan karena hak si mayit untuk mendapatkan dana santunan bila terjadi musibah sesuai dengan perjajian yang telah disepakati oleh pihak Takaful dengan si mayit semasa hidup si mayit. Oleh karena alasan yang telah dipaparkan diatas, dana santunan kematian yang diperoleh dari pencairan klaim dapat dijadikan harta waris, dan posisi dari klaim itu sendiri sama seperti harta yang ditinggalkan si mayit yang termasuk dalam rukun si harta warisan, meskipun sebenarnya yang dimaksud dengan klaim itu sendiri adalah tuntutan yang dijadikan sebagai perantara untuk mencairkan uang sehingga dapat dijadikan sebagai harta peninggalan si mayit atau tirkah. 2. Posisi ahli waris yang tidak tercantum pada kontrak Asuransi Jiwa yang telah ditunjuk oleh pewaris untuk mendapatkan dana klaim dari pihak Takaful Indonesia Seperti yang sedikit disinggung sebelumnya, bahwa untuk setiap nasabah atau pemegang polis yang ingin mencairkan dana kematian, harus mengajukan klaim kepada pihak penanggung dalam hal ini PT. Asuransi Takaful Indonesia agar dicairkan uang yang telah dijanjikan kepada tertanggung semasa hidupnya. Dan pengajuan ini, hanya dapat dilakukan oleh ahli waris yang telah ditunjuk di dalam surat perjanjian atau polis. Hal itu, merupakan langkah antisipasi dari pihak perusahaan, agar tidak ada pihak lain yang tidak dipercaya oleh si mayit untuk mendapatkan manfaat dari Perusahaan Takaful yang berupa dana santunan kematian. Hal ini memang perlu dilakukan agar pemberian dana santunan kematian untuk ahli waris tepat sasaran, sesuai dengan keinginan si mayit di masa hidupnya. Selain itu, penunjukan salah satu dari ahli waris oleh si mayit saat masih hidup merupakan hal yang positif, karena hanya si mayit atau pihak keluargalah yang tahu sifat masing-masing keluarganya. Dan karena itu, penyebutan salah satu pihak untuk mendapatkan dana santunan dari pihak takaful sangatlah baik, untuk memberikan harta si mayit kepadanya dan pengurusan segala sesuatu si mayit hingga masuk liang kubur dan pembagian harta warisnya bisa tepat atau tidak diselewengkan. Selain itu tujuan penunjukan salah satu dari ahli waris sebagai pemegang amanah, supaya dalam membagikan harta waris si mayit kepada seluruh ahli waris yang berhak sesuai dengan ketentuan Islam yaitu tidak terdapat halangan untuk mewarisi harta si mayit tersebut. Pemberian amanah kepada salah seorang ahli waris atau orang lain untuk membagikan harta warisan kepada yang berhak, telah diterapkan sejak dahulu di Indonesia, dengan menunjuk seorang pengacara untuk menyebutkan siapa saja ahli waris yang berhak diatas surat bermaterai agar disampaikan kepada ahli warisnya saat pemberi warisan meninggal dunia. Jadi, sudah tidak asing lagi mengenai penunjukan salah seorang yang dipercaya oleh si mayit atau pemberi warisan untuk memegang amanah dalam membagikan harta warisan kepada ahli waris lain yang berhak. Pada produk Takaful keluarga yang telah dipilih sebagai titik acuan penelitian, memiliki ketentuan bahwa pihak ahli waris yang akan diberikan amanah oleh pihak Takaful berhak atas sejumlah santunan yang dijanjikan oleh Takaful dan telah diketahui serta disepakati pada saat perjanjian awal. Dan dana santunan kematian tersebut merupakan harta warisan yang dapat dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak dan tidak terdapat halangan untuk mewaris. Sedangkan untuk ahli waris yang ditunjuk di dalam polis, hanya sebagai perantara dari takaful untuk memanfaatkan uang tersebut agar dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak mendapatkannya atau disebut dengan ahli waris yang diberi amanah. Pemanfaatan itu mulai dari mengurusi si mayit, membayar hutang si mayit, menunaikan wasiat, sampai membagikan kepada ahli waris yang berhak bila ada sisa harta. Dan yang dimaksud dengan pemberian amanah oleh takaful adalah pemberian kepercayaan kepada orang yang ditunjuk oleh si mayit semasa hidupnya dalam surat perjanjian atau polis untuk membagikan kepada yang berhak setelah kebutuhan dan tanggungan si mayit terpenuhi, bukan sebagai pemilik tunggal atas harta yang dikeluarkan oleh pihak takaful. Jadi jelas adanya, bahwa posisi ahli waris lain dalam kaitannya pada hak untuk mendapatkan harta warisan dari pencairan dana klaim adalah sama, meskipun tidak ditunjuk di dalam polis atau surat perjanjian selama keluarga tersebut memang termasuk kedalam pihak-pihak yang berhak mendapatkan harta waris serta tidak terhalang apapun untuk mewarisi harta tersebut. Ahli waris yang disebut dalam polis, sebagai pemegang amanah dari takaful untuk mendapatkan dana santunan dalam Islam dapat dikenal dengan sebutan wakalah. Yang mana, seorang ahli waris menjadi wakil dari pihak takaful untuk membagikan harta warisan kepada ahli waris lain yang berhak namun tidak tercantum dalam polis. Dan pemberian amanah dari pihak takaful kepada wakil atau ahli waris yang ditunjuk, telah disepakati oleh si mayit pada masa hidupnya sebagai orang yang dipercaya oleh si mayit. Untuk wakalah itu sendiri telah disebutkan di berbagai kitab, yang salah satunya adalah Al Wajiz yang menyebutkan bahwa wakalah adalah penyerahan, seperti wakkalatu amra ilaihi saya menyerahkan urusan kepadanya 79 dan disyariatkan pula dalam surat Al- Kahfi ayat 19 yang berbunyi: ' - - ' = - , '' , , - ' -, , ' - ` - ' , '' - ` - ' + - - . -' ' + - , - , ' ' - - , ' ' - ` - = ' - ` -' - ` - ' ` - = ' - , ' - - - -' , ' ' -' = _ ' + , =- , ' -, - - ' _ ' - - , - - = , - = - - , ) -+' : 19 ( . Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)." Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Jadi, telah jelas bahwasanya ahli waris yang ditunjuk dalam polis adalah orang kepercayaan si mayit yang akan diberi amanah oleh takaful untuk mendapatkan dana
79 Maruf Abdul Jalil, Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007), 731 santunan kematian. Selain itu ahli waris yang ditunjuk bertugas mewakili takaful sebagai pihak penanggung untuk membagikan harta tersebut kepada ahli waris yang berhak apabila terdapat sisa dari kebutuhan si mayit, mulai mengkafani hingga masuk dalam liang kubur, membayar hutang dan menunaikan wasiat si mayit bila ada. Perwakilan yang diberikan pihak Takaful kepada ahli waris yang telah direkomendasikan pemegang polis pada masa hidupnya, adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam karena seperti yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab Fiqih bahwasanya kaum muslimin sepakat adanya wakalah. Hal itu disebabkan karena bentuk dari wakalah tersebut dapat dikategorikan dalam taawun atau tolong- menolong yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dan untuk pemberian perwakilan kepada ahli waris dalam membagikan dana santunan dari Takaful adalah kegiatan dalam rangka kebaikan dan menjalankan keinginan si mayit atau peserta yang telah meninggal, karena telah membantu Takaful dalam meringankan tanggung jawabnya. Namun, terdapat kekurangan dalam hal penyebutan ahli waris yang akan diberi amanah oleh takaful untuk mendapatkan dana santunan kematian tersebut, dan kekurangan dari penyebutan salah satu ahli waris dan keluarga adalah apabila ahli waris yang ditunjuk atau saudara yang ditunjuk lupa atau bahkan menghiraukan hal-hal seperti uang perjanjian yang menjadi hak ahli waris karena masih dalam keadaan berkabung, maka uang itu tidak akan dapat dicairkan dan secara otomatis tidak dapat dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Padahal seperti yang telah dikemukakan oleh pihak takaful bahwa pencairan dana klaim hanya dapat dilaksanakan paling lambat enam bulan ( 6 bulan) terhitung dari peristiwa kematian.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari berbagai uraian yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Segala peninggalan yang berupa hak dapat dijadikan harta warisan, baik itu hak berupa kebendaan atau bukan, sedangkan untuk klaim itu sendiri masuk kedalam suatu hak yang bersifat kebendaan karena hak si mayit untuk mendapatkan dana santunan bila terjadi musibah sesuai dengan perjajian yang telah disepakati oleh pihak Takaful dengan si mayit semasa hidup si mayit. Pencairan dana klaim oleh ahli waris dapat dijadikan sebagai harta warisan dan dapat dibagikan kepada yang berhak, karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayit baik berupa harta atau hak dapat diwariskan, dan harta atau hak tersebut disebut dengan tirkah. Dan dana santunan kematian yang dicairkan dengan cara mengajukan klaim ini adalah hak setiap ahli waris untuk mendapatkannya. Oleh karena uang tersebut adalah uang santunan yang ditujukan untuk si mayit, maka uang tersebut akan menjadi hak ahli waris untuk mendapatkannya apabila segala kebutuhan si mayit, baik itu untuk mengurusi jenazah hingga masuk dalam liang kubur, hutang yang belum terbayar, dan wasiat yang harus ditunaikan. Dan dana santunan kematian yang diperoleh dari klaim dapat dijadikan sebagai tirkah, karena di dalam tirkah terdapat ketentuan yang membolehkan adanya warisan terhadap harta perjanjian atau pertanggungan, karena pada dasarnya uang tersebut adalah hak ahli waris yang telah sah menurut Islam (perjanjian yang dilakukan berdasarkan kerelaan, tanpa adanya penipuan). Selain itu pencairan dana klaim tersebut diperbolehkan untuk dijadikan sebagai tirkah yang akan digunakan untuk mengurusi si mayit dan dijadikan harta warisan bila terdapat sisa, karena klaim tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dari pihak penanggung atas perjanjian yang telah disepakati. Dan jaminan atas harta bila terjadi musibah kematian atas jiwa seseorang diperbolehkan oleh Jumhur ulama. Jadi klaim tersebut adalah harta si mayit yang dapat dikategorikan ke dalam tirkah. 2. Untuk posisi ahli waris lain yang tidak ditunjuk dalam Polis adalah memiliki hak yang sama dalam masalah harta peninggalan yang berupa dana santunan kematian yang dicairkan melalui pengajuan klaim, karena pihak ahli waris yang ditunjuk hanya sebagai pemegang amanah dari pihak takaful untuk mendapatkan dana santunan dari Takaful. Dan untuk pemberian amanah dalam membagikan dana santunan tersebut kepada ahli waris yang berhak bila terdapat sisa dari kebutuhan si mayit, dapat juga disebut sebagai wakil dari Takaful atas rekomendasi dari si mayit di masa hidupnya. B. Saran 1. Dana santuna kematian yang hanya dapat dicairkan dengan pengajuan klaim diharapkan untuk diperpanjang waktu pengajuannya dari hari kejadian, mengingat akan terlupanya ahli waris untuk mencairkannya karena dalam keadaan berkabung. 2. Perlu adanya pengurus disetiap wilayah dalam memfasilitasi pengajuan klaim, untuk mencari tahu atau mendeteksi kondisi pemegang Polis terutama yang usianya sudah udzur, agar tidak ada yang merasa dirugikan karena tidak mendapat uang santunan akibat keterlambatan mengajukan klaim. 3. Perlu adanya penjelasan kepada ahli waris yang ditunjuk tentang posisinya sebagai pemegang amanah untuk membagikan, karena seperti yang penulis ketahui bahwa yang mengetahui masalah pemberian amanah untuk membagikan hanya pembuat perjanjian atau pemegang Polis saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Hasymi, dkk. 1996. Kamus Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara.
Ali, Hasan. 2004. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Terjamah Mukhtashar Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al Basyuni, Ahmad. 1994. Tarjamah Qabasaat min as Sunnah an Nabawiyyah. Bandung: Trigenda Karya.