You are on page 1of 6

13 Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Korupsi di Masyarakat

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kkorupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbedabeda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain 1. Kualitas moral dan kualitas karakter manusdia yang buruk sehingga mudah tergoda oleh kemewahan korupsi 2. Perilaku hidup mewah dan hedonisme dengan mengabaikan moral dan agama adalah jalan masuknya bibit korupsi seorang manusia 3. Modal sangat besar yang dikeluarkan saat menjabat menjadi walikota, gubernur atau presiden. Saat menjabat modal yang besar tersebut sering dikalkulasdikan untuk menggantinya saat menjabat. 4. Lemahnya penegakkan hukum, baik sistem yang ada dan personil pelaku penegakkan hukum baik polisi, jaksa dan hakim 5. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. 6. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. 7. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. 8. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye 9. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah 10. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Kekuatan politik sangat tergantung dengan penyimpangan korupsi. Bila ini terjadi kekuatan politik itu dapat bargaining yang kuat untuk mempengaruhi sistem hukum

yang ada di Indonesia 11. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. 12. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik. 13. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan teman lama. Supported By :
Breaking News Written by Siswoyo on Tuesday, 06 July 2010 03:44 P.SIDIMPUAN (Waspada): Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumatera Utara menyebutkan, ada tiga aspek penyebab terjadinya korupsi di Indonesia. Yakni aspek manusia, institusi atau sistem administrasi pemerintahan dan sosial budaya. Anggiat Hutagaol dan Kasmual dari BPKP Sumut mengungkapkan itu saat menjadi narasumber pada sosialisasi program anti korupsi bersama Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi UKM dan Pasar Daerah Pemko Padangsidimpuan di aula Hotel Bumi Asih, Senin (5/7). Dijelaskan, aspek manusia sangat besar peranannya dalam menyebabkan terjadinya korupsi. Karena sedikitnya ada enam faktor pendukung terjadinya korupsi pada diri manusia. Yakni faktor serakah, egois, tidak kuat terhadap godaan, gaya hidup yang konsumtif, moral atau integritas diri yang rendah, dan tidak taat pada ajaran agama. Aspek institusi atau sistem administrasi pemerintahan juga berperan besar dalam penyebab terjadinya korupsi. Hal ini diakibatkan pemerintah tidak memiliki standar operasi (SOP) yang jelas terhadap pelayanan publik. Kemudian kurang dalam keterbukaan informasi. Aspek sosial budaya merupakan aspek ketiga penyebab terjadinya korupsi. Hal ini akibat adanya kesalahkaprahan terhadap konsep rezeki, yakni menganggap sesuatu yang salah itu sebagai hal yang wajar. Terlalu memberi penghargaan berlebih kepada seseorang yang punya harta banyak, padahal tidak jelas asal usul harta tersebut. Kemudian sistem sosial yang tidak mengenal batasan tegas antara milik pribadi dan fasilitas negara. BPKP mengidentifikasi sejumlah tanda-tanda telah terjadinya korupsi di pemerintahan, masyarakat dan swasta. Yakni terjadinya kontrak kerja panjang tanpa adanya evaluasi, gaya hidup pejabat yang konsumtif dan mewah, proses pekerjaannya dari awal sampai akhir dikerjakan seseorang tertentu. Tidak adanya lagi ketaatan terhadap aturan, memindahkan kesalahannya ke pihak lain, mendorong dihapuskannya kebijakan, memiliki hubungan yang tidak wajar dengan rekanan. Kemudian terjadinya indikasi suap untuk mendapatkan sesuatu, adanya perlakuan istimewa terhadap rekanan tertentu, menerima hadiah dari sesuatu perjanjian atau pekerjaan. (a20)

Sunday, December 2, 2007


KORUPSI: Sebab dan Akibat

Oleh. Paul SinlaEloE*)


Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan oleh kebanyakan pakar diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat. Sejarawan Onghokham (1983) menyebutkan korupsi telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok. Secara lebih konkrit, Eep Saefulloh Fatah (1998), menegaskan bahwa di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, telah ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi. Korupsi secara leksikal adalah istilah dari bahasa latin, yakni Corruptio/Corruptus yang berari kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 1984). Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni Corruption dan bahasa Belanda, yaitu Corruptie untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986). Istilah korupsi ini kemudian oleh para ahli dirumuskan definisinya sesuai dengan latar belakang dari dari yang merumuskan definisi tersebut. Walaupun sekarang ditemui banyak definisi korupsi yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batas-batas yang dibuat oleh hukum. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, Mochtar Masoed (1994) berpendapat bahwa tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadangkadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dari pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, Adji (1996) berpendapat bahwa pengertian korupsi seharusnya tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti

bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya. Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. (KBBI, 1995). Secara yuridis, sebagimana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi dipersempit artinya menjadi: Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam perkembangannya, korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang setiap negara di dunia. Korupsi kini sudah menjadi ancaman serius yang membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan sudah seharusnya tindakan korupsi digolongkan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. (Romli Atmasasmita, 2001). Sarah Lery Mboeik (2004), berpendapat bahwa tindakan korupsi telah berakibat pada disharmoni dan disintegrasi bangsa, baik berdasarkan kelompok/golongan atau berdasarkanetnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan masyarakat. Akibat lain yang ditimbulkan dari suatu tindak korupsi adalah ketidakstabilan pemerintahan, terjadinya revolusi sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial budaya (J. S. Nye, 1967). Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara, rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik. Sedangkan menurt mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim. Pada konteks Indonesia, S. Anawary (2005), berpendapat bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana menggerogoti batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Gadrida Rosdiana Djukana (2007), tindak korupsi di Indonesia juga telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas. Dampak atau akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, tindakan korupsi juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara, Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para koruptor. Ketiga, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan

masyarakat, sehingga proses pembangunan berkelanjutan terhambat. Sedangkan dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya. Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar UPETI atau BIAYA SILUMAN sejak masa perijinan sampai produksi. Khusus untuk biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya operasional perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik modal/pengusaha tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya mereka menekan upah buruh. Ketiga, Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan politik. Realitas seperti ini mebabkan sektor usaha yang berkembang hanya di sektor elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang. Keempat, Produk petani tidak mampu bersaing. Tingginya biaya siluman juga mengakibatkan harga-harga faktor produksi pertanian (Pupuk, Pestisida, Alat Mekanik, dll) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan produk impor. Keseluruhan dampak dari tindakan korupsi yang telah dipaparkan diatas, dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi karena dua hal, yakni: Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb. Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll. Dengan pemahaman seperti ini, maka dari aspek kriminologi korupsi akan terjadi sesuai dengan rumus sebagai berikut: C=I+M (Ket: C=Corruption/Korupsi, I=Intention/Niat, M=Moment/Kesempatan). Rumus yang demikian pada dasarnya menunjukan bahwa apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada/terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi. Berkaitan dengan itu, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi, M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan, A=Accountability/pertanggungjawaban). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi. Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: Pertma, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah. Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, berBangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca : Para Pemegang Kebijakan). *) Staff Div. Anti Korupsi PIAR NTT.

You might also like