You are on page 1of 4

Karya Sastra Menurut Teori Abams

Posted by fatchulfkip on March 9, 2008 Dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971), Abrams mengetengahkan teori Universenya. Melalui teori Universe itu, kita mengetahui bahwa : pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca). Berkenaan dengan teori Universe itu, dia mengatakan:Four elements in the total situation of a work of art are discriminated and made salient, by one or another synonym, in almost all theories which aim to be comprehensive. First, there is the work, the artist product itself. And since this is a human product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and feelings, material things and events, or super-sensible essences, has frequently been denoted by that word-all-work, nature; but let us use the more neutral and comprehensive term, universe, instead. For the final element we have the audience : the listeners, spectators, or readers to whom the work of art is addressed (Abrams, l971 : 6).Berdasar teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang : (a) ekspresif, (b) mimetik, (c) pragmatis dan (d) obyektif. Cara pandang terhadap karya sastra semacam itu, lebih lanjut, dijelaskan oleh Leary Lewis bahwa dalam memahami atau menelaah karya sastra bisa difokuskan pada : (a) pengarang bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, (b) hubungan antara karya sastra dan universe yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mimetik, (c) efek karya sastra terhadap pembaca bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis, dan (d) karya sastra sebagai karya yang otonom, sebagai artifak yang bisa dikenali ciri-ciri strukturnya bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan obyektif (Lewis, 1976 : 46). Empat sudut pandang itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Sudut Pandang EkspresifSecara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.Dengan demikian, menurut

Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya (1976 : 46).Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan.

Dalam kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni : daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, bila dia mampu memperlihatkan dan dan pilihan-pilihan dari

masalah-masalah,

alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan itu, mungkin saja, dia , dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu realitas baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Esten, 1978 : 9-10).Karena karya sastra (seni) dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran,

kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra (seni) itu. Karena sifatnya yang kreatifimaginatif, karya sastra (seni) menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra, novel, misalnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, karya sastra dicipta dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: lart pour lart yang dalam bahasa Inggrisnya art for arts sake yang berarti seni untuk seni. Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai dirinya sendiri

sebab ia mampu berdiri sendiri (self-sufficient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l998). Sudut Pandang MimetikSecara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni), sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan demikian karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia. Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada dasarnya tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam dialognya dengan Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra) merupakan tiruan (imitation). Tiruan merupakan istilah relasional, yang menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable) dan tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya. Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-ide abadi dan ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas), (b) adanya refleksi dari ide abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya refleksi dari kategori kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air dan cermin dan karya-karya seni ( Abrams, l971 : 8). Sudut Pandang PragmatisPandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini menggeser doktrin seni (hanya) untuk seni sebagaimana terurai di atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya. Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai model kehidupan manusia, betatapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau

sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan. Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita

You might also like