You are on page 1of 16

MASYARAKAT MULTIKULTURAL MINORITAS DAN DILEMA MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

KELOMPOK 4:
1.

Nurul Farhan

(10413244005) (10413244012) (10413244031) (10413244034) (10413244036)

2. Nisa Karimah Hakim


3. 4. 5.

Muchammad Azmi S. Tri Kusnandari Krissanto Kurniawan

PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,

yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Minoritas dan Dilema Multikulturalisme di Indonesia ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Masyarakat Multikultural yang diampuh oleh Ibu Nur Hidayah M.Si. Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ibu Nur Hidayah M.Si. selaku dosen mata kuliah Masyarakat Multikultural. 2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan baik moriil maupun materiil guna kelancaran penyusunan makalah ini. 3. Teman-teman Program Studi Pendidikan Sosiologi yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada kami. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan senang hati.

Yogyakarta, September 2011

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang dikatakan sebagai masyarakat multikultural. Pada dasarnya multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan.Akan tetapi pada kenyataannya, masyarakat belum mampu untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan bijak. Masih terdapat pembedaan akan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Kelompok masyarakat yang memiliki jumlah massa lebih banyak akan cenderung menjadi kelompok yang superior. Akibat dari hal tersebut adalah munculnya sekelompok orang yang disebut sebagai kelompok minoritas dan juga kelompok mayoritas (dominan). Sering terjadi tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas yang dilakukan oleh kelompok mayoritas (dominan) tanpa memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh kelompok minoritas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian minoritas dan multikulturalisme? 2. Bagaimana keadaan kelompok minoritas di Indonesia? 3. Apa saja hak kelompok minoritas? 4. Bagaimana multikulturalisme yang terjadi di Indonesia? 5. Apa saja problema multikulturalisme di Indonesia

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian minoritas dan multikulturalisme. 2. Mengetahui apa saja hak kelompok minoritas. 3. Mengetahui bagaimana keadaan kelompok minoritas di Indonesia. 4. Mengetahui bagaimana multikulturalisme yang terjadi di Indonesia.

5. Mengetahui problema multikulturalisme di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
A.1. Pengertian Hak Minoritas Pengertian minoritas sampai saat ini belum memiliki definisi tunggal mengenai apa yang disebut sebagai minoritas atau kelompok minoritas itu sendiri. Ada sekelompok orang yang mendefinisikan kelompok minoritas sebagai golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena hal tersebut terjadi diskriminasi oleh golongan lain itu. Menurut Parsudi Suparlan, kelompok minoritas merupakan orang-orang yang diperlakukan secara diskriminatif dalam masyarakat karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya berbeda. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai orang luar dalam masyarakat tempat hidup mereka, namun juga menempati posisi yang tidak menguntungkan, karena mereka tidak memperoleh akses terhadap sosial, ekonomi, dan politik. Terminologi minoritas dalam konteks Indonesia bukan sekedar sulit untuk ditentukan definisinya, melainkan juga pada tataran batasan jumlahnya secara cacah jiwa. Bahkan dalam beberapa hal yang sangat konkret, kategorisasi minoritas yang dicantumkan oleh Negara terhadap kelompok tertentu tidak jarang menimbulkan reaksi balik yang cukup mengkagetkan. Terdapat empat hal menurut Hikmat Budiman, yang menyisakan persoalan yang cukup mengelisahkan. Pertama, batasan tentang minoritas sangat tergantung pada jumlah numeriknya. Kedua, minoritas mengandaikan posisinya berada pada posisi yang tidak dominan, sementara istilah dominan itu sendiri tidak didefinisikan secara spesifik. Ketiga, menjadi minoritas berarti terdapatnya perbedaan yang cukup spesifik dari segi etnik, agama, dan bahasa. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau

kelompok untuk memiliki solidaritas terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa serta membagi keinginan untuk meraih persamaan hukum di hadapan populasi yang lain. A.2. Pengertian Mulikulturalisme Multikulturalisme berasal dari kata multi (banyak atau beragam), kultur (budaya atau kebudayaan), dan isme(paham atau aliran). Secara hakiki, dalam kata multikulturalisme terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Menurut Irwan, multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah kesetaraan budaya. Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama, dsb. Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompokkelompok etnik atau budaya yang ada, dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Menurut Parekh, dalam bukunya National Culture and Multiculturalism, ia membedakan multikulturalisme menjadi lima macam, yaitu:
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu pada masyarakat di mana berbagai

kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur

dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
3. Multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-

kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana

kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan kultural otonom,

tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme cosmopolitan, yakni paham yang berusaha menghapuskan

batas-batas cultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu. Sementara itu, S. Saptaatmaja mengatakan bahwa pada dasarnya multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Menurut Pasurdi Suparlan, akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.

B.

Keadaan Kelompok Minoritas di Indonesia


Kelompok minoritas merupakan orang-orang yang karena cirri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi. Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan adanya (1) perasaan superioritas dari kelompok yang dominan, (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing, (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya tersebut.

Di Indonesia masih sering terjadi tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang dilakukan oleh kaum mayoritas. Contohnya pada kasus penyegelan tempat ibadah GKI Taman Yasmin yang dilakukan secara sepihak. Sampai saat ini para jemaat GKI Taman Yasmin masih belum menentu. Para anggota jemaat tidak dapat menunaikan hak asasinya untuk beribadah serta menjalankan keyakinan agamanya secara tenang dan khidmat. Padahal kita ketahui bahwa tempat ibadah merupakan bagian dari manifestasi kebebasan beragama yang sangat dijamin dan dilindungi konstitusi. Hingga saat ini masalah HAM di Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan. Masih sering terjadi pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang paling krusial dan ironis adalah lemahnya perlindungan terhadap kaum minoritas di Indonesia. Hingga kini pemerintah belum mampu menegakkan Konstitusi UUD 1945, BAB XA tentang HAK Asasi Manusia, khususnta pasal 28 E ayat (1) yang berbunyi, Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memiliki pekerjaan, memiliki kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Juga ayat (2) bahwa, Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dalam hal agama juga masih terdapat banyak tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Padahal kita ketahui bahwa sudah terdapat aturan atau pasal yang mengatur mengenai kehidupan beragama yaitu Pasal 29 UUD 1945. Namun aturanaturan yang ada nampaknya belum mampu untuk melindungi kaum minoritas. Pemerintah pusat dan daerah justru terkesan tunduk terhadap aspirasi kelompok mayoritas dan mengabaikan hak-hak minoritas. Pembiaran kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di sejumlah daerah membuktikan bahwa negara belum mampu memenuhi dan bahkan cenderung mengabaikan hak-hak kelompok minoritas, sekaligus berlawanan dengan keadaan Indonesia yang dianggap sebagai sebuah negara yang multikultural. Peran pemerintah yang seharusnya melindungi kaum minoritas dari tindakan diskriminatif justru terkadang menjadi pelaku diskriminasi tersebut. Contohnya, tindakan pemerintah yang menangkap begitu saja orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan beragama. Definisi menyimpang hanya didasarkan pada pendapat

kelompok mayoritas. Sementara itu, argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak mendapat perhatian sama sekali. Tidak dapat dipungkiri lagi, kini keberagaman dan pluralisme di Indonesia justru menjadi semacam realitas yang menyedihkan bagi kaum minoritas. Banyak kasus yang ditangani dan diselesaikan secara berat sebelah dan mudah untuk dilupakan begitu saja.

C. Hak Kelompok Minoritas


Hak kelompok minoritas telah diatur dalam pasal 27 dan 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol). Pasal tersebut menjamin hak komunitas atau kelompok, atau tepatnya hak seseorang dalam komunitasnya (secara kolektif). Pasal 27 memuat hak-hak kelompok minoritas, sementara Pasal 18 menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan memeluk agama atau berkepercayaan. Selanjutnya, Komite Hak Sipol pada tahun 1994 mengadopsi elaborasi dan penjelasan mengenai pasal 27. Dalam General Comment No. 23, setidaknya dapat diketahui lingkup minoritas yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi/territorial) dapat berbasiskan atas: (1) etnis, (2) agama atau kepercayaan, dan (3) minoritas dalam lingkup bahasa. Kebebasan Berkeyakinan, Memiliki Kepercayaan atau Agama Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan Politik tentang kebebasan berkeyakinan, memiliki kepercayaan dan agama sangat relevan untuk terus didialogkan. Pasal 18 dalam perlindungan dan pemenuhannya, berkaitan erat dengan Pasal 26 Kovenan Sipol perihal jaminan persamaan hak setiap warga Negara, dan secara khusus berkaitan dengan jaminan hak-hak kelompok minoritas. Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai contoh, perlindungan dan pemenuhan: hak atas perumahan; hak atas ketercukupan pangan; hak atas pendidikan; hak atas kesehatan; serta hak atas air. Dari sudut pandang lain, perhatian terhadap kelompok minoritas ini, menjadi hal

yang penting disebabkan kelompok ini- bersama-sama dengan kelompok rentan lainnya, seperti kelompok perempuan, anak-anak, orang usia lanjut- berpeluang besar menjadi korban diskriminasi. Perlindungan hak-hak ekonomi sosial dan budaya dan kelompok minoritas juga dimuat dalam sejumlah Konvensi pokok hak asasi manusia. Hak atas pendidikan dan kesehatan, misalnya dimuat dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi Hak-hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Atas dasar lingkup tersebut, maka seseorang yang menjadi anggota kelompok minoritas, oleh negara wajib diberikan jaminan konstitusi dan hukum untuk menikmati kebudayaan, mempraktikkan agamanya, dan menggunakan bahasa yang dimiliki. Sebagai contoh, dalam proses yudisial seseorang yang berasal dari kelompok minoritas wajib disediakan fasilitas penerjemah, jika dirinya tidak mengerti bahasa resmi yang digunakan dalam persidangan. Menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dari upaya positif agar individu sebagai anggota kelompok minoritas dapat menikmati hak-haknya, termasuk memberikan perhatian untuk melibatkan kelompok dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang mempunyai efek atau dampak langsung maupun tidak langsung terhadap komunitas.

D. Dilema Multikulturalisme di Indonesia


Untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural tentu tidak mudah. Dalam ideologi multikulturalisme, kelompok-kelompok budaya berada dalam kesederajatan, demokratis, dan toleransi sejati. Dengan sendirinya, masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multikultural , karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antarkekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan konstestasi. Bagi masyarakat Indonesia yang telah melewati reformasi, konsep masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana, tetapi sebagai konsep ini merupakan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya

demokrasi, HAM, dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi multikultur sebuah negara tidak dengan serta merta meniscayakan warganya hidup dalam tatanan multikultural. Satu negara hanya dapat dikatakan sebagai sebuah negara multikultur jika berbagai divesitas budaya yang eksis memiliki kesetaraan dalam arena publik. Konsep multikulturalisme pada dasarnya mendukung gagasan mengenai perbedaan dan heterogenitas, sekaligus mendorong isu kesetaraan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu, poin multikulturalisme adalah apakah entitas yang beragam tersebut memperoleh status yang setara dalam negara, atau justru mengalami minoritisasi melalui kebijakan publik negara. Indonesia memang merupakan sebuah negara dengan kondisi multikultur, tetapi belum semua warganya bisa menerima gagasan tentang sebuah tatanan multicultural. Munculnya keterbukaan politik saat ini, setelah selama lebih dari tiga decade hidup dalam otoritarianisme, itu justru menjadi salah satu pintu masuk bagi berlangsungnya bermacam-macam proses penguatan politik identitas di banyak tempat. Lebih dari sekedar bentuk-bentuk euphoria politik setelah lepas dari otoritarianisme, kecenderungan politisasi identitas etnik dan agama yang sekarang terjadi di beberapa daerah sampai pada level ketika kebersamaan sebagai sebuah bangsa mulai dipertaruhkan. Beberapa tendensi formalisasi agama melalui kebijakan publik dalam label peraturan daerah, misalnya, mengundang resiko dilanggarnya the lowest common denominator yang sudah disepakati bersama sejak Indonesia meraih kemerdekaan dari kolonialisme tahun 1945 yang lalu, yakni fundamen bahwa Indonesia bukanlah negara yang didasarkan pada satu agama tertentu. Singkatnya, semua anak bangsa mesti menyadari bahwa negara ini adalah milik bersama dan bukan milik etnik dan agama tertentu. Karenanya diperlukan kebijakan publik yang bisa melindungi semua kelompok dan mewujudkan integrasi sosial. Dalam hal ini, hak-hak minoritas dan multikulturalisme dapat menjadi alternatif dan solusi bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.
E. Problema

Multikulturalisme di Indonesia

Keberagaman letak geografis, demografi, sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi di Indonesia dapat memicu problema multikultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Keragaman Identitas Budaya Daerah Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi potensi bagi terjadinya konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi. 2. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep putra daerah untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam jabatan-jabatan penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus berkembang justru akan membuat orang tersegmentasi oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu

publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang. Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu digunakan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung. 3. Kurang Kokohnya Nasionalisme Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. 4. Fanatisme Sempit Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara

oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. 5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. 6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya Beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Orang akan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika mereka terhimpit oleh faktor ekonomi. Mereka akan meluapkan kekesalan mereka pada kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal tersebut Nampak pada gejala perusakan mobil-bobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Mobil mewah seakan menjadi sombol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu, sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan.

7. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan media untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dimuat media massa dan tidak mendapat hukuman yang setimpal baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilainilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran.

BAB III PENUTUP Kesimpulan


Ada sekelompok orang yang mendefinisikan kelompok minoritas sebagai golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena hal tersebut terjadi diskriminasi oleh golongan lain itu. Sementara itu, pengertian Multikulturalisme secara hakiki yaitu adanya pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik.Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk

meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Hak kaum minoritas yang ada di Indonesia sampai saat ini seolah masih menjadi hal yang ada dalam angan-angan. Banyak peraturan yang dibuat khusus untuk melindungi kaum minoritas, namun hal tersebut belum mampu untuk meminimalisir terjadinya tindakan yang diskriminatif. Banyak terjadi kasus yang merugikan kaum minoritas. Hal tersebut semakin parah dengan ketidakberpihakan pemerintah. Banyak kasus yang dengan mudah dilupakan begitu saja dan terkesan berat sebelah. Indonesia memang merupakan sebuah negara dengan kondisi multikultur, tetapi belum semua warganya bisa menerima gagasan tentang sebuah tatanan multicultural. Masih ada beberapa pihak yang belum bisa untuk menghargai akan perbedaan. Mereka cenderung untuk mengedepankan identitas budaya yang mereka miliki. Keberagaman letak geografis, demografi, sejarah, dan kemajuan sosial ekonomi di Indonesia dapat memicu problema multikultural di Indonesia. Contoh problema multicultural antara lain: Keragaman Identitas Budaya Daerah, Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah, Kurang Kokohnya Nasionalisme, Fanatisme Sempit, Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural, Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya, dan Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa

DAFTAR PUSTAKA

Choirul Mahfud. 2010 . Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/ham-dan-perlindungan-kaumminoritas/, diakses tanggal 24 September 2011, 20:27 http://gubugbudaya.wordpress.com/2007/06/08/artikel-27-iccpr-hak-minoritas-diindonesia/, diakses pada tanggal 24 September 2011, pukul 22:00

http://id.wikipedia.org/wiki/Hak#Pengertian_Hak , diakses pada tanggal 24 September 2011, pukul: 22:36 http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875, diakses tanggal 23 September 2011, pukul: 23:16 http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msidr/multikulturalisme-dan-pendidikan.pdf, dikases pada tanggal 25 September 2011, pukul 00:45 http://www.artikata.com/arti-341009-minoritas.html, diakses pada tanggal 23 September 2011, pukul: 21:30 http://www.hak-hak-kelompok-minoritas-dalam-norma.html, diakses pada tanggal 23 September 2011, pukul 21:30 http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9826984, diakses pada tanggal 23 September 2011, pukul 17:00 http://www.pelita.or.id/baca.php?id=74945, diakses pada tanggal 23 September 2011, pukul: 22:29

You might also like