You are on page 1of 12

Apakah Itu Vaksinasi?

Vaksinasi, atau imunisasi, adalah suntikan yang merangsang ketahanan tubuh kita terhadap infeksi tertentu. Misalnya, sebagian besar orang diimunisasi terhadap beberapa infeksi waktu bayi. Dibutuhkan beberapa minggu setelah disuntik sehingga sistem kekebalan tubuh bereaksi pada vaksin yang disuntikkan. Sebagian besar vaksin dipakai unjtuk mencegah infeksi. Tetapi, beberapa yang lain membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang sudah ada. Vaksin ini disebut vaksin terapeutik. Ada beberapa vaksin terapeutik sedang ditelitikan dan diuji coba terhadap HIV. Vaksin hidup memakai bentuk kuman yang dilemahkan. Vaksin jenis ini dapat menimbulkan penyakit yang ringan, kemudian sistem kekebalan mengambil alih untuk mencegah terhadap penyakit yang parah. Vaksin lain yang dinonaktifkan (inactivated) tidak memakai kuman yang hidup. Dengan vaksin jenis ini, kita tidak mengalami penyakit, tetapi tubuh kita masih dapat membentuk keamanannya. Vaksin dapat menimbulkan efek samping. Dengan vaksin hidup, kita mungkin mengalami penyakit yang ringan. Bahkan dengan vaksin yang dinonaktifkan, sistem kekebalan kita akan bereaksi. Kita mungkin mengalami kesakitan, kemerahan, dan bengkak di tempat yang disuntik. Kita juga mungkin merasa lemas, kelelahan, atau mual selama satu-dua hari. Apa yang Berbeda untuk Odha? Sistem kekebalan tubuh mungkin tidak dapat bereaksi secara baik pada vaksin bila sudah dilemahkan oleh HIV. Mungkin juga jangka waktu vaksinnya efektif dapat lebih singkat. Juga, vaksin dapat menyebabkan efek samping yang lebih parah untuk Odha. Bahkan, vaksin dapat mengakibatkan penyakit yang seharusnya dicegahnya. Hanya sedikit penelitian dilakukan terhadap penggunaan vaksin oleh Odha, apalagi sejak terapi antiretroviral sudah terpakai. Namun ada beberapa pedoman penting untuk Odha:

Vaksinasi dapat meningkatkan viral load untuk sementara. Namun jatuh sakit dengan penyakit yang dicegah oleh vaksin lebih buruk. Jangan tes viral load dalam empat minggu setelah vaksinasi apa pun. Vaksinasi terhadap flu lebih ditelitikan dengan Odha dibandingkan vaksinasi yang lain. Vaksin flu dianggap aman dan efektif. Namun Odha tidak boleh memakai vaksin flu semprot hidung FluMist.

Bila jumlah CD4-nya sangat rendah, vaksin mungkin tidak berhasil. Bila mungkin, memperkuatkan sistem kekebalan tubuhnya dengan memakai terapi antiretroviral (ART) sebelum divaksinisasikan. Odha tidak boleh menerima sebagian besar vaksin hidup termasuk vaksin cacar (smallpox). Namun vaksin campak, gondong rubela dianggap aman asal jumlah CD4-nya di atas 200.

Vaksinasi Apakah Disarankan? Saat ini di Indonesia, belum ada pedoman khusus mengenai vaksinasi untuk Odha dewasa. Yang berikut berdasarkan pedoman di AS dan pedoman Indonesia umum untuk orang dewasa. Sebaiknya dibahas dengan dokter sebelum melakukan vaksinasi apa pun. Pneumonia: Risiko penumonia pneumokokal jauh lebih tinggi untuk Odha. Vaksin membutuhkan 2-3 minggu untuk menjadi efektif. Pelindungan bertahan lima tahun untuk Odha. Hepatitis: Lihat Lembaran Informasi (LI) 505. Hepatitis disebabkan oleh berbagai macam virus. Ada vaksin terhadap hepatitis A dan B. Hepatitis A biasanya bukan masalah, tetapi dapat lebih gawat untuk orang dengan hati yang lemah, termasuk orang dengan hepatitis B atau C. Dua suntikan vaksin hepatitis melindungi selama 20 tahun. Hepatitis B dapat menyebabkan penyakit gawat. Bila kita pernah terpajan pada hepatitis B, kita sudah mempunyai antibodi terhadapnya. Bila belum mempunyai antibodi terhadap hepatitis B, sebaiknya kita mendapatkan vaksinasi terhadapnya. Sebuah seri tiga suntikan vakinasi hepatitis B seharusnya melindungi kita selama sepuluh tahun. Yang lebih berisiko terinfeksi hepatitis A atau B termasuk pria yang berhubungan seks dengan pria dan pengguna narkoba suntikan (IDU). Flu: Vaksin flu harus diperbarui setiap tahun, berdasarkan tipe flu yang paling aktif saat itu. Flu dapat mengembangkan menjadi pneumonia. Beberapa vaksin flu dapat menyebabkan reaksi alergi pada orang yang mempunyai alergi terhadap telur. Walaupun tidak umum dilakukan di Indonesia, Depkes mengusulkan vaksinasi terhadap flu setiap tahun untuk semua orang, terutama untuk jemaah haji. Tetanus dan Difteri: Tetanus adalah penyakit gawat disebabkan oleh bakteri yang umum. Infeksi tetanus dapat terjadi melalui luka pada kulit. Tetanus tidak menularkan dari orang ke orang. Para IDU lebih berisiko terhadap tetanus. Difteri juga adalah penyakit bakteri. Infeksi ini dapat menular dari orang ke orang, dan rawan pada tunawisma. Vaksin terhadap diteri biasanya digabungkan dengan vaksin tetanus.

Vaksin tetanus dan difteri (bersama dengan vakin lain terhadap petusis) biasanya diberikan pada anak sebagai seri tiga suntikan. Satu suntikan ulang diberikan setiap 5-10 tahun. Untuk Odha, sebaiknya diberikan setiap sepuluh tahu, tidak lebih sering, untuk menghindari reaksi setempat yang dapat sakit. Suntikan ini dapat menyebabkan pembengkakan yang bertahan beberapa minggu. Campak, Gondong dan Rubela: Ketiga penyakit ini disebabkan oleh virus. Infeksinya sangat menular, dan disebarkan melalui batuk dan bersin. Anak seharusnya divaksinasi terhadap penyakit ini dengan suntikan yang disebut sebagai MMR. Vaksin ini biasanya memberi pelindungan seumur hidup. Bila belum divaksinasi pada masa kanak-kanak, Odha sebaiknya divaksinasi, asal CD4-nya di atas 200 (MMR adalah vaksin hidup). Tifoid: Demam tifoid (tifus) disebabkan oleh bakteri, dan dapat menjadi gawat. Depkes mengusulkan semua orang Indonesia divaksinasi terhadap tifoid setiap tiga tahun. Vaksinasi tidak berisiko untuk Odha asal tidak dipakai vaksin hidup. Vaksin ini hampir tidak menimbulkan efek samping, tetapi kadang kala ada sedikit rasa sakit pada bekas suntikan yang akan segera hilang. Odha Pejalan Odha yang berjalan ke luar negeri sebaiknya divaksinasi terhadap hepatitis A dan B. Ada peraturan internasional atau nasional yang mengharuskan pejalan melakukan vaksinasi. Asal vaksin tidak hidup, biasanya ini tidak masalah, kecuali yang dibahas di atas. Vaksinasi untuk demam kuning (yellow fever) hidup, tetapi tampaknya aman untuk Odha dengan CD4 di atas 200. Sebagai alternatif divaksinasi dengan vaksin hidup, kita sebaiknya minta pernyataan dokter yang menjelaskan bahwa kita mempunyai alasan medis untuk tidak diberikan vaksinasi tersebut. Surat tersebut diterima oleh yang berkuasa di sebagian besar negara. www.spiritia.or.id

PROGRAM IMUNISASI DAN PENGEMBANGAN VAKSIN (VAKSINASI) Pokok Masalah dan Tantangan : Indonesia memulai akselerasi upaya penghapusan polio di tahun 1995 dengan Hari Imunisasi Nasional yang pertama, sebuah jaringan pengamatan AFP dan tiga laboratorium polio. Sejak itu Indonesia telah membuat kemajuan yang mantap menuju pencapaian gol dari penghapusan polio. Tidak ada wild virus yang telah diisolasikan di Indonesia sejak tahun 1995. Meskipun dengan kemajuan yang mengesankan ini, krisis ekonomi yang menimpa Asia Tenggara dan desentralisasi pemerintahan mempengaruhi pelayanan imunisasi rutin secara besar. Di dalam sebuah negara yang besar seperti Indonesia, data di tingkat nasional sering menyembunyikan propinsi dan daerah dengan kinerja yang buruk. Daerah-daerah ini umumya lebih terpencil, mengalami konflik yang sedang berjalan dan/atau menghadapi hambatan dalam anggaran belanjanya untuk menyelenggarakan program EPI. Selanjutnya, bahkan dengan perkiraan jangkauan OPV3 yang sekarang ini adalah 80% dan keefektifan untuk 3 dosis OPV dari 80% hanya sekitar 64% (0,8 x 0,8) bayi dalam setiap kelompok bayi yang lahir setiap tahunnya benar-benar terlindungi dari polio. Indikator pengamatan AFP juga mulai terputus-putus. Sampai dengan bulan Mei 2001, tingkat AFP non-polio tahunannya telah menurun di bawah satu, menjadi 0,82 dari 1,26 di tahun 1998. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa wild virus atau VDPV memiliki potensi untuk terjadi di daerah yang rendah jangkauan OPV-nya dan tetap tidak terdeteksi. Berdasarkan informasi ini, Kelompok Penasihat Teknis dalam pertemuannya di Myanmar di bulan Mei 2001 merekomendasikan bahwa Indonesia melaksanakan Hari Imunisasi Nasional di tahun 2002. Berikutnya, dengan dukungan finansiil dan teknis dari sumber eksternal, Departemen Kesehatan dan WHO, Pemerintah Indonesia melaksanakan Hari Imunisasi Nasional yang berhasil pada tanggal 12 September sampai dengan 9 Oktober 2002. Keberhasilan ini dicapai meskipun ada banyak keganjilan - sangat pendeknya lead-time untuk persiapan, sistem desentralisasi yang baru dicanangkan oleh pemerintah, dan tidak meratanya arus dana ke beberapa propinsi. Dengan target perkiraan sekitar 20,9 juta anak balita, mereka mendapatkan laporan jangkauan sebesar 103% dari 104% dari kedua putaran. Dengan disebarkannya 38 petugas pengamat yang didukung oleh WHO, tingkat AFP non polio meningkat sedikit menjadi 1,23 di tahun 2002, namun mulai turun lagi di tahun 2003 (0,99 di bulan November 2002). Peninjauan kembali pengamatan gabungan antara nasional dan internasional AFP yang diselenggarakan di bulan Juni 2003 menyatakan keprihatinan yang serius pada turunnya kualitas pengamatan dan membuat beberapa rekomendasi pokok:

Struktur pengamatan dengan jaringan petugas pengamat perlu dipelihara sedikitnya selama 3-5 tahun ke depan. Pemerintah pusat harus menjamin sertifikat pengamatan standar. Ini akan membutuhkan pengawasan dan bantuan teknis terhadap petugas pengamat yang ditingkatkan. Pengamatan cacar dan Neonatal Tetanus dapat digabungkan dengan pengamatan AFP. Memperbaiki ketrampilan staf pengamat di propinsi dan daerah dalam hal penyelidikan dan tindakan lanjut dan dalam penggunaan data pengamatan untuk pembuatan keputusan.

Dengan menganggap bahwa perbaikan ini dapat dipertahankan, Pemerintah mungkin tidak perlu melakukan Kegiatan Imunisasi Pelengkap tambahan untuk polio selama dua tahun ke depan. Sasaran :

Mencapai dan memelihara Indonesia bebas polio.

PROGRAM

IMUNISASI

DAN

PENGEMBANGAN

VAKSIN

Pokok Masalah dan Tantangan : Vaksin campak diperkenalkan ke dalam program EPI di tahun 1984. WHO SEARO memperkirakan bahwa ada sekitar 38.000 kematian akibat campak per tahunnya di Indonesia. Indonesia telah menetapkan tujuan dari Imunisasi Anak Universal (Universal Childhood Immunization/ UCI); jangkauan vaksin campak yang 80% digunakan sebagai indikator tujuan ini. Sejak tahun 1992, jangkauan vaksin campak yang dilaporkan berada di kisaran 28-90%, meskipun Susenas yang paling terakhir 2002-03 memperkirakan bahwa jangkauan hanya akan sebesar 71,6% dengan variasi kota-desa yang signifikan (kota 78%, desa 66%). Selanjutnya, proporsi dari desa-desa yang mendapat jangkauan >80% telah menurun secara mantap di tahun-tahun terakhir. Upaya-upaya telah dibuat untuk mencapai desa-desa yang "berisiko tinggi" dengan kegiatan vaksin campak pelengkap. Sebuah desa yang "berisiko tinggi" dijabarkan sebagai desa yang tidak mencapai UCI (<80% jangkauan campak) selama tiga tahun berturut-turut. Kegiatan-kegiatan ini disebut "vaksinasi kilat". Semua anak yang berusia 6 - 59 bulan ditargetkan untuk vaksinasi campak. Di tahun 2002, 25% dari semua penduduk desa ditargetkan untuk "vaksinasi kilat" ini selama Hari Imunisasi Nasional polio. Jangkauan yang dilaporkan dari desa-desa ini adalah 78% dibandingkan dengan polio yang hampir 100%. Strategi vaksinasi yang lengkap dan jangka panjang diperlukan untuk memecahkan dan memelihara pemecahan sirkulasi virus campak. Strategi ini harus mengikutsertakan kegiatan-kegiatan vaksinasi untuk mengurangi secara mencolok dan mempertahankan

tingkat kerentanan di anak-anak usia pra-sekolah dan usia sekolah. Namun demikian, imunisasi campak yang rutin tetap menjadi dasar dari pengurangan kematian akibat campak yang berkesinambungan serta strategi untuk menghapuskan campak. Untuk mencapai penghapusan campak, dengan tingkat jangkauan vaksinasi kini dan wabah campak yang sekarang ini, akan menjadi penting untuk mempersiapkan kesempatan kedua untuk imunisasi campak untuk semua anak berusia 9 - 54 bulan, bukan hanya bagi mereka yang tinggal di desa-desa yang tinggi risikonya. Kualitas pengawasan campak adalah komponen penting dari strategi penghapusan campak. Pemerintah Indonesia berencana untuk menyelenggarakan pengawasan AFP, campak dan NT yang terpadu dimulai di tahun 2004 dan ada 4 laboratorium campak yang sedang dibangun. Sasaran : Menyediakan bantuan yang cukup untuk menjalankan strategi:

Untuk mencapai pengurangan yang berkesinambungan dalam kematian akibat campak, Untuk memecahkan penularan di daerah-daerah dimana tujuan penghapusan campak telah ditetapkan, Untuk mencapai penghapusan Maternal dan Neonatal Tetanus.

PROGRAM IMUNISASI DAN PENGEMBANGAN VAKSIN 3 Pokok Masalah dan Tantangan : Untuk menjamin kualitas vaksin, Indonesia telah meletakkan suatu sistem pendaftaran produk dan fasilitas produk, pengawasan kinerja vaksin di kondisi lapangan dan tunduk pada GMP (Good Manufacturing Practices) dan evaluasi data klinis percobaan dalam mendaftarkan keputusan. National Regulatory Authority (NRA) yang kompeten dan berfungsi secara independen telah hadir. Kualitas vaksin yang diberikan kepada anak-anak juga tergantung pada kualitas dari cold chain dan pengelolaannya dalam hal penyimpanan dan transportasi dari pabrik ke sesi vaksinasi. Sebuah studi di tahun 2001-2002 oleh PATH dan DepKes memperlihatkan bahwa 75% dari vaksin Indonesia mungkin telah terpapar ke suhu yang membeku selama distribusi. Ini dapat mempengaruhi potensi dari vaksin yang peka terhadap pembekuan seperti HB, TT, DPT dan DT. Banyak dari teknisi cold chain yang kini dalam pekerjaannya telah bekerja selama beberapa tahun dan mungkin mereka memerlukan pelatihan penyegaran dengan prosedur/ panduan operasi yang telah diperbarui. Maka, kegiatan prioritas selama dua tahun berikut adalah untuk mendapatkan penilaian dari

pengelolaan cold chain, pedoman/ prosedur pengoperasian yang direvisi dan pelatihan penyegaran bagi staf cold chain. Sasaran :

Menjamin kualitas vaksin.

PROGRAM IMUNISASI DAN PENGEMBANGAN VAKSIN 4 Pokok Masalah dan Tantangan : Indonesia telah menetapkan kebijakan penyuntikan yang aman dan menggunakan hanya jarum suntik AD untuk imunisasi dan meningkatkan penggunaan jarum suntik AD dan jarum suntik sekali pakai (disposable) untuk perawatan kuratif juga. Ini dengan menggunakan jarum suntik dari Uniject untuk Hepatitis B dosis pada saat baru lahir dan jarum suntik AD untuk dosis lainnya dengan menggunakan dana dari GAVI. Namun, ini belum mengadopsi kebijakan nasional akan pembuangan yang aman dari barang-barang tajam dan jarum. WHO akan mendukung inisiatif untuk mengembangkan sebuah kebijakan nasional untuk pembuangan yang aman dari barang tajam dan jarum dan membantu menerapkan kebijakan tersebut melalui sokongan dan panduan teknis. Pemerintah Indonesia juga menerapkan suatu sistem pengawasan dan investigasi yang tepat untuk Adverse Event Following Immunization (AEFI) (Kejadian yang Merugikan Setelah Imunisasi). Sasaran :

Menjamin keamanan imunisasi.

PROGRAM IMUNISASI DAN PENGEMBANGAN VAKSIN 5 Pokok Masalah dan Tantangan : Indonesia dilaporkan 78% dari daerahnya melaporkan 85% jangkauan di tahun 2000, turun dari 90% daerah yang melaporkan 80% jangkauan di tahun 1999. Dengan desentralisasi dana dan otoritas, ada kekurangan kejelasan pada peranan dan tanggung jawab dari pembuatan keputusan yang telah pindah ke daerah. Ini mengakibatkan pengaruh yang merugikan pada EPI dan pada pelayanan kesehatan

lainnya karena kurangnya panduan yang jelas dan kurangnya ketrampilan teknis/ mengelola di antara para staf daerah. Maka, adanya kebutuhan yang mendesak untuk memperkuat kapasitas pengelolaan dan teknis dari pengelola EPI di tingkat daerah dan propinsi. GAVI telah memberikan bantuan sebesar $40 juta untuk memperkenalkan vaksin Hep B dalam EPI rutin dan untuk memperkuat pelayanan imunisasi ($12 juta). Maka dari itu, tujuan dari dukungan WHO adalah akan menyediakan panduan teknis yang cukup tentang penggunaan dana GAVI secara efektif untuk memperkuat rutin EPI. Rencananya termasuk dua komponen. Seorang konsultan nasional yang didukung oleh WHO untuk memberikan bantuan teknis dalam penggunaan dana GAVI secara efektif. Pengembangan model di tingkat daerah/ propinsi akan pengumpulan, analisa dan penggunaan data imunisasi untuk pembuatan keputusan dan perbaikan program. Sasaran :

Memperkuat sistem pelaporan.

Bagaimana imunisasi yang aman ? Beritahu dokter bila : - sedang sakit - mendapat pengobatan steroid, radiasi, imunoglobulin, transfusi darah - efek samping vaksinasi sebelumnya yang berat - alergi berat - mengalami penyakit yang menurunkan kekebalan : leukemia, AIDS - tinggal dengan seseorang yang mengalami penurunan kekebalan - hamil - ada keluarga yang mengalami autisme Pilihan vaksin : - BCG : thimerosal free - DPT & DT : yang diproduksi oleh BioFarma masih ada thimerosalnya 25 ug. Tetract Hib Aventis (gabungan DPT dengan Hib) masih ada thimerosal < 0,5 ug. DTPa Infanrix (Glaxo Smith Klaine/GSK) thimerosal free. Begitu juga dengan DTPa Tripacel Aventis thimerosal free. Harga sekitar 300-400 ribu - Polio : thimerosal free - Hepatitis : Engerix-B-nya Glaxo/GSK thimerosal free, sedangkan Euvax-nya Aventis trace 0,05 ug/dosis - Hib : Hiberix & Act Hib thimerosal free - Thiperix : thimerosal free - Varilrix : thimerosal free Untuk MMR :

Menurut IDAI perlu tetap diberikan Menurut pendapat pribadi Dr. Hardiono : silakan tunda bila ada kekuatiran (bisa saja tunda sampai anak sudah bicara dan tidak ada gejala gangguan perkembangan lainnya) Dr. Melly Budhiman, SpKJ Memberikan vaksinasi seaman mungkin Beberapa hal yang harus diwaspadai : 1.. Vaksinasi sebaiknya dilakukan dalam keadaan anak sedang sehat 2.. Pilih vaksin yang tidak mengandung merkuri atau kandungan merkurinya sesedikit mungkin. 3.. Hati-hati bila salah seorang kakak atau saudara sepupu menderita gangguan ASD, ADHD, disleksia, gangguan perkembangan wicara, retardasi mental. Kemungkinan adanya faktor genetik kuat 4.. Hati-hati bila anak telah menunjukkan ciri-ciri abnormal sejak dini ( tak mau tatap mata, tak ada senyum sosial, menolak interaksi) ; catatan : mungkin bisa dilihat sejak usia 3 - 4 bulan ) 5.. Beberapa jenis vaksin seperti MMR adalah pilihan ortu. Ortu harus lebih bijaksana dalam memutuskan. Sementara sekian sharingnya. Semoga bermanfaat. Kutipan terjemahan tulisan dr Tom Heller, mewakili para orang tua dan dokter atau praktisi autisme: Salah satu tugas saya sehari hari sebagai seorang praktisi atau dokter di Inggris adalah memberikan imunisasi pada bayi dan balita. Tapi belakangan ini saya semakin tidak yakin ketika memberikan vaksinasi kombinasi MMR dan berpikir apakah saya juga harus memberikan vaksinasi ini pada anak-anak saya jika mereka ada pada usia semuda itu. Sulit bagi saya untuk merasa yakin bahwa vaksin itu aman seperti yang di-umumkan pemerintah. Semakin keras suara para ahli saya merasa semakin ragu akan kebenarannya. Situs Departemen Kesehatan memberikan banyak bukti dan links mengenai vaksin ini hanya menghasilkan satu isu baru yaitu vaksin MMR mempunyai efek samping yang buruk. Penggunaan bukti klinis secara tidak lengkap juga dikumandangkan oleh para ahli lainnya. Seperti pada Elliman dan Bedford yang menyerang metode riset yang digunakan oleh orang orang yang prihatin terhadap efek samping vaksin MMR. Pada saat yang sama, mereka malah tidak memperhatikan akan bahaya yang terjadi dengan hasil riset yang menyimpulkan bahwa vaksin MMR aman dipakai. Program NHS mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan dan pengobatan pada masyarakat luas. Tetapi dengan alasan tertentu, ketika mencoba untuk mendiskusikan

mengenai masalah vaksinasi MMR, kelihatan sangat dibatasi. Para orang tua menjadi cemas. Dan mereka yang mempunyai anak penyandang autisme menjadi semakin kuatir karena merasa kemungkinan keadaan ini disebabkab oleh vaksinasi. Sekelompok orang tua lain merasa yakin akan hubungan antara vaksin MMR dan anak mereka dan telah membentuk kelompok dan organisasi untuk meloby. Di Inggris, organisasi ini dikenal dengan nama JABS, Justice, Awareness and Basic support. Ketika beberapa hasil observasi yang dilakukan oleh keluarga yang terkena dampak buruk vaksinasi kemudian di-kategorikan sebagai insiden terisolir, mungkinkah hasil observasi seperti ini dapat dijadikan bukti? Saya tidak sendirian dalam keprihatinan dan mungkin kebingungan mengenai pemberian vaksinasi MMR. Beberapa penelitian mengenai pemberian vaksinasi MMR dosis kedua telah dilakukan di daerah north Wales dengan hasil menunjukkan hanya 45% profesional yang terdiri dari 54% praktisi atau dokter umum setuju untuk memberikan dosis kedua MMR pada anak. Namun hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap jumlah anak yang divaksinasi MMR yang secara nasional pada tahun 1994 dan 1995 hanya turun dari 91% ke 88%. Pada tahun 1998 - 1999 dibeberapa daerah terlihat hanya 75% Saat ini, tidaklah mudah untuk mempertanyakan hal ini pada pemerintah. Contohnya, Andrew Wakefield, penanggung jawab dari beberapa riset yang mempertanyakan mengenai pengembangan vaksin MMR telah di-vonis melakukan penyalah gunaan etika profesional. Mungkin pilihan yang paling mudah adalah dengan menundukkan kepala anda dan tidak membicarakan isu ini. Kutipan terjemahan tulisan dr Dick Heller, mewakili pemerintah: Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis. Membandingkan resiko autisme dan resiko pemberian vaksinasi pada anak Sangat sulit untuk mengerti, mengukur dan mengekspresikan resiko. Angka angka menunjukkan bahwa tiap 100 000 anak terdapat 91 penyandang gangguan spektrum autisme. Jika 15% dari anak-anak ini menjadi penyandang autisme sebagai akibat divaksinasi MMR maka sebanyak 7326 anak harus divaksinasi untuk dapat satu anak penyandang autisme. Berapa banyak kasus penyakit mumps , measles dan rubella akan timbul jika anak tidak di-vaksinasi MMR? Bagaimana rate komplikasi ? Sayang sekali, kami tidak mempunyai sistim intelejen yang canggih untuk menyelidiki efek dari perubahan pemberian imunisasi terhadap kesehatan masyarakat. Namun kami tahu bahwa untuk measles saja angka kematian 1 - 2 dari tiap 1000 orang yang terinfeksi di Amerika

Serikat dan 1 dari 1000 akan terkena encephalitis beberapa diantaranya akan terkena kerusakan otak permanen. Jika semua anak yang tidak divaksinasi terjangkit measles maka rate komplikasi menyebutkan bahwa penyetopan vaksinasi akan sangat berbahaya jauh lebih berbahaya dari pada usaha pencegahan insiden timbulnya gangguan autisme. Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi. Secara umum dapat saya katakan tidak terdapat bukti bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan autisme dan tidak terdapat cukup bukti pula untuk mengatakan bahwa vaksin MMR tidak menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahaya Kutipan tulisan Stephen Pattison menanggapi tulisan dr Tom Heller dan dr Dick Heller: Beberapa kaum moralis akan berkata bahwa Tom Heller sedang dalam keadaan emosional tapi menurut saya keadaan gundah ini adalah bagian dari tanggung jawab moral. Tom Heller mengaplikasikan apa yang disebut the golden rule untuk menentukan apa yang benar dan apa yang salah ketika ia mengatakan "apakah saya juga harus memberikan vaksinasi ini pada anak-anak saya pada usia semuda itu". Ia juga menyuarakan pendapat pemerintah dengan mengatakan bahwa pemberian vaksinasi MMR itu aman. Dan juga bagaimana keraguannya semakin tinggi yang mana bertolak belakang dengan kebanyakan ahli. Pertanyaannya adalah bagaimana rekan kerja Tom Heller, para dokter umum dan masyarakat awam, dengan segala keterbatasan pengetahuan-nya dapat mengambil manfaat dan dapat hidup dengan kenyataan yang ada tanpa harus mengabaikan pentingnya kesehatan masyarakat? Walaupun ilmuwan dan peneliti hidup dalam paradigma rasional dan serba korelatif sedangkan masyarakat awam termasuk dokter mempunyai pandangan yang lebih kompleks sehingga dilihat dari kaca mata kaum rasional, pengetahuan komposit masyarakat awam sering terlihat sebagai suatu yang tidak rasional dan suatu yang gaib sehingga harus di-buang dan dihilangkan. Anda tidak dapat membatasi pengetahuan orang lain bahkan ketika anda sendiri ragu akan kemampuan ilmu pengetahuannya. Membuat keputusan untuk tidak memberikan vaksinasi adalah suatu dilema moral bagi orang tua dan ini haruslah dihormati. Melecehkan dilema moral orang lain tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Kini telah terjadi krisis kepercayaan terhadap penilaian teknis vaksinasi MMR dan juga krisis untuk dapat saling menghargai. Perlu dibuat suatu keputusan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan demi untuk menegakkan kenyataan yang

sebenarnya. Untuk melaksanakan ini pihak ilmuwan agar tidak menanggapi ketakutan dan kekuatiran sebagai bentuk ketidak pedulian dan kemudian berusaha menghancurkannya dengan menggunakan instrumen rasional mereka. Dalam hal ini telah terjadi ketidak seimbangan antara resiko dan kekuasaan. Pihak pemerintah menentukan strategi risk management untuk menghadapi penyakit mumps, measles dan rubella. Sedangkan para dokter dan orang tua sebagai pelaksana strategi ini harus menghadapi segala konsekuensinya. Isu vaksinasi MMR ini sempat membuat kami prihatin akan etika klinis dan pelayanan publik yang responsif dan berguna. Kami akan mencoba untuk mencari bentuk ideal dari bukti-bukti klinis yang dapat diterima baik oleh masyarakat maupun oleh individu yang menggangap hal tersebut sensitif. Kutipan tanggapan dr Tom Heller mengenai tulisan Stephen Pattison: Saya merasa telah menjalani suatu proses yang mirip dengan apa yang dialami para orang tua pada saat mereka memutuskan untuk memberikan vaksinasi pada anak mereka. Saya akan terus mencari untuk dapat mengerti mengenai hal ini. Tentunya, saya sangat menghargai pendapat pihak penguasa yang menyimpulkan bahwa MMR adalah aman untuk diberikan pada anak, akan tetapi keragu raguan tetap melekat pada saya seperti juga ada pada banyak orang lain. Kesimpulan akhir saya adalah : " Penolakan haruslah tetap menjadi pilihan yang dapat diterima di alam demokrasi yang bebas. Budaya berpendapat terkecuali yang berhubungan dengan agama dan filsafat haruslah tetap dilestarikan. Hal yang paling sulit adalah menciptakan keseimbangan antara hak suatu negara untuk mengontrol penyakit menular dan hak individual serta masyarakat awam untuk memilih. (www.puterakembara.com)

You might also like