You are on page 1of 4

Epistemologi Pragmatisme Pendidikan IndonesiaOleh Rum Rosyid, Univ Tanjungpura Pontianak Menolak Kombinasi Transenden Imanen Pragmatisme (dari

bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh WilliamJames (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatuucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilahpragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagaidoktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan,tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalampengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 1952). PragmatismeDewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, danpendidikan.Perumusan landasan filsafat pendidikan senantiasa menuntut kejelasan wawasan masalalu, kebutuhan-kebutuhan mendesak masa kini, dan harapan subjektif masa depan. Jikawawasan mengenai ketiga dimensi kesejarahan dari suatu bangsa-negara masih kabur dandiselimuti ketidakjelasan, tentu sulit mengharapkan suatu filsafat pendidikan yang jernihdan jelas. Pendidikan memang merupakan lembaga yang sarat dengan beban kesejarahan.Melalui lembaga ini, suatu masyarakat berharap melanggengkan eksistensi danmelestarikan nilai-nilai yang terekam dalam sejarahnya. Lembaga ini pula yangdiharapkan memenuhi tuntutan mendesak masa kini akan sumber daya manusia dalamberbagai tingkatan, serta menjadi tempat untuk menempa manusia demi melanjutkanestafet kepemimpinan di masa depan.Dengan beban ketiga dimensi kesejarahan itu, diakui atau tidak, filsafat pendidikan,kebijakan, dan sistem kelembagaan di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia)masih merupakan warisan kolonial yang dikembangkan di Barat. Kalau kemudianpendidikan di Barat pun sudah banyak mengalami perombakan, permasalahan di negarabekas jajahan bukan cuma harus mengganti warisan kolonial, tetapi juga menciptakanfilsafat pendidikan dan kebijakan sistem pendidikan yang benar-benar sesuai dandibutuhkan sebagai negara berkembang.Tentu bertujuan baik jika pemerintah melakukan pembandingan dengan perkembangan dinegara lain atau negara yang lebih maju. Maka ditetapkanlah berbagai pembakuan danstandar dalam pendidikan, seperti standar nasional pendidikan, standar ujian akhir,standar penilaian, standar pengelolaan, standar pengawasan, sertifikasi guru dosen, danlain-lain. Namun tujuan baik saja tidak cukup untuk menangani masalah pendidikan yangsedemikian kompleks.Di balik sebuah tindakan muncullah pertanyaan: tindakan itu baik dan benar atau tidak.Tujuan yang mau dicapai itu baik dan benar atau tidak. Berkaitan benar atau tidak ini adaukuran atau kriterianya. Secara teologis menurut Thomas Aquinas bahwa benar dan baiknya suatu tindakan itu harus mengantar manusia kepada Allah karena Allah adalahkebenaran (Berfilsafat dan Berteologi Bersama Thomas Aquinas; hlm. 44). Mengantar manusia kepada Allah harus berpedoman pada wahyu-Nya yang tersirat dan tersuratdalam setiap Kitab Suci agama apapun. Kebenaran

Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah ataumanfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabilamembawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if itworks). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasanmengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalampandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti.Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu.Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkantumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalandengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi olehpengalaman berikutnya.Karena kebenaran itu bersumber dari Allah maka ada kebenaran universal yang diakuioleh semua agama. Lebih lanjut Thomas nenandaskan bahwa hal kebenaran itu adalahhasil olahan (analisis) intelektual dalam proses pembelajaran baik secara pribadi maupunsecara berkelompok melalui sebuah permenungan atau kontemplasi. Bertensmengungkapkan bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kitacari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya,sesuatu yang baik (Adimassana; 2001). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Piet G.O.bahwa konsep nilai dalam arti sifat yang berharga menurutnya adalah sifat dari suatu hal,benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serbabutuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalampengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990).Menurut Sinurat, nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya salingmengandaikan, perasaan adalah aktifitas psikis di mana manusia menghayati nilai(Adimassana; 2001). Yang bernilai menimbulkan perasaan positif dan yang tidak bernilaimenimbulkan perasaan negatif. Selaras dengan pemikiran-pemikiran diatas, Hans Jonasmengatakan bahwa nilai itu the addresse of a yes (Adimassana; 2001). Jadi, nilai adalahsesuatu yang selalu kita setujui. Sementara itu, norma adalah aturan atau patokan baik tertulis atau tidak tertulis yang berfungsi sebagai pedoman bertindak. Bila tiap manusiapunya suatu sistem nilai dalam dirinya, dan sistem nilai itu dihidupi dan dijadikanpedoman hidup, berarti manusia itu sudah memenuhi kriteria manusia purnawanAda beberapa teori tentang kebenaran itu antara lain1) Teori persetujuan (the correspondent teory of the truth). Teori ini peletak dasarnyaadalah Aristoteles yang menandaskan bahwa sesuatu yang benar itu sesuai dengan yangada (kenyataan). Sebuah kebenaran didukung dengan fakta-fakta empiris. 2) Teori Pragmatisme (the pragmatic theory of truth) yang disponsori oleh William Jamesdan Charles Sanders Pierce. Kebenaran menurut mereka sama dengan kegunaan. Sesuatudikatakan benar bila memungkinkan orang bisa melakukannya dan berguna bagimanusia.Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yangmendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tigaaspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satusisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siapdiuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataanfakta, artinya ada sangkut

pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakankesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidikisesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusahamendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yangmenyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap faktafaktapartikular.Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yangkurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihatbahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakanhubungan yang dialami. Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebutPracticalisme , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dariPragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme kedalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasankonsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatanpsikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagikebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yangbermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenarandalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis,yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logisatau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semuakebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melaluipengalaman.Sejak pada awalnya, tujuan pendidikan Indonesia yang bercorak pragmatis baik. Denganpenekanan di sektor ekonomi, terutama lewat industrialisasi, negara hendak meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia, dan dari situ,akan dicapai keadilan sosial. Namun, pendidikan menjadi produsen tenaga-tenagaterampil semata, tidak menghasilkan manusia purnawan atau manusia utuh atau manusiaterintegrasi(Admin, 2004). Pada masa-masa krisis multidimensional sekarang ini,pendidikan yang bercorak pragmatis itu malahan memperparah keadaan. Mengapa? Pendidikan pragmatis ini menghasilkan manusia-manusia yang mungkin cerdas danterampil namun belum tentu berbudi baik. Ada segudang problem yang bisa dijadikanindikator, mulai dari masalah sosial, politik, rasial, lingkungan hidup, ketakwaan, susila,rasa kebangsaan, dan banyak lagi. Masing-masing mengacu pada kesimpulan bahwasumber daya manusia (yang notabene dihasilkan oleh pendidikan pragmatis) itu kurangdalam segi humaniora. Pendidikan Moral Kurikulum sendiri memposisikan pengajaran bermuatan moralitas (afektif) menjadibidang studi mati suri, ditempatkan sebagai suplemen bidang studi lainnya.Pengajarannya masuk dalam kategori pendidikan moral (akhlak) yang dalam perspektif pragmatisme-paradigmatik dianggap tertier. Pengajaran moral bersifat kulit,

hanya adasebagai pemenuhan tuntutan idealitas, nir fokus dan nir esensi. Pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan harus bermuara pada keunggulan akademis. Tugasutama sekolah adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampumemahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibatsecara aktif dalam kehidupan masyarakat.a. Tindakan yang dinilai baik dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilaibaik jika dapat menunjang pencapaian tujuan akhir (nilai final) sebagai kebaikan tertinggiyang dicita-citakan. Bagi Dewey, teori tersebut terlalu menyibukkan diri dan berkutatdengan spekulasi tentang tujuan akhir dan standar terakhir untuk menentukan benar salah,baik buruk perilaku manusia. Spekulasi tsb didasarkan pada kepercayaan akan adanyafinalitas dari segala sesuatu. Dengan mengkritik spekulasi tentan tujuan akhir tersebut,Dewey mengusulkan apa yang disebut sebagai tujuan-tujuan yang dibanyangkan ataudirencanakan untuknya ends-in-view). Tujuan tersebut ditentukan setiap kali adasesuatu yang harus dilakukan.Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh danrajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, tetapi ini bukan tugasutama sekolah. Ini adalah tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan Mendiknas yang baru, merupakan tugasutama sekolah. Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara matang danberkesinambungan seharusnya menjadi orientasi bagi pemerintah dalam mendesainpendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, tetapi menciptakan sebuahgenerasi yang memiliki keunggulan akademis kiranya menjadi tugas abadi setiaplembaga pendidikan.Menurut Dewey, nilai suatu tujuan banyak ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik terori moral tradisional yang menilai baik buruknya perilakumanusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku, cenderung membuat orangtidak kritis dan kreatip untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru.Bagi Dewey, memahami tujuan dan kebaikan moral sebagai ends-in- view berarti tidak hanya membuat orang lebih sadar dalam bertindak, kritis dan terbuka terhadapkemungkinan kemungkinan baru, tetapi juga membuak peniulaian terhadap perilaku

You might also like