You are on page 1of 17

SIKAP DAN ETIKA BERTOLERANSI AGAMA DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Dosen Pembimbing: Drs. Purwanto Nur Chamid, M.Pd. Tahun Akademik 2011/2012

Disusun oleh:

Kelompok Tingkat

Ajeng Melina Hafid Mutiara Sani Septiani Saryono Sudirman

: III (Tiga) : I B (Satu B)

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN TANGERANG TANGERANG - BANTEN
2011/2012
KATA PENGANTAR
1

Assalamualaikum Wr.Wb. Penyusun mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah mengaruniakan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam selalu di limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya, mudah-mudahan kita mendapatkan manfaatnya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama dan untuk memperdalam pengetahuan penulis tentang Sikap dan Etika Bertoleransi Agama di Negara Republik Indonesia. Dalam penyusunan makalah ini, penulis dibantu oleh beberapa pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bpk. Drs. H. Nasihin M.Kes. selaku Ketua Program Studi Keperawatan Tangerang

sekaligus koordinator Mata Kuliah Agama.


2. Bpk. Drs. Purwanto Nurchamid, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Agama

Islam. 3. Teristimewa bagi orang tua dan keluarga penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan baik secara moril maupun materil;
4. Teman - teman tingkat I tahun akademik 2011/2012 yang telah membantu dalam pembuatan

makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan, penulis mengharapkan kritik serta saran dari Ibu/Bapak Dosen serta pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Amin.

Tangerang, September 2011

Penulis DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1.2. Rumusan Masalah................................................................................... 1.3. Tujuan Penulisan..................................................................................... BAB II PEMBAHASAN 2.1. Sikap Beragama........................................................................................... 2.2. Etika Beragama............................................................................................ 2.3. Toleransi Beragama..................................................................................... 2.4. Hubungan Negara dan Agama Dalam Pancasila dan UUD 1945................ 2.5. Jaminan Kebebasan dan Toleransi Beragama di Indonesia......................... BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan.............................................................................................. 3.2. Saran........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................

i ii 1 1 1 2 2 3 10 11 14 14 15

BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama telah dijamin oleh Negara seperti tercantum dalam pancasila nomor satu yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, selain itu juga ada Undang-undang yang mengatur tentang beragama atau kepercayaan, hanya saja kenyataannya masih sering terjadi pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu prinsip kebebasan beragama di Indonesia merupakan masalah bersama yang masih harus diperjuangkan secara terus menerus oleh semua pihak. Oleh karena itu kami diberikan kesempatan untuk menulis makalah tentang Sikap dan Etika Bertoleransi Agama di Negara Republik Indonesia.
1.2.

Rumusan Masalah

a. Untuk mengetahui sikap beragama. b. Untuk mengetahui etika beragama. c. Untuk mengetahui toleransi beragama. 1.3. Tujuan Penulisan

a. Mendeskripsikan sikap beragama. b. Mendeskripsikan etika beragama. c. Mendeskripsikan toleransi beragama.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Sikap Beragama

Menurut kamus bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwodarminto pengertian sikap adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma-norma yang ada di masyarakat dan biasanya norma agama. Namun demikian perbuatan yang akan dilakukan manusia biasanya tergantung apa permasalahannya serta benar benar berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing. Jadi, sikap beragama adalah keyakinan yang ada di masyarakat sesuai dengan norma yang berlaku. 2.2. Etika Beragama

2.2.1. Pengertian Etika Beragama Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah laku manusia. Sedangkan etika beragama adalah, tingkah laku manusia dimasyarakat dengan cara saling menghormati walaupun berbeda agama. 2.2.2. Tujuan Etika Beragama Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan buruk . Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). Adapun Jenis-jenis Etika adalah sebagai berikut:
5

1.

Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir yang dilakukan oleh manusia. 2. Etika Teologis Terdapat dua hal-hal yang berkait dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masingmasing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum. Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya. 2.3. 2.3.1. Toleransi Beragama Pengertian Toleransi Beragama

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam. Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agamaagama lain. Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. Tidak ada paksaan dalam agama , Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami
6

adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karyakarya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam. Al-Quran tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Quran menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan. Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia. 2.3.2. Konsep Toleransi dalam Islam Toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13)
7

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah Islam agama rahmatal lilalamn (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al- Quran Allah berfirman yang artinya, dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil. Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: Katakan olehmu (ya Muhamad), Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah! Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu menjauhi konflik. Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Jula dengan amat menarik mengemukakan, Al-khalqu kulluhum iyalullahi fa ahabbuhum ilahi anfauhum liiyalihi (Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya). Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil sama (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang
8

diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah. Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syuab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al- Baihaqi, dikatakan: Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan. Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam. Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan yang artinya: Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: Agama yang manakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab agama asal mula yang toleran (al-hanfiyyatus samhah). Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Quran maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang9

perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum. 2.3.3. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim Dalam QS. Al-Hujurat ayat 10, Allah menyatakan bahwa orang-orang mumin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 12 juga memerintahkan orang mumin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Quran seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia. Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orangorang mumin untuk kembali kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah). 2.3.4. Hubungan antara Toleransi dengan Muamalah antar Umat Beragama (Non-Muslim) Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masingmasing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul,
10

lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul? Nabi saw. menjawab Ya, tapi mereka manusia juga. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermuamalah dari sisi kemanusiaan kita. Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Quran menjelaskan pada surat al-kafirun:


1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,

2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Quran menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan,
11

hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa (titik temu) tidak dicapai. Supaya Allah memberikan Balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Saba:24). Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Saba:25). Dan Dia menurunkan orang-orang ahli kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka. sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. (QS. Saba:26). Maksudnya orang mukmin tidak perlu berperang, karena Allah telah menghalau mereka dengan mengirimkan angin dan malaikat. Sesudah golongan-golongan yang bersekutu itu kocar-kacir, Maka Allah memerintahkan Nabi untuk menghancurkan Bani Quraizhah (ahli Kitab) dan menghalau mereka dari benteng-benteng mereka. kemudian seluruh laki-laki yang ikut berperang dibunuh, perempuan dan anak-anak ditawan. Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8). Al-Quran juga berpesan dalam QS An-Nahl ayat 125 agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl:125). 2.4. Hubungan Negara dan Agama Dalam Pancasila dan UUD 1945

12

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, mempunyai beberapa makna, yaitu : 1. Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadapa nilai nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. 3. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Negara menjamin Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata tidak menjamin ini sudah sangat dekat dengan pengertian tidak membolehkan, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain. 2.5. Jaminan Kebebasan dan Toleransi Beragama di Indonesia Indonesia adalah Negara yang tidak perlu diragukan lagi dalam menjamin, menerima dan mengakui kebebasan beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat dalam suatu aturan. Hanya saja dalam pembuatan aturan hukum khususnya aturan

13

mengenai agama diperlukan konsistensi dan mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional, diantaranya : a. Hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integritas bangsa baik secara territorial maupun ideologis. Hukum hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi. b. Hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. c. Membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan Negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. d. Membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskimasi kelompok tertentu berdasarkan besar atau kecilnya pemelukan agama karena Indonesia bukan Negara agama dan juga bukan Negara sekuler. Hukum Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi Negara harus memfasilitasi, melindungi dan menjamin keamanannya dalam melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri. Agar lebih menjamin terbentuknya hukum soal agama yang sesuai dengan kaidah kaidah Pancasila, maka prinsipnya Negara boleh membuat pengaturan maupun pembatasan sekalipun terkait dengan kebebasan bertindak atau freedom to act, tetapi tidak dalam hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pengaturan Negara dalam kehidupan beragama semata mata dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga Negara, bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan supaya mencapai pemahaman yang benar dan menghindarkan diri dari peluang membuat aturan hukum yang justru tidak sejalan dengan Indonesia sebagai Negara yang berPancasila. Pada prinsipnya jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dilihat sebagai berikut : a. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1) : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2) : Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

14

b. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. c. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan International Tentang Hak Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) : Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Ayat (2) : Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. d. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 Ayat (1) : Setiap orang bebas memeluk agamanya masing masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. e. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi : Agama agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

15

BAB III PENUTUP 3.1. a.


b.

Kesimpulan Perbedaaan antara etika adalah terletak pada sumber yang dijadikan acuan untuk Perbedaan agama terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Perbedaan agama terdapat dalam surat al-Kafirun. Toleransi beragama perlu diadakan, untuk kesejahteraan bersama. Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan

menentukan baik dan buruk. c.


d.

e.

mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. 3.2. Saran

Marilah kita saling menghargai, menghormati dan saling toleran terhadap semua agama yang ada di Indonesia ini untuk menciptakan rakyat yang damai sejahtera. Semoga kita ditunjukan kedalam agama yang benar.

16

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan terjemahannya. Dr. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Quran Tafsir MaudhuI atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan: Bandung. http://wizanies.blogspot.com/2007/08/akhlak-etika-moral http://grms.multiply.com/journal/item/26 http://dewon.wordpress.com/2007/11/03/kategori-19

17

You might also like