You are on page 1of 29

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri

sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,7

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1,2 Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecilkecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.3 Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3,7 Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.2 II.1. DEFINISI Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.2,3 Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. 2,8 Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa). 2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis. 3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkambangan dan pertumbuhan,

ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus. Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jiratjirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian: Duodenum terletak retroperitoneal; Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium; Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal; Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum; Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak mempunyai alat pengantung; Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium, lipatan peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung processus vermiformis. Ia sebenarnya lanjutan dari cecum. Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior. Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital, sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon

transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa omentalis. Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan pada diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra, terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae. Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat: Vena portae; Arteria hepatica propria; Ductus choledochus; Serabut-serabut saraf otonom; Pembuluh-pembuluh lympha. Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan ini ditengah-tengah berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan ductus hepaticus communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi disebelah dorsal pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni dan caput pancreatis bermuara di papillae duodeni major. Di dalam mesenterium dan duodenum (mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan tumbuh pankreas. Karena mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat dengan peritoneum parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi cauda pancreatis masih tetap didalam omentum majus. Didalam omentum majus disebelah ventral cauda pancreatis lien terbentuk dan berkembang kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh lembaran kiri omentum majus. Omentum majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum precholienale, bagian antara lien dan peritoneum parietale yang menutupi diaphragma, ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri mulai melekat pada lien dikelilingi hilus. Karena perubahan letak ventriculus terjadilah bursa omentalis. Lubang masuk kedalam bursa omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi) dibatasi: Dibagian cranial oleh processus caudatus Dibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior. Bursa omentalis sendiri dibatasi: Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien Omentum majus yang melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah vental sebagai suatu tirai untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura

major ventriculi. Kedua lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang tidak tumbuh merupakan lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae omentalis. Bagian bursae omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis. Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.5 Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. 4 Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 4 Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekulmolekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil.5 Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 6,7 II.2. ANATOMI Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.6 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a.

sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan.6 Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI XII dan n. lumbalis I.6 II.3. ETIOLOGI Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.2 a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok EnterobacterKlebsiella, Mycobacterium Tuberculosa. b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung). 2,3,9 II.4. PATOFISOLOGI Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 1 Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 5 Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 10 Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. 5 Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 1 Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.7 Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.4 Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.1 Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7 Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.1,7 5. KLASIFIKASI Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2,3,5,9 a.Peritonitis bakterial primer Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi

dua, yaitu: 1.Spesifik : misalnya Tuberculosis 2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. b.Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: - Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. - Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. - Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis. c.Peritonitis tersier, misalnya: - Peritonitis yang disebabkan oleh jamur - Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. d.Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis: - Aseptik/steril peritonitis - Granulomatous peritonitis - Hiperlipidemik peritonitis - Talkum peritonitis III.1. MANIFESTASI KLINIS Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.1 Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.1 Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.1,7 .6. DIAGNOSIS

Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray. a.Gambaran klinis Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 1,3 Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 3 b.Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 3 c.Pemeriksaan X-Ray Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 3 III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :3 1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ). 2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. 3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP. Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3 Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:3 1.Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance), 2.Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level

dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level. 3.Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance.5 Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu: 1.Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum. 2.Air fluid level 3.Herring bone appearance Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.2 Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).2 Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :3 1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen. 2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow). 3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.2,5 II. 7. TERAPI Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 1,8 Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 5,11 Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 5,11 Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi

yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 11 Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 2,3 Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terusmenerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi. 2,3 8. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 4 II.9. KOMPLIKASI Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9 a.Komplikasi dini Septikemia dan syok septik Syok hipovolemik Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem Abses residual intraperitoneal Portal Pyemia (misal abses hepar) b.Komplikasi lanjut Adhesi Obstruksi intestinal rekuren

II.10. PROGNOSIS Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. 1 DAFTAR PUSTAKA

1.Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta. 2.Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta. 3.Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta. 4.Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid 1;Ed:3;p 435-

442. 5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta. 6.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta. 7.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221239, EGC, Jakarta. 8.Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third edition,1997, Toronto. 9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989 10.Balley and Loves, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England
BAB I PENDAHULUAN A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONIUM Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dualpisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dna lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus. Fungsi peritoneum :1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.B. PENGERTIAN PERITONITIS Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis. Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab

tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif. C. ETIOLOGI Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organorgan dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn). D. TANDA DAN GEJALA KLINIS Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric. E. PATOFISIOLOGI

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga bdomen sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadinya proliferasi bacterial, terjadinya edema jaringan dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. F. PEMERIKSAAN DIAGNOSITIK Drainase panduan CT-Scan dan USG Pembedahan G. KOMPLIKASI Eviserasi Luka Pembentukan abses H. PENATALAKSANAANPenggantian cairan, koloid dan elektroli adalah focus utama. Analegesik diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadangkadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotic, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoniummaka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdaat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi.Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang

aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan. I. DIAGNOSA YANG MUNCUL 1. Infeksi risiko tinggi berhubungan dengan trauma jaringan2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif3. Nyeri akut berhuungan dengan agen cidera kimia pasca operasi4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam mencerna makanan.5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh7. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi8. Hipertermi berhubungan dengan medikasi atau anastesia. I. PENDAHULUAN Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum1. Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum visceral, yang berfungsi menutupi sebagian besar dari organ organ abdomen dan pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran tanpa ada penggesekan. Organ organ digabungkan bersama dan menjaga kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan organ organ terhadap dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan pembuluh darah yang termuat dalam peritoneum, membantu melindunginya terhadap infeksi2. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis. Sebagian besar peritonitis disebabkan karena perforasi appendiks, lambung, usus halus, atau kandung empedu 1,14. Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3% mempunyai peritonitis mekonium. Peritonitis mekonium adalah reaksi kimia dari peritoneum ke mekonium karena terjadi kebocoran mekonium ke dalam kavitas peritoneum akibat defek dinding usus antenatal3. Apapun penyebabnya, onsetnya terjadi secara tiba tiba, awalnya hanya pada satu daerah saja tetapi kemudian berkembang ke daerah yang lebih luas, menyebar pada peritoneum viseral dan parietal. Dan jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal4.

II. INSIDEN

Insiden di negara barat telah menurun jelas pada dekade terakhir, sedangkan di Afrika jarang dilaporkan adanya penyakit ini. Di Indonesia belum di teliti apakah ada kesan ada kenaikan insiden. Di Amerika, insiden pada orang kulit hitam sebanding atau sedikit lebih tinggi dibanding orang kulit putih. Terdapat predisposisi familier, tetapi hubungannya belum jelas. Lebih banyak di temukan pada orang yang golongan darah O, dan juga lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi5. Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3% mempunyai peritonitis mekonium. Asites pada 45% kasus dan muntah muntah pada 40% kasus, 30% mempunyai massa pada abdominal. Angka mortalitas pada peritonitis mekonium sekitar 80%3. III. ANATOMI Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal, dan peritoneum visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki laki berupa kantung tertutup, pada perempuan tuba fallopi membuka masuk ke dalam rongga peritoneum. Banyak lipatan atau kantong terdapat di dalam rongga peritoneum, sebuah lipatan besar atau omentum mayor yang kaya akan lemak bergantungan di sebelah depan lambung2 Omentum minor berjalan dari porta hepatis setelah menyelaputi hati ke bawah, ke kurvatura minor lambung dan disini bercabang untuk menyelaputi lambung ini. Kolon juga terbungkus oleh peritoneum ini. Dan peritoneum ini kemudian berjalan ke atas dan berbelok ke belakang sebagai meso-kolon kearah dinding posterior abdomen. Sebagian dari peritoneum ini membentuk mesenterium usus halus. Omentum besar dan kecil, mesenterium usus halus dan meso-kolon, semua memuat penyaluran darah vaskuler dan limfe dari organ organ yang diselaputinya2.

IV. ETIOLOGI Peritonitis biasanya disebabkan oleh: 1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang paling sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, kandung empedu, usus buntu, asites (dimana cairan berkumpul di perut dan kemudian mengalami infeksi)1,7. 2. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kantung empedu, ureter, kandung kemih, atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut1. 3. Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritoneal. Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada luka tembus abdomen, sebab usus mengisi sebagian besar rongga abdomen5. 4. Peritonitis mekonium dapat terjadi jika ada defek pada dinding usus pada masa antenatal10.

V. PATOFISIOLOGI Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi

dari organ organ abdomen (misalnya: apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar9. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus9. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus9. Peritonitis mekonium adalah peritonitis non bakterial yang berasal dari mekonium yang keluar melalui defek pada dinding usus ke dalam rongga peritoneum. Defek dinding usus dapat tertutup sendiri sebagai reaksi peritoneal. Bercak perkapuran dapat terjadi dalam waktu 24 jam 10.

VI. DIAGNOSIS Gambaran klinik - Biasanya penderita muntah, demam tinggi, dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Pada palpasi sebagian atau seluruh abdomen tegang, seperti ada tahanan atau nyeri tekan; Berkurangnya nafsu makan; Frekuensi jantung dan pernafasan meningkat; Tekanan darah menurun; Produksi urin menurun. 11,13,14,15. - Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut yang membentuk perlengketan yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat; Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan di usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum; Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit; Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti gagal ginjal akut (ARF) 1. - Pada peritonitis mekonium gejalanya berupa abdomen yang membuncit sejak lahir, muntah, dan edema dinding abdomen kebiru biruan10. Gambaran radiologi - Foto roentgen di ambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang terdapat dalam perut dapat terlihat pada foto roentgen dan merupakan petunjuk adanya perforasi1. - Pada pemeriksaan foto polos abdomen dijumpai asites, tanda tanda obstruksi usus berupa air-udara dan kadang kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon menunjukkan

dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus usus yang melebar biasanya berdinding tebal10 - Pada peritonitis umum gambaran radiologinya menyerupai ileus paralitik. Terdapat distensi baik pada usus halus maupun pada usus besar. Pada foto berdiri terlihat beberapa fluid level di dalam usus halus dan usus besar. Jika terjadi suatu ruptur viskus bisa menyebabkan peritonitis, udara bebas mungkin akan terlihat pada kavitas peritoneal16. Ruptur appendiks yang disertai peritonitis A: Terdapat dilatasi pada usus besar dan usus halus. Ruang antara usus halus menyempit di sebabkan karena udema pada usus. Peritoneal fat line menghilang. B: Terdapat udara bebas pada diaphragma kanan. Ada penyempitan air fliud level pada bagian bawah abdomen. (dikutip dari kepustakaan 16) - Peritonitis umum: Formasi abses Meskipun peritonitis umum telah berkurang abses lokal dapat terjadi pada salah satu bagian abdomen. Abses mungkinan muncul beberapa hari atau minggu setelah mendapat pengobatan peritonitis. Pada gambaran radiologi, abses terlihat menyerupai suatu massa. Kadang kadang abses terdapat pada usus halus sehingga menghasilkan obstruksi mekanik19. Abses pada kuadran kanan bawah yang mengikuti peritonitis yang sebelumnya terjadi ruptur appendiks, sebuah massa berkembang di daerah kuadran bawah memperlihatkan pendesakan pada usus kecil. Terjadi distensi proximal usus kecil. (dikutip dari kepustakaan 16) - Gambaran radiologik peritonitis mekonium berupa tanda tanda obstruksi distal duodenum, bercak bercak perkapuran di dalam rongga usus atau peritoneum, sering juga di daerah skrotum10. Gambaran Patologi Asam bikarbonat yang dihasilkan mukosa duodenum dan pankreas adalah penetral asam yang utama. Berkurangnya faktor pelindung terhadap zat cerna ini menyebabkan autodigesti mukosa duodenum. Gastroduodenitis yang disebabkan oleh helicobacter pylori dianggap penyebab penting yang memudahkan terjadinya tukak. Tukak duodenum terjadi akibat aksi korosif asam lambung terhadap epitel yang rentan. Defek ini bermula pada mukosa, selanjutnya menembus ke muskularis mukosa. Tukak yang biasanya kecil saja, tetapi menembus lapisan dinding duodenum, bisa berkembang menjadi lanjut hingga terjadi perdarahan, penetrasi ke pankreas, atau perforasi bebas5. Peritoneum yang normal memberi gambaran bening kelabu. ketika terjadi peritonitis, dalam waktu 2-4 jam peritoneum berubah menjadi suram atau berawan. Setelah itu mengeluarkan cairan exudat fibrinosa sebagai tanda adanya invasi bakteri. Cairan tertahan di usus halus dan di usus besar, kemudian akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum8.

VII. PENATALAKSANAAN

Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan tindakan menghilangkan nyeri9. Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila disertai appendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan. Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus1.

VIII. PROGNOSIS Jika ditangani dengan baik, terutama pada kasus - kasus pembedahan peritonitis (perforasi ulkus peptik, appendisitis, dan divertikulitis) mempunyai angka kematian < 10% dan pasien kembali sehat seperti sediakala, tetapi pada pasien pasien dengan usia di atas 48 tahun, angka mortalitasnya sekitar 40% jika disertai dengan penyakit penyakit lainnya dan sistem imunnya menurun. Pada anak anak prognosis pada umumnya baik setalah mendapat pengobatan dengan antibiotik. Jika peritonitis terjadi secara menyeluruh, selalu berakibat fatal8,11.

DAFTAR PUSTAKA 1. Peritonitis, http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7& UID200705. 2. Pearce Evelyn, ANATOMI DAN FISIOLOGI UNTUK PARAMEDIS, Saluran Pencernaan Dan Pencernaan Makanan-Peritoneum, diterjemahkan: Sri Yuliani H, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2004, hal.197. 3. Ul Hasan M & Ali SW, Meconium Peritonitis a leading cause of neonatal peritonitis in Kashmir, http://www.ncbi.nlm.gov/corehtml/query/pubmed/abstractplus.css. 4. Seidel Edward, Disorders of the peritoneum, Crash Course Gastrointestinal System, 1st ed. Elzelsevier Mosby, Philadelphia: 2006, hal.172,173. 5. Sjamsuhidajat R, Lambung dan Duodenum-bab 31, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,EGC, Jakarta: 2004, hal.549. 6. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract, Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin: 2004, hal.462. 7. Acute Peritonitis, http://www. ecureme.com/lib/inet.asp?keyword=acute+peritonitis&category=gi. 8. Genuit T & Napolitano, Peritonitis, http://health.allrefer.com/health/peritonitis-symptoms.html. 9. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI (Konsep Klinis Proses Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 4. Alih Bahasa: Peter Anugrah, EGC, Jakarta: 1995, hal.402. 10. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK UI, Jakarta: 2005, hal.411,413-414. 11. Cabnera C, Peritonitis-also listed as: Abdominal wall inflammation,

http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-00127.htm 12. Arif Mansjor,dkk, Bedah Digestif-Trauma Tembus Abdomen, Kapita Selekta Kedokteran, ed:3 Jilid 2, Media Eusculapius FK UI, Jakarta: 2000, hal.302. 13. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article, http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css 14. University of Virginia Health System, Digestive Disorders, http://ww.UVAHealth/adult_digest/wdcbin/tools.ctm?toolName=dwemail 15. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis secondary, http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-secondary-00312.htm 16. Haskin Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America: 1971, hal.1043-1045 17. Bahan kuliah System Gastroenterohepatologi, Makassar: 2005 BAB I PENDAHULUAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONIUM Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dualpisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dna lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus. Fungsi peritoneum : 1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis 2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan 3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen 4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi. B. PENGERTIAN PERITONITIS Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis. Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis

sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif. C. ETIOLOGI Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organorgan dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn). D. TANDA DAN GEJALA KLINIS Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita

dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric. E. PATOFISIOLOGI Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga bdomen sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadinya proliferasi bacterial, terjadinya edema jaringan dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. F. PEMERIKSAAN DIAGNOSITIK Drainase panduan CT-Scan dan USG Pembedahan G. KOMPLIKASI Eviserasi Luka Pembentukan abses H. PENATALAKSANAAN Penggantian cairan, koloid dan elektroli adalah focus utama. Analegesik diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotic, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan. Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoniummaka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdaat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi. Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu : 1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian

pasien praoperatif ditempat ruang operasi. 2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh. 3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan. I. DIAGNOSA YANG MUNCUL 1. Infeksi risiko tinggi berhubungan dengan trauma jaringan 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif 3. Nyeri akut berhuungan dengan agen cidera kimia pasca operasi 4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam mencerna makanan. 5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh 7. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi 8. Hipertermi berhubungan dengan medikasi atau anastesia.

BAB II TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN Tanggal Pengkajian : 3 Desember 2007 Jam : 07.30 WIB Oleh : Kelompok 3A Sumber dari : Pasien Metode : Obervasi B. IDENTITAS PASIEN

a. Identitas Pasien Nama : Ny. "T" Umur : 35 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Kota Gede Yogyakarta b. Identitas Penanggung Jawab Nama : Tn. Robert Umur : 40 tahun Agama : Islam Pekerjaan : PNS Alamat : Kota Gede Yogyakarta Hub. Dengan pasien : Suami pasien No Registrasi : 11.02.1289 Tgl. Masuk RS : 3 Desember 2007, 07.30 WIB melalui poli penyakit dalam KELUHAN UTAMA Pasien peritonitis mengalami nyeri kesakita dibagian perut bagian kanan RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG RIWAYAT KESEHATAN DAHULU RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA POLA KESEHATAN SEHARI-HARI AKTIVITAS ISTIRAHAT Penderita peritonitis mebgalamiletih, kurang tidur, nyeri perut dengan aktivitas. ELIMINASI Pasien mengalami penurunan berkemih MAKAN CAIRAN Kehilangan nafsu makan,mual/muntah HYGIENE Kelemahan selama aktivitas perawatan diri NYERI/KENYAMANAN Kulit lecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental INTERAKSI SOSIAL Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas social yang biasa dilakukan. PEMERIKSAAN LAB Laboratorim : CT-Scan dan USG TERAPI PADA TANGGAL 3 DESEMBER 2007 1. Terapi antibiotic 2. terapi nutrisi dan metabolic 3. terapi modulasi respon peradangan.

BAB III ANALISA DATA

Nama : Ny "T" No Reg. : 11.02.1289 Umur : 35 tahun Ruang : Poli Penyakit Dalam DATA FOKUS : 1. Pendrita peritonitis mengalamiletih, kurang tidur, nyeri perut dengan aktivitas 2. Pasien mengalami penurunan berkemih 3. Kehilangan nafsu makan, mual/muntah 4. Kelemahan selama aktivitas perawatan diri 5. Nyeri abdomen kanan atas 6. Kulitlecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental 7. Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas social yang biasa dilakukan.

DO : - Terdapat luka biopsy - KU cukup - Ulserasi berbentuk nodul dengan tepi berwarna kemerahan - Suhu : 37,5oC DO : - Ku Cukup - Membrane mukosa kering - Kulit kering - Nyeri abdomen kanan ats DO : - KU cukup - Pasien tampak kesakitan - Dehidrasi - Penurunan berkemih DO : - Nafsu makan menurun - Mulut terasa pahir - Mual / muntah DO : - Gelisah - Pucat - Tekanan darah meningkat - Sering pusing

- Gangguan tidur DO : - KU cukup - Pasien sering salah konsepsi - Periaku tidak sesuai/berlebihan DO : - Kelemahan selama aktivitas diri - Takikardi DO : - Takikardi - Suhu >37,5oC DO : - Kulit lecet - Kulit kering Trauma jaringan

Agen cidera kimia pasca operasi Kehilangan volume cairan aktif

Tidak mampu dalam mencerna makanan Perubahan status kesehatan

Salah interpretasi infomasi

Kelemahan menyeluruh Medikasi/anestesi Medikasi Infeksi resiko tinggi Nyeri akut

Kekurangan volume cairan

Ketidak seimbangan nutrisi Ansietas

Kurang pengetahuan

Intoleransi aktifitas Hipertermi Risiko kerusakan integritas kulit PRIORITAS MASALAH Nyeri akut berhubungan dnegan agen cidera kimia pasca operasi hipertermi berhubungan dengan medikasi/anastesi infeksi risiko tinggi berhbungan dengan trauma jaringan risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu dalam mencerna makanan Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi. INTERVENSI/TINDAKAN KEPERAWATAN No/ DX Diagnosa Rencana Rasional Tujuan Tindakan Nyeri akut b/d agen cidera kimia pasca operasi Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama . Diharapkan nyeri berkurang dnegan criteria:

Nyeri berkurang TTV normal - Mampu beraktivitas - Dapat melakukan relaksasi Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama . Diharapkan panas menurun dengan criteria : Suhu badan normal - Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama jam diharapkan tidak terjadi komplikasi dengan kriteria - KU membaik - TTV normal - Pasien tampak rileks - Sensasi menjadi normal - Pertahanan mobilsasi dengan yang sakit - Tinggikan dan dukung extremitas atas - Evaluasi keluhan nyeri

- Pantau suhu pasien - Berikan kompres hangat

- Kaji tanda vital dengan sering dan catat warna kulit, suhu dan kelembaban, catat resiko individu - Observasi drainase pada luka - Menghilangkan nyeri - Menurunkan nyeri - Mempengaruhi pilihan pengawasan keefektifan intervensi. - Memantau perubahan suhu tubuh pasien - Membantu mengurangi demam - Mempengaruhi pilihan intervensi

- Memberikan enformasi tentang status infeksi.

Risiko kerusakan integritas kulit b/d medikasi Kekurangna volume cairan b/d kehilangan volume cairan aktif

- Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selamam . Jam diharapkan luka sembuh dengan criteria - Tingkat penyembuhan luka cepat - Mencegah kerusakan kulit

- Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama . Jam diharapkan pasien mampu mencerna makanan dengan criteria : - Pasien dapat mencerna makanan dengan baik Pasien tidak mual/muntah - Observasi warna dan karakteri drainase - Observasi kulit - Sedikit laporan peningkatan/tidak hilangnya nyeri - Tambahkan diet sesuai toleransi - Berikan hiperaliemntasi - Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada/hiperaktif - Ukur lingkar abdomen - Timbang berat badan dnegan teratur - Tambahkan diet seduai dengan toleransi - Pantau TTV - Pertahankan masukan dan haluan yang akurat - Observasi kulit/ membrane turgor kulit - Ubah posisi pasien sesering mungkin - Drainase normal - Mengindikasikan adanya obstruktif - Tanda dugaanadanya abses/pembentukan fistula yang memerlukan intervensi medik - Muntah diduga terjadi obstruksi usus - Meningkatkan penggunaan nutrein dan keseimbangan nitrogen positif pada pasien yang tak mampu mengasimilasi nutrein dengan normal - Inflamasi dapat menyertai hiperaktivitas usus, penurunan absorbs air - Memberikan bukti kuantitas perubahan disters gaster - Kehilangan / peningkatan dini menunjukkan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada deficit nutrisi - Kemajuan diet yang hati-hati saat masukan nutrisi dimulai lagi menurunkan resiko iritasi gaster. - Membantu dalam evaluasi derajat deficit cairan / keefektifan penggantian terapi cairan danrespon terhadap pengobatan

- Menunjukkan status hidrasi keseluruhan - Hopovolemia, perpindahan cairan&kekurangan nutrisi memperburuk turgor kulit, menambah edema jaringan - Jaringan edema & adanya gangguab sirkulasi cenderung merusak kulit Intoleransi aktivitas b/d kelemahan secara menyeluruh Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama ..jam diharapkan mencapai peningkatan toleransi aktivitas dengan criteria : - Memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri - Periksa TTV - Evaluasi peningkatan toleran aktifitas Berikan bantuan dalam aktivitas perwatan diri sesuai indikasi - Membantu dalam evaluasi derajat toleransi - Dapat menunjukkan peningkatan dekompesasi peritoneum daripada kelebihan aktivitas

You might also like