You are on page 1of 19

Data BPS: Jumlah Penduduk Miskin yang Hampir Miskin Terus Bertambah

OPINI | 18 September 2011 | 14:09 638 1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat 5

Dalam rapat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (15/9), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan menyampaikan fakta menarik terkait perkembangan angka kemiskinan Indonesia, yakni bertambahnya jumlah penduduk hampir miskin sebanyak 5 juta jiwa pada tahun 2011. Pertambahan sebesar 5 juta jiwa ini berasal dari 1 juta penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin dan 4 juta penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin. BPS mencatat, selama tiga tahun terkahir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2009, jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Dan tahun ini, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populasi.

Siapakah penduduk hampir miskin?

Menurut konsep BPS, penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per bulan sedikit di atas garis kemiskinan (GK). Kata hampir secara kuantitatif menunjukkan bahwa pengeluaran mereka berbeda tipis dengan penduduk miskin dan tidak signifikan dalam membedakan tingkat kesejahteraan mereka dengan penduduk miskin. Sehari-hari, kondisi kesejahteraan mereka dibanding penduduk miskin mungkin tidak jauh berbeda, bahkan sama. Di luar konsep BPS, orang akan mengatakan mereka miskin. Untuk lebih jelasnya berikut adalah ilustrasi penduduk hampir miskin berdasarkan kondisi pada Maret 2011

Berdasarkan peraga di atas, terlihat jelas selisih pengeluaran penduduk hampir miskin dengan GK tidak lebih dari 20 persen. Dengan kata lain, nilai pengeluaran mereka berada pada selang 1 GK-1,2 GK, atau kalau dirupiahkan antara Rp 233.470 - Rp 280.488 per bulan. Nilai pengeluaran yang tidak berbeda jauh dengan GK ini menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin jika terjadi guncangan ekonomi. Karenanya, mereka juga harus menjadi target dari program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, selain penduduk miskin. Pemberitaan Kompas perlu dikoreksi

Ketika membaca tulisan di Koran Kompas (15/9) yang bertajuk Jangan Politisasi Dana Kemiskinan saya menemukan beberapa hal yang penting untuk ditanggapi, bahkan dikoreksi. Dalam tulisan tersebut, penulis menggunakan data-data BPS secara keliru. Kekeliruannya mungkin tidak fatal, tetapi sangat mengganggu buat saya yang sehari-hari bekerja sebagai statistisi di BPS. Kekeliruan yang saya maksud adalah penggunaan kata penghasilanketika menjelaskan siapa penduduk miskin. Dalam tulisan tersebut, dinyatakan bahwa mereka yang miskin adalah yang berada di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan di bawah Rp 231.000 per bulan. Ini jelas merupakan kekeliruan karena pendekatan yang digunakan BPS ketika mendefenisikan penduduk miskin adalah pengeluaran per kapita per bulan bukan penghasilan per kapita per bulan. Pengeluaran dan penghasilan tentu dua hal yang berbeda, apalagi jika dikaikan dengan konsep keluarga. Penghasilan biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya. Dengan demikian, jika satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga per bulan atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari. Dan keluarga hampir miskin adalah keluarga dengan penghasilan di atas Rp 1.121.952 /keluarga/bulan atau setara dengan Rp 37.398/keluarga/hari. Pengeluaran sebesar Rp 940.960 atau Rp 1.121.952 per bulan tentu bisa dibiayai dari penghasilan seorang kepala keluarga dan atau anggota keluarga lainnya. Jika dilihat lebih jauh, nilai pengeluaran sebesar ini akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) beberapa provinsi di Indonesia. Dan suatu keluarga dengan kepala keluarga seorang pengemis dapat dipastikan bakal sulit memiliki penghasilan di atas Rp. 934.960 per bulan, apalagi di atas Rp 1.121.952 per bulan. Kerenanya, langkah yang diambil oleh pemerintah Cirebon dengan menetapkan garis kemiskinan adalah penghasilan Rp 800.000 per kapita per bulan (sesuai UMR)sebagaimana juga dimuat dalam tulisan tersebut sehingga diperoleh angka kemiskinan sebesar 21,04 persen akan sedikit aneh jika dikaitkan dengan konsep keluarga di atas. Karena dengan garis kemiskinan sebesar ini, sebuah keluarga beranggotakan empat anggota harus memiliki penghasilan di atas Rp 3,2 juta agar tidak dianggap miskin. Kekeliruan lain adalah batas kemiskinan yang digunakan BPS pada tahun 2011 bukan Rp 231.000 per bulan, tetapi Rp 233.740 per bulan (Berita Resmi Statistik, Agustus). Bagi sebagian orang, selisih antara Rp 231.000 dengan Rp 233.740 mungkin tidak seberapa. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan kemiskinan tentu akan sedikit terganggu. Karena dua batas kemiskinan yang bebeda ini akan menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda. Dengan batas kemiskinan Rp 231.000 dapat dipastikan jumlah penduduk miskin saat ini akan lebih kecil dari angka resmi yang diumumkan oleh BPS, yakni 30,02 juta jiwaselisihnya bisa puluhan ribu jiwa. Perlu diketahui bahwa perubahan angka kemiskinan sangat sensitive terhadap perubahan batas atau garis kemiskinan yang digunakan. Karena metode yang digunakan ketika menetukan siapa penduduk miskin adalah cut of point sebagaimana pada

ilustrasi di atas. Dan inilah kelemahan dari pengukuran kemiskinan dengan menggunakan garis atau batas kemiskinan absolute. Bukanhanya di Indonesia, di negara mana pun juga seperti ini. Kekeliruan seperti ini memang kerap kali terjadi di berbagai media, bukanhanya koran Kompas, ketika memberitakan data-data kemiskinan BPS. Karenanya, agar tidak terus terulang, dibutuhkan kecermatan dan pemahaman terhadap konsep dan defenisi yang digunakan BPS ketika menghitung angka-angka kemiskinan, sehingga interpreatsi keliru terhadap data kemiskinan BPS tidak terjadi. ***** Sumber tulisan koran Kompas, data-data dari BPS

Gurita Kemiskinan Nelayan

Gurita Kemiskinan Nelayan Tradisional Fenomena kemiskinan nelayan di negeri ini sudah berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti seiring dengan perkembangan jaman dan gempitanya pembangunan. Kemiskinan nelayan dapat dianalisis dalam dua pandangan besar yaitu: budaya kemiskinan nelayan dan struktur kemiskinan nelayan. Dalam dua pandangan tersebut seolah kemiskinan nelayan mempunyai penyebab yang berbeda. Pada pandangan pertama, penyebab kemiskinan nelayan disebutkan sebagai akibat dari kebiasaan masyarakat nelayan yang cenderung boros dan malas. Pada pandangan kedua, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh karena faktor struktur kuasa sosial-politik yang tidak berpihak kepada masyarakat nelayan miskin. Kalau kita melihat kondisi masyarakat nelayan yang terus berjuang untuk meningkatkan kehidupannya dengan semangat yang tanpa menyerah mengarungi lautan dengan penuh banyak resiko, apa itu masih bisa dikatakan bahwa masyarakat nelayan miskin yang malas. Padahal kita mengetahui bahwa nelayan memulai pencaharian hidupnya, mengawali pencarian ikan dan sumber daya laut dari mulai dini hari hingga matahari mulai tenggalam. Bahkan mereka terkadang, rela meninggalkan daratan selama berhari-hari untuk mencari nafkah yang lebih layak untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Kenyataan tersebut tidak menguatkan bahwa kemiskinan nelayan sebagai akibat kebudayaan masyarakat nelayan. Ada banyak faktor pengaruh bahwa kemiskinan nelayan tidak

tergantikan dengan kesejahteraan yang dicita-citakannya selama ini. Lalau apa yang kiranya bisa memberikan penjelasan bahwa masyarakat nelayan selalu dalam kondisi kemiskinan? Kemiskinan nelayan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari luar budaya masyarakat nelayan. Secara, teoritis bahwa kemiskinan masyarakat nelayan dikonstruksikan oleh faktor struktural yang mengungkung segala usaha mereka untuk melakukan perubahan. Sehingga, segala upaya yang dilakukan seolah tidak memberikan hasil yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupannya. Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan nelayan adalah sebagai berikut: Pertama, relasi patron klien antara nelayan miskin dengan para cukong atau pengusaha perikanan yang secara langsung melakukan eksploitasi dan penghisapan atas keringat dan usaha nelayan. Salah satu yang dapat kita lihat adalah jeratan hutang yang diberikan oleh para cukong untuk mengikat hasil perikanan nelayan. Terutama ketika masyarakat nelayan miskin dalam kondisi paceklik, mereka tidak ada perhatian dari pemerintah untuk mendapatkan tambahan pinjaman modal untuk memenuhi kehidupannya, karena sumber pinjaman hutang dari lembaga formal harus menggunakan jaminan. Sementara, kapal dan jarring mereka sebagai satu-satunya sumber kekayaan dan alat kehidupannya tidak dapat dijadikan sebagai barang jaminan yang bernilai. Dalam kondisi terpepet, maka masyarakat nelayan miskin akan terjerat hutang kepada cukong, tengkulang, dan rentenir yang menggunakan persyaratan mudah tetapi bunga pinjaman yang sangat tinggi. Dalam kondisi seperti ini, segala usaha dan upaya nelayan untuk mencari penghasilan akan digunakan untuk membayar hutang dan bunganya yang terus berlipat-lipat setiap waktu. Kedua, melihat kenyataan di atas salah satu kendala penyebab kemiskinan nelayan adalah tidak adanya lembaga keuangan yang memberikan kepedulian kepada nelayan miskin untuk dapat mengakses pinjaman mudah dan murah untuk keberlanjutan kehidupan di saat paceklik karena musim yang tidak menentu dan membahayakan nyawanya. Ketiga, keterbatasan nelayan miskin dalam melakukan akses terhadap sumber daya perikanan. Masyarakat nelayan miskin tidak mempunyai hak atas kuasa sumber daya perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan akses. Hambatan akses wilayan lautan adalah kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat nelayan miskin yang penuh dengan keterbatasan. Kawasan lautan kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan birokrat atau kolaborasi keduanya. Sebagai contoh, operasi pukat harimau (trawl), penyerobotan wilayah tangkap oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan dari luar wilayah NKRI atau nelayan asing yang cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground) terbatas, dan terbatas pula sumber daya perikanannya. Keempat, pemangkasan kekuasaan rakyat sejak Orde Baru menyebabkan melemahnya kearifan lokal masyarakat nelayan. Kalaupun ada, rutinitas kearifan lokal hanya dianggap sebagai suatu formalitas belaka, sehingga tidak banyak membantu nelayan untuk menghidupkan sistem pengaturan masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan menjadi tidak mempunyai tata nilai yang dulu diyakini sebagai suatu pengaturan yang harus ditegakkan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat nelayan secara keseluruhan. Kelima, negara abai terhadap potensi bahari yang sebenarnya sebagai sumber penghidupan masyarakat nelayan setiap harinya. Banyak potensi bahari dikuasai oleh segelintir orang dan kapal-kapal asing. Keenam, munculnya organisasi nelayan bentukkan negara tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan miskin. Seperti munculnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang ternyata di dalamnya adalah pengusaha-pengusaha perikanan. Sementara masyarakat nelayan tidak terwakili di dalamnya. Lalu bagaimana masyarakat nelayan bisa memberikan aspirasi dan partisipasi untuk melakukan perubahan kehidupannya.

Ketujuh, harga BBM yang tidak berpihak kepada nelayan miskin. Harga tanpa subsidi yang mengakibatkan modal melaut untuk mencari ikan bertambah, membengkak tinggi, sehingga mengurangi pengeluaran usaha pencarian ikan, terutama di saat kondisi musim yang tidak bersahabat dan paceklik. Kedelapan, munculnya kompensasi subsidi BBM yang tidak mendidik masyarakat nelayan miskin dengan ukuran penghasilan yang tidak seimbang dengan pengeluaran biaya untuk memperoleh BBM setiap harinya. Kesembilan, belum lagi faktor lingkungan yang telah rusak oleh pengusaha-pengusaha yang memanfaatkan perairan perikanan nelayan di lautan. Seperti arus kapal tongkang batu bara seperti di perairan Cilacap sangat berdampak pada tangkapan ikan nelayan. Masyarakat nelayan Cilacap merasakan setelah munculnya PLTU di wilayah pesisir, tangkapan ikan mereka semakin berkurang. Ada analisa sederhana dari nelayan pesisir Cilacap bahwa kapalkapal tongkang yang membawa bahan bakar batu bara membuat ikan-ikan meninggalkan wilayah perairan tangkapan nelayan. Kesepuluh, gagalnya bantuan alat tangkap oleh pemerintah yang tidak menyelesaikan substansi permasalahan justru menimulkan kekacaian sosial dalam bentuk konflik di tingkat solidaritas nelayan miskin. Nelayan secara tidak langsung tercerai dalam konflik laten karena distribusi bantuan yang tumpang tindih dan dominasi kekuasaan pada pendistribusian dengan kedekatan relasi penerima dengan aktor dominan yang tidak berpihak kepada masyarakat nelayan miskin. Tawaran Solusi: Mengurai Kemiskinan Nelayan Permasalahan kemiskinan masyaraat nelayan sangat kompleks dan tidak sedikit pihak yang mempunyai kepentingan atas kesengsaraan nelayan. Berdasarkan inventarisir permasalahan di atas, ada beberapa pemikiran yang mungkin bisa memberikan pemecahan masalah jika dilakukan secara komprehensif. Beberapa tawaran yang coba dilakukan adalah sebagai berikut: pertama, perbaikan sistem data nelayan secara menyeluruh. Akurasi data kemiskinan dan gambaran substansi kemiskinan nelayan serta dinamika kemiskinan mereka setiap musim merupakan suatu informasi yang perlu dikembangkan kedepan. Tidak hanya itu, perlu juga dicarikan informasi tentang jumlah cukong, jumlah pengusaha, jumlah penyuplai BBM, dan kekuatan solidaritas kelompok nelayan dalam bentuk organisasi rakyat nelayan, serta bagaimana kekuatan-kekuatan masyarakat nelayan yang berkaitan dengan perolehan sumber daya dan distribusi hasil tangkapan nelayan hingga distribusinya kepada siapa saja, serta akumulasi nilai lebih penghasilan nelayan kemana saja. Termasuk bagaimana relasi-relasi masyarakat nelayan dalam mencari alternatif sumber daya kehidupannya menjadi sangat penting untuk menemukan data kemiskinan masyarakat nelayan secara komprehensif. Kedua, bahwa munculnya banyak permasalahan di masyarakat miskin nelayan tidak mendapatkan perhatian untuk mencarikan solusi pemecahannya, oleh karena itu perlu kiranya dilakukan suatu pencarian terhadap alternatif jawaban-jawaban tentang mengapa mereka miskin. Jawaban atas permasalahan tersebut kemugkinan akan sangat berfariasi dan tidak dapat difokuskan pada satu program penyelamatan. Tetapi dari semua jawaban-jawaban tersebut dapat dilakukan pengelompokkan masalah dari setiap kelompok masyarakat nelayan yang mengalami problem yang berbeda-beda. Jadi tidak bisa sebuah jawaban permasalahan diterapkan kepada seluruh masyarakat miskin nelayan yang mempunyai kompleksitas permasalahan. Jadi pengelompokkan permasalahan nelayan akan diterapkan penyelesaian yang sesuai, tidak tebang pilih, tetapi disesuaikan dengan permasalahan yang dialami setiap kelompok nelayan miskin. Bisa jadi dalam suatu masyarakat nelayan mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, dan ini perlu diidentifikasi secara teliti untuk memberikan terapi penyembuhannya.

Ketiga, mencari strategi pemecahan di tingkat lokalitas. Permasalahan masyarakat kemiskinan nelayan dengan kebudayaan yang berbeda-beda tidak dapat disama ratakan untuk memberikan satu alternatif solusi seperti yang selama ini diterapkan. Misalnya saja, permasalahan pencemaran limbah pabrik atau dampak tongkang batu bara PLTU tidak bisa diselesaikan dengan membagikan sejumlah alat tangkap jarring. Jika ikan yang mau ditangkap juga tidak ada kenapa harus diberikan alat tangkap jarring kepada nelayan? Lalu apa yang mau ditangkap? Solusi yang mendekati mungkin melakukan riset sumber daya perikanan yang langka tersebut dan mengkoordinasikannya dengan pemilik pabrik atau PLTU yang menjadi sumber pencemaran wilayah tangkapan nelayan. Itu sebagai contoh saja. Keempat, intervensi pemerintah dalam seluruh kebijakan perikanan yang berpihak kepada masyarakat nelayan miskin. Termasuk memberikan intervensi pada pengaturan wilayah tangkap hingga distribusi pemasaran hasil tangkapan sumber daya perikanan yang adil dan menguntungkan nelayan miskin. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan sistem ekonomi perikanan yang didominasi oleh aktor kuat dengan modal besar. Sehingga, perlindungan terhadap nelayan dalam jalur distribusi pemasaran dapat terjamin. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih memihak kepada keberlanjutan masyarakat nelayan miskin jika tidak mengharapkan masyarakat nelayan miskin beralih profesi menjadi buruh bangunan dan pengangguran yang nantinya menjadi problem lanjutan tersendiri. Kelima, penguatan organisasi-organisasi nelayan sebagai kekuatan masyarakat nelayan untuk memperjuangkan hak dan kehidupannya. Pemerintah harus sudah memperhatikan organisasi nelayan organik yang muncul dari masyarakat nelayan itu sendiri. Organisasi nelayan tersebut sebagai perwakilan kepentingan dan aspirasi masyarakat nelayan. Sebagai perwakilan kepentingan dan aspirasi masyarakat nelayan maka kesempatan dan suaranya perlu diperhatikan dengan memberikan penguatan sumber daya serta memberikan ruangruang partisipasi keterlibatan dalam seluruh aktivitas dan perencanaan pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat nelayan. Penguatan organisasi nelayan juga hingga memberikan otoritas organisasi nelayan untuk memandirikan kehidupan nelayan sebagai kekuatan solidaritas masyarakat nelayan. Keenam, menjamin ketersediaan BBM yang mudah dan murah untuk kebutuhan perjalanan mencari nafkah. Pemerintah harus lebih memberikan ruang akses terhadap kemudahan BBM untuk nelayan dengan kebijakan dan pembangunan titik-titik distributor BBM (SPDN: Solar packed dealer untuk nelayan) di lingkungan pesisir. Pembangunan SPDN merupakan alternatif pemutusan mata rantai distribusi BBM yang selama ini sangat panjang dan menyebabkan monopoli serta kenangkaan BBM yang murah untuk nelayan. Ketujuh, pemerintah harus menjamin bahwa pengelolaan SPDN dilakukan oleh organisasi nelayan sebagai perwakilan masyarakat nelayan. Otoritas pengelolaan ini secara khusus harus diberikan oleh pemerintah kepada organisasi nelayan untuk menjamin distribusi yang mudah, murah, dan adil untuk kecukupan kebutuhan seluruh anggota masyarakat nelayan secara keseluruhan. Pemberian otoritas pengelolaan SPDN juga sangat bermanfaat untuk menguatkan organisasi masyarakat nelayan yang mandiri dan independen. Kedelapan, yang terakhir adalah memberikan jaminan subsidi BBM khusus untuk nelayan. Pengelolaan SPDN dalam hal ini juga dapat memberikan alat kontrol terhadap penjaminan tersampaikannya BBM bersubsidi untuk nelayan. Sehingga, kekhawatiran penyimpangan terhadap pemberian subsidi BBM dapat dihindarkan langsung oleh pengelolan mandiri oleh organisasi nelayan yang secara langsung mengetahui nelayan-nelayan yang mana harus mendapatkan harga subsidi BBM dan masyarakat umum yang bukan nelayan. Pemikiran diatas adalah salah satu bentuk renungan yang kemungkinan masih banyak kekurangan dan perlu mendapatkan perbaikan-perbaikan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sangat terbuka untuk mendapatkan masukkan-masukkan yang membangun gagasan penyelamatan masyarakat miskin nelayan ke depan.

Salam
Jakarta, PelitaOnline -- MASYARAKAT miskin di pesisir jumlahnya mencapai 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10 ribu desa pesisir. Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad menyatakan bahwa kondisi masyarakat pesisir saat ini sangat memprihatinkan. "Realitanya ada empat persoalan pokok, tingginya tingkat kemiskinan, tingginya kerusakan sumber daya pesisir, rendahnya kemandirian organisasi sosial desa.dan yang terakhir rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan lingkungan pemukiman." ujar Dirjen KP3K di Jakarta, Selasa (13/9). Tercatat pada 2010 angka kemiskinan di 10.639 desa pesisir mencapai 7,8 juta jiwa yang terdapat 10.639 desa Pesisir. Atas dasar realita tersebut, Dirjen KP3K menginisiasi suatu program inovatif untuk memberi spirit bagi kemajuan desa-desa pesisir yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). Sudirman mengatakan, PDPT merupakan wujud intervensi KKP dalam hal menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat. Dari 10.639 desa pesisir baru sekitar 4 ribu desa yang terjangkau program tersebut. "Sasaran dari PDPT ini ada 6.639 Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi lingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim." tambah Sudirman. PDPT menitikberatkan pada coastal village community dimana partisipasi komunitas desa pesisir sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program ini.

(Firdaus/Kamal) read more :http://www.pelitaonline.com/read-nus...-78-juta-jiwa/

PADANG- Hari ini ribuan petani menggelar aksi demonstrasi di sejumlah wilayah di Indonesia dalam rangka hari tani nasional ke-51. Di Padang, Sumatera Barat, ribuan petani memusatkan aksi di di Taman Budaya Padang, jalan Diponegoro. Para petani mengungkapkan keprihatinannya karena masih banyaknya petani miskin di Indonesia. Hingga Maret 2011 kondisi kehidupan para petani di Indonesia masih miskin. Dari sensus pertanian terakhir tahun 2003m, penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa, jumlah tersebut berasal dari petani gurem. Petani gurem ini mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Sementara dari hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) pada tahun 2008 mencatat 15,6 juta jiwa atau 55,1 persen petani gurem, kata Sukardi Bendang, Dewan Pengurus Wilayah SPI Sumatera Barat saat peringatan Hari Tani Nasional ke-51 di Taman Budaya Padang, jalan Diponegoro, Sabtu (24/9/2011). Sukardi mengatakan dari jumlah tersebut, bila setiap kepala keluarga memiliki 3 orang anak saja,

maka jumlah penduduk miskin ini bertambah menjadi 78 juta jiwa. Tingginya angka prosentase petani gurem tersebut jelas menggambarkan ketimpangan agraria begitu besar dan pada akhirnya menyebabkan konflik agraria. Dalam catatan Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2011 ada 2.791 kasus pertanahan, ungkapnya. Kondisi petani ini semakin memprihatinkan karena pertanian di Indonesia secara umum masih subsiten, kepemilikan kepemilikian lahan yangh sempit yang berdampak kepada pendapatan para petani yang rendah. Di satu sisi petani tidak memiliki sertifikat yang biasa digunakan agunan. Dengan kondisi ini menjadikan petani terjebak kepada tengkulak maupun rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Meski kondisi tercekik namun itulah solusinya para petani bisa mendapatkan modalnya dan para rentenir sendiri memberikan kemudahan proses peminjaman, tambah Sukardi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan agraria dan konfliknya, dimana pemerintah berjanji untuk mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melaluhi Program Agraria Nasional (PPAN). Janji itu disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Cilincing, Jakarta Utara pada bulan Januari 2010, ungkap Sukardi. Kemudian janji kedua disampaikan pada bulan September 2010 di istana melalui Staf Khusus Kepresidenan (SKP) Bidang Pangan dan Energi dan SKP Bidang Otonomi Pembangunan Daerah. Bahkan janji ketiga kalinya di sampaikan Kepala BPN pada peringatan hari Tani ke-50 di Istana Bogor bahkan saat itu Kepala BPN mengatakan soal pendistribusian tanah-tanah ke petani sudah dirumuskan pada peraturan pemerintah (PP) tentang reforma agraria. Padahal Indonesia sebagai anggota FAO seharusnya melaksanakan pembaharuan agraria sebagai salah satu rekomendasi dari International Conferrence on Agrarian Reform and Rural Development tahun 2006 di Proto Alegre, katanya. Namun janji tinggal janji pemerintah justru mengeluarkan kebijakan melaluhi berbagai Undanundang yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 5 tahun 1960. Sebagai contoh UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, UU No.18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisi Perpres 67/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan UU No.27/2007 tentang penanaman modal yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan. Dan terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan yang intinya memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya, terang Sukardi. Carut marutnya kondisi pertanian saat ini menurutnya sangat mendesak yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan pembaharuan agraria yang sejatinya adalah upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang dan memungkinkan eksploitas manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan kepada keadilan agraria. Keadilan agraria yang dimaksud adalah dimana dijaminnya tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria oleh segelintir orang. Kemudian didukung dengan kebijakan harga pembelihan hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan petani, ujarnya.

DEFINISI PETANI DAN KLASIFIKASI PETANI


Kesimpulan diskusi: Petani gurem adalah petani kecil yang memiliki luas lahan 0,25 ha. Petani ini merupakan kelompok petani miskin yang memiliki sumber daya terbatas. Petani modern merupakan kelompok petani yang menggunakan teknologi dan memiliki orientasi keuntungan melalui pemanfaatan teknologi tersebut. Apabila petani memiliki lahan 0,25 ha tapi pemanfaatan teknologinya baik dapat juga dikatakan petani modern. Petani primitif adalah petani-petani dahulu yang bergantung pada sumber daya dan kehidupan mereka berpindah-pindah (nomaden). Pertanian adalah proses pengelolaan sumber daya dan adanya proses pemanenan dari hasil pertanian dengan bantuan sinar matahari. Negara Indonesia memiliki penduduk yang 50%nya bermata pencaharian sebagai petani dan dari 100% petani itu 50%nya adalah petani gurem (belum mencukupu kebutuhan rumah tangga karena rata-rata pendapatannya 20000/hari. Buruh tani adalah buruh yang menerima upah karena bekerja di lahan orang lain: secara umum, pendapatannya Rp 8000-15000/ hari. Pertanian terpadu dapat meningkatkan taraf hidup orang banyak. Adapun kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan petani: 1. Kebijakan langsung berupa penigkatan akses, sarana dan prasarana 2. Kebijakan tidak langsung dalam peningkatan sumber daya, dan adanya upaya peningkatan pemerataan 3. Kebijakan khusus yaitu dalam pengembangan pertanian dengan mempelajari kebiasaan masyarakat, penyiapan penduduk miskin untuk melakukan social-ekonomi sesuai dengan budaya setempat. Jadi: Mempertahankan bertani tetap menjadi masalah kehidupan petani gurem dan buruh tani berarti membelenggu kaum miskin pedesaan dalam lingkaran setan kemiskinan Forming is livelihood adalah akar masalah kemiskinan di pedesaan yang harus diberantas Kemiskinan di pedesaan hanya dapat diberantas dengan mengurangi jumlah petani gurem dan buruh tani melalui pengembangan agribisnis atau pertanian dalam arti luas sungguh tepat.

Petani gurem (peasent) adalah kelompok petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, dengan relatif tidak memiliki akses pasar dan regulaisi. Mereka adalah kelompok sosial yang sama dengan kita. Kalau kita menginginkan hidup berkecukupan, mereka pun menghengdaki hidup yang demikian. Tetapi apa hendak dikata, petani gurem selalu dalam keadaan yang ditindas. Tidak

mendapat kesempatan dan bahkan dikebiri lewat struktur sosial yang sangat tirani dan melabrak nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Mereka sah dijadikan ruang percobaan guna kepentingan yang berpunya (the have). Ketika ada produk baru hasil rekayasa bioteknologi transgenik, mereka adalah kelinci percobaan oleh pemilik modal dengan intervensi pemerintah. Lihatlah misalnya kasus kapas transgenik di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Menjadi seorang petani adalah sisi lain dari kehidupan warga negara yang tak mungkin dapat melepaskan diri dari lilitan kemiskinan, cengkraman kesengsaraan, buaian kebodohan dan mirisnya janji yang berbalut kemunafikan. Sejak krisis keuangan yang melanda Indonesia diawal 1997, diperkirakan angka kemiskinan di negeri ini mencapai 28 juta jiwa. Pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat mencapai 37,1 juta jiwa atau sekitar 18,4 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan 55 persen dari penduduk miskin Indonesia adalah petani. Sungguh ironis memang berprofesi sebagai petani di negara bernama Indonesia. Mana harga tidak pernah beranjak dari titik awalnya, lebih hebat lagi karena harga ditentukan oleh pembeli, bukan penjual atau yang punya produk. Para petani dengan cucuran keringat, banting tulang demi mencari sesuap nasi guna menyambung hidup. Mereka (petani gurem) bekerja dengan sangat bersahaja penuh dedikasi. Tetapi gabah mereka hanya dihargai Rp. 800,- per Kg Rp. 1,000,- per Kg. Padahal berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2002, harga pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan untuk kualitas gabah kering giling sebesar 1,700,- per Kg gabah kering simpan Rp. 1,500,- per Kg dan gabah kering panen Rp. 1,230,- per Kg. Lagi-lagi yang terkena imbas adalah para petani. Sementara disisi lain, banyak pejabat kantoran yang tidak tau apa yang hendak dikerja, kecuali menikmati fasilitas hasil pajak tanah dan bea beras import. Lain lagi dengan bapak-bapak wakil rakyat yang katanya terhormat mereka berkantor digedung mewah dengan serba berkecukupan, melakukan negosiasi proyek dan membagibagi kue di komisinya masing-masing. Cuman dengan menelepon kiri kanan mereka sudah berkantong tebal dan pulan dengan katanya rezeki yang halal. Para pengantor itu dengan mudah mendapatkan apa yang dia kehendaki. Mau safari ada, mobil dinas, fasilitas laptop, dan bahkan mungkin sampai fasilitas pakaian dalam ada. Membandingkan kehidupan petani gurem dengan mereka para pengantor, pengacara, pekerja politik adalah hal yang salah dan tidak tepat. Ibarat langit dengan bumi. Sangat jauh perbedaannya. Sementara pak tani hanya mampu mengakses makanan seperti roti tawar dan yah sekedar mengisi perut agar bisa bertahan hidup. Itulah makanan pak tani sehari-hari. Tidak pandang apakah layak gizi dan sehat secara medis. Lain halnya dengan para pengantor, apalagi yang ada digedung Rakyat mekera dengan sangat surplus sehingga bisa membiayai dan menghidupi para tim sukses dan aktivis penjual idealisme dengan sangat mewah.

Memang petani dan pertanian di negeri kita mengalami tragedi yang sungguh luar biasa. Meminjam istilahnya Agus Pakpahan (2004) bahwa petani kita saat ini sedang menjerit, mengeluh kecewa, dan duka. Semua bercampur, menyatu dalam kemiskinan dan keterbelakangan yang entah sampai kapan harus berakhir. Bayang-bayang psikologis yang dialami massa rakyat (buruh, petani dan nelayan) akibat malapraktek developmentalisme rezim otoriter Orde Baru belum usai. Kita pun disuguhkan dengan kenyataan global berupa neoliberalisme dibidang pertanian yang sungguh menista dan menohok bayangan kesejahteraan petani gurem. Betapa tidak Agreement on Agriculture (AOA) yang disepakati dalam World Trade Oragnization (WTO) kemudian diterapkan di Indonesia yang berakibat pada pengaturan semua subyek pertanian kita (dikecualikan untuk perikanan) (Bonnie Setiawan, 2003). Itu satu persoalan, bagaimana dengan harga dan tata niaga beras yang tidak pernah menguntungkan petani, bagaimana persoalan pasar bagi komoditas pangan lainnya, bagaimana dengan beras import, regulasi dibidang pertanian, gula import, pencabutan subsidi pupuk yang berakibat pada mahalnya harga pupuk dan seribu satu macam soal tentang pertanian kita. Harapan perubahan Akumulasi semua persoalan diatas, merupakan kenyataan obyekti bidang pertanian. Terbentuknya Kabinet Persatuan Nasional dengan mentri pertanian Anton Apriantono memunculkan sebersit harapan akan wajah baru pertanian Indonesia masa depan. Dipundaknya dititip harapan begitu besar untuk membenahi persoalan-persoalan pertanian. Paling tidak, ada komitmen sungguh-sungguh dari pemerintah untuk melihat kenyataan petani gurem yang sugguh jauh dari kesejahteraan disebabkan karena ketidak mampuan akses pada banyak hal. Kedepan orientasi dan arah pembangunan pertanian kita tidak lagi mengutamakan bagaimana mencapai produksi tinggi. Tetapi bagaimana menciptakan ruang yang adil, yang memungkinkan petani gurem memiliki akses terhadap sumber daya (resources). Oleh karena itu hemat penulis ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah bersamasama dengan masyarakat. Pertama, bagaimana pemerintah (kementrian pertanian) melakukan inventarisasi problem dan permasalahan ditingkat petani. Sebab tidak mungkin dilakukan strategi pembangunan buta-buta. Dan karenanya akan sangat sulit memformulasi kebijakan apa harus dilakukan. Disinilah pentingnya inventarisasi permasalahan. Sebab mengambil kebijakan tidak hanya dibutuhkan keberanian. Akan tetapi juga dibutuhan analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional dan fungsional. Kedua, melindungi petani. Apa artinya? Bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan warganya (petani) dari kemiskinan, keterbelakangan dan lainnya. Perlindungan berarti juga memberikan perhatian dan keberpihakan yang secara rill dan kongkret dalam aturan main yang memungkinkan adanya ruang akses bagi petani gurem. Ini penting, sebab dengan adanya akses petani kepihak perbankan, misalnya, akan memberikan tambahan modal bagi petani untuk mengusahakan komoditasnya. Disinilah para wakil rakyat yang terhormat

diuji keberpihakannya. Apakah serius, betul-betul menjadi wakil rakyat yang memperhatikan daerah pemilihannya. Sehingga dengan adanya aturan main (rull of the game) baik beru keputusan presiden, instruksi presiden atau peraturan daerah yang mempu menjadi payung bersama dan ikatan bagi pemangku stakeholder. Sehingga ruang akses petani gurem mampu diakomodir dengan demikian adalah sebuah langkah maju dan berarti bagi kelangsungan hidup ratusan ribu petani gurem di polosok tanah air Wallahu Alam Bisshawab. (pernah dimuat di Tribun Timur, 31 Januari 2005) Twitter | Facebook PANDANGAN & SIKAP SERIKAT PETANI INDONESIA MENYAMBUT HARI TANI NASIONAL 24 SEPTEMBER JAKARTA. Pada tanggal 24 September tiap tahunnya diperingati dengan suka cita oleh kaum tani Indonesia. Inilah harinya petani Indonesia, pada hari itu ditetapkan Undang-Undang N0. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang dikenal dengan UUPA 1960) yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Kelahiran UUPA inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno No 169/1963, menandakan bagaimana pentingnya peran dan posisi petani sebagai tulang punggung bangsa. Sekarang 51 tahun sudah Hari Tani Nasional, ditengah situasi pertanian dan kehidupan diperdesaan tidak mengalami kemajuan berarti. Kemiskinan, kelaparan, konflik agraria serta infrastruktur yang tidak memadai merupakan hal yang lazim dialami sampai kini. Petani Indonesia tetap berharap untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera. Karena secara relnya telah tersedia dalam politik agraria UUPA 1960 yang berakar pada kesadaran atas realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Keberanian dan keberpihakan pemerintah adalah kuncinya. Situasi pertanian dan perdesaan tergambar secara resmi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bahwa per Maret 2011 masih ada 30.02 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi penduduk miskin pedesaan sebanyak 18.97 juta jiwa dan 11.05 juta penduduk miskin perkotaan. Jumlah penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilah kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah Kepala keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa (53.9% KK Petani) dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa (55.1%). Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Tingginya angka prosentase petani gurem tersebut juga menggambarkan betapa ketimpangan agraria begitu besar yang pada akhirnya telah dan akan menyebabkan ratusan konflik agraria. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.

Dari sisi jumlah tenaga kerja di bidang pertanian, BPS (2011) mencatat jumlah tenaga kerja pertanian sekitar 42.47 juta jiwa sebagai penyumbang tertinggi jumlah tenaga kerja Indonesia. maka hal ini dapat diartikan hasil jerih tenaga kerja mereka belum dapat mengangkat dari jurang kemiskinan. Lebih dari itu kemiskinan pedesaan dan pertanian tersebut juga menampakkan masa depan yang suram ditinjau dari jumlah petani muda sebagai generasi penerus orang tua petani mereka. Hasil penelitian Perhimpunan Sarjana Petani Indonesia menunjukkan ketersediaan petani pada saat ini di lumbung-lumbung pertanian didominasi oleh struktur usia di atas 45 tahun. Krisis petani muda terjadi di Cianjur ( Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi (2011). Pertanian di Indonesia secara umum masih subsisten, dimana kepemilikan lahan yang sempit yang berdampak kepada pendapatan yang rendah. Pada sisi lain petani juga tidak memiliki sertifikat yang biasa digunakan untuk agunan. Situasi ini menjadikan petani selalu terjebak kepada tengkulak maupun rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Hal ini menjadi solusi walaupun petani tercekik, karena para tengkulak maupun rentenir memberikan kemudahan dalam proses kredit. Untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan agraria dan konflik agraria, pemerintah berjanji mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melalui Program Pembaruan Agraria nasional (PPAN). Janji tersebut disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara bulan Januari 2010. Untuk kedua kalinya janji tersebut disampaikan pada bulan September 2010 di Istana melalui Staff Khusus Presiden (SKP) Bidang Pangan dan energi dan SKP bidang otonomi dan pembangunan daerah. Untuk ketiga kalinya janji diungkapkan pada bulan Oktober dalam peringatan Hari Tani Nasional ke 50 di Istana Bogor. Bahkan menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini sudah dirumuskan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Reforma Agraria. Lebih dari itu sebagai anggota FAO, Indonesia juga seharusnya melaksanakan pembaruan agraria sebagai salah satu rekomendasi dari International Conferrence on Agrarian Reform and Rural Development pada tahun 2006 di Porto Alegre. Aih-alih menjalankan Janji-janji tersebut di atas pemerintah justru mengeluarkan kebijakan negara melalui berbagai undang-undang berikut turunannya yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 5 tahun 1960. Sebagai contohnya adalah Undang-undang No. 7/2004 tentang sumber daya air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, Undang-Undang No. 18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum (sekarang sedang dibahas RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan), dan UndangUndang No. 25/2007 tentang penanaman modal, yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan. Terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan (food estate), yang intinya adalah memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi besar untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya. Dengan situasi seperti diatas, menata ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria yang terjadi, maka sangat mendesak bagi Indonesia untuk melaksanakan Pembaruan Agraria yang Sejati, yakni suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan kepada keadilan agraria. Keadilan agraria yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana dijaminnya tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria pada segelintir orang. Kemudian didukung dengan kebijakan harga pembelian hasil produksi

pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan bagi petani. Disamping itu memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang mempercepat pembangunan perdesaan dan mendukung pertanian rakyat. Sikap dan tuntutan: Pada Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke 51 ini kami mendesak dan menuntut kepada Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, Kementrian Pertanian, Kementrian Negara BUMN, Kementrian Kehutanan, Kementrian Koperasi dan UKM, Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian RI dan DPR RI, agar: 1. Terus mempertahankan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945. 2. Segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945. 3. Segera selesaikan konflik-konflik agraria dengan membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. 4. Memberikan perlindungan dan memenuhi hak petani atas akses terhadap sumbersumber agraria, benih, pupuk, tekhnologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera mebuat Undang-Undang Hak Asasi Petani, dan RUU Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang saat ini sedang di bahas di DPR RI. 5. Mencabut undang-undang yang tidak memihak kepada Petani, antara lain; UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, UU No. 18/2004 tentang perkebunan, dan UU 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang banyak mengkriminalkan petani. 6. Hentikan pembahasan tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena RUU tersebut potensial digunakan oleh pihak-pihak swasta asing maupun nasional untuk menjadikan tanah sebagai komoditas dan menghidupkan spekulan tanah. 7. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri. 8. Menyusun Visi Pembangunan Pertanian Indonesia menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi pertanian dan pangan (food estate) yang sedang berlangsung saat ini. 9. Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor. 10. Menempatkan koperasi-koperasi petani, usaha-usaha keluarga petani, dan usahausaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk-produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar.

11. Meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksnakan kembali program Go organik 2010 untuk masa-masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip agro ekologis. 12. Memberikan peran yang lebih luas kepada petani untuk serta dalam proses implementasi pembangunan yang dilaksakan oleh pemerintah dengan meninjau ulang Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. 13. Mencabut pembebasan impor bea masuk ke w:st=onIndonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil rekayasa genetika (GMO). Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan. 14. Harus adanya kepastian perlindungan sosial, menjamin pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah. Menghapuskan UU No.13/2004 yang tidak menjamin kesejahteraan buruh industri dan juga di bidang pertanian dan perkebunan. 15. Pemerintah Indonesia dengan segera membuat program khusus menyediakan pangan bagi rakyat miskin, dengan mengutamakan makanan bagi para ibu hamil, menyusui, juga bagi perempuan-perempuan yang berstatus janda, dan tidak memiliki pekerjaan dan juga bagi anak-anak balita. 16. Menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik oleh BPS, Kementerian perdagangan dan Kementerian Pertanian yang akibatnya mengeluarkan kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum. Rangkaian Peringatan Hari Tani Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) 1. Aksi demontrasi ke Kementrian Negara BUMN di Jakarta tanggal 14 September 2011 terkait penyelesaian konflik agraria petani dengan PTPN dan Perhutani 2. Dialog dengan Redaksi Media massa, Radio dan Televisi pada tanggal 19-23 September di Jakarta 3. Silaturahmi dan Halal bil Halal di Sekretariat DPP SPI Jakarta pada tanggal 20 September 2011 4. Diskusi Publik terkait RUU Pengadaan tanah untuk Pembangunan oleh Panitia Bersama HTN (KARAM TANAH) di Gedung Joang 1945 Jakarta pada tanggal 21 September 2011 5. Diskusi Media dengan tema Laksanakan Segera Pembaruan Agraria Sejati Untuk Kedaulatan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan di Jakarta pada tanggal 22 September 2011, Serikat Petani Indonesia (SPI), bersama Aliansi Petani Indonesia (API), dan Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI) 6. Aksi Demontrasi Nasional pada puncak perayaan Hari Tani Nasional di Istana Presiden Jakarta pada tanggal 24 September 2011 7. Perayaan ratusan ribu petani di seluruh wilayah anggota SPI di Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 2426 September 2011. 8. Aksi Demontrasi puluhan ribu petani di Istana Presiden Jakarta dengan panitia bersama Peringatan HTN pada tanggal 26 september 2011.

Demikianlah pandangan, dan sikap, serta tuntutan yang disampaikan, semoga dapat menjadi pegangan dalam memperjuangkan kaum tani dalam rangkaian memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang ke 51. Dirgahayu UUPA No. 5 tahun 1960, Selamat Ulang Tahun Petani Indonesia.

Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI). Henry Saragih (Ketua Umum) Petani dan Jerat Kemiskinan Sabtu, 15 Oktober 2011 03:17 Hari Tani Nasional pada 24 September baru saja berlalu. Tapi masih banyak persoalan yang menggantung. Sejumlah organisasi tani memperingatinya dengan berbagai acara. Ada organisasi tani yang menggelar demontrasi sebagai wujud kepedulian, ada pula yang melakukan diskusi membedah persoalan yang dihadapi petani. Di Sumatera Barat, peringatan Hari Tani ini diisi dengan menggelar diskusi. Dimotori oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar bersama Kontak Tani Nelayan Indonesia (KTNA) Sumbar mengadakan diskusi bertema Revitalisasi Budaya Pertanian Berbasis Lokal untuk Kesejahteraan Masyarakat di Sumatera Barat Dalam berbagai acara memperingati Hari Tani Nasional, isu yang paling menonjol disebutkan adalah masih tingginya kemiskinan dikalangan petani. Petani masih menjadi kelompok terbesar yang hidup dalam kemiskinan di Indonesia. Ketua SPI Sumbar, Sukardi Bendang menyebutkan, jumlah petani miskin di Indonesia mencapai 27 juta jiwa. Jika masing petani menanggung 3 orang anak, maka diproyeksi kemiskinan petani di Indonesia mencapai 87 juta jiwa, suatu angka yang sangat tinggi. Tidak hanya di Indonesia, di Sumatera Barat angka kemiskinan petani juga tertinggi dibanding kelompok masyarakat lain. Data BPS tahun 2009 mencatat Jumlah keluarga petani di Sumbar sebanyak 639.700 rumah tangga atau 60,8 persen. Sebagian besar keluarga petani masih hidup dalam kubangan kemiskinan karena rata-rata ratio pekerjaan 1,8 dengan kepemilikan lahan yang kecil dibawah 0,3 ha. Jerat Kemiskinan Cukup banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan masih melilit petani. Dari sekian banyak hal yang membuat petani semakin miskin, menurut penulis semuanya itu berujung pada dua persoalan utama sebagai penyebab mengapa kemiskinan tetap menjerat petani. Pertama adalah masalah kepemilikan tanah yang sedikit dan kedua persoalan harga yang tidak menguntungkan buat petani. Tanah atau lahan merupakan faktor yang paling utama dalam bertani. Tanpa ada lahan, pertanian tidak mungkin dilakukan. Ada pun lahan, kalau luasnya tidak mencukup atau tidak

sesuai dengan skala ekonomi, dipastikan usaha pertanian tidak akan menguntungkan petani. Inilah sesungguhnya yang menjadi satu persoalan petani di Indonesia. Kepemilikan lahan pertanian petani di Indonesia rata-rata hanya 0,3 Ha per keluarga tani. Dengan lahan seluas itu, jelas sulit sekali buat petani mengangkat taraf hidupnya. Bagaimana pun kerasnya, ia berusaha, apapun komoditi yang dikembangkan, tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi kebutuhan hidup terus meningkat seiring bertambahnya ragam kebutuhan. Kepemilikan lahan petani semakin lama semakin menurun seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkat kegunaan lahan untuk sektor non pertanian. Persoalan ini makin berkelindan ketika , banyak lahan petani yang berpindah tangan, baik yang disebabkan karena tekanan ekonomi sehingga petani terpaksa menjual lahannya, maupun karena lahan tersebut tidak produktif lagi karena suatu sebab seperti hilangnya sumber air atau ketiadaan irigasi. Ironinya, disatu sisi petani begitu mudah kehilangan lahan, disisi lain sekelompok pengusaha begitu mudah mendapatkan lahan. Tidak tanggung, satu korporat besar di Indonesia, seperti perusahaan perkebunan bisa menguasai ratusan ribu ha lahan. Untuk meningkatkan kepemilikan lahan ini, pemerintah memang meluncurkan program reforma agraria. Melalui Program Agraria Nasional, pemerintah berjanji akan membagi tanah-tanah terlantar kepada petani atau rakyat miskin yang tidak memiliki tanah. Tujuannya tentu agar petani miskin yang tidak berlahan kembali memiliki lahan. Sayangnya, janji pemerintah yang telah disampaikan pada beberapa kesempatan itu hanya tinggal janji. Sampai saat ini belum ada tanah-tanah yang dibagikan pada petani. Lebih menyakitkan, pemerintah justru menerbitkan undang-undang yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA No 5 Tahun 1960 yang memberi kesempatan kepemilikan tanah yang cukup luas untuk petani. Undang-undang itu diantaranya UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, UU No.18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisi Perpres 67/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan UU No.27/2007 tentang penanaman modal yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan. Terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan yang intinya memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya. Masalah kedua yang terus menjerat petani dalam kubangan kemiskinan adalah soal harga komoditi pertanian. Dalam tata niaga hasil pertanian, petani adalah kelompok yang paling dirugikan dalam masalah harga. Tidak saja karena harga yang tidak menguntungkan, petani merupakan kelompok yang paling sedikit menikmati pertambahan nilai dari hasil pertanian. Keuntungan terbesar justru dinikmati kelompok pedagang, apakah itu pedagang pengumpul, pedagang besar atau pengecer. Padahal untuk menghasilkan suatu produk pertanian, petani harus menunggu dalam waktu yang cukup lama agar bisa menikmati hasil pertanian. Itupun harus menghadapi resiko kegagalan, baik karena serangan hama, iklim yang tidak menentu, kekurangpahaman teknis berbudidaya dan tidak tersedianya sarana produksi. Sementara, para pedagang, dalam hitung jam, dalam tata niaga hasil justru bisa menerima keuntungan yang kadang nilainya bisa dua

kali lipat dari keuntungan yang dinikmati petani. Posisi sebagai produsen utama suatu komoditi pertanian pun tidak menjamin kalau keuntungan yang besar buat petani. Inilah yang terjadi dengan komoditi gambir dan kulit manis di Sumatera Barat. Betapa tidak, meski petani Sumbar menguasai hampir 70 persen produksi gambir, namun harga ini tetap gonjang-ganjing, bahkan petani gambir lebih sering terpekik karena anjloknya harga. Pemerintah yang diharapkan melindungi petani dalam masalah harga ini terkesan membiarkan petani bertarung sendirian untuk mendapatkan harga yang layak. Tidak ada upaya yang serius dari pemerintah agar petani bisa mendapat porsi keuntungan yang besar dalam tata niaga hasil pertanian. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu pemerintah ikut menekan harga sehingga harga yang tadi justru cukup menguntungkan buat petani anjlok dan kembali merugikan. Kebijakan pemerintah membuka kran impor berbagai produk hasil pertanian seperti impor kentang yang baru ini banyak didemo petani kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah salah satu contoh dari kebijakan pemerintah yang tidak pro pada petani. Dan tidak hanya kentang yang diimpor, beras, garam, jagung, berbagai jenis sayuran bahkan cabe diimpor sehingga menekan harga komoditi itu ditingkat petani. Kebijakan impor ini semakin leluasa, ketika Indonesia yang tergabung dalam negara ASEAN meratifikasi perjanjian kerjasama dengan Cina dalam perjanjian ACFTA dimana berbagai produk pertanian dari negara tirai bambu itu bebas masuk ke ASEAN, termasuk ke Indonesia. Serbuan berbagai produk pertanian dari Cina dan negara-nagara ASEAN sendiri kini sudah sangat terasa menekan harga produk pertanian di Indonesia. Ke depan, kalau ingin melihat petani keluar dari kemiskinan, maka dua persoalan utama tersebut harus terselesaikan. Tanpa ada upaya keras dan tegas keberpihakan terhadap peningkatan kepemilikan lahan dikalangan petani dan memberikan harga komoditas pertanian yang lebih menguntungkan buat petani, sulitnya rasa petani bangkit dari kemiskinan. Petani akan tetap terjerat dalam kubangan kemiskinan.

You might also like