You are on page 1of 23

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia salah satunya adalah merosotnya nilai-nilai moral bangsa. Krisis ini dapat kita lihat dari penyakit sosial masyarakat seperti praktek-praktek korupsi kolusi dan nepotisme, tindak kejahatan, tindak pelecehan seksual, jual beli narkoba, perdagangan manusia dan masih banyak lagi. Kenyataan tersebut telah memutarbalikkan citra Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki adat ketimuran yang khas. Tampaknya diera globalisasi dan informasi ini Indonesia semakin kehilangan jati diri dengan masuknya berbagai budaya asing yang terkadang kurang ramah terhadap budaya lokal bangsa Indonesia. Remaja sebagai generasi muda, sepertinya menjadi ladang subur bagi tumbuhnya perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan nilai moral bangsa. Masa remaja adalah masa yang paling rawan dalam kehidupan manusia, jika tidak dikendalikan, maka akan menghantarkan manusia ke dalam kehancuran. Remaja juga disebut sebagai manusia yang penuh dengan misteri, baik dilihat dari segi positif maupun negatifnya. Usia SMA adalah masa yang berada pada tahap perkembangan potensial, baik perkembangan kognitif, moral maupun fisik. Siswa SMA merupakan masa puncak perkembangan kognitif, masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi masalah-masalah abstrak dan hipotesis.

Dengan adanya kemampuan tersebut, seharusnya siswa-siswa SMA dapat mewujudkan kinerja dan kemampuan yang membanggakan sehingga dapat berprestasi. Namun yang memprihatinkan adalah sekarang, di mediamedia, di liputan-liputan justru banyak memberitakan perilaku-perilaku remaja yang buruk dan jauh dari moral. Adapun contoh berita di suatu media yang menyatakan bahwa pengguna narkoba, 60-70% adalah usia produktif, yang juga termasuk di dalamnya kelompok remaja SMA. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, perkelahian seperti tawuran, pencurian hingga sampai pembunuhan. Berbekal fenomena itu, tentu muncul pertanyaan apa yang salah dengan bangsa kita, siapa yang bertanggung jawab terhadap perilaku-perilaku yang memprihatinkan tersebut. Mengapa remaja yang seharusnya menyimpan begitu banyak potensi untuk berprestasi justru melakukan aktivitas-aktivitas yang membuat para orang tua menjadi khawatir. Maka dari itu, kami akan mencoba mengupas apa yang menjadi penyebab remaja-remaja melakukan perbuatan yang tidak terpuji yang jauh dari moral melalui karya tulis ini. B. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui apa saja penyimpangan perilaku remaja, apa yang menyebabkan kenakalan remaja dan bagaimana cara mengatasi perilaku menyimpang tersebut. C. Manfaat Penulisan Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan baik bagi institusi keluarga, sekolah maupun masyarakat dalam pembinaan dan pengembangan nilai-nilai dasar pada remaja

Bab II Isi

A. Pengertian Remaja Siapa remaja itu? Remaja berasal dari kata latin yaitu, adolensence, yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup tentang kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Remaja adalah suatu fase perkembangan yang dialami oleh sesorang ketika memasuki usia 12 22 tahun. Remaja dibagi menjadi tiga rentangan yaitu remaja awal usia 12 15 tahun, remaja madya usia 15 18 tahun, dan remaja akhir usia 19 22 tahun. Remaja adalah masa transisi dari "anak-anak" menjadi pemuda yang lebih dewasa. Anak Remaja identik dengan ego yang semakin tinggi, pencarian jati diri, dan beberapa perubahan dalam fisik dan pola berpikir. Pengertian remaja menurut para ahli : 1) Borring E.G. ( dalam Hurlock, 1990 ) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode atau masa tumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari anak-anak kemasa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa.

2) Monks, dkk ( dalam Hurlock, 1990 ) menyatakan bahwa masa remaja suatu masa disaat individu berkembang dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan yang mandiri. 3) Neidahart (dalam Hurlock, 1990 ) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak-anak kemasa dewasa, dan pada masa ini remaja dituntut untuk mandiri. 4) Ottorank (dalam Hurlock, 1990 ) bahwa masa remaja merupakan masa perubahan yang drastis dari keadaan tergantung menjadi keadaan mandiri 5) Daradjat (dalam Hurlock, 1990 ) mengatakan masa remaja adalah masa dimana munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang. 6) Erikson (dalam Hurlock, 1990 ) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa kritis identitas atau masalah identitas ego remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat, serta usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan baru para remaja harus memperjuangkan kembali dan seseorang akan siap menempatkan idola dan ideal seseorang sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Berdasarkan beberapa pengertian remaja yang telah dikemukakan para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan sosial.

Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif. B. Karakteristik Remaja Adapun ciri ciri / karakteristik remaja : 1) Perkembangan Fisik Fase remaja adalah periode kehidupan manusia yang sangat strategis, penting dan berdampak luas bagi perkembangan berikutnya. Pada remaja awal, pertumbuhan fisiknya sangat pesat tetapi tidak poporsional, misalnya pada hidung, tangan dan kaki. Pada remaja akhir, proporsi tubuh remaja mencapai ukuran tubuh orang dewasa dalam semua bagiannya. 2). Perkembangan Kognitif Pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan pada usia 12 22 tahun. Secara fungsional perkembangan kognitif ( kemampuan berpikir ) remaja dapat digambarkan sebagai berikut : a) Secara intelektual, remaja mulai dapat berfikir logis tentang gagasan abstrak. b) Berfungsinya kegiatan kognitif tingkat tinggi yaitu membuat rencana strategis dan membuat keputusan-keputusan serta memecahkan masalah.

c) d)

Sudah mampu menggunakan abstraksi-abstraksi, membedakan yang konkrit dengan yang abstrak. Munculnya kemampuan pikir secara ilmiah, dan belajar hipotesis.

menguji

e) Memikirkan masa depan, perencanaannya, dan mengeksplorasi alternative untuk mencapainya. f) Mulai menyadari proses berpikir efisien dan belajar berinstropeksi. g) Horizon berpikirnya semakin meluas, bisa meliputi agama, keadilan, moralitas dan identitas diri ( jati diri ). 3). Perkembangan Emosi Remaja mengalami puncak emosionalitas, perkembangan emosi tingkat tinggi. Perkembangan emosi remaja awal menunjukkan sifat sensitif, reaksi yang kuat, emosinya bersifat negatif dan temperamental ( mudah tersinggung, marah, sedih, murung ). Sedangkan remaja akhir sudah mulai mampu mengendalikannya. Remaja yang berkembang di lingkungan yang kurang kondusif, kematangan emosionalnya terhambat. Sehingga mengalami akses negatif berupa tingkah laku sebagai berikut, misalnya : a). Agresif : melawan, keras kepala, berkelahi, suka mengganggu dan lain-lain. b). Lari dari kenyataan ( Regresif ) : suka melamun, pendiam, senang menyendiri, mengkonsumsi obat penenang, minuman keras atau obat terlarang. Sedangkan lingkungan yang harmonis dan kondusif dapat membantu kematangan emosi remaja menjadi : a) Adekuasi ( ketepatan ) emosi : cinta, kasih sayang, simpati, altruis ( senang menolong ), respek ( sikap hormat dan menghargai orang lain ), ramah dan lain-lain.

b) Mengendalikan emosi : tidak mudah tersinggung, tidak agresif, wajar, optimistik, tidak meledak-ledak, menghadapi frustasi secara sehat dan bijak. 4). Perkembangan Moral Remaja sudah mampu berperilaku yang tidak hanya mengejar kepuasan fisik saja, tetapi meningkat pada tataran psikologis ( rasa diterima, dihargai dan penilaian positif darim orang lain ). Namun penelitian membuktikan bahwa perkembangan moral remaja baru berkisar di tahap 3 ( remaja berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompoknya saja ). Tahap 4 (remaja baru bertingkah laku sesuai norma dan panutan yang berlaku secara luas ). 5). Perkembangan Sosial Remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain ( social cognition ) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai dan kepribadiannya. Perkembangan sikap yang cukup rawan pada remaja adalah sikap comformity yaitu kecenderungan untuk menyerah dan mengikuti bagaimana teman sebayanya berbuat. Misalnya dalam hal pendapat, pikiran, nilai-nilai, gaya hidup, kebiasaan, kegemaran, keinginan dan lain-lainnya. 6). Perkembangan Kepribadian Isu sentral pada masa remaja adalah masa berkembangnya identitas diri ( jati diri) yang bakal menjadi dasar bagi masa dewasa. Remaja mulai sibuk dan heboh dengan problema siapa saya? ( Who am I? ), terkait dengan hal tersebut remaja juga risau mencari idola-idola dalam hidupnya yang dijadikan tokoh panutan dan kebanggaan.

Faktor-faktor penting dalam perkembangan integritas pribadi remaja adalah : a) Pertumbuhan fisik semakin dewasa, membawa konsekuensi untuk berperilaku dewasa pula. b) Kematangan seksual berimplikasikan kepada dorongan dan emosiemosi baru. c) Munculnya kesadaran terhadap diri dari mengevaluasi kembali norma-norma dan cita-cita dirinya. d) Kebutuhan interaksi dan perasahabatan lebih luas dengan teman sejenis dan lawan jenis. e) Munculnya konflik-konflik sebagai akibat masa transisi dan masa anak menuju dewasa. Remaja akhir sudah mulai dapat memahami, mengarahkan,

mengembangkan dan memelihara identitas diri. Tindakan antisipasi remaja akhir adalah : a) Berusaha bersikap hati-hati dalam berperilaku dan menyikapim kelebihan, kelemahan dirinya. b) Mengkaji tujuan dan keputusan untuk menjadi model manusia yang bagaimana dan seperti apa. c) Memperhatikan etika masyarakat, kehendak orang tua, dan sikap teman-temannya. d) Mengembangkan sikap-sikap pribadinya. 7). Perkembangan Kesadaran Beragama Iman dan hati adalah penentu perilaku dan perbuatan seseorang. Bagaimana perkembangan spiritual ini terjadi pada remaja? Sesuai dengan perkembangannya, kemampuan krisis remaja mampu menyoroti nilai-nilai agama dengan cermat. Mereka mulai membawa nilai-nilai agama ke dalam kolbunya / kehidupannya. Tetapi mereka juga mengamati secara kritis kepincangan-kepincangan di masyarakat

atas praktik-praktik keagamaan. Banyak lapisan masyarakat yang kurang memperdulikan nilai agama, bersifat munafik, tidak jujur dan perilaku amoral lainnya. Disinilah idealisme keimanan dan spiritual remaja mengalami benturan-benturan dan ujian. Dalam bukunya, "Helping The Struggling Adolescent", Les Parrot III menguraikan konsep diri remaja yang terdiri dari empat aspek : 1) Diri Subjektif Pandangan pribadi remaja tentang siapakah dirinya. Ada remaja yang menilai dirinya tampan,tapi ada pula yang menganggap dirinya tidak menarik. Ada remaja yang melihat dirinya supel, namun ada pula yang "kuper" (alias kurang pergaulan). Konsep diri subjektif bersumber dari penilaian orangtua, guru, dan teman yang telah menjadi konsep diri si remaja. 2) Diri Objektif Pandangan orang lain tentang diri si remaja. Pandangan orang lain bersifat mandiri dan beragam, dalam arti pandangan ini merupakan pandangan pribadi seseorang tentang si remaja dan pandangan tiap orang tidak harus sama dengan yang lainnya. Si remaja mungkin berpikir bahwa ia adalah seseorang yang ramah dan ringan tangan (diri subjektif), namun beberapa temannya menganggap bahwa ia adalah seseorang yang mau tahu urusan orang lain (diri objektif). 3) Diri Sosial Pandangan si remaja akan dirinya berdasarkan pemikirannya tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Di sini si remaja melihat dirinya dengan menggunakan kacamata orang lain. Ia mereka-reka apa penilaian orang lain terhadap dirinya dan sudah tentu rekaan ini dapat tepat tapi dapat pula keliru. Ia mungkin menganggap bahwa orang lain melihatnya sebagai seseorang yang berani (diri sosial) namun dalam

kenyataannya beberapa temannya memandangnya sebagai seseorang yang kurang ajar(diri objektif). Ia sendiri mungkin menilai dirinya bukan sebagai seseorang yang berani melainkan sekadar sebagai pembela keadilan(diri subjektif). 4) Diri Ideal Sosok dirinya yang paling ia dambakan atau ia cita-citakan. Diri ideal adalah diri yang belum terjadi atau terbentuk sehingga si remaja terus berusaha mencapainya. Ia mungkin melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak stabil (diri subjektif), oleh karena itu ia senantiasa berupaya menjadi seseorang yang sabar (diri ideal). Dari semua karakteristik yang telah disebutkan di atas, remaja seharusnya menjadi penerus bangsa. Tetapi pandangan tersebut berubah akhir-akhir ini. Remaja menjadi ladang tumbuh suburnya perbuatan dan perilakuperilaku yang tidak sesuai nilai dan moral bangsa. Masa remaja adalah masa yang paling rawan dalam tahap kehidupan manusia, jika tidak dikendalikan akan mengantarkan manusia pada kehancuran. Remaja juga dikatakan sebagai kelompok manusia yang sarat dengan misteri; baik dilihat dari sisi positif maupun negatifnya, baik yang yang masih bersifat latent maupun yang telah mewujud dipermukaan dalam bentuk perilaku tertentu. Siswa SMA sebagai bagian dari kelompok remaja juga menyimpan potensi-potensi baik positif maupun negatif. Berbekal potensi tersebut, sesungguhnya siswa SMA berpeluang untuk mampu mewujudkan perilaku dan kinerja yang membanggakan serta mengukir prestasi-prestasi. Namun yang membuat kita prihatin, liputan-liputan media justru lebih banyak mengisahkan perilaku remaja yang buruk ketimbang remaja-remaja berprestasi. Belum lagi kasus-kasus seksual seperti pemerkosaan, sodomi, aborsi, yang begitu banyak dilakoni oleh remaja usia SMA. Perkelahian

10

pelajar (tawuran), penipuan, pencurian bahkan pembunuhan yang juga banyak dilakukan oleh remaja-remaja Indonesia. Berbekal fenomena itu, tentu muncul pertanyaan apa yang salah dengan bangsa kita, siapa yang paling bertanggung jawab terhadap perilakuperilaku yang memprihatinkan tersebut. Mengapa remaja yang seharusnya menyimpan begitu banyak potensi untuk berprestasi justru melakukan aktivitas-aktivitas yang membuat para orang tua mengurut dada. C. Faktor - faktor Perilaku Kenakalan Remaja Diduga ada empat faktor yang bertanggung jawab atas perilaku-perilaku kenakalan remaja : 1) Faktor Internal. Remaja yang terlibat kenakalan remaja biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi para remaja ini kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. 2) Faktor Keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan

11

identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. 3) Faktor Sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya. Tetapi sekolah terlebih dahulu dinilai dari kualitas pengajarannya dengan indikator keberhasilan yaitu tingginya nilai raport dan persentase kelulusan. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Padahal dalam fase perkembangan moral siswa (Noeng Muhadjir, 2000) guru jelas memainkan peranan yang sangat penting dengan menjadi panutan dan teladan siswa dalam bersikap serta memperoleh nilai-nilai moral. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam mendidik siswanya. 4) Faktor Lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya kenakalan remaja. Misalnya kelompok teman sebaya dari anak yang menjadi rekannya beraktivitas selain dirumah dan sekolah. Atau media-media yang sekarang ini menjamur seperti acara-acara televisi, bioskop, internet, majalah-majalah yang menawarkan aktivitas baru bagi anak selepas ia menjalani aktivitasnya di rumah atau di sekolah. Faktor lingkungan ini juga sangat berpengaruh terhadap munculnya kenakalan remaja.

12

D.

Berbagai Perilaku Menyimpang Remaja Kenakalan remaja muncul akibat remaja kehilangan panutan, baik dari pihak keluarga, sekolah maupun pemimpin-pemimpin bangsa ini. Sesungguhnya, banyak orangtua di Indonesia yang belum siap menjadi orang tua. Mereka hanya berbekal materi yang dianggap menjadi dasar kehidupan berumah tangga dan mendidik anak. Orangtua juga seringkali menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah. Padahal, pendidikan dan sekolah seringkali tidak menghasilkan manusia yang bertanggungjawab dan mandiri. Kebijakan kurikulum pendidikan yang sarat teori tidak menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Sistem evaluasi yang hanya mengejar nilai raport dan ijazah tidak melatih anak untuk bertanggungjawab dan mampu menyelesaikan permasalahan. Banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan tapi sekaligus juga paling membingungkan. Masa dimana seseorang mulai memikirkan tentang cita-cita, harapan, dan keinginankeinginannya. Namun juga masa yang membingungkan, karena ia mulai menyadari sekitarnya. Pada masa-masa ini para remaja benar-benar mencari identitas dirinya, teman sebaya lebih berperan dominan dari pada orangtua bahkan keluarga, emosi para remaja umumnya belum stabil masih suka ikut-ikutan antar teman. Banyak sekali kenangan-kenangan yang terukir, antara pengalaman, pengajaran, hubungan persahabatan, masalah percintaan dengan lawan jenis dan lain sebagainya. masalah-masalah yang muncul ketika ia mencoba untukmengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang di

13

Inilah proses di mana individu membentuk pola perilaku dan nilai-nilai baru yang pada gilirannnya bisa menggantikan nilai-nilai serta pola perilaku yang dipelajarinya di rumah. Maka, pengawasan orang tua sangat perlu diperlukan karena masa-masa ini, adalah masa coba-coba, yaitu banyak sekali yang ingin dirasakan oleh remaja. Banyak orang yang mengkaitkan masa remaja dengan masalah-masalah narkoba, drugs dan lain sebagainya, karena memang banyak anak-anak SMA yang menjadi korban dan sasaran empuk bagi para pengedar narkoba. Pada saat inilah orangtua memiliki peranan yang sangat penting untuk menolong anak remajanya, supaya mereka tidak salah jalan. Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau pada saat yang sama orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang dialami remaja,baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu orangtua perlu melakukan pendekatan-pendekatan yang tepat agar dapat mengerti dan memahami masalah anak remajanya. Jika tidak maka hal ini akan menyebabkan banyak kesalahpahaman di antara mereka. Pada SMA kelas XII banyak sekali permasalahan-permasalahan yang muncul, pada masa ini adalah masa-masa kebimbangan bagi siswa, dikarenakan pada masa ini siswa akan dihadapkan pada ujian nasional, ujian nasional dengan nilai standar kelulusan yang terus meningkat dari tahun ketahun.Ujian yang benar-benar menjadi sisi yang sangat menakutkan bagi siswa, karena siswa dituntut agar lulus dalam Ujian Nasional. Jika siswa tersebut tidak lulus maka siswa itu akan mengulang satu tahun lagi di bangku SMA. Siswa harus bekerja dan belajar ekstra agar mereka mendapatkan nilai yang baik dan LULUS. Bahkan Ujian Nasional telah menjadi masalah yang sangat serius bagi pemerintah, peserta didik, pendidik, orangtua itu sendiri bahkan masyarakat umumnya.

14

Siswa SMA kelas XII, juga masa-masa yang membingungkan karena mereka dihadapkan pada beberapa pilihan: yaitu kuliah (bagi yang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi), kursus, mengikuti dunia baru, yaitu dunia kerja (bagi yang ingin dan dituntut bekerja), atau tidak sedikit pula yang sudah diperintahkan oleh keluarganya agar menikah. Maka dari itu, diperlukannya kerja sama antara guru dan orang tua dalam memotivasi siswa, pada masa-masa ini siswa sangat membutuhkan dorongan, motivasi yang dapat menyemangatkan anak, tanamkan kepercayaan, keyakinan serta dukungan terus menerus kepada anak bahwa mereka bisa dan pasti bisa! Melewati masa-masa ujian, beri kesadaran, bahwa Ujian Nasional bukanlah suatu pemaksaan tetapi sesuatu yang harus dilewati oleh setiap siswa untuk mengukur kualitas pendidikan itu sendiri. Pada remaja, konflik antara diri subjektif dan diri sosial mudah terjadi. Misalnya, pada awalnya si remaja berpikir bahwa ia adalah seorang yang alim (positif) karena orangtuanya kerap kali memujinya sebagai seorang anak yang alim. Ia sendiri menyadari bahwa ia jarang sekali melawan kehendak orangtuanya dan ia tidak pernah menerima teguran keras dari gurunya. Ia berkeyakinan bahwa menjadi anak yang alim adalah suatu hal yang baik. Masalah mulai timbul tatkala ia memasuki usia remaja, di mana ia mulai menyadari bahwa anak yang nakal mendapatkan hormat dari teman-teman karena dianggap berani. Sebaliknya, anak yang alim justru terlupakan dan tidak menerima hormat dari teman-teman karena dianggap pengecut. Akibatnya, ia pun berpandangan bahwa teman-temannya justru menganggap kealiman dia sebagai tanda bahwa ia adalah seseorang yang penakut(negatif). Dengan kata lain, hal yang positif di rumah merupakan

15

hal yang negatif di luar rumah. Di rumah ia dihargai, di luar rumah ia diremehkan. Sungguh bukan suatu pilihan yang mudah. remaja mengalami tekanan yang timbul dari konflik seperti ini. Tekanan ini semakin bertambah karena ia merasa tidak dapat menyampaikan persoalan yang dihadapinya, baik kepada sesame teman maupun kepada orangtua. Dalam kesendiriannya itu, ia dapat menjadi murung dan mengurung diri. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Menjadi nakal berarti melanggar hati nurani dan keyakinannya tentang siapa dia sebenarnya serta membuat orangtuanya marah. Sebaliknya, tetap alim berarti terkucil dan hilang dari peredaran. Ada satu saran yang dapat disampaikan para orangtua remaja yakni, komunikasikanlah pemahaman kita akan pergaulan yang sedang ia hadapi dan pilihan-pilihan yang sulit yang harus ia putuskan. Tidak ada perasaan yang lebih menyegarkan jiwa daripada merasa dimengerti. Perasaan dimengerti membuat remaja melihat dirinya dengan perspektif yang seimbang: bahwa ia bukanlah seseorang yang aneh. Sampaikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dikenal sebagai seseorang yang pemberani, bukan pengecut. Komunikasikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dihargai sesama teman, bukan diremehkan. Remaja pun tidak terlepas dari yang namanya narkoba. Banyak kasus yang dapat membuat para remaja mencoba menggunakan obat terlarang. Bisa saja dikarenakan ditawari dan mendapat tekanan dari teman sebaya. Atau, remaja menggunakannya untuk menghindari atau melupakan masalah dan konflik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sering kali

16

Ada banyak faktor yang saling berinteraksi yang mendorong kita untuk menyalahgunakan obat terlarang. Beberapa di antaranya adalah: 1) Faktor Individu Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh: keadaan mental, fisik, dan psikologis seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dan gangguan mental dapat memperbesar kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan narkotika. Faktor individu pada umumnya ditentukan oleh dua aspek, yaitu: a) Aspek Biologis: Menurut Schuchettada, bukti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan pada alkoholisme serta beberapa bentuk perilaku yang menyimpang, termasuk penyalahgunaan zat. b) Aspek Psikologis : Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Beberapa ciri perkembangan masa remaja dapat mendorong seseorang untuk menyalahgunakan obat terlarang, yaitu: kepercayaan diri kurang atau kurang PD, ketidakmampuan mengelola stres atau masalah yang dihadapi, coba-coba dan berpeluang untuk memperoleh pengalaman baru yang semua itu dapat menyebabkan seorang remaja terjerumus ke penyalahgunaan obat terlarang. Pada sebagian remaja, penyalahgunaan obat merupakan alat interaksi sosial, yaitu agar diterima oleh teman sebaya atau merupakan perwujudan dari penentangan terhadap orangtua dalam rangka membentuk identitas diri dan supaya dianggap sudah dewasa.

Ada seorang pakar Nurco yang mengemukakan ada 5 faktor (yang dapat berdiri sendiri atau bergabung satu sama lain) untuk menjelaskan mengapa seseorang bisa menjadi penyalah guna obat terlarang, sedang orang lain tidak: Kebutuhan untuk menekan frustrasi dan dorongan agresif serta ketidakmampuan menunda kepuasan.

17

Tidak ada identifikasi seksual yang jelas. Kurang kesadaran dan upaya untuk mencapai tujuanMenggunakan perilaku yang menyerempet bahaya Menekan rasa bosan. Faktor Obatnya / Zat sehubungan dengan arti dan alasan penggunaan zat-zat psikoaktiva. Obat tidur, misalnya, sekarang banyak digunakan tanpa resep dokter untuk membantu seseorang yang kesulitan tidur.

tujuan yang bisa diterima secara sosial. untuk menunjukkan kemampuan diri. 2)

Adanya perubahan nilai yang disebabkan oleh perubahan zaman

Dalam kenyataannya ada beberapa jenis obat yang digunakan sebagai tolok ukur status sosial tertentu. Dengan demikian, mereka yang tidak menggunakan akan mengalami tekanan sosial yang kuat (biasanya dari teman sebaya) untuk mencoba dan memakainya. Adanya keyakinan bahwa obat dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi beban masalah yang sedang dihadapi. Sifat dari obat golongan narkotika dan psikotropika adalah adiksi dan toleransi. Peredaran makin banyak dan lebih gampang didapat. 3) Faktor Lingkungan Beberapa faktor sosiologis yang dianggap dapat menyebabkan penyalahgunaan obat/zat, antara lain: a) Hubungan Keluarga : Biasanya keluarga yang tidak harmonis mempunyai masalah dengan penyalahgunaan obat/zat, misalnya ibu terlalu dominan, overprotektif, ayah yang otoriter atau yang acuh tak acuh dengan keluarga. Atau orangtua yang memaksakan kehendak pada anak yang mendorong anak melarikan diri ke alam

18

impian melalui obat. Kualitas hubungan keluarga yang buruk dapat menyebabkan penyalahgunaan obat/zat terlarang meningkat. Penyalahgunaan obat/zat terlarang juga dipengaruhi oleh kebiasaan anggota keluarga yang lain, seperti orangtua dan kakak yang juga menggunakan obat/zat terlarang tersebut. b) Pengaruh Teman : Pengaruh teman bagi terjadinya obat/zat terlarang ini sangat besar. Hukuman oleh dirasakan lebih berat dari penggunaan obat

penyalahgunaan mencoba berhenti, itu sendiri (50 %).

kelompok teman sebaya, terutama pengucilan bagi mereka yang

Ciri-ciri remaja yang kecil kemungkinannya pakai narkoba: Sehat secara fisik maupun mental. Mempunyai kemampuan adaptasi sosial yang baik. Memiliki sifat jujur dan bertanggung jawab. Mempunyai cita-cita yang rasional. Dapat mengisi waktu senggang secara positif. Ciri-ciri remaja yang potensial berisiko menyalahgunakan narkoba: Mempunyai sifat mudah kecewa dan untuk mengatasi rasa kecewa cenderung agresif dan destruktif/merusak. Kalo punya keinginan tidak bisa menunggu, harus dipenuhi segera. Pembosan, sering meras, tertekan, murung, merasa tidak mampu berbuat sesuatu yang berguna dalam hidup sehari-hari. Suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang berbahaya atau mengandung risiko. Kurang dorongan untuk berhasil dalam pendidikan, pekerjaan, atau kegiatan lain, prestasi belajar buruk, partisipasi dalam kegiatan-

19

kegiatan di luar sekolah kurang, kurang olahraga, dan cenderung makan berlebihan. Kurang PD atau rendah diri, selalu cemas, apatis, menarik diri dari pergaulan, depresi, dan kurang mampu menghadapi stres. Tahapan penyalahgunaan narkoba, antara lain: 1. Tahap coba-coba Awalnya hanya pengin tahu dan memperlihatkan kehebatan. Kebanyakan tidak melanjutkan tahap ini. Tapi, ada beberapa dari kita yang lanjut ke proses yang lebih "canggih". 2. Kadang-kadang atau pemakaian regular Sebagian setelah tahap coba-coba kemudian melanjutkan pemakaian psikoaktif sehingga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, karena pemakaian bahan-bahan tersebut masih terbatas, tidak ada perubahan mendasar yang dialami pemakai. Mereka tetap bersekolah dan melakukan kegiatan lainnya. 3. Ketagihan Pada tahap ini frekuensi, jenis, dan dosis yang dipakai meningkat, termasuk bertambahnya pemakaian bahan-bahan berisiko tinggi gangguan fisik, mental, dan masalah-masalah sosial makin jelas. Tahap ini sering disebut tahap kritis karena ada bahaya yang nyata. Meskipun demikian, pada beberapa pemakai (dengan bantuan) masih bisa berhenti pada tahap ini. 4. Ketergantungan Merupakan bentuk ekstrem dari ketagihan, upaya mendapatkan zat psikoaktif dan memakainya secara reguler merupakan aktivitas utama sehari-hari mengalahkan semua kegiatan lain, kondisi fisik, dan mental terus-menerus menurun, hidup sudah kehilangan makna. Keadaan pemakai selalu membutuhkan obat tertentu agar dapat berfungsi secara wajar, baik fisik maupun psikologis. Ketergantungan fisik, misalnya badan menjadi lemah dan sendi-sendi terasa nyeri kalau tidak menggunakan obat dalam jangka waktu tertentu. Ketergantungan

20

secara psikologis ditunjukkan oleh adanya perasaan tidak percaya diri dalam pergaulan sehari-hari kalau tidak menggunakan obat.

Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan semakin hari oleh anak-anak menjadi masalah yang semakin memprihatinkan semua orangtua. Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, disepakati bahwa membangun jalinan komunikasi intens antara orangtua dan anak merupakan alat yang ampuh untuk dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun demikian, banyak orang tua merasa ragu mendiskusikan tentang penyalahgunaan obat dan alkohol dengan anak-anak mereka. Sebagian dari kita percaya bahwa anak-anak kita tidak akan terlinbat pada hal-hal terlarang tersebut. Sebagian lainnya menundanya karena tidak mengetahui bagaimana mereka mengatakannya, atau justru takut mereka menjadi memikir tentang hal itu dan mendorong ke arah yang tidak diinginkan.

21

Bab III Penutup

A. Kesimpulan Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal s eperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif. Para orang tua juga harus bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan anak-anak mereka karena bisa saja penyimpangan perilaku anak-anak tersebut dikarenakan oleh kurangnya perhatian orang tua sehingga anak remaja mereka mulai memberontak. Akan lebih baik apabila mereka diajarkan lebih dini apa yang boleh mereka lakukan dan apa yang tidak boleh. Seperti, pendidikan seks dini. Dengan adanya pendidikan seks dini, anak-anak akan mulai mengerti konsekuensi yang akan diterima apabila melakukannya. Maka dari itu, peran perhatian dari orang tua sangat mendukung kemajuan atau kemerosotan perilaku anak-anak mereka.

22

B. Saran Kenakalan remaja yang terjadi banyak disebabkan oleh pergaulan. Pergaulan dengan teman-teman yang tidak baik dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku menyimpang. Orang orang tua sibuk bekerja dan kurang memperhatikan anak anak mereka. Anak anak yang merasa dirinya kurang diperhatikan akan mudah terpengaruh oleh hal hal yang negatif, seperti mulai mencoba ekstasi, narkoba, seks bebas, minuman beralkohol, dan perbuatan menyimpang lainnya yang diajak oleh teman sebaya atau bujukan orang lain. Para orang tua seharusnya memberikan pendidikan kepada anak anak mereka tentang perbuatan yang benar dan perbuatan yang tidak benar. Apabila ada penyampaian dari orang tua, maka anak anak akan mengingatnya. Namun, yang paling penting dari semua adalah kesadaran anak itu sendiri. Anak tersebut harus mempunyai pemahaman bahwa hanya ia yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Maka, dibutuhkan kerja sama antara orang tua dan anak, perhatian orang tua juga berperan penting dalam perkembangan anak agar tidak terjadi perilaku menyimpang.

23

You might also like