You are on page 1of 17

MENGGUNAKAN CTL DAN ASESMEN OTENTIK

DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KTSP DI SEKOLAH DASAR

UNIV DEPA ER R S

NDIDIKA N PE N ME PENDIDIKA NA TE AS N S

IT

L NA S H A IO NE A

U NDI

KSHA

OLEH Tim Penatar Undiksha

Disampaikan Pada Pelatihan Para Kepala Sekolah Dasar Kabupaten Karangasem Dana DBEP, Tanggal 29-31 Juli 2007

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2007

MENGGUNAKAN CTL DALAM PEMBELAJARAN DI SMP

1. Pendahuluan Pembelajaran kontekstual atau lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebenarnya bukan hal baru, tetapi CTL dewasa ini sangat ditekankan karena perkembangan dunia kerja di jaman global yang ditandai dengan persaingan bebas, sehingga sekolah harus menyusun ulang kurikulumnya untuk menyesuaikan dengan tuntutan global tersebut. Pada awalnya, CTL lebih banyak digunakan pada sekolahsekolah kejuruan, kemudian digunakan di sekolah umum tetapi untuk anak-anak dengan kemampuan dibawah rata-rata. Kemudian, ketika CTL digunakan untuk belajar konsepkonsep/akademis, CTL digunakan dalam bentuk watered-down dari konsep-konsep abstrak yang harus dipelajari dengan sedikit contoh-contoh penggunaan di dunia nyata. Sekarang CTL digunakan dalam kurikulum, termasuk KBK yang menegaskan bahwa proses belajar mengajar harus berbasis CTL.

2. Konsep Apakah yang dimaksud dengan CTL? CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong siswa mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan siswa untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan tersebut. Bagi siswa, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, siswa diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. 2

Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau a need-to-know basis masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada siswa hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan. Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata (Bond, 2005). Dalam CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsipprinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan cognitive apprenticeship. Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih siswa dalam menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran

dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai siswa, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar siswa. Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi metodemetode yang berpusat pada siswa (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu siswa mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana siswa mendapat peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan siswa dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya siswa dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian), yaitu kesempatan untuk siswa terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai

pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana siswa dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong siswa untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.

3. Strategi CTL Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.

a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian siswa pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan. b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara aktif/langsung mengalaminya. c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat siswa mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh yang sangat kontekstual dimana siswa mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang. d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan siswa lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang 4

mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini. e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, siswa belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving). Clifford dan Wilson (2000) menyebutkan bahwa CTL tercermin dari pembelajaran yang: a. Berbasis masalah (memecahkan masalah, menemukan dan menjawab masalah) b. Menggunakan konteks yang beragam (teknik pembelajaran kontekstual yang digunakan harus bervariasi, tidak monoton) c. Menghargai keberagaman siswa (dari segi kemampuan, bakat, latar belakang, dll.) d. Mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) e. Menggunakan kelompok belajar dengan semangat saling ketergantungan

(interdependen, belajar secara kooperatif) f. Menggunakan asesmen otentik

4. Pembelajaran Berbasis Masalah Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah. Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna 5

terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota masyarakat). Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa. Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase: Fase 1. Mengorientasikan siswa kepada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri. Fase 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah Fase 3. Membimbing investigasi mandiri dan berkelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Mengembangkan dan mempresentasikan artefak Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Guru juga membantu siswa untuk saling

menginformasikan pekerjaan mereka 6

Fase 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah Guru membantu siswa untuk merefleksikan investigasi dan proses-proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.

5. Konteks Pembelajaran yang Beragam (Diverse Life Context) Alam kehidupan diwarnai oleh hal-hal yang sangat beragam. Untuk bisa memotret kehidupan nyata maka CTL menekankan pentingnya guru mengenalkan siswa pada berbagai konteks kehidupan tersebut. Karena itu, aktivitas pembelajaran seperti studi lapangan, bertemu dan mewawancarai tokoh, membuat diorama, menulis cerita dan reportase, dan lainlain aktivitas nyata. CTL sangat menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti di atas; namun tidak berarti bahwa guru samasekali tidak perlu menanamkan konsep melalui ceramah. Ceramah tetap diperlukan tetapi diupayakan seminimal mungkin. Guru harus selalu berfikir menemukan aktivitas (selain ceramah) yang paling kontekstual untuk menanamkan konsep maupun keterampilan dan sikap.

6. Menghargai Keberagaman Siswa Howard Gardner, seorang ahli psikologi Pendidikan dari Harvard telah mengubah pandangan orang tentang inteligensi. Beliau mengatakan bahwa inteligensi bukanlah satu kesatuan properti manusia, melainkan kumpulan kecenderungan pada manusia dimana satu kecenderungan lebih kuat atau menonjol daripada kecenderungan yang lain. Oleh karena itu, Gardner mengatakan bahwa manusia memiliki multiple intelligences yang dapat menjelaskan kenapa seseorang lebih mampu melakukan sesuatu hal daripada sesuatu hal yang lain. Implikasi dari konsep ini terhadap pendidikan, utamanya terhadap proses belajar seseorang adalah, bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk belajar. Ada orang yang cepat memahami konsep dan mengungkapkannya melalui kata-kata (verbal), tetapi ada juga yang mengungkapkannya dengan gerak tubuh, ada juga dengan menggunakan diagram. Orang jenis pertama disebut Gardner memiliki linguistic intelligence yang dominan dibandingkan intelligences yang lain. Orang kedua memiliki kinesthetic intelligence tinggi, dan yang terakhir memiliki mathematical intelligence yang lebih menonjol. Guru CTL diharapkan dapat memberi peluang kepada setiap siswa untuk belajar dan mengungkapkan kemampuannya dengan cara yang paling baik bagi siswa tersebut. Penyeragaman bentuk respons, misalnya, guru hanya menilai siswa dari hasil ulangan tertulis saja tidak sesuai 7

dengan semangat CTL. Oleh karena itu, keleluasaan untuk memilih bentuk respons perlu disediakan kepada siswa dalam rangka terjadi pertumbuhan siswa secara optimal sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki.

7. Mendukung Pembelajaran Mandiri (self-regulated learning) Self-regulated learning (SRL) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1980an, yaitu sejak disadari pentingnya menanamkan tanggungjawab pada siswa atas preoses belajarnya sendiri. SRL meliputi tiga aspek utama, yaitu kognisi, metakognisi, dan motivasi. Ketiga aspek ini secara bersama-sama membentuk persepsi bahwa: (1) diri (self) adalah agen dalam menetapkan tujuan belajar dan strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut; dan (2) persepsi tentang diri (jati diri). Kedua hal ini diyakini sangat menentukan dalam keberhasilan dalam belajar. Paris dan Winograd (2005) menyebutkan beberapa ciri dari siswa yang memiliki SRL, yaitu: a. Kesadaraan tentang pikiran, yaitu kesadaran siswa tentang: (i) kebiasaan berfikirnya, dan (ii) bagaimana berfikir yang efektif; dengan kata lain, siswa harus bias berfikir tentang bagaimana pikiran bekerja. Ini merupakan aspek metakognisi, yang dapat berwujud evaluasi diri dan pengelolaan diri. b. Penggunaan strategi belajar, dimana Paris dan Winograd menekankan dua hal, yaitu: (i) strategi yang digunakan dan (ii) menjadi orang yang strategis. Seperti diketahui, terdapat tiga aspek metakognisi, yaitu: pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang strategi), pengetahuan procedural (pengetahuan tentang bagaimana melakukan strategi tersebut), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang kapan dan bagaimana suatu strategi harus dilakukan). Ketiga pengetahuan ini bila dimiliki oleh siswa, dapat membantu mereka berfikir strategis dan memilih strategi yang paling tepat untuk memecahkan suatu masalah. c. Motivasi yang terpelihara, yaitu dorongan secara terus-menerus untuk melakukan suatu hal dan mencapai hasil yang tinggi dari usaha yang dilakukan. Guru perlu merangsang timbulnya motivasi pada siswa dan tetap memeliharanya karena perannya yang sangat penting dalam proses belajar siswa.

8. Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan modelmodel lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas dan

struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Siswa diharapkan bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun individual. Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering dipakai dalam pembelajaran multikultural). Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi orang lain, dan lain-lain. Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil, dan terdiri dari enam fase: (1) menetapkan tujuan pembelajaran, (2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan, (3) pembentukan kelompok, (4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan, (5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan (6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD (Student Team Achievement Division), Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Group Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, siswa dibagi menjadi 5-6 kelompok heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw, anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula. Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).

JIGSAW
HOME TEAMS (5 atau 6 siswa heterogen dikelompokkan)

XXX XX

XXX XX

XXX XX

XXX XX

XXX XX

EXPERT TEAMS

9. Menggunakan Asesmen Otentik CTL menuntut otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa haruslah nyata dan bermakna bagi kehidupan. Karena itu, semua komponen pembelajaran haruslah otentik, mulai dari materi pembelajaran, strategi/metodenya, dan tentunya pula pendekatan asesmennya. Asesmen otentik adalah asesmen yang benar-benar mencerminkan aktivitas nyata dalam kehidupan sehari-hari. Asesmen yang tidak memotret kebutuhan nyata tidak dapat disebut asesmen otentik. Orientasi baru tersebut telah menempatkan asesmen dalam posisi strategis sekaligus kompleks. Strategis karena pengukuran keberhasilan suatu pembelajaran (baca: sejauhmana kompetensi yang ditargetkan tercapai) sangat ditentukan oleh bagaimana asesmen dilakukan (baca: apakah asesmen yang digunakan memang benar mampu mengukur tingkat kompetensi?). Asesmen berbasis kompetensi juga terbilang kompleks, karena tugasnya memantau proses dan juga produk belajar, karenanya mau tidak mau asesmen harus terpadu dengan pembelajaran (bandingkan dengan penggunaan tes-tes yang dilakukan pada akhir suatu pokok bahasan dan pada akhir semester). Asesmen non-tes dilakukan dalam suasana non-threatening. Bila pada tes terjadi onetime response untuk melihat hasil belajar, maka pada non-tes asesmen dilakukan untuk melihat proses dan hasil belajar. Oleh karenanya, non-tes dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran. Asesmen otentik mengandung pengertian pemberian tugas-tugas yang secara langsung bermakna. Misalnya dalam pelajaran membaca. Tugas membaca beberapa naskah tulisan dan membandingkan sudut pandang dari tulisan-tulisan tersebut adalah otentik; sedangkan tugas membaca untuk mencari ide utama dari tiap-tiap paragraf adalah tidak otentik. Asesmen otentik dapat berupa berbagai metode asesmen yang dapat mencerminkan berbagai aktivitas proses belajar, hasil belajar, motivasi, maupun sikap. Orientasi pendidikan kontemporer yang menekankan pembentukan kompetensi memberi peluang sangat luas bagi asesmen non-tes yang bersifat otentik seperti asesmen portofolio, asesmen kinerja, projek, evaluasi diri, dan esai. Asesmen otentik seringkali disebut dengan non-tes.

Asesmen Portofolio Asesmen portofolio adalah asesmen proses dan produk. Diantara pendekatan asesmen sejenis, asesmen portofolio disebut sebagai pendekatan paling komprehensif karena mampu mengumpulkan informasi secara berkelanjutan dan melibatkan asesmen lain seperti asesmen kinerja, projek, dan bahkan tes (objektif maupun esai, bila diperlukan). Asesmen portofolio 10

adalah salah satu asesmen otentik karena salah satu cirinya adalah adanya suatu proses penilaian yang berkelanjutan (on-going) yang dimulai dari awal hingga mencapai suatu produk karya tertentu. Keseluruhan proses yang terjadi merupakan suatu portofolio pada mana penilaian dilakukan. Asesmen portofolio memiliki tiga elemen utama, yaitu: (1) Sampel Karya Siswa yang menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu. Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem matematika, maupun eksperimen. (2) Evaluasi Diri, yaitu suatu analisis terhadap sikap dan proses belajar siswa, dimana informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan perkembangan dan proses belajar yang berkelanjutan. Dalam asesmen portofolio, evaluasi diri merupakan komponen yang sangat penting. OMalley dan Valdez Pierce bahkan mengatakan bahwa self-assessment is the key to portfolio. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri siswa dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya belajarnya; (3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka, bukan menjadi rahasia guru. Adanya kriteria penilaian terkait dengan tujuan pembelajaran. Karena itu, harus jelas tujuan dan ranah belajar yang hendak dicapai. Dengan asesmen portofolio dimungkinkan menetapkan lebih dari satu ranah secara bersama-sama dan multidimensi. yaitu asesmen pada proses maupun konstruk. Proses melibatkan siswa dan guru yang bekerja secara kolaboratif dalam membangun portofolio. Konstruk adalah folder, binder , atau pun kotak dimana bahan-bahan asesmen dikumpulkan.

Asesmen Kinerja Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugastugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dipelajari siswa. Asesmen kinerja mensyaratkan siswa menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk menunjukkan sejauhmana siswa tersebut telah mencapai suatu target belajar. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan siswa selama proses belajarnya digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dan hasil belajar siswa.

11

Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas, dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, dan deskriptor dari setiap komponen tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic scoring adalah yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap suatu kinerja; (2) analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap sejumlah komponen yang berkontribusi terhadap suatu kinerja. Apabila kinerja yang dinilai adalah suatu komposisi (karangan) maka komponenkomponennya adalah seperti tatabahasa, isi, dan organisasi tulisan; dan (3) primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa sifat khusus dari tugas kinerja yang diberikan. Misalnya, bila komposisi yang dinilai berjenis argumentatif, maka penilaian dilakukan terhadap, antara lain berapa argumen yang digunakan dan sejauhmana argumen tersebut tepat pemakaiannya.

Projek Projek, atau seringkali disebut pendekatan projek (project approach) adalah investigasi mendalam mengenai suatu topik nyata. Dalam projek, siswa mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek dapat dianalogikan dengan sebuah cerita, yaitu memiliki awal, pertengahan, dan akhir projek. Karena itu, projek biasanya memiliki tiga fase utama, yaitu: (1) Fase Perencanaan; dalam fase ini guru menyusun suatu Tugas Projek yang berisi: tema atau topik projek, dan petunjuk tentang apa yang mesti dilakukan oleh siswa. Biasanya, sebelumnya hal-hal tersebut di atas didiskusikan dulu oleh guru dengan siswa. Tugas projek dapat berbentuk pertunjukan (misalnya, drama), konstruksi (misalnya, membangun sebuah kolam ikan), karya tulis (misalnya, makalah). Contoh tugas projek: 1. Tema 2. Petunjuk : Pertunjukan Drama :

- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya - Setiap kelompok terdiri dari 5 10 orang siswa - Pertunjukan akan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2006 di auditorium sekolah - Lama waktu pertunjukan adalah satu jam untuk setiap kelompok, karena itu naskah dapat dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya 12

(2) Fase Pengembangan; dalam fase ini siswa mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi dengan ahli, berlatih secara terbimbing maupun mandiri. (3) Fase Akhir; dalam fase ini siswa menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa pertunjukan drama.

Evaluasi Diri Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri dapat dilihat kelebihan maupun kekurangan dari suatu program, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, pelaksana program lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan programnya. Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan program tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya. Evaluasi diri selain sebagai alat untuk melihat efektivitas suatu program, juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan program tersebut. Rolheiser dan Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi evaluasi diri dalam proses belajar.
(1) Goals

(2) Effort (3) Achievement Self-evaluation (4) Self-judgment (5) Self-reaction (6) Self-confidence

Model evaluasi diri mereka menekankan bahwa, ketika mengevaluasi sendiri performansinya, kegiatan ini mendorong siswa untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi 13

(goals). Untuk itu, siswa harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada penilaian terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, Apakah tujuanku telah tercapai? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti Apa yang aku rasakan dari prestasi ini? Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk

membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan selfreaction dalam model di atas. Evaluasi diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih untuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan semua siswa dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua siswa tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya sendiri, (3) berikan umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerjanya. Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Siswa diajak untuk menetapkan kriteria penilaian. Curah pendapat (brainstorming) sangat tepat dilakukan. Guru sebaiknya menyiapkan terlebih dahulu rambu-rambu criteria penilaian tersebut agar diskusi bias berjalan lancer dan terarah. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis evaluasi diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis evaluasi diri dikembangkan berdasarkan hakikat kegiatan/tugas yang dilakukan siswa tersebut dan bagaimana cara mencapainya. Lanhkah-langkah selanjutnya sudah jelas, dan guru sudah terbiasa melakukannya.

Esai Tes esai menghendaki siswa untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Dengan perkataan lain, bahwa siswa tidak memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas. Tes esai yang otentik adalah tes esai jawaban terbuka (extended-response) dimana siswa mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan pengetahuan faktual, (2) 14

menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Tes esai jawaban terbuka merupakan asesmen yang baik dan relevan dengan CTL karena memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks dan mampu mengukur kinerja, misalnya kemampuan menulis suatu esai tentang suatu topik. Butir tes esai memberi kesempatan kepada siswa untuk menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan siswa harus mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Soal esai terbuka biasanya meminta siswa mengemukakan pendapat dan menilai suatu keadaan/situasi. Hal yang penting dalam melakukan tes esai adalah soal esai dan cara skoringnya, karena rentan terhadap subjektivitas penilai. Suatu cara menghindari subjektivitas scoring adalah dengan menetapkan Benchmark, yaitu jawaban standar atas suatu pertanyaan esai. Bentuk-bentuk benchmark misalnya, jawaban suatu pertanyaan atau rubrik penilaian. Benchmark biasanya menyertai teknik skoring yang digunakan. Pada umumnya teknik skoring untuk suatu esai menggunakan tiga teknik seperti pada asesmen kinerja.

10. Masalah Subjektivitas Penilaian dalam CTL Isu subjektivitas terutama dalam penilaian pembelajaran yang bersifat terbuka dan berpusat pada siswa seperti CTL seringkali menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengatakan bahwa hasil penilaian terhadap tugas, projek, portofolio, dan sebagainya, rentan dari segi validitas dan reliabilitas penilaian. Bagaimana mungkin, menurut pendapat ini,

membandingkan dua siswa dari portofolio masing-masing, sementara portofolio mereka berisi hal-hal yang berbeda. CTL adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan pemberdayaan siswa. Untuk tujuan ini, sangatlah sulit bila dilakukan dengan menggunakan tes-tes objektif (yang sama untuk semua siswa). Dan, perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah untuk membandingkan satu siswa dengan yang lainnya, melainkan bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, dengan kata lain, seorang siswa yang berhasil bukanlah karena dia mampu mengalahkan saingan-saingannya, melainkan karena dia memiliki kompetensi yang tinggi dan dapat diandalkannya untuk menyongsong masa depannya. Namun demikian, subjektivitas dalam diri penilai sendiri tidak dapat dihindarkan dalam asesmen non-tes. Suatu contoh, seorang guru yang terlalu banyak mengoreksi karangan cepat merasa lelah sehingga tidak cermat lagi dalam membaca tulisan siswa,

15

akibatnya, tidak terjadi konsistensi penilaian. Hal-hal lain seperti impresi awal dapat pula menyebabkan penilaian tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi siswa. Ada dua cara penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi subjektivitas penilaian. Pertama, penilaian inter-rater, yaitu lebih dari satu orang memberikan penilaian terhadap naskah yang sama. Kedua, adalah dengan menetapkan benchmark, yaitu sampel kinerja yang berfungsi sebagai standar yang dipakai untuk menilai sampel kinerja lainnya

11. Penutup CTL sudah menjadi keharusan bagi kita untuk melakukannya mengingat kelebihankelebihan yang dimiliki, yang jauh meninggalkan pembelajaran yang berpusat pada guru. Untuk itu, kesediaan untuk mencoba sambil melakukan inovasi terhadap praktik pembelajaran yang kita lakukan perlu terus dipupuk. Sekalian kita berbicara evaluasi diri, mari kita mulai mencoba mengevaluasi praktik pembelajaran yang kita anut selama ini, melihat kelebihan dan kekurangannya; dan daripadanya kita melakukan perbaikan-perbaikan. Semoga makalah singkat ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu meningkatkan kualitas pembelajaran yang kita lakukan, dalam rangka ikut mendukung upaya-upaya peningkatkan kualitas pendidikan kita. REFERENSI Bond, L. P. (2005). Using Contextual Instruction to Make Abstract Learning Concrete. Copyright 2005. Association for Career and Technical Education, printed on 15 th July 2005. Clifford, M. and Wilson, M. (2000). Professional Learning and Students Experiences: Lesson Learned from Implementation. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on 15th July 2005. Nitko, A.J. (1996). Educational Assessment of Students. 2nd Edition. New Jersey: Merrill. Paris, S. G. & Winograd, P. (2005). The Role of Self-Regulated Learning in Contextual Teaching: Principles and Practices for Teacher Preparation (artikel download). Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon. Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download.

16

Tentang Pembicara: Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja sejak tahun 1990. Lulus S1 bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan Dasar dengan spesialisasi Pengajaran Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika Serikat tahun 1996; dan S3 bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Mengajar pada Program D2 PGSD, S1 Pendidikan Bahasa Inggris, dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja. Meneliti dan menulis artikel ilmiah bidang pendidikan, serta menjadi pembicara dalam seminar dan workshop bidang Pembelajaran, Metodologi Penelitian, dan Evaluasi Pendidikan. Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Blok C No. 3 Desa Kerobokan, Singaraja 81171; Tlp. 0362-7000162, Hp. 0817567427.

17

You might also like