You are on page 1of 94

DAFTAR ISI

BAB I MENAGIH KEBERPIHAKAN GUNUNGKIDUL SOSIAL DALAM PROSES KEBIJAKAN DI


1 1

Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah CATATAN PEMBUKA TUJUAN DAN TARGET ACTION RESEARCH KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN SOSIAL SEBAGAI ISU STRATEGIS KEBIJAKAN Memahami Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial Keterkaitan kemiskinan dan ketimpangan Sosial dengan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan MENDESAIN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Substansi Kebijakan: Dekomodifikasi-Stratifikasi dan Input-Ouput Infrastruktur Kebijakan: Struktur Sosial yang Demokratis Proses Kebijakan: Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Demokratis Instrumen Kebijakan: Desain Kelembagaan dan Anggaran MENARIK PELAJARAN DARI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN METODE PENELITIAN ALUR ARGUMEN BAB II MASALAH KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah LANSKAP KEMISKINAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL LANSKAP KETIMPANGAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB III ORIENTASI SUBTANSI KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL
20 23 26 26 20 20 1 3 4 5 6 8 9 12 15 15 16 17

Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah ORIENTASI PROGRAM GUNUNGKIDUL PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
26 28

PROBLEMA ORIENTASI SUBSTANSI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI GUNUNGKIDUL BAB IV DINAMIKA GOVERNANCE DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI GUNUNGKIDUL Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A. DERAJAT TRANSPARANSI DERAJAT PARTISIPASI
DERAJAT AKUNTABILITAS DERAJAT KESETARAAN

33 33

34 38 41 43 44 44

BAB V INSTRUMEN KELEMBAGAAN SIMPUL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI GUNUNGKIDUL (1) Hasrul Hanif MENGHADIRKAN TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL PROBLEMA KINERJA TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL Desain dan Kapasitas Kelembagaan Daya Dukung Kelembagaan BAB VI INSTRUMEN ANGGARAN GUNUNGKIDUL (2) SOSIAL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI

44 48 48 49 51 51

Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A. VISI DAN ORIENTASI SOSIAL DALAM RENCANA STRATEGIS SKETSA ANGGARAN SOSIAL Pendapatan
51 55 56

Rendahnya Kemandirian Fiskal Ironi Kaum Miskin (masih) Sebagai Penyumbang Terbesar

56 57 60 60 60 62 66 69 73 73 73 74 74 75 76 77 78 81 81

Belanja
Realisasi Belanja (Masih) Besarnya Belanja Tidak Langsung Orientasi Belanja Urusan Pendidikan Orientasi Belanja Urusan Kesehatan Orientasi Belanja Urusan Ekonomi Orientasi Belanja dalam Peningkatan Akses Masyarakat dalam Pengarusutamaan Gender

1. Peningkatan Angka Melek Huruf


2. Angka Lama Sekolah 3. Perluasan Kesempatan Kerja 4. Peningkatan Usia Harapan Hidup 5. Penguatan Pengarusutamaan Gender (PUG) 6. Pengurangan Angka kematian Ibu 7. Pengurangan Angka Kematian Anak Efisiensi dan Kepatuhan Belanja APBD

BAB VII REKOMENDASI KEBIJAKAN Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati, Wasingatu Zakiyah DAFTAR PUSTAKA

BAB I MENAGIH KEBERPIHAKAN SOSIAL DALAM PROSES KEBIJAKAN DI GUNUNGKIDUL


Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah

CATATAN PEMBUKA

memenuhi hak-hak dasar warganegara dan melindungi komunitas-komunitas yang tidak diuntungkan (disadvantages), merupakan sebuah keharusan dalam mengelola urusan publik. Hal ini sangatlah wajar mengingat salah satu basis legitimasi politik bagi sebuah rejim yang berkuasa, baik Pemerintah maupun pemerintah daerah, adalah kemampuannya menyediakan kesejahteraan bagi seluruh warganegara tanpa pengecualian dan mengurangi segala hal yang bisa menyebabkan kesenjangan sosial, termasuk di dalamnya kemiskinan dan diskriminasi berbasis gender. Terlebih, pada aras global, kesepakatan membuana yang tertuang dalam Millineum Development Goals (MDGs) kembali menegaskan akan pentingnya mengurangi kemiskinan sekaligus mengarusutamakan gender- sebagai agenda salah satu agenda global yang tidak bisa diabaikan. 1 Dalam konteks tersebut, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kemudian menjadi area yang menarik untuk mengkaji bagaimana pelembagaan komitmen dan keberpihakan sosial dari tata pemerintahan daerah yang ada, terutama pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dan menguatnya MDGs sebagai diskursus global. Setidaknya ada

danya komitmen sosial, yang menegaskan sebuah keberpihakan proses kebijakan yang dikelola dalam sebuah tatakelola pemerintahan daerah yang ada terhadap upaya

Argumentasi bab ini ditulis berdasarkan poin-poin diskusi Hasrul Hanif dan Wasingatu Zakiyah. Dikembangkan dan

dinarasikan melalui pengayaan subtansi oleh Hasrul Hanif.


1

MDGs merupakan target global yang relatif ambisius yang didorong oleh PBB dan kemudian diamini oleh banyak

negara di dunia- dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan memlaui pencapaian beberapa target (goals) penting pada maksimal tahun 2015, yaitu: (1) Menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) mencapai pendidikan dasar universal, (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) mengurangi kematian anak-anak, (5) memperbaiki kesehatan ibu hamil, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, TBC dan penyakit lainnya, (7) menjamin keberlanjutan lingkungan, (8) membangun kerjasama global untuk pembangunan.lihat http://www.undp.or.id/mdg/targets.asp. Diunduh 20 mei 2010.

beberapa alasan mendasar, yaitu: (1) Gunung Kidul, selama ini, menjadi salah satu daerah di propinsi DIY yang masih dihadapkan dengan masalah kesejahteraan sosial yang masih cenderung rendah. Karakter topografi wilayah, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia, dan sederet alasan lainnya menjadi rangkaian penyebab masih kuatnya persoalan kemiskinan dan ketimpangan di daerah yang berada di selatan Pulau Jawa ini, (2) Karena kondisi tersebut, Gunung Kidul, setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir ini, kemudian menjadi salah satu etalase penting dari berbagai program peningkatan kesejahteraan sosial sekaligus penanggulangan kemiskinan, baik yang berasal dari dana Pemerintah maupun pemerintah daerah atau yang didanai oleh lembaga-lembaga donor internasional yang dikelola oleh berbagai organisasi non pemerintah (ORNOP) maupun dana masyarakat yang terserap pada organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang ada. Dari pengalaman Kabupaten Gunung Kidul, kita akan berusaha menarik pelajaran (lesson drawing) tentang desain kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial dan, secara secara lebih khusus, penanggulangan kemiskinan. Lebih jauh, kita juga akan mencoba mengidentifikasi seberapa jauh berbagai kebijakan yang ada mampu mengarusutamakan penanggulangan kemiskinan responsif gender. Hal ini menjadi penting dikarenakan perempuan merupakan salah satu komunitas yang paling sering tidak diuntungkan oleh berbagai dampak kebijakan yang ada selama ini. Selain itu, pengalaman empiris menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai proses kebijakan,terutama dalam pembuatan kebijakan (policy-making), memberikan warna sendiri terhadap opsi-opsi atau prioritas kebijakan yang ada. Oleh karena itu, aksi afirmatif dibutuhkan untuk memastikan keterlibatan perempuan secara optimal dan mendorong kebijakan responsif gender dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Dengan demikian, kajian ini berusaha untuk mendalami lebih jauh berbagai proses kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Tentu saja, studi ini tidak hanya bermaksud menelusuri bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul semata. Lebih jauh, kajian ini akan melihat aspek instrumentatif penting dalam proses kebijakan, yaitu: Pertama, desain kelembagaan. Studi ini akan, secara khusus, akan melihat bagaimana desain kelembagaan dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan di kabupaten Gunung Kidul terlebih ketika ada banyak program penanggulangan kemiskinan yang ditelorkan baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun institusi-institusi lainnya. Kedua, anggaran dan proses penganggaran. Hal menarik lainnya yang akan dikaji juga dalam penelitian ini adalah sejauh mana proses serta subtansi (baca: isi) perencanaan dan penganggaran

daerah yang ada di Kabupaten Gunung Kidul tidak hanya mampu didorong untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat miskin tapi juga dikelola secara partisipatif dengan melibatkan publik secara luas (pro-poor & participatory planning and budgeting).

TUJUAN DAN TARGET ACTION RESEARCH

Kajian ini, pada dasarnya, merupakan action research yang diharapkan menjadi salah satu basis penting bagi proses advokasi kebijakan di Gunungkidul. memiliki tujuan akhir untuk dua hal mendasar: (1) mengoptimalkan strategi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan yang responsif gender dalam perencanaan dan penganggaran daerah, (2) mendorong Pemerintah Daerah Gunung Kidul agar memiliki sensitifitas dan komitmen yang sangat kuat terhadap upaya-upaya penanggulangan kemiskinan secara partisipatif melalui pelembagaan komitmen tersebut di dalam: a) berbagai rencana strategis yang ada, b) proses pembuatan kebijakan (policy-making) serta c) subtansi dan proses perencanaan dan penganggaran daerah. Oleh karena itu, kajian ini berusaha untuk mengidentifikasi masalah, peluang, tantangan dalam rangka pengarusutamaan responsif gender serta upaya penguatan komitmen pemerintah daerah dalam proses kebijakan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Harapannya, dari kajian ini bisa dirumuskan acuan penting (benchmark) dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan yang responsif gender di berbagai daerah dengan rambu-rambu (milestone) yang jelas. Dengan kata lain, proses pelembagaan acuan utama ini nantinya tidak hanya didapat melalui pemahaman yang bagus terhadap konteks kebijakan semata (endogenous learning) melainkan juga lahir dari berbagai upaya untuk mendorong secara kuat proses pembelajaran antar daerah secara horizontal (horizontal learning) atau bukan sekedar replikasi kebijakan (exogenous learning). Tentu saja, upaya menemukan acuan utama tersebut membutuhkan adanya desain kebijakan yang betul-betul lahir dari pengalaman empiris yang ada (evidance-based policy). Agar perumusan kebijakan berbasis bukti tersebut bisa dihadirkan maka kajian ini secara khusus berusaha untuk: Memahami masalah kemiskinan dan ketimpangan serta desain kebijakan yang berusaha untuk merespon pelbagai masalah tersebut di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Memahami lebih jauh bagaimana pola interaksi aktor-aktor dan derajat tata kelola pemerintahan (governance) di Kabupaten Gunungkidul, propinsi DIY, sebagai ruang interaksi kebijakan.

Menakar kapasitas dan orientasi instrumen kebijakan pada dua instrumen kebijakan yang sangat penting, berupa desain kelembagaan dan anggaran, dengan: Menakar kapasitas kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) kabupaten Gunung Kidul, dalam melakukan fungsi koordinasi terhadap berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Mengkaji proses institusionalisasi komitmen dan orientasi pemerintah daerah terhadap penanggulangan kemiskinan dengan mendalami visi perencanaan dan subtansi penganggaran daerah di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY.

Dari berbagai tujuan tersebut setidaknya ada dua keluaran atau hasil (output) dari kajian ini: Identifikasi dan pemetaan tentang persoalan-persoalan pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan yang responsif gender serta pelembagaan orientasi dan komitmen pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan melalui proses perencanaan dan penganggaran di kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Rekomendasi strategi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan responsif gender dan pelembagaan orientasi dan komitmen pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN SOSIAL SEBAGAI ISU STRATEGIS KEBIJAKAN

Sebagaimana kita sudah mafhum, dalam proses kebijakan, kemiskinan dan ketimpangan merupakan salah satu masalah sosial yang dianggap sebagai isu strategis sehingga menjadi mendesak untuk diselesaikan. Setidaknya ada beberapa alasan mendasar yang bisa menjustifikasi hal tersebut: Kemiskinan dan ketimpangan memiliki dampak spillover yang sangat luas. Kemiskinan berpotensi memberikan dampak-dampak ikutan berantai seperti deprivasi sosial, kesenjangan sosial, hingga munculnya ketidakstabilan sosial, dsb, apabila tidak diselesaikan secara baik.

Kemiskinan dan ketimpangan memiliki critical point penyelesaian masalah. Karena efeknya yang berantai maka penyelesaian masalah kemiskinan dan ketimpangan justru akan menyelesaikan banyak masalah ikutan lainnya pula. Kemiskinan dan ketimpangan menyita kehirauan (concern) publik. Kemiskinan dan ketimpangan, hingga saat ini menjadi kehirauan publik yang sangat kuat dalam rejim politik manapun dan apapun. Isu ini selalu muncul dalam setiap level tata pemerintahan dan berulang setiap periode. Kemiskinan dan ketimpangan melibatkan mobilisasi sumberdaya publik yang sangat luas. Dalam bab-bab berikutnya, penulis akan menjelaskan lebih jauh bahwa upaya merespon isu kemiskinan dan ketimpangan membutuhkan pendayagunaan sumberdaya publik yang berlapis, mulai dari penyiapan infrastruktur kebijakan, penataan ulang pola relasi aktor dalam local governance, hingga penyiapan instrumen kebijakan seperti desain kelembagaan dan anggaran. Namun sebelum lebih jauh melakukan analisa terhadap kebijakan penanggulangan

kemiskinan, alangkah baiknya bila kita berusaha untuk menemukan pemahaman yang sama tentang apa itu kemiskinan dan ketimpangan sosial serta apa kaitannya dengan aspek-aspek sosial lainnya.

Memahami Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial

Pendefinisian tentang kemiskinan sangat erat dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang disebutkan miskin pada dasarnya merupakan orang yang memiliki kekurangan sumberdaya-sumberdaya material ketika akan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial yang ada atau seseorang yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan atau standar hidup yang layak menurut lingkungan dia tinggal. Dengan kata lain, gagal untuk bisa terlibat dalam aktivitas normal dan memperoleh keuntungan dikarenakan oleh ketidakcukupan sumberdaya material. Oleh karena itu, mendefinisikan kemiskinan akan sangat terkait dengan dua indikator penting: (1) individu tersebut semestinya berapa dalam level konsumsi dan standar hidup yang abnormal, (2) kondisi tersebut disebabkan oleh kekurangan akses terhadap sumberdaya-sumberdaya material (Lyntastad, Keilman,Bojer & Thomsen, 1997: 14-15). Hal yang menarik untuk dicatat lebih jauh adalah proses kemiskinan ini tidak terjadi hanya semata-mata pada individu semata melainkan komunitas. Dengan kata lain ada kondisi kultural

dan struktural yang kemudian menempatkan seseorang menjadi miskin dikarenakan dirinya menjadi bagian dari sebuah komunitas. Ada proses marjinalisasi secara ekonomi, sosial dan budaya pada sebuah komunitas yang kemudian membuat individu yang menjadi bagian dari komunitas tersebut mengalami proses kemiskinan (lihat Kymlicka, 1995). Robert Chambers (dalam Soetrisno, 1999:19) menjelaskan bahwa kemiskinan bisa dilihat dari jebakan kekurangan (deprivation trap) atau ketidakberuntungan yang melilit seseorang atau sebuah komunitas, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Dua hal yang terakhir dianggap sebagai faktor struktural yang turut menyumbang paling banyak terhadap penyebab kemiskinan. Sedangkan ketimpangan sendiri lebih merupakan bentuk ketidaksetaraan distribusi atas kesempatan, penghargaan dan kekuasaan diantara individu, rumah tangga, dan kelompokkelompok sosial yang ada. Oleh karena itu ketimpangan sosial dengan gamblang bisa dilihat dalam dua bentuk alokasi yang berbeda siapa mendapatkan apa (ketidaksetaraan dalam dampak) dan siapa melakukan apa (ketidaksetaraan dalam kesempatan)- melalui empat tingkatan sosial yang berbeda (individu, kelompok, organisasi dan institusi) (Manza, 2006: 286-287). Secara konkrit, para pembuat kebijakan biasanya lebih memfokuskan pada ketimpangan distribusi pendapatan yang dilihat dari dua hal berikut ini: Pertama, distribusi pendapatan personal atau distribusi ukuran pendapatan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan darimana sumber penghasilan tersebut. Kedua, distribusi pendapatan fungsional.ukuran ini berfokus pada bagian pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tnaha, tenaga kerja dan modal). Kritik terhadap cara pikir ini muncul karena ketika mengukur distribusi pendapatan fungsional, kita sering mengabaikan hal-hal di luar faktor produksi seperti faktor politik, lobi pemilik modal, dsb. (Todaro & Smith, 2008: 234,240,242).

Keterkaitan Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial dengan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan

Hal yang menarik adalah ketika Amartya Sen (1999: bab IV) menegaskan bahwa inti dari kemiskinan adalah bukan rendahnya pendapatan semata melainkan persoalan kekurangan kapabilitas (capability deprivation) atau hilangnya kapasitas untuk keluar dari belenggu kemiskinan

yang bersifat struktural. Kekurangan kapabilitas ini bisa dilihat dari beberapa hal penting berikut ini: (1) Kurangnya kapasitas kekuasaan. Dalam konteks ini orang menjadi miskin karena sumberdaya kekuasaan sama sekali tidak dimiliki oleh mereka sehingga tidak memiliki posisi tawar dan akses untuk terlibat dalam proses kebijakan publik yang justru seringkali memberikan dampak negatif atau positif terhadap mereka, (2) Kurangnya kesempatan. Seseorang atau sebuah komunitas menjadi miskin dikarenakan tidak ada kesempatan untuk pengembangan diri, (3) Kurangnya rasa aman dan jaminan sosial. Seseorang menjadi miskin dikarenakan tidak terpenuhinya pemenuhan-pemenuhan dasar dalam dirinya secara sosial, seperti rasa aman dan jaminan sosial dalam ketidakpastian, dsb. Intinya, untuk dapat memahami konsep kesejahteraan manusia secara umum, dan kemiskinan secara khusus, kita harus berpikir lebih dari sekedar ketersediaan komoditaskomoditas dan memperhatikan kegunaannya melainkan manfaat yang bisa dihasilkan oleh seseorang pada sebuah komoditas dengan karakteristik-karakteristik tertentu yang dimiliki atau dikendalikan oleh orang tersebut, atau bisa kita sebut sebagai kemampuan memfungsikan (functioning). Misalnya, sebuah buku seberapapun mahal harganya tetap tidak akan bermanfaat bagi orang buta huruf. Kebebasan memilih, atau kontrol yang dimiliki oleh seseorang terhadap hidupnya sendiri adalah aspek utama dalam memahami kesejahteraan secara mendalam (Todaro & Smith, 2008:23). Di sinilah urgensi menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar yang tidak bisa dikecualikan menjadi relevan. Pendapatan riil memang menjadi hal penting untuk melihat tingkat kemiskinan individu atau komunitas, namun hal yang terpenting lainnya adalah kapasitas dari individu atau komunitas tersebut untuk mengkonversi karakteristik komoditas tersebut agar berfungsi secara optimal. Kapabilitas untuk memfungsikan komoditas tersebut akan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikan dan kesehatan yang ada. Peran pendidikan dan kesehatan berikisar mulai dari hal-hal yang dasar seperti nutrisi dan energi yang dibutuhkan seseorang,dimana kedua hal tersebut dapat diperoleh secara bebas dari parasit, sampai pada kemampuan tingkat tinggi untuk menghargai kekayaan kehidupan manusia yang dihasilkan oleh pendidikan yang memiliki cakupan luas dan mendalam (ibid: 24).

MENDESAIN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Setelah memahami gambaran tentang kemiskinan serta urgensi kesehatan dan pendidikan dalam proses pemiskinan atau sebaliknya- penciptaan kesejahteraan sosial maka pertanyaan berikutnya adalah gambaran kebijakan seperti apa yang bisa mendorong proses penanggulangan kemiskinan atau penciptaan kesejahteraan sosial bisa tercapai secara maksimal? Sebuah kebijakan pada dasarnya merupakan sebuah upaya sosial untuk melakukan perubahan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja, bayangan tentang kebijakan dalam kajian ini bukan hanya sebagai proses teknokratisme semata -untuk mencari solusi atas masalah- melainkan juga melihatnya sebagai sesuatu yang multi dimensi yang melibatkan interaksi antar para pihak yang memiliki tata nilai dan cara pandang yang beragam. Dengan demikian, sebuah desain kebijakan pada dasarnya merupakan gambaran tentang bagaimana subtansi kebijakan (isi kebijakan) yang dirumuskan berdasarkan nilai,pengetahuan dan pemahaman pembuat kebijakan setelah melalui proses negosiasi para pihak- mampu diejawantahkan dengan memobilisasi sumberdaya atau instrumen-instrumen kebijakan yang ada dalam rangka menciptakan efek-efek perubahan yang diinginkan.

Dari pengertian tersebut setidak ada tiga aspek penting dalam memahami kebijakan, yaitu: Pertama, konteks kebijakan. Yang dimaksud dengan konteks dalam proses kebijakan adalah setting lingkungan sosial, ekonomi dan politik dimana proses kebijakan tersebut berlangsung. Setting ini bisa terkait dengan sistem perubahan sistem politik yang sedang berlangsung dalam proses kebijakan tersebut. Pemahaman akan sistem politik yang sedang berlangsung menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi watak ideologis dan pola hubungan negara dan masyarakat yang sedang berjalan dalam konteks politik tertentu. Kedua, proses kebijakan. Yang dimaksud dengan proses kebijakan di sini adalah indentifikasi aktor yang terlibat dalam proses kebijakan serta pola relasi antar aktor tersebut. Dalam memahami proses kebijakan, kajian ini akan mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan berikut prefrensi, kepentingan atau basis ideologis yang menyertainya. Memahami memahami dimensi konteks dan proses dalam kebijakan merupakan upaya untuk mendalami lebih jauh aspek politis pada sebuah kebijakan. Ketiga, isi kebijakan. Melihat isi atau subtansi proses kebijakan merupakan aktivitas penting yang tidak bisa diabaikan. Urgensi mengkaji dimensi subtansi dalam proses kebijakan adalah untuk menilai keterkaitannya dengan mencakup kaidah-kaidah moralitas publik, kepentingan publik, kaidah ilmu pengetahuan (aspek teknokratis). Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya merupakan proses kebijakan yang sangat hirau dengan beberapa dimensi penting berikut ini:

Subtansi Kebijakan: Dekomodifikasi-Stratifikasi dan Input-Ouput

Bila kita bersepakat dengan penjelasan sebelumnya tentang kemiskinan dan ketimpangan sosial maka kebijakan penanggulangan kemiskinan atau ketimpangan sosial haruslah memastikan dua hal: Pertama, penguatan kapabilitas individu atau komunitas agar mampu memfungsikan komoditas atau pendapatan yang ada secara maksimal. Kedua, memastikan adanya kesetaraan distribusi baik di level individu, rumah tangga dan kelompok sosial maupun diantara level teritorial pemerintahan. Gosta Esping-Andersen (2006: 35-79) menekankan bahwa rejim-rejim politik yang berhasil menghadirkan skema kebijakan kesejahteraan selalu menggunakan dua strategi tersebut secara

10

simultan dengan beragam derajat. Hal tersebut terejawantahkan dalam berbagai kebijakan sosial yang selalu mengekspresikan dua dimensi penting: Pertama, De-komodifikasi. De-komodifikasi merupakan strategi menjadikan barang dan jasa -yang mampu meningkatkan kapabilitas untuk mengfungsikan penghasilan menjadi lebih maksimal- bisa diakses tidak dengan melalui mekanisme pasar atau sebagai komoditas. Dalam hal ini, layanan-layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, air bersih dan sanitasi, bukan sebagai komoditas melainkan barang publik (public goods) yang bisa diakses pengecualian. Kedua, Menata sistem stratifikasi. Kebijakan penanggulangan kemiskinan atau upaya penciptaan kesejahteraan sosial haruslah memastikan adanya penataan ulang tatanan sosial (social order) atau mendorong kebijakan-kebijakan yang bisa meminimalisasi ketimpangan sosial sehingga mampu menciptakan sistem sosial yang lebih setara dan mendorong distribusi dan redistribusi sumberdaya puboik secara merata dan setara. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang ada juga berkepentingan untuk memastikan persebaran sumberdaya material secara merata baik antar individu atau komunitas maupun antar teritorial pemerintahan. Proses ini biasanya didorong melalui dua kebijakan utama, yaitu: (1) kebijakan pajak progresif, (2) redistribusi kekayaan publik antar level pemerintahan baik secara vertikal maupun horizontal- yang bisa dilakukan dengan upaya-upaya untuk mencegah adanya kesenjangan fiskal antar wilayah, seperti taxing power sharing antara Pemerintah dan pemerimtah daerah, dsb. oleh seluruh komunitas atau warga, tanpa

DEKOMODIFIKASI

KEMISKINAN & KETIMPANGAN SOSIAL

INPUT

OUTPUT

KESEJAHTERAAN SOSIAL

KELAS

MENATASISTEM STRATIFIKASI
TERITORIAL

11

Hal terpenting lainnya adalah, dalam setiap sistem kebijakan, selalu ada dua aspek yang tidak bisa dinafikan begitu saja, yaitu: aspek input dan aspek output (Bandingkan Edlund, 2007:49). Dimensi input yang dimaksud adalah kapasitas pembiayaan dalam berbagai kebijakan sosial yang ada. Pembiayaan utama tentu saja berasal dari pajak. Dengan kata lain, selain sebagai instrumen redistribusi, pajak juga menjadi sumber pembiayaan utama. Dalam konteks inilah kebijakan untuk memastikan usia produktif yang ada bekerja dan memberikan kontribusi terhadap pajak menjadi sangat relevan. Dengan kata lain, kapasitas input ini berbasis pada kebijakan full employment, yang ditunjukkan dengan derajat tinggi kelompok masyarakat yang terserap dalam pasar kerja. Negara dalam konteks ini memfasilitas warganya untuk bisa terserap dalam lapangan kerja. Di negara-negara Eropa Utara (Skandinavia) dan Eropa Barat misalnya, salah institusi pemerintah yang paling kuat adalah kantor pelayanan ketenagakerjaan. Keberadaan kantor ini bukan hanya mengkompilasi berbagai kesempatan kerja yang tersedia, namun juga terlibat dalam merancang skema lapangan pekerjaan dan menghubungkan antara angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan yang ada. Bahkan, kantor ketenagakerjaan pada umumnya memiliki data base tentang keahlian para pencari kerja. Kebijakan full employment dengan demikian hanya mungkin jika ada kombinasi antara; kesempatan kerja dengan kapasitas penduduk untuk mengasesnya, dan ditopang oleh kapasitas negara untuk memfasilitasinya. Tidak terpenuhinya salah satu dari aspek-aspek di atas, akan membuat kebijakan full employment gagal diwujudkan (Masudi & Hanif, 2010). Sedangkan aspek ouput yang dibayangkan adalah orientasi kebijakan dan sasaran kebijakan. Orientasi kebijakan yang ada bukan hanya memastikan layanan publik bisa diakses oleh seluruh warganegara melainkan juga berkepentingan untuk mendorong kesetaraan sosial di dalam masyarakat. Sedangkan pada saat yang sama, berbagai program sosial yang ada harus dipastikan ditujukan kepada seluruh warganegara bukan sekedar pada penynadang masalah sosial (PMS) semata.

12

PROSES KEBIJAKAN

INPUT (Pembiayaan) Full employment Perpajakan

OUTPUT (Orientasi & Sasaran ) De-komodifikasi & Penataan strata sosial Seluruh warganegara

Infrastruktur Kebijakan: Struktur Sosial yang Demokratis

Bila kita bersepakat dengan argumen Amartya Sen maka persoalan penanganan kemiskinan kini erat kaitannya dengan persoalan relasi kekuasaan dalam memproduksi dan redistribusi sumberdaya-sumberdaya material yang ada. Persoalan penanganan kemiskinan kini bukan lagi semata sekedar persoalan kapasitas individual semata tapi juga melingkupi bagaimana mentransformasikan kapasitas sistemik (baca: kekuasaan) yang ada agar mampu mendorong proses produksi dan redistribusi kesejahteraan. Tentu saja di dalamnya, mensyaratkan proses penataan ulang hubungan negara-dan warga negara yang lebih setara. Singkat kata, dibutuhkan adanya penataan ulang kekuasaan menjadi kekuasaan yang demokratis dimana terjadi proses kontrol popular terhadap urusan-urusan dan sumberdaya publik yang ada berdasarkan basis kesetaraan politik (bandingkan Beetham, 1999; Santoso, Hanif & Priyono, 2010).

13

NEGARA

STRUKTUR KEKUASAAN
POWER RELATION/ HUBUNGANKE KUASAAN

KEMISKINAN
WARGA

KEMISKINAN STRUKTURAL
PELEM BAGAAN PROSEDUR DEMOKRATISASI STRUKTUR

PENGURANGANKEMISKINAN MENUJUNEGARAKESEJAHTERAAN

Dengan kata lain, dibutuhkan adanya ruang-ruang pemenuhan hak-hak sipil dan politik sebagai sarana (means) sekaligus tujuan (ends) dalam memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial. Berbagai persoalan kemiskinan muncul tidak lepas dari gagalnya menjadikan ide kebebasan (freedom) yang menjadi salah satu esensi penting dalam kehidupan politik yang demokratissebagai bagian instristik dalam ide pembangunan. Lebih jauh kemiskinan muncul karena berbagai kebijakan yang ada gagal menciptakan keamanan sosial (social security) secara demokratis dan keterbukaan. Ketika proses keamanan sosial yang demokratis gagal dikelola maka komunitaskomunitas yang terkena dampak sosial dan budaya dari sebuh kebijakan tidak pernah diberi ruang politik untuk bersuara. Sedangkan ketika keterbukaan tidak pernah ada maka proses kebijakan akan menjadi sangat manipulatif dan elitis. Tidakadanya dua hal pokok tersebut dalam proses kebijakan muncul sebagai akibat dari hilangnya kebebasan -yang merupakan salah satu hak paling asasi dalam diri manusia- sebagai sarana dalam dalam proses kebijakan yang ada. Di sinilah adanya ruang yang demokratis dan kebebasan menjadi prasyarat penting. Ide penanganan kemiskinan tidak akan berhasil tanpa adanya kebebasan setiap warganegara -baik

14

sebagai entitas individu atau menjadi bagian dari entitas kolektif- untuk terlibat dalam proses negosiasi dan konsensus tersebut. Tentu saja kebebasan sendiri juga menjadi media yang sangat dasariah (the principal means) untuk mencapai common interest yang ingin diraih. Dalam proses pembangunan termasuk di dalamnya kebijakan penanganan kemiskinan, amartya Sen (1999) menegaskan bahwa kebebasan memainkan dua peran sekaligus, yaitu: peran peran konstitutif (constitutive role) dan peran instrumental (instrumental role). Kebebasan di satu sisi memainkan peran konstitutif (constitutive role) yang berkaitan dengan pentingnya kebebasan subtantif untuk memperkaya kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan kebebasan subtantif adalah kapabilitas dasar untuk bisa menghindari bentuk-bentuk deprivasi sosial, seperti kelaparan, penyakit endemik, kematian dini sekaligus kemampuan untuk membaca dan menghitung, menikmati keterlibatan dalam partisipasi politik, kebebasan untuk berbicara, dsb. Dengan kata lain, seluruh aktivitas-aktivitas untuk mencapai kesejahteraan sebagai common goods harus dipahami sebagai proses untuk memperluas kebebasan manusia sebagai hasil. Di sisi lain, kebebasan memainkan peran-peran instrumentatif (instrumentative role) yang efektif untuk mendorong adanya progresivitas baik progresivitas ekonomi maupun sosial. Setidaknya ada, menurut Amartya Sen (1999:10), ada lima bentuk kebebasan yang sifatnya instrumentatif , yaitu: (1) kebebasan politik, (2) ketersediaan fasilitas ekonomi, (3) kesempatankesempatan sosial, (4) jaminan transparansi dan (5) keamanan protektif atau jaring pengaman sosial. Lebih jauh, bila kita mendiskusikan peran kebebasan secara instrumentatif, hal ini berarti diskusi ini akan berkaitan dengan sejumlah tipe hak (rights), kesempatan (opportunities), dan pemenuhan (entitlement) yang berbeda-beda yang digunakan untuk memperoleh kebebasan subtantif dan kemajuan (Sen, 1999: 36-37). Tentu saja, dalam hal ini kebebasan yan dimaksud bukanlah kebebasan untuk kebebasan itu sendiri (freedom qua freedom) sebagaimana mimpi-mimpi kaum libertarian serta bukan pula kebebasan yang didominasi oleh mereka yang bisa memperoleh manfaat yang lebih besar. Kebebasan hanya akan bisa diterima sepanjang bisa menjadi kebebasan positif yang mampu memfasilitasi terciptanya nalar publik dan disepakatinya common goods dan menjadi bagian dari pembangunan itu sendiri. Kebebasan sejatinya pula harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sebagai fairness dimana komunitas-komunitas atau anggota masyarakat yang paling tidak beruntung juga menjadi bagian dari proses kebebasan itu sendiri secara setara (bandingkan Sen,2001:44; Rawls, 2004:15).

15

Proses Kebijakan: Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik dan Demokratis

Kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya dikelola melalui interaksi sinergis antar para pihak yang berkepentingan dengan proses kebijakan tersebut. Dengan kata lain, proses kebijakan penanggulangan kemiskinan seyogyanya tidak hanya melibatkan aktor formal pembuat kebijakan semata melainkan juga melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Pelibatan para pihak, terutama pihak-pihak yang akan terkena dampak kebijakan, secara partisipatoris menjadi sangat penting karena, pada hakekatnya mereka lah yang berhak merumuskan dan menentukan masalah mereka serta memastikan solusi yang spesifik melalui mekanisme partisipasi yang ada. Meskipun boleh jadi pemahaman tentang sumber kemiskinan maupun solusinya yang dirumuskan oleh masyarakat sangat berbeda dengan rumusan oleh pembuatan kebijakan formal, namun bagaimana pun suara masyarakat adalah yang paling penting. Sebab yang menjadi concern utama dalam proses kebijakan adalah masalah publik bukan masalah elit. Oleh karena itu: if the problem is ours, the solution must be ours. Interaksi para pihak yang sinergis sekaligus demokratis ini, dalam kenyataan, pada akhirnya justru menguntungkan. Pola-pola partisipasi akan memunculkan sebuah masyarakat yang bisa saling membangun empati dan saling menghargai pendapat yang lain dari dialog yang terbangun terus-menerus serta pemerintahan dan kebijakan yang semakin terpercaya dan mendapat legitimasi di mata publik. Meskipun perlu kehati-hatian akan kemungkinan masih terbuka peluang akan adanya manipulasi dari elemen masyarakat yang yang lebih kompeten dan expert dibandingkan elemen masyarakat lainnya, baik status, pengetahuan dan informasi. kekuasaan, maupun penguasaan

Instrumen Kebijakan: Desain Kelembagaan dan Anggaran

Sebuah kebijakan penanggulangan kemiskinan tentu saja akan gagal di-delivery dengan baik apabila tidak ada instrumen yang yang memadai. Ibarat berperang, sebuha pasukan bukan hanya diharapkan paham taktik dan strategi namun juga memiliki bekal senjata yang memadai. Instrumen menjadi alat penting untuk memastikan tujuan kebijakan tercapai. Beragam tipologi telah dibuat untuk mengidentifikasi instrumen kebijakan yang strategis. Namun dalam kajian ini, akan dilihat dua tipe penting kebijakan, yaitu (Bandingkan dengan Bruijn

16

& Hufen, 1998: 17-19): Pertama, Kelembagaan. Aspek kelembagaan dalam kajian ini tentu saja tidak semata-mata hanya untuk menekankan pada desain organisasi. Lebih jauh kelembagaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah proses pelembagaan tata nilai, pengembangan rule of the game, mekanisme insentif dan disinsentif, dsb yang dikembangkan agar tujuan dalam kebijakan tersebut bisa dicapai. Di dalamnya juga mencakup sistem dan database informasi yang menjadi basis penting bagi perumusan kebijakan. Kedua, anggaran. Anggaran diyakini sebagai instrumen penting yang bersifat non-koersif dan non-regulatif dalam proses kebijakan. Melalui proses alokasi dan distribusi anggaran, sebuah kebijakan diharapkan akan mampu mencapai tujuan yang diinginkan.

MENARIK PELAJARAN DARI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Lalu bagaimana cara kita menarik pelajaran dari kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sudah ada ? Ada beberapa cara untuk menarik pelajaran dari sebuah proses kebijakan dengan menekankan fokus pembelajaran yang berbeda-beda (bandingkan Howlett & Ramesh, 1995: 176177), yaitu:

Instrumental learning. Pendekatan ini menekankan pentingnya kehandalan intervensi


kebijakan atau disain implementasi. Proses evaluasi kebijakan difokuskan pada instrumen kebijakan dan desain implementasi sehingga nantinya mampu menemukan sumber-sumber kegagalan kebijakan, atau perbaikan performance kebijakan dalam mencapai tujuan yg telah ditetapkan.

Social learning. Pendekatan ini lebih hirau dengan konstruksi atau konteks sosial dari suatu
masalah kebijakan. Oleh karena itu proses evaluasi dilakukan dengan fokus pada masalah kebijakan,cakupan kebijakan, pemaknaan ulang tujuan-tujuan kebijakan sehingga diharapkan akan ada perubahan harapan terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang telah dirumuskan, atau perumusan ulang tujuan-tujuan kebijakan.

political learning. Pendekatan ini fokus pada proses politik atau kelayakan politik dalam
proses kebijakan yang ada. Proses evaluasi ini sangat hirau dengan aspek-aspek politik yang ada dalam sebuah proses kebijakan.

17

METODE PENELITIAN

Kajian ini merupakan action research yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatifanalitis. Pilihan terhadap pendekatan kualitatif-analitis sebagai metode penelitian disebabkan oleh tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan fenomena yang lebih mendalam yang lebih mendalam, tafsir subyek (hermeneutik) terhadap sebuah peristiwa dan mendeskripsikan keterkaitan antar setiap peristiwa yang kompleks pada sebuah fenomena daripada sekedar menemukan kausalitas atau korelasi antar variabel. Tentu saja pilihan ini juga sejak awal mengasumsikan subyektifitas sebagai sesuatu hal yang wajar mengingat, pendekatan kualitatif mengandaikan, tidak keterjarakan yang jelas antara pengkaji dan obyek kajian. Fokus kajian penelitian ini adalah berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Lebih khusus, penelitian ini mengkaji berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dihasilkan pemerintah daerah Kabupaten Gunung Kidul sekaligus melihat keterkaitannya dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang dirumuskan oleh Pemerintah dan pemerintah Propinsi DIY. Proses penelusuran data dilakukan melalui triangulasi metode, yaitu: Pertama, desk study dengan fokus pada studi pustaka terhadap berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran serta dokumen kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul. Kedua, expert judgement survey dengan melakukan penilaian terhadap proses governance dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Ketiga, field study dengan melakukan wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang berfungsi sebagai narasumber kunci (key informant). Wawancara tersebut memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini: a.Bagaimana proses kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama proses perencanaan dan penganggaran daerah, yang ada selama ini di Kabupaten Gunung Kidul (existing condition)? Siapa yang menjadi pihak-pihak utama, baik aktor formal maupun informal, dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah? Adakah persoalan-persoalan dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, dilihat dari aspek teknokratis, politis, bottom-up & top-down, dan partisipatif ?

18

b.

Adakah upaya untuk mendorong inovasi kebijakan, terutama dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, dalam rangka mengarusutamakan penanggulangan kemiskinan responsif gender? Apa saja bentuk inovasi kebijakan yang telah dihasilkan, termasuk perencanaan dan penganggaran daerah, untuk mengoptimalkan strategi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan responsif gender di kabupaten Gunung Kidul? Siapa pihak-pihak yang terlibat dan berpengaruh untuk mendorong atau menghambat proses inovasi kebijakan yang ada?

Pada saat yang sama, tim peneliti juga melakukan observasi partisipatif atau non-partisipatif terhadap praktik kebijakan penanggulangan kemiskinan, khususnya proses perencanaan dan penganggaran daerah, di Kabupaten Gunung Kidul. Observasi partisipatif dan non partisipatif ini bisa dilakukan dikarenakan anggota tim peneliti merupakan akademisi dan aktivis ORNOP yang selama concern dalam berbagai advokasi kebijakan di Gunung Kidul. Dengan demikian setidaknya ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini: (1) data primer yang berasal dari hasil wawancara mendalam (depth interview) dengan narasumber kunci serta hasil observasi partisipatif maupun non partisipatif, (2) data sekunder yang berasal dari berbagai dokumen kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul serta pemberitaan media, blog, dsb tentang kebijakan penanggulangan kemiskinan di Gunung Kidul, dan (3) data tersier yang berasal dari berbagai literatur (buku, jurnal, dsb) yang membahas tentang kemiskinan dan kebijakan kemiskinan. [ ]

19

ALUR ARGUMEN

BAB I PENGANTAR

BAB II MASALAH KEBIJAKAN SOSIAL

BAB III SUBTANSI KEBIJAKAN SOSIAL

BAB IV PROSES KEBIJAKAN SOSIAL

BAB V INSTRUMEN KEBIJAKAN SOSIAL (1)

BAB VI INSTRUMEN KEBIJAKAN SOSIAL (2)

BAB VII TAWARAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

20

BAB II MASALAH KEBIJAKAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL


Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah

itu uraian dalam bab ini akan dimulai dengan penjelasan tentang lanskap kemiskinan yang ada di Gunung Kidul untuk menemukan gambaran konteks dimana kemiskinan tersebut tumbuh dan berkembang. Selanjutnya akan dijelaskan pula persoalan ketimpangan sosial di kabupaten tersebut.

ab ini akan menjelaskan masalah kebijakan yang kemudian mendorong respon kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul, propinsi DIY. Oleh karena

LANSKAP KEMISKINAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Gunungkidul, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa, sampai sat ini masih merupakan salah satu kabupaten yang dihadapkan dengan masalah kemiskinan yang yang relatif akut. Berdasarkan Indonesian Human Development Index Report (IHDIR) 2004 dikeluarkan oleh UNDP IndonesiaBAPPENAS dan BPS, HDI Gunungkidul pada tahun 2002, berada dalam urutan ke-140 (skor 67,1) dari total kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Sementara posisi Kabupaten Gunung Kidul juga berapa dalam posisi terbawah diantara kabupaten/kota lainnya yang ada di wilayah propinsi DIY yaitu: kota Yogyakarta (ke-3 dengan skor 75,3), Kabupaten Sleman (ke-30 dengan skor 72,2), Kabupaten Kulonprogo (ke-76 dengan skro 69,4) dan Kabupaten Bantul (ke-94 dengan skor 68,4). Pada rentang tahun 2006-2008, ada peningkatan skor HDI Gunungkidul menjadi 69,40 (2006), 69,48 (2007) dan 70 (2008). meskipun tidak signifikan merubah posisi Gunungkidul sebagai kabupaten dengan level HDI menengah ke atas (kisaran 6679). Hal menarik untuk dicermati adalah, dalam kurun waktu tersebut, terlihat adanya peningkatan sub-indikator Usia Harapan Hidup dan konsumsi riil per kapita namun pada sat yang sama indikator pendidikan mengalami stagnasi. Namun bila dilihat dari nilai reduction short fall-nya, yang tercatat 0,55 lebih kecil pada tahun 2006 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pencapaian HDI di Gunungkidul terkesan lambat (BAPPEDA-GK, 2010: 33) (lihat tabel 1).

Sebagian argumentasi bab ini, pada awalnya, ditulis oleh Wasingatu Zakiyah. Subtansi bab ini kemudian dikembangkan

dan diperkaya oleh Hasrul Hanif.

21 Tabel.1. Perkembangan HDI Gunungkidul dari tahun 2006-2008

1. 2. 3. 4. 1. 2.

2006 KOMPONEN HDI Angka Harapan Hidup (Tahun) 70,60 Angka Melek Huruf (%) 84,50 Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 07,60 Konsumsi riil per Kapita (000 Rp) 615,67 INDEKS HDI Harapan Hidup 76,00 Pendidikan 73,22
59,08 69,40 0,55

URAIAN

2007 70,75 84,50 07,60 617,7 76,25 73,22


59,55 69,48 0,77

2008 70,79 84,50 07,60 621,67 76,32 73,22


60,47 70,00 1,07

3. Pendapatan SKOR HDI REDUCTION FALL Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:34

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi bila dikaitkan dengan isu kesetaraan gender, terutama dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Data IHDR tahun 2004 menunjukkan Gender Development Index (GDI) Kabupaten Gunung Kidul berada dalam peringkat ke-111 dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada atau jauh di bawah peringkat Kota Yogyakarta (ke-8) Kabupaten Sleman (ke-16), Kabupaten Kulonprogo (ke-53) dan Kabupaten Bantul (ke-81). Bila dilihat populasi penduduk miskin secara lebih detail, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gunung Kidul tergolong besar. Dari total penduduk sebanyak 184.974 keluarga, yang tergolong miskin sebanyak 95.722 KK atau 51,75% dengan rincian sebagai berikut: miskin sekali 16.980 KK atau 9,18% dari keseluruhan keluarga, miskin 32.442 KK atau 17,54% dan hampir miskin 46.300 KK atau 25,03%. 2 (lihat tabel.2).

Tabel.2. Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten/kota di Prop.DIY

No 1. 2. 3.
2

Wilayah PROPINSI DIY Kab. Gunungkidul Kab. Kulon Progo Kab. Bantul

Jumlah Penduduk 3.224.000 687.000 376.000 819.000

Jumlah Penduduk Miskin 616.000 173.000 95.000 152.000

Tingkat Kemiskinan (%) 19,1 25,2 25,1 18,5

Data ini bersumber dari Hasil verifikasi PKH (Program Keluarga Harapan) untuk penerima BLT 2008. Khusus Keluarga kategori Miskin Sekali dan Miskin, (lihat pemkab Gunung Kidul, 2008: 62).

22

4. 5.

Kab. Sleman Kota Yogyakarta

945.000 396.000

147.000 50.000

15,5 12,7

Bila di lihat dari aspek distribusi regional kemiskinan, sebaran keluarga miskin sekali juga relatif merata di seluruh wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Jumlah Keluarga kategori miskin sekali terbanyak diatas 1000 KK terdapat di 8 kecamatan (dari total 18 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Gunung Kidul) yaitu: Kecamatan Semin, Kecamatan Saptosari, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Tepus, Kecamatan Playen, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Ngawen. Informasi dari BAPPEDA Gunungkidul menunjukkan sebanyak 73 desa tertinggal atau 50,7 % dari 144 desa yang ada. Maka tidak mengherankan bila masih banyak keluarga di Kabupaten Gunung Kidul yang menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan. Data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Gunung Kidul menunjukkan bahwa pada tahun 2006 penerima atau sasaran program pengentasan kemiskinan sebanyak 683.389 jiwa atau 170.847 KK; 3 perempuan 347.713 jiwa atau 50,88% dan laki-laki 335.676 jiwa atau 49,12%. (lihat tabel 3).

Tabel 3. Jumlah KK dan Jiwa Sasaran Program Pengentasan Kemiskinan NAMA NAMA PROGRAM JAMKESMAS BLT RASKIN PKH KUBE 5 JAMKESOS PAKET P2KP PENERIMA MANFAAT PROGRAM 4 KELUARGA JIWA Jumlah % dr Total KK Jumlah % dr Total Jiwa 95.722 56,0 340.635 49,8 95.374 55,8 381.496# 55,8 81.232 47,5 324.928# 47,5 9.470 5,5 37.880# 5,5 800 0,5 3.200# 0,5 20,750# 12.1 83,000 12.1 18,712 11.0 74,848# 11.0

No 1 2 3 4 5 6 7

# Merupakan angka kalkulasi. Misalnya data yang tersedia penerima manfaat BLT hanyalah jumlah KK maka untuk mengetahui jumlah jiwa: jumlah KK dikalikan 4. Sebaliknya data tersedia penerima manfaat program JAMKESOS adalah jumlah jiwa maka untuk mengetahui jumlah KK : jumlah jiwa dibagi 4

3 4 5

Rata-rata anggota per rumah tangga di Gunungkidul sebanyak 4 orang. Program yang lain adalah UPK PNPM-MP , dengan penerima manfaat 1.197 kelompok perempuan. Pemberdayaan Fakir Miskin. Sebanyak 800 KK penerima manfaat terbagi ke dalam 100 kelompok dan berada di 4

kecamatan; Rongkop, Semin, Paliyan dan Saptosari.

23

LANSKAP KETIMPANGAN SOSIAL DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL6

Sebelum kita melihat dimensi ketimpangan sosial di kabupaten Gunungkidul, ada baiknya kita membahas indikator fundamental ekonomi sebuah daerah yaitu; pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita daerah. Berdasarkan dokumen Evaluasi Rencana Jangka Menengah Daerah Kabupaten Gunungkidul tahun 2005-2010 (BAPPEDA-GK, 2010:15-16), pertumbuhan ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan adanya peningkatan yaitu 4,43% (2005), 3,82% (2006), 3,91% (2007) dan 4,39% (2008). Sedangkan, pada tahun 2008, peranan PDRB Kabupaten Gunungkidul terhadap propinsi DIY sebesar 14,78% dibandingkan dengan daerah otonom lainnya di wilayah propinsi DIY, yaitu Kabupaten Sleman (30,78%), Kota Yogyakarta (26,35%), Kabupaten Bantul (19,93%), Kabupaten Kulonprogo (8,16%). 7 Sedangkan pendapatan per kapita atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan juga menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2007, PDRB per kapita sebesar Rp. 7.110.408 (Harga Berlaku) dan Rp. 4.292.535 (Harga Konstan). Adapun tahun 2008, PDRB per kapita sebesar Rp. 8.011.695 (Harga Berlaku) dan Rp. 4.470.621 (Harga Konstan). Memang sebuah proses pembangunan daerah membutuhkan adanya laju pertumbuhan dan pendapatan per kapita tinggi, namun demikian tentu saja persoalan yang paling penting justru bukanlah pertumbuhan itu sendiri, melainkan juga siapakah yang terlibat dalam proses pertumbuhan tersebut. Jika yang terlibat dalam aktivitas pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah segelintir orang kaya, maka manfaat pertumbuhan tersebut hanya akan dinikmati oleh segelintir orang tersebut sehingga kemiskinan dan ketimpangan sosial akan semakin parah (Todaro & Smith, 2008:231).

Sumber data bagian ini sebagian besar bersumber pada dokumen Evaluasi Rencana Jangka Menengah Daerah Kabupaten Gunungkidul, tahun 2005-2010 (BAPPEDA-GK, 2010).
7 6

Hasil penelusuran data sekunder dan survei persepsi publik Jawa Pos Pro-Otonomi Institute (JPIP) terhadap 40

kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jateng dan DIY pada tahun 2006 (JPIP, 2006) menunjukkan bahwa: Dilihat dari aspek pertumbuhan, kondisi exisiting di Gunung Kidul (dilihat angka pertumbuhan ekonomi, rasio pekerja dan angkatan kerja, nilai investasi dan rasio PAD dan APBD) menunjukkan kabupaten ini berada dalam posisi terendah kedua (skor 0,071) diantara 40 kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jateng dan DIY. Meskipun, menariknya, hasil survei publik dalam aspek ini menunjukkan bahwa masyarakat menganggap kinerja pemerintah Gunung Kidul dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sudah sangat baik.

24

Lalu bagaimana lanskap pemerataan atau distribusi ekonomi, baik secara spasial maupun personal, yang ada di Gunungkidul? Berdasarkan Indeks Wiliamson, 8 bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY tahun 2003-2008, Kabupaten Gunungkidul berada pada tingkat ketimpangan yang rendah dengan rerata 0,113 (lihat tabel 4). 9
Tabel 4. Indeks Williamson Kabupaten/Kota di Propinsi DIY 2003-2008

KABUPATEN/KOTA Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta 2003 0,097 0,152 0,118 0,026 0,320 2004 0,094 0,155 0,118 0,023 0,319

TAHUN 2005 2006 0,090 0,086 0,158 0,164 0,115 0,111 0,025 0,024 0,317 0,316

RERATA 2007 0,083 0,165 0,109 0,026 0,314 2008 0,081 0,167 0,108 0,026 0,313 O,089 0,160 0,113 0,025 0,317

Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:16

Lalu bagaimana gambaran disparitas atau distribusi regional antar kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Gunungkidul? Dari data rerata yang ada terlihat bahwa kecamatan Wonosari dan kecamatan Gendangsari memiliki indeks Williamnson yang lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Gunungkidul. Laju pertumbuhan ekonomi di Wonosari yang melebihi kecamatan-kecamatan lainnya menunjukkan bahwa adanya urban biased dalam kebijakan pembangunan ekonomi lokal dimana orientasi pembangunan ekonomi lokal masih mengandalkan hadirnya sebuah pusat pertumbuhan (growth pole) di daerah perkotaan yang bisa menyerap seluruh
8

Indeks Williamson merupakan indeks yang dipakai untuk melihat disparitas regional dengan tingkat pembangunan

ekonomi. Disparitas regional ini bisa disebabkan oleh heterogenitas dan beragam karaktersitik sebuah wilayah bila dilihat dari proses akumulasi dan mobilisasi sumberdaya seperti akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja serta kapasitas SDA yang dimiliki oleh sebuah wilayah. Angka indeks Wiliamson yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil, atau dengan kata lain merata, dan bila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar (lihat Kuncoro, 2004:133-134).
9

Sebagai perbandingan, hasil riset JPIP (2006) menunjukkan, pada aspek pemerataan ekonomi, kondisi existing yang ada

di Gunung Kidul (dilihat dari rasio penduduk dengan penduduk miskin, rasio dana pengentasan kemiskinan dengan APBD, rasio belanja aparatur dan belanja publik, IPM daya beli, rasio panjang jalan dengan penduduk dan PDRB per kapita) menunjukkan posisi ke-18 (skor 0,046) diantara kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah dan DIY atau berada di posisi ke-4 diantara kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY. Persepsi publik, dari hasil survei yang ada, masih memberikan kesan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Gunung Kidul memiliki kinerja yang cukup baik dalam pemerataan ekonomi dan menempatkannya dalam posisi ke-13 diantara kabupaten/kota yang ada di Jateng dan DIY.

25

proses akumulasi dan ditribusi ekonomi daripada mendorong pembangunan ekonomi lokal berbasis kluster yang lebih menekankan keunggulan komparatif masing-masing kluster wilayah sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara wilayah urban dan rural. Singkat kata, pembangunan di Gunungkidul masih cenderung mengumpul di satu titik pertumbuhan ekonomi daripada mendorong pembangunan yang menyebar di seluruh wilayah. Sedangkan Kecamatan Gendangsari berada dalam disparitas wilayah yang tinggi dikarenakan rendahnya pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut (Bandingkan dengan BAPPEDA-GK, 2010: 17) (lihat tabel 5).
Tabel 5. Indeks Williamson antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul 2004-2008

KECAMATAN Wonosari Gendangsari Saptosari Patuk Tepus Tanjungsari Girisubo Panggang Semanu Nglipar Rongkop Playen Ngawen Karangmojo Purwosari Semin Paliyan Ponjong 2004 0,161 0,082 0,047 0,057 0,050 0,039 0,029 0,025 0,018 0,008 0,015 0,017 0,025 0,005 0,025 0,025 0,002 0,004

TAHUN 2005 2006 0,137 0,140 0,085 0,085 0,060 0,061 0,056 0,056 0,039 0,039 0,040 0,039 0,029 0,032 0,032 0,032 0,026 0,027 0,029 0,029 0,015 0,043 0,023 0,024 0,020 0,021 0,021 0,024 0,016 0,017 0,016 0,015 0,008 0,008 0,005 0,003

RERATA 2007 0,144 0,085 0,062 0,057 0,040 0,039 0,034 0,033 0,029 0,030 0,017 0,025 0,022 0,027 0,018 0,016 0,009 0,003 0,145 0,084 0,058 0,056 0,042 0,039 0,031 0,031 0,025 0,024 0,023 0,022 0,022 0,019 0,019 0,018 0,007 0,004

PERTUMBUHAN 1,12 -1,40 -7,16 -0,65 5,38 0,05 -8,24 -8,24 -12,78 -19,60 34,97 -12,18 -0,42 -28,71 3,36 13,14 -24,44 42,00

Sumber: BAPPEDA-GK, 2010:16.

Bila dilihat dari indeks atau rasio gini, pada tahun 2006, Kabupaten Gunungkidul memiliki indeks gini dengan poin 0,2298 lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini bisa menjadi indikasi positif yang menunjukkan adanya distribusi pendapatan yang semakin membaik dari tahun 2005 ke tahun 2006 (lihat BAPPEDA-GK, 2010: 17) [ ]

26

BAB III ORIENTASI SUBTANSI GUNUNGKIDUL

KEBIJAKAN

SOSIAL

DI

KABUPATEN

Hasrul Hanif & Wasingatu Zakiyah

ketimpangan sosial kemudian menjadi isu strategis kebijakan yang penting untuk direspon dan dicarikan titik penyelesaiannya. Oleh karena itu, pada bab ini akan dijelaskan secara lebih detail bagaimana pemerintah daerah Gunungkidul menyusun program dan aktivitas penanggulangan kemiskinan sebagai respon terhadap masalah tersebut. Argumentasi dalam bab ini akan diawali dengan deskripsi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang selama ini ada di Kabupaten Gunungkidul. Program penanggulangan kemiskinan tersebut bersumber baik yang didesain oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Daerah. Selanjutnya akan diuraikan penjelasan tentang watak program penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut.

ada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa Kabupaten Gunungkidul masih dihadapkan dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dengan kata lain, kemiskinan dan

ORIENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI GUNUNGKIDUL

Sebelum mengkaji kebijakan penanggulangan kemiskinan secara lebih mendetail di Gunungkidul, kita seyogyanya memahami terlebih dahulu kebijakan atau strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional. Hal ini penting dikedepankan mengingat penanggulangan kemiskinan adalah salah satu prioritas nasional yang terumuskan dalam berbagai dookumen rencana strategis Pemerintah. Secara nasional, fokus penanggulangan kemiskinan Pemerintah pada tiga hal utama, yaitu:

Sebagian argumentasi bab ini, pada awalnya, ditulis oleh Wasingatu Zakiyah. Subtansi bab ini kemudian dikembangkan dan diperkaya oleh Hasrul Hanif.

27

Bantuan dan perlindungan sosial. Fokus ini lebih menekankan aspek perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warganegara terutama hak pendidikan, hak kesehatan, hak atas pangan, hak atas sanitasi dan air bersih. Berbagai program telah ditelorkan oleh Pemerintah terkait hal tersebut antara lain Beras untuk Orang Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemberdayaan Masyarakat. Fokus ini lebih menekankan pada upaya peningkatan kapasitas atau kapabilitas melalui upaya perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, sumberdaya daya alam &Lingkungan Hidup, dan perumahan. Salah satu program yang sangat kuat dalam fokus ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Berupa perlindungan dan pemenuhan hak atas, kesempatan berusaha dan bekerja, dan sumberdaya daya alam & lingkungan Hidup. Mis: UMK-KUR. Sedangkan di tingkat daerah, berdasarkan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan kabupaten Gunungkidul (Pemkab,2007), pemerintah daerah memfokuskan program penanggulangan kemiskinan pada: Perluasan kesempatan. Fokus ini menekankan pada upaya untuk menciptakan kondisi lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki - laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan yang seluas- luasnya dalam pemenuhan hak- hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Pemberdayaan Masyarakat. Pemerintah daerah berusaha mendorong pemberdayaan masyarakat melalui upaya-upaya penguatan kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan perluasan partisipasi masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak- hak dasar.

28

Peningkatan Kapasitas. Upaya peningkatan kapasitas dilakukan melalui strategi yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan, melalui upaya-upaya pendidikan formal maupun non formal. Perlindungan Sosial. Upaya perlindungan sosial diekspresikan dengan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan(perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, orang dengan kemampuan berbeda (difabel) dan masyarakat miskin baru laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh bencana alam,dampak negatf dari krisis ekonomi.

PROBLEMA ORIENTASI SUBTANSI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI GUNUNGKIDUL

Pertanyaan yang menggelitik dan penting untuk dijawab adalah mengapa sedemikian banyak program penanggulangan kemiskinan telah coba dikembangkan di Gunungkidul namun efek sistemik yang mampu menanggulangi kemiskinan dengan baik tampaknya belum muncul di kabupaten tersebut? Dari berbagai program yang dihasilkan (lihat tabel 6), sebagian besar merupakan programprogram yang bersifat karitatif. Program-program penanggulangan kemiskinan yang ada di Kabupaten Gunungkidul masih cenderung bersifat pemberian sejumlah dana kepada pihak yang diverifikasi masuk dalam kategori miskin. Program ini bersifat bukan pemberian kail tapi berupa pemberian ikan yang cenderung seperti program pemadam kebakaran tanpa masuk untuk menyelesaikan akar masalah kemiskinan lebih mendalam. Misalnya, program Bantuan Tunai Langsung (BLT) diakui atau tidak lebih merupakan buffer policy untuk memoderasi potensi gejolak sosial akibat menguatnya deprivasi sosial setelah harga Bahan Bakar Minyak dinaikkan. Dalam jangka pendek, program-program program seperti ini tidak akan bisa membuat warga survive tetapi justru menumbuhkan ketergantungan baru pada pemerintah.

29

Tabel 6. Pelbagai program penanggulangan kemiskinan

PROGRAM Beasiswa dan bantuan biaya sekolah Dukungan bantuan dan pemberdayaan sosial Program pelayanan &rehabilitasi sosial Pengembangan pertanian holtikultura Pengembangan koperasi Penguatan Modal usaha mikro Bantuan bibit kakao, HKm, Konservasi hutan Pengembangan peternakan Pembangunan infrastruktur pedesaan Bantuan sarana dan prasarana pemukiman Intervensi gizi dan ketahanan pangan Peningkatan pendapatan petani kecil Pengembangan lembaga ekonomi pedesaan (LUEP) Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP)

DEPARTEMEN/SKPD Dinas Pendidikan dan DEPDIKNAS RI Dinas Sosial Propinsi DIY dan DEPSOS RI Dinas Sosial Propinsi DIY dan Dinas SOBERMAS Dinas pertanian TP dan Perikanan Disperindagkop Disperindagkop Dinas Hutbun Dinas Peternakan Dinas Pekerjaan Umum dinas SOBERMAS Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian Dinas Pertanian Dinas Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Perikanan

Fokus penanggulangan kemiskinan, dalam kenyataannya, masih mengandaikan ketidaksediaan modal sebagai faktor penyebab utama kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinan lebih banyak dikaitkan dengan upaya pemberian modal. Pengalaman menunjukkan bahwa upaya pemberian bantuan modal sudah dilakukan dengan berbagai skema kegiatan di Gunungkidul namun dana yang turun banyak digunakan untuk konsumsi. Ironisnya, sederet permasalahan kemudian muncul dalam pemberian dana kepada masyarakat berupa modal usaha, yaitu: (1) Bantuan modal tidak efektif apabila diberikan ke kelompok, (2) Bantuan justru menyebabkan semangat volutenrisme atau modal sosial masyarakat berupa kejujuran dan kegotong-royongan malah terkikis. Meski banyak bantuan yang turun namun persepsi publik masih melihat pemerintah daerah dianggap kurang responsif dalam merespon permasalahan warga yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini dikarenakan aspek-aspek penting lainnya yang menyebakan kemiskinan justru diabaikan. Misalnya alat produksi petani berupa lahan masih sangat minim dimiliki oleh petani. Pada saat yang sama, masyarakat memiliki persepsi yang sangat kuat bahwa belum ada upaya pemerintah daerah untuk melindungi usaha produktif warga terhadap persaingan dari pengusaha bermodal besar.

30

Dengan kata lain, persoalan struktural yang menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri nyaris tak tersentuh. Upaya mendorong proses redistribusi pendapatan (baik secara personal maupun spasial) yang menjadi poin penting dalam penanggulangan kemiskinan bisa dipastikan tidak pernah menjadi agenda kebijakan. Pemerintah daerah memang tampaknya lebih nyaman menghasilkan kebijakankebijakan yang bersifat dekomodifikasi seperti pendidikan murah, kesehatan yang terjangkau atau air bersih yang diberikan secara cuma-cuma kepada warga di beberapa kecamatan saat kekeringan menjadi bagian dari upaya menjadikan sektor krusial yang ada di wilayah gunungkidul dapat diakses lebih baik oleh warga. Alhasil, pelbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada cenderung menekankan aspek kebudimanan (benevolence) negara daripada dipahami sebagai upaya redistribusi sumberdaya untuk meminimalisasi kesenjangan sosial. Masih terkait dengan aspek redistribusi, berbagai desain penanggulangan kemiskinan di Gunungkidul, dan di Indonesia secara umum, banyak masuk ke dimesi output dari kebijakan namun sama sekali menafikan dimensi input, terutama aspek pembiayaan seperti persoalan taxing power sharing antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka proses pembiayaan program. Akibatnya beberapa program penanggulangan kemiskinan dibiayai dari dana hutang luar negeri yang dalam jangka panjang akan punya efek yang negatif.

Tabel 7. Identifikasi Masalah dari Aspek Input dan Output


INPUT Pembiayaan o Bertumpu negeri o Mengabaikan isu taxing power sharing karena belum melihat pajak utama sumber pembiayaan sekaligus sebagai pada pembiayaan Orientasi OUTPUT o Lebih menekankan aspek kebudimanan negara o Melihat sebagai individu struktural) o Lebih bertujuan untuk menjaga stabilitas sosial dibanding pada upaya pemenuhan hak-hak kemiskinan kegagalan mengakses

yang berasal dari hutang luar dan sasaran

pasar (bukan persoalan

instrumen untuk menjalankan fungsi redistribusi pemerintah daerah o Tidak mengoptimalkan sumber-

31 sumber pembiayaan alternatif non hutang seperti hibah pihak ketiga (dana CSR), dana filantropi keagamaan dasar warganegara o Sasaran utama program adalah orang miskin yang dianggap masalah bukan warganegara memiliki hak. Orientasi o Mengabaikan aspek full- Pola o Program-program karikatif o Lebih penguatan individu fokus pada kapasitas penyandang sosial (PMS) sebagai yang

employment secara serius yang memiliki kaitan erat dengan potensi pajak (usia produktif sebagai penopang utama)

pemberian modal dan

Hal menarik lainnya, meskipun semangat desentralisasi dan otonomi daerah sangat kuat dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, namun kenyataan menunjukkan bahwa desain programprogram penanggulangan kemiskinan yang ada masih bersifat sangat sentralistik. Perhatikan saja, hampir semua program penanggulangan kemiskinan berasal dari Pemerintah dibandingkan berasal dari pemerintah daerah, seperti program nasional Jamkesmas, BLT, raskin, PKH, KUBE, Paket P2KP. Demikian juga ada program penanggulangan kemiskinan juga yang berasal dari pemerintah propinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah- seperti JAMKESOS. Kondisi ini tentu saja menyulitkan bagi pemerintah kabupaten untuk mengembangkan inovasi kebijakan dalam proses penanggulangan kemiskinan secara lebih leluasa di Kabupaten Gunungkidul. Di tengah hiruk-pikuk program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul, persoalan koordinasi dan integrasi program kemudian muncul ke permukaan. Persoalan ini memang relatif klasik mengingat muncul sejak akhir tahun 1990-an (mis. program IDT JPS, dll) hingga sekarang ada (mis. PNPM Mandiri, PPK, P2KP, P2DT, Raskin, BLT). Berbagai program ini belum terintegrasi dengan baik dalam proses perencanaan dan implementasi program yang ada di daerah Kabupaten Gunungkidul. Ada kesan yang sangat kuat bahwa proses perencanaan juga masih

32

terfragmentasi. Ada yang betul-betul direncanakan oleh Pemerintah tanpa melibatkan pemerintah daerah, namun ada juga yang perencanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. [ ]

33

BAB IV DINAMIKA GOVERNANCE GUNUNGKIDUL

DALAM

KEBIJAKAN

SOSIAL

DI

Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A.

antar aktor dalam tata kelola pemerintahan di Kabupaten Gunungkidul, bab ini secara khusus akan menguraikan dinamika governance dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang ada sepanjang tahun 2008-2009 di Kabupaten Gunungkidul. Hal yang penting untuk ditekankan sejak awal adalah kinerja kebijakan sosial dalam sebuah tata kelola pemerintahan daerah yang baik dan demokratis tentu saja tidak hanya bisa diukur dari aspek teknokratisme semata yang menakar kinerja berdasarkan pada kepatuhan atas pembakuan administrasi serta kemampuan untuk merumuskan desain kebijakan secara visioner. Bagaimanapun, proses kebijakan sosial juga seharusnya mencerminkan kuatnya kontrol rakyat terhadap urusanurusan publik termasuk anggaran- dimana semua pemangku kepentingan (stakeholders) memiliki peluang dan kesempatan yang setara secara politik dalam proses tersebut. Rakyat mestinya bukanlah sekedar penonton yang hanya meramaikan forum-forum konsultasi publik tapi justru menjadi pihak yang menentukan. Hal terpenting yang mesti dicatat adalah peningkatan kualitas keterlibatan rakyat dalam proses perencanaan dan penganggaran akan berbanding lurus dengan penguatan komitmen sosial dalam alokasi anggaran publik. Singkat kata, tata kelola kebijakan sosial seyogyanya dikembangkan melalui proses sinergi antar pihak baik dari negara, masyarakat maupun pasar dalam rangka memenuhi tujuan bersama. Tentu saja, selain sinergi, pola interaksi yang terbangun haruslah demokratis: masing-masing pihak berada dalam posisi yang setara.

alam bab ini akan dijelaskan bagaimana dinamika local governance dalam kebijakan sosial yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Untuk menemukan bagaimana pola interaksi

Tulisan ini merupakan laporan penelitian Local Budget Index (LBI) di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang

diselenggarakan atas kerjasama IDEA dan SEKNAS-FITRA. Penelitian tersebut merupakan expert judgement yang menggunakan metode analisa isi dokumen dan wawancara- untuk menakar kinerja proses perencanaan dan penganggaran daerah di Kabupaten Gunungkidul. Proses penelusuran data dilakukan oleh Tenti Kurniawati dan Hendra Try Ardianto sedangkan analisa dinarasikan dan diperkaya oleh Hasrul Hanif.

34

Oleh karena itu, bab ini akan menjelaskan sejauh mana prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan daerah yang baik dan demokratis (good & democratic local governance) terlembaga dengan baik di Kabupaten Gunungkidul. Keseluruhan bab ini akan memberikan deskripsi yang detail tentang bagaimana tingkat derajat partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan kesetaraan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Derajat tersebut akan dilihat pada setiap fase mulai dari fase perencanaan, pembahasan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban.

DERAJAT TRANSPARANSI

Transparansi pada dasarnya adalah indikasi adanya keterbukaan tata kelola pemerintahan yang ada dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran secara sistematis atau bersifat jelas dan cukup. Oleh karena itu, dalam bentuk yang lebih konkrit, transparansi bisa dikur dari beberapa hal penting berikut ini: Pertama, ketersediaan. Yang dimaksud dengan ketersediaan adalah adanya dokumen-dokumen dasar dalam perencanaan dan penganggaran daerah sekaligus dokumen-dokumen tersebut mampu memberikan informasi yang memadai. Kedua, aksesibilitas. Dokumen pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran bukan hanya tersedia dan memadai informasinya tapi juga harus bisa diakses oleh publik karena bagimanapun dokumen-dokumen tersebut merupakan dokumen publik. Setidaknya ada 4 klasifikasi derajat aksesibilitas, yaitu: (1) tidak dibuat (2) tidak bisa diakses (3) diakses dengan permintaan (4) disebarluaskan/dipublikasikan. Dimana poin (1) menunjukkan pada derajat aksesibilitas yang paling rendah sedangkan poin (4) menunjuk pada derajat aksesibilitas paling tinggi. Bila dilihat dari indikator aksesibilitas, dari hasil penelusuran terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran di kabupaten Gunungkidul selama kurun waktu 2008-2009, derajat transparansi pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul bisa dipastikan berada dalam posisi diakses dengan permintaan. Sebanyak 21 dari 22 dokumen yang ada bisa diakses dengan permintaan. Sisanya satu dokumen, yaitu Informasi LPPD (khususnya tahun 2009), dipublikasikan secara luas melalui bentuk hardcopy (koran) oleh pemerintah Kabupaten Gunungkidul. (lihat tabel 8). Dengan kata lain, pada dasarnya masyarakat sebenarnya bisa mengakses mengajukan permintaan resmi terlebih dahulu kepada aparat pemerintah daerah.

35

Tabel .8 Ketersediaan dan Aksesibilitas Dokumen


No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tidak Tidak Dapat Dokumen Dibuat Diakses (a) (b) A. PERENCANAAN RPJMD RKPD Renja SKPD Pendidikan Renja SKPD Kesehatan Renja SKPD Pertanian Hasil Musrenbang Kecamatan B. PEMBAHASAN ANGGARAN Diakses Dengan Permintaan (c) Dipublikasikan/ disebarluaskan (d)

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

KUA-PPAS RKA-SKPD pendidikan RKA-SKPD kesehatan RKA-SKPD Pertanian RAPBD C. PELAKSANAAN ANGGARAN Perda tentang APBD Perkada tentang Penjabaran APBD KUA-PPAS Perubahan Perda tentang Perubahan APBD Perkada tentang Penjabaran Perubahan APBD DPA SKPD Pendidikan DPA SKPD Kesehatan DPA SKPD pertanian/ perikanan D. PERTANGGUNJAWABAN ANGGARAN Laporan realisasi semester pertama APBD Perda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

36

22.

Informasi LPPD

Selanjutnya bila dilihat dari kejelasan dan kecukupan informasi yang diberikan, ada kecenderungan yang variatif di setiap fase atau tahapan. Dari 18 dokumen yang ada, sebanyak 12 dokumen (atau 66%) terisi dengan lengkap sedangkan yang lain hanya berisi sebagian (34%) (lihat tabel 9 di bawah ini). Tabel 9. Derajat Kejelasan dan Kecukupan Informasi DOKUMEN A. Fase Perencanaan
RPJMD

JENIS INFORMASI (SEMESTINYA) Lengkap Permasalahan Daerah, Indikasi rencana program yang
disertai kebutuhan pendanaan, dan

DERAJAT

Indikator kinerja daerah


HASIL MUSRENBANG KECAMATAN RKPD RENJA SKPD KESEHATAN RENJA SKPD PENDIDIKAN RENJA SKPD PERTANIAN/PERIKA NAN Kegiatan, Sasaran/ lokasi, Usulan anggaran Evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu; Rencana Program dan Kegiatan Prioritas daerah; Pagu indikatif program kegiatan Evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu; Pagu indikatif program dan kegiatan; Indikator kinerja dan kelompok sasaran Lengkap Dalam RKPD 2009, evaluasi pelaksanaan RKPD tidak ada

Dalam Renja SKPD Kesehatan 2009, Evaluasi Pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu dan Pagu indikatif program dan kegiatan tidak termuat Dalam Renja 2009, Evaluasi Pelaksanaan Renja SKPD tahun 2009 dan Pagu indikatif program dan kegiatan tidak termuat Dalam Renja 2009, Evaluasi Pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu dan Pagu indikatif program dan kegiatan tidak termuat. Dokumen hanya memuat Jumlah Anggaran (Rp).

B. Pembahasan
KUA-PPAS Rencana Pendapatan dan Lengkap Penerimaan Pembiayaan Daerah (target tahun anggaran berkenaan, dasar hukum); Plafon anggaran sementara belanja

37

RKA SKPD KESEHATAN RKA SKPD PENDIDIKAN RKA SKPD PERTANIAN/ PERIKANAN C. Pelaksanaan Perda APBD

berdasarkan program kegiatan (sasaran, target, plafon); Rencana pembiayaan daerah Lengkap Indicator dan target kinerja; Lokasi dan kelompok sasaran; Rencana anggaran 1(satu) tahun Lengkap kedepan Lengkap

PerKaDa tentang Penjabaran APBD untuk pendapatan PerKaDa tentang Penjabaran APBD untuk Belanja KUA PPAS Perubahan Anggaran Perda Tentang Perubahan APBD

Rincian APBD menurut urusan pemerintah daerah dan organisasi; Program dan kegiatan; Belanja menurut kelompok dan Jenis; Rincian obyek pendapatan dan Rincian Pembiayaan Target volume/pendapatan asli daerah yang direncanakan Tarif pengutan atau harga Satuan volume atau tolak ukur; Harga satuan; Lokasi kegiatan; Sumber pendanaan kegiatan Justifikasi atau alasan perubahan Informasi anggaran yang berubah Rincian perubahan APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja dan pembiayaan; Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan Perda

Lengkap

Tarif pungutan atau harga tidak termuat Lengkap

Lengkap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam Perda tidak termuat

D. Pertanggujawaban Laporan realisasi semester Laporan realisasi anggaran selama 1 Lengkap I APBD semester Progonosi untuk 6 bulan kedepan Perda tentang Rincian laporan realisasi anggaran Lengkap Pertanggungjawaban menurut urusan pemerintahan Pelaksanaan APBD daerah, organisasi, pendapatan, belanja dan pembiayaan; Rekapitulasi realisasi anggaran belanja daerah menurut urusan, organisasi, program dan kegiatan; dan Catatan atas Laporan Keuangan Informasi LPPD Lengkap ringkasan LPPD

38

Secara umum, meskipun berbagai dokumen yang ada tersebut bisa diakses namun masyarakat juga tidak mudah begitu saja untuk mendapatkan dan menggandakan dokumen-dokumen publik tersebut. Dari hasil FGD dengan para birokrat di Gunungkidul dan pengalaman tim peneliti sendiri ketika mengakses dokumen tersebut, banyak dokumen yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Tidak ada sistem pengarsipan dan data base yang baik serta media yang murah yang memungkinkan berbagai data tersebut bisa diakses secepatnya dan semurah mungkin oleh masyarakat secara luas. 10

DERAJAT PARTISIPASI

Partisipasi diartikan sebagai terbukanya ruang bagi keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan pada setiap tahapan perencanaan dan penganggaran daerah. Secara operasional, derajat biasanya dilihat dari dua hal, yaitu: Pertama, tersedia wahana partisipasi. Kedua, derajat keterlibatan masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan (derajat otoritas). Ruang partisipasi dalam proses pembangunan lokal, telah dibuka oleh Pemerintah daerah Kab. Gunung Kidul, sebagaimana terjadi di daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini. Hal ini tidak terlepas adanya basis yuridis, yaitu UU No. 25 tahun 2004, yang secara eksplisit memandatkan hal tersebut. Dengan demikian seyogyanya, mulai dari fase perencanaan, pembahasan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dapat dipastikan selalu ada ruangruang yang memungkinkan mekanisme partisipasi berjalan (lihat tabel 10).

10

Kondisi yang terjadi di kabupaten Gunungkidul sebenarnya tidak berbeda jauh dengan 5 kabupaten/kota lainnya.

Sebagian besar di 5 daerah otonom lainnya, yang menjadi wilayah kajian LBI menunjukkan bahwa rata-rata di daerah tersebut berbagai dokumen bisa diakses dengan permintaan (61,4%). Daerah yang paling banyak mempublikasikan dokumen adalah Kebumen (7 dokumen) sedangkan Kabupaten Bandung memiliki dokumen anggaran yang paling banyak tidak bisa diakses (16 dokumen). Yang menarik, pola umum yang ditemui di 6 daerah yang ada, adalah dokumen-dokumen yang terkait dengan pertanggungjawaban anggaran lebih tidak mudah diakses dibandingkan dokumen perencanaan, pembahasan dan pelaksanaan anggaran. Sementara itu Laporan Realisasi Anggaran menjadi dokumen yang paling sering memuat informasi yang belum memadai dan sebaliknya Perda APBD memberikan informasi yang memadai (lihat Seknas FITRA, 2010).

39

Tabel 10. Ketersediaan Wahana dan Derajat Partisipasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KUA-PPAS 10 11 Penyusunan dokumen RAPBD (Pemda) Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Penyusunan Dokumen A. Perencanaan RPJMD RKPD Renstra SKPD Pendidikan Renstra SKPD Kesehatan Renstra SKPD Pertanian/ Perikanan Renja SKPD Pendidikan Renja SKPD Kesehatan Renja SKPD Pertanian/ Perikanan B. Pembahasan Status Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Otoritas publik secara luas publik secara luas publik secara luas publik secara luas publik secara luas publik secara luas publik secara luas publik secara luas o hanya melibatkan SKPD (pemda) o publik secara luas (DPRD) hanya melibatkan DPRD dan SKPD publik secara luas LOD Propinsi o hanya melibatkan DPRD dan SKPD (pemda) o hanya melibatkan DPRD dan SKPD (DPRD)

Pembahasan RABD (DPRD) C. Pelaksanaan 12 Keluhan pelayanan publik D. Pertanggungjawaban 13 Ranperda PTJ APBD

14

tanggapan terhadap informasi LKPD

Tidak tersedia

Dari aspek ketersediaan wahana partisipasi, tersedia wahana sebanyak 13 (93%) dari 14 aktivitas penyusunan dokumen dari semua fase/tahapan perencanaan dan penganggaran.Meskipun sangat disayangkan karena masyarakat justru sama sekali tidak memiliki ruang untuk memberikan tanggapan terhadap informasi Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Sementara itu, apabila dilihat dari aspek cakupan dan otoritas untuk mempengaruhi kebijakan, fase perencanaan penganggaran merupakan fase yang paling terbuka terhadap kehadiran masyarakat secara lebih luas. Tentu saja, pelibatan masyarakat secara luas ini bukan dalam bentuk referendum atau proses deliberasi yang sangat terbuka melainkan mengundang para pihak yang dianggap sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam sektor-sektor yang ada. Misalnya, penyusunan Renstra dan

40

Renja SKPD pendidikan akan selalu mengundang PGRI atau Ornop yang fokus terhadap isu pendidikan. Pada fase pembahasan, pelaksanaan dan pertanggujawaban, ruang-ruang partisipasi tersebut semakin tertutup. Berbagai proses yang ada dalam fase-fase ini otomatis hanya menjadi wilayah otoritatif dari eksekutif dan legislatif dan rakyat bahkan sama sekali tidak memungkinkan tahu apa yang terjadi. Bahkan dalam fase pertanggungjawaban tidak ada ruang sama sekali bagi masyarakat akar rumput untuk memberikan tanggapan terhadap Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD). Meskipun ada celah kecil dimana masyarakat bisa mengadukan permasalahan terkait dengan pelayanan publik melalui Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Propinsi DIY meskipun juga tidak ada jaminan bahwa rekomendasi LOD tersebut, apabila ada masalah, akan dijalankan oleh pemerintah daerah. 11 Dengan demikian, secara kritis, bisa disimpulkan bahwa partisipasi publik di Gunungkidul masih dalam derajat informatif. Dalam tahap ini, pemerintah daerah sudah berupaya untuk membuka peluang atau kesempatan politik untuk berpartisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat namun belum memberikan jaminan bahwa artikulasi berbagai kepentingan dan suara yang bersal dari masyarakat tersebut akan diakomodasi, termasuk jaminan regulasi. Misalnya, Pemda kab. Gunung Kidul hingga tahun 2010 belum memiliki pagu indikatif di tingkat kecamatan. Selain itu Sampai hari ini berbagai forum partisipasi tersebut berlandaskan Surat Edaran Bupati. Tentu saja SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan peraturan daerah. 12

11

Pola partisipasi yang ada di Gunungkidul ini juga terjadi di 5 daerah lainnya. Ketersediaan wahana partisipasi pada fase

perencanaan cenderung baik tetapi semakin berkurang secara bertahap hingga fase pertanggungjawaban. Hampir semua daerah juga belum memiliki pagu indikatif yang bisa menjamin usulan dari masyarakat. Sedangkan ketersediaan wahana pengaduan bagi publik masih minim (Seknas-FITRA, 2010).
12

Setidaknya, ada 3 derajat partisipasi publik bila dilihat dari seberapa besar keleluasaan yang dibuka oleh pemerintah,

yaitu (Hanif & Kurniawan, 2007): Informatif. Sebuah pemerintahan daerah berada dalam derajat partisipasi yang sifatnya informatif apabila pemerintah sekedar mensosialisasikan dan menginformasikan apa saja yang menjadi rencana mereka dalam proses kebijakan. Sementara bagaimana proses itu dirumuskan dan dijalankan menjadi urusan pemerintah sepenuhnya. Dalam derajat seperti ini maka yang penting adalah masyarakat sudah diberitahu tentang kebijakan pemerintah daerah. Konsultatif. Derajat partisipasi ini lebih tinggi dari sekedar informatif. Ini disebabkan karena pemerintah daerah sudah menyediaan ruang dan melembagakan keterlibatan warga dalam proses kebijakan. Proses pelembagaan ini bisa

41

DERAJAT AKUNTABILITAS

Akuntabilitas pada dasarnya terkait dengan sejauhmana anggaran yang dikelola Pemerintah Daerah dapat dipertanggungjawabkan dan kepatuhan waktu pembuatan dokumen perencanaan dan penganggaran. Secara operasional, akuntabilitas anggaran dilihat dari dua hal penting berikut ini, yaitu: (a) ketepatan waktu proses perencanaan dan penganggaran, (b) tingkat penyimpangan anggaran, opini dari hasil audit, maupun rekomendasi yang ditindaklanjuti dari hasil audit. Bila dilihat pada aspek kepatuhan pada ketepatan waktu, maka pengalaman Pemerintah Daerah kabupaten Gunung Kidul selama ini menunjukkan tingkat kepatuhan yang variatif. Pemerintah Daerah kabupaten Gunung Kidul mampu tepat waktu dalam menetapkan dokumen RPJMD sebagai Peraturan Daerah atau tepat 6 bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik. Hal yang sama terjadi juga dalam penetapan dokumen RAPBD menjadi APBD, dan RAPBDP menjadi APBDP. Namun di saat menetapkan dokumen RKPD, Pemerintah Daerah kabupaten Gunung Kidul melewati batas mandat regulasi. RKPD 2009 yang idealnya ditetapkan pada bulan Mei justru ditetapkan pada 21 Juli 2008. Sedangkan bila dilihat dari sisi ketersediaan waktu dalam fase pembahasan, pengalaman yang ada menunjukkan hal yang beragam pula. Dalam pembahasan dokumen KUA-PPAS dan RAPBD, ketersediaan waktu pembahasan belum memadai. RAPBD baru diterima DPRD setelah bulan november sehingga tersisa waktu kurang dari satu bulan untuk ditetapkan oleh DPRD. Sedangkan KUA-PPAS diterima sesudah September. Sementara itu dalam pembahasan RAPBD Perubahan ada ketersediaan tenggang waktu yang memadai sebab DPRD Gunungkidul sudah menerima dokumen

dalam bentuk legalisasi pelibatan publik. Proses legalisasi ini biasa muncul dalam bentuk Perda Partisipasi Publik, Transparansi maupun Konsultasi Publik. Pemerintahan daerah berada dalam derajat ini apabila masyarakat sudah dilibatkan dalam proses yang memberi umpan balik atau tanggapan terhadap usulan, rumusan dan implementasi kebijakan publik. Dalam taraf ini masyarakat sudah memiliki mekanisme yang terlembaga untuk memberi usulan dan kritik terhadap pemerintah. Ruang kewargaan. Dalam ruang ini kehadiran partisipasi publik tidak hanya terlembagakan secara apik tapi juga sudah mampu mempengaruhi seluruh proses kebijakan yang ada. Tahapan ini bisa dikatakan sebagai tingkat tertinggi partisipasi karena selain ada mekanisme yang informatif dan mekanisme yang konsultatif, pemerintahan daerah sudah membuka keterlibatan aktif dari masyarakat. Tingkat kemampuan masyarakat untuk memilih dan memberi pengaruh kepada pembuat kebijakan, sebagai pengejawantahan kebutuhan mereka, sudah tinggi. Ini artinya masyarakat sudah memiliki suara, akses, pilihan dan pengaruh.

42

tersebut sebelum bulan Oktober. Hal ini akan mempersempit ruang DPRD dalam fase pembahasan anggaran, semisal pembahasan muatan pagu anggaran dalam RAPBD, sehingga hasilnya bisa dipastikan tidak akan pernah optimal. Kalau melihat tingkat penyimpangan anggaran, yang menarik adalah Gunungkidul punya catatan tentang sebuah program inovatif dalam melembagakan akuntabilitas Pemerintah daerah, yaitu hal yang terkait dengan kelembagaan dan mekanisme pelaksanaan pengadaan barang dan jasa publik di daerah tersebut. Dalam praktik yang ada, pengadaan barang SKPD dengan sistem lelang sebesar 25% disediakan LPSE. Adapun 75 % lainnya diadakan SKPD secara manual. Hal ini mengindikasikan mulai menguatnya pelembagaan e-procurement pada masing-masing SKPD yang diharapkan semakin meningkatkan akuntabilitas pemerintahan daerah yang ada. Selain itu, pada saat yang sama, bupati juga menetapkan standar harga barang yang diperbaharui setiap tahun. Kedua hal tersebut tentu saja bisa mempersempit peluang bagi penyimpangan anggaran. Adapun hasil audit BPK pada tahun 2009 menunjukkan bahwa LKPD Kabupaten Gunungkidul Wajar dengan pengecualian. Dalam opini BPK, pengelolaan keuangan publik di Kabupaten Gunungkidul dianggap tidak mengindikasikan adanya penyimpangan berarti meskipun ada potensi kerugian yang diakibatkan oleh persoalan administrasi dalam laporan neraca bagian aset. 13 Tantangan lain yang mesti dijawab dalam mendorong akuntabilitas publik dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah bagaimana mendorong sistem akuntabilitas yang terintegrasi. Ada kebutuhan mendesak untuk mempertemukan technocratic accountability -yang selama ini dikelola dan dikembangkan oleh institusi-institusi formal yang mengawasi kinerja lembaga-lembaga publik seperti BPK- dengan political accountability yang menjadi bagian dari fungsi pengawasan (oversights) anggota Dewan yang ditopang secara komplementer oleh social audit warganegara. Dengan kata lain, upaya untuk mengawasi proses input-output yang dilakukan oleh institusi pengawas kinerja tata kelola

Bila melihat pola umum dari 6 daerah otonom (Gunungkidul, Sukabumi, Kebumen, Jembrana, Makassar, Bandung) yang diteliti oleh Seknas FITRA, ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan penting, yaitu (1) ada kecenderungan Pemda yang ada di 6 daerah tersebut cenderung tepat waktu pada fase perencanaan dan pelaksanaan. Lebih khusus, proses penetapan dokumen perencanaan cenderung lebih tepat waktu dan sesuai mandat regulasi dari pada penetapan dokumen anggaran. (2) Bisa disimpulkan daerah-daerah tersebut biasanya berhasil tepat waktu dalam menetapkan 2 dokumen, yaitu RPJMD dan RKPD. DPRD di 6 daerah tersebut secara umum juga tidak memiliki waktu yang memadai untuk membahas dokumen perencanaan penganggaran, kecuali untuk pembahasan RAPBD perubahan, (3) Kota Makasar menjadi satu-satunya daerah yang mendapat opini BPK Wajar Tanpa Pengecualian sekaligus mampu menetapkan 2 dokumen anggaran secara tepat waktu dan melakukan Pengadaan Barang dan Jasa dengan satu pintu dan on-line.
13

43

pemerintahan daerah mesti ditopang juga upaya untuk mengawasi sinkronisasi input-outcome yang selama ini menjadi tanggungjawab anggota Dewan dan ditopang oleh masyarakat.

DERAJAT KESETARAAN

Kesetaraan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sejauhmana pemerintah daerah menyediakan wahana partisipasi dan melibatkan kelompok miskin dan perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Secara operasional, kesetaraan ini bisa dilihat dari ketersediaan wahana partisipasi dan partisipan, serta kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan jaminan regulasinya serta ketersediaan data terpilah dalam menyusun anggaran. Komitmen Pemerintah Daerah kabupatenGunung Kidul dalam mendorong kesetaraan, terutama dalam proses pengarusutamaan gender, meskipun secara formal muncul namun dalam praktiknya belum terasa begitu kuat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini bisa terlihat dalam beberapa indikasi. Pemerintah Daerah kabupatenGunung Kidul, secara formal, sebenarnya sudah membuka peluang atau wahana partisipasi khusus atau jalur komunikasi khusus bagi kelompok perempuan dan kelompok miskin untuk berpartisipasi dalam perencanaan tahunan daerah melalui Surat Edaran Bupati. Pemda Gunungkidul juga telah membentuk Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender (PokJa PUG) di instansi pemerintahan berdasarkan SK Bupati Nomor 34/KPTS/2007 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender. Sayangnya, komitmen awal tersebut tidak dilanjuti dengan membentuk focal point pengarusutamaan gender pada setiap SKPD atau instansi pemerintahan yang ada dikarenakan alasan SDM yang tidak mencukupi. Upaya membuka peluang wahana khusus bagi perempuan dalam perencanaan ternyata hanya cenderung kuat dalam fase perencanaan. Wahana khusus dalam fase pelaksanaan, semisal wahana pengaduan khusus untuk perempuan dan orang miskin, ternyata tidak tersedia. Pemerintah Daerah kabupatenGunung Kidul juga belum menyediakan wahana khusus bagi perempuan dan orang miskin untuk memberikan tanggapan terhadap informasi LKPD. Komitmen untuk mendorong kesetaraan juga bisa dilihat dari ketersediaan data pilah antara laki-laki dan perempuan terutama dalam menyusun RKA SKPD. SKPD Kesehatan terasa paling kuat memiliki dan memanfaatkan data pilah dalam aktivitas mereka. Sedangkan SKPD pendidikan, pada derajat tertentu, juga memiliki data terpilah antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya di sektor pertanian, data terpilah belum tersedia.

44

Di luar persoalan empat aspek penting tersebut, ada kebutuhan untuk mempertemukan logika logika spasial, sektoral dan dapil dalam proses perencanaan dan penganggaran. Hasil FGD tim peneliti dengan para pihak, terutama anggota Dewan, menunjukkan bahwa tidak mudah mempertemukan, di satu sisi, hasil Musrembang antar level pemerintahan (spasial) dengan Musrembang yang sifatnya sektoral, dan, di sisi yang lain, antara hasil Musrembang dengan hasil penjaringan aspirasi masyarakat (JARING ASMARA). Terlebih lagi, belum ada mekanisme yang dibakukan secara kuat di dalam DPRD Gunungkidul, seperti SOP, yang memberikan panduan yang jelas bagaimana proses JARING ASMARA semestinya dilakukan. 14 [ ]

14

Secara umum, 6 daerah (Gunungkidul, Sukabumi, Kebumen, Jembrana, Makassar, Bandung) yang diteliti oleh Seknas

FITRA, memiliki data pilah, khususnya SKPD kesehatan dan pendidikan. Meskipun, sayangnya, data pilah tersebut belum secara optimal digunakan untuk mendukung penyusunan RKA-SKPD sektoral. Kabupaten Kebumen berhasil bukan hanya membentuk Pokja PUG tapi juga melembagakan focal point di masing-masing SKPD. Sebaliknya, Kabupaten Jembrana tidak memiliki Pokja PUG, focal point serta data pilah yang ckup kuat (Seknas FITRA, 2010).

44

BAB V INSTRUMEN KELEMBAGAAN SIMPUL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI GUNUNGKIDUL (1)


Hasrul Hanif

integrasi dari beragam program yang ada. Oleh karena itu dalam bab ini akan dibahas lebih mendalam kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) sebagai bentuk pengorganisasian berbasis jejaring- Kabupaten Gunung Kidul lebih mendalam terutama disaat menjalankan fungsi koordinasi dan mendorong upaya integrasi pelbagai program penannggulangan kemiskinan. Singkat kata, menakar kapasitas TKPKD merupakan salah satu cara untuk melihat kapasitas salah satu instrumen dalam kebijakan sosial. Bab ini akan diawali dengan penjelasan proses inisiasi TKPKD berikut desain kelembagaannya. Berikutnya akan dibahas lebih mendalam, bagaimana dinamika yang ada di TKPKD ketika memainkan fungsi koordinasi terutama diantara birokrasi. Tentu saja di dalamnya akan diidentifikasi lebih jauh tentang masalah, peluang dan tantangan TKPD di Gunung Kidul.

ada bab III sudah dijelaskan bahwa salah satu persoalan penting dalam desain kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul adalah masalah koordinasi dan

MENGHADIRKAN TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL

Untuk mengoptimalkan berbagai strategi penanggulangan kemiskinan yang ada, pemerintah Kabupaten Gunung Kidul kemudian mendorong hadirnya jejaring kebijakan (policy network) dan komunitas kebijakan (policy communities) dalam proses penanggulangan kemiskinan melalui Aliansi Strategis Penangggulangan kemiskinan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari birokrasi hingga aktivis ORNOP. 15 Secara kelembagaan, pemerintah daerah berinisiatif untuk
15

Lihat Nota Kesepahaman Antara Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Kpkd) Dengan Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional (TKPK Nasional) Tentang Kerja Sama Penguatan Kapasitas Kelembagaan Tim Koordinasi Penangguiangan Kemiskinan Dan Pemangku Kepentingan Penanggui.Angan Kemiskinan Daerah Melalui Program Aliansi Strategis Untuk Penanggulangan Kemiskinan( Aspek) (Strategic Alliance For Poverty Alleviation On Indonesia) di Kabupaten Gunungkidul. Nomor: 001/MOU/SES/TKPK/VI/2009.

45 membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), yang berfungsi sebagai wadah koordinasi lintas sektoral (dalam tubuh birokrasi) dan lintas pemangku kepentingan (dalam local governance) untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat kabupaten. Hadirnya TKPKD di Gunung Kidul tersebut sebenarnya tidak lepas dari munculnya inisasi pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005. TKPK memiliki mandat utama untuk melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Indonesia melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. 16 Proses tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan mendorong pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan di masing-masing daerah otonom yang kemudian dikenal dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPD). Sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Presiden No. 13 tahun 2009 pasal 19, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dibentuk untuk mengoptimalkan fungsi koordinatif dan konsultatif di daerah. Secara lebih khusus, menurut Peraturan Mendagri No.34 tahun 2009, TKPKD memiliki tugas untuk: 1) Mengoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dengan fungsi berikut ini: pengkoordinasian penyusunan SKPD Kabupaten/Kota sebagai dasar penyusunan RPJMD Kabupaten/Kota di bidang penanggulangan kemiskinan; pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan renstra SKPD; pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan rancangan SKPD; pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan Rencan Kerja SKPD; dan pengoordinasian evaluasi pelaksanaan perumusan dokumen rencana pembangunan daerah bidang penanggulangan kemiskinan.
16

http://tkpkri.org/sejarah-singkat-tim-koordinasi-penanggulangan-kemiskinan.html diunduh 01 Februari 2010.

46 2) Mengoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di provinsi. pengoordinasian pemantaun, supervisi dan tindak lanjut terhadap pencapaian tujuan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan agar sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah; pengoordinasian pemantaun pelaksanaan kelompokprogram penanggulangan kemiskinan oleh SKPD yang meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana dan kendala yang dihadapi; penyusunan hasil pemantauan pelaksanaan program dan atau kegiatan program penanggulangan kemiskinan secara periodik; pengoordinasian evaluasi pelaksanaan program dan atau kegiatan penanggulangan kemiskinan; pengoordinasian penanganan pengaduan masyarakat bidang penanggulangan kemiskinan; dan penyiapan laporan pelaksanaan dan pencapaian program penanggulangan kemiskinan kepada Bupati/Walikota. Sedangkan proses pembentukan TKPKD Gunung Kidul sendiri mulai diinisiasi sejak tahun 2008. Pada tahun 2008 Bupati Gunung Kidul menginisiasi lahirnya SK bupati No. 121/KPTS/2008 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Gunung Kidul. Dalam SK tersebut bupati menunjuk wakil bupati sebagai ketua kelompok kerja. Selanjutnya pada tahun 2009, ada perubahan dalam formasi TKPKD Gunung Kidul ketika dirumuskannya SK No. 121/KPTS/2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Gunung Kidul. Dalam SK tersebut bupati menunjuk Sekretaris daerah sebagai ketua tim dan Kepala BAPPEDA sebagai sekretaris tim. Dengan menghadirkan sekretaris daerah sebagai ketua yang mengkoordinasi seluruh jajaran birokrasi maka peran TKPKD diharapkan lebih kuat. Lebih jauh, TKPKD Gunung Kidul ini kemudian dibagi menjadi tiga kelompok kerja, yaitu: Pokja I Bidang Bantuan Sosial, Pokja II Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pokja III Bidang Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (lihat tabel 12).

47 Tabel 12. Struktur TKPKD Gunung Kidul (SK No. 121/KPTS/2009)


No. 1. 2. 3. 4. 5. JABATAN DALAM TIM Penanggungjawab Ketua Wakil Ketua Sekretaris Anggota JABATAN DINAS

Bupati Sekretaris Daerah Asisten Pemerintahan dan Kesra Kepala Bappeda Kab. Gunungkidul 1. Asisten Perekonomian dan Pembangunan 2. Asisten Administrasi Umum 3. Kepala DPPKAD 4. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga 5. Kepala Dinas Kesehatan 6. Kepala Dinas Pekerjaan Umum 7. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura 8. Kepala BP3KKP 9. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 10. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 11. Kepala Kantor Statistik 12. Kepala Bagian Hukum 13. Kepala Bagian Humas, Protokol dan Rumah Tangga 14. Ketua PWI Gunungkidul KELOMPOK KERJA I: BIDANG BANTUAN SOSIAL 1. Ketua Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi 1. Kepala Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat 2. Anggota 2. Kepala Bidang Statistik dan Pelaporan pada Bappeda 3. Kepala Bidang Sosial pada Dinas Sosnakertrans 4. Ketua HIPMI Gunungkidul 5. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 6. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan; 7. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. 8. Ketua LKDS (Lembaga Kajian Dakwah Sosial) KELOMPOK KERJA II: BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. Ketua Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan 2. Anggota Keluarga Berencana 1. Kepala Dinas Tanaman Pangan 2. Kepala BP3KKP; 3. Kepala Dinas Peternakan; 4. Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial dan Budaya pada Bappeda 5. Konsultan Manajemen P2KP 6. Konsultan Manajemen PNPM-Mandiri Pedesaan 7. Sekretaris BPMPKB 8. Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Umum 9. Ketua Tim Penggerak PKK 10. Ketua GOW Kab. Gunungkidul 11. Kasubbid Kelembagaan dan Partisipasi pada BPMPKB 12. Katalisator Program SAPA 13. Ketua SPP (Serikat Petani Pembaharu) KELOMPOK KERJA III: BIDANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL

48
1. Ketua 2. Anggota Kepala Dinas Perindagkoptam 1. Kepala Cabang BRI Wonosari 2. Kepala BPD DIY Cab. Wonosari 3. Direktur Bank Daerah Gunungkidul 4. Ketua Forum BKM Gunungkidul 5. Ketua Gapensi Gunungkidul 6. Kepala Bagian Kerjasama dan Pengendalian Pertanahan 7. Kepala Bidang Anggaran pada DPPKAD 8. Kasubbid Usaha Perekonomian Masyarakat Desa pada BPMPKB 9. Kepala Sub Bagian Rancangan Hukum 10. Ketua JKPGK (Jaringan Kelompok Perempuan Gunungkidul) 1. Staf BPMPKB 2. Staf Bappeda

Sumber: SK No. 121/KPTS/2009

PROBLEMA KINERJA TKPKD SEBAGAI KELEMBAGAAN SIMPUL

17

Dalam kenyataannya, ada beberapa problema yang masih muncul ketika TKPKD dihadirkan di Gunung Kidul. Problema tersebut bisa dikategorisasikan menjadi dua utama: masalah yang terkait dengan proses pengorganisasian dan kapasitas kelembagaan TKPKD itu sendiri dan masalah yang terkait dengan sistem pendukung seperti data dan sistem informasi kemiskinan, dsb.

Desain dan Kapasitas Kelembagaan

Muncul persoalan dalam aspek desain dan kapasitas kelembagaan dalam kelembagaan TKPD Gunung Kidul mulai dari persoalan kapasitas kepemimpinan, pola hubungan koordinasi hingga pembiayaan. Berikut ini adalah beberapa hal yang muncul: Kapasitas kepemimpinan dalam mendorong koordinasi masih lemah. Posisi wakil bupati sebagai ketua tim, sebagaimana amanat Perpres No. 54 tahun 2005, dalam kenyataannya tidak cukup otoritatif dalam memobilisasi birokrasi dalam rangka membangun koordinasi penanggulangan kemiskinan di Gunung Kidul. Selain itu, tim yang ada juga tidak cukup kuat untuk mengejawantahkan berbagai rencana strtaegis yang ada agar menjadi lebih fisible ketika dioperasionalkan.
17

Bagian ini ditulis sebagian besar datanya berdasarkan hasil wawancara tim peneliti dengan Bambang Supriyanto, PMD

Gunung Kidul, 2010.

49 Kuatnya ego sektoral masing-masing SKPD. Masing-masing SKPD masih berkecenderungan untuk melaksanakan masing-masing program kegiatannya tanpa merasa perlu berkoordinasi dengan SKPD yang lain. Hingga saat ini TKPKD belum mampu menjadi sarana yang efektif untuk memastikan koordinasi program dan meminimalisasi overlapping program atau kegiatan antar SKPD. Tidak melakukan fungsi evaluasi dan monitoring terhadap perencanaan dan implementasi program penanggulangan kemiskinan yang ada. Masing-masing SKPD menentukan target masing-masing tapi tidak ada monitoring lebih jauh terhadap parameter apa yang menjadi dasar tujuan dan target capaian. Persoalan ini sebenarnya sangat umum terjadi di kabupaten Gunung Kidul. Dokumen-dokumen strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak pernah mencantum indikator kinerja yang sifatnya inkremental dan terukur secara tahunan. Kalaupun ada lebih bersifat akumulatif lima tahunan. Dukungan anggaran yang minim. Pendanaan terhadap TKPKD Gunung Kidul selama ini hanya lebih bersifat dukungan dana operasional seperti dana rapat dsb. Banyak hal yang tidak bisa dikerjakan karena dukungan dana yang relatif minim

Daya Dukung Kelembagaan

Selain terkait dengan kapasitas kelembagaan, persoalan juga muncul terkait dengan daya dukung kelembagaan TKPKD. Berikut beberapa hal tersebut: Sistem Informasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang lemah Tidak ada sistem informasi dan database kemiskinan terpadu Hampir seluruh SKPD punya program penanggulangan kemiskinan tapi basis data kemiskinan yang dimiliki berbeda-beda sehingga data antar SKPD tidak pernah sinkron, mis: data Raskin berbeda dengan data dari dinas Kesehatan, dsb. Perbedaan persepsi tentang definisi dan cara pandang kemiskinan Pemerintah memang sudah menegaskan bahwa indikator kemiskinan yang dipakai adalah data dari BPS. Namun data BPS sendiri seringkali tidak valid dan akurat

50 terutama untuk data-data mikro. Seringkali pula indikator-indikator tersebut tidak sesuai dengan konteks lokal yang ada. Kondisi ini membuat birokrasi di tingkat lokal dalam kondisi dilematis. Belum berjalannya upaya Analisa Kemiskinan Partisipatif secara optimal Tidak ada dukungan anggaran yang memadai untuk melakukan AKP. Meskipun sudah ada upaya rapat koordinasi awal untuk mendorong AKP di tengah keterbatasan dana.Pada saat yang sama tidak ada Juklak dan Juknis yang sifatnya lebih instrumentatif namun terpadu yang menjadi panduan analisa kemiskinan di daerah. Forum-forum perencanaan yang tidak terpadu Masing-masing pemangku kepentingan memiliki forum-forum perencanaan program penaggulangan kemiskinan yang berjalan sendiri-sendiri. Mis: Forum musrembang PNPM mandiri, forum PNPM Mandiri perkotaan, Musrembang untuk APBD. Hingga saat ini masih berupa inisiasi awal untuk bertemu diantara para pemangku kepentingan dan belum ada format yang tepat untuk mensinkronkan berbagai forum tersebut untuk menghasilkan AKP. Sistem Informasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang tidak terintegrasi dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Proses perencanaan penanggulangan kemiskinan seyogyanya tidak terpisah dari desain makro sistem perencanaan pembangunan daerah. Namun samapai saat ini sistem informasi penanggulangan kemiskinan gagal menjadi sub sistem dari sistem informasi perencanaan pembangunan daerah. Terlebih lagi SIMRENBANGDA belum menjadi base line yang kuat untuk perencanaan pembangunan di Gunungkidul Sumber Pembiayaan Program Penanggulangan Kemiskinan yang masih bertumpu pada Negara Selalu muncul masalah klasik terkait keterbatasan dana dalam pembiayaan program penanggulangan kemiskinan. Hal ini bersumber dari minimnya sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari luar dana publik. Upaya-upaya untuk mengoptimalkan aktivitas-aktivitas filantropi sebagai sumber pembiayaan belum ada, mis: Badan Zakat Daerah (BAZDA). [ ]

51

BAB VI INSTRUMEN ANGGARAN SOSIAL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL DI GUNUNGKIDUL (2)

Hasrul Hanif, Tenti Kurniawati & Hendra Try A.

mengkaji lebih mendalam trend belanja sosial di Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2007-2010. Yang dimaksud dengan belanja sosial adalah orientasi dan alokasi belanja anggaran daerah yang mencerminkan adanya komitmen pemerintahan daerah dalam memenuhi hak-hak dasar warganya seperti hak pendidikan, hak kesehatan dan hak ekonomi, dan mendorong upaya penanggulangan kemiskinan responsif gender dalam dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pada bagian sebelumnya, sudah dijelaskan dinamika proses yang tentu saja akan punya implikasi secara langsung terhadap subtansi atau isi anggaran daerah di Kabupaten Gunungkidul.

ila pada bab sebelumnya sudah dibahas tentang kelembagaan sebagai salah satu instrumen kebijakan sosial, bab ini akan membahas lebih jauh tentang salah satu instrumen kebijakan sosial lainnya, yaitu anggaran. Oleh karena itu bab ini akan

VISI DAN ORIENTASI SOSIAL DALAM RENCANA STRATEGIS

Banyak pihak sudah mafhum bahwa sebuah kebijakan yang baik akan lahir bila, salah satunya, para pembuat kebijakan mampu merumuskan visi dan misi strategis yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut. Visi strategis tersebut akan menjadi rel atau acuan selama proses kebijakan berlangsung sehingga proses kebijakan berlangsung secara inkremental sekaligus terarah. Tentu saja,

Tulisan ini merupakan laporan penelitian Local Social Budget Spending (LBS) di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang

diselenggarakan atas kerjasama IDEA dan SEKNAS-FITRA. Penelitian tersebut berusaha menakar orientasi sosial pada subtansi anggaran daerah baik dilihat dari aspek pendapatan & penerimaan (revenue) maupun aspek belanja (expenditure) di Kabupaten Gunungkidul. Proses penelusuran data dilakukan oleh Tenti Kurniawati dan Hendra Try Ardianto. sedangkan analisa dinarasikan dan diperkaya oleh Hendra Try Ardianto & Hasrul Hanif.

52

visi strategis tersebut harus dipahami sebagai sesuatu yang dinamis yang selalu berusaha dikembangkan justru dengan berdaptasi dengan tantangan konteks yang ada. Bila kita melihat dokumen-dokumen strategis yang ada di Kabupaten Gunungkidul terlihat secara eksplisit bahwa orientasi pembangunan lokal di kabupaten tersebut tidak hanya semata-mata berorientasi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi semata melainkan juga berusaha mendorong proses pembangunan sosial yang lebih konkrit dalam kebijakan. Dalam RPJMD Gunungkidul 20052010, terutama dalam misi kedua, disebutkan secara eksplisit bahwa pembangunan sosial yang berorientasi pada upaya pembangunan manusia sebagai sumberdaya penting- menjadi salah satu prioritas makro pembangunan di Gunungkidul (lihat tabel 13). Hal terpenting lainnya adalah adanya sinkronisasi antara visi kepemimpinan dan visi kelembagaan yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Hal ini bisa dilihat dari adanya konsistensi dan sikronisasi antara RPJMD dengan Visi dan Misi kepala daerah terpilih. Argumentasi ini bisa diperkuat dengan melihat beberapa indikasi berikut: (1) RPJMD merupakan penjabaran dari Visi dan Misi Kepala Daerah yang terpilih, (2) pencapaian Visi dan Misi Kepala Daerah. prioritas pembangunan dalam RPJMD mendukung

Tabel 13. Perbandingan Visi dan Misi KDH dan RPJMD Visi Misi dalam Misi Kepala Daerah Menjadi Pemerintah Daerah Yang Baik dan Bersih, Rensponsif, Untuk Mendukung Terwujudnya Masyarakat Mandiri dan Kompetitif Misi Pertama Misi Kedua Misi Ketiga Misi Keempat Mewujudkan Mewujudkan Mewujudkan Mewujudkan reformasi pengembangan pengembangan dan pengembangan dunia birokrasi sumber daya pemanfaatan sumber daya usaha dan koperasi manusia (SDM) alam (SDA) wilayah yang masyarakat berwawasan lingkungan dengan pendekatan kewilayahan
kompetensi lembaga dan SDM aparatur. 2) Mewujudkan keserasian hubungan antar tingkat 1) Meningkatkan 1) Mengembangkan potensi 1) Meningkatkan kualitas pelayanan SDA dengan meningkatkan kontribusi PDRB umum dasar nilai tambah produk dan dari sektor pertanian, meliputi: melibatkan peran serta industri, perdagangan penyediaan air masyarakat dalam dan jasa 2) Menciptakan iklim bersih, pelayanan, pengelolaannya dengan investasi yang pendidikan, dan mempertimbangkan aspek kondusif sebagai daya kesehatan keruangan dan kewilayahan 2) Meningkatkan tarik investor/swasta yang ada.

1) Meningkatkan dalam kualitas dan RPJMD

53

3)

4)

5)

6)

7)

pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah Meningkatkan kemampuan aparat dalam pemanfaatan teknologi Meningkatkan kerjasama lintas lembaga dan wilayah di bidang ketentraman dan ketertiban Meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah Meningkatkan kemampuan keuangan daerah Meningkatkan kapasitas pemerintah desa dan pemberdayaan masyarakat desa

kemampuan masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi 3) Meningkatkan kerjasama lintas wilayah dalam peningkatan kualitas pelayanan bidang pendidikan dan kesehatan 4) Meningkatkan pelayanan kependudukan dan keluarga berencana 5) Meningkatkan penanggulangan kemiskinan secara komprehensif 6) Memperluas lapangan pekerjaan 7) Meningkatkan kehidupan beragama dan kerukunan antar umat beragama 8) Memantapkan keamanan dan ketertiban masyarakat

2) Memanfaatkan potensi sumber daya air bawah tanah dan menyediakan sarananya untuk pengairan dan air bersih 3) Memanfaatkan potensi energi primer ( angin, matahari dan gelombang ) untuk memenuhi kebutuhan energi listrik 4) Mengembangkan kerjasama dengan kabupaten tetangga dengan pengelolaan SDA, LH, dan DAS 5) Memanfaatkan jalur jalan lintas selatan (JJLS) dalam pengembangan wilayah 6) Mengembangkan kerjasama dengan perguruan tinggi dalam kegiatan penelitian untuk mengetahui potensi SDA 7) Meningkatkan kerjasama dengan pihak ketiga untuk mengelola SDA 8) Meningkatkan sarana dan prasarana pertanian sesuai dengan lahan Gunungkidul 9) Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan 10) Meningkatkan pencegahan pengawasan, pemulihan dan pengembangan terhadap kerusakan, pencermaran dan kerusakan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup

3) Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) 4) Meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang bernilai ekonomis tinggi 5) Meningkatkan posisi tawar petani dan pelaku UMKM 6) Meningkatkan daya saing produk pertanian dan industri kecil dengan pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) dan bantuan permodalan

Sayangnya, RPJMD Gunung Kidul, sebagai dokumen strategis untuk acuan pembangunan dalam jangka 5 tahun, tidak memiliki indikator tahunan yang jelas. Indikator capaian misi dalam Dokumen RPJMD Kabupaten Gunungkidul 2005-2010 hanya bersifat kumulatif dan makro semata atau tidak merumuskan target-target tahunan -sebagai penjabaran dari strategi dan kebijakan dalam rangka pencapaian misi kepala daerah terpilih-, misalnya untuk tahun pertama kebijakan yang

54

ditekankan adalah X dengan target capaian akhir tahun Y, begitu seterusnya untuk tahun kedua, ketiga, keempat dan kelima dengan penekanan kebijakan dan terget yang menjadi prioritas. Hal ini mengakibatkan beberapa hal, yaitu: (1) tema dan prioritas di RKPD -yang mestinya sebagai bentuk penjabaran tahunan dengan target-target dan prioritasnya-, tidak mengacu pada indikator capaian tahunan dan mengacu pada spirit makro RPJMD, (2) Tidak ada upaya untuk melakukan evaluasi terhadap RKPD secara berkala (tahunan) pada tahun 2007-2009 dan baru muncul pada tahun 2010 (lihat tabel 14). 17 Implikasi lebih jauh sebenarnya akan terlihat dalam proses penentuan prioritas penganggaran setiap tahun. Alokasi anggaran kemudian menjadi terkesan tidak didasarkan pada prioritas yang ada melainkan bersifat hapalan.

Tabel 14. Tema RKPD Gunungkidul 2007-2010 Tema RKPD 2007 Meningkatkan Kesempatan Kerja dan Menanggulangi Kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tema tersebut kemudian dijabarkan kedalam 9 (sembilan) prioritas pembangunan, yaitu : a. Penanggulangan kemiskinan b.Peningkatan kesempatan kerja,investasi dan ekspor c. Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan,dan pembangunan perdesaan
17

2008 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran Melalui Pemenuhan Kebutuhan Dasar Serta Penguatan Ekonomi Masyarakat. Tema tersebut kemudian dijabarkan kedalam 7 (tujuh) prioritas pembangunan, yaitu : a. Pengurangan angka kemiskinan b. Peningkatan kesempatan kerja dan investasi c. Penguatan pembangunan perdesaan dan

2009 2010 Meningkatkan Peningkatan Kesempatan Kerja Kesejahteraan sebagai Upaya Masyarakat melalui Menanggulangi Pengurangan Kemiskinan. Tema Kemiskinan. Tema tersebut kemudian tersebut kemudian dijabarkan kedalam 9 dijabarkan kedalam (sembilan) prioritas 5(sembilan) prioritas pembangunan, yaitu : pembangunan, yaitu : a. Peningkatan Kualitas a. Pengurangan Sumber Daya Manusia kemiskinan dan Pendapatan b. Peningkatan Masyarakat kesempatan kerja b. Peningkatan kualitas c. Revitalisasi infrastruktur pertanian, perikanan, perhubungan dan kehutanan, peningkatan perkebunan alam pengelolaan Sumber pembangunan Daya Alam dan perdesaan lingkungan d. Peningkatan c. Peningkatan upaya penanggulangan aksesibilitas dan

Dalam wawancara mendalam dan FGD tim peneliti dengan birokrasi di BAPPEDA Gunungkidul terungkap bahwa kecenderungan birokrasi di Gunungkidul untuk tidak menjabarkan indikator capaian misi RPJMD tahunan secara detail merupakan upaya untuk menghindari adanya pengawasan (oversights) dari DPRD secara ketat.

55

d. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan e. Penegakan hukum dan HAM,pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi f. Penguatan kemampuan pertahanan,pemantapan keamanan dan ketertiban,serta penyelesaian konflik g. Mitigasi dan penanggulangan bencana h.Percepatan pembangunan infrastruktur i. Percepatan pembangunan daerah perbatasan dan wilayah terisolir

ekonomi masyarakat d. Peningkatan akses serta kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan e. Pemantapan reformasi birokrasi f. Pemanfaatan dan peningkatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) serta pembangunan infrastruktur g. Peningkatan pembangunan wilayah tertinggal

e. f. g. h. i.

kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah Peningkatan investasi dan daya saing ekspor Penguatan kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum Pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur Percepatan pembangunan wilayah tertinggal

Kemiskinan dan kesejahteraan rakyat d. Peningkatan kapasitas dan profesionalisme birokrasi

Bila dikaitkan dengan seberapa jauh pemerintah daerah memiliki komitmen untuk pengarusutamaan jender, tampak jelas bahwa berbagai dokumen strategis yang ada, baik secara tersurat maupun tersirat, tidak benar-benar menegaskan adanya komitmen yang kuat akan hal itu. RPJMD Kabupaten Gunungkidul 2005-2010 secara eksplisit sama sekali tidak memberikan prioritas terhadap upaya pengarusutamaan gender dalam berbagai upaya pembangunan sosial yang ada di kabupaten tersebut. demikian halnya dengan dokumen RKPD yang mengindikasikan secara jelas bahwa pemerintah Kabupaten Gunungkidul tidak memiliki kehirauan secara khusus untuk mengarusutamakan gender dalam pembangunan sosial yang ada di kabupaten tersebut.

SKETSA ANGGARAN SOSIAL DAERAH Hal terpenting lainnya untuk dijelaskan adalah trend anggaran sosial yang ada di Gunung kidul. Tentu saja aspek akan dilihat bukan semata-mata aspek belanja (expenditure) semata melainkan juga

56

aspek pendapatan (revenues). Dengan kata lain,selain akan membahas kemana alokasi anggaran yang ada dan siapa yang akan mendapatkan manfaatnya, tulisan ini juga akan berusaha melihat darimana sumber pembiayaan berasal dan siapa penyumbang terbesar selama ini. Pendapatan

Rendahnya Kemandirian Fiskal


Bila kita melihat trend anggaran selama 4 tahun terakhir, data menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gunung Kidul semenjak tahun 2007-2010 berkisar hanya antara 3.9%-5.4% dari total pendapatan. Secara makro dari tahun 2007-2010, total pendapatan yang yang dihasilkan secara mandiri -dari PAD dan Bagi Hasil Daerah- hanya berkisar 9.2%-15% dari total Pendapatan serta tidak menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Bahkan kalau kita membandingkan antara PAD nominal dengan PAD riil terlihat PAD Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan. Kondisi ini mengindikasikan tingkat kapasitas atau kemandirian fiskal Kabupaten Gunungkidul masih sangat rendah. Tabel 15. Perbandingan PAD Nominal dan Riil PAD NOMINAL PAD RIIL 2008R Rp 33,052,652,583.72 Rp. 33,052,652,583.72 2009R Rp 33,767,139,689.68 Rp. 29,721,978,425.91

Sementara itu, Dana Perimbangan masih sangat mendominasi

sumber pendapatan

Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2007-2010. Kisaran Dana Perimbangan yang didapatkan oleh pemerintah daerah Gunung Kidul sebesar 85%-91% dan tidak ada indikasi penurunan yang sangat signifikan. Tampaknya tingkat ketergantungan terhadap kucuran dana Pemerintah masih sangat tinggi atau, sebaliknya, tingkat kemandirian fiskal Kabupaten Gunungkidul masih sangat rendah. Dana Alokasi Khusus (DAK) sebenarnya bisa menjadi sumber potensial untuk membiayai pembangunan daerah. di Kabupaten Gunung Kidul kontribusi DAK hanya 10% terhadap pendapatan daerah. Kondisi ini membuat kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar -yang merupakan prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, air minum, sanitasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga

57

berencana, kehutanan, sarana dan prasarana perdesaan, serta perdagangan- belum terpenuhi secara optimal. Tabel. 16 Pendapatan Daerah Gunungkidul 2007-2010
PENDAP ATAN Pendapat an Asli Daerah (PAD) Dana perimban gan Lain-lain pendapata n daerah yang sah Total Pendapat an 2007M 22,228,567,310.00 % 3.9% 2008M 28,235,053,200.00 % 4.2% 2009M 36,236,874,500.00 % 5.1% 2010M 39,756,344,800.80 % 5.4%

529,717,729,610.00 24,989,098,300.00

91.8% 4.3%

588,050,700,088.00 63,827,372,500.00

86.5% 9.4%

606,839,197,889.00 70,627,520,100.00

85.0% 9.9%

635,317,518,463.00 54,444,725,100.00

87.1% 7.5%

576,935,395,220.00

100%

680,113,125,788.00

100%

713,703,592,489.00

100%

729,518,588,363.00

100%

Tentu saja fenomena ini bukan hanya berlangsung di kabupaten Gunungkidul saja, melainkan berlangsung di banyak daerah otonom lainnya di Indonesia. Setidaknya ada beberapa penyebab umum yang bisa kita temui di pelbagai daerah otonom yang ada, yaitu (Kuncoro, 2004:13-14): 1) badan usaha milik daerah tidak mampu memaksimalkan keuntungannya sehingga tidak cukup kuat sebagai sumber pendapatan daerah alternatif yang bisa memberikan kontribusi signifikan. 2) Gagal mengoptimalkan sumber pendapatan dari pajak dikarenakan dua hal: (a) tidak adanya taxing power sharing sehingga sampai saat ini sentralisasi pajak masih berlangsung, (b) tidak ada pajak daerah yang benar-benar bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan meskipun jenis pajak daerah cukup beragam (3) secara politis, Pemerintah memang berkepentingan untuk tidak mendorong desentralisasi fiskal terlalu jauh dengan dalih untuk mencegah adanya disintegrasi. Kalau pun ada alokasi dana perimbangan, kalau kita membahas secara lebih detail, sebagian besar justru lebih merupakan specific grant bukan block grant sehingga ruang gerak daerah dalam memanfaatkannya akan sangat sempit.

Ironi Kaum Miskin (masih) Sebagai Penyumbang Terbesar


Lalu sektor mana dan siapa penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah PAD)? Dalam 4 tahun terakhir, Sektor kesehatan masih menjadi primadona sumber Pendapatan Asli

58

Daerah (PAD) dengan kisaran antara 34.10%-42.70% dari total PAD. Kondisi ini cukup mengindikasikan pemerintah daerah Gunungkidul tidak cukup berhasil untuk mendorong potensi ekonomi dari sektor-sektor lainnya sebagai sektor unggulan alternatif dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), semisal pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan dan perdagangan. Kondisi tersebut menunjukkan sebuah ironi, menguatnya berbagai program untuk penanggulangan kemiskinan justru secara kontradiktif, dihadapkan dengan kenyataan bahwa penyumbang terbesar terhadap PAD daerah adalah kelas menengah dan kelas bawah (lower-middle class & lowest class). PAD -yang ditopang oleh retribusi daerah yang dikumpulkan oleh 14 SKPD termasuk RSUD- notabene-nya ternyata disumbangkan oleh komunitas-komunitas yang tidak beruntung (disadvantages) yang selama ini berada di dalam garis kemiskinan.

Tabel 17. PAD dan Retribusi Daerah GK 2007-2010


Uraian PAD Pajak x/Total PAD Retribusi Kesehatan/Tot al PAD Retribusi Pasar/Total PAD Uraian PAD 2007M 3,973,859,750.00 8,107,970,000.00 2,848,729,200.00 22,228,567,310.00 % 17.9% 36.5% 12.8% 2008M 4,915,950,000.00 9,622,147,008.00 1,480,513,200.00 5.20% 28,235,053,200.00 36,236,874,500.00 % 17.40% 34.10% 949,826,300.00 2.60% 39,756,344,800.80 2009M 5,724,000,000.00 3,061,054,000.00 % 15.80% 36% 1,000,887,400.00 2,51% 2010M 6,567,000,000.00 16,968,084,000.00 % 16.50% 42.70%

Indikasi rakyat kecil sebagai penyumbang terbesar ini juga bisa dilihat dari sumber PAD lainnya, yaitu retribusi pasar. Pendapatan retribusi pasar juga termasuk pendapatan yang cukup besar dalam PAD Gunungkidul (sekitar 2.6%-12.8%) dalam rentang waktu 2007-2010. Ini juga mengkhawatirkan karena ternyata PAD Kabupaten Gunungkidul sebagia besar justru ditopang oleh orang miskin, dengan asumsi bahwa pasar-pasar lokal yang ada lebih banyak didatangi oleh pedagang kecil dan menengah. Sebenarnya ada potensi-potensi retribusi lainnya yang bisa dioptimalkan oleh Pemerintah daerah Gunungkidul, semisal retribusi jasa pemotongan hewan dan pengelolaan sampah. Dari data yang ada, terlihat bahwa pada anggaran tahun 2008 restribusi jasa pemotongan hewan menghasilkan Rp 429.685.000,00, meksipun pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp

59

303.750.000,00 atau sekitar 35,13%. Untuk restribusi sampah dari tahun 2008-2009 mengalami stagnasi hanya mendapat restribusi Rp 121.180.000,00 tapi untuk tahun 2010 sedikit mengalami kenaikan menjadi Rp 125.780.000,000, anggaran tahun 2009-2010 diperkirakan mengalami kenaikan sekitar 1,12 %, sementara itu Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU) tiap tahunnya mengalami kenaikan.

Tabel 18. PPJU dan Retribusi Jasa Pemotongan Hewan Dan Sampah Pajak Penerangan Jalan Umum Restribusi jasa pemotongan hewan Restribusi Sampah 2008M 4.000.000.000,00 429.685.000,00 121.180.000,00 2009M 4.800.000.000,00 303.750.000,00 121.180.000,00 2010M 5.800.000.000,00 20.560.000,00 125.780.000,00

Sumber pajak daerah (pajak hotel, restoran, reklame, penerangan jalan, dll) besarannya juga berkisar antara 15.8% -17.9 % dari total pendapatan yang ada. Mengingat kisaran yang cukup besar meskipun masih relatif kecil bila dibandingkan dengan yang lain, pemerintah daerah sebenarnya bisa mendorong lebih jauh aktivitas-akvitas ekonomi yang bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan sumber pendapatan yang berasal dari pajak daerah. Dengan catatan, pemerintah daerah seyogyanya mendorong pajak-pajak daerah yang biasanya dibayarkan oleh masyarakat kelas menengah ke atas bukan pajak daerah yang justru lagi-lagi disumbangkan oleh masyarakat kelas menengah dan kelas bawah seperti Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU). Secara umum, berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa ada potensi-potensi ekonomi lainnya yang bisa didorong secara signifikan sehingga mengurangi ketergantungan pada retribusi kesehatan dan pasar sebagai sumber utama PAD. Namun sayangnya, pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul tidak berhasil mengoptimalkannya.

60

Belanja

Realisasi Belanja
Realisasi Belanja di Kabupaten Gunungkidul, yang menunjukkan tingkat serapan realisasi belanja langsung dan tidak langsung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bila di tahun 2007 hanya 91,8% maka pada tahun 2008 sebesar 96% dan di tahun 2009 sebesar 98%. 18 Tabel 19. Realisasi Belanja 2007-2010
TAHUN BELANJA 2007 2008 2009 PERENCANAAN 626.807.565.501,02 749,140,542,279.00 753,967,881,515.00 REALISASI 575.683.751.365,77 717,302,227,232.29 740,030,116,148.52 PROSENTASE 91,84 % 96% 98%

(Masih) Besarnya Belanja Tidak Langsung


Pada alokasi Belanja dalam APBD Kab. Gunungkidul dari tahun 2007-2010, tampak bahwa Belanja Tidak Langsung (BTL) masih terlihat lebih besar dari Belanja Langsung (BL). Tampak jelas bahwa Besar BTL selalu di atas 55% dan selalu naik dari tahun ke tahun. Kondisi ini membuka peluang bagi semakin sulitnya dan lambatnya pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan daerah secara akseleratif, terutama proses pembangunan yang memberikan dampak atau dirasakan langsung oleh masyarakat atau memberikan multiplier effect. Lebih jauh, belanja aparatur masih mendominasi alokasi Belanja Daerah yang ada. Jika kita amati pada item BTL, fakta menunjukkan bahwa nyaris lebih dari 80% dari total BTL dihabiskan untuk belanja aparatur. Sedangkan di item BL, sekitar 14.6%-16.9% dari anggara Belanja Langsung masih digunakan untuk belanja aparatur. Singkat kata, Belanja Aparatur tampaknya masih menjadi beban dalam anggaran daerah di Kabupaten Gunungkidul sampai hari ini. Persoalannya adalah setiap ada peningkatan belanja pegawai akan selalu dibarengi dengan penurunan pada item Belanja Langsung.

18

Hal terpenting untuk diperhatikan adalah ada kecenderungan di berbagai daerah apabila mendekati PEMILU KADA,

realisasi belanja biasanya akan menurun dikarenakan birokrasi lebih banyak disibukkan dengan aktivitas persiapan PEMILU KADA.

61

Bila kita selusuri lebih mendalam, Membesarnya Belanja Tidak Langsung (BTL) di Kabupaten Gunungkidul selama rentang waktu 2007-2010 memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Pemerintah untuk mengangkat pegawai honorer (guru wiyata bhakti dan guru bantu) sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.Selain itu, besaran Belanja Tidak Langsung (BTL) juga disebabkan oleh item gaji PNS yang dimasukkan sebagai bagian dari DAU. Sehingga dibutuhkan adanya upaya advokasi nasional terkait dengan efek dari kebijakan pengangkatan pegawai honorer daerah sebagai CPNS dan alokasi gaji PNS dalam skema DAU. Yang menarik lainnya adalah alokasi untuk masyarakat juga ada dalam Belanja Tidak Langsung (BTL). Terdapat sejumlah item-item anggaran yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung dalam alokasi Belanja Tidak Langsung (BTL) seperti bantuan sosial, hibah, dsb. Namun hal ini juga potensial untuk digunakan sebagai cara birokrasi mendorong pola-pola klientelistik dalam alokasi anggaran terlebih ketika mendekati PEMILU atau PEMILU KADA.

Tabel 20. Profil Belanja Daerah 2007-2010


BELANJA Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja bgi hsil kpd pemdes Belanja bantuan keu kpd pemdes Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Total Belanja 2007M 361,890,042,122.00 304,033,049,460.00 77,000,000.00 22,386,031,000.00 2,381,005,200.00 28,196,400,000.00 4,816,556,462.00 264,917,523,377.00 41,958,128,800.00 92,654,201,547.00 130,305,193,030.00 626,807,565,499.00 % 57.7% 84.0% 0.0% 6.2% 0.7% 7.8% 1.3% 42.3% 15.8% 35.0% 49.2% 2008M 452,399,289,773.00 370,908,893,482.00 77,000,000.00 415,000,000.00 29,531,335,000.00 2,930,785,520.00 42,242,850,000.00 6,293,425,771.00 296,741,252,506.00 50,041,517,400.00 102,227,970,530.00 144,471,764,576.00 749,140,542,279.00 % 60.4% 82.0% 0.0% 0.1% 6.5% 0.6% 9.3% 1.4% 39.6% 16.9% 34.5% 48.7% 2009M 541,721,839,279.00 468,534,872,965.00 77,000,000.00 1,441,827,500.00 26,494,726,600.00 2,975,452,214.00 39,958,960,000.00 2,239,000,000.00 212,246,042,236.00 35,960,256,125.00 77,487,082,906.00 98,798,703,205.00 753,967,881,515.00 % 71.8% 86.5% 0.0% 0.3% 4.9% 0.5% 7.4% 0.4% 28.2% 16.9% 36.5% 46.5% 2010M 569,644,446,138.00 488,724,169,823.00 77,000,000.00 16,178,850,000.00 18,672,612,250.00 2,994,745,680.00 41,213,790,000.00 1,783,278,385.00 207,316,440,315.00 30,169,867,705.00 73,020,559,760.00 104,126,012,850.00 776,960,886,453.00 % 73.3% 85.8% 0.0% 2.8% 3.3% 0.5% 7.2% 0.3% 26.7% 14.6% 35.2% 50.2%

62

Tentu saja masih ada secercah harapan kecil ketika Belanja Modal dalam Belanja Langsung masih memiliki prosentase yang jauh lebih besar dibandingkan Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan Jasa. Prosentase Belanja Modal yang cukup besar akan memberikan kontribusi yang positif bagi proses akselerasi pembangunan daerah. Dari tahun ke tahun Kab.Gunungkidul sebenarnya mengalami peningkatan besar belanja per kapita, berarti pertumbuhan penduduk dan KK juga diikuti oleh pertumbuhan pendapatan. Jika kita amati besar belanja per penduduk atau per KK tergolong cukup besar, yakni sekitar 1 juta untuk belanja per penduduk dan antara 3 juta dan 4 juta untuk belanja per KK. Artinya, semakin besar pula kewajiban daerah untuk memenuhi hak masyarakatnya. Dalam kolom Belanja Langsung per penduduk atau per KK, terlihat selalu ada peningkatan besar belanjanya. Namun, jumlahnya masih relatif kecil, yakni sekitar 650.000,00 untuk belanja langsung per penduduk dan 1.500.000,00 untuk belanja langsung per KK. Ini berarti, dana pembangunan berupa barang dan jasa publik yang diterima rakyat relatif kecil.

Tabel 21. Belanja Per Kapita 2007-2010


Total APBD dan APBD Per Kapita: Total Belanja APBD (Rp) Total Belanja Langsung (Rp) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Keluarga (KK) Belanja Per Penduduk (Rp/Jiwa) Belanja Per KK (Rp/KK) Belanja Langsung Per Penduduk (Rp/Jiwa) Belanja Langsung Per KK (Rp/KK) 2007M 626,807,565,499.00 361,890,042,122.00 685,210 185,878 914,767.10 3,372,144.98 528,144.72 1,946,922.40 2008M 749,140,542,279.00 452,399,289,773.00 686,772 191,064 1,090,814.04 3,920,887.99 658,732.87 2,367,789.27 2009M 753,967,881,515.00 541,721,839,279.00 687,330 191,064 1,096,951.80 3,946,153.55 788,153.93 2,835,289.95 2010M 776,960,886,453.00 569,644,446,138.00 687,330 191,064 1,130,404.44 4,066,495.45 828,778.67 2,981,432.64

Orientasi Belanja Urusan Pendidikan


Dalam kurun waktu 2007-2010, alokasi belanja di sektor pendidikan Pemerintah Daerah Gunungkidul menunjukkan adanya komitmen untuk memenuhi batas minimal mandat konstitusi sebesar 20%. Hal ini terlihat jelas bahwa alokasi untuk urusan pendidikan yang ada di Kabupaten Gunungkidul bahkan terlihat jauh di atas batas minimal tersebut yakni hampir separo (43%-55%) anggaran daerah diserap untuk sektor pendidikan.

63

Namun, bila kita mencermati besaran belanja lebih detail, tampak bahwa lebih dari 75% anggaran pendidikan habis untuk membiayai aparatur. Hanya 25% saja yang digunakan untuk belanja masyarakat. Artinya, proses pembangunan dalam urusan pendidikan yang memberikan manfaat langsung terhadap masyarakat berjalan sangat lambat. Selain itu, hal ini mengkhawatirkan karena ternyata aparatur (dalam hal ini Guru dan pegawai sekolah) menjadi beban yang cukup berat dalam anggaran. Membengkaknya belanja aparatur dalam sektor pendidikan ini disebabkan oleh penggajian guru, pengangkatan guru honorer, sertifikasi dan tunjangan lain-lain, yang disyaratkan oleh Pemerintah. Pada saat yang sama jumlah DAU, pada rentang waktu 2007-2010, tidak pernah naik secara signifikan.
Tabel 22. Belanja sektor Pendidikan Belanja Daerah Tahun 2007M 580,853,590,753.00 Tahun 2008M 688,458,132,979.08 Tahun 2009M 740,030,116,148.00 Tahun 2010M 776,960,886,453.83 BTL BL TB BTL BL TB BTL BL TB BTL BL Urusan Pendidikan 198,233,059,099.00 63,747,886,029.50 261,980,945,128.50 233,873,630,270.74 61,950,583,187.00 295,824,213,457.74 303,052,547,382.25 78,915,491,350.00 381,967,738,732.25 336,302,472,846.02 93,496,666,450.00 % 76% 24% 45% 79% 21% 43% 79% 21% 52% 78% 22%

TB 429,799,139,296.02 55% Keterangan: Prosentasi TB berbanding dengan jumlah Belanja Daerah Prosentasi BTL dan BL berbanding dengan jumlah TB

Untuk melihat Belanja urusan pendidikan yanng memberikan manfaat langsung kepada masyarakat (direct cost) kita bisa melihatnya pada item belanja infrastruktur layanan, peningkatan akses dan peningkatan mutu. Lalu apakah belanja urusan pendidikan yang memberikan manfaat langsung lebih besar? Berikut gambaran secara detail: Trend belanja administrasi perkantoran terlihat selalu mengalami penurunan, kecuali tahun 2008 mengalami peningkatan 1%. Jika dilihat di dokumen APBD, belanja administrasi perkantoran yang paling besar digunakan untuk penyediaan alat tulis kantor dan penyediaan barang cetakan dan pengadaan, yang besarnya antara Rp 3.500.000.000 sampai Rp

64

650.000.000,00. Catatan pentingnya adalah jika ingin melakukan efesiensi pada belanja administrasi perkantoran, kurang lebih bisa ditekan sebesar 2 milliar atau 2% (merujuk tahun 2010 sebagai jumlah terkecil). Sedangkan trend belanja aparatur dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan yang ajeg dan signifikan, yakni dari 26% (2007), 23% (2008), 18% (2009), dan 14% (2010). Jika dilihat di dokumen APBD, terlihat belanja aparatur yang paling besar adalah penyediaan jasa tenaga administrasi/teknik perkantoran, yang besarnya antara 9 milliar sampai dengan 14 milliar. Catatannya adalah besarnya belanja aparatur ini karena jumlah tenaga administrasi yang tersebar di sekolah-sekolah negeri di seluruh Kab. Gunungkidul dibeban keseluruhannya pada APBD. Sementara itu, trend belanja Infrastruktur dasar mengalami kenaikan dan penurunan yang fluktuatif, yaitu 26% (2007), 10% (2008), 67% (2009), dan 69% (2010). Apabila dibuka di dokumen APBD, pengeluaran terbesar pada tahun 2007 adalah untuk penyediaan buku pelajaran SD/MI dan SMP/MTs sebesar Rp 10.054.610.000,00. Sedangkan untuk tahun 2009 belanja terbesar adalah untuk penyediaan dana pembangunan SD/MI sebesar Rp 46.753.130.000,00. Untuk tahun 2010 belanja terbesar digunakan untuk pembangunan perpustakaan sekolah sebesar Rp 50.750.634.500,00. Adapun, trend belanja peningkatan akses masyarakat mengalami kenaikan dan penurunan yang cukup fluktuatif, yakni 4% (2007), 10% (2008), 5% (2009), dan 11% (2010). Belanja peningkatan akses ini biasanya berupa sosialisasi pendidikan, penyelenggaraan PAUD, Paket A, Paket B, Paket C. Tahun 2008 dan 2010 yang memiliki prosentase terbesar pada belanja peningkatan akses, dalam dokumen APBD terlihat belanja terbesar tahun 2008 adalah kegiatan pengembangan pendidikan keaksaraan sebesar Rp 2.578.575.000,00, sedang tahun 2010 belanja peningkatan akses terbesar adalah penyediaan dana bantuan operasional sekolah untuk SD/MI, SMP/MTs, dan Pesantren Salafiya sebesar RP 7.815.150.000,00. Catatan: tahun 2008 ada dua kegiatan (dari Program Wajar 9 Tahun dan Pendidikan Menengah) yang diberi nama beasiswa transisi sebesar Rp 12.160.000,00 dan beasiswa bagi keluarga tidak mampu sebesar Rp 4.790.000,00, uraian dananya pun untuk aparatur (peneliti: indikasi program abu-abu). Tren belanja peningkatan mutu sangat fluktuatif, naik turunnya pun cukup ekstrim. Yakni 39% (2007), 52% (2008), 6% (2009), dan 4% (2010). Jika dilihat didokumen APBD, terlihat bahwa tahun 2007 pada program manajemen layanan pendidikan terdapat kegiatan peningkatan

65

mutu sebesar kira-kira 19 milliar lebih. 19 Sedangkan tahun 2008 belanja peningkatan mutu terbesar ada di kegiatan pengendalian dan pengawasan penerapan azas efesiensi dan efektivitas penggunaan dana dekonstrasi sebesar Rp 27.179.810.000,00.
Tabel 23. Orientasi Belanja Urusan Pendidikan
Kegiatan Program Pendidikan Belanja Administrasi Perkantoran Belanja Aparatur Infrastruktur Dasar Belanja Peningkatan Akses Masyarakat Belanja Peningkatan Mutu Belanja langsung urusan TAHUN PERBANDINGAN/ CAPAIAN DAERAH (%) 2007M 3,302,762,392.50 16,292,922,645.00 16,058,712,274.00 2,374,094,500.00 24,186,680,800.00 62,215,172,611.50 % 5% 26% 26% 4% 39% 2008M 3,521,939,800.00 14,490,566,645.00 5,955,158,892.00 6,064,259,200.00 32,193,552,650.00 62,225,477,187.00 % 6% 23% 10% 10% 52% 2009M 3,237,638,545.00 14,430,745,100.00 52,535,722,855.00 3,857,902,500.00 4,844,682,350.00 78,906,691,350.00 % 4% 18% 67% 5% 6% 2010M 2,096,693,300.00 12,730,250,000.00 64,828,998,050.00 9,971,135,000.00 3,869,585,100.00 93,496,661,450.00 % 2% 14% 69% 11% 4%

Grafik 1. Orientasi Belanja Bidang Pendidikan

19

Sayang sekali tim peneliti tidak bisa menelusuri lebih mendalam hal ini dikarenakan 2 halaman terkait ini pada

dokumen APBD tahun 2007 hilang atau tidak tercopi.

66

Orientasi Belanja Urusan Kesehatan


Bila dilihat dari angka yang ada, Pemerintah Daerah Gunungkidul mengalokasikan dana kesehatan relatif cukup kecil (dibawah 10%). Ironisnya, dari tahun ke tahun, anggaran untuk kesehatan tersebut mengalami penurunan yang ajeg (sebesar 1%) sejak tahun 2007. Besaran belanjanya pun tampak cukup fluktuatif. Namun demikian bisa disimpulkan lebih dari separo anggaran untuk urusan kesehatan habis untuk belanja aparatur (dari 54%-75%). Hal ini artinya, proses pembangunan yang akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dalam sektor kesehatan sulit berkembang. Selain itu, hal ini mengindikasikan bahwa aparatur (dalam hal ini dokter dan pegawai kesehatan) masih menjadi beban yang cukup berat dalam anggaran. Kondisi ini terjadi karena -sama dengan persoalan di urusan pendidikan- gaji pegawai masih dipegang oleh Pemerintah melalui DAU yang jumlahnya tidak pernah naik secara signifikan.

Tabel. 24 Belanja Sektor Kesehatan


Belanja Daerah Tahun 2007 580,853,590,753.00 Tahun 2008 688,458,132,979.08 Tahun 2009 740,030,116,148.00 Tahun 2010 776,960,886,453.83 BTL BL TB BTL BL TB BTL BL TB BTL BL TB Urusan Kesehatan 41,446,791,595.00 3,936,329,616.00 55,383,121,211.00 7,849,628,000.00 23,380,526,000.00 51,230,154,000.00 34,880,202,550.61 17,689,028,396.00 52,569,530,946.61 31,747,661,049.71 13,070,623,825.00 44,818,284,874.71 % 75% 25% 10% 54% 46% 9% 66% 34% 7% 71% 29% 6%

Keterangan: Prosentasi TB berbanding dengan jumlah Belanja Daerah Prosentasi BTL dan BL berbanding dengan jumlah TB

Untuk mendeteksi Belanja Urusan Kesehatan yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat (direct cost), kita bisa melihatnya pada item belanja infrastruktur layanan, peningkatan

67

akses dan peningkatan mutu. Lalu apakah belanja urusan kesehatan yang memberikan manfaat langsung lebih besar? Berikut gambaran secara detail: Trend belanja administrasi perkantoran merupakan penyerap anggaran cukup besar di bidang kesehatan, yakni 58% (2007), 28% (2008), 39% (2009), dan 27% (2010). Naik turunya pun cukup fluktuatif, meski demikian tahun 2007 prosentasenya paling besar. Tahun 2007 belanja sebesar Rp 5.248.650.000,00 digunakan untuk penyediaan peralatan dan perlengkapan kantor (berupa alat kedokteran), Rp 1.289.700.000 untuk rehabilitasi sedang/berat rumah dinas, dan Rp 4.863.850.000 untuk rehabilitasi sedang/berat gedung kantor. Namun demikian, tahun 2009 dinas kesehatan menganggarkan kembali Rp 4.176.925.000 untuk rehabilitas sedang/berat gedung kantor. Artinya, dalam tiga tahun rehabilitasi gedung kantor dilakukan dua kali, nilainya kurang lebih mencapai 9 milliar. Hal ini mengindikasikan adanya proyek yang berulang. Adapun tren belanja aparatur terlihat selalu meningkat, yakni 11% (2007), 16% (2008), 16% (2009), dan 25% (2010). Dalam dokumen APBD, terlihat belanja aparatur yang paling besar adalah penyediaan jasa tenaga administrasi/teknik perkantoran, yakni antara 700 juta sampai 1,5 milliar. Sedangkan tren belanja infrastruktur dasar bergerak cukup fluktuatif, yakni 12% (2007), 40% (2008), 30% (2009), dan 48% (2010). Tahun 2008 belanja infrakstruktur paling besar digunakan untuk pengadaan obat dan perbekalan kesehatan sebesar Rp 2.196.455.000,00, peningkatan sarana dan prasaran puskesmas sebesar Rp 2.750.000.000,00, dan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit sebesar Rp 1.092.050.000,00. Catatan pentingnya adalah Tahun 2008 ada program yang sama di dua SKPD yang berbeda, yakni peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit. Pada dinas kesehatan sebesar Rp 1.092.050.000,00 dan di RSUD sebesar RP 5.518.980.000,00. Dalam hal ini, tim peneliti berkesimpulan adanya indikasi anggaran duplikasi. Sementara itu, tren belanja untuk peningkatan akses masyarakat menunjukkan gerak yang fluktuatif, yakni 16% (2007), 14% (2008), 23% (2009), dan 10% (2010). Pada tahun 2009 terdapat belanja untuk kegiatan verifikasi dan bantuan pelayanan pengobatan bagi keluarga miskin sebesar Rp 654.650.000,00 (Rp 650.000.000,00 digunakan untuk belanja premi asuransi). Namun, ditahun 2010 kegiatan ini masih dianggarkan sebesar Rp 7.800.000,00 namun belanja untuk premi asuransi sudah tidak ada. Hal ini mengindikasikan bahwa Dinas Kesehatan seolah-olah masih

68

mengalokasikan bantuan pengobatan bagi keluarga miskin, namun tidak ada wujud konkretnya di lapangan sehingga terkesan sebagai program yang abu-abu alias tidak jelas. Terakhir, tren belanja peningkatan mutu terlihat yang paling kecil, yakni 3% (2007), 1% (2008), 2% (2009), dan 1% (2010).

Tabel 25. Orientasi Belanja Bidang Kesehatan


Kegiatan Program Pendidikan Belanja Administrasi Perkantoran Belanja Aparatur Infrastruktur Dasar Belanja Peningkatan Akses Masyarakat Belanja Peningkatan Mutu Belanja langsung urusan TAHUN PERBANDINGAN/ CAPAIAN DAERAH (%) 2007 12,353,440,000.00 2,411,317,000.00 2,449,529,000.00 3,343,388,200.00 627,685,000.00 21,185,359,200.00 % 58% 11% 12% 16% 3% 2008 4,577,800,000.00 2,625,054,000.00 6,473,737,500.00 2,288,622,000.00 221,742,500.00 16,186,956,000.00 % 28% 16% 40% 14% 1% 2009 6,890,179,000.00 2,790,121,396.00 5,245,170,000.00 2,335,193,000.00 428,365,000.00 17,689,028,396.00 % 39% 16% 30% 13% 2% 2010 3,453,976,000.00 3,184,235,700.00 4,917,667,000.00 1,302,880,125.00 119,150,000.00 12,977,908,825.00 % 27% 25% 38% 10% 1%

Grafik 2. Orientasi Belanja Bidang Kesehatan

69

Orientasi Belanja Urusan Ekonomi


Pemerintah Daerah Gunungkidul mengalokasikan dana untuk urusan ekonomi relatif cukup kecil (dibawah 15%). Namun, dari tahun ke tahun, anggaran untuk urusan ekonomi mengalami penurunan yang ajeg (hanya sekali naik di tahun 2007). Kalau kita cermati secara detail, besaran belanjanya tampak cukup fluktuatif. Dalam dua tahun pertama (2007 dan 2008) tampak bahwa besaran belanja untuk masyarakat lebih dari . Artinya, masyarakat memdapat pelayanan barang dan jasa publik secara langsung (direct cost) lebih besar. Namun, dua tahun berikutnya (2009 dan 2010), terjadi penurunan sekitar 15% dari anggaran sebelumnya. Yang menarik adalah, untuk urusan ekonomi, Pemerintah Daerah Gunungkidul tidak terlalu terbebani oleh belanja pegawai seperti dalam urusan pendidikan dan kesehatan.

Tabel 26. Belanja di Urusan Ekonomi


Belanja Daerah Tahun 2007 580,853,590,753.00 Tahun 2008 688,458,132,979.08 Tahun 2009 740,030,116,148.00 Tahun 2010 776,960,886,453.83 BTL BL TB BTL BL TB BTL BL TB BTL BL Urusan Ekonomi 14,054,045,925.61 57,519,558,350.00 71,573,604,275.61 13,899,847,555.66 80,812,586,051.00 94,712,433,606.66 17,724,470,400.19 35,038,037,650.00 52,762,508,050.19 17,386,125,325.58 27,457,210,300.00 % 20% 80% 12% 15% 85% 14% 34% 66% 7% 39% 61%

TB 44,843,335,625.58 6% Keterangan: Urusan Ekonomi diambil sampel dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Peternakan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindagkop, dan Dinas Pekerjaan Umum Pro sentasi TB berbanding dengan jumlah Belanja Daerah Pro sentasi BTL dan BL berbanding dengan jumlah TB

70

Untuk mendeteksi Belanja Urusan Ekonomi yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat (direct cost), kita bila melihatnya pada item belanja infrastruktur layanan, peningkatan akses dan peningkatan mutu. Lalu apakah belanja urusan ekonomi yang memberikan manfaat langsung lebih besar? Berikut gambaran secara detail dengan mengambil sampel dari belanja bidang ekonomi diambil dari empat SKPD, yakni Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Peternakan, dan Dinas Perindagkop: Tren belanja administrasi kantor tidak mengalami kenaikan,mengalami kenaikan cuma pada tahun 2010, yakni 7% (2007), 7% (2008), 7% (2009), dan 9% (2010). Tren belanja aparatur relatif fluktuatif dari tahun ke tahun, yaitu 7% (2007), 6% (2008), 4% (2009), dan 6% (2010). Dari keempat sempel SKPD, belanja aparatur relatif seimbang, sebagai contoh tahun 2010 sebesar Rp 115.195.000,00 untuk Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, Rp 137.644.000,00 untuk Dinas Peternakan, dan Rp 98.995.000,00 untuk Dinas Perindagkom, serta Rp 159.400.000,00 untuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Tren belanja infrastruktur dasar merupakan belanja terbesar dibidang ekonomi, yaitu 51% (2007), 51% (2008), 60% (2009), dan 63% (2010). Dari keempat sempel, Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura yang mendominasi belanja infrastruktur, yakni Rp 5.844.710.500,00 (2007), Rp 6.392.830.000,00 (2008), Rp 3.238.787.250,00 (2009), dan Rp 2.629.745.000,00 (2010). Sedangkan SKPD kedua yang juga banyak pengeluaran/belanja infrastruktur adalah Dinas Perikanan dan kelautan, yakni Rp 692.350.000,00 (2007), Rp 1.653.510.000,00 (2008), Rp 1.885.124.200,00 (2009), dan Rp 1.886.901.500,00 (2010). Tren belanja peningkatan akses modal juga relatif tetap, hanya tahun 2008 naik 1%, rianciannya 6% (2007), 7% (2008), 6% (2009), dan 6% (2010). Dari keempat sempel SKPD, belanja peningkatan akses modal relatif seimbang. Tren belanja untuk proteksi relatif kecil dibanding belanja lainnya, yakni 3% (2007), 9% (2008), 1% (2009), dan 1% (2010). Belanja ini seperti subsidi pertanian, perlindungan konsumen, rekomendasi ijin gangguan. Tren belanja peningkatan SDM relatif cukup besar namun selalu turun dari tahun ke tahun, yakni 15% (2007), 10% (2008), 8% (2009), dan 3 % (2010). Belanja ini berkutat pada pelatihan, pendampingan, atau fasilitasi untuk kelompok masyarakat tertentu.

71

Sedangkan tren belanja peningkatan keuntungan langsung relatif besar, dan naik turun fluktuatif, yakni 12% (2007), 9% (2008), 14% (2009), dan 13% (2010). Belanja ini berupa kegiatan intensifikasi, diservikasi, pengelolaan air, ekspo pemasaran produk. Hal menarik yang perlu dicatat adalah ada beberapa contoh belanja di bidang ekonomi yang peneliti anggap terindikasi anggaran duplikasi. Berikut contohnya; Tahun 2007 ada dua program yang sama di dua SKPD berbeda, seakan-akan ditukar-tukar tempatnya (tabel 27)
Tabel 27. Nama Program tahun 2007

Nama Program Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Program Peningkatan Produksi Hasil Peternakan

Dinas Tanaman Pangan 64.683.000,00 1.950.660.000,00

Dinas Peternakan 46.450.000,00 419.318.250,00

Tahun 2008 ada satu program yang sama di dua SKPD yang berbeda (tabel 28)
Tabel 28. Nama Program tahun 2008

Nama Program Program Peningkatan Produksi Hasil Peternakan

Dinas Tanaman Pangan 1.842.260.000,00

Dinas Peternakan 712.336.375,00

Tabel 29. Orientasi Belanja Bidang Ekonomi


Kegiatan Program Pendidikan Belanja Administrasi Perkantoran Belanja Aparatur Infrastruktur Dasar Belanja Peningkatan Akses Modal Belanja 2007 % TAHUN PERBANDINGAN/ CAPAIAN DAERAH (%) 2008 % 2009 % 2010 %

873,021,000.00

7%

1,139,088,000.00

7%

761,761,000.00

7%

726,395,000.00

9%

935,217,000.00 6,732,435,750.00

7% 51%

1,017,855,000.00 8,373,109,875.00

6% 51%

494,765,000.00 6,625,708,325.00

4% 60%

511,234,000.00 5,346,506,500.00

6% 63%

789,514,500.00

6%

1,196,677,000.00

7%

618,135,000.00

6%

495,245,000.00

6%

444,754,000.00

3%

1,515,905,500.00

9%

163,385,000.00

1%

48,375,000.00

1%

72

Perlindungan/Proteksi Peningkatan SDM Peningkatan Keuntungan langsung Belanja langsung urusan 1,980,187,000.00 15% 1,613,636,500.00 10% 878,902,000.00 8% 222,576,000.00 3%

1,574,355,500.00

12%

1,524,785,100.00

9%

1,541,910,000.00

14%

1,128,852,000.00

13%

13,329,484,750.00

16,381,056,975.00

11,084,566,325.00

8,479,183,500.00

Grafik 3. Orientasi Belanja Bidang Ekonomi

73

Orientasi Belanja dalam Peningkatan Akses Masyarakat dalam PUG


Sebagaimana telah disebutkan pada bagian-bagian sebelumnya, meskipun secara formal dibentuk Pokja PUG namun dalam kenyataannya Kabupaten Gunungkidul tidak secara ekplisit menegaskan pentingnya PUG dalam dokumen-dokumen rencana strategisnya. Pada saat yang sama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul juga tidak memiliki data pilah khusus tentang kemjuan pengarusutamaan gender, semisal Gender Development Index (GDI). 1. Peningkatan Angka Melek Huruf
Tabel 30. Belanja untuk Peningkatan Melek Huruf
Kegiatan Program (APBD) Kegiatan Pendidikan Paket A Kegiatan Pendidikan Paket B Belanja Langsung Sektor Pendidikan TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2007 Tidak ada program Tidak ada program % 2008 Tidak ada program Tidak ada program % 2009 58,350,000.00 510,090,000.00 17,689,028,396.00 % 0.074% 0.646% 2010 65,930,000.00 470,710,000.00 11,539,573,600.00 % 0.071% 0.503%

Alokasi anggaran untuk kegiatan program peningkatan melek huruf tidak lebih dari 1% dari total Belanja Langsung dari Urusan Pendidikan.tentu saja juga sasaran untuk program tersebut sangat umum dan tidak secara khusus untuk perempuan.

2. Angka Lama Sekolah


Tabel 31. Belanja untuk Peningkatan Angka Lama Sekolah
Kegiatan Program (APBD) Program Pendidikan Anak Usia Dini Program Pendidikan Wajib Belajar 9 th Program Pendidikan Menengah Belanja langsung urusan Pendidikan TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2007 20,490,000. 00 14,315,244, 300.00 3,973,461,3 92.00 62,215,172, 611.50 % 0.033 % 23.00 9% 6.387 % 2008 457,280,000.00 3,761,382,000.00 4,330,171,892.00 62,225,477,187.00 % 0.735% 6.045% 6.959% 2009 387,765,000.00 50,921,629,355.00 3,404,391,000.00 78,906,691,350.00 % 0.491% 64.534% 4.314% 2010 92,926,000.00 72,214,916,800.00 2,101,138,750.00 93,496,661,450.00 % 0.099% 77.238% 2.247%

74

Pemerintah daerah Gunung Kidul memprioritaskan pada suksesnya program wajib pendidikan dasar sembilan tahun. Alokasi untuk program ini sebesar 23.% (2007), 6.04% (2008), 64.5% (2009) dan 77.23% (2010) dari total Belanja Langsung Urusan Pendidikan 3. Perluasan Kesempatan Kerja Alokasi anggaran bagi berbagai program untuk meningkatkan kesempatan kerja di wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar 3.59% (2007), 4.17 % (2008), 0.39% (2009) dan 0.37% (2010) dari total Belanja Langsung Urusan Ekonomi.
Tabel 32. Belanja untuk Perluasan Kesempatan Kerja
Kegiatan Program (APBD) 2007 BELANJA LANGSUNG EKONOMI Program Pengembangan Kewirausahaan dan UKM Program Penciptaan Iklim UKM yg Kondusif Program Pembinaan Pedagang Kaki lima Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Program Peningkatan Kesempatan Kerja Program Pengembangan Wilayah Transmigrasi Program Transmigrasi Lokal TOTAL PROSENTASE 57,519,558,350.0 0 0.234% 134,490,000.00 0.227% 130,450,000.00 0.043% 24,500,000.00 0.643% 369,750,000.00 2.177% 1,252,045,000.00 0.487% 280,000,000.00 0.086% 49,280,000.00 3.895% 8,080,000.00 4.712% 0.398% 235,769,000.00 0.010% 0.374% 3,256,338,500.00 0.292% 397,357,500.00 0.054% 407,615,000.00 126,630,000.00 4.029% 11,090,000.00 0.157% 206,425,000.00 2,237,430,000.00 0.302% 2,451,685,000.00 0.052% 933.121% 40,221,000.00 0.316% 25,500,000.00 0.014% 8,200,000.00 0.005% 144,240,000.00 0.032% 22,122,000.00 0.001% % TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2008 % 2009 % 2010 %

80,812,586,051.00 0.178%

740,030,116,148.00 0.011% 79,500,000.00 0.003%

776,960,886,453.83

4. Peningkatan Usia Harapan Hidup Alokasi anggaran untuk peningkatan usia harapan hidup sebesar 41.03% (2007), 31.71% (2008), 44.25% (2009) dan 47,63% dari total Belanja Langsung Urusan Kesehatan.
Tabel 33. Belanja untuk Peningkatan Usia Harapan Hidup
Kegiatan Program (APBD) Program Obat dan Perbekalan Kesehatan TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2007 2,140,940,000.00 % 15.36% 2008 2,196,455,000.00 % 9.39% 2009 1,920,800,000.00 % 10.86% 2010 3,477,892,000.00 % 26.61%

75

Program Kesehatan Masyarakat dan Perorangan Program Pengawasan Obat dan Makan Program Promosi Kesehatan Masyarakat Program Perbaikan Gizi Masyarakat Program Pengembangan Lingkungan Sehat Program Penanggulangan Penyakit Menular Program Sarana dan Prasarana Puskesmas TOTAL PROSENTASE DARI TOTAL BELANJA URUSAN KESEHATAN TOTAL BELANJA LANGSUNG URUSAN KESEHATAN

950,024,500.00 41,430,000.00 710,194,000.00 780,795,200.00 130,391,500.00 643,958,000.00 319,839,000.00

6.82% 0.30% 5.10% 5.60% 0.94% 4.62% 2.30% 41.03%

812,767,500.00 31,800,000.00 433,375,000.00 627,026,500.00 95,227,500.00 467,208,000.00 2,750,000,000.00

3.48% 0.14% 1.85% 2.68% 0.41% 2.00% 11.76% 31.71%

1,111,590,000.00 56,175,000.00 748,385,000.00 360,500,000.00 288,186,000.00 398,857,000.00 2,942,150,000.00

6.28% 0.32% 4.23% 2.04% 1.63% 2.25% 16.63% 44.25%

155,365,000.00 8,705,000.00 604,985,000.00 287,620,000.00 309,455,125.00 399,475,000.00 982,275,000.00

1.19% 0.07% 4.63% 2.20% 2.37% 3.06% 7.52% 47.63%

13,936,329,616.00

23,380,526,000.00

17,689,028,396.00

13,070,623,825.00

5. Penguatan PUG
Tabel 34. Belanja untuk Penguatan PUG
Kegiatan Program (APBD)

TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2007 2008 153,715,000.00 51,455,000.00 30,882,000.00 49,405,000.00 54,754,700.00 171,441,700.00 76,950,000.00 40,310,000.00 134,170,000.00 66,340,000.00 431,175,000.00 132,255,000.00 32,110,000.00 12,040,000.00 2009 40,490,000.00 36,400,000.00 8,350,000.00 11,720,000.00 2010

Program Keserasian Kebijakan anak dan Perempuan Program Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak Program Perlindungan Perempuan Program Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan TOTAL ANGGARAN

Total anggaran untuk berbagai program yang secara ekplisit menyebutkan sebagai bagian dari PUG- sebesar Rp. 171.441.700 (2007), Rp. 431.175.000 (2008), Rp. 132.255.000 (2009) dan Rp. 32,110,000. Jumlah nominal yang relatif sedikit ini menunjukkan bahwa upaya PUG tidak menjadi nilai dasar dalam berbagai program kegiatan dan hanya berada dalam beberapa program yang tidak terlalu signifikan.

76

6. Pengurangan Angka Kematian Ibu Alokasi anggaran untuk berbagai kegiatan yang berdampak pada pengurangan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) rata-rata tidak lebih dari 1,5 % dari total Belanja Langsung Urusan Kesehatan (pada tahun 2008,2009, dan 2010). Bahkan di tahun 2007, kegiatan semacam ini tidak ada sama sekali.

Tabel 35. Belanja untuk Pengurangan Angka Kematian Ibu


Kegiatan Program (APBD) 2007 Kegiatan Audit Maternal Perinatal Kegiatan Gerakan Sayang Ibu Kegiatan Pengembangan Desa Siaga Kegiatan Pengadaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak Kegiatan Penjaringan Neonatal Resiko Tinggi TOTAL PROSENTASE TOTAL BELANJA LANGSUNG URUSAN KESEHATAN 0% 14,225,000.00 0.70% 164,722,500.00 0.31% 72,100,000.00 0.33% 0% 13,936,329,616.00 23,380,526,000.00 17,689,028,396.00 13,070,623,825.00 77,525,000.00 1.41% 4,730,000.00 0.56% 0.03% 7,675,000.00 0.55% 0.06% 73,260,000.00 0.08% 14,900,000.00 31,000,000.00 % TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2008 % 0.06% 5,900,000.00 0.41% 28,950,000.00 0.24% 2009 % 0.03% 4,100,000.00 0.22% 2010 % 0.03%

77

7. Pengurangan Angka Kematian Anak

Alokasi anggaran untuk berbagai kegiatan yang berdampak pada pengurangan tingkat Angka Kematian Anak sebesar 1.12% (2007), 0.65% (2008), 2.79% (2009), dan 4.44% (2010) dari total Belanja Langsung Urusan Kesehatan

Tabel 36. Belanja untuk Pengurangan Angka Kematian Anak

Kegiatan Program (APBD) 2007 Kegiatan Deteksi Tumbuh Kembang Balita Kegiatan Lomba Balita Sehat Kegiatan Pengembangan Posyandu Kegiatan Peningkatan Imunisasi Kegiatan Penyuluhan Perawatan Balita Kegiatan Pelatihan Perawatan Balita TOTAL PROSENTASE TOTAL BELANJA LANGSUNG URUSAN KESEHATAN 0.57% 79,150,000.00 0.19% 26,175,000.00 0.37% 50,985,000.00 1.12% 13,936,329,616.00 %

TAHUN PERBANDINGAN/CAPAIAN DAERAH (%) 2008 21,440,000.00 0.15% 35,525,000.00 0.25% 58,657,500.00 0.15% 35,815,000.00 35,565,000.00 0.65% 23,380,526,000.00 17,689,028,396.00 2.79% 13,070,623,825.00 382,220,000.00 0.20% 54,800,000.00 4.44% 44,740,000.00 2.16% 457,500,000.00 0.42% % 0.09% 31,575,000.00 0.25% 42,375,000.00 3.50% 2009 % 0.18% 25,090,000.00 0.32% 2010 % 0.19%

78

Efisiensi dan Kepatuhan Belanja APBD


Tabel 38. Perbandingan Belanja Pelayanan Dasar dan Belanja DPRD/KD/WKD
Perbandingan Tunjangan Jabatan KD dan WKD Peningkatan Imunisasi Tunjangan Jabatan DPRD Pendidikan Wajar 9 Tahun Tunjangan Perumahan Sarana dan Prasarana Puskesmas 2007 91,260,000.00 79,150,000.00 1,257,432,750.00 14,315,244,300.00 1,070,800,000.00 319,839,000.00 2008 91,260,000.00 35,815,000.00 1,246,014,000.00 3,761,382,000.00 1,060,800,000.00 2,750,000,000.00 2009 91,260,000.00 35,565,000.00 1,247,841,000.00 50,921,629,355.00 1,060,800,000.00 2,942,150,000.00 2010 91,260,000.00 54,800,000.00 1,247,841,000.00 72,214,916,800.00 1,067,200,000.00 982,275,000.00

Sejauh melihat tabel 38 di atas, terlihat bahwa pos belanja untuk DPRD, Kepala daerah, dan wakil kepala daerah masih terlihat cukup normal. Tiap tahun tidak ada kenaikan jumlah anggran cukup yang mencolok, bahkan relatif selalu tetap. Belanja DPRD, Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah jumlahnya masih relatif kecil jika dibandingkan dengan beberapa program pokok pelayanan dasar, seperti pendidikan wajib belajar 9 tahun dan sarana prasarana puskesmas. Meskipun ada hal hal yang terlihat agak mencolok yaitu tunjangan jabatan Kepala daerah dan wakil kepala daerah (hanya dua orang), angkanya jauh lebih besar dari kebutuhan imunisasi bagi BALITA.

Tabel 39. Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Belanja KD dan WKD Gaji Pokok Tunjangan Keluarga Tunjangan Jabatan Tunjangan Beras Tunjangan PPh Pembulatan gaji Iuran Kesehatan Besar Biaya Operasional Total Belanja KD dan WKD Total PAD 2007 58,305,000.00 4,504,500.00 91,260,000.00 2,308,800.00 5,091,288.00 1,200.00 8,640,000.00 300,000,000.00 470,110,788.00 22,228,567,310.00 2008 69,966,000.00 4,504,500.00 91,260,000.00 2,308,800.00 10,182,576.00 1,200.00 8,640,000.00 300,000,000.00 486,863,076.00 28,235,053,200.00 2009 80,859,221.30 5,439,763.94 91,260,000.00 2,308,800.00 10,182,576.00 1,200.00 8,640,000.00 300,000,000.00 498,691,561.24 36,236,874,500.00 2010 53,742,000.00 3,968,640.00 91,260,000.00 2,538,000.00 5,515,562.00 1,300.00 8,640,000.00 300,000,000.00 465,665,502.00 39,756,344,800.80

Dari tabel 39 di atas, terlihat bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak menerima penghasilan dan fasilitas rangkap dari negara. Artinya, belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Gunungkidul tidak melanggar ketentuan PP Nomor 109 Tahun 2000 Pasal 5.

79

Menurut PP Nomor 109 Tahun 2000 Pasal 9(2) menyebutkan bahwa daerah yang memiliki PAD di atas Rp 20 milyar s/d Rp 50 milyar paling rendah Rp 300 juta dan paling tinggi sebesar 0,80%. Maka Biaya Operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Gunung Kidul telah memenuhi norma dan kepatuhan aturan perundang-undangan yang ada.

Tabel 40. Belanja DPRD


Belanja DPRD Uang Representasi Ketua DPRD Wakil Ketua Anggota Tunj. Komunikasi Intensif (3x representasi) Ketua DPRD Wakil Ketua Anggota Tunjangan Jabatan (145% representasi) Ketua DPRD Wakil Ketua Anggota Uang Paket (10% representasi) Ketua DPRD Wakil Ketua Anggota Keseluruhan Belanja DPRD 3,045,000.00 2,436,000.00 2,283,750.00 6,300,000.00 6,300,000.00 6,300,000.00 2,100,000.00 1,680,000.00 1,575,000.00 PP 21/2007 6,300,000.00 5,040,000.00 4,725,000.00 PP 21/2007 3,045,000.00 2,436,000.00 2,283,750.00 Permendagri 58/2007 7,393,598,115.00 210,000.00 168,000.00 157,500.00 210,000.00 168,000.00 157,500.00 6,252,260,760.00 3,045,000.00 2,436,000.00 2,283,750.00 4,200,000.00 4,200,000.00 4,200,000.00 2,520,000.00 2,016,000.00 1,890,000.00 PP 21/2007 7,560,000. 00 6,048,000. 00 5,670,000. 00 PP 21/2007 3,654,000. 00 2,923,200. 00 2,740,500. 00 Permenda gri 58/2007 252,000.00 201,600.00 189,000.00 3,045,000.0 0 2,436,000.0 0 2,283,750.0 0 2,100,000.0 0 2,100,000.0 0 2,100,000.0 0 2,426,955.4 4 1,941,564.3 6 1,820,216.5 8 PP 21/2007 7,280,866.32 5,824,693.08 5,460,649.74 PP 21/2007 3,519,085.39 2,815,268.32 2,639,314.04 Permendagri 58/2007 210,000.00 168,000.00 157,500.00 5,510,614,3 45.68 242,695.54 194,156.44 182,021.66 210,000.00 168,000.00 157,500.00 4,960,793,860.00 3,045,000.00 2,436,000.00 2,283,750.00 2,100,000.00 2,100,000.00 2,100,000.00 2,100,000.00 1,680,000.00 1,575,000.00 PP 21/2007 6,300,000.00 5,040,000.00 4,725,000.00 PP 21/2007 3,045,000.00 2,436,000.00 2,283,750.00 Permendagri 58/2007 210,000.00 168,000.00 157,500.00 2007 Kepatuhan 2008 Kepatuha n 2009 Kepatuhan 2010 Kepatuhan

Dari tabel 40 di atas, dapat kita peroleh gambaran tentang kepatuhan penganggaran dalam belanja DPRD. Tunjangan Komunikasi Intensif telah sesuai dengan ketentuan pada PP Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 14A(3). Tunjangan jabatan juga telah memenuhi ketentuan 145% dari uang representasi dan uang paket 10% dari uang representasi. Artinya, pengagaran belanja DPRD Gunungkidul telah memenuhi ketentuan dalam PP Nomor 21 Tahun 2007 dan Permendagri No 58 Tahun 2005

80

Tabel 41. Belanja Bantuan Sosial Belanja Bantuan Sosial Organisasi Kemasyrakatan Badan/Kelompok/Perorangan Partai Politik Total Bantuan Sosial 2007 1,253,151,000.00 14,165,265,000.00 900,000,000.00 16,318,416,000.00 2008 232,640,000.00 27,729,275,000.00 900,000,000.00 28,861,915,000.00 2009 40,000,000.00 26,656,534,600.00 900,000,000.00 27,596,534,600.00 2010 30,000,000.00 17,760,302,000.00 882,310,250.00 18,672,612,250.00

Tabel 42. Belanja Manfaat 2007 Pendidikan Belanja Infrastruktur Layanan Belanja Peningkatan Akses Total Belanja Belanja Infrakstruktur Layanan Belanja Peningkatan Akses Total Belanja 16,058,712,274.00 2,374,094,500.00 18,432,806,774.00 2,449,529,000.00 3,343,388,200.00 5,792,917,200.00 2008 5,955,158,892.00 6,064,259,200.00 12,019,418,092.00 6,473,737,500.00 2,288,622,000.00 8,762,359,500.00 2009 52,535,722,855.00 3,857,902,500.00 56,393,625,355.00 3,324,370,000.00 4,255,993,000.00 7,580,363,000.00 2010 64,828,998,050.00 9,971,135,000.00 74,800,133,050.00 1,439,775.00 4,780,772,125.00 4,782,211,900.00

Kesehatan

Kalau kita lihat tabel 42, pada tahun 2007, total belanja manfaat di urusan pendidikan dan kesehatan relatif lebih besar dibanding dengan belanja bantuan sosial. Meski besar belanja bantuan sosial hampir 3 kali lipat belanja manfaat kesehatan. Sedangkan pada tahun 2008, belanja bantuan sosial jauh di atas belanja manfaat di urusan pendidikan dan kesehatan. Bahkan, jika di gabung sekaligus (pendidikan + kesehatan) yakni sebesar 20,781,777,592.00, masih jauh di bawah belanja bantuan sosial (28,861,915,000.00). Adapun pada tahun 2009 dan 2010, karena urusan pendidikan banyak melakukan pembangunan sekolah dan perpustakaan, besaran belanja manfaat jauh diatas belanja bantuan sosial. Dengan kata lain, kecuali tahun 2008, belanja bantuan sosial dianggarkan setelah pelayanan dasar terpenuhi (indikator: belanja pelayanan dasar lebih besar dari belanja bantuan sosial). Hal ini berati telah sesuai dengan Permendagri 58 Tahun 2005.

81

BAB VI REKOMENDASI
Hasrul Hanif

penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul agar mampu memberikan efek sistemik dan mendorong kehidupan sosial yang lebih baik lagi di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY.

B
A.

ab ini akan memberikan catatan-catatan penting sebagai bentuk rekomendasi. Rekomendasi ini menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan strategi

SUBTANSI KEBIJAKAN

Bila kita bersepakat dengan penjelasan sebelumnya tentang kemiskinan dan ketimpangan sosial maka ada hal penting yang perlu ditekankan bahwa aspek penanganan kemiskinan tidak hanya terfokus pada upaya dekomodifikasi terhadap layanan publik dasar, seperti pemberian SPP gratis, pengobatan murah, dsb melainkan lebih jauh harus berorientasi pada upaya redistribusi sumber daya untuk mengatasi kesenjangan kelas sosial dan kesenjangan secara spasial (baik antar desa maupun antar kecamatan). (lihat skema dibawah). Dengan kata lain, subtansi penanggulangan kemiskinan mestinya mencakup dua aspek penting, yaitu:
Pendidikan, kesehatan, keamanan, dan air bersih

DEKOMODIFIKASI

KEMISKINAN STRUKTURAL

input

output
KELAS SOSIAL

Reformasi Pajak dan retribusi

REDISTRIBUSI

SPASIAL

Pagu Indikatif kecamatan

82

Pertama, Dekomodifikasi. Pelbagai layanan-layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, air bersih dan sanitasi, harus diperlakukan sebagai public goods yang bisa diakses oleh seluruh komunitas bukan sebagai komoditas. Lebih jauh, subtansi kebijakan juga harus memastikan bahwa pemberian layanan publik tersebut menyentuh seluruh warga (baca: bersifat universal bukan residual). Hal ini digunakan untuk menghindari pola-pola klientelistik dalam pelayanan publik dimana pemberian pelayanan publik dasar secara murah atau gratis hanya dialokasikan kepada warganegara yang bisa memberikan loyalitas politik kepada penguasa. Kedua, Redistribusi. Subtansi kebijakan yang ada seyogyanya bisa memastikan persebaran sumberdaya material secara merata baik antar individu atau komunitas maupun antar wilayah. Untuk memecahkan kesenjangan antar kecamatan maka pagu indikatif kecamatan menjadi salah satu peluang yang memungkinkan untuk dilakukan. Sementara itu, mendorong taxing power sharing antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah daerah lebih jauh juga menjadi instrumen redistribusi penting untuk didorong. Sebab pajak daerah merupakan instrumen penting bagi pemerataan sumberdaya publik di daerah. Selain itu, desain kebijakan yang ada juga semestinya memperhatikan dua aspek yang saling berkelindan dalam setiap proses kebijakan, termasuk kebijakan penanggulangan kemiskinan, yaitu: pertama, input. Hal yang paling urgen untuk diselesaikan dalam aspek ini adalah bagaimana mengoptimal pajak sebagai sumber pembiayaan dengan strategi (1) intensifikasi dengan memperbaiki kualitas pelayanan dan menekan kebocoran atau korupsi retribusi dan pajak, mengoptimalkan potensi, penguatan kapasitas kelembagaan pengelola retribusi dan pajak daerah, (2) ekstensifikasi seperti mengoptimalkan taxing power sharing, mengubah tarif, perluasan obyek pajak, dsb. Selain itu ada potensi untuk memanfaatkan sumber pembiayaan alternatif dalam proses penanggulangan kemiskinan dari pihak ketiga. Pembiayaan tersebut bisa berasal dari dana Corporate Social Responsibility (CSR). Namun Pemda Gunungkidul juga bisa mengoptimalkan dana-dana filantropi keagamaan, dsb.

83 Hal ini penting dilakukan mengingat selama ini banyak program penanggulangan

kemiskinan yang dibiayai dari sumber-sumber hutang luar negeri. Kalau hal ini tidak bisa diminimalisasi akan menimbulkan dampak-dampak struktural jangka panjang yang justru akan kontraproduktif dengan aktivitas penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Kedua, menata orientasi output kebijakan. Selama ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan sebenarnya lebih berorientasi pada upaya menjaga stabilitas sosial semata. Maka wajar saja yang menjadi sasaran adalah masyarakat yang diklaim sebagai penyandang masalah sosial (PMS) bukan warganegara yang memiliki hak-hak dasar yang melekat pada dirinya. Maka orientasi kebijakan ke depan haruslah berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar warga.
B. PROSES KEBIJAKAN

Sebagai bagian dari upaya mendorong proses tata kelola pemerintahan daerah yang baik dan demokratis, terutama dalam proses kebijakan sosial, ada beberapa hal yang mesti ditata ke depan. Setidaknya ada beberapa agenda krusial yang mesti didorong lebih jauh di pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul, yaitu: Pertama, Integrasi berbagai sistem perencanaan dan penganggaran. Ada kebutuhan untuk mengoptimalkan dan melembagakan proses integrasi perencanaan reguler dengan perencanaan ad hoc yang ada. Hal ini sebenarnya sudah diinisasi melalui proses pengintegrasian perencanaan daerah dan PNPM sebagaimana tersurat dalam Surat edaran Bupati Gunungkidul Nomor 410/1813 tanggal 16 Desember 2009 tentang tata cara pengintegrasian perencanaan pembangunan daerah dengan perencanaan PNPM-MP telah memayungi pelaksanaan integrasi perencanaan tahun 2010. Pelaksanaan perencanaan PNPM dilaksanakan bersamaan sehingga warga tidak beberapa kali berkumpul membuat perencanaan. Pada saat yang sama dibutuhkan adanya sinkronisasi perencanaan dan penganggaran yang basisnya spasial, sektoral, maupun daerah pemilihan. Ke depan, pemerintahan daerah harus mendorong berbagai upaya yanng berusaha mengintegrasikan pagu politik, pagu wilayah (PIWK) dan pagu sektoral. Kedua, optimalisasi capaian derajat transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan kesetaraan dalam tata kelola pemerintahan daerah di kabupaten Gunungkidul. Ada

84

kebutuhan untuk membuat media yang tidak hanya bisa diakses oleh publik tapi juga mudah dipahami ketika memberikan berbagai informasi yang terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran yang ada di Kabupaten Gunungkidul agar derajat transparansi bisa dicapai secara maksimal. Tentu saja prasyarat penting yang harus dipenuhi adalah berbagai dokumen yang ada semestinya bukan hanya bisa diakses dengan permintaan tapi dipublikasikan secara luas. Dalam aspek akuntabilitas, integrasi sistem akuntabilitas publik harus diagendakan ke depan. Dalam hal ini ada kebutuhan untuk mempertemukan sistem akuntabilitas teknokratis yang sudah ada dengan sistem akuntabilitas politik dan akuntabilitas sosial. Sedangkan aspek partisipasi, derajat keterlibatan publik yang sangat mendalam dibutuhkan tidak hanya dalam proses perencanaan tapi juga proses penganggaran. Sementara itu, aspek kesetaraan bisa dilembagakan lebih jauh dengan mengembangkan data pilah di berbagai sektor sekaligus melakukan pelembagaan partisipasi perempuan dengan basis regulasi dan desain kelembagaan yang lebih kuat.

C. INSTRUMEN KELEMBAGAAN

Ada beberapa agenda penting yang bisa dilakukan agar TKPKD mampu menjadi simpul kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang lebih optimal, yaitu: 1. Mendorong penguatan kapasitas kelembagaan TKPKD Gunungkidul dengan: a. Menguatkan kapasitas koordinatif dan instruktutif ketua tim. Selaras dengan dengan Perpres 13 tahun 2009, SK bupati yang baru menempatkan posisi ketua tim di sekretaris Daerah dengan wakil ketua dipegang oleh Assek pemerintahan dan Kesra.Sedangkan Sekretaris dipegang oleh Ka. BAPPEDA. Hal ini penting dilakukan supaya sinergi antar SKPD dalam program penanggulangan kemiskinan bisa terwujud. Posisi Sekda sebagai sebagai top executive memungkinkan TKPKD bisa mengontrol langsung semua kegiatan. b. Menguatkan fungsi TKPKD untuk tidak hanya melakukan fungsi koordinasi tapi juga secara partisipatif melakukan pengendalian, pemantauan dan mengukur kinerja program penanggulangan kemiskinan yang ada di Gunungkidul. c. Memanfaatkan posisi Gunung Kidul sebagai pilot project SAPA agar bisa menopang kapasitas kelembagaan TKPKD.

2. Mengoptimalkan peran daya dukung yang ada melalui:

85

a. Sinkronisasi sistem informasi dan database baik dalam proses perencanaan maupun implementasi program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya lintas sektoral mulai dari level Pemerintah hingga pemerintah daerah b. Mendorong database kemiskinan yang lebih terpadu dan akurat dengan mengkombinasikan data makro ( hasil BPS) dan data mikro daerah (hasil Analisa Kemiskinan Partisipatif). c. Mendorong program SAPA untuk menemukan indikator lokal ttg kemiskinan yang akan menjadi panduan utama dalam mendefinisikan indikator kemiskinan. d. Mensikronkan forum-forum atau musyawarah Perencanaan dan Pembangunan dari berbagai aktivitas yang ada agar menjadi forum terpadu.

D. INSTRUMEN ANGGARAN

Agar anggaran yang ada bisa menjadi instrumen penting bagi program penanggulangan kemiskinan secara optimal di Gunungkidul ada beberapa hal yang penting untuk dikedepankan. Persoalan utama dalam proses penganggaran daerah adalah sumber pendapatan asli daerah masih sangat bergantung pada sumber-sumber yang ditopang oleh masyarakat kelas menengah ke bawah seperti retribusi kesehatan dan retribusi pasar. Oleh karena ada kebutuhan untuk mencari sumber-sumber PAD baru sekaligus mendorong taxing power sharing yang lebih besar dalam konteks hubungan pusat-daerah. Pada aspek belanja, masih besarnya Belanja Tidak Langsung sedikit banyak akan berpengaruh terhadap laju pembangunan yang memberikan aspek manfaat langsung untuk warga. Selain itu hal yang perlu diwaspadai adalah alokasi Belanja Tidak Langsung yang menjadi sarana yang potensial terjadinya praktik klientelisme seperti dana bantuan sosial, dsb. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk meminimalisasi Belanja Tidak Langsung (BTL) yang potensial menjadi sarana klientelistik sekaligus mengoptimalkan belanja langsung yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

86

POIN-POIN REKOMENDASI

ASPEK SUBTANSI

LINGKUP Strategi (1): Dekomodifikasi Strategi (2): Redistribusi sosial Aspek Input:

ISU-ISU KUNCI Skema Universal bukan residual Reformasi sistem retribusi dan pajak Penguatan pagu indikatif kecamatan Mendorong kebijakan full employment yang sensitif hak pekerja (pro-labour) Mengoptimalkan pajak sebagai sumber pembiayaan Mengurangi ketergantungan pada sumber hutang luar negeri Mencari sumber alternatif pembiayaan:

CSR Dana ZISWAQ


Aspek Output Orientasi pada pemenuhan hak dasar bukan stabilitas sosial Sasaran: Warga negara bukan penyandang masalah sosial

Proses

Integrasi sistem

Integrasi berbagai sistem perencanaan dan penganggaran Integrasi sistem perencanaan dan penganggaran sektoral, spasial dan daerah pemilihan (Musrenbang dan Jaring Asmara)

Transparansi Akuntabilitas Partisipasi Kesetaraan

Media informasi perencanaan dan penganggaran yang bisa diakses secara luas dan dipahami dengan mudah Sinkronisasi akuntabilitas teknokratis, akuntabilitas sosial dan akuntabilitas politik Mengoptimalkan partisipasi bukan hanya dalam proses perencanaan melainkan juga proses penganggaran Pengembangan data pilah di berbagai sektor Menguatkan kapasitas koordinatif dan instruktutif ketua tim TKPKD Menguatkan fungsi TKPKD untuk tidak hanya melakukan fungsi koordinasi tapi juga secara partisipatif melakukan pengendalian, pemantauan dan mengukur kinerja program penanggulangan kemiskinan Memanfaatkan posisi Gunung Kidul sebagai pilot project SAPA agar bisa menopang kapasitas kelembagaan TKPKD

Instrumen: Kelembagaan

Desain kelembagaan

Daya dukung

Sinkronisasi sistem informasi dan database

87
Mendorong database kemiskinan yang lebih terpadu dan akurat Mendorong program SAPA untuk menemukan indikator lokal tentang kemiskinan Mensikronkan forum-forum atau musyawarah Perencanaan dan Pembangunan dari berbagai aktivitas yang ada agar menjadi forum terpadu

Instrumen: Anggaran

Pendapatan Belanja

Mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang tidak menjadi beban masyarakat miskin Meminimalisasi Belanja Tidak Langsung (BTL) yang potensial menjadi sarana klientelistik Mengoptimalkan belanja langsung yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat

88

DAFTAR PUSTAKA

Beetham, David, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press. Bruijn, Hans A. de & Hans A.M. Hufen, 1998, the Traditional Approach to Policy Instruments dalam B. Guy Peters & Frans K.M van Nispen (eds.), Public Policy Instruments: Evaluating the Tools of Public Administration, Edward Elgar. Edlund, Jonas, 2007, Class Conflict and Institutional Feedback Effect in Liberal and Social Democratic Welfare Regimes: Attitudes towards State Redistribution and Welfare Policy in Six Western Countries dalam Stefan Svallfors (ed.), The Political Sociology of the Welfare State: Institutions, Social Cleavages, and Orientations, Stanford University Press. Hanif, Hasrul & Nanang Indra Kurniawan, 2007, Mengarusutamakan Partisipasi dalam Pemerintahan Daerah dalam Arie Ruhyanto (ed.), Merajut Good Governance dalam Pemerintahan Daerah, PLOD UGM-World Bank Institute. JPIP, 2006, Rating Kinerja Otonomi Daerah: Otonomi Award JPIP 2006 Jateng dan DIY, JPIP. Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Erlangga. Kymlicka, Will, 1995,Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press. Lyntastad, Jan, Nico Keilman, Hilder Bojer &Ib Thomsen, 1997, Poverty and Economic Inequality: Concepts, Measures, and Methods, dalam Jan Lyntastad, Nico Keilman, Hilder Bojer & Ib Thomsen (eds.), Poverty and Economic Inequality in Industrialised Western Societies, Scandinavian University Press. Manza, Jeff, 2006, Inequality dalam Bryan S. Turner (ed.), Dictionary of Sociology, Cambridge University Press. Masudi, wawan & Hasrul Hanif, 2010, Politik Kesejahteraan Sosial di Indonesia Kontemporer: Memahami Visi Sistem Kesejahteraan Sosial dalam UU No. 11 tahun 2009, makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian UGM 2009, LPPM UGM, 12 Januari 2010. Pemkab Gunung Kidul, 2007, Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Gunung Kidul, Pemkab Gunung Kidul. Pemkab Gunung Kidul, 2008, Buku Saku Kabupaten Gunungkidul 2008, Pemkab Gunung Kidul. Rawls, John, 2004,Justice As Fairness, dalam Colin Farrelly (ed.), Contemporary Political Theory: A Reader, Sage Publication. Santoso, Purwo, 2008, Modul Kuliah Kebijakan Publik, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, belum dipublikasikan. Santoso, Purwo, Hasrul Hanif & A.E Priyono, 2010, Kekuasaan, Kesejahteraan dan Demokrasi: Sebuah Kerangka Pikir, disampaikan dalam workshop regional PWD, di Bandung, Surabaya dan Makassar, selama bulan Maret-April 2010. Seknas-FITRA, 2010, Potret Demokratisasi & Orientasi Kebijakan Anggaran di 6 Daerah: Draft, Munas Seknas FITRA, Yogyakarta 16 Juli 2010

89

Sen, Amartya, 1999, Development as Freedom, Oxford University Press. Sen, Amartya, 2001, Masih Adakah harapan Bagi Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan tentang Etika dan ilmu Ekonomi di fajar Milineum Baru, Mizan. Soetrisno, Loekman, 1999,Subtansi Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan dalam Awan Setya Dewantara, dkk (eds.), Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya Media. Todaro, Michael & Stephen C. Smith, 2008, Pembangunan Ekonomi, edisi sembilan, Erlangga.

You might also like