You are on page 1of 64

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi hidup manusia. Menurut WHO, sehat diartikan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta bukan saja keadaan terhindar dari sakit maupun kecacatan (Sujono dan Teguh 2009 : 1). Sedangkan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 9 tahun 1960 definisi kesehatan merupakan keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial, cacat dan kelemahan (Suliswati, 2005) Berdasarkan Undang-Undang No 3 tahun 1966, kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat harmonis dan memperhatikan segi kehidupan manusia dan cara berhubungan dengan orang lain (Sujono dan Teguh 2009 : 1). Menurut Rasmun (2001: 11) sehat mental adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Sedangkan definisi gangguan jiwa menurut Undang-Undang No 3 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa. Gangguan jiwa adalah adanya gangguan pada fungsi kejiwaan. Fungsi kejiwaan adalah proses, emosi, kemauan dan perilaku psikomotorik termasuk bicara (Suliswati, 2005) Kehidupan manusia dewasa ini yang semakin sulit dan kompleks serta

2 semakin bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat modern yang cenderung lebih sekuler, menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan hidup yang mereka alami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit mental-emosional manusia. Kondisi diatas dapat menyebabkan timbulnya gangguan jiwa khususnya pada gangguan isolasi sosial : menarik diri dalam tingkat ringan ataupun berat yang memerlukan penanganan di rumah sakit baik di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan jiwa dirumah sakit umum (Nurjannah, 2005: 1). Setiap tahun jumlah penderita gangguan jiwa semakin meningkat. Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2007, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa berat (http://www.kompas.com/ , diakses tanggal 18 Juli 2011: 11.00 WIB). Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah tahun 2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami ganguan jiwa. Sementara 19 orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah mengalami stress (Depkes RI, 2009). Berdasarkan hasil pencatatan rekam medik di Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo Magelang selama periode 2010, dari 9075 pasien yang dirawat di ruang inap terdapat pasien dengan Menarik Diri 280, Isolasi Sosial 273. (Buku Rekam Medik RSJP Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2010) Salah satu bentuk dari gangguan kesehatan jiwa adalah Schizophrenia.

3 Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, seta memecahkan masalah, menurut Gail W. Stuart (2006 : 240). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berupa perubahan pada psikomotor, kemauan, afek emosi dan persepsi. Akibat dari gejala yang muncul, timbul masalah-masalah bagi klien meliputi, kurang perawatan diri, resiko menciderai diri dan orang lain, menarik diri, dan harga diri rendah (Townsend, 1998: 188). Dalam hal ini penulis akan membahas masalah kejiwaan yaitu gangguan berhubungan sosial : menarik diri. Menurut Sujono Riyadi & Teguh Purwanto (2009 : 151) gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial Dan ada juga pendapat yang mengemukakan bahwa Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompok mengalami, atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak mampu

mewujudkannya (Carpenito, 2009: 1045) Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah-masalah ini menjadi masalah keperawatan utama dalam pembuatan karya tulis ilmiah dengan judul : Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. M dengan Isolasi Sosial : Menarik Diri di Wisma Antareja Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

4 B. TUJUAN PENULISAN Untuk lebih konkritnya apa yang ingin dicapai dalam karya tulis ini, penulis mengemukakan pokok tujuan penulisan sebagai berikut: 1. Tujuan umum Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan isolasi sosial : menarik diri selama satu hari pada tanggal 12 Juli 2011 di ruang Antareja RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang. Melalui pendekatan proses

keperawatan. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah untuk : a. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan

pengkajian pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri. b. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam membuat

diagnosa keperawatan dan penetapan rencana asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri. c. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan

tindakan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri. d. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam

mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial: menarik diri.

5 e. Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam

pendokumentasian asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama Isolasi sosial : menarik diri. f. Dapat membandingkan kesenjangan antara teori dengan

kenyataan yang penulis dapatkan. C. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam laporan pengelolaan ini terdiri dari 5 BAB. BAB I Pendahuluan, meliputi : Latar belakang masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, meliputi : konsep dasar medis dan konsep dasar keperawatan. BAB III Tinjauan Kasus, meliputi : pengkajian, analisa data, pohon masalah, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi BAB IV Pembahasan, pembahasan berisi pengkajian, diagnose keperawatan yang muncul, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan hambatan. BAB V Penutup, meliputi kesimpulan dan saran.

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan tentang konsep dasar mengenai isolasi sosial : menarik diri yang ditinjau dari dua segi yaitu medis dan keperawatan. A. Konsep Dasar Medis 1. Pengertian Menarik Diri Banyak sekali pendapat mengenai menarik diri diantaranya menurut Sujono & Teguh dalam bukunya halaman 151. Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam

berhubungan sosial. Tiap individu mempunyai potensi untuk terlibat dalam hubungan sosial pada berbagai tingkat hubungan, yaitu hubungan intim biasa sampai hubungan saling ketergantungan. Keintiman saling ketergantungan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai kebutuhan setiap hari, individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial. Oleh karena itu individu perlu membina hubungan interpersonal. Sedangkan menurut referensi yang lain mengatakan bahwa isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan segan terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau mengancam (Nanda, 2005 : 208). Ada juga pendapat yang mengemukakan bahwa

7 Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompok mengalami, atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak mampu mewujudkannya (Carpenito, 2009: 1045) Jadi isolasi sosial : menarik diri adalah gangguan berhubungan yang ditandai dengan isolasi sosial dan usaha untuk menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa dia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi rasa, pikiran, prestasi, kegagalan. Kondisi tersebut menjadikannya mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain. 2. Rentang respon Menurut Gail W. Stuart (2006 : 275) Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut merupakan pola respon maladaptif, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat menyebabkan disfungsi perilaku atau distress yang nyata. Respon adaptif Respon maladaptif

Solitude Autonomi Mutuality Interdependen

Kesepian Penarikan diri Tergantung

Manipulasi Impulsif Narcissisme

Gambar 2.1 : Rentang respon sosial (Gail W. Stuart, 2006 : 275).

8 Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009 : 155) respon ini meliputi : a. Solitude atau menyendiri Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana. b. Autonomy atau otonomi Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri. c. Mutuality atau kebersamaan Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan menerima dalam hubungan interpersonal. d. Interdependen atau saling ketergantungan Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009 : 155) respon maladaptif tersebut adalah :

9 a. Manipulasi Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah

mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain. b. Impulsif Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian. c. Narkisisme Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain. d. Isolasi sosial Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

10 3. Penyebab Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya menarik diri, adapun faktor tersebut adalah, antara lain : a. Faktor predisposisi Menurut Sujono & Teguh (2009 : 156-157) faktor predisposisi pada gangguan isolasi sosial : menarik diri yaitu : 1) Faktor perkembangan Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi. Apabila tugas tersebut tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi hubungan sosial. Misalnya anak yang kurang kasih sayang, dukungan, perhatian, dan kehangatan dari orang tua akan memberikan rasa tidak aman dan menghambat rasa percaya. 2) Faktor biologis Organ tubuh dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial. Misalnya kelainan struktur otak dan struktur limbik diduga menyebabkan skizofrenia. Pada klien skizofrenia terdapat gambaran struktur otak yang abnormal otak atropi, perubahan ukuran dan bentuk sel limbik dan daerah kortikal. 3) Faktor sosial budaya Norma-norma yang salah di dalam keluarga atau

lingkungan dapat menyebabkan gangguan hubungan sosial. Misalkan pada pasien lansia, cacat, dan penyakit kronis yang

11 diasingkan dari lingkungan. 4) Faktor komunikasi dalam keluarga Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga. b. Faktor presipitasi Menurut Sujono & Teguh (2009 : 157) faktor presipitasi pada klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri yaitu : 1) Stresor sosial budaya Adalah stres yang ditimbulkan oleh sosial dan budaya masyarakat. Kejadian atau perubahan dalam kehidupan sosial budaya memicu kesulitan berhubungan dengan orang lain dan cara berperilaku. 2) Stresor psikologi Adalah stres yang disebabkan karena kecemasan yang berkepanjangan dan terjadinya individu untuk tidak mempunyai kemampuan mengatasinya.

12 4. Manifestasi Klinik Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA (20052006:208-209) isolasi sosial memiliki batasan karakteristik meliputi: Data Obyektif : 1) Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman, kelompok) 2) Perilaku permusuhan 3) Menarik diri 4) Tidak komunikatif 5) Menunjukan perilaku tidak diterima oleh kelompok kultural dominant 6) Mencari kesendirian atau merasa diakui di dalam sub kultur 7) Senang dengan pikirannya sendiri 8) Aktivitas berulang atau aktivitas yang kurang berarti 9) Kontak mata tidak ada 10) Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan 11) Keterbatasan mental/fisik/perubahan keadaan sejahtera 12) Sedih, afek tumpul Data Subyektif: 1) Mengekpresikan perasaan kesendirian 2) Mengekpresikan perasaan penolakan 3) Minat tidak sesuai dengan umur perkembangan 4) Tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat 5) Tidak mampu memenuhi harapan orang lain

13 6) Ekspresi nilai sesuai dengan sub kultur tetapi tidak sesuai dengan kelompok kultur dominant 7) Ekspresi peminatan tidak sesuai dengan umur perkembangan 8) Mengekpresikan perasaan berbeda dari orang lain 9) Tidak merasa aman di masyarakat 5. Patopsikologi Individu yang mengalami Isolasi Sosial sering kali beranggapan sumber / penyebab Isolasi Sosial itu berasal dari lingkungannya. Padahal rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, marah, sepi dan takut ditinggal orang yang dicintai, tidak dapat dikatakan segala sesuatu yang dapat mengancam harga diri (self esteem) dan kebutuhan keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Untuk dapat mengatasi masalahmasalah yang bekaitan dengan ansietas diperlukan suatu mekanisme koping yang adekuat. Sumber-sumber koping meliputi ekonomi, kemampuan menyelesaikan masalah, tekhnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi. Sumber koping sebagai model ekonomi dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. Semua orang betapapun terganggu perilakunya tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang mungkin meliputi : aktivitas keluarga, hobi, seni kesehatan dan perawatan diri, pekerjaan kecerdasaan dan hubungan interpersonal. Dukungan sosial dari peningkatan respon psikofisiologis yang adaptif, motivasi berasal dari

14 dukungan keluarga ataupun individu sendiri sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart dan Sundeen, 1998).

Adapun rentang respon biopsikososial menurut Rasmun (2001 : 13) adalah : Faktor predisposisi (Perkembangan biologi, sosiobudaya) Faktor presipitasi (Sosial, budaya, psikologi ) Penilaian terhadap stresor Sumber koping Mekanisme koping Idealisme Devaluasi Harga diri Kontruktif Peranan Destruktif Perpecahan Identifikasi diri

RENTANG RESPON SOSIAL

Adaptif Menyendiri Otonomi Kebersamaan Saling ketergantungan Ketergantungan Kesepian Menarik Diri

Respon Maladaptif Manipulasi Impulsif

Narkisme

Gambar 2.2 : Patways patopsikologi Isolasi sosial (Gail W. Stuart, 2006 : 275).

15 6. Sumber Koping Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi seperti model intelegensia atau kreatifitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak dan dewasa muda tentang ketrampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan (Stuart & Sundeen, 1998). Ada 5 sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu ketrampilan dan kemampuan, ekonomi, tekhnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi (Rasmun, 2001 : 16). Menurut Stuart & Sundeen (1998 : 349) Contoh sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial maladaptif termasuk : a. Keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman. b. Hubungan dengan hewan peliharaan. c. Gunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik atau tulisan. 7. Mekanisme Koping Individu yang mempunyai respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upayanya mengatasi ansietas. Menurut Stuart & Sundeen (1998 : 349-350) mekanisme koping yang berkaitan dengan jenis spesifik dari masalah yaitu:

16 a. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian antisosial. 1) Proyeksi. 2) Pemisahan. 3) Merendahkan orang lain. b. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian

Borederline. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Pemisahan. Reaksi formasi. Proyeksi. Isolasi. Idealisasi orang lain. Merendahkan orang lain. Identifikasi proyektif.

Jika individu berada pada kondisi stress, ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia (Rasmun, 2001 : 16). 8. Penatalaksaan medis Penatalaksanaan medis pada pasien dengan Isolasi sosial Terapi medis Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut Depkes (2000), menurut Rasmun (2003,89-91) jenis obat psikofarmaka adalah

17 a. Clorpromazine (CPZ, Largactile) Indikasi untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental. Waham, halusinasi gangguan perasaan dan perilkau yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mekanisme kerja dopamine pada pasca sinap di otak khususnya system pyramidal. Efek sampingnya adalah sedasi, gangguan otonomi (hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung), gangguan ekstra pyramidal (dystonia akut, akatsia, sindroma parkinsontremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin

(amenorhoe, ginekomasti), metabolic (jaundice). Kontra indikasinya yaitu klien dengan penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran disebabkan CNS depresan. b. Haloperidol (Haldol, Serenace) Indikasinya yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Mekanisme kerja dari obat ini adalah obat anti psikosis dalam memblock dopamine pada reseptor paska sinaptik neuron di otak khususnya system limbic dan system ekstra pyramidal.

18 Efeksampingnya meliputi sedasi dan inhibisi psikomotor, Efek sampingnya adalah sedasi, gangguan otonomi (hipotensi,

antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung). Kontra indikasnya adalah bagi pasien yang mempunyai penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran. c. Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin) Indikasinya untuk segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paska ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya resenpira dan fenotiazine. Mekanisme kerja sinergis dengan linidine, obat anti depresan trisklik dan kolinergik lainnya. Efek samping dari obat ini adalah mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitas, konstipasi, takikardia dilatasi ginjal retensi urine. Kontra indikasinya meliputi hypersensitive terhadap Trihexiphenidyl, glaucoma sudut sempit, psikosis berat,

psikoneurosis, hypertropi prostat dan obstruksi saluran cerna. B. Konsep Dasar Keperawatan Dalam melakukan asuhan keperawatan ada enam fase atau langkah dari proses keperawatan yaitu pengkajian, perumusan diagnosis

keperawatan, pengidentifikasian outcome, perencanaan, implementasi dan evaluasi ( Stuart & Sundeen, 1995).

19 1. Pengkajian Menurut Nurjannah (2005 : 30) pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa factor predisposisi, factor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart & Sundeen, 1998). Cara pengkajian lain berfokus pada 5 dimensi yaitu: fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan umumnya dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk tekhnis pengkajian agar mempermudah dalam pengkajian, isinya meliputi: a. Identitas Dalam pengkajian kita mencantumkan identitas klien (nama klien, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan) dan identitas penanggung jawab (nama, umur, alamat, pekerjaan). b. Keluhan utama dan alasan masuk. Pengkajian alasan masuk kita kaji apa yang menyebabkan klien dibawa oleh keluarga ke rumah sakit untuk saat ini, apa yang sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah klien dan bagaimana hasilnya.

20 c. Faktor predisposisi 1) Faktor perkembangan Secara teori, kurangnya stimulasi, kasih sayang dan kehangatan dari ibu (pengasuh) pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya. 2) Faktor biologis Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. 3) Faktor sosiokultural Isolasi sosial dapat terjadi, salah satunya pada tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi. d. Faktor presipitasi 1) Merupakan faktor yang dianggap menyebabkan pasien sakit jiwa atau yang menyebabkan pasien mengalami kekambuhan. 2) Pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pasien selama fase perkembangan (kegagalan, kehilangan, perpisahan, kematian, trauma selama tumbang) yang pernah dialami klien. 3) Bila tidak ditemukan adanya kejadian atau pengalaman tersebut, tetapi ada riwayat putus obat atau berhenti minum obat, maka dapat dianggap bahwa faktor presipitasi pasien mengalami kekambuhan adalah putus obat. e. Aspek fisik atau biologis.

21 Pada klien menarik diri didapatkan masalah nutrisi, kebersihan diri, dan tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan. f. Aspek psikososial. Meliputi genogram yang dibuat 3 generasi, gambarkan adanya riwayat perceraian, adanya anggota keluarga yang meninggal & penyebab meninggal, pasien tinggal dengan siapa. Kita kaji juga mengenai konsep diri, hubungan sosial dan spiritual pasien. Pengkajian konsep diri, hubungan sosial dan spiritual tidak dapat dilakukan pada pasien yang masih agitasi/gaduh gelisah, bicaranya kacau, ada gangguan memori, pasien yang autistik dan mutisme. g. Status mental Beberapa hal yang perlu dikaji dari status mental yaitu 1) Penampilan fisik : kondisi rambut, kuku, kulit, gigi dan cara berpakaian 2) Pembicaraan : pembicaraan pasien apakah cepat, keras, gagap, membisu, apatis atau lambat 3) Aktivitas motorik : lesu, pasif (hipomotorik), segala aktivitas sehari-hari dengan bantuan perawat atau orang lain, tegang, gelisah, tidak bias tenang (hipermotorik) 4) Alam perasaan : dalam hal ini didapatkan melalui hasil wawancara dengan pasien meliputi adanya perasaan sedih, putus asa, gembira, khawatiran takut (hasil wawancara

22 divalidasi dengan hasil observasi, apakah disforia, eforia) 5) Afek : appropriate (tepat), in appropriate (tidak tepat: datar, tumpul, labil, tidak sesuai) 6) Interaksi selama wawancara : interaksi selama wawancara apakah bermusuhan, tidak kooperatif atau mudah tersinggung, kontak mata selama wawancara. 7) Persepsi : kaji adanya pengalaman halusinasi atau ilusi 8) Proses pikir : sirkumtansial, tangensial, kehilangan asosiasi, flight of ideas, blocking, reeming 9) Isi pikir : kaji adanya waham 10) stupor 11) Memori : data diperoleh melalui wawancara adakah Tingkat kesadaran dan orientasi : bungung, sedasi,

gangguan daya ingat jangka panjang, gangguan daya ingat jangka pendek dan saat ini 12) 13) 14) Tingkat konsentrasi dan berhitung Kemampuan penilaian Daya tilik diri

h. Kebutuhan persiapan pulang Kita kaji apakah dari hasil observasi klien sudah mampu melakukan activity daily live secara mandiri atau masih dengan bantuan selama di rumah sakit dan di rumah i. Mekanisme koping

23 Data dari hasil wawancara meliputi koping adaptif sampai dengan koping maladaptif

j. Masalah psikososial dan lingkungan. Adanya penolakan di lingkungan tempat tinggal atau masyarakat, adanya penolakan di tempat kerja atau sekolah, adanya penolakan dari keluarga terhadap pasien k. Pengetahuan Berisi tentang pemahaman pasien mengenai penyakit, tentang kekambuhan, pemahaman tentang manajemen hidup sehat. l. Aspek medik Diagnosa medis dan program therapy atau pengobatan yang sedang dijalani oleh pasien. (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007)

24 2. Pohon Masalah

Pohon masalah pada klien dengan Isolasi sosial : menarik diri, yaitu:

Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri Akibat

Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik

Gangguan sensori/persepsi: halusinasi pendengaran

Gangguan Penyebab pemeliharaan kesehatan


Defisit perawatan diri: Mandi dan berhias

Isolasi sosial: menarik diri Masalah utama

Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah kronis

Penyebab

di Pohon Gambar 2.2 :rumah masalah isolasi sosial : menarik diri (Keliat, B. A., 2005:20)

3.

Diagnosa Keperawatan Keliat, B. A. (2005 : 20) merumuskan diagnosa keperawatan pada

klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut :

25 a. Isolasi sosial b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi d. Koping individu tidak efektif e. Defisit perawatan diri f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan 4. Intervensi Keperawatan Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu : a. Tujuan: Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap I. Pasien SP 1 (pasien) : 1.1. 1.2. 1.3. Membina hubungan saling percaya Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan Diagnosa 1. Isolasi Sosial

berinteraksi dengan orang lain. 1.4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak

berinteraksi dengan orang lain. 1.5. orang. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu

26 1.6. Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan

berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian. SP 2 (pasien) : 2.1. 2.2. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Memberikan kesempatan kepada pasien

mempraktekan cara berkenalan dengan dua orang. 2.3. Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-

bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. SP 3 (pasien) : 3.1. 3.2. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan

dengan dua orang atau lebih. 3.3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal

kegiatan harian. II. Keluarga SP 1 (keluarga) : 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga

dalam merawat pasien. 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi

sosial yang dialami pasien beserta proses terjadinya. 1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial

27 SP 2 (keluarga) : 2.1. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat

pasien dengan isolasi sosial. 2.2. Melatih keluarga cara merawat langsung kepada

pasien isolasi sosial. SP 3 (keluarga) : 3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di

rumah termasuk minum obat (discharge planning). 3.2. b. harga diri rendah Tujuan: Pasien mempunyai konsep diri yang positif I. SP 1 (Pasien) 1.1. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang Pasien Menjelaskan follow up pasien setelah pulang. Diagnosa 2. Perubahan konsep diri :

dimiliki pasien. 1.2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang

masih dapat digunakan. 1.3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan

dilatih sesuai dengan kemampuan pasien. 1.4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai

kemampuan.

28 1.5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP 2 (Pasien) 2.1. 2.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang

dipilih sesuai kemampuan 2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. II. Keluarga SP 1 (Keluarga) 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga

dalam merawat pasien 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri

rendah yang dialami pasien beserta proses terjadinya 1.3. rendah SP 2 (Keluarga) 2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah 2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendah SP 3 (Keluarga) Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri

29 3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di

rumah termasuk minum obat (Discharge planning) 3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

c. halusinasi Tujuan :

Diagnosa 3. Perubahan persepsi sensori :

Pasien dapat mengontrol halusinasinya. I. SP 1 (Pasien) 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. halusinasi 1.6. 1.7. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien Mengidentifikasi isi halusinasi pasien Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan Pasien

menghardik 1.8. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian SP 2 (Pasien) 2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

30 2.2. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan

berbincang dengan orang lain 2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian SP 3 (Pasien) 3.1. 3.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan

kegiatan (yang biasa dilakukan pasien). 3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP IV (Pasien) 4.1. 4.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Menjelaskan cara kontrol halusinasi dengan teratur

minum obat (prinsip 5 benar minum obat) 4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian II. SP 1 (Keluarga) 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga Keluarga

dalam merawat pasien 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala

halusinasi, dan jenis halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya

31 1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasi

SP 2 (Keluarga) 2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat

pasien dengan halusinasi 2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung

kepada pasien halusinasi

SP 3 (Keluarga) 3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di

rumah termasuk minum obat (discharge planning) 3.2. d. Tujuan : Koping individu kembali efektif I. SP 1 (Pasien) 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. Identifikasi koping yang selama ini digunakan. Membantu menilai koping yang biasa digunakan. Mengidentifikasi cita-cita atau tujuan yang realistis. Melatih koping: berbincang / assertif technics Pasien Menjelaskan follow up pasien setelah pulang Diagnosa 4. Koping individu tidak efektif

(meminta, menolak, dan mengungkapkan / membicarakan masalah secara baik).

32 1.5. SP 2 (Pasien) 2.1. 2.2. 2.3. SP 3 (Pasien) 3.1. 3.2. 3.3. SP 4 (Pasien) 4.1. 4.2. 4.3. II. SP 1 (Keluarga) 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga Validasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih koping: relaksasi. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan. Keluarga Validasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih koping: olah raga. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan. Validasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih koping: beraktivitas. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.

dalam merawat pasien 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala koping

individu inefektif yang dialami pasien beserta proses terjadinya 1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien koping

individu inefektif SP 2 (Keluarga)

33 2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat

pasien koping individu inefektif 2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung

pasien koping individu inefektif SP 3 (Keluarga) 3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di

rumah termasuk minum obat 3.2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau

oleh keluarga e. Tujuan: Pasien dapat mandiri melakukan perawatan diri I. SP 1 (Pasien) 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal Pasien Diagnosa 5. Defisit perawatan diri

kegiatan harian SP 2 (Pasien) 2.1. 2.2. 2.3. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Menjelaskan cara makan yang baik Melatih pasien cara makan yang baik

34 2.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP 3 (Pasien) 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Menjelaskan cara eliminasi yang baik Melatih cara eliminasi yang baik. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian.

SP 4 (Pasien) 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Menjelaskan cara berdandan Melatih pasien cara berdandan Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. II. Keluarga SP 1 (Keluarga) 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga

dalam merawat pasien 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit

perawatan diri dan jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya

35 1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit

perawatan diri SP 2 (Keluarga) 2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat

pasien dengan defisit perawatan diri 2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung

kepada pasien defisit perawatan diri SP 3 (Keluarga) 3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di

rumah termasuk minum obat (Discharge planning) 3.2. f. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang Diagnosa 6. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan Tujuan: Pasien dapat mengontrol resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. I. Pasien SP 1 (Pasien) 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. Mengidentifikasi penyebab PK Mengidentifikasi tanda dan gejala PK Mengidentifikasi PK yang dilakukan Mengidentifikasi akibat PK Mengajarkan cara mengontrol PK

36 1.6. dalam). 1.7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas

kegiatan harian. SP 2 (Pasien) 2.1. 2.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih pasien cara kontrol PK fisik II (memukul

bantal / kasur / konversi energi). 2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP 3 (Pasien) 3.1. 3.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal

(meminta, menolak dan mengungkapkan marah secara baik). 3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP 4 (Pasien) 4.1. 4.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual

(berdoa, berwudhu, sholat). 4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian. SP 5 (Pasien)

37 5.1. 5.2. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya. Menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat

(prinsip 5 benar minum obat). 5.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian II. Keluarga SP 1 (Keluarga) 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga

dalam merawat pasien. 1.2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta

proses terjadinya PK. 1.3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.

SP 2 (Keluarga) 2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat

pasien dengan PK. 2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung

kepada pasien PK. SP 3 (Keluarga) 3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di

rumah termasuk minum obat (discharge planning). 3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

38

BAB III TINJAUAN KASUS

Asuhan keperawatan jiwa pada Tn. M dengan isolasi sosial : menarik diri yang telah dilaksanakan selama satu hari pada tanggal 12 Juli 2011 dari pukul 08.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Bangsal P 8 Wisma Antareja RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang, didokumentasikan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, implementasi sampai dengan evaluasi. A. PENGKAJIAN Pengkajian dilakukan tanggal 12 Juli 2011 pada pukul 08.30 WIB di

39 Bangsal P 8 Wisma Antareja RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan perawat ruangan. Ada pula data sekunder yang didapatkan dari status rekam medik selama klien dirawat di rumah sakit. 1. Identitas Dari pengkajian didapatkan data klien bernama Tn. M, umur 39 tahun, berjenis kelamin laki-laki, alamat di Magelang, status klien bercerai,. pendidikan terakhir SD, pekerjaan klien sebelum masuk ke rumah sakit sebagai buruh, klien masuk rumah sakit tanggal 30 Mei 2011 dengan nomor register 60556. Penanggung jawab klien adalah Tn. E, berusia 42 tahun beralamat di Magelang, hubungan dengan klien adalah saudara kandung klien. 2. Riwayat Keperawatan Klien masuk RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang pada tanggal 30 Mei 2011, diantar oleh keluarga dengan alasan klien sering berdiam diri, tidak mau bicara dan tidak mau beraktifitas, Dari hasil pengkajian, klien telah mengalami gangguan jiwa sejak 3 tahun yang lalu setelah istrinya menceraikannya. Kemudian klien mulai mengalami perubahan perilaku. Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pengkajian pasien adalah tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76x/menit, pernafasan 25x/menit, suhu 37 C. Dari hasil pemeriksan antropometri didapat tinggi badan klien 163 cm dan berat badan klien 54 kg. Sedangkan dari pemeriksaan head to toe kulit kepala klien kotor, rambut kusam, gigi klien

40 nampak kotor dan terdapat karies gigi. Dari pengkajian status psikososial klien sudah bercerai dengan istrinya sejak 3 tahun yang lalu. Dalam keluarganya ada yang menderita gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya. a. Konsep Diri Klien Dari hasil wawancara dengan klien gambaran diri, identitas diri, peran diri, ideal diri dan harga diri klien tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama komunikasi. Klien mengalami autistik dan mutisme. b. Status Mental Klien berpenampilan kurang rapi, gigi nampak kotor dan terdapat karies gigi, klien ganti baju 2x sehari sesuai dengan aturan bangsal. Ketika dilakukan waawancara, klien kurang kooperatif, klien berbicara lambat dan tidak bisa memulai pembicaraan. Selama di rumah sakit, klien sering menyendiri dan melamun, jarang

berinteraksi dengan klien lain, aktifitas masih dibimbing oleh perawat. Klien mengatakan sering merasa sedih bila mengingat masa lalu. Klien mempunyai afek datar yaitu saat wawancara klien tidak menunjukan roman muka atau ekspresi wajah, juga saat diberikan stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan. Saat dilakukan wawancara klien tampak tidak ada kontak mata, mudah beralih atau mengalihkan pandangannya bila diajak bicara. Klien mengalami

41 disorientasi waktu dan gangguan daya ingat jangka panjang, yaitu klien tidak bisa mengingat kejadian yang lebih dari satu bulan. Selama wawancara, klien tidak dapat berhitung. Klien dapat makan, berpakaian dan beraktifitas seperti teman-temannya di bangsal walaupun dengan bimbingan dari perawat. Klien makan 3x sehari, porsi makan habis, mandi 2x sehari dengan bantuan minima, BAB 1x sehari, BAK 4-5x/hari, klien tidur siang 2-3 jam dan tidur malam kurang lebih 7 jam. Klien minum obat secara teratur, dan obat dipersiapkan oleh perawat. c. Mekanisme koping Selama klien dirawat di RS, klien mengatakan jika mengalami masalah, klien lebih banyak diam. 3. Data Penunjang Diagnosa medis klien yaitu F 20. 2. Adapun terapi per oral yang diperoleh tanggal 12 Juli 2011 yaitu Trifluoperazine 2 x 5 mg, Amitriptilin 2 x 25 mg, Triheksipenidil 2 x 2 mg, Chlorpromazine 1 x 50 mg. B. ANALISA DATA Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011 pukul 08.30 WIB, penulis mengelompokan data menjadi data subjektif dan data obyektif. Kemudian dianalisa untuk membuat kesimpulan yang dinyatakan dalam diagnosa keperawatan: 1. Masalah keperawatan : Gangguan Konsep diri : harga diri rendah. Data subjektif : klien mengatakan sering bersedih. Data objektif : klien

42 tampak sering duduk menyendiri, tidak ada kontak mata saat berkomunikasi. 2. Masalah keperawatan : isolasi sosial : menarik diri.

Data subyektif : tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama diajak komunikasi. Data obyektif : Klien sering duduk menyendiri, klien tampak pendiam, klien tampak menundukan kepala, klien tidak mampu memulai pembicaraan, tidak ada kontak mata saat berkomunikasi, wajah klien tampak murung, klien juga memiliki afek datar, klien tampak asing dengan klien lain, dan juga klien tampak kurang antusias dalam kegiatan ruangan dan kelompok. 3. Masalah keperawatan : Defisit perawatan diri

Data subyektif : tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama diajak komunikasi. Data obyektif : Aktifitas / ADL klien masih dibantu perawat, badan tampak kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan, gigi dan mulut klien kotor. C. POHON MASALAH Defisit Perawatan Diri Akibat

Isolasi sosial : Menarik diri

Masalah utama

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

Penyebab etiologi

43 D. DIAGNOSA KEPERAWATAN Pohon masalah tersebut di atas dapat dirumuskan dalam diagnosa keperawatan di bawah ini : 1. 2. 3. Isolasi sosial : Menarik diri Gangguan konsep diri : Harga diri rendah Defisit perawatan diri

E. PRIORITAS MASALAH Isolasi sosial : Menarik diri F. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu : Diagnosa 1. Isolasi Sosial Tujuan: Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap I. Pasien SP 1 (pasien) : 1.1. 1.2. 1.3. Membina hubungan saling percaya Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi

dengan orang lain. 1.4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak

berinteraksi dengan orang lain.

44 1.5. 1.6. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang. Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan

berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian. SP 2 (pasien) : 2.1. 2.2. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan

cara berkenalan dengan satu orang. 2.3. Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang

dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. SP 3 (pasien) : 3.1. 3.2. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan

dua orang atau lebih. 3.3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan

harian. II. Keluarga SP 1 (keluarga) : 1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat pasien. 1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial

yang dialami pasien beserta proses terjadinya. 1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial

SP 2 (keluarga) :

45 2.1. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien

dengan isolasi sosial. 2.2. Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien

isolasi sosial. SP 3 (keluarga) : 3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah

termasuk minum obat (discharge planning). 3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

G. IMPLEMENTASI Implementasi dilakukan selama 1 hari, pada tanggal 12 juli 2011 pukul 10.00 WIB. SP I : membina hubungan saling percaya dengan membina hubungan terapeutik sambil berjabat tangan, menganggukan kepala dan tersenyum, memperkenalkan nama lengkap klien dan panggilan kesukaan klien, menjelaskan tujuan interaksi dengan klien dan menunjukan sikap empati; mengobservasi penyebab menarik diri pada klien; mendiskusikan dengan klien tentang penyebab menarik diri; menanyakan tanda-tanda menarik diri pada klien; menberikan

reinforcement positif pada klien karena mau mengungkapkan perasaannya tentang menarik diri; menanyakan pada klien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain; mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain; mendiskusikan dengan klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain; memberikan kesempatan pada klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang

46 lain; memberikan reinforcement pada klien karena mengungkapkan perasaannya tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain; mengkaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain, mendorong dan membantu klien berhubungan dengan orang lain, membantu klien untuk

mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang lain, mendiskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu, memotivasi klien untuk memasukan kegiatan latihan berbincang bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian. H. EVALUASI Implementasi yang telah dilakukan selama satu hari pada tanggal 12 Juli 2011 penulis mengevaluasinya. Adapun hasil evaluasi yaitu diagnosa pertama SP I menyimpulkan data obyektif yang didapat bahwa hubungan saling percaya belum dapat terjalin dengan baik, terbukti bahwa klien tidak kooperatif selama wawancara klien tidak menjawab salam, tidak mampu menyebutkan nama sendiri dan nama panggilan yang disukainya, kontak mata tidak ada. Selanjutnya klien masih belum bisa menceritakan karena pembicaraan yang lambat dan belum fokus pada apa yang dibicarakan. Klien juga belum mengerti tentang keuntungan dari berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain ditandai dengan klien tidak menganggukan kepala saat ditanya tentang apa yang sudah dibicarakan. Klien juga belum bisa

47 mendemonstrasikan cara berkenalan dengan orang lain. Assesment yang didapat bahwa SP I belum tercapai secara optimal. Penulis mendelegasikan kepada perawat ruangan untuk kembali melaksanakan SP I (Pasien) karena belum tercapai. Untuk SP II (Pasien) mengevaluasi tentang mempraktekan cara berkenalan dengan satu orang (klien lain) dan SP III (Pasien) cara berkenalan dengan dua orang atau lebih yang belum bisa terlaksana karena SP I belum tercapai sehingga belum bisa dilanjutkan ke SP II klien dan SP III klien. Sehingga penulis mendelegasikan kepada kepala ruang untuk melaksanakan SP I sampai klien bisa mempraktekan. Untuk SP Keluarga belum bisa dilaksanakan karena tidak ada keluarga yang menjenguk.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tentang hasil pendokumentasian asuhan keperawatan jiwa yang telah dilakukan selama satu hari pada Tn. M dengan masalah utama isolasi sosial : menarik diri di bangsal P 8 wisma Antareja RSJP Prof. dr. Soeroyo Magelang. Pembahasan ini mencakup seluruh proses asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan. Pengkajian diperoleh melalui wawancara dengan klien, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tenaga kesehatan

48 lainnya dan melalui pengkajian fisik. Pembahasan yang diuraikan dimulai dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi serta ditinjau dari teori keperawatan jiwa. Kesenjangan antara teori dan kondisi nyata dilahan praktek diuraikan juga pada bab ini. A. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011 pukul 08.30 WIB, di ruang Antareja Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Dari hasil pengkajian yang dilakukan, dengan cara autoanamnesa maupun alloanamnesa. Autoanamnesa yaitu interaksi antara perawat-klien secara langsung dimana interaksi tersebut merupakan suatu kegiatan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik antara perawat-klien. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan klien, membantunya dalam

pengalaman kehidupan sehari-hari agar dapat melakukan kegiatan sebagaimana mestinya dan mencari tahu latar belakangnya dirawat di rumah sakit jiwa. Pengkajian dengan cara alloanamnesa dengan melihat catatan medik klien. Menurut Nurjannah (2005) bahwa pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Hal-hal yang perlu dikaji pada klien menarik diri adalah biodata klien, alasan masuk, keluhan utama, faktor predisposisi, status mental, faktorfaktor psikososial, kebutuhan persiapan pulang serta mekanisme koping

49 yang sering digunakan. Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (1998) pengkajian pada pasien dengan gangguan jiwa isolasi sosial : menarik diri meliputi faktor predisposisi, faktor presipitasi, perilaku, fisik, status emosi, intelektual, status sosial dan spiritual. Berdasarkan data pengkajian pada Tn. M dan data dokumentasi keperawatan yang ada didapatkan faktor predisposisi yang mendukung munculnya masalah pada klien yaitu klien telah mengalami gangguan jiwa sejak 3 tahun yang lalu, klien diantar oleh keluarga tanggal 30 Mei 2011 ke Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang dengan alasan klien sering berdiam diri, tidak mau bicara dan tidak mau beraktifitas. Faktor presipitasinya klien mengalami perubahan perilaku semenjak diceraikan istrinya 3 tahun yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pengkajian pasien adalah tidak ada kelainan pada pemeriksaan tanda-tanda vital. Dari hasil pemeriksan antropometri didapat tinggi badan klien 163 cm dan berat badan klien 54 kg. Sedangkan dari pemeriksaan head to toe kulit kepala klien kotor, rambut kusam, gigi klien nampak kotor dan terdapat karies gigi. Pada genogram dalam pengkajian psikososial, didapatkan bahwa Dari pengkajian status psikososial klien sudah bercerai dengan istrinya sejak 3 tahun yang lalu. Dalam keluarganya ada yang menderita gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya.

50 Pengkajian konsep diri menurut Stuart dan Sundeen (1998:227), Dari hasil wawancara dengan klien gambaran diri, identitas diri, peran diri dan ideal diri klien tidak terkaji karena klien tidak kooperatif selama komunikasi. Klien mengalami autistik dan mutisme. Sedangkan harga diri klien, Tn. M menganggukan kepala bahwa dirinya serba tidak mampu, dan sering menyesali keadaan dirinya. Menurut Sunaryo (2004 : 34) Harga diri rendah timbul jika individu merasakan kehilangan kasih sayang, cinta kasih dan penghargaan dari orang lain dan tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan cita-cita ideal yang ada dalam dirinya, sehingga individu akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam hubungan interpersonalnya dengan orang lain di lingkungan sosial. Pengkajian persepsi sensori klien bahwa dirinya tidak pernah mendengar suara-suara apapun. Kebutuhan persiapan pulang klien masih membutuhkan sedikit bantuan perawat dalam kegiatan harian di ruangan. Pada mekanisme koping ditemukan bahwa mekanisme koping klien tidak efektif karena klien lebih suka menyendiri, klien mengatakan jika ada masalah yang menimpanya, klien lebih suka memendamnya sendiri, enggan bercerita, klien selalu menyalahkan dirinya sendiri jika ada masalah yang menimpanya. Menurut Stuart and Sunden (1998: 230) Mengkritik diri sendiri atau orang lain, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif tentang tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis,

51 menarik diri secara sosial, khawatir, merupakan manifestasi dari harga diri rendah. Pengkajian tanda dan dan gejala pada klien gangguan isolasi

sosial: menarik diri adalah malas berinteraksi, menganggap orang lain tidak mau menerima dirinya,curiga dengan orang lain,mendengar suarasuara/melihat bayangan, merasa malu untuk berbicara dengan orang lain, menyendiri dalam ruangan, tidak bias memulai pembicaraan, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain (autistik/mutisme), tidak melakukan kontak mata, sikap mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain, banyak menunduk saat diajak bicara, afek dapat tumpul atau datar, posisi tidur tampak meringkuk di tempat tidur dengan punggung menghadap ke pintu. (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007). Pada perilaku klien dengan gangguan isolasi sosial: menarik diri yaitu kurang sopan, apatis, sedih, afek tumpul, kurang perawatan diri, komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka terhadap lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan posisi tidur seperti janin (Sujono & Teguh, 2009). Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. M didapatkan data subyektif klien yaitu klien merasa sedang sedih. Dan data obyektifnya adalah klien tampak menyendiri, klien tampak diam, klien tampak menundukan kepala, tidak ada kontak mata, klien tampak sedih, wajah klien tampak murung, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain

52 (autistik/mutisme), afek datar, kurang perawatan diri. Berdasarkan data pengkajian yang muncul ada kesenjangan teori dengan keadaan yang dialami oleh klien.
B. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa data yang didapatkan dari klien, penulis merumuskan diagnosa keperawatan untuk membantu proses keperawatan klien selama dirawat di ruang Antareja Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Adapun diagnosa keperawatan yang ditemukan penulis yaitu gangguan isolasi sosial : menarik diri, gangguan konsep diri : harga diri rendah, dan defisit perawatan diri. 1. Isolasi sosial : menarik diri Penulis menetapkan diagnosa keperawatan gangguan isolasi sosial : menarik diri sebagai prioritas masalah keperawatan. Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan segan terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negatif atau mengancam (NANDA, 2005:208). Data yang mendasari pengangkatan diagnosa keperawatan gangguan isolasi sosial : menarik diri berupa data obyektifnya adalah klien tampak menyendiri, klien tampak diam, klien tampak menundukan kepala, tidak ada kontak mata, klien tampak sedih, wajah klien tampak murung, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain (autistik/mutisme), afek datar, kurang perawatan diri.

53 Alasan kenapa diagnosa gangguan isolasi sosial : menarik diri menjadi prioritas pertama karena apabila masalah isolasi sosial : menarik diri tidak ditangani / tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepi sensori : halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktifitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri (Sujono dan Teguh, 2009). 2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah Data yang ditemukan saat pengkajian yaitu data subjektif : klien mengatakan sering bersedih. Data objektif : klien tampak sering duduk menyendiri, tidak ada kontak mata saat berkomunikasi. Menurut Keliat ( 1998 : 23 ) harga diri rendah merupakan suatu keadaan dimana evaluasi diri atau dapat di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri, harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, tidak berdaya, tidak ada harapan dan putus asa. Ada sepuluh cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri rendah yaitu mengejek dan mengkritik diri sendiri, merendahkan atau mengurangi martabat diri sendiri, rasa bersalah atau khawatir, manisfestasi fisik : tekanan darah tinggi, psikosomatik, dan penyalahgunaan zat, menunda dan ragu dalam mengambil keputusan, gangguan berhubungan, menarik

54 diri dari kehidupan sosial, menarik diri dari realitas, merusak diri, merusak atau melukai orang lain (Stuart and Sundeen, 1998:230). Menurut Sunaryo (2004:34) Harga diri rendah timbul jika individu merasakan kehilangan kasih sayang, cinta kasih dan penghargaan dari orang lain dan tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan cita-cita ideal yang ada dalam dirinya, sehingga individu akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam hubungan interpersonalnya dengan orang lain di lingkungan sosial. Diagnosa ini dijadikan diagnosa kedua karena muncul Berdasarkan stressor di atas penulis menegakkan diagnosa kedua dengan adanya gangguan konsep diri karena klien merasa gagal

mencapai keinginanya menikah dengan wanita yang di cintainya. Jika tidak ditegakan klien akan tetap pendiam dan lebih suka menyendiri dan jarang berinteraksi dengan orang lain.

3.

Defisit perawatan diri Data yang mendasari pengangkatan diagnosa keperawatan defisit perawatan diri sebagai prioritas ketiga berupa data obyektifnya adalah Data obyektif : Aktifitas harian / ADL klien masih dibantu perawat, badan tampak kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan, gigi dan mulut klien kotor. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa

menyebabkan intoleransi aktifitas yang akhirnya bisa berpengaruh

55 terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri (Sujono dan Teguh, 2009). C. Intervensi Intervensi dan implementasi yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan SP (Strategi Pelaksanaan) yaitu SP I sampai SP III , karena berdasarkan Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang (2007) implementasi yang digunakan saat ini adalah menggunakan SP. Menurut David A Tomb (2004) SP I terdiri dari : mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien, berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang, menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian. SP II terdiri dari : mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan dengan satu orang, membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. SP III terdiri dari : memasukan jadwal kegiatan harian pasien, memberikan kesempatan pasien berkenalan dengan dua orang atau lebih, menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian. D. Implementasi

56 Pada hari Selasa (12 Juli 2011) penulis melakukan implementasi SP I yaitu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien, berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang, menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian. Implementasi tersebut dapat dilakukan cukup mudah, karena penulis menggunakan komunikasi terapeutik. Menurut As Hornby (1974) dikutip oleh Teguh Purwanto (2009) komunikasi terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan. Sedangkan menurut Wahyu Purwaningsih (2009:11) dapat diartikan pula komunikasi yang direncanakan secara sadar, berlangsung secara verbal dan non verbal, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien. Faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan komunikasi terapeutik secara efektif adalah pengenalan kesadaran diri sendiri dan mengenal orang lain yang akan diajak untuk berhubungan, sehingga individu dapat menggunakan dirinya secara efektif dan tujuan komunikasi dapat tercapai (Nurjannah, 2005:92). Menurut Stuart dan Sundeen (1998:22), Teknik komunikasi yang diterapkan adalah Silence atau (diam) yang bertujuan untuk memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara dengan cara

memberikan waktu kepada klien untuk berpikir dan menghayati,

57 memperlambat tempo interaksi dan dorong klien untuk mengawali percakapan sementara itu perawat menyampaikan dukungan, pengertian dan penerimaannya. Hal ini akan memberikan kesan bahwa perawat / komunikator mau mendengarkan, mau menerima dan mengerti. Dengan tekhnik komunikasi terapeutik yang dilakukan maka diharapkan hubungan saling percaya dapat tercapai. Hubungan saling percaya adalah dasar yang diperlukan dalam pengelolaan klien dan kemampuan klien dalam mengikuti anjuran dan saran perawat didasarkan atas kualitas hubungan ini (Stuart & Sundeen, 1998). Dilakukannya identifikasi penyebab isolasi sosial : menarik diri agar dapat mengurangi beban dan tekanan yang dirasakan oleh klien. Tekhnik komunikasi yang dilakukan oleh penulis ketika melakukan implementasi mengidentifikasi penyebab isolasi sosial adalah mendengar dengan empati. Menurut Smith (1992) dalam Intansari (2005) empati adalah kemampuan menempatkan diri kita pada diri orang lain dan bahwa kita telah memahami bagaimana perasaan orang lain tersebut dan apa yang menyebabkan reaksi mereka tanpa emosi kita terlarut dalam emosi orang lain, karena dengan empati dapat meningkatkan perasaan berhubungan dengan orang lain, perasaan ini akan menurunkan perasaan negatif dan kesendirian dan isolasi. Dengan adanya tekhnik komunikasi tersebut mempermudah penulis dalam membina hubungan saling percaya dan mengidentifikasi penyebab isolasi sosial : menarik diri.

58 Terapi psikofarmaka yang diperoleh klien yaitu Trifluoperazine 2 x 5 mg, Amitriptilin 2 x 25 mg, Triheksipenidil 2 x 2 mg, Chlorpromazine 1 x 50 mg. Menurut Depkes (2000) Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. E. Evaluasi Implementasi SP I yang telah dilakukan belum dapat dilakukan dengan baik karena klien tidak kooperatif selama diajak komunikasi, klien tampak autistik dan mutisme. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi dengan data Obyektif Klien mau berjabat tangan, tetapi kontak mata tidak ada, klien nampak autistik dan mutisme, tidak mau berkomunikasi dengan perawat, klien belum bisa bercerita mengenai penyebab menarik diri sehingga SP I membina hubungan saling percaya dan mengidentifikasi penyebab isolasi sosial : menarik diri belum tercapai. Pada pukul 12.00 WIB penulis melanjutkan implementasi SP I yaitu mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan mendiskusikan dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang dan menganjurkan klien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain. Dari implementasi SP I yang telah dilakukan oleh penulis, implementasi tersebut belum dapat dilakukan secara optimal. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi dengan data Obyektif Klien belum mampu menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang

59 lain dan belum mampu menyebutkan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain, Klien mau berjabat tangan dengan penulis namun belum ada kontak mata, klien masih belum mau berkomunikasi dengan orang lain. Dapat disimpulkan SP I belum tercapai. Penulis tidak dapat melakukan SP II karena SP I masih perlu dioptimalkan lagi. Implementasi (SP) yang seharusnya dilakukan pada keluarga tidak dapat penulis lakukan, hal ini dikarenakan pada saat itu keluarga klien tidak berada di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. F. Hambatan Hambatan yang ditemui selama proses keperawatan pada Tn. M dengan Gangguan isolasi sosial : menarik diri adalah: 1. Dari intervensi yang dilaksanakan penulis merasa masih ada hambatan yang ditemukan saat berinteraksi yaitu klien sering terdiam sehingga mengalami kesulitan dalam menggali data yang diperlukan. Dalam berkomunikasi suara pelan sehingga tidak jelas, saat interaksi kontak mata klien kurang. 2. Tidak lengkapnya data pendukung pada catatan keperawatan klien, sehingga penulis mengalami kesulitan dalam pengumpulan data yang diperlukan.
3. Tindakan keperawatan untuk diagnosa I, SP I belum tercapai secara

optimal karena klien kurang kooperatif. Klien nampak autistik dan mutisme, sehingga penulis belum bisa melanjutkan ke SP selanjutnya.

60 4. Keterbatasan waktu yang disediakan oleh penguji sehingga untuk mengoptimalkan SP I belum dapat dilakukan. 5. Dalam melakukan tindakan keperawatan, penulis tidak melibatkan pihak keluarga sebagai sistem pendukung untuk kesembuhan klien karena tidak adanya keluarga yang menjenguknya. Untuk mengatasi kendala tersebut telah dilakukan : 1. Memberi nasehat dan contoh kepada Tn. M agar mengeraskan suaranya secara halus.
2. Menggunakan tekhnik komunikasi terapeutik dan Silence (diam).

Dengan ini bertujuan untuk memberi kesempatan berpikir

dan

memotivasi klien untuk bicara dengan cara memberikan waktu kepada klien untuk berpikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi dan dorong klien untuk mengawali percakapan sementara itu perawat menyampaikan dukungan, pengertian dan penerimaannya. Hal ini akan memberikan kesan bahwa perawat / komunikator mau mendengarkan, mau menerima dan mengerti. 3. Memberikan reinforcement positif baik verbal maupun non verbal atas setiap keberhasilan dalam intervensi. 4. Mendelegasikan tindakan keperawatan yang belum tercapai kepada perawat ruangan.

61

BAB V PENUTUP

Setelah dilakukan pembahasan mengenai asuhan keperawatan pada klien Tn. M di Ruang Antareja Rumah Sakit Prof. dr. Soeroyo Magelang ditemukan masalah keperawatan yaitu Isolasi sosial : menarik diri didapatkan hasil bahwa menarik diri adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat

62 adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial (Sujono & Teguh, 2009:151). Dari hasil asuhan keperawatan tersebut dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. KESIMPULAN 1. Perawat kesulitan dalam berkomunikasi dengan klien karena klien masih kurang fokus dalam diskusi yang dilakukan. Hal ini mempersulit dalam perawat melakukan asuhan keperawatan yang disesuaikan dengan teori yang ada. 2. Saat melakukan pengkajian status kesehatan klien dengan gangguan hubungan social : menarik diri. Pengkajian juga dilakukan dengan melihat status klien (dokumen rekam medis), sehingga dapat diperoleh data yang tepat sesuai dengan kondisi klien dan sesuai masalah yang timbul. 3. Perencanaan asuhan keperawatan terutama dalam perencanaan asuhan keperawatan pada klien menarik diri, dibuat berdasarkan yang diperoleh dari pengkajian, disesuaikan juga dengan kondisi klien, dengan demikian dapat membantu proses penyembuhan secara optimal. 4. Menyesuaikan konsep teori yang ada dimana perawat lebih mengenal dan mengetahui kondisi kliennya, maka perlu membina hubungan saling percaya, supaya perawat dapat mengetahui penyebab, tanda, gejala, faktor presipitasi dan jangan lupa peran aktif keluarga.

63 Diharapkan mempercepat proses penyembuhan klien dan peran perawat dapat mengimplementasikan tindakan keperawatan dengan mudah. 5. Dokumentasi yang lengkap dalam asuhan keperawatan akan

mempermudah perawat dalam intervensi dan implementasi tindakan keperawatan yang sesuai kondisi klien. B. SARAN 1. Dalam memberikan asuhan keperawatan harus dibutuhkan ketelitian serta ketajaman dalam pengkajian dan analisa masalah, sangat diperlukan oleh seorang perawat, sehingga perawat mampu mengenal dan mengetahui gangguan hubungan social : menarik diri. 2. Saat melakukan pengkajian hendaknya dilakukan secara terperinci dan secara sistematis sehingga dapat memperoleh data yang sesuai dengan kondisi klien agar memudahkan perawat dalam melakukan analisa data, intervensi, implementasi dan pendokumentasian. 3. Penerapan teori keperawatan, terutama dalam memberikan asuhan keperawatan jika hendaknya perawat menguasai konsep teori yang ada, sehingga memudahkan perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi penglihatan. 4. Pada saat melakukan komunikasi perlu adanya reinforcement positif yang diberikan kepada klien. Dengan adanya reinforcement tersebut maka akan dapat meningkatkan harga diri klien sehingga klien akan dapat merubah perilaku menarik dirinya.

64 5. Pada saat berkomunikasi diusahakan pada tempat yang tenang. Dengan tempat yang tenang maka klien akan dapat lebih fokus dan kontak mata tidak akan teralihkan pada hal yang terjadi di sekitar. 6. Dalam membina hubungan saling percaya dengan klien diri perlu adanya kontak sering dan singkat secara bertahap serta ciptakan lingkungan yang menyenangkan. 7. Dalam melaksanakan komunikasi dengan klien menarik diri perlu adanya teknik komunikasi broad opening (pertanyaan terbuka). Dimana dengan teknik ini perawat dapat memberi kesempatan pada klien untuk memilih topik pembicaraan yang diinginkan sehingga klien dapat mengeksplorasikan perasaannya dan pikirannya.

You might also like