You are on page 1of 4

Contoh Konflik dan Solusi Mengatasinya

Posted on Maret 26, 2010 by 6 Komentar Oleh : Septian Prima Rusbariandi 11208153/ 2EA03

Awalnya Bantu Orangtua, Lama-lama Terjebak Laporan wartawan KOMPAS, Ester Lince Napitupulu Senin, 15 Juni 2009 | 09:56 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Banyak anak usia wajib belajar yang putus sekolah karena harus bekerja. Kondisi itu harus menjadi perhatian pemerintah karena anak usia wajib belajar mesti menyelesaikan pendidikan SD-SMP tanpa hambatan, termasuk persoalan biaya.

Demikian pernyataan itu dikemukakan oleh Unifah Rosyidi, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), di acara pelatihan tentang Pengurangan Pekerja Anak kerja sama PGRI ILO IPEC di Jakarta, yang berlangsung sejak Sabtu hingga Senin (15/6) ini. Berdasarkan data survei anak usia 10-17 tahun yang bekerja, seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2006, tercatat sebanyak 2,8 juta anak telah menjadi pekerja. Unifah mengatakan, dari hasil studi tentang pekerja anak yang dilakukan PGRI dengan ILO-East tahun 2008 di Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Papua Barat, ditemukan bahwa anak-anak usia 9-15 tahun terlibat dengan berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental-emosional, dan seksual. Awalnya mereka membantu orangtua, tetapi kemudian terjebak menjadi pekerja permanen. Mereka sering bolos sekolah dan akhirnya putus sekolah, kata Unifah. Karena itu, lanjut Unifah, bagi anak-anak miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja belum cukup. Pemerintah dan sekolah juga mesti memikirkan pemberian beasiswa tambahan untuk pembelian seragam dan alat tulis, serta biaya transportasi dari rumah ke sekolah agar anak-anak usia wajib belajar tidak terbebani dengan biaya pendidikan. Solusi dalam menyikapi konflik diatas: Sudah bukan hal baru lagi ketika kita mendengar kemiskinan menjadi suatu polemik yang selalu menghantui masyarakat ekonomi kelas bawah. Pendidikan yang seharusnya dikenyam seluruh lapisan masyarakat, khususnya di usia anak-anak, harus terbengkalai tak terurus begitu saja dikarenakan himpitan ekonomi yang menyelimutinya. Seperti uraian permasalahan tercantum diatas, tak seharusnya pula kita berhenti untuk berfikir bagaimana agar sekiranya konflik semacam itu dapat dihindari atau paling tidak dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Seorang anak seolah merasa terpaksa membantu orangtuanya dengan bekerja turut mencari penghasilan tambahan, namun karena desakan berbagai faktor, seperti waktu, rasa lelah seusai bekerja, tidak terfokusnya pikiran, ataupun hubungan sosial dengan temannya, jelas secara perlahan hal tersebut akan menyebabkan si anak mengeluarkan keputusan untuk berhenti sekolah. Sangat disayangkan memang, ibarat melakukan pengorbanan untuk dapat meraih sepeser uang dengan cara membayarnya dengan pendidikan, yang notabene nilai pendidikan ialah jelas jauh punya nilai guna dikemudian hari kelak. Bahkan cukup ironi jika ada orangtua dari keluarga ekonomi kurang mampu yang sampai beranggapan bahwa bersekolah dikatakan hanya akan menambah pengeluaran dari pengahasilan yang telah didapatnya.

Pemerintah pun sebagai wahana dalam memberikan pelayanan dirasa belum efektif dalam mengayomi masyarakatnya. Program-program pemerintah yang ditujukan kepada sekolah dasar sampai sekolah menengah, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ataupun Dana program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM untuk pendidikan faktanya belum cukup untuk mensiasati permasalah ini. Karena permasalahan akan sekolah tidak bisa berhenti hanya dengan pembayaran iuran SPP saja, tapi juga perlu diperhatikan permasalahan lain yang cukup berpengaruh terhadap sisi psikologis anak misalnya masalah pembelian buku pelajaran, biaya transportasi, biaya seragam sekolah dan juga tak ketinggalan status sosial anak dimata anak-anak yang mungkin lebih mampu yang disinyalir sebagai penyebab munculnya rasa malas dating ke sekolah yang ujungnya ialah berhenti bersekolah. Kini menjadi tugas urgen bagi Pemerintah maupun orangtua untuk sekiranya dapat berfikir mengeluarkan inisiatif demi mengatasi konflik semacam ini, orangtua sebagai orang terdekat dengan anak sudah seharusnya berfikir jernih untuk dapat memberikan pengarahan yang lebih tepat bagi anak-anaknya, orangtua harus menyadari bahwa si anak haruslah diberikan haknya untuk memperoleh pendidikan, memberikan pengarahan agar anak meyakini bahwa pendidikan merupakan bekal penting dalam menjalani kehidupan dan orangtua pun, khususnya ayah, harus menyadari bahwa menafkahkan keluarga itu sudah merupakan kewajibannya. Berbicara seorang ayah atau orangtua yang menganggur, dalam hal ini jelas perlu adanya turun tangan pemerintah untuk memberikan perhatian penuh akan problem ini. Pemerintah haruslah secara intensif dan gencar-gencarnya untuk terus memberikan penyuluhan pengajaran keterampilan bagi masyarakat pengangguran, untuk kemudian memberikan modal yang sepantasnya demi membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat tak mampu. Sehingga jika memang orangtua sudah merasa cukup dengan ekonominya, sudah barang tentu si anak akan di sekolahkan sesuai tuntutan yang berlaku. Bagitu pula halnya, dengan sikap golongan-golongan masyarakat ekonomi sangat mampu, sungguh sangat diharapkan timbulnya rasa humanisme atau kepedulian sosial terhadap masyarakat miskin yang ada. Jujur saja sangatlah lucu ketika jurang antara si Kaya dan si Miskin masih sangat curam, disatu sisi si Miskin yang untuk mengenyam pendidikan dasarpun harus terhalang karena himpitan ekonomi, sedangkan di sisi lain sebagian oknum dari pihak si Kaya masih seolah tidak melihat masyarakat kelas bawah yang ada dihadapnnya. Lebih lanjut, memang perlu adanya kesadaran terhadap pribadi-pribadi jiwa manusia untuk menumbuhkan rasa keadilan. Dalam hal kehidupan beragama, Islam pun sebenarnya sangat menekankan pengaturan distribusi ekonomi yang adil agar ketimpangan di dalam masyarakat dapat

dihilangkan. Firman Allah SWT, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS. Al-Hasyr : 7). Selebihnya peran pemerintah sebagai saran atau mediator dalam mengkoordinir masyarakatnya sangatlah dibutuhkan agar sistem yang seharusnya dijalankan tidak terdiam hanya terpaku seolah tak ada jalan keluar terhadap permasalahan yang melanda warganya. Dan kita sebagai individu manusia sekiranya turut juga berperan agar bisa lebih berkontribusi terhadap masyarakat kelas bawah agar dapat hidup bersama berdampingan tanpa melupakan hak yang sudah sepantasnya mereka peroleh.

Ciri2 kenakalan remaja Ciri2 kenkalan remaja itu jika seorang anak sudah melakukan hal2 yg menyimpang, hal2 yg bertolak belakang dengan norma di masyarakat yang tentu saja dapat menimbulkan masalh baik besar maupun kecil dan dapat merugikan diri sendiri juga orang2 yg ada di sekitarnya.. Penyebab kenakalan remaja itu sendiri ada berbagai faktor, bisa dari faktor lingkungan sosial sperti pergaulan dan lingkungan tempat tinggal yg tidak sehat, bisa juga di karnakan faktor yg ada di dalam rumah itu sendiri, misalnya sang anak merasa kurang mendapatkan perhatian dari orang tuannya sehingga dia berusaha mendapatkan perhatian dari orang lain, mungkin dari teman2nya atau shabatnya yg malah menjerumuskannya ke hal2 yg negatif.. Itulah lebih singkatnya

You might also like