You are on page 1of 13

Pendidikan dan Budaya Keilmuan Islam Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang.

Dalam pengertian seluasluasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha pendidikan1, walaupun pada saat itu masih belum memiliki sistem pendidikan formal dan dengan metode yang sederhana tetapi Nabi Muhammad adalah orang yang pertama melakukannya. Dalam buku yang berjudul Muhammad, the Educator, Robert L. Gullick, Jr. menulis:
Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besartidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam Hanya konsep yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena dari sudut pragmatis seorang yang mengangkat perilakumanusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik.2

Jika kita merunut sejarah awal kemunculan Islam di masa Nabi Muhammad, pendidikan Islam terfokus pada upaya penyampaian dan penanaman nilai-nilai dan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Pada periode ini umat Islam tidak sukar mencari beragam ilmu sesuai dengan tuntutan pada zaman itu pula. Pendidikan Islam pada zaman Nabi Muhammad ini berjalan secara integratif meliputi semua aspek kehidupan, mencakup nilai dan akhlak berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam semesta, di mana tuntutan dan kebutuhan hidup tidak sekompleks dan serumit seperti kehidupan saat ini. Pada masa Nabi dan sahabat, pendidikan dan produk hukum Islam cendrung empiris dan tidak literalis, bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada masa awal tidak menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. istinbat sudah muncul sejak era kenabian karena banyak sekali peristiwa pada masa kenabian yang menunjukkan adanya aktifitas ijtihad baik oleh Nabi sendiri maupun sahabatnya. Jika kemudian ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari Allah melalui wahyu. Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad
1

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru. Jakarta, 2001 Cet. III. h. vii Fazlur Rahman. Muhammad: Encyclopeadia of Seerah. Vol. I. London: The Muslim Trust, 1985. h. 206

bila solusi hukum belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini memperlihatkan, betapa hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak terpaku pada teks.3 Ketika kehidupan semakin kompleks dan peradaban manusia semakin berkembang meliputi persoalan-persoalan sulit yang harus dihadapi manusia maka pendidikan pun menghadapi tantangan yang serupa, tidak terkecuali pendidikan Islam. Dalam perkembangannya para ulama Islam mulai merilis konsep-konsep pendidikan sebagai acuan pendidikan Islam. Seperti karya Abu Al-Najib Abd AlQadir Al-Suhrawardi (w.1169 M) dengan judul Adab Al-Muriddin (konsep Tadib), Burhanuddin Al-Zarnuji (w.1203 M) dengan judul Talimum Al-Mutaallim (Konsep Talim) selanjutnya Burhan Al-Din Al-Uqsurai (w. 1502 M) dengan judul Risalah fi Al-Tarbiyah wa Al-Tasli (Konsep Tarbiyah) dan lain sebagainya. Namun demikian sejarah pendidikan Islam pada perkembangannya seolah tidak mampu mengangkat peradaban Islam menjadi peradaban yang lebih unggul dari peradaban manusia lainnya.4 Jargon al Islamu yalu wa la yula alaihi tidak begitu tercermin dalam konteks masyarakat Islam umumnya di berbagai belahan dunia. Modernitas dan kemajuan peradaban manusia justru mampu ditunjukkan oleh orangorang Barat yang menjauhkan kehidupan manusia dari urusan agama dan oleh mereka yang lebih mengandalkan kemampuan manusia (antroposentris) dalam mengatasi problematika hidup sehari-hari. Kegagalan pendidikan Islam ini menurut Muhammad Abid al Jabiri5 setidaknya dapat dilacak dari sisi sejarah tradisi (turats) umat Islam itu sendiri dari zaman lampau yag bermuara di dunia Arab Islam, di mana tradisi itu kemudian mengkristal
3

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika. 2003. h. 19-38 bandingkan dengan N.J Coulson, A. History of Islamic Law. ttp: Edinburgh University Press. 1991. h. 188 Pendidikan Islam merupakan salah satu determinan utama perubahan, pergeseran, dan kristalisasi budaya (epistemologi) dominan; pendidikan Islam menjadi wahana konstruksi relasi-kuasa dalam otoritas kultural-intelektual. Mahmud Arif. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS. 2008. h. x Lihat Muhamad Abid al Jabiri. Takwin al Aql al Arabi. Casablanca: al Markaz as Tsaqafi al Arabi. 1991 dan Muhamad Abid al Jabiri. Bunyah al Aql al Arabi: Dirosah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al Marifah fi al Tsaqafah al Arabiyah. Casablanca: al Markaz as Tsaqafi al Arabi. 1993. Ia seorang intelektual muslim yang seringkali disejajarkan dengan Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan figurfigur cendekiawan muslim lainnya yang memiliki kegigihan dan keberanian dalam mengusung tematema rasionalisasi, dinamisasi, pluralisme dan pembebasan.

menjadi budaya6 plus epistemologi pendidikan Islam di berbagai belahan dunia Islam lainnya.7 Menurut Jabiri, tradisi (turats) umat Islam masih terkurung pada tradisi masa lampau Islam (abad ke III hingga V Hijriyah) yang mencerminkan penerimaan secara total dan kecendrungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namudaj salafi) dengan dalih otentisisme (ashlah). Menurutnya tradisi Islam pada umumnya hingga saat ini terpetakan menjadi tiga skema sistem epistemologis, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi (ulum al-bayan) atau bayani. Sistem ini menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indigenos), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ulum al-Quran, teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (ulum al-irfan) atau irfani yang didasarkan pada wahyu dan pandangan dalam sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syii, penafsiran esoterik terhadap Al-Quran, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti enferensial (ulum al-burhan) atau burhani, yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. 8 Idealnya ketiga sistem epistemologis ini harus hadir dalam setiap figur pemikir Islam tetapi kenyataannya selama berabad-abad masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi, berdiri sendiri dan saling mempertahankan diri untuk diam dalam status quo. Sebagai akibatnya sistem
6

Muhammad Abid al Jabiri. Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS. 2000. h. 60 Dari perspektif produk budaya, fenomena pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh konstelasi budaya dominan yang secara epistemik dipetakan menjadi tiga, yakni bayani, irfani dan burhani. Mahmud Arif. Pendidikan Islam ...h. x Walid Harmaneh, Kata Pengantar, dalam Mohammed Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika. 2003. h. xxvii. Lihat juga Walid Harmaneh. introduction dalam Mohammed Abed al-Jabiri. Arab Islamic Philosophy A Contemporary Critique. Translated from the French by Aziz Abbasi. United States of America: University of Texas at Austin. 1999. h. xiv-xv

pendidikan Islam juga terpengaruh pada pemisahan antara sistem epistemologi bayani, irfani dan burhani yang tidak integratif (tidak ideal menurut penulis). Meski pandangan Jabiri mengenai teori epistemologinya menuai beragam kritik ada baiknya sedikit penulis membahas beberapa pandangannya yang telah memberikan wacana diskursif pemikiran Islam khususnya di bidang pendidikan. Dalam makalah terbatas ini penulis hanya ingin membahas mengenai epistemologi bayani, karakteristiknya, proses terbentuknya dan implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Epistemologi Bayani Pengertian Bayani berasal dari kata bayan atau al bayan. Al bayan secara etimologi bermakna menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan lafal yang paling baik. Arti asal kata bayan adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu.9 Dari pengertian tersebut para ahli usul fiqih mendefinisikan bayan sebagai upaya menyingkapkan makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada orang-orang yang dibebani hukum. Menurut Al Jabiri kata al Bayan dalam kamus Lisan al Arab karya Ibnu Mandzur, yang disinyalir sebagai karya kamus Arab pertama yang belum tercemari pengertian lain, berarti al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al dhuhur wa al idzhar (proses penampakan dan menampakkan),
10

selain itu al bayan juga

berarti al fahm wa al ifham (aktivitas memahami dan memahamkan).11 Para mufassir mengatakan bahwa penjelasan autentik dari kandungan Al-Quran adalah sunnah Rasulullah SAW.12Ayat-ayat al-qura n mempunyai uslub (redaksi yang berbeda). Untuk menjelaskannya dapat dilihat dari beberapa segi. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan pandangan ahli ushul fiqih. Imam as Sarakhsi (w. 483 H/1090 M.) dan al Badzawi (w. 1089 M), keduanya ahli ushul fiqih mazhab Hanafi,
9 10 11

12

Hasan Muarif Ambary et.al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002. h. 73 Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah, h. 20. Al Bayan di antaranya bermakna 1) kesinambungan (al Washl) 2) keterpilahan (al fashl, 3) jelas dan terang az zhuhur wa al wuduh, dan 4) kemampuan membuat terang dan jelas. Dielaborasi dari Muhammad Abid Al Jabiri. Bunyah...h. 16-18 sebagaimana dikutip Mahmud Arif dalam Pendidikan Islam Transformatif... h. 38 Hasan Muarif Ambary. Ibid. h. 74

membagi bayan atas lima bentuk, yaitu bayan at taqrir, bayan at taghyir, bayan at tabdil, bayan bi ad darurah, dan bayan at tafsir.13 Bayan at taqrir adalah penjelasan yang bersifat menguatkan atau menegaskan. Bayan seperti ini biasanya digunakan ketika suatu kata dalam ayat mengandung kemungkinan pengertian majas. Misalnya Allah SWT berfirman dalam surah alanam ayat 38 yang artinya, dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu... kata burung dalam ayat tersebut mempunyai arti majas, yaitu pos. Orang Arab biasa menggunakan lafal at tair dalam arti pos. Dengan adanya kata yatiru setelah at tair dalam ayat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud adalah burung, salah satu jenis unggas yang dapat terbang. Bayang attaqrir juga bersifat menghilangkan prasangka bahwa yang dituju oleh Allah SWT adalah sesuatu yang khusus. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al Hijr ayat 30 yang artinya, Maka bersujudlah para Malaikat itu semuanya bersamasama. Malaikat itu sesuatu yang abstrak dan tidak diketahui jumlahnya. Dalam kaitan ini muncul dugaan bahwa kemungkinan yang sujud itu adalah malaikatmalaikat tertentu atau sebagian saja. Dengan adanya penggalan ayat kullukum ajmaun maka prasangka itu dapat dihilangkan. Bayan at taghyir adalah penjelasan yang bersifat mengubah kehendak lafal dari maknanya yang dhohir (jelas) kepada makna yang lain. Misalnya, pernyataan seseorang kepada istrinya, jika kamu masih keluyuran ke rumah tetangga, maka talakku jatuh kepadamu. Penggalan kalimat pertama (jika kamu keluyuran ke rumah tetangga) berfungsi sebagai bayan at taghyir. Artinya, talak suami jatuh terhadap istrinya apabila yang dimaksud dalam penggalan pertama masih dilakukan istri. Bayan at taghyir di sini dapat berbentuk syarat melalui kata pengecualian. Bayan at tabdil adalah penjelasan yang bersifat menggantikan atau

menghapuskan hukum yang telah ada dengan hukum yang datang kemudian yang berbeda dengan hukum semula. Misalnya peristiwa pengalihan kiblat dari Baitulmaqdis di Palestina ke Baitulharam di Mekkah.

13

Ibid. h. 74-75

Bayan bi ad darurah adalah penjelasaan terhadap suatu kalimat yang sama sekali tidak harus dijelaskan. Persoalan bayan sebenarnya adalah persoalan pengungkapan melalui kata-kata atau perbuatan. Namun, dalam kasus ini tidak ada penjelasan sama sekali. Dengan pengertian secara otomatis kalimat tersebut seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang telah jelas. Bayan bi ad darurah ada empat macam. 1) bayan atau penjelasan yang dapat ditangkap langsung dari suatu ungkapan. Contohnya, firman Allah SWT dalam surah an Nisa yang artinya, ...jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga... dari ayat tersebut secara otomatis harus dipahami bahwa bagian ayah adalah sisa harta, yaitu dua per tiga. 2) bayan yang ditunjukkan oleh suatu keadaan, sedangkan keadaan itu sendiri menghendaki penjelasan khusus. Misalnya seorang ayah meminta persetujuan anak gadisnya untuk dikawinkan dan seharusnya anak gadis ini memberikan persetujuannya secara jelas. Namun, karena malu untuk berterus terang sebagaimana gadis pada umumnya, ia diam saja. Sikap diam gadis tersebut merupakan penjelasan terhadap persetujuannya. 3) bayan yang bersifat diam secara darurat dianggap sebagai penjelasan. Misalnya seorang tuan melihat pembantunya melakukan jual beli, sementara tuan itu diam saja. Sikap diam tuan itu merupakan penjelasan atas persetujuan jual beli itu. 4) bayan yang sifatnya penyingkatan pembicaraan secara darurat. Ulama mazhab Hanafi mencontohkan dalam ungkapan saya berutang pada ahmad seratus kiligram gandum. Menurut mereka kata seratus tanpa diikuti kata kilogram dapat mengandung pengertian yang bermacam-macam. Akan tetapi dengan adanya kata kilogram maka apa yang dimaksudkan menjadi jelas. Para ulama mazhab Syafii tidak setuju untuk menyebut contoh ini sebagai bayan. Bayan attafsir adalah penjelasan terhadap suatu kata atau kalimat yang

tersembunyi atau kabur. Misalnya, potongan ayat orang yang memegang ikatan nikah dalam surah al Baqarah ayat 237. Potongan ayat itu mengandung dua kemungkinan makna, yaitu para wali atau suami, karena keduanya adalah orangorang yang memegang ikatan nikah. Sedangkan makna terminologis dari al-bayan adalah himpunan kaidah atau aturan-aturan penafsiran (qawanin tafsir al khithabi) dan aturan untuk menafsirkan

wacana (khitab) atau syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al khitab) yang terungkap dari teks atau dalam bahasa al-Syafii bermakna aturan bagaimana mengorientasikan al-far (kasus yang tidak terekam teks) pada teks sebagai al-asl.14 Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, epistemologi bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab.15 Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, maka cara untuk mendapatkan pengetahuannya berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, yang tidak perlu proses pemikiran atau perenungan makna teks. Contoh teks yang dapat dipahami secara lansung adalah pada surah Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi. Teks tersebut dapat langsung dipahami, yakni manusia tidak dilarang untuk memakan bangkai, darah dan daging babi. Oleh karena itu tidak diperlukan adanya pemikiran untuk menafsirkan ayat tersebut. Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks, hanya saja dalam praktiknya, tekstual lughawiyah (nushush lughawiyah) lebih diutamakan dari pada kontekstual bahtsiyah (maudhuah bahtsiyah) karena akal (rasio) dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.16 Pembahasan tentang teks (dalam hal ini teks berbahasa Arab) sangat dominan baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan cendrung mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal
14 15

tersebut. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut

epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks, contohnya pada
Muhammad Abid Al Jabiri. Bunyah... h. 17-23 Misalnya, kebenaran sebuah produk penafsiran diukur sejauh mana kesesuaian dan kedekatan produk penafsiran tersebut dengan sudut pandang teks. Semakin dekat produk penafsiran dengan sebuah teks, maka semakin valid pula produk penafsiran tersebut. lihat pembahasan mengenai hegemoni teks al istidlali al bayani dalam Ilyas Supena. Epistemologi Tafsir (Relasi Signified dan Signifier dalam Penafsiran Teks Al-Quran). Teologia. Volume 19 Nomor 1. Januari 2008. h. 37 lihat juga aspek hegemoni bayani dalam pembahasan hukum Islam dalam Nur Kholis. Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspektif Muhammad Abid al Jabiri. Fenomena. Vol. 2 No. 1 Maret 2004. h. 24-26 Muhammad Abid Al Jabiri. Bunyah al Aql al Arabi. h. 20

16

surah Al-Isra ayat 23 yang mengungkapkan: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah. Ungkapan nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan ah kepada kedua orang tuanya. Illat dalam larangan ini adalah suatu yang terkandung dalam ucapan kepada keduanya berupa perkataan menyakiti. Selain itu, ada bentuk lain yang lebih menyakitkan dari sekedar berkata ah, seperti memukul dan mencaci. Maka dapat dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang baru ini. Menurut al-Jabiri, aktivitas nalar bayani terjadi dalam tiga hal; (1) aktivitas intelektual yang bertitik tolak dari ashl yang disebut dengan istinbat (penggalian pengetahuan dari teks), dengan kata lain mencari pengetahuan pada teks dhahir atau redaksi (lafdh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan shorf sebagai alat analisa. Kecendrungan ini berakar pada tradisi sebelum Ibn Rusyd (Andalusia) dan memuncak pada masa Ibn Hazm (azh-Zahiri). Kecendrungan tekstualisme ini sebenarnya mulai diperlihatkan oleh asy-Syafi'i bahkan -mungkinbisa dikatakan beliau adalah peletak dasar paradigma literalisme. Sarana yang dipakai adalah kaedah bahasa Arab sedangkan yang menjadi sasarannya adalah teks alQur'an, Hadis dan Ijma'. (2) aktivitas intelektual (al-tafkir) yang bermuara pada ashl yang disebut dengan qiyas, dengan kata lain menggali pengetahuan pada maksud teks bukan teks dhahir dengan menggunakan metode qiyas (analogi). Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa asySyatibi. Aktivitas pengetahuan yang bertumpu pada maksud teks ini baru digunakan bila teks dhahir ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru (3) aktivitas metode pemikiran al-istidlal dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan al-bayani.17 Dengan demikian, epistemologi

bayani mempunyai ciri spesifik yaitu selalu berpijak pada ashl (pokok) yang berupa nas (teks). Karena teks merupakan sumber asasi dalam epistem bayani, maka bahasa menepati posisi yang strategis dalam epistem ini.18 Perhatian yang begitu besar
17

18

Muhammad Abid Al Jabiri. Bunyah...h.113-116 lihat pembahasan kutipan mengenai hal ini dalam Khudori Sholeh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004 h. 185-186. Lihat juga Akhmad Haries. Hukum Islam: antara Teks, Moral dan Akal. Mazahib. Vol. IV. No. 1 Juni 2007 h. 3 Unsur langue (lafadh) dan parole (makna) memiliki hubungan yang substansial sehingga keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, mereka memandang bahwa langkah penting dalam menafsirkan al-Quran adalah memahami teksnya. Dengan kata lain, penafsiran yang

terhadap bahasa bisa kita lihat sejak awal sejarah Islam dan mencapai puncaknya ketika terjadi intensifikasi kontak dan komunikasi dengan pihak non-Arab dan melahirkan apa yang disebut dengan lahn.19 Hal ini menuntut adanya pembakuan bahasa yang bahan bakunya diambil dari kalangan pedalaman Badui yang otentisitas bahasanya dianggap masih terjaga. Adapun karakteristik dari epistemologi bayani antara lain, pertama,

epistemologi ini selalu berpijak pada asal (pokok) yang berupa nass (teks), baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ilmu ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Qur'an, Hadis dan Ijma'. Sedangkan dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggungjwabkan isinya. Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah (naql). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar (dalam hal ini berupa nas atau teks).20 Dengan karakteristik demikian tentunya bayani memilik kelemahan mencolok ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Jika rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, maka sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, dalam keadaan demikian epistemologi bayani biasanya menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country".
mereka gunakan dalam memahami al-Quran bersifat tekstual. Dalam hal ini, al-Quran akan dipahami melalui analisis bahasa Arab, sebab tidak kurang dari sembilan kali al-Quran sendiri menyebut alat komunikasi yang dipakainya adalah bahasa Arab (Lihat QS. 13: 37, 26: 195, 16: 103, 39:28, 42:3, 42: 7, 43:3 dan 46: 12) lihat Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Islamika. 2004. h. 179 Lahn adalah kesalahan dalam berbahasa baik menyangkut kesalahan gramatika (gramatical mistake), bacaan, dan penyusunan kata. Lihat Muhammad al-Tiwanji, al Mujam al Mufasshal fi al Adab, Vol. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. h. 735. Joseph Schacht, Pengantar... h. 31

19

20

Bayani menutup diri dari realitas yang ada sehingga sering mengalami kesulitankesulitan dalam memahami dinamika kehidupan manusia dan justru kehidupan manusia itulah yang harus selaras dengan teks.21 Tidak heran jika Pada perkembanngannya epistemologi bayani tidak banyak berperan untuk memproduksi pengetahuan guna menjawab permasalahan umat yang lebih luas dan komplek. Melainkan sejak era kodifikasi sampai sekarang, metode bayani lebih diaplikasikan pada kajian fikih dan ushul fikih setelah ilmu kalam yang lebih dahulu mengalami kemandekan. Sementara ilmu-ilmu humaniora dan sosial lainnya hampir tidak tersentuh oleh metode ini, dikarenakan fikih Islam dianggap sebagai disiplin ilmu yang relatif paling banyak berurusan dengan masalah sosial. Bahkan ilmu fikih ini dianggap satu-satunya yang memiliki posisi sebagai penghubung antara teks wahyu dan teks sosial.22 Implikasi Bayani terhadap Pendidikan Islam Studi agama kontemporer apabila dilihat dari bilik fenomena keberagamaan manusia tidak lagi hanya dapat dikaji lewat pendekatan monolitis, tetapi juga dikaji secara multidimensi. Ia juga tidak hanya diklaim oleh pandangan teologis-normatif tetapi juga diclaim oleh pandangan historis-empiris. Tidak terkecuali dalam hal ini studi Islam (Islamic studies). Sehubungan dengan hal ini, M. Amin Abdullah mengatakan bahwa agama memiliki banyak wajah (multifaces) dan tidak seperti dahulu orang memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan masalah ketuhanan, kepercayaan, kredo, pedoman hidup, dan seterusnya tetapi agama kenyataannya juga memiliki keterkaitan yang erat dengan persoalan praxis-historis-kultural,23 yaitu terkait dengan dimensi ruang, waktu, dan sejarah peradaban manusia itu sendiri yang terus mengalami perubahan dan perkembangan. Agama juga tidak lagi terbatas pada ajaran dogmatis
21

22

M. Amin Abdullah. Pengantar Filsafat Islam bukan hanya sejarah Pemikiran. dalam Khudori Sholeh. Wacana Baru....h. x Badruddin. Takwin Al-Aql Al-Arabi Inda Muhammad Abed Al-Jabiri (Tinjauan Historis Terbentuknya Formasi Nalar Arab. http://www.uin-malang.ac.id/index.php? option=com_content&view=article&id=1334:takwin-al-aql-al-arabi-inda-muhammad-abed-al-jabiritinjauan-historis-terbentuknya-formasi-nalar-arab&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 diakses tanggal 11/05/2011 jam 11.30 M. Amin Abdullah, Pengantar dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, h.1

23

10

yang harus dipatuhi dan dijalankan, tetapi ia juga perlu untuk dianalisa, diteliti, dikaji dan diuji secara logis-empiris sebelum benar-benar dilaksanakan oleh penganutnya. Di dalam Islam indikasi ke arah pentingnya pengkajian kebenaran norma agama tampak ditandai dengan pentingnya peran penggunaan akal dalam beragama. Hal tersebut tercermin dari banyaknya ayat al-Quran yang menyeru untuk mempergunakan akal untuk berfikir, merenung serta berkontemplasi untuk menemukan kebenaran-kebenaran hakiki. Sampai di sini, tersirat bahwa kajian tentang agama memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan komplek, untuk memahaminya diperlukan studi ilmiah yang fokus dan benar-benar konfrehensif. Demikian lebarnya ruang lingkup yang dicakupi agama, menurut Charles J. Adams, diibaratkan suatu hutan yang dipenuhi dengan aneka ragam hayati, sehingga sangat kaya nuansa24. Ia tidak hanya terdiri dari beberapa varian saja tetapi juga terkait dengan varian-varian lain yang membentuk sebuah gugusan agama. Yang dengan begitu, untuk memahaminya secara lebih holistik diperlukan perangkat yang konprehensif dengan aneka pendekatan kajian agama (multi dan interdisipliner). Islam dan budaya memang tidak dapat dipisahkan sehingga sangat logis bila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati terdapat ajaran baku yang diyakini sama-serupa, tetapi di level penafsiran, tradisi dan keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman.25 Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat tadzim pada fakta-fakta partikular masa lalu.26 Kebanyakan mereka kemudian bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shalih). Lantaran Islam lahir di tanah Arab, berbahasa, berbudaya Arab, dan berawal dalam sejarah
24

25

26

Charles J. Adams. Islamic Religious Tradition, dalam The Studi of Midle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. Ed. Leonard Binder.New York: A.WileyInterscience Publication, 1976. Dalam M. Lutfi Mustofa. Tipologi Pendekatan Dalam Studi Islam: Perspektif Charles J. Adams. Jurnal EljAdid, Pasca Sarjana UIN Malang, volII no.4 2005. H.103 Fawaizul Umam. Mengurai Ketegangan Islam dan Lokalitas dengan Etnohermeneutik. www.ditpertais.net/.../makalah/Makalah%20FAWAIZUL%20UMAM.doc. Didownload pada tanggal 11/05/2011 Fakta-fakta masa lalu itu didudukkan sebagai rujukan kebenaran tunggal dalam berislam. Menurut Arkoun, di situlah letak persoalan mengapa geliat pemikiran Islam nyaris tak pernah berlangsung revolusioner. Sebab, tambahnya, apabila revolusi meniscayakan pemisahan dengan masa lalu, revolusi Islam justru mengakomodasi dan menomorsatukan masa lalu. Lihat, Mohammed Arkoun, Al-Fikr alUshuli wa Istishalat al-Tashil, Nahwa Tarikhin Akhar li al-Fikr al-Islami. London: Dar al-Saqi. 1999. h. 115

11

Arab, maka secara keseluruhan performa keberagamaan mereka tidak mampu memisahkan antara mana yang budi-daya Arab dan mana yang ajaran Islam. Akibatnya serius, (universalitas nilai) Islam yang sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan waktu menjadi terbekap erat oleh batasan-batasan ruang dan waktu Arab.27 Tidak pelak pandangan maupun paradigma semacam itu mempengaruhi secara mendasar dan menghegemonik dalam sistem pendidikan Islam.28 konsekuensi logis dari pada itu adalah munculnya sistem pendidikan yang dualistik-dikotomis, pendidikan yang berbasis keagamaan di satu sisi dan pendidikan berbasis kealaman. Di Indonesia sendiri munculnya madrasah dan pesantren salah satu alasannya adalah kristalisasi umat Islam Indonesia yang terlalu berekspektasi pada lembaga pendidikan berbasiskan agama. Sementara pendidikan agama Islam yang diinginkan mereka masih dipengaruhi oleh paradigma tektualis pemikiran keberislaman sebagaimana yang terjadi di dunia Arab Islam masa klasik. Belakangan muncul pemikiran yang menghendaki modernisasi pendidikan Islam melalui kelompok modernist hingga munculnya pemikiran postmodernisme. Kelompok Islam modernis ini mencoba menanggalkan khazanah klasik dan mengambil model intaj pengetahuan yang lebih kontemporer-modern, tragisnya justru kian terjebak pada trend puritanis-fundamentalis yang dari banyak sisi tidak cukup compatible dan realistis dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan lokal di Indonesia.29

27 28

Fawaizul Umam. Mengurai ketegangan...h. 2 Lihat elaborasi mengenai dominasi bayani dalam tradisi keilmuan Islam dalam Mahmud Arif. Pendidikan Islam....h. 122-130 29 Fawaizul Umam. Mengurai Ketegangan...h. 3

12

DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Haries. Hukum Islam: antara Teks, Moral dan Akal. Mazahib. Vol. IV. No. 1 Juni 2007 Azyumardi Azra, MA. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru. Jakarta, 2001 Cet. III Badruddin. Takwin Al-Aql Al-Arabi Inda Muhammad Abed Al-Jabiri (Tinjauan Historis Terbentuknya Formasi Nalar Arab. http://www.uin-malang.ac.id/index.php? option=com_content&view=article&id=1334:takwin-al-aql-al-arabi-inda-muhammad-abed-aljabiri-tinjauan-historis-terbentuknya-formasi-nalar-arab&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 diakses tanggal 11/05/2011 jam 11.3 Charles J. Adams. Islamic Religious Tradition, dalam The Studi of Midle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. Ed. Leonard Binder.New York: A.WileyInterscience Publication, 1976. Dalam M. Lutfi Mustofa. Tipologi Pendekatan Dalam Studi Islam: Perspektif Charles J. Adams. Jurnal EljAdid, Pasca Sarjana UIN Malang, volII no.4 2005 Fawaizul Umam. Mengurai Ketegangan Islam dan Lokalitas dengan Etnohermeneutik. www.ditpertais.net/.../makalah/Makalah%20FAWAIZUL%20UMAM.doc. Didownload pada tanggal 11/05/2011 Fazlur Rahman. Muhammad: Encyclopeadia of Seerah. Vol. I. London: The Muslim Trust, 1985 Hasan Muarif Ambary et.al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002 Ilyas Supena. Epistemologi Tafsir (Relasi Signified dan Signifier dalam Penafsiran Teks Al-Quran). Teologia. Volume 19 Nomor 1. Januari 2008 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika. 2003. Khudori Sholeh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004 M. Amin Abdullah, Pengantar dalam Ahmad Norma Permata (ed) Metodologi Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 ................................... Pengantar Filsafat Islam bukan hanya sejarah Pemikiran. dalam Khudori Sholeh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004 Mahmud Arif. Involusi Pendidikan Islam Mengurai Problematika dalam Perspektif Historis Filosofis. Ygyakarta: Idea Press. 2006. ......................... Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS. 2008 Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli wa Istishalat al-Tashil, Nahwa Tarikhin Akhar li al-Fikr alIslami. London: Dar al-Saqi. 1999 Muhammad Abid al Jabiri. Bunyah al Aql al Arabi: Dirosah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al Marifah fi al Tsaqafah al Arabiyah. Casablanca: al Markaz as Tsaqafi al Arabi. 1993 ............................................... Takwin al Aql al Arabi. Casablanca: al Markaz as Tsaqafi al Arabi. 1991 ............................................... Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS. 2000 Muhammad al-Tiwanji, al Mujam al Mufasshal fi al Adab, Vol. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. N.J Coulson, A. History of Islamic Law. ttp: Edinburgh University Press. 1991 Nur Kholis. Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspektif Muhammad Abid al Jabiri. Fenomena. Vol. 2 No. 1 Maret 2004 Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi KlasikKontemporer. Yogyakarta: Islamika. 2004 Walid Harmaneh, Kata Pengantar, dalam Mohammed Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika. 2003 ............................. introduction dalam Mohammed Abed al-Jabiri. Arab Islamic Philosophy A Contemporary Critique. Translated from the French by Aziz Abbasi. United States of America: University of Texas at Austin. 1999

13

You might also like