You are on page 1of 437

PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU Studi Kasus di PT Gula Putih Mataram SIGIT

PRABAWA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU Studi Kasus di PT Gula Putih Mataram (Precision Farming Approach in N, P, and K Fertilization of Sugar Cane Cultivation: Case Study in PT Gula Putih Mataram) adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2006 SIGIT PRABAWA Nrp. 995102/TEP

ABSTRAK SIGIT PRABAWA. Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu: Studi Kasus di PT Gula Putih Mataram. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA, I WAYAN ASTIKA, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN dan ERNAN RUSTIADI. Pada umumnya kegiatan pemupukan tidak memperhatikan keragaman spasial kesuburan tanah yang ada. Hal ini dapat menyebabkan pemborosan pupuk, penurunan produktivitas, peningkatan biaya produksi, penurunan keuntungan, dan dampak negatif pada lingkungan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pendekatan precision farming. Penelitian-penelitian tentang precision farming , termasuk dalam hal pemupukan, sudah banyak dilakukan dengan menggunakan beberapa tool seperti geostatistika, artificial neural network, sist em informasi geografis, dan sistem pendukung keputusan. Namun demikian penelitian yang ada masing-masing hanya menggunakan satu tool atau gabungan di antara tool tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan keempat tool tersebut. Penelitian ini mempunyai tujuan: a) menganalisa keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K di dalam petak lahan tebu; b) menganalisa keragaman spasial produktivitas di dalam petak lahan tebu; c) menentukan kebutuhan jumlah hara N, P, dan K pada target hasil tebu (yield) dan kadar gula yang diharapkan; serta d) membuat piranti lunak sistem pendukung keputusan untuk pendekatan precision farming dalam pemupukan pada budidaya tebu. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2002 Juli 2003 di perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram, Wilayah Mataram Udik, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Plot-plot percobaan digunakan untuk tiga jenis pemupukan, yaitu: a) pemupukan dengan dosis berdasarkan rekomendasi pustaka, b) pemupukan dengan dosis berdasarkan target produktivitas, dan c) pemupukan dengan dosis seragam. Setiap plot percobaan dibagi dalam grid-grid. Penentuan dosis pupuk berdasarkan analisa tanah dan daun. Pengambilan sampel tanah dan daun dilakukan dengan metode grid center. Aplikasi pupuk dilakukan secara manual. Pemupukan dan pupuk yang digunakan adalah pemupukan pertama (Urea + TSP) dan pemupukan kedua (Urea + KCl). Pengamatan pertumbuhan vegetatif dilakukan terhadap jumlah anakan, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan persentase gap. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap jumlah tebu roboh, kadar air tanah, persentase penutupan gulma, serta tingkat serangan hama dan penyakit tanaman. Hasil tebu tidak ditentukan dari pemanenan tetapi berdasarkan taksasi. Perangkat lunak Backpro2N, GS+ for Windows, Surfer 8, dan ArcView 3.3 digunakan untuk mendukung perangkat lunak yang dibuat dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K dapat menurunkan tingkat keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K serta menurunkan tingkat keragaman spasial pr oduktivitas lahan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan hara mempunyai keragaman spasial cukup rendah sedang untuk N, serta cukup rendah cukup tinggi untuk P dan K. Sedangkan produktivitas lahan mempunyai keragaman spasial rendah agak rendah. Sistem pendukung keputusan yang sudah dibangun (STRAFERT-PF) dapat digunakan untuk: a) menentukan taksasi tebu; b) menentukan kebutuhan

jumlah hara N, P, dan K pada target hasil tebu (yield) dan kadar gula yang diharapkan; c) menentukan dosis pupuk; d) melakukan analisa keragaman spasial; e) membuat peta informasi lahan; dan f) melakukan analisa biaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dengan pendekatan precision framing dapat menekan pemborosan penggunaan pupuk 53.47% untuk Urea, minimal 86.96% untuk TSP; meningkatkan produktivitas 7.6 10.7%; dan meningkatkan keuntungan 1.09%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemupukan dengan pendekatan precision framing dapat menekan pemborosan penggunaan pupuk yang berlebihan untuk KCl dan meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman.

ABSTRACT SIGIT PRABAWA. Precision Farming Approach in N, P, and K Fertilization of Sugar Cane Cultivation: Case Study in PT Gula Putih Mataram. Under the direction of BAMBANG PRAMUDYA, I WAYAN ASTIKA, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, and ERNAN RUSTIADI. In general, fertilization practice in sugar cane plantation does not consider sp atial variability of soil fertility. The implications of this practice are wasting of fertilizer, decreasing productivity, increasing production cost, decreasing profit, and givi ng negative impact to the environment. This problem can be solved with application of precision farming approach. Many researches on precision farming, including fertilization activity, have been using many tools like geostatistics, artificia l neural network, geographical information system, and decision support system. Nevertheless, those researches just use one tool or combination of two or three tools. This research was done by combining all of the fourth tools. The objectiv es of this research are: a) analyzing spatial variability of nutrient content of N, P, and K in sugar cane field; b) analyzing spatial variability of productivity in sugar cane field; c) determining N, P, and K requirement at a certain target of yield and sugar co ntent; and d) developing decision support system software to support N, P, and K fertilization based on precision farming approach. The research was conducted fr om April 2002 until July 2003 in PT Gula Putih Mataram sugar cane plantation, Matar am Udik District, Central Lampung Regency, Lampung Province. The experiment used three treatments of fertilization namely: a) dosage based on the literature refe rence, b) dosage based on productivity target, and c) uniform dosage. Every block of experimental plot was divided into grids. The determination of fertilization dos age are based on the soil and leaf analysis. Soil and leaf samples were taken with g rid center method. Applications of fertilizer were done manually. Fertilizers used w ere Urea + TSP for basic fertilization and Urea + KCl for second fertilization. The observation of vegetative growth was done on stem population, height of plant, diameter of stem, total number of leaf, and gap percentage. Besides, total numbe r of sugar cane lodge, soil water content, percentage of covering weeds, and level of plant disease attack were observed. Yield is not determined from actual harvest yield but was predicted based on plant population and stem height. Backpro2N, GS+ for Windows, Surfer 8 and ArcView 3.3 were employed for software development. This research showed that precision farming approach in fertilization of N, P, and K could push the spatial variability of nutrient content and productivity. It also showe d a

moderately low to moderate spatial variability for N and moderately low to moderately high spatial variability for P and K. Land productivity has low to ra ther low spatial variability. Decision support system that has been built (STRAFERT-P F) can be used to: a) predict yield; b) determine N, P, and K requirement at a cert ain target of yield and sugar content; c) determine fertilizer dosage; d) analyze sp atial variability; e) make field information map; and f) perform cost analysis. The re sult of this research showed that fertilization with precision farming approach could push the percentage of wasting fertilizer up to 53.47% for Urea and at least 86.96% f or TSP; increased productivity 7.6 10.7%, and increased profit 1.09%. It also showe d that fertilization with precision farming approach could push excessive fertiliz er for KCl and increase the plant vegetative growth.

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU Studi Kasus di PT Gula Putuh Mataram SIGIT PRABAWA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Teknik Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Judul Disertasi : Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu: Studi Kasus di PT Gula Putih Mataram NamaNRP : Sigit Prabawa : 995102 Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. Dr.Ir. I Wayan Astika, M.Si. Ketua Anggota Dr.Ir. Ra dite Praeko Agus Setiawan, M.Agr. Anggota Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 6 Juli 2006 Tanggal Lulus: 2006

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian di lapang yang telah dilakukan sejak 22 September 2002 sampai dengan 12 September 2003 di PT Gula Putih Matar am Lampung Tengah ini ialah precision farming, dengan judul Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu: Studi Kasus di PT Gula Putih Mataram . Terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M. Eng.; Bapak Dr.Ir. I Wayan Astika, M.Si.; Bapak Dr.Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr; dan Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan penguji yang telah banyak memberikan saran. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Bapak Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB) dan Bapak Dr.Ir. Gunawan Sukarso, M.Sc. (Direktur PT Tjandi Sewu Baru / Mantan Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis haturkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB / Dekan Fakultas Pertanian IPB) selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yang telah memberikan beasiswa melalui program BPPS. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pimpinan dan segenap jajaran PT Gula Putih Mataram yang telah memberikan fasilitas penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, a tas segala do a, pengorbanan, perjuangan, dorongan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2006 Sigit Prabawa

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1964 sebagai anak ke-4 (bungsu) dari pasangan Hendro Subardjo (almarhum) dan Sardjuni Siti Ngatidjah (almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1995, penulis diterima untuk program magister di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 1999. Bidang keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah sistem dan manajemen mekanisasi pertanian. Penulis menikah dengan Sukarni, S.Pt. pada tanggal 11 Februari 1997 dan telah dikaruniai dua anak perempuan bernama Tresti Wikan Ayu Prabawarni (Yogyakarta, 26 November 1997) dan Khansa Pinka Daniswara (Yogyakarta, 30 Maret 2004). Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Teknik Pertanian. Karya ilmiah berjudul Analisis Keragaman Spasial Unsur Hara Tanah Makro Primer melalui Analisis Semi-variogram telah disajikan pada Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Teknik Pertanian di Yogyakarta pada bulan Desember 2005. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Analisis Keragaman Spasial Unsur Hara Tanah Makro Primer melalui Analisis Semivariogram pada Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Teknik Pertanian Tahun 2005. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang Lingkup Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu Pemupukan Precision Farming Sistem Informasi Geografis Sistem Pendukung Keputusan Geostatistika Neural Network Penelitian Terdahulu METODOLOGI Analisa Kebutuhan Formulasi Masalah Identifikasi Sistem Pemodelan Tata Laksana Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian Pendahuluan Keragaman Spasial Peta Informasi Laha n Sistem Pendukung Keputusan Analisa Pertumbuhan Vegetatif Analisa Biaya SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA xii ... xiv ... xx ... 1 . 1 8 .. 8 ... 8 . 9 9 .. 19 ... 35 . 50 . 54 64 ... 85 87 .. 93 .. 93 .. 94 ... 94 .... 97 ... 111 .. 152 .. 152 .... 159 .. 164 .. 193 ... 221 .. 232 ... 251 ......... 256 .. 259

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ .......... 274 LAMPIRAN . 277

DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap komposisi vegetatif tanaman tebu ... 17 2 Kandungan hara daun standar . 24 3 Kandungan hara daun standar ............................. 24 4 Kandungan hara daun standar . 25 5 Faktor koreksi hasil analisa daun 25 6 Teknik dan metodologi kesisteman . 61 7 Tabulasi nilai estimator dan bobot kriging dari Gambar 45 85 8 Harga analisa laboratorium .. 107 9 Harga pupuk 108 10 Deskripsi plot percobaan . 122 11 Standar umum klasifikasi keragaman spasial .. 126 12 Standar khusus klasifikasi keragaman spasial untuk 11 kelas ... 127 13 Data training untuk program komputer penentuan dosis pupuk ArtificialNeural Network dengan metode back-propagation 128 14 Hubungan antara tekstur tanah dan berat jenis tanah .. 129 15 Nilai ttabel untuk uji beda nyata dengan one sample t-test ....... 140 16 Tabulasi analisa data ... 143 17 Luas areal tanam dan produksi PT Gula Putih Mataram Tahun 1984 2002 . 154 18 Hasil analisis tanah PT Gula Putih Mataram Tahun 1998 2001 155 19 Deskripsi varietas tebu yang ditanam di PT GPM .. 157 20 Data produksi beberapa petak lahan tebu di PT GPM, PT SIL, dan PT ILP Tahun 1993 2002 ................................ 158 21 Produktivitas lahan tebu Blok TU 1/14 PT GPM Tahun 2001 159 22 Standar penggolongan kandungan hara tanah di PT Gula Putih Mataram ........................................................................... ... 161 23 Standar hara daun di PT Gula Putih Mataram ........ 162 24 Dosis pupuk yang di terapkan di PT GPM, PT SIL, dan PT ILP Tahun 1988 2002 . 163 25 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara tanah N, P, dan K ... 169 26 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara daun N, P, dan K ............... 172 27 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah anakan tebu ............... 174 28 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah anakan daun hijau ... 175 29 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah anakan daun kering ... 176 30 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial tinggi tebu ................................ 177 31 Parameter semi-variogram dan klasifika si keragaman spasial diameter tebu ............................ 178

32 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial persentase gap .......................... 179 33 Parameter semi -variogram dan klasifikasi kera gaman spasial kadar air tanah .................................... 180 34 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah tebu roboh ................ 180 35 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot biomassa tebu ........................... 181 36 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial persentase penutupan gulma ............................. 182 37 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot tebu ........................................... 183 38 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot nira ............................................ 183 39 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial nilai Brix .......................................... 184 40 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial kadar gula ........................................... 184 41 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial nilai Purity ......................................... 185 42 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial rendemen tebu .......................... 185 43 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial taksasi ....................................... 186 44 Perbedaan kebutuhan pupuk dan tingkat inefisiensi pemupukan 210 45 Deskripsi statistik rendemen dan taksasi setiap plot percobaan .. 250 46 Analisa biaya 252

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Komposisi vegetatif tanaman tebu umur 12 bulan varietas 37-1933 15 2 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu di Jawa . ... 16 3 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu . 16 4 Pengaruh potensi lahan terhadap hasil tebu dengan cara pemupukan .. 21 5 Nomograf tanah untuk penentuan dosis pupuk .. 27 6 SPAD Chlorophyll Meter .... 29 7 Hubungan dan interaksi antara hara N, P2O5, dan K2O dalam daun . 31 8 Respon tanaman gandum beririgasi dan tanpa irigasi terhadap Aplikasi nitrogen . 35 9 Interaksi dalam Precision Farming . 38 10 Siklus proses dalam precision farming ... 39 11 Transfer data dalam pemantauan hasil dan sistem pemetaan . 39 12 Mesin pemanen pengumpul data hasil untuk pemetaan .. 40 13 Pengambilan sampel tanah berdasarkan grid .. 41 14 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid center . 41 15 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid cell . 42 16 Alternatif pola pengambilan sampel tanah pada metode grid cell ... 42 17 Pengambilan sampel tanah pada soil type sampling ... 43 18 Soil Doctor dengan coulter pengindera .. 46 19 Sistem VRA pada aplikator pupuk butiran model GS-MPV 8 modifikasi 47 20 Sensor lengas tanah pada varia ble-depth planter ... 47 21 Sistem pemantauan hasil panen tanaman butiran ... 50 22 Konsep Sistem Informasi Geografis .. . 51 23 Komponen Sistem Informasi Geografis .. 51 24 Komponen utama perangkat keras SIG .. 52 25 Tahapan Pendekatan Sistem .. .. 55 26 Alur pikir kesisteman .. 60 27 Struktur dasar Sistem Pendukung Keputusan .. ... 63 28 Semi-variogram grid ... 66 29 Ilustrasi semi-variogram . 68 30 Ilustrasi plot data, lag distance, dan arah semi-variogram . 68 31 Bentuk-bentuk semi-variogram .. 71 32 Ilustrasi tingkat struktur spasial .. 72 33 Plot data nilai kalor .. 73 34 Ilustrasi kriging dengan 5 sampel untuk estimasi 74 35 Ilustrasi kriging dengan 5 sampel untuk estimasi 76 36 Ilustrasi dua semi-variogram dengan sill berbeda ... 80 37 Hasil kriging dari semi -variogram denga n sill 20 (a) dan sill 10 (b) 80 38 Ilustrasi dua semi-variogram dengan bentuk berbeda ... 80

18 39 Hasil kriging dari semi -variogram dengan bentuk eksponensial (a) Gaussian (b) . 81 40 Ilustrasi dua semi-variogram dengan nugget effect berbeda ... 81 41 Hasil kriging dari semi -variogram tanpa nugget effect (a) dan dengan nugget effect 10 (b) .. 81 42 Ilustrasi dua semi-variogram dengan range berbeda ... 82 43 Hasil kriging dari semi -variogram dengan range 10 (a) dan range 20 (b) 82 44 Ilustrasi dua semi-variogram dengan arah berbeda ..... 82 45 Hasil kriging dari semi -variogram dengan isotropic (a) dan isotropic (b) . 83 46 Ilustrasi kriging blok dan kriging titik . 84 47 Diagram neural network . 86 48 Diagram lingkar sebab-akibat pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu . 95 49 Diagram masukan-keluaran pendeka tan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu . 96 50 Kerangka sistem pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu . 97 51 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan untuk pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu .. 98 52 Ilustrasi plot regionalized variable . 100 53 Arah semi -variogram . 100 54 Semi-variogram .. 101 55 Hubungan pemberian jumlah hara N dan P dengan hasil tebu dan kadar gula pada pemupukan pertama . 101 56 Konfigurasi model neural network untuk pemupukan pertama pada budidaya tebu dengan konsep dosis seragam .. . 102 57 Hubungan pemberian jumlah hara N dan K dengan hasil tebu dan kadar gula pada pemupukan kedua dengan konsep dosis seragam . 103 58 Konfigurasi model neural network untuk pemupukan kedua pada budidaya tebu .... 104 59 Diagram alir tata laksana penelitian . 112 60 Petak-petak lahan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS . 116 61 Petak lahan untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF ..... 117 62 Pembuatan sel-sel di dalam plot percobaan . 118 63 Pemetaan plot percobaan . 118 64 Pembagian sel pada Plot Percobaan A-PF ... 119 65 Pembagian sel pada Plot Percobaan B-PF .. 120 66 Pembagian sel pada Plot Percobaan C-DS .. 121 67 Pembagian sel pada Plot Percobaan D-DS .. 122 68 Pembagian sel pada Plot Percobaan E -PF ... 123 69 Alur tanam ganda (double row planting) . 124 70 Titik pengambilan sampel tanah pada setiap sel .. 124 71 Pemupukan dasar manual dengan cara tabur ... 129 72 Juringan penga matan pertumbuhan vegetatif pada setiap sel .. 130 73 Pengamatan tinggi tanaman tebu . 132

19 74 Pengamatan jumlah anakan dan persentase gap tebu .. 133 75 Tanaman tebu varietas GP 94-2027 umur 1 bulan ... 133 76 Pengambilan sampel daun 134 77 Pengambilan sampel batang untuk analisa kemasakan dan taksasi .. 136 78 Pengamatan persentase penutupan gulma 137 79 Pengamatan hama dan penyakit tanaman tebu 137 80 Pengambilan sampel biomassa tanaman tebu .. 138 81 Ringkasan diagram alir tata laksana penelitian 143 82 Peta lokasi PT Gula Putih Mataram . 153 83 Semi-variogram kandungan N top soil tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan pertama ............ 187 84 Semi-variogram kandungan N top soil tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan kedua ... 187 85 Semi-variogram kandungan P top soil tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan pertama ............ 188 86 Semi-variogram kandungan P top soil tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan kedua ... 188 87 Semi-variogram kandungan N top soil tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan pertama ........... 189 88 Semi-variogram kandungan N top soil tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan kedua .. 189 89 Semi-variogram kandungan P top soil tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan pertama ........... 190 90 Semi-variogram kandungan P top soil tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan kedua .. 190 91 Semi-variogram Taksasi Awal tebu umur 6.5 bulan pada Plot Percobaan A-PF . ... 191 92 Semi-variogram Taksasi Akhir tebu umur 9.5 bulan pada Plot Percobaan A-PF . ... 191 93 Semi-variogram Taksasi Awal tebu umur 6.5 bulan pada Plot Percobaan C-DS . ... 192 94 Semi-variogram Taksasi Akhir tebu umur 9.5 bulan pada Plot Percobaan C-DS . ... 192 95 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan A-PF 195 96 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan B-PF 195 97 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan C-DS 196 98 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan D-DS ... 196 99 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan E-PF . 197 100 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan A-PF . 197 101 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan B-PF . 198 102 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan C-DS . 198 103 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan D-DS 199 104 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan E-PF ..... 199 105 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan A-PF . 200 106 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan B-PF . 200 107 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan C-DS ..... 201 108 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan D-DS ..... 201 109 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada P lot Percobaan E-PF .. 202

20 110 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan A-PF . 202 111 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan B-PF . 203 112 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan C-DS 203 113 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan D-DS 204 114 Perbedaan kebutuha n pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan E-PF . 204 115 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan A-PF 205 116 Deviasi pupuk Plot Percobaan A-PF 205 117 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan B-PF 206 118 Deviasi pupuk Plot Percobaan B-PF 206 119 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan C-DS 207 120 Deviasi pupuk Plot Percobaan C-DS ... 207 121 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan D-DS ... 208 122 Deviasi pupuk Plot Percobaan D-DS .. 208 123 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan E-PF 209 124 Deviasi pupuk Plot Percobaan E-PF 209 125 Tingkat inefisiensi pemupukan setiap plot percobaan . 210 126 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan A-PF ... 211 127 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan A-PF 211 128 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan A -PF ... 212 129 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan A-PF ... 212 130 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan B-PF ... 213 131 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan kedua Plot Percobaan B-PF 213 132 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan B-PF . 214 133 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan B-PF . 214 134 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan C-DS 215 135 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan C-DS 215 136 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot

Percobaan C-DS ... 216 137 Peta spasial kelebihan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan C-DS .. 216 138 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan D-DS .. 217 139 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk TSP pada pemupukan

21 pertama Plot Percobaan D-DS . 217 140 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan D-DS ........... 218 141 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan D-DS ........... 218 142 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan E-PF 219 143 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan E-PF .. 219 144 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Plot Percobaan E-PF 220 145 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Plot Percobaan E-PF 220 146 Tampilan awal SPK Strategi Pemupukan pada Budidaya Tebu dengan Pendekatan Precision Farming 224 147 Tampilan menu utama SPK Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, 148 Tampilan 149 Tampilan 150 Tampilan P, dan K pada Budidaya Tebu ..... 225 menu Model Hasil Tebu .. 225 menu program Artificial Neural Network (ANN) . 226 menu Model Pemupukan untuk pupuk pertama dengan

target produktivitas melalui ANN . 226 151 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk kedua dengan target produktivitas melalui ANN . 227 152 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk pertama dengan rekomendasi pustaka 227 153 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk kedua dengan rekomendasi pustaka 228 154 Tampilan menu Model Geostatistika ... 228 155 Tampilan analisa keragaman spasial dengan GS+ for Windows .. 229 156 Tampilan contoh keluaran analisa keragaman spasial . 229 157 Tampilan pembuatan kontur dengan Surfer 8 .. 229 158 Tampilan Model Spasial dengan ArcView 3.3 . 230 159 Tampilan menu Model Finansial . 230 160 Tampilan menu Help 231 161 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah N . 234 162 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah P .. 235 163 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah K . 236 164 Kecenderungan pertumbuhan hara daun N . 237 165 Kecenderungan pertumbuhan hara daun P . . 237 166 Kecenderungan pertumbuhan hara daun K . . 237 167 Kecenderungan pertumbuhan jumlah anakan tebu .. 238 168 Kecenderungan pertumbuhan jumlah daun hijau tebu . 239 169 Kecenderungan pertumbuhan jumlah daun kering tebu .. 240 170 Kecenderungan pertumbuhan diameter tebu ....... 241 171 Kecenderungan pertumbuhan tinggi tanaman tebu . 242

172 Kecenderungan pertumbuhan persentase gap tebu 173 Kecenderungan pertumbuhan jumla h tebu roboh 174 Kecenderungan pertumbuhan penutupan gulma

. 243 244 . 244

175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190

Kecenderungan pertumbuhan bobot tebu 245 Kecenderungan pertumbuhan nilai Pol 245 Kecenderungan pertumbuhan nilai rendemen . 246 Kecenderungan pertumbuhan nilai taksasi .. 246 Kecenderungan pertumbuhan kadar air tanah . 247 Perbandingan bobot biomassa akar tebu ...................... 248 Perbandingan bobot biomassa tunggul tebu ... 248 Perbandingan bobot biomassa batang tebu ...................... 248 Perbandingan bobot biomassa daun . 249 Perbandingan bobot biomassa pucuk .. 249 Perbandingan jumlah ruas tebu ... 249 Histogram rendemen pada taksasi awal . 250 Histogram taksasi awal .. 251 Biaya analisa sampel ... 253 Biaya pengambilan sampel .. 253 Biaya jumlah pupuk 254

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Akurasi program Artificial Neural Network (ANN) pada penentuan jumlah hara yang dibutuhkan ... 278 2 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan A-PF ... 281 3 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan A-PF . 281 4 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan A-PF ... 282 5 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan A-PF . 282 6 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan B-PF ... 283 7 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan B-PF . 283 8 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan B-PF ....... 284 9 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan B-PF . 284 10 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan C-DS ... 285 11 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan C-DS ....................................................... 285 12 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan D-DS .. 286 13 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan D-DS 286 14 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan D-DS ...................................................... 287 15 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan D-DS 287 16 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan E-PF 288 17 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan E-PF . 288 18 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan E-PF ....................................................... 289 19 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan E-PF . 289 20 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan A-PF ... 290 21 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan A-PF .. 290

22 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan B-PF ... 291 23 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan B-PF .. 291 24 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan C-DS ... 292 25 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan C-DS .. 292 26 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan D-DS .. 293 27 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan D-DS .. 293 28 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan E-PF 294 29 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan E-PF ... 294 30 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan A-PF ... 295 31 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada ta ksasi akhir Plot Percobaan A-PF ................... 295 32 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan B-PF ... 296 33 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan B-PF ................... 296 34 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan C-DS ... 297 35 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan C-DS .. 297 36 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan D-DS ... 298 37 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan D-DS .................. 298 38 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan E-PF ... 299 39 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan E-PF ... 299 40 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan A-PF ................................................................. 300 41 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan A-PF . 300 42 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan B-PF ................................................................. 301 43 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan B-PF . 301 44 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan C-DS ................................................................ 302 45 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan C-DS 302

46 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan D-DS ................................................................ 303 47 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan D-DS 303 48 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan E-PF ................................................................. 304 49 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan E-PF . 304 50 Uji beda nyata rata -rata kadar gula setiap plot percobaan terhadap nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% . . 305 51 Uji beda nyata rata -rata rendemen setiap plot percobaan terhadap nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% . . 306 52 Uji beda nyata rata -rata taksasi setiap plot percobaan terhadap nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% . . 307 53 Uji beda nyata antara rata -rata pada taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan dengan metode paired-sample t test pada taraf kepercayaan 95% .. 308 54 Uji beda nyata antara rata -rata taksasi awal dan setiap plot percobaan dengan metode one -sample t test pada taraf kepercayaan 95% . .. 308 55 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way ANOVA . 309 56 Pengamatan hama dan penyakit ... 313

PENDAHULUAN Latar Belakang Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat penting. Kebutuhan gula nasional tahun 2001 yaitu 3,400,000 ton, sementara produksi dalam negeri hanya 1,700,000 ton, sehingga diperlukan impor 1,700,000 ton (World Sugar Market and Trade 2001 dalam GPM, 2002). Kebutuhan gula nasional tersebut meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2005/2006 dilaporkan kebutuhan gula nasional sebesar 3,800,000 ton (USDA, 2005 dalam PSE, 2006). Program yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2004 adalah target terjadinya pengurangan volume impor dari sekitar 1.7 juta ton pada tahun 2001 menjadi satu juta ton pada tahun 2004. Hal ini dicapai dengan meningkatkan produktivitas dari 4.7 ton hablur per hektar menjadi 8 ton hablur per hektar, dan peningkatan produksi gula sekitar 200,000 ton per tahun. Satu hal yang penting dan perlu diketahui bahwa produksi gula dalam negeri ternyata tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional setiap tahun karena kemampuan produksi dalam negeri baru sekitar 1.7 1.9 juta ton (DPRIN, 2004). Upaya peningkatan produksi gula nasional telah dilakukan dengan beberapa cara, antara lain (1) intensifikasi pada pertanaman tebu yang sudah mapan, (2) ekstensifikasi dengan memperluas pertanaman tebu ke areal bukaan baru dengan sistem tegalan terutama di luar Jawa, (3) rehabilitasi pabrik-pabrik peninggalan Belanda agar lebih efisien dalam menghasilkan gula, dan (4) memperbaiki sistem pengelolaan kebun dan perkebunan (AGI, 1996). Peningkatan produksi dengan masukan bahan kimia yang rendah, seperti pemupukan dan aplikasi herbisida, sangat diperlukan karena sejak tahun 1980 kegiatan pertanian untuk produksi pangan yang tidak terkontrol menjadi penyebab pencemaran lingkungan (Umeda et al., 1999). Sebagai contoh aplikasi pupuk nitrogen dan fosfor yang berlebihan menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan hujan asam. Salah satu masalah utama yang dihadapi bagi kehidupan manusia adalah pencemaran air tanah oleh nitrogen nitrat. Selain itu penggunaan

bahan beracun seperti pestisida dapat beresiko terhadap kesehatan manusia karena residu dalam pangan dan resiko langsung pada petani. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka masalah besar yang dihadapi dalam pertanian adalah peningkatan produksi di satu sisi dan pengurangan dampak lingkungan di sisi lain. Berbagai sistem produksi tanaman diusulkan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu alternatif yang diusulkan adalah pertanian organik (Organic Farming/OF) yaitu metode pertumbuhan tanaman tanpa penggunaan bahan kimia sintetik seperti pupuk, herbisida, insektisida, fungisida, atau je nis pestisida yang lain, dan hormon pertumbuhan atau pengatur pertumbuhan. Pertanian organik secara nyata dapat mengurangi dampak lingkungan tetapi hasil yang diperoleh lebih rendah dan biaya lebih tinggi dibanding produksi konvensional. Di samping itu pertanian organik memerlukan tenaga yang banyak khususnya dalam pengendalian gulma dan hama. Oleh karena itu diperlukan sistem baru dalam produksi tanaman yang dapat mengatasi masalah tersebut. Sistem pertanian baru yang kemudian diusulkan dikenal sebagai pertanian berkelanjutan rendah masukan (Low External Input Sustainable Agriculture/LEISA). Beberapa tahun kemudian LEISA didefinisikan ulang sebagai pengelolaan tanaman spesifik lokasi (Site-Specisic Crop Management/SSCM ) dan sekarang secara umum dikenal sebagai pertanian presisi (Precision Agriculture/PA atau Precision Farming/PF). LEISA, SSCM , dan PF berbeda istilah tetapi mempunyai isu utama yang sama (Lee, 2001). Precision Farming merupakan informasi dan teknologi pada sistem pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan, dan menjaga lingkungan. Tujuan dari PF adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan (McBratney dan Whelan, 1995). Hal tersebut berpotensi diperoleh hasil yang lebih besar dengan tingkat masukan yang sama (pupuk, kapur, herbisida, insektisida, fungisida, bibit), hasil yang sama dengan pengurangan input, atau hasil lebih besar dengan pengurangan masukan dibanding sistem produksi pertanian yang lain.

Precision Farming mempunyai banyak tantangan sebagai sistem produksi tanaman sehingga memerlukan banyak teknologi yang harus dikembangkan agar dapat diadopsi oleh petani. PF merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi. Antara periode pertengahan tahun 1970 dan awal 1980 dikembangkan pengetahuan tentang tanah dengan survei tanah, penginderaan jauh, dan pemantauan tanaman. Di Amerika serikat, survei tahun 1996 pada pertanian jagung menunjukkan bahwa petani yang menerapkan PF mencapai 9% yang sama dengan 20% luas lahan pertanian yang ada. Pengambilan sampel tanah dengan grid dan pemetaan hasil dengan yield monitor merupakan teknik yang paling banyak diadopsi (Robert, 1999). Di Eropa, survei tahun 1998 pada area pertanian menunjukkan bahwa area pertanian yang mengadopsi PF mencapai 3%. Angka ini dapat meningkat sampai 10% area tanam yang sama dengan 2 juta rumah tangga petani pada tahun 2005. Mesin panen dengan yield monitor dikenalkan pada 12 tahun yang lalu. Lebih dari 400 mesin panen dengan yield monitor dioperasikan pada tahun 1999. Di Denmark, untuk menegaskan pertanian yang ramah lingkungan, bahan kimia pertanian dikurangi sampai 20% dalam 5 tahun dan sampai 10% dalam 10 tahun (Shibusawa, 1999). Di Belanda, petani terlalu banyak menggunakan pestisida. Pada tahun 1990, Pemerintah Belanda menyatakan bahwa untuk mencapai pertanian berkelanjutan maka jumlah pestisida pada tahun 2000 harus kurang dari 50% yang digunakan pada tahun 1990. Pada periode yang sama, aplikasi pupuk harus seimbang dengan yang dibutuhkan oleh tanaman. Di Jepang, penelitian PF pada lahan sawah dimulai pada tahun 1997, sedangkan untuk lahan kering dimulai pada tahun 1998. Tujuan dari penelitian tersebut adalah (1) menjaga tingkat hara pada hasil yang optimum dengan keragaman spasial yang rendah, (2) mengembangkan yield sensor, remote sensor, dan variable rate fertilizer applicator , dan (3) membuat peta informasi lahan untuk sistem pendukung keputusan (Lee, 2001). Di Korea, penelitian PF dimulai pada tahun 1998 dengan tujuan seperti penelitian PF yang dilakukan di Jepang (Park et al., 2000). PF diadopsi pada 10,000 ha areal pertanian yang sama dengan 1% lahan sawah di Korea. Hasil (yield) dan informasi lain dipetakan dengan

Sistem Informasi Geografis. Di Australia, penelitian PF juga mendapat perhatian serius. Bahkan sejak tahun 1997 dilakukan simposium tahunan mengenai penelitian PF dan aplikasinya (ACPA, 2005). Di luar Indonesia, penelitian PF sudah sedemikan besar mendapat perhatian. Sementara di Indonesia sendiri penelitian PF belum mendapat perhatian yang memadai. Sebagai contoh adalah kurangnya perhatian terhadap keragaman produksi pada areal perkebunan tebu dan dampak lingkungan yang terjadi. Keragaman produksi suatu lahan dapat terjadi, dimana satu bagian menunjukkan produksi yang tinggi, sementara bagia n lain menunjukkan produksi yang rendah. Keragaman produksi pada suatu lahan dapat terjadi diantaranya karena adanya keragaman kesuburan tanah. Precision Farming sebagai teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar Indonesia perlu segera dimula i penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan sehingga dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan hasil, menekan biaya produksi dan mengurangi dampak lingkungan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan PF melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta pertumbuhan (growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi (variable rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan lain-lain. Peta hasil (yield map ) menunjukkan bagian-bagian lahan dengan hasil yang lebih baik atau lebih rendah. Evaluasi dapat dilakukan pada bagian dengan hasil yang rendah untuk menentukan faktor-faktor pembatas yang terjadi dan mengelola dengan hasil yang optimum pada waktu berikutnya. Pembuatan peta hasil dapat lebih cepat dan akurat dengan adanya yield sensor. Pemberian pupuk dengan tepat jumlah harus memperhatikan tingkat kesuburan tanah, yang di antaranya dapat diketahui dari hasil uji kesuburan tana h dan pengamatan pertumbuhan tanaman. Dengan hasil uji kesuburan tanah, maka tanah yang mempunyai nilai kesuburan tinggi, penambahan hara dari pupuk tentunya tidak sebanyak pada tanah-tanah yang bernilai kesuburan rendah. Keadaan ini dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Keragaman kesuburan tanah dapat diketahui dari peta tanah (soil map) sebagai hasil dari uj i

tanah dan analisa data (soil testing and data analysis). Penggabungan peta hasil , peta tanah, peta pertumbuhan tanaman menghasilkan peta informasi lahan (field information map) sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application. Pelaksanaan kegiatan ini akan lebih cepat dan akurat apabila sudah tersedia variable rate applicator. Sebagai awal dari pengkajian PF di Indonesia, penelitian ini belum sampai pada pembuatan perangkat keras seperti yield sensor, remote sensor, variable rat e applicator, dan lain-lain. Di samping itu penelitian tidak dilakukan pada semua bagian kegiatan budidaya dan jenis tanaman. Penelitian ini dilakukan pada kegiatan pemupukan dan jenis tanaman tebu. Pemberian pupuk dengan tepat jumlah perlu dilakukan karena dengan pola intensifikasi maka akan sangat tidak mungkin bila pasokan hara hanya mengandalkan dari alam seperti pelapukan, air hujan, dan lain-lain. Dengan demikian meskipun kontribusi biaya pupuk terhadap biaya budidaya tanaman hanya 8 10%, namun peran pupuk dalam mendukung keberhasilan budidaya tanaman adalah sangat penting, bahkan mutlak (Arifin, 2002). Di negara berkembang, penggunaan energi dalam produksi pertanian utamanya adalah pada pupuk mineral yang hampir mencapai 70% dari penggunaan energi komersial di pertanian (FAO, 1981). Hal ini mencerminkan peran pupuk yang penting dalam teknologi yang digunakan sekarang ini untuk meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan hasil tanaman. Dengan peranan yang begitu besar, maka penggunaan pupuk yang lebih efisien pada budidaya tebu akan sangat nyata membantu menekan biaya produksi. Efisiensi penggunaan pupuk semakin perlu mendapat perhatian karena saat ini pupuk menjadi barang yang langka dan harganya mahal (Ant/fir, 2005). Memasuki musim tanam 1997/1998, distribusi pupuk mengalami kemelut sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah memberlakukan pola dualisme dalam distribusi dan pemasaran. Distribusi pupuk untuk usahatani tanaman pangan dimonopoli oleh pemerintah dengan harga tersubsidi, sedangkan pupuk untuk usaha perkebunan tanpa subsidi dari pemerintah. Hal ini berdampak pada misalokasi penyaluran pupuk. Kecenderungan mengalirnya pupuk bersubsidi ke aktivitas nonpangan membawa implikasi berkurangnya ketersediaan pupuk untuk

usahatani tanaman pangan, dan seringkali hal ini dikaitkan dengan isu kelangkaan pupuk (Rachman, 2003). Sementara itu perdagangan pupuk di pasar internasional cenderung semakin kompetitif sehingga menuntut industri pupuk dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi dan daya saingnya. Indonesia merupakan negara produs en pupuk (urea), bahkan sebagian produk urea diekspor ke negara lain, namun kebutuhan pupuk di dalam negeri terus mengalami peningkatan seiring dengan pelaksanaan pembangunan pertanian yang semakin meluas. Kebutuhan pupuk dalam negeri mengalami peningkatan sekitar 4.6 persen per tahun, seiring dengan masifnya program intensifikasi dan peningkatan produktivitas komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah (Pusri, 2001 dalam Rachman 2003). Kelangkaan pupuk saat musim tanam sebenarnya merupakan masalah klasik dan hampir terjadi setiap tahun. Hal tersebut selain disebabkan oleh permintaan yang tinggi dan masalah distribusi, tetapi juga ditengarai disebabkan oleh kelangkaan gas yang menyebabkan produksi pupuk nasional terganggu (Ant/fir, 2005) dan terhentinya impor (stagnan) pupuk dari negara luar (G12-74n, 2004). Khusus pada musim tanam 1998/1999, masalah kelangkaan pupuk juga disebabkan oleh (1) adanya aliran pupuk subsidi ke nonsubsidi (subsektor tanaman ke subsektor perkebunan), (2) adanya ekspor pupuk (urea) akibat perbedaan harga antara pasar dalam negeri dan luar negeri, serta (3) tingginya harga pupuk impor, yaitu KCl, TSP, dan ZA karena melemahnya nilai rupiah (Sudaryanto dan Adnyana, 1999 dalam Rachman, 2003). Fenomena tersebut tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi lagi pada waktu-waktu berikutnya. Oleh karena itu sangat diperlukan pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K dengan salah satu implikasi meningkatnya efisiensi penggunaan pupuk. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan precision farming ini adalah untuk menyempurnakan pemupukan yang dilakukan di lapangan dengan hanya menentukan dosis pupuk tanpa mengubah jenis pupuk. Penentuan jenis tanaman tebu pada penelitian ini karena tebu merupakan penghasil gula sebagai salah satu bahan pokok yang saat ini sedang banyak mengalami masalah, diantaranya berkaitan dengan produksi gula nasional yang

32 belum dapat mencapai swasembada, fluktuasi harga gula yang sangat labil, dan impor gula. Ruang Lingkup Penelitian dibatasi pada pendekatan precision farming untuk pemupukan N, P, dan K di perkebunan tebu. Tujuan Penelitian ini mempunyai tujuan: 1 menganalisa keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K di dalam petak lahan tebu; 2 menganalisa keragaman spasial produktivitas di dalam petak la han tebu; 3 menentukan kebutuhan jumlah hara N, P, dan K pada target hasil tebu (yield) dan kadar gula yang diharapkan; serta 4 membuat sistem pendukung keputusan untuk strategi pemupukan pada budidaya tebu dengan pendekatan precision farming. Hipotesa Hipotesa pada penelitian ini adalah bahwa 1 terdapat keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K di dalam petak lahan; 2 terdapat keragaman spasial produktivitas di dalam petak lahan; 3 keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K tidak bersifat acak 4 keragaman spas ial produktivitas lahan tidak bersifat acak; 5 pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu dapat: a menekan keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K; b menekan keragaman spasial produktivitas lahan; c mengurangi pemborosan penggunaan pupuk; d meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman; e meningkatkan produktivitas lahan;

f meningkatkan rendemen; g meningkatkan keuntungan. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1 penentuan pemupukan pada musim berikutnya; dan 2 dasar bagi rancang bangun alat dan mesin budidaya tebu, khususnya: a variable rate application (VRA) pemupuk; dan b mesin panen tebu dengan sensor hasil (yield sensor).

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu Tanaman tebu (Saccharum spp.) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputan (Graminae) seperti halnya padi, glagah, jagung, bambu, dan lain-lain. Tanaman tebu dibedakan menjadi dua rumpun, yaitu rumpun benua (continental family / Group A) dan rumpun pulau (island family / Group B). Tanaman tebu yang termasuk Group A diantaranya adalah Saccharum spontaneum, Saccharum sinense (Cina), dan Saccharum barberi (India). Tanaman tebu yang termasuk Group B diantaranya adalah Saccharum robustum dan Saccharum officinarum (tebu unggul/noble canes). Nama Saccharum berasal dari bahasa Sanskrit (Sansekerta) SARKARA yang berarti gula pasir, sedangkan dalam bahasa Arab SAKAR , bahasa Belanda SUIKER , bahasa Inggris SUGAR , bahasa Jerman ZUCKER , bahasa Spanyol AZUKAR , dan bahasa Perancis SUCRE (PTPN VII, 1998). Anatomi tanaman tebu terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu batang (stem/stalks), akar (roots), dan daun (leaves). Tebu merupakan tanaman berbiji tunggal yang diameter batangnya selama pertumbuhan hampir tidak bertambah besar. Tinggi tanaman tebu bila tumbuh dengan baik dapat mencapai 3 5 meter. Namun bila pertumbuhannya jelek tingginya kurang dari 2 meter. Batang tebu padat seperti batang jagung, di mana bagian luar berkulit keras dan bagian dalam lunak dan mengandung air gula. Tanaman tebu yang masih muda belum terlihat jelas batangnya karena masih tertutup daun. Namun bila daun tebu sudah mengering dan luruh maka batang tebu mulai dapat dilihat. Pada batang tebu terdapat ruas dan buku. Pada batas antar 2 ruas (internodia) terdapat kuncup/mat a (bud). Irisan batang tebu biasanya bulat panjang dan pada buku (nodia) terdapat bekas duduknya daun. Bentuk dari ruas ada tiga, yaitu tong, silinder, dan kumparan (klos). Duduknya ruas satu dengan yang lain ada dua, yaitu tegak dan zigzag. Pada batang yang tumbuh normal dan panjang, maka ruas dari bawah ke atas makin panjang hingga ke tengah, sedangkan ke arah atas makin pendek. Bila

batang tebu akan berbunga, maka pada ujungnya terbentuk ruas-ruas kecil dan panjang sekali. Tebal ruas bagian batang yang ada dalam tanah (dongkelan/tunggul/stubble) makin ke atas makin besar sampai dekat permukaan tanah, kemudian berangsur kecil. Panjang dan bobot batang tergantung pertumbuhan. Tanaman yang melalui musim kering panjang/kurang air, dan pada musim hujan mendapatkan cukup air, maka seringkali terdapat ruas-ruas pendek dan di atasnya ruas-ruas panjang. Kekuatan dan kekerasan batang tergantung dari susunan batang dari dalam, dan setiap jenis tebu berlainan. Warna batang dipengaruhi cahaya matahari, jenis tebu, dan umur tebu. Warna dipengaruhi oleh kombinasi sel kulit warna merah dan lapisan khlorofil berwarna hijau di bawahnya. Batang tebu banyak dilapisi lilin yang berfungsi antara lain sebagai penghalang serangan hama/penyakit, dan lingkaran lilin terdapat di bawah buku. Kuncup/mata (bud) terletak berselang-seling pada batang, bentuk kuncup bermacam-macam (bulat dan panjang). Di atas lingkaran tumbuh terdapat suatu pita yang sempit sekali mengelilingi ruas dan acapkali berwarna lain. Di sini batang mudah putus karena terdiri dari sel-sel yang masih memanjang dan lembek. Jika tebu roboh, maka batang dapat berdiri lagi karena bagian bawah lebih cepat tumbuhnya daripada bagian atas pada lingkaran tumbuh tersebut. Sebagai tanaman yang berbiji tunggal, maka tanaman tebu berakar serabut banyak, yang keluar dari lingkungan akar di bagian pangkal batang. Akar-akar tersebut tidak banyak cabangnya dan hampir lurus. Pada tanah yang subur dan gembur, akar tebu menjalar sampai 1 2 meter, tapi sebaliknya pada tanah yang miskin hara atau keras dan padat strukturnya maka akar-akarnya hanya pendek, demikian juga akar serabutnya bercabang pendek. Beberapa minggu setelah kuncup dari stek tebu tumbuh jadi tanaman muda, maka tanaman muda tersebut segera membentuk akarnya sendiri. Pada bagian bawah dari tunas itu yang berdekatan dengan stek akan keluar beberapa akar panjang yang tebal berwarna putih dan tidak bercabang. Ujung dari akar ditutup dengan tudung akar (calytra), pada jarak beberapa millimeter dari tudung akar itu terdapat bulu-bulu halus yan g disebut bulu akar (hairwortels). Adanya bulu-bulu akar ini suatu tanda bahwa akar masih tumbuh dengan baik. Bagian ujung yang tidak tertutup oleh bulu akar itu adalah bagian yang tumbuh dan disebut titik tumbuh. Bila bagian tersebut

36 putus, maka akar tidak dapat tumbuh lagi, akan tetapi terbentuk cabang-cabang baru pada bagian akar yang lebih tua. Makin besar tanaman tebu, maka makin banyak akar yang dibentuk, antara lain ada yang tumbuh pada bagian batang akibat dibumbun/digulud. Akar baru ini umumnya juga berwarna putih dan yang lebih tua berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan dan kebanyakan bercabang banyak. Pada tanah dengan lapisan padas, mengakibatkan susunan akar banyak menyebar ke samping, sedangkan pada air tanah yang dangkal, akar banyak yang tumbuh menuju ke atas karena akar membutuhkan zat asam (oksigen) untuk pernapasan. Tujuh puluh persen akar rambut tanaman tebu berada dalam bagian atas (kedalaman 30 cm) dan 30 persen tersebar di sekitar lebih dari 30 cm dari pusat akar. Daun pada tanaman tebu berpangkal pada buku daun dan duduk pada batang secara berseling. Daun terdiri dari helai daun (lamina), pelepah daun (sheath), lidah daun (ligule), telinga daun (auricula), dan kuncup/mata (bud). Helai daun berbentuk garis yang panjangnya 1 2 meter dan lebar 4 7 cm, dengan tepi dan permukaannya kasap tidak licin. Pelepahnya di bagian bawah membalut batang seluruhnya. Daun yang keluar dari kuncup mempunyai helai yang kecil dengan pelepah yang membungkus batangnya dan setelah umur 5 6 bulan batang tebu itu masih dibalut seluruhnya oleh pelepah sehingga bukunya tidak kelihatan. Daun-daun yang sudah tua menjadi kering dan mati. Daun yang kering tersebut ada yang lepas dengan sendirinya dari batang sehingga batang teb u kelihatan, ada pula jenis tebu yang daunnya tidak mudah lepas dari batangnya setelah kering dan mati. Pada tanaman tebu yang menderita kekurangan air, maka daun-daun tebu menggulung untuk mengurangi penguapan. Jika keadaan air sudah baik lagi, maka daun akan terbuka lagi. Pada waktu tanaman tebu akan berbunga, helai daun yang kecil di atas pelepah daun akan keluar. Helai daun yang kecil ini berdiri tegak seperti bendera dan disebut daun bendera, dalam pelepah yang panjang tersebut terdapat kuncup bunga yang akan keluar dari pelepah sebagai malai. Tanaman tebu cocok ditanam pada daerah yang memiliki curah hujan di atas 200 mm per bulan selama 5 6 bulan, curah hujan 125 mm per bulan selama 2 bulan, dan curah hujan di bawah 75 mm per bulan selama 4 5 bulan.

37 Kecepatan angin yang cocok adalah di bawah 10 km/jam, beda suhu minimum tidak boleh lebih dari 6C, pH tanah yang baik berada pada selang 5.5 7.0 (Mubyarto dan Daryanti, 1991). Mangelsdorf (1950) menyatakan bahwa kondisi iklim yang ideal bagi tanaman tebu adalah cuaca panas yang panjang pada masa pertumbuhan dengan curah hujan yang cukup, hampir kering dan sejuk tetapi bebas embun pada masa pemasakan dan panen, serta bebas dari badai tropis. Tanaman dalam hidupnya membutuhkan 13 unsur, yaitu C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg, Fe, Bo, Cu, dan Zn. Unsur -unsur C, H, dan O terdapat di udara, sedangkan yang lainnya berasal dari ta nah. Di antara unsur-unsur yang berasal dari tanah, maka zat-zat yang harus ada adalah N, P, K, S, Ca, Fe, dan Mg (Notojoewono, 1968). Penanaman tebu dapat menyebabkan hilangnya unsur hara esensial melalui panen, apalagi diusahakan secara terus menerus. Dengan demikian kesuburan suatu tanah akan menurun secara terus-menerus, sehingga mencapai suatu keadaan dimana penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil tebu yang menguntungkan. Oleh karena itu kesuburan suatu tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan suatu tanah mutlak diperlukan. Ada beberapa cara dalam mempelajari status hara tanah untuk menilai kesuburan tanah, yaitu: (1) melihat citra tanaman di lapangan (gejala-gejala kekurangan unsur hara), (2) uji tanaman, (3) uji biologi, dan (4) uji tanah. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terdiri dari dua fase, yang berbeda walaupun juga tumpang tindih (overlapping), yaitu: fase vegetatif dan fase reproduktif (Setyati, 1979). Fase vegetatif terutama terjadi pada perkembangan akar, daun, dan batang baru. Fase ini berhubungan dengan 3 proses penting, yaitu pembelahan sel, perpanjangan sel, dan tahap pertama dari diferensiasi sel. Dalam fase vegetatif suatu perkembangan, karbohidrat dipergunakan dan tanaman menggunakan sebagian besar karbohidrat yang dibentuknya. Sedangkan fase reproduktif terjadi pada pembentukan dan perkembangan kuncup-kuncup bunga, bunga, buah dan biji, atau pada pembesaran dan pendewasaan struktur penyimpanan makanan, akar-akar dan batang yang berdaging. Fase reproduktif berhubungan dengan beberapa proses penting, yaitu

pembuatan sel-sel yang secara relatif sedikit, pendewasaan jaringan-jaringan, penebalan serabut-serabut, pembentukan hormon-hormon yang perlu untuk perkembangan kuncup bunga (primordial), serta perkembangan kuncup bunga, bunga, buah dan biji. Pada fase reproduktif dari perkembangan tanaman, karbohidrat disimpan (ditimbun) dan tanaman tersebut menyimpan sebagian besar karbohidrat yang dibentuknya berupa pati dan gula. Daur kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertumbuhana anakan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan, dan diakhiri dengan fase kematian. Fase perkecambahan dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar ste k pada umur 1 minggu, kemudian pada minggu kedua tinggi taji mencapai 12 cm dan akan makin banyak. Pada minggu ketiga, daun terbuka dan tinggi tunas 20 25 cm. Pada minggu keempat, jumlah daun 4 helai dan tinggi sekitar 50 cm. Pada minggu kelima, akar tunas dan anakan keluar. Fase pertumbuhan anakan tebu (pertunasan) dimulai dari umur 5 minggu sampai umur 3.5 bulan tergantung varietas dan lingkungan tebu. Jumlah anakan tertinggi terjadi pada umur 3.5 bulan dan setelah itu turun atau mati 40 50% akibat terjadinya persaingan sinar matahari, air, dan sebagainya. Hal yang menunjang pertunasan tebu antara lain air, oksigen, sinar matahari, unsur hara utama yaitu N dan P, serta suhu tanah. Fase pemanjangan batang terjadi pada umur 3 9 bulan. Kecepatan pembentukan ruas adalah 3 4 ruas/bulan. Makin tua tanaman tebu, makin lambat pemanjangannya. Hal yang mempengaruhi pemanjangan batang antara lain adalah kadar air tanah, sinar matahari, dan kadar N dalam daun. Fase kemasakan merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini gula di dalam batang tebu mulai terbentuk hingga titik optimal dan setelah itu rendemennya berangsur-angsur menurun. Tahap pemasakan inilah yang disebut dengan tahap penimbunan rendemen gula. Fase pemasakan pada tanaman keprasan (ratoo n) terjadi lebih awal disbanding tanaman baru (plant cane/PC). Fase ini dipengaruhi oleh varietas, cara budidaya (terutama pupuk N dan P), serta kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya matahari, dan air.

Komposisi vegetatif tanaman tebu menunjukkan bagian dari organ secara terpisah/individu (batang, daun, akar) dalam berat kering total dari tanaman teb u. Bagian tanaman tebu di atas permukaan tanah (above ground portion) terdiri atas batang tebu (stem/stalks) yang dapat digiling (millable cane), bagian pucuk (lea fy top) termasuk bagian batang yang tidak dapat digiling (non-millable) dan daundau n yang menempel pada pucuk, serta daun-daun yang lain (trash) yang secara terpisah dikategorikan sebagai bagian yang berada pada permukaan tanah (on groun portion). Bagian tanaman tebu di bawah permukaan tanah (below ground portion) terdiri atas dongkelan/tunggul (stubble) dan akar (roots). Di negaraneg ara dimana bagian batang di bawah permukaan tanah dipanen, maka tunggul termasuk bagian tebu yang dapat digiling (millable cane). Contoh komposisi vegetatif tanaman tebu umur 12 bulan untuk varietas 37-1933 disajikan pada Gambar 1. Bagian tebu yang dapat digiling hanya merupakan sebagian dari bahan kering total tanaman (50 sampai 60 %). Akar dan pada sebagian besar kasus termasuk juga tunggul (stubble), ditinggalkan di lahan. Pucuk tebu juga tetap di lahan atau digunakan sebagai makanan ternak. Daun-daun tebu sebagai seresah (trash) juga tetap di lahan atau digunakan sebagai bahan bangunan di pabrik. Bahan kering organ tanaman tebu berisi lebih dari 90% bahan organik, dan ketika usaha penyuburan tanah dengan bahan organik menjadi masalah yang serius, maka pengetahuan penggunaan kembali bahan organik dalam tanaman tebu tersebut menjadi penting. Kobus dan Van Houwelingen (dalam Dillewijn, 1952) melakukan percobaan untuk mengetahui kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu yang dibudidayakan di pulau Jawa. Hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa komposisi vegetatif tanaman tebu tidak seragam, tetapi dipengaruhi oleh umur, pemupukan, varietas, dan sebagainya. Pengaruh umur adalah yang dominan (Gambar 2). Dengan data yang sama dari percobaan tersebut digambarkan komposisi vegetatif dalam basis persentase dari bahan kering total (Gambar 3). Sedangkan pengaruh pemupukan terhadap komposisi vegetatif tanaman tebu disajikan pada Tabel 1.

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada waktu penanaman, tanaman hanya berupa potongan bibit (cutting). Pertumbuhan awal tanaman sebagian besar terbatas untuk perkembangan daun dan akar yang merupakan peralatan produksi tanaman. Pembentukan batang belum terjadi sepanjang organ asimilasi dan absorbsi belum berkembang sampai tingkat tertentu. Tetapi ketika organ asimilasi dan absorbsi telah berkembang, maka pembentukan batang dimulai dengan laju yang lebih cepat dibanding organ lain. persentase dari bobot kering total tanaman di atas permukaan tanah (above ground) pada permukaan tanah (on ground) di bawah permukaan tanah (below ground) TOPS STALKS TRASH STUBBLE ROOTS 9.0% 49.2% 24.6% 4.5% 12.7% Gambar 1 Komposisi vege tatif tanaman tebu umur 12 bulan varietas 37-1933 (Dillewijn, 1952).

St : stem (batang tebu) GT : green top (pucuk tebu) R: roots (akar) Gambar 2 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu di Jawa (Dillewijn, 1952). C : cutting (bibit tebu) Gambar 3 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu (Dillewijn, 1952).

Tabel 1 Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap komposisi vegetatif tanaman tebu Bagian tanaman Kadar Nitrogen (% bahan kering total) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Batang 57 55 54 53 Pucuk dan seresah 32 35 35 35 Akar dan tunggul 11 10 11 12 Total 100 100 100 100 (Sumber: Dillewijn, 1952) Proses terbentuknya rendemen gula di dalam batang tebu berjalan dari ruas ke ruas. Ruas di bawah (lebih tua) lebih banyak tingkat kandungan gulanya dibandingkan dengan ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterunya sampai ruas bagian pucuk. Oleh karena itu, tebu dikatakan sudah mencapai masak optimal apabila kadar gula di sepanjang batang telah seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk. Menurut Supriyadi (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi proses kemasakan tanaman tebu adalah: 1) Varietas Varietas tebu pada garis besarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu: a) varietas genjah (masak awal), mencapai masak optimal kurang dari 12 bulan; b) varietas sedang (masak tengahan) mencapai masak optimal pada umur 12 14 bulan; dan c) varietas dalam (masak akhir) mencapai masak optimal pada umur lebih dari 14 bulan. 2) Pemberian pupuk nitrogen yang berlebihan Pemupukan tebu dengan pupuk nitrogen secara berlebihan sangat merugikan karena proses pembentukan rendemen optimal akan terlambat. Pemupukan nitrogen yang berlebihan juga akan merangsang pertumbuhan tunas baru. Proses pertumbuhan tunas baru ini menggunakan gula yang sudah terbentuk di dalam batang, sehingga gula di dalam batang akan terurai kembali.

3) Curah hujan Curah hujan yang tinggi pada waktu tanaman tebu mencapai umur masak akan menyebabkan pembentukan gula rendah, karena sinar matahari terhalang oleh awan, sehingga proses fotosintesis terhambat sekaligus proses pembentukan gula terhambat, terbentuknya rendemen rendah, dan tebu mencapai masak optimal juga terlambat. 4) Keadaan got Keadaan got yang dangkal dapat menyebabkan penyebaran akar tebu juga dangkal atau pendek-pendek. Dengan demikian akar tebu tidak dirangsang proses pemanjangannya karena mudah mencapai air tanah. Karena akar yang pendek, maka pengambilan unsur hara dari dalam tanah tidak bisa optimal sehingga proses pembentukan gulapun juga sedikit. Selain itu, pada waktu musim kemarau kadang-kadang tanaman mati kekeringan sebelum rendemen optimal tercapai. 5) Serangan hama dan penyakit 6) Daerah penanaman Tebu yang ditanam di dataran tinggi, masa hidupnya akan lebih lama dibandingkan dengan tebu yang ditanam di dataran rendah. Tebu yang ditanam di dataran tinggi akan mendapat sinar matahari lebih lama daripada di dataran rendah sehingga kemasakan optimal dicapai pada masa yang lebih lama. 7) Masa tanam Tebu yang ditanam pada bulan Mei Juli akan mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada bulan-bulan sebelum atau sesudahnya. Karena daya tahan yang baik, maka tanaman tebu akan bisa sampai mencapai masak optimal pada waktunya. 8) Gulud akhir Gulud akhir harus dilaksanakan pada tanaman yang sudah berumur 4.5 5 bulan. Gulud akhir ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar tebu dekat permukaan tanah agar tanaman bisa banyak mengambil unsur hara dan sekaligus untuk mencegah kerobohan tanaman. Kegiatan gulud akhir biasa dilakukan pada sistem reynoso.

9) Kerobohan tanaman Tebu yang roboh terkena angin ataupun karena terlampau banyak diberi pupuk nitrogen, akan berakibat terhambat proses kemasakannya. Kandungan gula di dalam batang akan diuraikan kembali untuk pertumbuhan tunas baru, dan untuk energi dalam upaya ingin berdiri kembali. Untuk meningkatkan rendemen tebu, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah: (1) pemakaian bibit yang bermutu, (2) masa tanam yang optimal, (3) pengolahan tanah dan pemeliharaan yang optimal, (4) pemupukan berimbang, (5) perlindungan tanaman terhadap hama penyakit dan gulma, (6) pengairan yang sesuai, dan (7) penggunaan zat pengatur tumbuh. Menurut Mangelsdorf (1953), hasil gula tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genotip tebu, kondisi lahan, dan musim. Pemupukan Pupuk adalah bahan untuk diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung, guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produksi atau memperbaiki kualitasnya, sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman (Leiwakabessy dan Sutandi, 1998). Definisi lain menyatakan pupuk adalah unsur hara tanaman yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan berkembang biak (Purnama, 2002). Unsur hara tanaman terdiri dari unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relatif banyak, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah relatif lebih sedikit. Unsur hara makro terdiri dari makro primer dan makro sekunder. Unsur hara makro primer adalah Nitrogen (N), Fosfat (P), dan Kalium (K) yang dikenal sebagai unsur-unsur hara utama. Walaupun pupuk merupakan salah satu sarana penting dalam kegiatan produksi namun penggunaannya tidak mudah karena menyangkut aspek efisiensi dan penghematan (Leiwakabessy dan Sutandi, 1998), yaitu bahwa (1) jenis pupuk yang digunakan harus tepat sesuai kebutuhan sehingga metode diagnosis harus baik dan unsur yang ditambahkan hanya yang kurang di dalam tanah saja; (2) perimbangan hara perlu diperhatikan agar lebih bermanfaat; (3) dosis, cara, dan

waktu pemupukan harus benar agar tidak rugi dan tidak merusak lingkungan karena dosis yang berlebihan atau salah caranya; (4) harga pupuk makin mahal karena biaya energi dan bahan baku makin tinggi sementara ketersediaan bahan baku di dunia makin menipis. Pemupukan adalah pemberian pupuk kepada tanaman ataupun kepada tanah dan substrat lainnya (Finck, 1982 dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 1998). Pemupukan merupakan suatu tindakan yang dilaksanakan sebagai usaha untuk menambah ketersediaan hara dalam tanah dan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah ialah kemampuan tanah untuk dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk pertumbuhan dan produks i tanaman (DIKTI, 1991). Munir (1996) menyatakan bahwa pemupukan lebih ditujukan untuk menambah jumlah dan tingkat ketersediaan unsur hara di dalam tanah (baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro). Sedangkan Syamsulbahri (1996) menyatakan bahwa pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk menjaga dan memulihkan kesuburan tanah yang hilang akibat aktivitas penyerapan oleh akar tanaman dan hanyut karena erosi atau pencucian. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (1998), pemupukan di negara berkembang seperti Indonesia mempunyai kelemahan-kelemahan umum yang menyebabkan produksi rendah, yaitu (1) pemupukan bersifat tradisional, tanpa identifikasi masalah hara secara baik; (2) sebagian besar tidak memupuk lengkap dengan N, P, K; (3) kalaupun memupuk dengan N, P, K, tetapi kecukupan unsur lain tidak diperhatikan, pemupukan sering berat sebelah; (4) tidak memupuk dengan unsur-unsur hara yang lain seperti Ca, Mg, dan unsur mikro, karena tidak melakukan diagnosis sebelumnya; (5) salah menduga kebutuhan pupuk dan kurang memperhatikan cara dan waktu pemupukan; (6) kesulitan dalam memperoleh pupuk; (7) tidak mampu menyediakan jumlah dan jenis pupuk yang dianjurkan karena harga yang mahal; (8) mengabaikan sifat tanah lainnya seperti reaksi tanah, struktur tanah, dan lain-lain; (9) kurang memperhatikan faktor ikl im; (10) tidak mampu melakukan proteksi tanaman dengan baik. Secara umum sasaran pemupukan mencakup tanah dan tanaman tebu (Usman, 1997). Sasaran pemupukan pada tanah antara lain macam unsur hara dan kondisi lingkunga n tumbuh yang mempengaruhi daya guna pemupukan.

Sedang sasaran pemupukan pada tanaman adalah mutu bahan tanaman dan hasil produksi yang diprogramkan. Perolehan berat tebu sangat berkaitan dengan potensi lahan. Potensi lahan seringkali beragam, baik dari tahun ke tahun maupun antara lokasi/kebun, karena dipengaruhi oleh hasil interaksi antara faktor agroklimat lingkungan dengan jeni s tanahnya. Pengaruh potensi lahan terhadap perbedaan tanggap hasil tebu melalui cara pemupukan disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Pengaruh potensi lahan terhadap hasil tebu dengan cara pemupukan (Usman, 1997). Dalam Gambar 4, pada kurva A ditampilkan keadaan yang berlawanan yaitu potens i hasil lahan sudah mencapai batas, meskipun sudah dilakukan penambahan pupuk hingga 2 satuan, namun mengakibatkan hasil tebu menjadi menurun. Keadaan semacam ini pada era kemajuan teknologi dapat diatasi melalui sistem manajemen perkebunan dan pengembangan varietas tebu baru yang lebih berpotensi. Sementara itu, pada kurva B, C, dan D ditampilkan hasil interaksi antara sifat tanah dan agroklimat yang sudah mengalami perbaikan sehingga memperbesar keuntungan. Dengan menambah satuan pupuk secara optimal maka keuntungan maksimal dapat tercapai. Tanaman tebu banyak mengabsorbsi hara makro dan kehilangan unsur hara cukup besar akibat pemanenan tebu. Menurut Saryadi (1970 dalam Sudiatso, 1983), sekali pemanenan tebu rata-rata mengambil dari dalam tiap hektar tanah 100 kg N, 100 kg PO4, dan 350 kg K.

Biasanya cara yang paling sederhana dan paling nyata untuk meningkatkan hasil tanaman dalam suatu wilayah pada suatu penelitian pertanian adalah dengan mengidentifikasi kekurangan hara tanah dan kemudian menentukan aplikasi pupuk yang sesuai (Colwell, 1994). Penanaman tanaman pertanian dapat menyebabkan hilangnya unsur hara esensial melalui panen, apalagi diusahakan terus-menerus (DIKTI, 1991). Dengan demikian kesuburan tanah akan menurun secara terus-menerus, sehingga mencapai suatu keadaan yang mana penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil pertanian yang menguntungkan. Oleh karena itu kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan tanah mutlak diperlukan. Pemberian berbagai pupuk ke dalam tanah didasarkan pada kesuburan tanah. Beberapa cara yang telah dikenal dalam mempelajari status hara tanah untuk menilai kesuburan tanah, yaitu: (1) melihat gejala-gejala kekurangan unsur hara; (2) analisa tanaman; (3) uji biologi yang mana pertumbuhan dari tanaman atau mikroorganisme lain yang lebih tinggi digunakan sebagai ukuran kesuburan tanah; dan (4) uji kimia tanah (Tisdale et al. , 1990). Citra tanaman yang abnormal yang ditunjukkan oleh tanaman di lapangan, kemungkinan disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa faktor yang menunjang pertumbuhan tanaman. Kelainan pertumbuhan ini juga dapat disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa unsur hara yang terdapat dalam tanah. Tetapi dapat juga oleh akibat terdapatnya satu atau beberapa unsur lain yang berlebihan (keracunan) ataupun disebabkan hal-hal lain. Gejala-gejala kahat atau defisiensi unsur hara yang dapat dilihat adalah berupa: (1) terhambatnya pertumbuhan tanaman, namun hal ini tidak spesifik karena terhambatnya pertumbuhan tanaman juga dapat disebabkan oleh hal-hal lain; (2) kelainan pada warna yang biasanya tampak pada daun; (3) nekrosis atau matinya jaringan, misalnya keringnya pinggiran daun pada tanaman kedele akibat kekurangan kalium; dan (4) bentuk yang abnormal dari bagian-bagian tanaman (DIKTI, 1991). Identifikasi status hara tanah mengalami banyak kesulitan jika hanya ditinjau dari kekurangan hara. Setiap gejala yang timbul ada hubungannya

dengan fungsi dari setiap unsur tersebut dalam tanaman. Kadang-kadang gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh kekurangan unsur yang berbeda, karena unsur tersebut mempunyai fungsi yang sama dalam tanaman. Ataupun gejala yang tampak merupakan resultante yang timbul kemudian. Misalnya ke kurangan nitrogen hampir sama dengan gejala kekurangan magnesium, karena kedua unsur tersebut mempunyai fungsi dalam pembentukan khlorofil pada daun tanaman. Kesulitan lain dalam identifikasi status hara tanah juga sering timbul, antara gejala kekurangan hara dengan akibat lain, misalnya akibat serangan hama atau penyakit. Sebagai contoh yaitu gejala defisiensi boron hampir sama dengan gejala serangan hama penghisap daun yang terdapat pada tanaman alfafa. Selanjutnya sering terjadi bahwa produksi tanaman rendah sekali, sedangkan gejala kahat (kekurangan) suatu unsur hara tidak terjadi atau muncul. Ini berarti bahwa kadar unsur hara yang dibutuhkan tanaman berada di atas tingkat defisiensi tetapi masih di bawah kebutuhan tanaman untuk berproduksi tinggi. Peristiwa ini dikenal sebagai kelaparan yang tersembunyi atau hidden hunger (Tisdale et al., 1990). Analisa atau uji tanaman didasarkan pada asumsi bahwa jumlah unsur hara yang terdapat di dalam tanaman mempunyai hubungan dengan keadaan hara yang terdapat dalam tanah (Tisdale et al., 1990). Dari hasil uji tanaman akan didapat kadar dari unsur hara tertentu di dalam tanaman, yang mana ini dipakai sebagai dasar untuk menilai kesuburan suatu tanah. Kadar tersebut kemungkinan berada pada suatu titik yang kritis sehingga diperlukan tambahan unsur tersebut melalui pemupukan. Tetapi terjadi juga kesulitan lain yaitu adanya suatu unsur dalam tanaman yang dapat menyebabkan unsur lain menjadi kritis, misalnya unsur boron menjadi kritis dalam tanaman bila terdapat ba nyak unsur kalium. Dengan demikian uji tanaman akan berkurang nilainya atau kurang meyakinkan untuk menilai kesuburan tanah. Walaupun demikian uji tanaman terutama uji daun banyak membantu dalam merekomendasikan pemupukan untuk tanaman pepohonan yang berakar dalam. Akar dari tanaman ini akan menyebar ke seluruh bagian tanah sampai ke bagian yang lebih dalam dari lapisan olah. Selanjutnya akar tanaman mengabsorpsi hara-hara yang terdapat pada bagian yang lebih dalam

dari tanah dan hara tersebut akan didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, termasuk daun. Analisa jaringan tanaman dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya unsur hara yang diperlukan dan dapat diambil oleh tanaman. Whitney, Cope, dan Welch dalam Engelstad (1997) menyatakan bahwa interpretasi analisa tanaman ditempuh dengan membandingkan konsentrasi hara dalam sampel tanaman dengan konsentrasi hara standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Konsentrasi hara daun standar menurut Barnes (1964) disajikan pada Tabel 2. Jika hara berada dalam kondisi berlebih, maka penambahan unsur hara dalam bentuk pemupukan dapat kurang atau mungkin tidak perlu ditambah. Tabel 2 Kandungan hara daun standar Kategori N Kandungan hara daun (%) P2O5 K2O Berlebih Optimum Kurang > 1.85 1.66 1.85 1.45 1.66 > 0.55 0.45 0.55 0.35 0.45 > 1.75 1.26 1.75 0.75 1.26 (Sumber: Barnes, 1964) Menurut Jones et al. (1991), waktu yang baik untuk pengambilan sampel daun adalah pada umur tanaman 3 5 bulan. Daun yang dianalisa adalah daun ke tiga dari pucuk se banyak 15 lembar. Kandungan hara daun standar menurut Jones et al. (1991) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan hara daun standar Kandungan hara daun (%) Kategori NPK Rendah 1.60 1.90 0.15 0.17 0.90 1.00 Cukup 2.00 2.60 0.18 0.30 1.10 1.80 Tinggi > 2.60 > 0.30 > 1.80 (Sumber: Jones et al. , 1991) Sementara itu menurut Samuels (1955, dalam Muhali 1979) dikemukakan bahwa umur tebu yang baik untuk mendapatkan korelasi terbaik antara kadar hara di daun dan produksi tebu per hektar adalah umur tiga bulan, bila keadaan kebun tidak mengalami kekurangan air. Nilai hara daun standar menurut Samuels (1955, dalam Muhali 1979), disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan hara daun standar Kategori N Kandungan hara daun (%) P K Sangat rendah Rendah < 1.00 1.00 1.40 < 1.00 0.10 0.15 < 1.00 1.00 1.50 Cukup rendah Cukup Tinggi Sangat tinggi 1.40 1.50 1.50 2.00 2.00 2.50 > 2.50 0.15 0.18 0.18 0.25 0.25 0.30 > 0.30 1.50 1.65 1.65 2.00 2.00 3.00 > 3.00 (Sumber: Samuels, 1955, dalam Muhali 1979) Contoh daun yang diambil adalah daun-daun nomor 4, 5, dan 6 dihitung dari daun yang belum membuka pertama sebagai daun nomor 1. Umumnya dalam analisa daun dipakai daun yang membuka sepenuhnya yang ke tiga yang dihitung dari daun yang tidak menggulung tertinggi sebagai daun nomor 1. Kalau sampel daun tebu diambil pada umur lebih dari pada tiga bulan, maka harus dipakai faktor koreksi (dalam persen) yang ditambahkan pada hasil analisa daunnya agar didapatkan nilai untuk umur tiga bulan. Makin jauh waktu pengambilan sampel daun dari umur tiga bulan maka makin besar nilai faktor koreksinya (Tabel 5). Tabel 5 Faktor koreksi hasil analisa daun dari dasar analisa daun pada umur 3 bulan Unsur hara Jenis tanaman Faktor koreksi yang ditambahkan untuk hasil analisa daun pada umur sampel daun tebu (%) Tanpa irigasi Irigasi 4 bulan 5 bulan

6 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan N Plant cane 0.15 0.30 0.45 0.08 0.15 0.23 Ratoon 0.28 0.56 0.74 0.11 0.22 0.33 Plant P cane 0.015 0.015 0.015 0 0.008 0.016 Ratoon Plant cane K 0.24 0.24 0.24 0.12 0.24 0.36 Ratoon (Sumber: Samuels. 1959, dalam De Geus, 1973)

Uji biologi meliputi: (1) percobaan lapangan, (2) percobaan green house atau rumah kaca, dan (3) percobaan mikrobiologi (DIKTI, 1991). Percobaan lapangan mempunyai kelemahan yaitu percobaan selalu dipengaruhi oleh iklim, sehingga ada kemungkinan terdapatnya hasil yang selalu berbeda -beda pada setiap kali diulang. Selain itu percobaan la pangan meminta pembiayaan yang lebih besar, waktu yang lebih lama, dan tenaga yang lebih banyak. Sementara itu percobaan rumah kaca mempunyai kelebihan lebih cepat mengetahui status hara yang terdapat di dalam tanah, mudah pengulangan, dan relatif murah. Namun demikian percobaan rumah kaca mempunyai kelemahan yaitu bahwa keadaan lingkungan yang terkendali dalam rumah kaca dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman indikator lebih baik. Sedangkan percobaan mikrobiologi jauh lebih sederhana, relatif lebih cepat, hanya memerlukan sedikit tempat, dan biayanya relatif murah. Penilaian kesuburan tanah melalui uji tanah merupakan satu cara yang relatif lebih akurat dan cepat. Uji tanah mempunyai banyak kelebihan antara lain adalah: (1) lebih mudah diulang, (2) biayanya relatif lebih murah, (3) ruangan yang dipakai dapat sempit, dan (4) jangkauannya lebih jauh dari pada metode yang lain. Sedangkan kelemahan uji tanah adalah: (1) metode -metode yang tidak dapat dipakai untuk semua jenis tanah, (2) pengambilan contoh tanah untuk analisa harus benar-benar tepat dan akurat mewakili daerah yang sebenarnya. Dengan demikian diperlukan fasilitas laboratorium yang memungkinkan pelaksanaan analisa tanah (DIKTI, 1991). Uji tanah berdasarkan konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan tanaman yang normal. Uji tanah mempunyai tujuan: (1) memelihara (menjaga) status kesuburan dari suatu lahan tertentu; (2) meramalkan kemungkinan-kemungkinan ada nya respon yang menguntungkan dari pemupukan dan pengapuran; (3) mendapatkan rekomendasi pemupukan dan pengapuran; dan (4) mengevaluasi status serta tingkat kesuburan sesuatu daerah untuk tujuan rise t, pendidikan, dan pengembangan wilayah (Tisdale et al., 1990). Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa analisa tanah bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah bagi tanaman. Secara singkat

hasil dari uji tanah adalah dapat menentukan keadaan atau status hara tanaman yang terdapat dalam tanah, sehingga secara sederhana dapat disimpulkan kebutuhan hara tanaman yang dapat ditambahkan melalui pemupukan. Namun demikian harus pula diperhatikan mengenai kebutuhan hara yang tidak sama untuk setiap jenis tanaman, umur tanaman, dan keadaan iklim yang berbeda. Hambatan yang cukup serius dalam uji tanah adalah diperlukannya orang yang benar-benar ahli dan berpengalaman serta terlatih secara teknis yang menguasai prinsip-prinsip ilmiah dalam mengidentifikasikan hasil analisa. Untuk menentukan dosis pupuk berdasarkan hasil analisa tanah maka dapat digunakan nomograf tanah (Gambar 5). Gambar 5 Nomograf tanah untuk penentuan dosis pupuk (Pawirosemadi, 1980). Nitrogen merupakan hara esensial sekaligus hara pembatas utama pada sebagian besar tanah pertanian yang ditanami tanaman bukan legum. Tanaman adalah konsumen utama N, mengasimilasi 30-70% dari pupuk N yang diberikan (Boswell, Meisinger, dan Ned dalam Engelstad, 1997). Tujuan utama pemberian

pupuk N adalah untuk meningkatkan hasil bahan kering. Fungsi pupuk N adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman yang menghasilkan daun, da n meningkatkan berkembangbiaknya mikro organisme. Pasokan N yang cukup adalah penting untuk hasil optimum dan berkaitan dengan pertumbuhan vegetatif yang lebat dan warna hijau yang gelap. Menurut Indarto (1996), peran N dalam menentukan produksi gula sangat unik, karena di satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga akan meningkatkan produksi tebu, tetapi di sisi lain bila tanaman banyak mengandung N pada fase pemasakan akan menurunkan rendemen. Humbert (1968) menyatakan bahwa tanaman tebu yang kekurangan N akan mempunyai gejala daun berwarna kuning, daun cepat mati atau mengering, pertumbuhan anakan sedikit, batang kecil dan ruasnya pendek, pertumbuhan akarnya jelek, dan tanaman tebu cepat menua. Pupuk nitrogen diaplikasikan pada awal penanaman dan pada saat tanaman berumur 1.5 2 bulan, tetapi tidak melebihi 6 bulan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin pasokan N tersedia selama masa pertumbuhan, tetapi tidak menghambat fase pemasakan. Kuntohartono (1980 dalam Indarto, 1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tebu dibagi menjadi empat fase yaitu fase perkecambahan, fase pembentukan anakan, fase pertambahan tinggi batang, dan fase pemasakan. Dari keempat fase tersebut, hanya fase pemasakan yang tidak memerlukan N. Menurut Indarto (1996), pemberian N harus tepat, diantaranya adalah ketepatan dalam hal bentuk pupuk dan waktu pemupukan. Untuk tanaman tebu, pemberian pupuk N harus disesuaikan dengan tahap pertumbuhan agar N dapat diserap oleh tanaman, dan atau tidak tersedia karena tidak diperlukan lagi. Meisinger dan Ned dalam Engelstad (1997) menyatakan bahwa kebanyakan tanaman membutuhkan pasokan N yang berkesinambungan pada seluruh musim pertumbuhan dan keperluan ini akan bervariasi dengan tahap kematangan tanaman. Pemupukan Urea tahap pertama dit ujukan untuk memacu pertumbuhan tunas muda dan pertumbuhan anakan. Jumlah anakan yang terbentuk akan

mempengaruhi jumlah batang yang selanjutnya berpengaruh terhadap produksi tebu (Indarto, 1996). Pemberian pupuk dasar harus diperhatikan karena stek tebu yang baru ditanam belum mampu menyerap unsur hara dari pupuk yang diberikan. Oozer (1993) menyatakan bahwa terbentuknya akar stek yang dapat menyerap unsur hara baru terjadi pada umur 15 hari setelah tanam. Selain dengan analisa laboratorium, kandungan hara Nitrogen pada daun dapat diketahui dari pengukuran jumlah khlorofil dengan instrumen SPAD Chlorophyll Meter (Anonim, 2002). Hasil penelitian sudah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara hasil pengukuran instrumen tersebut dengan kandungan N daun. Cara kerja instrumen tersebut adalah dengan menjepitkan pada daun. Contoh model instrumen tersebut disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 SPAD Chlorophyill Meter (Anonim, 2002). Fosfat menyusun 0.1 0.4% bobot kering tanaman. Tanaman menyerap P selama keseluruhan siklus pertumbuhannya. Fungsi pupuk P adalah mempercepat pertumbuhan akar, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa pada umumnya, memperkuat tubuh, dan tanaman agar tidak roboh. Penyerapan P oleh tanaman tergantung pada ketersediaan P yang dipengaruhi oleh faktor tanah. Di dalam larutan tanah, P tersedia bagi tanaman dalam jumlah kurang dari satu ppm, sedangkan ketersediaan yang diharapkan lebih dari 40 ppm. Fosfat diserap oleh tanaman hanya sekitar 10% karena pada tanah asam, sebagian besar pupuk P difiksasi oleh Fe dan Al.

Efisiensi pemupukan P dari pupuk buatan sangat rendah. P yang terlarut akan segera dijerap menjadi Fe-P dan Al-P. Cara yang dapat digunakan untuk menekan kejenuhan Al yang tinggi adalah dengan menggunakan pupuk P dosis tinggi. Penerapan pemupukan dengan dosis tinggi bertujuan untuk penjenuhan penyematan P dalam tanah dan pemenuhan kebutuhan hara P pada tanaman tebu (Djojonegoro et al., 1992). Pupuk P diaplikasikan pada saat penanaman bersamaan dengan pupuk N. Menurut Soeminto (1996), pemberian pupuk P pada saat tanam sangat diperlukan, terutama pada tanah yang kahat P. Pemberian pupuk P yang terlambat akan berakibat tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, masa pembungaan terlambat, dan kondisi perakaran yang buruk. Fungsi fisiologis akar untuk menyerap nutrisi menjadi berkurang. Cara penempatan pupuk P sangat berpengaruh terhadap efisiensi penyerapan oleh tanaman. Soeminto (1996) menyatakan bahwa penempatan pupuk N dan P bersama-sama pada kedalaman beberapa centimeter di bawah permukaan tanah akan lebih efektif untuk meningkatkan penyerapan P oleh tanaman daripada cara penempatan terpisah atau diaduk dengan lapisan olah. Kalium menyusun 0.5 4.0% bobot kering tanaman, sedangkan tanah mengandung 0.5 2.5% K dalam lapisan 15 cm teratas. Fungsi pupuk K adalah mempercepat sintesis (pembentukan) zat karbohidrat dalam tanaman dan mempertinggi daya tahan terhadap hama penyakit. Jumlah K yang harus ditambahkan untuk mempertahankan tanah pada tingkat tertentu akan tergantung pada tingkat awal dan derajat penyematan K oleh tanah. Jumlah pupuk K yang diperlukan oleh tanaman tertentu tergantung pada kebutuhan tanaman, jumlah K yang terdapat dalam tanah, dan efisiensi penggunaan K oleh tanah dan tanaman. Tanaman-tanaman yang mengangkut K dalam jumlah besar menurunkan tingkat K tersedia dalam tanah dan meningkatkan kebutuhan akan K. Pupuk K diaplikasikan pada saat pemupukan kedua (tanaman berumur 1.5 2 bulan), sehingga K yang dapat diserap oleh tanaman cukup banyak. Menurut Barber, Robert, dan Dancy dalam Engelstad (1997), jika K diberikan dalam baris pada saat penanaman, maka K yang ditambahkan bersentuhan dengan perakaran yang terlalu sedikit sehingga serapan K tidak tinggi.

Peningkatan pemberian sesuatu unsur hara kepada tanaman tidak selalu diikuti dengan peningkatan kandungan unsur hara tersebut di dalam daun dan peningkatan hasilnya. Pemberian hara N yang tinggi perlu diikuti pemberian P2O5 yang tinggi pula dan sebaliknya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hasil akan menurun dalam hal ini tampak adanya kemungkinan antagonisme. Walaupun tidak nyata, ada kecenderungan interaksi antara unsur hara P2O5 dan K2O dapat memperbaiki rendemen. Di sini ada suatu kemungkinan sinergisme antara hara P2O5 dan K2O. Kandungan hara N daun yang rendah selalu diikuti dengan hara K2O daun yang tinggi. Tetapi dalam keadaan kandungan hara N daun yang tinggi melampaui jenjang normalnya, maka peningkatan kandungan hara N daun diikuti dengan meningkatnya kandungan K2O. Di sini tampak adanya kemungkinan reaksi katalisis. Hubungan dan interaksi antara hara N, P2O5 ,dan K2O dalam daun disajikan pada Gambar 7. N P K Gambar 7 Hubungan dan interaksi antara hara N, P2O5 ,dan K2O dalam daun (Pawirosemadi, 1980). Keterangan Gambar 7 : suatu kemungkinan reaksi katalisis suatu kemungkinan antagonisme suatu kemungkinan sinergisme Efisiensi pemupukan merupakan persentase jumlah pupuk ditambahkan yang secara nyata digunakan oleh tanaman (Miller et al., 1990). Definisi lain menyatakan bahwa efisiensi penggunaan pupuk merupakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap dan jumlah hara yang ditambahkan (Leiwakabessy dan

57 Sutandi, 1998). Definisi ini hanya memperhitungkan efisiensi hara yang berasal dari pupuk masuk ke tanaman yang mana lainnya tercuci, menguap, atau terfiksasi oleh tanah tanpa melihat respon tanaman terhadap pemupukan. Definisi lain dari efisiensi penggunaan pupuk adalah sejauh mana tanaman dapat memanfaatkan unsur hara yang telah diserap untuk berproduksi lebih tinggi tanpa menambah hara yang diperlukan. Definisi ini lebih mementingkan respon tanaman terhadap pemupukan. Pada umumnya penggunaan pupuk, efisiensi yang diharapkan adalah mendekati 30-70% dari N yang ditambahkan, 5-30% dari P yang ditambahkan, dan 50-80% dari K yang ditambahkan. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (1998), usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk adalah 1 Uji tanah Dosis optimum yang menghasilkan keuntungan maksimum adalah dosis yang terbaik sebagai hasil dari uji tanah yang baik. Akan tetapi hasil uji tanah seringkali sulit untuk menetapkan dosis N yang optimum. Ketersediaan N dalam tanah (dalam bentuk NH4 atau NH3) seringkali berubah setiap waktu karena keseimbangan N dalam tanah ditentukan oleh N-organik. Perubahan N-organik dalam tanah sejalan dengan pengelolaan bahan organik. 2 Pengapuran Pengapuran dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat-sifat tersebut akan memperbaiki pertumbuhan tanaman, sehingga pupuk yang diberikan (untuk mengoreksi suplai hara yang berasal dari tanah setelah pengapuran) akan digunakan secara efisien. Sifat kimia yang diperbaiki adalah meningkatnya pH tanah, meningkatnya kebanyakan ketersediaan hara esensial, menurunnya aktivitas Al, Fe, dan Mn yang bersifat racun bila berlebihan. Oleh karena itu perkembangan akar tanaman menjadi optimum. Selain itu pengapuran mendorong pertumbuhan bakteri penambat N. Kalsium dari kapur akan memperbaiki struktur tanah yang sifat fisiknya buruk, melalui flokulasi dan granulasi koloid tanah. Dengan perbaikan tersebut, maka penetrasi akar tidak

58 terhambat dan aerasi ta nah lebih baik, sehingga perkembangan akar tidak terbatas. 3 Penempatan pupuk Kondisi tanah menentukan cara penempatan pupuk yang lebih efisien. Cara sebar mengarah ke penggunaan dosis yang lebih tinggi dan lebih sesuai untuk tanaman berbiji kecil. Alasan penting yang berkaitan dengan penempatan pupuk, yaitu: a Efisiensi penggunaan hara oleh tanaman dari saat berkecambah sampai dewasa. Awal tumbuh yang cepat dan kontinyuitas ketersediaan hara merupakan hal yang esensial untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Penempatan pupuk tidak saja agar pupuk dapat diambil tanaman, tapi juga agar intersepsi akar mengarah ke lapisan yang lebih dalam di mana kelembaban lebih baik sepanjang musim. b Mencegah kerusakan (salt injury) pada saat perkecambahan. Hara N, P, dan K yang mudah larut akan membahayakan kecambah. Untuk itu penempatan pupuk perlu ada jarak dengan biji, terutama bagi tanaman berbiji kecil yang peka terhadap kadar garam tinggi. Pupuk dapat berdekatan dengan biji asalkan dosis yang digunakan rendah. c Kemudahan pemberian. Metode penempatan pupuk hendaknya disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja, biaya, dan waktu. 4 Waktu pemupukan Dalam pemupukan N, waktu pemberian pupuk merupakan hal yang penting. Walaupun pupuk N dapat diberikan sebelum tanam, setelah tanam dengan side dressed atau top dressed untuk tanaman berbiji kecil, namun pemberian ini tidak selalu efektif karena N dalam tanah mudah berubah yang mana dalam bentuk N-NO3 bersifat mobil. Pemberian N yang paling efektif adalah pada saat tanaman tumbuh paling cepat dan pada saat tanaman memerlukan N paling banyak. 5 Penggunaan legum Tanaman legum dapat bersimbiose dengan bakteri penambat N bebas dari udara. Dengan demikian penanaman legum atau rotasi antara legum dan

59 non legum akan mengurangi penggunaan pupuk N. Pembenaman limbah tanaman legum setelah panen, selain penambahan bahan organik ke dalam tanah juga akan menambah sejumlah nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman yang ditanam berikutnya. 6 Penggunaan pupuk kandang Pupuk kandang berfungsi sebagai bahan ameliorasi yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan N dapat dihemat dengan penggunaan pupuk kandang dan limbah tanaman legum. 7 Seleksi varietas Seleksi varietas diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang dapat beradaptasi paling baik pada tanah-tanah tertentu, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi produksi maksimum dalam lingkungannya. Dengan demikian respon tanaman terhadap pemupukan akan tinggi yang mana pemakaian setiap satuan pupuk dapat digunakan untuk berproduksi secara maksimum. 8 Pengendalian hama, penyakit, dan gulma Hama ataupun penyakit tanaman akan merusak bagian tanaman atau menghambat pertumbuhan tanaman sehingga produksi menurun. Oleh karena itu pemilihan insektisida, fungsida, atau pestisida lainnya secara tepat sangat penting dalam peningkatan efisiensi berproduksi. Sedangkan gulma akan menyaingi tanaman pokok dalam penggunaan air, cahaya, ataupun hara, sehingga tanaman tidak dapat memanfaatkan faktor produksi secara optimal. 9 Penentuan dan pengaturan w aktu dan pola tanam (pergiliran tanaman) Pola tanam yang tepat memungkinkan pemanfaatan unsur iklim dan kelembaban tanah yang paling baik untuk pertumbuhan tanaman. 10 Pengaruh carry over Residu pupuk atau kapur perlu diperhatikan karena pupuk, kapur, ataupun bahan organik yang dibenamkan ke dalam tanah tidak habis terangkut atau terurai pada tahun pertama pemberian. Kalau hal ini diperhitungkan berarti jumlah pupuk yang diperlukan dari tahun ke tahun atau musim ke musim menjadi berkurang.

11 Rotasi tanaman Rotasi tanaman dapat menghemat penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk N akan berkurang setelah penanaman legume, atau dosis pupuk dapat dikurangi setelah penanaman tanaman yang bernilai ekonomi baik dengan dosis yang tinggi. 12 Pengairan dan pengelolaan lainnya Pemberian air dan pengelolaan lainnya bermaksud membuat lingkungan tumbuh tanaman lebih baik atau untuk menghilangkan faktor pembatas tanaman agar tanaman dapat berproduksi lebih tinggi, sehingga efisiensi penggunaan pupuk dapat meningkat seperti disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Respon tanaman gandum beririgasi dan tanpa irigasi terhadap aplikasi nitrogen (Braun dan Roy, 1983). Precision Farming Pada pertanian konvensional (conventional farming), seluruh bagian lahan mendapatkan perlakuan yang seragam. Laju aplikasi yang konstan tersebut seringkali didasarkan pada pengukuran sifat sampel tanah gabungan yang dikumpulkan untuk merepresentasikan karakteristik rata-rata dari keseluruhan lahan. Dengan perla kuan demikian, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah adanya aplikasi yang berlebihan (overapplication) dan aplikasi yang kurang

(underapplication). Sedangkan dengan precision farming, dapat dilakukan pengaturan masukan pertanian sesuai kebutuhan spesifik tempat tertentu pada setiap lokasi di dalam lahan. Jadi terdapat perbedaan mendasar antara precision farming dan conventional farming yaitu masalah keragaman (variability ). Variability merupakan gagasan kunci dari precision farming, khususnya penjabaran variability di dalam lahan. Variability harus dijabarkan paling tidak dalam tiga aspek yaitu spatial variability , temporal variability , dan predicti ve variability . Precision farming merupakan istilah yang digunakan untuk menjabarkan tujuan peningkata n efisiensi dalam pengelolaan pertanian (Blackmore, 1994). Definisi lain precision farming adalah pengelolaan setiap masukan produksi tanaman pupuk, kapur, herbisida, insektisida, bibit, dan lain-lain pada suatu tempat tertentu untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan keuntungan, dan menjaga kualitas lingkungan (Kuhar, 1997). Precision farming memungkinkan adanya peningkatan produktivitas, sementara biaya produksi menurun dan dampak lingkungan minimal (NRC 1997, dalam Shibusawa, 2001). Menurut Blackmore (1994), tiga aspek dalam precision farming adalah: (1) menemukan apa yang terjadi dalam lahan, (2) memutuskan apa yang dilakukan untuk itu, dan (3) memberi perlakukan pada area tergantung pada keputusan yang dibuat. Tanaman dan sifat tanah tidak hanya bervariasi terhadap jarak dan kedalaman, tetapi juga terhadap waktu. Beberapa sifat tanah adalah sangat stabil , berubah kecil terhadap waktu, seperti tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Sifat-sifat tanah yang lain, seperti kadar nitrat (NO3-) dan kandungan lengas da pat berfluktuasi dengan cepat. Precision farming melakukan pengumpulan sampel tanah dan tanaman untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana variasi kondisi di lahan. Teknologi precision farming dapat digunakan dalam semua aspek sik lus produksi tanaman dari operasi pratanam sampai pemanenan. Teknologi tersebut sekarang tersedia, atau akan segera ada, untuk memperbaiki pengujian tanah (soil testing), pengolahan tanah (tillage), penanaman (planting), pemupukan

(fertilizing), pemberantasan gulma (spraying), pemanduan tanaman (crop scouting ), dan pemanenan (harvesting ). Pemakaian precision farming dalam praktek memerlukan pendekatan sistem terintegrasi yang baik yang mengkombinasikan teknologi keras (hard technology ) dan sistem lunak (soft systems) seperti disajikan pada Gambar 9. Pelaksanaan precision farming merupakan suatu siklus yang berkesinambungan dari tahap perencanaan (planning season), tahap pertumbuhan (growing season), dan tahap pemanenan (harvesting season ) seperti disajikan pada Gambar 10. Pada saat ini banyak produsen tanaman menerapkan site-specific crop management (SSCM ). Pemantauan hasil secara elektronis (electronic yield monitoring) seringkali menjadi tahap pertama dalam mengembangkan SSCM atau program precision farming. Data hasil tanaman yang presisi dapat digabungkan dengan data tanah dan lingkungan untuk memulai pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan tanaman secara presisi (precision crop management system). Menurut Wolf dan Wood (1997), komponen teknologi dari precision farming adalah : (1) global positioning system (GPS), (2) yield monitoring, (3) digital soil fertility mapping , (4) crop scouting , dan (5) variable rate appli cation (VRA). Precision farming diprediksi pada geo-referencing, yaitu penandaan koordinat geografi untuk titik-titik pada permukaan bumi. Dengan global postioning system (GPS) dimungkinkan menandai koordinat geografi untuk beberapa objek atau titik dalam 5 cm, walaupun keakuratan dari aplikasi pertania n kisaran umumnya adalah 1 sampai 3 meter. GPS adalah sistem navigasi berdasarkan satelit yang dibuat dan dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS telah terbukti menjadi pilihan dalam postioning system untuk precision farming. Metode untuk meningkatkan keakuratan pengukuran posisi disebut koreksi diferensial atau DGPS (differential global postiong syste m). Perangkat keras yang diperlukan adalah GPS receiver, differential correction signal receiver, GPS antenna , differential correction antenna , dan computer/monitor interface.

Economic Push Environmental Pull Legislation Geographical Information System Improved Control PRECISION FARMING Reduced Inputs Implement Control & Monitoring Vehicle Positioning System Increased Efficiency Crop Models & Field History Decision Support System Geographical Information System Management Information System Less Waste Less Environmental Impact Improved Gross Margin Economic Push Environmental Pull Legislation Geographical Information System Improved Control PRECISION FARMING Reduced Inputs Implement Control & Monitoring Vehicle Positioning System Increased Efficiency Crop Models & Field History Decision

Support System Geographical Information System Management Information System Less Waste Less Environmental Impact Improved Gross Margin Gambar 9 Interaksi dalam Precision Farming (Blackmore,1994) .

Gambar 10 Siklus proses dalam precision farming (Kuhar, 1997). Harvest dan Yield Monitoring Pemantauan hasil (yield monitoring) pada pemanenan dilakukan melalui pengukuran produksi tanaman untuk koordinat geografi tertentu, yang selanjutnya dapat dibuat peta hasil (yield map) seperti disajikan pada Gambar 11. Sedangkan untuk dapat menghasilkan peta yang sesuai dengan lokasi diperlukan GPS receiver (Gambar 12). Gambar 11 Transfer data dalam pemantauan hasil dan sistem pemetaan (Kuhar, 1997).

Gambar 12 Mesin pemanen pengumpul data hasil untuk pemetaan (Kuhar, 1997) Soil Testing dan Data Analysis Dalam praktek tradisional, pengujian tanah dan aplikasi pemupukan diarahkan pada ukuran yang relatif besar. Dengan precision farming, lahan dibagi dalam sel-sel jaringan (grid cells), yang mana lokasinya ditentukan dengan GPS. Pada saat ini, ukuran sel-sel jaringan yang paling umum adalah 2,5 dan 3,3 acre (1 acre = 0,4646 ha). Bahan sampel tanah dari setiap sel jaringan dikirim ke laboratorium pengujian tanah, selanjutnya diubah menjadi peta digital (digital map) yang digunakan untuk mengelola aplikasi pupuk (Kuhar, 1997). Pengambilan sampel tanah dalam precision farming harus mendapat perhatian yang serius agar diperoleh analisa keragaman yang memadai dan pengambilan sampel yang efisien. Oleh karena itu diperlukan informasi spasial, diantaranya adalah stratifikasi geografis dan pengambilan sampel spasial yang sistematis. Metode pengambilan sampel tanah yang umum digunakan adalah pengambilan sampel berdasarkan grid (grid sampling) dan pengambilan sampel berdasarkan jenis tanah (soil type sampling). Pada pengambilan sampel berdasarkan grid, lahan dibagi menjadi sel-sel berbentuk bujur sangkar atau empa t persegi panjang berukuran beberapa acre atau lebih kecil (Gambar 13).

Gambar 13 Pengambilan sampel tanah berdasarkan grid (Kuhar, 1997). Pada pengambilan sampel berdasarkan grid, metode yang dapat dipakai adalah grid center method dan grid cell method. Ilustrasi grid center method disajikan pada Gambar 14, sedangkan grid cell method disajikan pada Gambar 15.

radius 10 feet Gambar 14 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid center (Kuhar, 1997). Pada metode grid center, sampel tanah diambil dalam ruang lingkaran radius 10 sampai dengan 30 feet (1 feet = 0.3048 m) dan kemudian dicampur untuk dianalisa di laboratorium.

Gambar 15 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid cell (Kuhar, 1997). Pada metode grid cell, sampel tanah diambil secara acak pada beberapa tempat dalam setiap sel kemudian dicampur untuk dianalisa di laboratorium. Sampai saat ini, para peneliti masih mencari pola yang paling baik dalam pengambilan sampel tanah pada setiap sel. Beberapa pola yang dapat dilakukan dalam pengambilan sampel tanah pada setiap sel disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Alternatif pola pengambilan sampel tanah pada metode grid cell (Kuhar, 1997).

Pada pengambilan sampel tanah berdasarkan jenis tanah, sampel diambil pada tempat-tempat dengan jenis tanah yang sama (Gambar 17). Gambar 17 Pengambilan sampel tanah pada soil type sampling (Kuhar, 1997) Variable Rate Application Setelah sampel tanah diambil kemudian dianalisa di laboratorium, dan diperoleh digital soil fertility map, maka hasil analisa dapat diaplikasikan dal am variable rate application (VRA). VRA adalah satu-satunya pendekatan manajemen untuk pemusatan perhatian di dalam lahan, yang memerlukan: (1) posisi yang tepat di lahan, (2) informasi yang tepat pada lokasi, dan (3) operasi yang tepat pada waktunya pada tempat yang membutuhkan, yang mana keragaman spasial (spatial variability ) sebelumnya sudah dijabarkan, sehingga pengaturan masukan pertanian untuk kebutuhan tempat tertentu pada setiap lokasi di lahan dapat dilakukan. Peralatan (equipment) untuk melakukan variable-rate application (VRA) disebut Variable -Rate Technology/VRT (Kuhar, 1997). Metode dasar untuk implementasi VRA adalah: -map-based VRA Metode ini mengatur laju aplikasi (application rate) bahan berdasarkan informasi dalam peta elektronis dari sifat lahan. Sistem dengan metode ini harus mampu menentukan posisi mesin di dalam lahan dan

menghubungkan posisi tersebut terhadap laju aplikasi yang diinginkan dengan membaca peta. Laju aplikasi didefinisikan sebagai volume dari bahan yang diaplikasikan per satuan luas atau berat dari bahan yang diaplikasikan per satuan luas. Pada kecepatan jalan kendaraan aplikator (15 mil/jam atau lebih), penglihatan ke depan (looking ahead) pada peta untuk perubahan laju berikutnya menjadi fungsi pengontrol. Prosedur penglihatan ke depan diperlukan untuk menghitung waktu yang diperlukan peralatan untuk mengatur laju aliran bahan sesudah keputusan dibuat untuk merubah laju aplikasi. -sensor-based VRA Metode ini menggunakan data dari real-time sensors peta laju aplikasi untuk mengontrol secara elektronis operasi-operasi site -specific field. Real-time sensors beroperasi mengukur sifat tanah dan karakteristik tanaman, selanjutnya sistem kontrol VRA secara otomatis menggunakan data sensor untuk memadukan masukan seperti pupuk atau herbisida sesuai kebutuhan tanah dan tanaman. Sensor harus dapat memberikan aliran data yang berkesinambungan pada pengontrol sehingga masukan dapat diubah-ubah mencakup luasan-luasan kecil di seluruh lahan. Metode ini tidak memerlukan sistem pemposisian (postioning system). Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk itu pe ngguna perlu mengkombinasikan kedua metode tersebut untuk mendapatkan manfaat ekonomis dan lingkungan yang paling baik. Menurut Kuhar (1997), komponen utama sistem kontrol otomatis VRA adalah pada map based VRA -sensors postioning, pressure/flow, ground speed -controllers -actuators pada sensor-based VRA -sensors soil/plant, pressure flow, ground speed -controllers -actuators

Sampai saat ini, aplikasi VRT telah banyak dikembangkan terutama untuk pupuk dan herbisida, namun demikian operasi-operasi lahan yang lain juga dapat menggunakan VRT, yaitu pengolahan tanah dan penyiapan lahan, penanaman, aplikasi pupuk kandang, pemberantasan hama dan penyakit, sistem air dan irigasi, diagnosa tanaman, dan pemanenan (Kuhar, 1997). - Pengolahan tanah dan penyiapan lahan (tillage) Dalam sistem pengolahan tanah konservasi, sensor bahan organik tanah dapat digunakan untuk mengarahkan pembuatan alur atau mekanisme pembersihan selama penanaman tanaman beralur (Kuhar, 1997). Untuk tanah dengan kadar bahan organik tanah yang tinggi, pembersih alur akan menbersihkan residu dari permukaan tanah di dekat alur yang ditanami. Hal tersebut akan memungkinkan sinar matahari mempercepat pemanasan dan pembasahan dari tanah yang cenderung tetap dingin dan basah. Untuk tanah dengan kadar bahan organik tanah yang rendah, pembersih alur mungkin ditingkatkan untuk mencegah gangguan residu. Residu dapat membantu mengurangi kecenderungan kadar bahan organik tanah yang rendah menjadi keras pada permukaan tanah karena pengeringan sesudah hujan. Dalam sistem pengolahan tanah konvensional, sensor pemadatan tanah dapat digunakan untuk daerah sasaran (target zones), dengan posisi dan kedalaman, untuk perlakuan dengan mertode mekanis atau biologis. -Pemupukan (fertilizer application) Aplikasi VRT pada pemupukan telah banyak dikembangkan, contoh yang tersedia secara komersial untuk sistem dengan kontrol sensor-based adalah Soil Doctor sebagai produksi dari Crop Technology, Inc., Houston, TX, sedangkan untuk sistem dengan kontrol map-based adalah SOILECTION sebagai produksi dari Ag -Chem Equipment Co., Inc., Minnetonka, MN (Kuhar, 1997). Soil Doctor dirancang untuk mengelola pupuk dan bahan kimia pertanian secara otomatis dengan baik. Alat ini menggunakan 2 atau 3 coulter yang berhubungan dengan tanah yang berfungsi sebagai sebuah susunan sensor tunggal (Gambar 18).

Gambar 18 Soil Doctor dengan coulter pengindera (Kuhar, 1997). Potensial antara coulter pada Soil Doctor menimbulkan medan listrik. Sifat tanah antara coulter tersebut mempengaruhi karakteristik medan listrik dan menimbulkan sinyal untuk controller sehingga menghasilkan bermacam jumlah pupuk/bahan kimia yang dapat diaplikasikan. Untuk pupuk cair seperti larutan N 28%, laju aplikasi diukur dengan katup solenoid. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi keluaran sensor adalah jenis tanah, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation, kandungan lengas tanah, dan kandungan nitrogen nitrat (NO3-). Algoritma kontrol menggunakan masukan sensor, petunjuk agronomis, dan sasaran hasil untuk menentukan laju aplikasi pupuk nitrogen pada tempat tertentu secara real-time. SOILECTION digunakan untuk aplikasi bahan kering dan cair (Kuhar, 1997). Proses penyusunan peta digunakan untuk memilih dan mengontrol bermacam pupuk dan herbisida selama alat melintas di lahan. Satu peta dapat digunakan untuk mengontrol laju pupuk P, peta yang lain mengontrol pupuk K, sementara yang lain mengontrol aplikasi kapur, dan sebagainya. Sistem menggunakan Fertilizer Applicator Local Control Operating Network (FALCON) yang berfungsi untuk : -memantau arah dan kecepatan aplikator -mengukur jarak penyebaran -mengatur laju aplikasi -mengatur pencampuran beragam bahan -memantau tingkat ketersediaan bahan -mengontrol penutupan boom kanan dan kiri -memantau dan memberitahu operator terhadap status sistem aplikasi

Selain kedua aplikator tersebut juga terdapat aplikasi VRT untuk pupuk butiran pada budidaya padi, yaitu aplikator pupuk butiran model GS-MPV 8 produksi Hatsuta Industrial Company yang domodifikasi oleh Radite, Umeda, Iida, dan Khilael dengan sistem VRA seperti pada Gambar 19. Gambar 19 Sistem VRA pada aplikator pupuk butiran model GS-MPV 8 modifikasi (Radite et al., 2000). -Penanaman (planting ) Lengas tanah diperlukan oleh bibit yang ditanam untuk menjamin perkecambahan. Alat tanam yang dapat mengindera lengas tanah dan dapat mengatur kedalaman penanaman (Gambar 20) dapat digunakan untuk menjamin bahwa bibit ditempatkan pada tanah yang basah (Kuhar, 1997). Gambar 20 Sensor lengas tanah pada variable -depth planter (Kuhar, 1997).

Alat tanam juga dapat dilengkapi dengan tempat bibit yang banyak untuk memungkinkan penanaman varietas bibit yang berbeda pada lokasilokasi yang berbeda di dalam lahan. Proses tersebut dapat dengan salah satu dari map-based atau sensor-based, tergantung pada faktor-faktor yang menentukan seleksi varietas. -Pemeliharaan tanaman (herbicide application) Sensor bahan organik tanah dapat digunakan untuk VRA pada aplikasi herbisida pratanam dengan sensor-based (Kuhar, 1997). Jumlah bahan organik di dalam tanah mempengaruhi efektivitas beberapa herbisida. Oleh karena itu direkomendasikan laju aplikasi herbisida yang lebih tinggi jika terdapat bahan organik yang lebih banyak. Sensor bahan organik dapat secara otomatis mengatur laju herbisida berdasarkan kandungan bahan organik tanah tanpa analisis data tambahan atau peta. Sensor ditarik atau ditekan melalui tanah dengan rig pada aplikator herbisida. Jika keluaran sensor dipetakan, maka dapat digunakan untuk merancang aplikasi herbisida dengan map-based VRA. Selain itu, peta kandungan bahan organik tanah tersebut juga dapat digunakan selama penanaman untuk bermacam laju penanaman. -Aplikasi pupuk kandang (manure application) Pupuk kandang adalah sumber yang kaya hara yang dapat diperlakukan sebagai limbah atau dikelola sebagai pupuk dan sumber perubahan tanah. Sifat dan karakteristik pupuk kandang bervariasi terhadap jenis hewan, umur hewan, makanan, jenis kandang, metode penanganan, dan waktu. Bahan pupuk kandang tidak konsisten dan proporsi hara seperti N, P, dan K dalam pupuk kandang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman (Kuhar, 1997). Untuk waktu yang lama, pupuk kandang diperlakukan sebagai limbah dan hara yang semestinya bermanfaat bagi tanaman hanya menjadi polusi bagi air. Di masa yang akan datang, sensor hara tanah, sensor hara pupuk kandang, sensor aliran, dan VRT untuk itu dapat memberikan penge lolaan yang presisi terhadap pupuk kandang.

-Pemberantasan hama (pesticide application) Sensor yang berhasil mengidentifikasi gulma (hama/pengganggu) tersedia secara komersial. Mengidentifikasi gulma yang sedang tumbuh di tengah-tengah tanaman adalah sesuatu yang sangat sulit. Sensor yang dapat menggunakan bentuk dan warna daun untuk mengenal gulma dari tanaman akan membantu membawa VRA pada penanganan gulma (Kuhar, 1997). Sistem atau sensor yang mengenal gulma dengan VRT yang membawa bermacam pestisida, akan memungkinkan penanganan gulma dengan baik. Jika gulma diketahui lokasinya dan teridentifikasi, maka bahan kimia yang sesuai dapat diaplikasikan untuk itu. -Sistem air dan irigasi (water and irrigation system) Perkembangan berkelanjutan dari sensor pengukur lengas tanah memungkinkan VRA untuk air melalui sistem irigasi center-pivot (Kuhar, 1997). Selain itu, bahan kimia juga dapat diaplikasikan pada tempat tertentu berkaitan dengan air irigasi. -Diagnosa tanaman (crop diagnosis) Penyakit atau kekurangan hara mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil, seringkali ditunjukkan melalui pewarnaan daun yang luar biasa atau tidak teratur, pola kehitaman pada daun-daun tanaman. Sistem mesin visi (machine vision systems) yang digabungkan dengan sistem informasi diagnostik tanaman dan DGPS, akan memungkinkan pemetaan otomatis penyakit tanaman atau kekurangan hara untuk keperluan perlakuan yang tepat (Kuhar, 1997). -Pemanenan (harvesting) Aplikasi VRT untuk pemanenan lebih banyak dilakukan pada tanaman butiran (grain crops), sedangkan untuk tanaman non-butiran (non-grain crops) sedang atau telah dikembangkan (Kuhar, 1997). Pada pemanenan tanaman butiran, untuk mengetahui hasil saat panen dengan segera, maka komponen yang bekerja bersama untuk mengukur aliran yang ada dan laju yang sedang bekerja, serta untuk menghitung, menampilkan, dan

merekam hasil panen adalah grain flow sensor, grain moisture sensor, ground speed sensor, header position switch , dan display console (Gambar 21). Gambar 21 Sistem pe mantauan hasil panen tanaman butiran (Kuhar, 1997). Crop Scouting, Data Analysis, dan VRA Pada musim pertumbuhan tanaman dilakukan pemantauan kondisi tanaman, seperti analisa hara daun, gulma, dan penyakit tanaman, untuk kemudian dianalisa dan diaplikasikan dalam variable rate application (VRA). Terekamnya bagian lahan yang bermasalah dengan DGPS dan adanya software yang tepat maka perlakuan yang presisi dapat dimungkinkan. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personil, yang didisain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Definisi lain dari SIG adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan data grafis dengan data teks (atribut) objek yang diikat secara geografis di bumi /georeference (WK, 2001). SIG dapat menggabungkan data data, memanajemen kemudian melakukan analisis sehingga akhirnya menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijaksanaan atau keputusan dari kasus yang dihadapi. Secara sederhana, SIG

dapat didefinisikan sebagai sistem komputer yang mempunya i kemampuan pencakupan dan penggunaan data yang mendeskripsikan tempat-tempat pada permukaan bumi (Gambar 22). Gambar 22 Konsep Sistem Informasi Geografis (ESRI, 1990). Komponen SIG dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu perangkat keras (computer hardware), perangkat lunak (set of application modules), perangkat otak/manajemen ( a proper organizational context), dan data-informasi geografi. Komponen SIG disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 Komponen Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001).

Plotter Tape drive Komponen perangkat keras SIG yang umum terdiri dari CPU (Central Processing Unit), VDU (Visual Display Unit), digitizer , plotter, disk drive , d an tape drive (Gambar 24). Digitizer Disk drive CPU VDU Gambar 24 Komponen utama perangkat keras SIG (Burrough, 1986). Perangkat lunak SIG terdiri dari lima modul teknik dasar, yaitu (1) masukan data dan verifikasi, (2) penyimpanan data dan manajemen basis data, (3) keluaran data dan presentasi, (4) transformasi data, dan (5) interaksi dengan pengguna. Perangkat otak/manajemen menangani perangkat lunak yang canggih dan perangkat keras yang khusus, berupa pakar yang terlatih sebagai penghubung antara problem tematik dan penggunaan SIG untuk menyelesaikan masalah. Hal ini berarti bahwa staf SIG harus mempunyai pengetahuan menangani masalah teknis SIG dan pendidikan khusus yang berhubungan dengan tugas tertentu, misalnya pemecahan masalah khusus pemodelan dengan menggunakan alat Bantu SIG, menerjemahkan metode keilmuan ke bahasa SIG, tata letak dan produksi peta, pengelolaan basis data, dan lain sebagainya. Proses yang bekerja dan terkait dengan SIG adalah masukan data (input), kegiatan pembuatan peta tematik (analysis), dan peta-peta tematik hasil analisis (output). Data-data yang digunakan dalam SIG umumnya dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:

1) Data grafis a) Data raster, yaitu semua data digital yang didapat dari scanning dan datadata lain yang belum dalam format vektor. b) Data digital, adalah data-data digital yang didapat dari hasil digitasi yang telah dilengkapi dengan data-data teks dan data -data atribut lain, misalnya jaringan jalan beserta namanya, Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan anak-anak sungainya. 2) Data tabular, adalah data-data selain data grafis yang berupa data pendukung, berupa teks, angka, dan data pendukung lain. 3) Data vektor, adalah data-data digital atau data-data yang telah diubah ke dalam bentuk digital dan telah dilengkapi dengan data-data objek atau informasi objek. Menurut Suharnoto (1995), persoalan-persoalan yang dapat diselesaikan dengan SIG menyangkut: 1) Lokasi Pertanyaan yang sering menyangkut lokasi adalah : What is at ? Pertanyaan ini ingin mengetahui apa yang ada pada lokasi tertentu. Lokasi dapat dijelaskan dengan menggunakan banyak cara. Sebagai contoh adalah: nama tempat, kode pos, atau referensi geografi seperti lintang dan bujur. 2) Kondisi Pertanyaan yang menyangkut kondisi adalah : Where is it ? . Pertanyaan ini adalah kebalikan pertanyaan sebelumnya dan memerlukan analisa spasial untuk menjawabnya. Disamping ingin mengidentifikasi apakah yang terdapat pada lokasi tertentu, lokasi dengan kondisi yang diinginkan dapat dicari (misalnya bagian lahan berhutan yang luasnya lebih dari 2000 m2, jalur selebar 100 m dari jalan, dan dengan tanah yang sesuai untuk mendukung bangunan). 3) Kecenderungan Pertanyaan yang menyangkut kecenderungan adalah : What has changed since .? Pertanyaan ini melibatkan dua pertanyaan sebelumnya dan mencari perbedaan pada area menurut perbedaan waktu.

4) Pola Pertanyaan yang menyangkut pola adalah : What spatial pattern exist ? Pertanyaan ini lebih rumit dari sebelumnya. Ilustrasi penggunaan pertanyaan ini misalnya untuk menentukan apakah ada pola-pola yang teratur mengenai tingkat kematian penduduk akibat kanker di daerah-daerah yang dekat pembangkit tenaga nuklir. Yang cukup penting adalah informasi berapa banyak penyimpangan (anomali) yang ada, yang tidak tepat dengan pola dan keberadaannya. 5) Pemodelan Pertanyaan yang menyangkut pemodelan adalah : What if ? Pertanyaan ini untuk mendetermin asi apa yang terjadi. Sebagai contoh, dampak apa yang terjadi jika jalan baru ditambahkan pada suatu jaringan jalan. Contoh lain adalah sampai sejauh mana bahaya yang ditimbulkan jika bahan beracun berbahaya meresap ke air tanah ? Untuk menjawab jenis-jenis pertanyaan tersebut, diperlukan informasi geografi dan informasi lainnya sesuai bidang yang dihadapi. Sistem Pendukung Keputusan Pendekatan sistem ditandai oleh dua hal, yaitu (i) semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (ii) suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Manetsch dan Park, 1977). Pendekatan sistem dapat bekerja sempurna apabila mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, dan (8) aplikasi komputer (Eriyatno, 2003). Metode untuk penyelesaian permasalahan yang dilakukan dengan pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses (Gambar 25). Analisa kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam melakukan analisa kebutuhan ini dinyatakan kebutuhankeb utuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap

Informasi normatif dan positif tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak re-evaluasi dari penampilan ya KEBUTUHAN ANALISA SISTEM LENGKAP ? GUGUS SOLUSI YANG LAYAK PERMODELAN SISTEM CUKUP ? MODEL ABSTRAK OPTIMAL RANCANG BANGUN IMPLEMENTASI CUKUP ? SPESIFIKASI SISTEM DETAIL IMPLEMENTASI PUAS ? SISTEM OPERASIONAL OPERASI PUAS ? Gambar 25 Tahap Pendekatan Sistem (Manetsch dan Park, 1977).

kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Analisa kebutuhan sangat sulit dilakukan terutama dalam menentukan kebutuhan yang dapat dipenuhi dari sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang ada (Manetsch dan Park, 1977). Analisa kebutuhan harus dilakukan secara hati-hati dalam menentukan kebutuhankebutuhan dari semua orang dan institusi yang dapat dihubungkan dengan sistem yang telah ditentukan. Hal tersebut meliputi manajer atau administrator dari sistem, distributor hasil dari suatu sistem, pemakai barang atau jasa yang beras al dari suatu sistem dan yang terakhir adalah perancang dari sistem itu sendiri. Analisa kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisa ini dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat seorang ahli,, diskusi, observa si lapang, dan sebagainya. Analisa Sistem didasarkan pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan selama tahap demi tahap proses (Eriyatno, 2003). Bila mungkin hal ini dikembangkan menjadi suatu pernyataan tentang bagaimana sistem harus bekerja agar memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan di mana jumlah keluaran yang spesifik dapat ditentukan, serta kriteria jalannya sistem yang spesifik agar mencapai suatu optimasi. Pernyataan analisa suatu sistem didefinisikan sebagai gugus kriteria perila ku sistem yang kemudian dievaluasikan. Dalam beberapa hal pernyataan tersebut didefinisikan secara terperinci, sebagai semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi kelakuan sistem, keadaan/kondisi lingkungan di mana sistem berjalan, sehingga keluaran yang tidak diharapkan dapat dihindari. Analisa Sistem ditulis dalam bentuk diagram alir deskriptif (Eriyatno, 2003). Dalam tahap ini ada tiga prinsip dasar yang dapat membantu dalam menentukan batasan-batasan yang sesuai dengan sistem dan lingkungan. Pertama, antara sistem dan lingkungan dibatasi oleh suatu hubungan sebab-akibat yang lemah sehingga faktor kondisi lingkungan dapat diabaikan.. Kedua, untuk dapat membantu dalam penggunaan secara operasional, konstruksi sistem dilakukan sedemikian rupa sehingga antara faktor dengan faktor ada jarak dan

memungkinkan dilakukan kontrol. Ketiga, luasnya dari batasan suatu sistem diperjelas sehingga mempengaruhi ketepatan dalam analisa. Permodelan sistem diawali dengan penguraian seluruh komponen yang akan mempengaruhi efektivitas dari operasi system (Eriyatno, 2003). Setelah daftar komponen tersebut lengkap, langkah selanjutnya adalah penyaringan komponen mana yang akan dipakai dalam dalam pengkajian tersebut. Untuk ini diperlukan interaksi dengan para pengambil keputusan serta pihak lain yang amat terlibat pada sistem. Hal ini umumnya sulit karena karena adanya interaksi antar peubah yang seringkali mengaburkan proses isolasi satu peubah. Peubah yang dipandang tidak penting ternyata mempengaruhi hasil studi setelah pengkajian selesai. Untuk menghindari hal ini, diperlukan percobaan pengujian data guna memilih komponen kritis. Setelah itu dibentuk gugus persamaan yang dapat dievaluasi dengan mengubah-ubah komponen tertentu pada batas yang ada. Tahap permodelan lebih kompleks, namun relatif tidak banyak ragamnya ditinjau baik dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan model. Permodelan abstrak menerima masukan berupa alternatif sistem yang layak (Manetsch dan Park, 1977). Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan kinerja dari sistem yang dihasilkan. Untuk membentuk model abstrak terdapat dua cara pendekatan (Eriyatno, 2003). Pertama, pendekatan kotak gelap yaitu melakukan identifikasi model sistem dari informasi yang menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan. Melalui berbagai teknik statistik dan matematik, model diturunkan di mana dicari yang paling cocok pada data operasional. Sebagai contoh adalah model ekonometrik pada pengkajian ilmu-ilmu sosial. Metode ini tidak banyak berguna pada perancangan sistem yang kenyataannya belum ada, di mana tujuan sistem masih berupa konsep. Kedua, pendekatan terstruktur yaitu dengan mempelajari secara teliti struktur sistem da ri teori-teori guna menentukan komponen basis sistem serta keterkaitannya. Melalui permodelan karakteristik dari komponen sistem serta kendala-kendala yang disebabkan adanya keterkaitan antar komponen, maka model secara keseluruhan secara berantai dibentuk. Pendekatan terstruktur banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian system fisik dan non-fisik.

Pada beberapa kasus tertentu, pendekatan kotak gelap dan terstruktur dipakai secara bersama -sama, misalnya pembuatan model penge ndalian lingkungan industri di mana karakteristik setiap unit industri dianggal sebagai Kotak Gelap. Dengan demikian dapat diperoleh informasi yang lebih baik serta dihasilkan model yang lebih efektif. Tahap permodelan mencakup juga penelaahan yang teliti tentang asumsi model, konsistensi internal pada struktur model, data masukan untuk pendugaan parameter, hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual, serta perbandingan model dengan kondisi aktual sejauh mungkin. Hasil dari tahap permodelan adalah deskripsi dari model abstrak yang telah melalui uji permulaan atas validitasnya. Pemakaian komputer sebagai pengolah data dan penyimpan data tidak dapat dapat diabaikan dalam pendekatan system (Eriyatno, 2003). Pada tahap implementasi komputer, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir, dan diagram blok. Tahap ini seolah-olah membentuk model dari suatu model, yaitu tingkat abstraksi lain yang ditarik dari dunia nya ta. Hal yang penting adalah memilih teknik dan bahasa komputer yang digunakan untuk implementasi model. Kebutuhan ini akan mempengaruhi ketelitian dari hasil komputasi, biaya dari operasi model, kesesuaian dengan komputer yang tersedia, dan efektivitas dari proses pengambilan keputusan yang akan menggunakan hasil model tersebut. Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak di mana format masukan/keluaran telah dirancang serta memadai, maka sampailah pada tahap pembuktian (verifikasi), bahwa model komputer tersebut mampu melakukan simulasi dari model abstrak ya ng dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda dengan uji validasi model itu sendiri. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem yang dibuat merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji di mana dapat dihasilkan kesimpulan yang me yakinkan (Manetsch dan Park, 1977). Validasi adalah suatu proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model komputer. Pada umnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan atas tanda aljabar, tingkat kepangkatan dari besaran, format respons, arah perubahan peubah apabila masukan atau parameter diganti-ganti, dan nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem .

Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai dengan jenis mode l. Apabila model mempertanyakan sistem yang sedang berjalan maka dipakai uji statistik untuk mengetahui kemampuan model di dalam mereproduksi perilaku terdahulu dari sistem. Uji statistik ini dapat memakai perhitungan koefisien determinasi, pembuktian hipotesa melalui analisa sidik ragam, dan sebagainya. Pada permasalahan kompleks dan mendesak, maka disarankan proses validasi parsial, yaitu tidak dilakukan pengujian keseluruhan model system (Eriyatno, 2003). Hal ini mengakibatkan rekomendasi untuk pemakaian model yang terbatas dan bila perlu menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya. Apabila model abstrak digunakan untuk merancang suatu sistem yang belum ada, maka teknik statistik tidak berlaku. Validitas model hanya bergantung pada bermacam teori dan asumsi yang menentukan struktur dari format persamaan pada model serta nilai-nilai yang ditetapkan pada parameter model. Umumnya disarankan untuk melakukan uji sensitivitas dan koefisien model melalui iterasi simulasi pada model komputer. Model untuk perancangan keputusan dan menentukan kebijakan operasional akan mencakup sejumlah asumsi, misalnya asumsi tentang karakteristik operasional dan komponen serta sifat alamiah dari lingkungan (Eriyatno, 2003). Asumsi-asumsi tersebut harus betul-betul dimengerti dan dievaluasi bilamana model digunakan untuk perencanaan atau operasi. Manipulasi dari model dapat menuju pada modifikasi model untuk mengurangi kesenjangan antara model dengan dunia nyata. Proses validasi seyogyanya dilkakukan kontinyu sampai kesimpulan bahwa model telah didukung dengan pembuktian yang memadai melalui pengukuran dan observasi. Suatu model mungkin telah mencapai status validasi (absah) meskipun masih menghasilkan kekurangbenaran keluaran. Di sini model absah karena konsistensinya, di mana hasilnya tidak bervariasi lagi. Para pengambil keputusan merupakan tokoh utama dalam tahap aplikasi model di mana model dioperasikan untuk mempelajari secara mendetail kebijakan yang dipermasalahkan (Manetsch dan Park, 1977). Hasil dari permodelan abstrak merupakan gugus mendetail dari spesifikasi manajemen. Informasi yang timbul setelah proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan

kembali proses Analisa Sistem dan Permodelan Sistem. Pada kasus tertentu, pengulangan itu bisa hanya mengubah asumsi model namun pada hal lain dapat juga berarti merancang suatu model abstrak yang baru sama sekali. Hal ini sesuai fakta bahwa pendekatan sistem dalam suatu lingkungan dinamik adalah proses yang berkesinambungan, mencakup penyesuaian dan adaptasi melalui lintasan waktu. Pemikiran kesisteman didasarkan pada falsafah 1) cara berpikir a) sibernetik : satu pemikiran yang berorientasi pada tujuan (goal oriented ) b) holistik : pemikiran secara utuh/total c) efektif : secara operasional harus bisa dilakukan 2) perihal a) kompleks : faktor dan parameternya banyak b) dinamik : fungsi-fungsinya berubah menurut waktu c) probabilistik : mengandung ketidakpastian (uncertainty) 3) alur pikir (Gambar 26) desirable I O undesirable P C Gambar 26 Alur pikir kesisteman. yang mana I P O C : : : : masukan (input) pengolahan (process ) keluaran (output) pengendalian (control)

Teknik dan metodologi dalam pemikiran kesisteman dibedakan menjadi tiga jenis seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Teknik dan metodologi kesisteman Teknik System System System dan Metodologi I P O Analysis v v ? Design v ? v Control ? v v

Keterangan : v = diketahui ? = tidak diketahui Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan dikenal dengan istilah Sistem Pendukung Keputusan/SPK atau Decision Support System/DSS (Eriyatno, 2003). Konsep dari rancang bangun dan pengembangan SPK terdiri dari tiga elemen utama, yaitu (1) pengoptimalan kriteria dalam merancang bangun sistem, (2) proses rancang bangun sistem secara total, dan (3) proses rancang bangun sistem secara mendetail. Menurut Minch dan Burn (dalam Eriyatno, 2003), istilah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) merupakan konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik SPK adalah: 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan; 2) dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap ganda; 3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen; 4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampua n berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Menurut Keen dan Morton (dalam Eriyatno, 2003), model SPK pada manajemen modern lebih menekankan pada pengambilan keputusan yang berkonsep efektivitas daripada efisiensi. Efisiensi adalah melaksanakan suatu tugas sebaik mungkin sehubungan dengan kriteria penampakan yang telah ditentukan lebih dahulu, misalnya biaya operasi, waktu pelaksanaan, dan tenaga kerja. Efektivitas mencakup identifikasi apa yang seyogyanya dikerjakan dan menjamin bahan kriteria yang terpilih adalah yang mempunyai relevansi dengan tujuan. SPK akan mempunyai efektivitas yang tinggi bila permasalahan yang

dihadapi adalah masalah yang strategis atau taktis sampai derajat tertentu (Kuntoro dalam Agustedi, 1994). Menurut Eriyatno (2003), pemanfataan SPK akan layak jika memenuhi semua karakteristik sebagai berikut: 1) eksistensi dari basis data yang sangat besar sehingga sulit mendayagunakannya; 2) kepentingan transformasi dan komputasi pada proses mencapai keputusan; 3) adanya keterbatasan waktu, baik dalam penentuan hasil maupun dalam prosesnya; 4) kepentingan akan penilaian atas pertimbangan akal sehat untuk mengetahui pokok permasalahan, serta pengembangan alternatif dan pemilihan solusi. Model konsepsional dari SPK merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama pendukung keputusan, yaitu para pengambil keputusan/pihak pengguna (user), model, dan data (Eriyatno, 2003). Struktur dasar SPK disajikan pada Gambar 27. Sistem Manajemen Dialog merupakan satu-satunya subsistem yang berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utamanya adalah menerima masukan (input) dan memberikan keluaran keluaran (output) yang dikehendaki pengguna. Sistem ini mempunyai pilihan modus dari interaksi dengan pengguna, misalnya format tabel, bentuk penyajian grafis, dan lain sebagainya. Sistem Manajemen Basis Data merupakan basisi data yang mengandung data relevan untuk situasi yang dihadapi. Pada komponen ini, data dapat ditambah, dihapus, diganti, atau disunting agar tetap relevan bila dibutuhkan. Sistem Manajemen Basis Model merupakan basis model yang dapat terdiri dari model-model finansial, statistika, atau model kuantitatif lainnya yang disiapkan untuk sistem analitik.

DATA MODEL SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA (DBMS) SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL (MBMS) SISTEM PENGOLAHAN PROBLEMATIK SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA S P K Gambar 27 Struktur Dasar Sistem Pendukung Keputusan (Eriyatno, 2003). Sistem Pengolahan Problematik merupakan koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, dan menyerahkan keluaran ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antara subsistem. SPK mempunyai kemampuan umum , yaitu (1) mudah untuk digunakan, baik modifikasi maupun konstruksi, (2) akses ke berbagai sumber data, tipe, dan format berbagai masalah dan konteks, dan (3) akses ke berbagai kemampuan analisis dengan berbagai panduan dan petunjuk. Suatu SPK yang sukses harus mudah dikembangkan, mudah dimengerti, dan mudah digunakan. Melalui segala kemudahan tersebut, keputusan dapat diambil lebih bijaksana untuk kepentingan bersama menuju sasaran institusional. Suatu keputusan aktual menjadi tidak memakan waktu lama serta melalui prosedur birokratif dan administratif yang berbelit-belit.

Geostatistika Statistika konvensional secara umum tidak dapat menjelaskan data yang mempunyai hubungan ruang (Wallace dan Hawkins, 1994). Teori peubah regional (regionalized variable theory), yang lebih dikenal sebagai geostatistik a, merupakan metodologi untuk menganalisa data yang mempunyai hubungan ruang. Geostatistika mempunyai tujuan memberikan deskripsi kuantitatif pada peubah-peubah alam yang terdistribusi dalam ruang atau dalam ruang dan waktu. Contoh dari peubah-peubah alam tersebut diantaranya adalah: (1) kedalaman dan ketebalan lapisan geologi, (2) porositas dan permeabilitas medium porus, (3) kerapatan pohon jenis tertentu di dalam hutan, (4) sifat tanah dalam suatu wilay ah, (5) curah hujan dalam area tangkapan, (6) tekanan, temperatur, dan kecepatan angin dalam atmosfir, dan (7) konsentrasi polutan pada tempat yang terkontaminasi. Konsep geostatistika meliputi semi -variogram, kriging, dan change of support. Semi-variogram Semi-variogram didefinisikan sebagai jenis dan kekuatan dari perkumpulan ruang (the strength of spatial association). Pada satu kondisi ekstrem, mungkin tidak ada perkumpulan ruang antara pengukuran pada dua titik, yang menyatakan data independen. Pada kondisi ekstrem yang lain, pengukuran mungkin menunjukkan tingkat kontinyuitas yang tinggi antara titik-titik, dengan pengukuran pada beberapa titik dapat diperkirakan pada lokasi yang dekat. Kebanyakan fenomena praktis adalah seperti kondisi ekstrem terakhir tersebut, yang menunjukkan beberapa keragaman acak semata-mata dan beberapa kontinyuitas ruang. Kontinyuitas ruang dinyatakan sebagai korelasi antara sampel-sampel yang berkurang jika jarak antara sampel-sampel bertambah dan hilang jika jaraknya cukup besar yang berarti sampel-sampel secara statistik in dependen. Jarak yang mana sampel sampel menjadi independen secara statistik dinyatakan sebagai kisaran pengaruh dari sampel (the range of influence of a sample) atau istilah lain yang digunakan adalah length.

Semi-variogram khusus umumnya meningkat dengan bertambahnya jarak antara sampel-sampel, kemudian berubah-ubah hingga nilai konstan yang disebut ambang (sill). Nilai ambang (sill) ini menunjukkan tingkat keragaman (variability ) yang ada. Nilai ambang rendah berarti data tidak berubah banyak dari titik ke titik. Nilai ambang yang sangat tinggi berarti data berubah banyak melintasi lahan. Jarak yang mana semi-variogram mencapai ambang disebut kisaran pengaruh dari sampel (range of influence of the sample/length ) atau secara singkat disebut kisaran (range/length ). Ambang dari semi-variogram seringkali dicirikan sama dengan keseluruhan perbedaan rata-rata dari semua data sampel dari keseluruhan lahan, tetapi ini hanya tepat untuk lahan berukuran sedang (Wallace and Hawkins, 1994). Semi-variogram mengukur hubungan biasa yang diamati di lahan untuk sampel-sampel yang diambil berdekatan yang cenderung mempunyai nilai yang sama dibanding sampel-sampel yang diambil pada bagian yang lebih jauh. Semi-variogram merupakan plot dari semi-varian (setengah kuadrat rata-rata perbedaan) dari pengukuran sampel berpasangan sebagai fungsi dari jarak (dan kadang-kadang arah) antara sampel-sampel. Semua pasanganpasangan sampel yang mungkin biasanya dikelompokkan dalam kelas-kelas (lags) dari jarak dan arah yang kira-kira sama. Jumlah pasangan sampel yang diperoleh dari sejumlah sampel yang ada dirumuskan dengan Persamaan 1. P = N (N-1) / 2 (GS, 2002) .. (1)

yang mana P adalah jumlah pasangan sampel dan N adalah jumlah sampel. Pada pembuatan semi-variogram, sampel-sampel ditempatkan pada grid yang berbentuk lingkaran/polar grids (Gambar 28).

120

Gambar 28 Semi-variogram grid (GS, 2002). Gambar 28 menunjukkan 8 pembagia n arah melingkar (0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, 315) dan 4 pembagian jarak radial (100, 200, 300, 400) sehingga terdapat 32 sel. Jarak pasangan sampel dirumuskan sebagai h = (X2 X1)2 + (Y2 Y1)2 (GS, 2002) Arah pasangan sampel dirumuskan sebagai Y2 Y1 q = arctan (3) X2 X1 (2)

(GS, 2002) Semi-variogram g(h) didefinisikan sebagai : g(h) = rata-rata [Z(x + h) (Wallace and Hawkins, 1994) Z(x)]2 . (4)

di mana Z(x) adalah nilai peubah yang diukur pada lokasi geografis x. Dalam terminologi geostatistika, Z(x) disebut peubah regional (regionalized variable ). Semi-variogram tergantung pada jarak h antara x dan x + h, tetapi juga mungkin tergantung pada arah dari x ke x + h; jika keadaannya demikian maka semi-variogram adalah anisotropik. Jika g(h) hanya tergantung pada jarak, maka semi-variogram adalah isotropik. Hal ini adalah asumsi dari variografis bahwa semi-variogram tidak tergantung pada x. Dalam kata lain, sifat dasar dan kekuatan hubungan dari Z(x) pada beberapa titik dan pada beberapa titik lain tergantung pada jarak antara titik-titik tersebut, tetapi ti dak pada di mana pasangan titik-titik dilokasikan dalam lahan. Z(x) yang tidak cocok dengan asumsi ini memerlukan metode geostatistika yang lebih canggih (Wallace dan Hawkins, 1994). Secara teoritis, semi-variogram akan melalui nol karena sampel-sampel yang diambil secara tepat pada lokasi yang sama mempunyai nilai-nilai sama, tetapi seringkali semi-varian tidak bernilai nol karena jaraknya cenderung tidak sama dengan nol. Semi-varian yang tidak bernilai nol disebut nuggeteffect, yang merepresentasikan tingkat ketidaksamaan yang dapat dilihat antara dua pengukuran yang diambil sedekat mungkin dengan satu yang lain, misalnya antara dua sampel dari bagian yang berdekatan. Jika tidak ada perkumpulan ruang antara sampel-sampel, misalnya perkumpulan sama sekali acak, maka ini dinyatakan sebagai pure nugget effect. Ilustrasi untuk semi vario gram disajikan pada Gambar 29. Ilustrasi untuk plot data dengan lag distance dan arah semi -variogram disajikan pada Gambar 30. Untuk banyak tujuan geostatistika, g(h) dinyatakan sebagai fungsi matematis dari h. Semi-variogram mempunyai beberapa bentuk, yaitu exponential, Gaussian, quadratic, rational quadratic, power, linear, wafe, spherical, logarithmic, pentaspherical, dan cubic (GS, 2002) seperti disajikan pada Gambar 31. Bentuk semi -variogram yang paling umum adalah spherical, yang mempunyai aplikasi yang luas dalam situasi-situasi lahan (Clark I, 1979).

122 Gambar 29 Ilustrasi semi -variogram (GS, 2002). Model SemiCurve Experimental Semivar iogram Curve Pairs Range (A) Scale (C) Nugget Effect (Co) Sill (h) -variogram Z(p,1) Z(p,2) Z(p,3) Z(p,j+1) Z(p,q) Z(i+1,1) Z(i+1,2) Z(i+1,3) Z(i+1,j+1) Z(i+1, q) Z(3,1) Z(3,2) Z(3,3) Z(3,j+1) Z(3,q) Z(2,1) Z(2,2) Z(2,3) Z(2,j+1) Z(2,q) Z(1,1) Z(1,2) Z(1,3) Z(1,j+1) Z(1,q) Gambar 30 Ilustrasi plot data, lag distance, dan arah semi-variogram.

Keterangan Gambar 30 Z(i,j) : nilai regionalized variable pada baris i dan kolom j i = 1, 2, 3, , p j = 1, 2, 3, , q h(a) : kelas jarak (lag distance) 1 satuan antar pasangan regionalized variable h(b) : kelas jarak (lag distance) 2 satuan antar pasangan regionalized variable h(c) : kelas jarak (lag distance) 3 satuan antar pasangan regionalized variable x : arah semi -variogram pada sumbu x y : arah semi -variogram pada sumbu y d : arah semi -variogram pada sumbu diagonal Jika semi-variogram pada Gambar 29 bersifat anisotropic, maka semi -variogram berdasarkan jumlah nilai semi-variance pada lag distance yang sama pada masing-masing arah semi-variogram. Menurut Clark dan Harper (2000), perhitungan semi-variance pada arah sumbu x adalah : Semi-variance untuk lag distance a = 1 satuan {[Z(1,1)-Z(1,2)]2 + [Z(1,2)-Z(1,3)]2 + [Z(1,3)-Z(1,4)]2 + + [Z(1,q-1)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3)-Z(2,4)]2 + + [Z(2,q-1)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3)-Z(3,4)]2 + + [Z(3,q-1)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,2)]2 + [Z(p,2)-Z(p,3)]2 + [Z(p,3)-Z(p,4)]2 + + [Z(p,q-1)-Z(p,q)]2}/ n(a) .... (5)

Semi-variance untuk lag distance b = 2 satuan {[Z(1,1)-Z(1,3)]2 + [Z(1,2)-Z(1,4)]2 + [Z(1,3)-Z(1,5)]2 + + [Z(1,q-2)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,3)]2 + [Z(2,2)-Z(2,4)]2 + [Z(2,3)-Z(2,5)]2 + + [Z(2,q-2)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,3)]2 + [Z(3,2)-Z(3,4)]2 + [Z(3,3)-Z(3,5)]2 + + [Z(3,q-2)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,3)]2 + [Z(p,2)-Z(p,4)]2 + [Z(p,3)-Z(p,5)]2 + + [Z(p,q-2)-Z(p,q)]2}/ n(b) .. (6)

Semi-variance untuk lag distance a = 3 satuan {[Z(1,1)-Z(1,4)]2 + [Z(1,2)-Z(1,5)]2 + [Z(1,3)-Z(1,6)]2 + + [Z(1,q-3)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,4)]2 + [Z(2,2)-Z(2,5)]2 + [Z(2,3)-Z(2,6)]2 + + [Z(2,q-3)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,4)]2 + [Z(3,2)-Z(3,5)]2 + [Z(3,3)-Z(3,6)]2 + + [Z(3,q-3)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,4)]2 + [Z(p,2)-Z(p,5)]2 + [Z(p,3)-Z(p,6)]2 + + [Z(p,q-3)-Z(p,q)]2}/ n(c) yang n(a) n(b) n(c) .. (7) mana : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance a : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance b : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance c

Jika semi -variogram pada Gambar 29 bersifat isotropic , maka semi -variogram berdasarkan jumlah nilai semi -variance pada lag distance yang sama pada semua arah semi-variogram. Semi-variance untuk lag distance a = 1 satuan {[Z(1,1)-Z(1,2)]2 + [Z(1,2)-Z(1,3)]2 + [Z(1,3)-Z(1,4)]2 + +[Z(2,1)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3)-Z(2,4)]2 + +[Z(3,1)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3)-Z(3,4)]2 + +[Z(p,1)-Z(p,2)]2 + [Z(p,2)-Z(p,3)]2 + [Z(p,3)-Z(p,4)]2 + +[Z(1,1)-Z(2,1)]2 + [Z(2,1)-Z(3,1)]2 + [Z(3,1)-Z(4,1)]2 + +[Z(1,2)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2)-Z(4,2)]2 + +[Z(1,3)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3)-Z(4,3)]2 + +[Z(1,q)-Z(2,q)]2 + [Z(2,q)-Z(3,q)]2 + [Z(3,q)-Z(4,q)]2 + n(a) .. (8) + + + + + + + + [Z(1,q-1)-Z(1,q)]2 [Z(2,q-1)-Z(2,q)]2 [Z(3,q-1)-Z(3,q)]2 [Z(p,q-1)-Z(p,q)]2 [Z(p-1,1)-Z(p,1)]2 [Z(p-1,2)-Z(p,2)]2 [Z(p-1,3)-Z(p,3)]2 [Z(p-1,q)-Z(p,q)]2}/

Semi-variance untuk lag distance b = 2 satuan {[Z(1,1)-Z(1,3)]2 + [Z(1,2)-Z(1,4)]2 + [Z(1,3)-Z(1,5)]2 + +[Z(2,1)-Z(2,3)]2 + [Z(2,2)-Z(2,4)]2 + [Z(2,3)-Z(2,5)]2 + +[Z(3,1)-Z(3,3)]2 + [Z(3,2)-Z(3,4)]2 + [Z(3,3)-Z(3,5)]2 + +[Z(p,1)-Z(p,3)]2 + [Z(p,2)-Z(p,4)]2 + [Z(p,3)-Z(p,5)]2 + +[Z(1,1)-Z(3,1)]2 + [Z(2,1)-Z(4,1)]2 + [Z(3,1)-Z(5,1)]2 + +[Z(1,2)-Z(3,2)]2 + [Z(2,2)-Z(4,2)]2 + [Z(3,2)-Z(5,2)]2 + +[Z(1,3)-Z(3,3)]2 + [Z(2,3)-Z(4,3)]2 + [Z(3,3)-Z(5,3)]2 + +[Z(1,q)-Z(3,q)]2 + [Z(2,q)-Z(4,q)]2 + [Z(3,q)-Z(5,q)]2 + n(b) .. (9) + + + + + + + + [Z(1,q-2)-Z(1,q)]2 [Z(2,q-2)-Z(2,q)]2 [Z(3,q-2)-Z(3,q)]2 [Z(p,q-2)-Z(p,q)]2 [Z(p-2,1)-Z(p,1)]2 [Z(p-2,2)-Z(p,2)]2 [Z(p-2,3)-Z(p,3)]2 [Z(p-2,q)-Z(p,q)]2}/

Semi-variance untuk lag distance c = 3 satuan {[Z(1,1)-Z(1,4)]2 + [Z(1,2)-Z(1,5)]2 + [Z(1,3)-Z(1,6)]2 + +[Z(2,1)-Z(2,4)]2 + [Z(2,2)-Z(2,5)]2 + [Z(2,3)-Z(2,6)]2 + +[Z(3,1)-Z(3,4)]2 + [Z(3,2)-Z(3,5)]2 + [Z(3,3)-Z(3,6)]2 + +[Z(p,1)-Z(p,4)]2 + [Z(p,2)-Z(p,5)]2 + [Z(p,3)-Z(p,6)]2 + +[Z(1,1)-Z(4,1)]2 + [Z(2,1)-Z(5,1)]2 + [Z(3,1)-Z(6,1)]2 + +[Z(1,2)-Z(4,2)]2 + [Z(2,2)-Z(5,2)]2 + [Z(3,2)-Z(6,2)]2 + +[Z(1,3)-Z(4,3)]2 + [Z(2,3)-Z(5,3)]2 + [Z(3,3)-Z(6,3)]2 + +[Z(1,q)-Z(4,q)]2 + [Z(2,q)-Z(5,q)]2 + [Z(3,q)-Z(6,q)]2 + n(c) .. (10) + + + + + + + + [Z(1,q-3)-Z(1,q)]2 [Z(2,q-3)-Z(2,q)]2 [Z(3,q-3)-Z(3,q)]2 [Z(p,q-3)-Z(p,q)]2 [Z(p-3,1)-Z(p,1)]2 [Z(p-3,2)-Z(p,2)]2 [Z(p-3,3)-Z(p,3)]2 [Z(p-3,q)-Z(p,q)]2}/

Gambar 31 Bentuk-bentuk semi-variogram (GS, 2002). Semi-variogram menunjukkan pure nugget effect (100% dari sill) jika g(h) sama dengan sill pada semua nilai h. Pure nugget effect menunjukkan tida k adanya korelasi spasial ukuran contoh yang digunakan. Hal ini secara sederhana dapat dinyatakan sebagai indeks estimasi (Q) dari struktur spasial seperti pada Persamaan 11. S NV Q = S ............ . . .. (11)

S dan NV masing-masing adalah sill dan nugget variance. Nilai Q bervariasi antara 0 dan 1. Jika Q bernilai 0 berarti tidak ada struktur spasial pada ukuran contoh yang digunakan. Jika nilai Q mendekati 1 berarti struktur spasial lebih berkembang dan variasi spasial dapat lebih dijelaskan oleh bentuk semivariogram. Ilustrasi untuk tingkat struktur spasial disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Ilustrasi tingkat struktur spasial (Lee, 2001).

Kriging Kriging adalah metode estimasi tidak bias optimal dari peubah-peubah pada lokasi-lokasi yang tidak diambil sampelnya berdasarkan pada parameterparameter dari semi-variogram dan nilai-nilai data awal. Ilustrasi untuk masalah tersebut disajikan pada Gambar 33. Gambar 33 Plot data nilai kalor (Clark dan Harper, 2000). Gambar 32 menunjukkan plot dari pengamatan nilai kalor yang mempunyai sebaran normal dengan nilai rata-rata 24.624 MJ dan standar deviasi 2.458. Jarak grid pada plot tersebut adalah 150 m. Bentuk semi-variogram yang dihasilkan adalah linear tanpa nugget effect dengan bentuk persamaan (h)=0,0016h1,25. Pada plot tersebut terdapat satu lokasi yang tidak diambil sampelnya dengan notasi T. Nilai T diestimasi berdasarkan nilai-nilai di sekitarnya. Clark dan Harper (2000) menyimpulkan bahwa hasil estimasi semakin lebih dapat dipercaya jik a semakin dekat sampel yang digunakan untuk estimasi dan penggunaan dua sampel lebih dapat dipercaya dari pada hanya digunakan satu sampel. Untuk menyederhanakan pembahasan tersebut

maka diambil lokasi tanpa sampel (T) dengan lima sampel yang mengelilinginya sebagai sampel untuk estimasi (Gambar 34). (a) nilai-nilai sampel (b) notasi umum Gambar 34. Ilustrasi kriging dengan 5 sampel untuk estimasi. Nilai estimasi untuk T adalah T* = w1g1 + w2g2 + w3g3 + w4g4 + w5g5 = 21,86w1 + 25,62w2 + 25,61w3 + 26,80w4 + 23,76w5 di mana w1 + w2 + w3 + w4 + w5 = 1 . (13) (12)

Clark dan Harper (2000) secara umum merumuskan nilai estimasi, bobot, dan estimator seperti pada Persamaan 14 m T* = wigi = w1g1 + w2g2 + w3g3 + i=1 di mana m wi = w1 + w2 + w3 + i=1 + wm = 1 ...... (15) 17. .. + wmgm .. . (14)

2 = 2w1(g1,T) + 2w2(g2,T) + 2w3(g3,T) +

. + 2wm(gm,T)

w1w1(g1, g1) + w1w2(g1, g2) + w1w3(g1, g3) + + w1wm(g1, gm) +w2w1(g2, g1) + w2w2(g2, g2) + w2w3(g2, g3) + + w2wm(g2, gm) +w3w1(g3, g1) + w3w2(g3, g2) + w3w3(g3, g3) + + w3wm(g3, gm) . .. +wmw1(gm, g1) + wmw2(gm, g2) + wmw3(gm, g3) + (T,T) atau secara ringkas (16) + wmwm(gm, gm)

m mm 2 = 2 wi(gi,T) wiwj(gi , gj) i=1 i=1 j=1

(T,T)

..

(17)

keterangan T* : estimator (nilai estimasi) untuk T T : sampel yang tidak diketahui nilainya gi : nilai sampel pada posisi i wi : bobot sampel pada posisi i (gi,T) : nilai semi-variance pasangan sampel gi dan T (gi, gj) : nilai semi-variance pasangan sampel gi dan gj (T,T) : nilai semi-variance pasangan sampel T dan T (= 0) 2 : varian estimasi m : jumlah sampel yang digunakan untuk estimasi Estimasi memberi bobot rata-rata dari pengukuran-pengukuran aktual, dengan nilai bobot diturunkan dari solusi sekumpulan persamaan yang ditentukan oleh semi-variogram, lokasi, dan orientasi dari titik-titik sampel relatif terhadap yang lain dan terhadap titik atau area yang diprediksi. Bobot dipilih untuk memberikan estimasi yang tidak bias dan untuk meminimalkan varian estimasi. Sebagai penjelasan terhadap bobot selanjutnya dicontohkan estimasi lokasi tanpa sampel berdasarkan tiga sampel terdekat di sekitarnya sebagai sampel untuk estimasi (Gambar 35).

Gambar 35 Ilustrasi kriging dengan 3 sampel untuk estimasi. Substitusi nilai g1, g2, dan g3 pada Persamaan 14 menghasilkan nilai estimator T* = w1g1 + w2g2 + w3g3 = 21.86w1 + 25.62w2 + 25.61w3 di mana w1 + w2 + w3 = 1 (18) (19)

2 = 2w1(g1,T) + 2w2(g2,T) + 2w3(g3,T) w1w1(g1, g1) + w1w2(g1, g2) + w1w3(g1, g3)

+w2w1(g2, g1) + w2w2(g2, g2) + w2w3(g2, g3) (T,T) .. (20) +w3w1(g3, g1) + w3w2(g3, g2) + w3w3(g3, g3) Selanjutnya substitusi jarak pasangan sampel (lag distance) pada Persamaan 20 menghasilkan 2 = 2w1(212) + 2w2(212) + 2w3(150) w1w1(0) +w1w2(300) +w1w3(335)

+w2w1(300) + w2w2(0) +w2w3(150) (0) . (21) +w3w1(335) + w3w2(150) +w3w3(0) Semi-variogram dari Gambar 33 mempunyai persamaan sebagai berikut (h)=0,0016h1,25 . . (22) Substitusi pada Persamaan 21 dari nilai semi-variance yang dihitung dengan Persamaan 22 untuk setiap pasangan sampel menghasilkan

131 2 = 2 x 1.2953w1 + 2 x 1.2953w2 + 2 x 0.8399w3

2 w1w1 x0 + 1.9977w1w2 2.2966w1w3

+ 1.9977w2w1 + w2w2 x 0 + 0.8399w2w3 0 ... (23)

+ 2.2966w3w1 + 0.8399w3w2 + w3w3 x 0 = 2.5906w1 + 2.5906w2 + 1.6798w3 3.9954 w1w2 4.5932 w1w3 1.6798w2w3 (24)

Jika Persamaan 24 diturunkan terhadap w1, w2, dan w3 maka diperoleh 2 = 2.5906 w1 2 = 2.5906 w2 2 = 1.6798 w3 Selanjutnya 3.9954w2 + 4.5932w3 = 2.5906 3.9954w1 + 1.6798w3 = 2.5906 4.5932w1 + 1.6798w2 = 1.6798 ... (28) ... (29) ... (30) 3.9954w1 1.6798w3 = 0 ... (26) 3.9954w2 4.5932w3 = 0 ... (25)

4.5932w1

1.6798w2 = 0

... (27)

Jika Persamaan (29) dibagi dengan 3.9954 maka diperoleh w1 + 0.4204w3 = 0.6484 .. (31)

Jika Persamaan (30) dibagi dengan 4.5932 maka diperoleh w1 + 0.3657w2 = 0.3657 .. (32)

Eliminasi w1 antara Persamaan (32) dan (31) menghasilkan 0.3657w2 0.4204w3 = 0.2827 . (33)

Jika Persamaan (33) dibagi dengan 0.3657 maka diperoleh w2 1.1496w3 = 0.7730 (34)

Jika Persamaan (22) dibagi dengan 3.9954 maka diperoleh w2 + 1.1496w3 = +0.6484 ... (35)

Eliminasi w2 antara Persamaan (35) dan (34) menghasilkan +1.1496w3 ( 1.1496w3) = +0.6484 2.2992w3 = 1.4214 w3 = 0.6182 ( 0.7730)

Substitusi w3 pada Persamaan 35 menghasilkan w2 w2 w2 w2 + = = = 1.1496w3 = +0.6484 0.6484 1.1496 w3 0.6484 0.7107 0.0623

Substitusi w3 pada Persamaan 31 menghasilkan w1 + 0.4204w3 = 0.6484 w1 = 0.6484 0.4204w3 w1 = 0.3885 Jika w1, w2, dan w3 dijumlahkan maka diperoleh w1 + w2 + w3 = 0.3885 + ( 0.0623) + 0.6182 = 0.9444 Hasil penentuan bobot menunjukkan terdapat satu bobot bernilai negatif yaitu w2 ( 0.0623) sehingga jika keseluruhan bobot dijumlahkan maka tidak sama dengan satu. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa g2 tidak dikehendaki sebagai sampel estimator, dengan demikian nilai harapan untuk kesalahan estimasi menjadi E{0.9444m m} = 0,0556m ... . (36)

133 Dengan kemungkinan adanya nilai negatif suatu bobot maka bentuk umum untuk nilai estimator yang optimal (tidak bias) menjadi mm T* = wigi + ( 1 wi ) m i=1 i=1 . (37)

Selanjutnya estimator dikoreksi dengan + 0.0556m untuk menjadikannya tidak bias sehingga diperoleh T* = 21.86w1 + 25.62w2 + 25.61w3 + 0.0556m = 0.3885 x 21.86 0.0623 x 25.62 0.6182 x 25.61 + 0.0556m = 22.73 + 0.0556m (38)

Nilai m adalah rata-rata dari tiga sampel estimator (21.86; 25.62; 25.61) yaitu 24.36 sehingga diperoleh nilai estimasi untuk lokasi yang tidak diambil sampelnya adalah T* = 22.73 + 0.0556 x 24.36 = 22.73 + 1.36 = 24.09 MJ 2 = 2.5906w1 + 2.5906w2 + 1.6798w3 3.9954 w1w2 4.5932 w1w3 1.6798w2w3 = 2.5906 x 0.3885 + 2.5906 x ( 0.0623) + 1.6798 x 0.6182 3.9954 x 0.3885 x ( 0.0623) 4.5932 x 0.3885 x 0.6182 1.6798 x ( 0.0623) x 0.6182 = 0.9177 = 0.96 MJ Setelah semi-variogram dibangun dan parameter-parameternya ditentukan, maka hasilnya dapat digunakan dalam kriging. Parameter semi-variogram seperti sill, bentuk semi-variogram, nugget effect, range, dan arah semi variogr am berpengaruh pada bobot optimal dari estimator kriging (Issaks dan Srivastava, 1989). Ilustrasi untuk hal tersebut disajikan pada Gambar 36 45.

Gambar 36 Ilustrasi dua semi-variogram dengan sill berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989). Gambar 37 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) sill 20 dan (b) sill 10 (Isaaks dan Srivastava, 1989). Gambar 38 Ilustrasi dua semi-variogram dengan bentuk berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).

Gambar 39 Hasil kriging dari semi-variogram dengan bentuk (a) eksponensial dan (b) Gaussian (Isaaks dan Srivastava, 1989). Gambar 40 Ilustrasi dua semi-variogram dengan nugget effet berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989). Gambar 41 Hasil kriging dari semi-variogram (a) ta npa nugget effect dan (b) dengan nugget effect (Isaaks dan Srivastava, 1989).

Gambar 42 Ilustrasi dua semi-variogram dengan range berbeda (Isaaks dan Sriva stava, 1989). Gambar 43 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) range 10 Dan (b) range 20 (Isaaks dan Srivastava, 1989). Gambar 44 Ilustrasi dua semi-variogram dengan arah berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).

Gambar 45 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) isotropic dan (b) anisotropic (Isaaks dan Srivastava, 1989). Ada dua jenis kriging, yaitu kriging titik (point kriging) dan kriging blok (block kriging). Kriging titik digunakan untuk memprediksi nilai dari pengukuran tunggal pada lokasi (secara umum tidak diambil sampelnya). Kriging blok digunakan untuk memprediksi rata-rata regionalized variable dalam beberapa pendukung (support) yang lebih besar. Pendukung sampel adalah jumlah dari material secara fisik itu mencakup, misalnya lapisan atas tanah (topsoil) dalam 1 m2 bagian dari lahan berpusat pada beberapa lokasi. Untuk memprediksi pada lokasi yang berubah-ubah (arbitrary), kedua jenis masalah kriging memerlukan sebuah fungsi matematis eksplisit untuk semi variogra m. Ilustrasi kriging titik dan kriging blok disajikan pada Gambar 46.

Gambar 46 Ilustrasi kriging blok dan kriging titik (Isaaks dan Srivastava, 1989) . Keterangan Gambar 46 : (a) Estimasi pada daerah diarsir dilakukan dengan kriging blok yang mana blok diwakili oleh empat titik pada daerah diarsir. Sampel di sekitarnya adalah yang bertanda plus. Nilai di sebelah kanan tanda plus adalah nilai sampel. Nilai dalam tanda kurung adalah bobot hasil kriging. (b) (e) menunjukkan hasil kriging titik dari setiap titik pada masing-masing daerah bujur sangkar di tengah.

Tabel 7 Tabulasi nilai estimator dan bobot kriging dari Gambar 45 Bobot kriging setiap sampel Gambar Estimator 12 3 45 45(b) 336 45(c) 361 45(d) 313 45(e) 339 Rata-rata 0.17 0.11 0.09 0.60 0.03 0.22 0.03 0.05 0.56 0.14 0.07 0.12 0.17 0.61 0.03 0.11 0.03 0.12 0.62 0.12 337 0.14 0.07 0.11 0.60 0.08

45(a) 337 0.14 0.07 0.11 0.60 0.08 (Sumber: Isaaks dan Srivastava, 1989) Tabel 7 menunjukkan bahwa kriging blok menghasilkan nilai estimator dan bobot yang berbeda jika dibandingkan dengan nilai estimator dan bobot masing-masing kriging titik, tetapi sama jika dibandingkan dengan nilai ratarata keempat kriging titik. Kedua jenis kriging tersebut dapat digunakan untuk memproduksi peta kontur, walaupun peta-peta berbeda dalam tujuan dan penampilan. Terutama sekali dimana ada substantial nugget effect, peta kontur yang dihasilkan kriging blok akan lebih halus dibanding yang dihasilkan kriging titik (Wallace dan Hawkins, 1994). 3 Change of support Bagian ketiga dari geostatistika ini umumnya kurang digunakan dibanding semi-variogram dan kriging namun demikian penting. Neural Network Neural network merupakan bentuk baru perhitungan yang terinspirasi dari model biologis. Definisi lain menyatakan bahwa neural network merupakan model matematis yang terdiri dari elemen-elemen dalam jumlah yang besar yang diorganisir dalam lapisan-lapisan (Nelson dan Illingworth, 1991). Menurut Maureen Caudill dalam Nelson dan Illingworth (1991), neural network adalah sistem perhitungan dari sejumlah elemen yang terhubung dengan baik yang mana memproses informasi dengan tanggapan dinamis terhadap masukan dari luar. Neural network dikenal juga dengan nama-nama lain yaitu parallel distributed

140 processing models, connectivist/connectionism models, adaptive systems, selforganizing systems, neurocomputing, dan neuromorphic systems. Neural network mempunyai aplikasi yang luas dalam bidang-bidang biologi, bisnis, lingkungan, keuangan, perusahaan, kedokteran, dan militer. Komponen dasar dari neural network adalah processing element/PE, input dan output, weighting factors, neuron functions, activation functions , transfer functions, dan learning functions. Contoh diagram neural network disajikan pada Gambar 47. Beberapa paradigma neural network adalah perceptron, ADALINE/MADALINE, brain-state-in -a-box (BSB), hopfield network , back propagation, dan self-organizing maps Gambar 47 Diagram neural network (Nelson dan Illingworth, 1991).

Penelitian Terdahulu Teknologi precision farming telah berkembang dan banyak digunakan di luar negeri. Lembaga -lembaga studi dan pengkajian tentang precision farming juga banyak terdapat di luar negeri, diantaranya Centre for Precision Farming (Inggris), Precision Farming Institute (USA), Australian Centre for Precision Agriculture (Australia), dan Precision Agriculture Center (USA). Amerika Serikat merupakan negara yang telah banyak menerapkan teknologi precision farming , sedangkan Jepang dan Australia sedang dalam taraf penelitian dan pengkajian. Perusahaan yang memproduksi alat dan mesin untuk precision farming juga telah banyak berkembang di luar negeri, diantaranya KINZE Manufacturing, Inc., Agsco, Inc., dan Farmscan. Menurut Blackmore (1994), gambaran investasi awal dalam teknologi precision farming berkisar antara 10,000 -15,000. Jika dengan teknologi precision farming semua masukan dapat dikurangi 10% maka titik impas untuk 200 ha lahan pertanian dapat dicapai dalam satu tahun. Tetapi jika yang menjadi target hanya pemupukan, maka titik impas menjadi lima tahun. Penelitian tentang precision farming telah banyak dilakukan di luar negeri, diantaranya adalah penelitian tentang keakuratan mesin pemupuk untuk precision agriculture (Goense, 1997). Pada tahun 1997, Lowenberg-DeBoar dan Swinton (dalam UMN, 2005) mempublikasikan kajian ekonomi precision farming sebagai usaha menjawab pertanyaan apakah precision farming lebih menguntungkan dibanding pertanian konvensional. Diungkapkan bahwa precision farming tidak menguntungkan pada 5 kajian, menguntungkan pada 6 kajian, dan gabungan atau tidak meyakinkan pada 6 kajian. Kajian tersebut tidak dapat dibandingkan karena bermacamnya perbedaan asumsi dan metode penghitungan biaya. Pada kajian yang lain, Lowenberg-DeBoar dan Aghib (dalam UMN 2005) menentukan bahwa aplikasi pupuk P dan K dengan konsep precision farming menggunakan grid ataupun berdasarkan jenis tanah tidak secara signifikan meningkatkan keuntungan bersih dibanding pertanian konvensional. Didapatkan bahwa average net return/acre pada pertanian konvensional adalah $146.93, sedangkan pada precision farming

berdasarkan grid diperoleh $136.99 dan $147.80 pada precision farming berdasarkan jenis tanah. Russo dan Dantinne (1997 dalam UMN, 2005) menyarankan beberapa langkah dalam membuat sistem pendukung keputusan untuk precision farming, yaitu (1) mengidentifikasi kondisi lingkungan dan biologis serta memprosesnya di lahan yang dapat dipantau dan dimanipulasi untuk perbaikan produksi tanaman, (2) memilih sensor dan peralatan pendukung untuk mencatat data dan memprosesnya, (3) memngumpulkan, menyimpan, dan mengkomunikasikan data lahan yang tercatat, (4) memproses dan memanipulasi data menjadi informasi dan pengetahuan yang bermanfaat, (5) menyajikan informasi dan pengetahuan dalam bentuk yang dapat diinterpretasikan untuk membuat keputusan. Radite et al. (2000) melakukan penelitian tentang aplikasi variable rate technology untuk pemupukan granular pada budidaya padi. Burks et al. (2000) melakukan percobaan penggunaan peralatan navigasi untuk ketepatan aplikasi pemupukan. Muchovej (2001) meneliti aplikasi teknik precision agriculture untuk tanah mineral di Florida. Murase et al. (2001) melakukan pengontrolan kandungan lengas tanah dengan teknologi precison farming. Lee (2001) melakukan penelitian pemetaan informasi lahan dan pengembangan yield sensor untuk precision farming di lahan sawah. Anom et al. (2001) melakukan penelitian tentang penentuan sampel tanah dengan real-time soil spectrophotometer untuk precision farming pada tanaman padi. Prammanee et al. (2003) membuat piranti lunak untuk menentukan rekomendasi pemupukan yang akurat terhadap aplikasi N, P, dan K pada produksi gula di Thailand yang diberi nama CaneFert 1.0. Richard et al. (2003) menyimpulkan bahwa diperlukan keterkaitan pengetahuan respon tanaman tebu terhadap tingkat hara, tekanan (stress), atau peubah yang lain dengan teknologi elektonik seperti precision farming untuk menggabungkannya dalam sistem pendukung keputusan yang dapat menghasilkan pengurangan masukan dan hasil gula yang berkelanjutan atau tinggi sehingga menjamin keuntungan global industri gula pada abad 21.

Cook et al. (2003) melakukan penelitian apakah precision farming tidak relevan untuk negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada negara berkembang precision farming diperlukan untuk mengelola variasi sumberdaya alam agar menjadi lebih efektif. Penekanan keperluan lebih pada kebutuhan informasi untuk mengurangi ketidakpastian keputusan. Informasi mempunyai nilai yang potensial untuk mengurangi kemungkinan penyimpangan keputusan. Pada tahun 2004, Prammanee et al. melakukan pembandingan hasil riil gula dengan hasil gula dari simulasi dengan piranti lunak Canegro 3.5. Analisa ekonomi untuk rekomendasi pemupukan dilakukan dengan CaneFert 1.0. Model simulasi menunjukkan bermacam respon hasil gula terhadap pemberian air dan nitrogen pada jenis-jenis tanah yang berbeda. Hasil riil berada pada kisaran bat as bawah dan batas atas dari hasil simulasi yang berarti bahwa pertumbuhan tebu berakibat me ningkatnya hasil tebu karena masukan nitrogen dan irigasi. Penelitian-penelitian precision farming banyak dilakukan di perguruan tinggi sebagai penelitian disertasi, diantaranya di Cranfield University (CU, 2005). Beberapa permasalahan yang diteliti diantaranya penggunaan robot pada sistem irigasi sprinkler, pemantauan perkembangan kanopi tanaman untuk pengelolaan nitrogen, pengembangan filter untuk meningkatkan kualitas data pemetaan hasil, aplikasi praktis dari teknik precision farming , pengembangan metode untuk mengurangi biaya tinggi pada pengambilan sampel, penilaian topografi lahan untuk meningkatkan ketelitian di lahan, penentuan petunjuk pengelolaan yang dirancang untuk memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan dampak lingkungan pada produksi sereal dengan precision farming. Penggunaan neural network sebagai tool dalam precision farming telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Stone dan Kranzler (1995) mengkaji aplikasi artificial neural network dalam sistem permodelan mesin pertanian untuk mendapatkan mesin pertanian yang kuat, mempunyai toleransi kebisingan, dapat digunakan pada berbagai macam keperluan, dan dapat dikembangkan. Georing (2000) menggunakan back-propagation artificial neural network (ANN) untuk mengetahui hubungan hasil tanaman jagung dengan faktor-faktor

yang berpengaruh pada hasil. Akurasi dari model tersebut adalah 80% dan meningkat menjadi 83.5% jika data hasil tanaman yang rendah (abnormal) dibuang. Sheare et al. (2000) menerapkan penggolongan dengan artificial neural network untuk menduga keragaman spasial hasil tanaman jagung di dalam lahan. Data yang dihimpun dalam beberapa model meliputi kesuburan, elevasi, konduktivitas listrik, dan satellite imagery. Empat dari sepuluh model yang dibuat menunjukkan dapat digunakan sebagai alat penduga untuk optimasi hasil dengan menggunakan teknologi precision farming. Model 6 yang meliputi data kesuburan, konduktivitas listrik, dan satellite image menunjukkan model yang paling baik dalam menduga keragaman spasial hasil. Drummond et al. (2002) menggunakan neural network untuk mengevaluasi hubungan antara hasil tanaman jagung dan kacang kedelai dengan konduktivitas listrik tanah dan topografi. Hasil penelitiannya menunjukkan keragaman hasil tanaman dari 9 sampai 67% dengan median 38%. Se lain itu juga dihasilkan peta yang dapat digunakan untuk mengarahkan pengambilan sampel dan analisa yang lebih baik untuk mengetahui keragaman di dalam lahan. Analisa dari peta tersebut juga menunjukkan bahwa peningkatan kualitas hasil analisa pada waktu berikutnya dapat dilakukan dengan memasukkan peubah tambahan. Shock et al. (2002) menggunakan neural network untuk klasifikasi perubahan penggunaan lahan. Latar belakang penelitian tersebut adalah pentingnya kemampuan mendeteksi dan memantau perubahan penggunaan lahan untuk menilai kesinambungan perkembangan. Shrestha dan Steward (2002) mengukur populasi tanaman jagung pada tahap pertumbuhan awal dengan pendekatan neural network. Hal tersebut dilatarbelakangi masalah bahwa penyebab utama keragaman hasil jagung di dalam lahan adalah keragaman populasi tanaman. Simoes et al. (2002) menggunakan neural network untuk klasifikasi dan pemisahan buah secara otomatis. Yuan dan Xiong (2002) menggunakan model neural network untuk evaluasi kualitas teh berdasarkan komposisi kimia. Penggunaan geostatistika dalam precision farming juga sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Beberapa diantaranya adalah Burrough dan

Swindell (1997) yang mendemonstrasikan bagaimana geostatistika dan klasifikasi dengan fuzzy k-means dapat digunakan secara bersama untuk meningkatkan pemahaman praktis pada respon hasil tanaman terhadap suatu tempat. Mulla (1997) menggunakan metoda geostatistika untuk estimasi pola spasial dari bahan organik tanah, hasil uji tanah untuk unsur fosfor, da n hasil gandum sebagai kombinasi dari gambaran peta tematik dan sampel tanah. Menurut Mulla, komponen kunci dari precision farming adalah peta yang menunjukkan pola spasial karakteristik lahan. Thompson (1997) melakukan penelitian tentang spatial sampling sebagai upaya untuk estimasi atau prediksi jumlah populasi seperti jumlah peubah dalam suatu wilayah kajian sehingga dapat diprediksi suatu nilai pada tempat yang tida k diobservasi. Thompson et al. (1997) menggunakan geostatistika untuk menganalisa strukt ur spasial peubah-peubah seperti nilai-nilai hasil uji tanah. Hubungan an tara hara tanah dan hasil tanaman menunjukkan bahwa aplikasi variable rate fertilizer dapat digunakan untuk mengelola ukuran keragaman di dalam lahan. Vendrusculo et al. (2002) menggunakan geostatistika untuk estimasi dan membuat peta dari atribut-atribut tanah pada tempat yang tidak diambil sampelnya. Vendrusculo et al. juga mengembangkan program komputer untuk mengelaborasi peta tanah dan melakukan analisa tanah multi lapisan melalui penggunaan geostatistika. Penelitian tentang penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam precision farming juga sudah dilakukan. Bregt (1997) mengkaji masalah yang dihadapi dan kemungkinan penggunaan SIG sebagai pendukung dalam penerapan precision agriculture. Menurut Bregt, SIG merupakan sistem untuk menyimpan, menganalisa, dan menyajikan data spasial. Kombinasi antara SIG dan modelmodel simulasi menjadi sangat relevan untuk precision farming. Sistem Pendukung Keputusan (SPK) yang berbasis SIG dapat dikembangkan untuk operasional dari aplikasi precision farming pada tingkat usahatani. Penelitian tentang precision farming selalu berkembang dan dikomunikasikan. Pada bulan Juli tahun 2006 diselenggarakan Konferensi Internasional ke-8 tentang precision farming di Minneapolis, USA. Sementara

pada bulan Agustus tahun 2006 di Sydney, Australia diselenggarakan Simposium ke-10 tentang penelitian dan aplikasi precision farming di Australia. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat diamati bahwa belum terdapat penelitian berkaitan dengan precision farming yang menggabungkan geostatistika, neural network , SIG, dan SPK sebagai satu kajian menyeluruh. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencapai hal tersebut khususnya untuk strategi pemupukan pada budiaya tebu.

METODOLOGI Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasi yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan sistem meliputi analisa kebutuhan, formulasi permasalahan, dan identifikasi sistem yang selengkapnya sudah disajikan pada Gambar 25. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya penggunaan model matematis, berpikir secara kualitatif, optimasi serta dapat diaplikasikan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan model suatu abstraksi keadaan nyata ataupun penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan sistem karena sistem pemupukan dalam budidaya tebu terdiri dari berbagai gugus yang sangat kompleks. Mempelajari keterkaitan sistemik (systemic linkages) sangat penting dalam mendisain dan mengoperasikan suatu sistem pemupukan dalam budidaya tebu yang baik. Analisa Kebutuhan 1. Pemerintah / Lembaga Standardisasi -mendorong tingkat produksi -mendorong kualitas gula -mendorong efisiensi dan efektivitas pemupukan -mendorong kelestarian lingkungan 2. Pabrik gula (pr odusen) -produktivitas tinggi -penggunaan pupuk efisien dan efektif -keuntungan bertambah -biaya produksi berkurang -target produksi tercapai

-kualitas produk baik -dampak lingkungan minimal -menguasai teknologi pemupukan dengan konsep precision farming -kontinuitas produksi 3. Konsumen -harga pasar gula terjangkau -kuantitas gula cukup setiap waktu -kualitas gula baik 4. Produsen pupuk -penjualan maksimal -kontinyuitas pabrik Formulasi Masalah Untuk mendapatkan produktivitas lahan tebu yang tinggi dengan hasil kuantitas dan kualitas kristal gula yang tinggi serta dampak lingkungan yang minimal maka pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu harus dilakukan dengan tepat, efektif, dan efisien. Hal tersebut dapat dicapai melalui pendekata n precision farming dalam pemupukan N, P, dan K, yang mana pemupukan diberikan sesuai kebutuhan dari setiap bagian lahan pada skala mikro, sehingga pemberian pupuk tidak berlebihan atau kekurangan. Selama ini pemberian pupuk diberikan dengan dosis yang seragam untuk seluruh bagian lahan tanpa memperhatikan keragaman kesuburan tanah di dalam lahan. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem yang dikaji dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram, Gambar 48) dan diagram masukan keluaran ( input-outputdiagram, Gambar 49).

+ _ _+ _ + ++ _ _ _ + + _ _ _ + + DOSIS PUPUK N, P, dan K YANG DIBERIKAN Efisiensi pemberian pupuk Biaya Pemupukan Keuntungan (profit) Produktivitas lahan Produksi tebu Produksi kristal gula + Jumlah hara total dalam tanah (N, P, dan K) dan tanaman (N dan K) Kelebihan hara N, P, dan K dalam tanah Manfaat (benefit) Rendemen tebu Kadar gula Kekurangan hara N, P, dan K dalam tanah Harga gula _ _+ _ + ++ _ _ _ + + _ _ _ +

+ DOSIS PUPUK N, P, dan K YANG DIBERIKAN Efisiensi pemberian pupuk Biaya Pemupukan Keuntungan (profit) Produktivitas lahan Produksi tebu Produksi kristal gula + Jumlah hara total dalam tanah (N, P, dan K) dan tanaman (N dan K) Kelebihan hara N, P, dan K dalam tanah Manfaat (benefit) Rendemen tebu Kadar gula Kekurangan hara N, P, dan K dalam tanah Harga gula Batas Sistem Harga pupuk Gambar 48 Diagram lingkar sebab-akibat pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu.

MASUKAN LINGKUNGAN 1. Peraturan Pemerintah (harga gula, harga pupuk) 2. Iklim 3. Bencana alam Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu MASUKAN TIDAK TERKONTROL 1. Luas lahan 2. Ketersediaan hara 3. Kontinyuitas pabrik MASUKAN TERKONTROL 1. Jumlah pupuk yang diberikan 2. Jenis pupuk 3. Bentuk pupuk KELUARAN DIKEHENDAKI 1. Produktivitas lahan meningkat 2. Kristal gula meningkat 3. Dampak lingkungan berkurang 4. Keuntungan meningkat KELUARAN TIDAK DIKEHENDAKI 1. Biaya tinggi 2. Efisiensi rendah MANAJEMEN PENGENDALIAN MASUKAN LINGKUNGAN 1. Peraturan Pemerintah (harga gula, harga pupuk) 2. Iklim 3. Bencana alam Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya

Tebu MASUKAN TIDAK TERKONTROL 1. Luas lahan 2. Ketersediaan hara 3. Kontinyuitas pabrik MASUKAN TERKONTROL 1. Jumlah pupuk yang diberikan 2. Jenis pupuk 3. Bentuk pupuk KELUARAN DIKEHENDAKI 1. Produktivitas lahan meningkat 2. Kristal gula meningkat 3. Dampak lingkungan berkurang 4. Keuntungan meningkat KELUARAN TIDAK DIKEHENDAKI 1. Biaya tinggi 2. Efisiensi rendah MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 49 Diagram masukan-keluaran pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu.

Pemodelan Kerangka pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu yang diteliti disajikan pada Gambar 50. Selanjutnya hal tersebut dikemas dalam suatu Sistem Pendukung Keputusan agar pengambilan keputusan dapat efektif. Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan untuk pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu disajikan pada Gambar 51. Sistem Informasi Geografis Data tanaman dan Data tanah Sistem Pendukung Keputusan PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU Sistem Informasi Manajemen Peningkatan Efisiensi Pengurangan Pemborosan pupuk Pengurangan dampak lingkungan Peningkatan produktivitas Gambar 50 Kerangka pendekatanprecision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu.

MODEL HASIL TEBU Produktivitas Lahan MODEL GEOSTATISTIKA -Semi-variance -Nugget -Range -Variability (sill) -Kriging MODEL PEMUPUKAN Penentuan dosis pupuk N, P, dan K DATA TANAH Unsur hara -N -P -K Kadar Air Tanah DATA TANAMAN Unsur hara daun -N -P -K Pertumbuhan vegetatif Analisa Kemasakan Biomassa SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA DATA GEOGRAFIS Peta Dasar Peta Kontur MODEL SPASIAL Visualisasi dengan Sistem Informasi Geografis MODEL BIAYA Biaya pemupukan, biaya produksi gula, manfaat hasil gula, keuntungan, B/C ratio DATA BIAYA Harga pupuk Harga gula Harga analisa tanah dan daun Upah pengambilan sampel MODEL HASIL TEBU Produktivitas Lahan MODEL GEOSTATISTIKA -Semi-variance -Nugget -Range -Variability (sill) -Kriging MODEL PEMUPUKAN Penentuan dosis pupuk N, P, dan K DATA TANAH

Unsur hara -N -P -K Kadar Air Tanah DATA TANAMAN Unsur hara daun -N -P -K Pertumbuhan vegetatif Analisa Kemasakan Biomassa SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL PENDEKATAN PRECISION FARMING DALAM PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA BUDIDAYA TEBU SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA DATA GEOGRAFIS Peta Dasar Peta Kontur MODEL SPASIAL Visualisasi dengan Sistem Informasi Geografis MODEL BIAYA Biaya pemupukan, biaya produksi gula, manfaat hasil gula, keuntungan, B/C ratio DATA BIAYA Harga pupuk Harga gula Harga analisa tanah dan daun Upah pengambilan sampel Gambar 51 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan untuk pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu.

Sistem Manajemen Basis Data Sistem manajemen basis data berfungsi untuk mengelola data yang diperlukan model, yang terdiri dari tiga kelompok data, yaitu data tebu, data tanah, dan data tanaman. Sistem Manajemen Basis Model Sistem manajemen basis model terdiri dari model-model yang berfungsi mengolah data hingga akhirnya diperoleh informasi untuk mendukung pembuatan keputusan. Sistem ini terdiri dari tiga model utama yaitu model hasil tebu, mode l geostatistika, dan model pemupukan. Model hasil tebu Pada penelitian ini tidak dimungkinkan dilakukan kegiatan penebangan, oleh karena itu hasil tebu didekati dengan perhitungan taksasi berdasarkan rumus taksasi yang digunakan oleh PT GPM pada musim tanam 2002/2003 yaitu TP(i) = { P(i) x Ip x It x (TB/10) x B10 } TP(i) : taksasi produksi lahan sampel i (ton/ha) P(i) : populasi hasil pengamatan sampel i Ip : indeks populasi It : indeks tinggi batang TB : tinggi batang normal saat panen B10 : bobot batang normal saat panen tiap 10 cm Model geostatistika n(h) g(h) = {1/[2n(h)]}S [Z(x + h) i=1 (Sumber : White et al., 1997) g(h): semi-variance pasangan sampel pada jarak h Z(x) : nilai regionalized variable pada lokasi x jalur/arah i Z(x + h) : nilai regionalized variable pada lokasi x + h jalur/arah i h : jarak pasangan sampel (m) i : jalur/arah sampel n(h) : jumlah pasangan sampel pada jarak h Satuan g dan Z tergantung pada jenis peubah yang dianalisa. Z(x)]2 .. .. (40) . (39)

Ilustrasi regionalized variable secara sederhana dapat dijelaskan dengan Gambar 52. Jika suatu hamparan lahan digambarkan sebagai bidang yang dibagi dalam grid dengan p baris dan q kolom, maka Z(1,1) merupakan regionalized variable yang secara geografis berada pada posisi baris 1 dan kolom 1. Sedangkan Z(4,4) merupakan regionalized variable yang secara geografis berada pada posisi baris 4 dan kolom 4. p Z(1,4) Z(1,3) Z(1,2) Z(1,1) Z(2,4) Z(2,3) Z(2,2) Z(2,1) Z(3,4) Z(3,3) Z(3,2) Z(3,1) Z(4,4) Z(4,3) Z(4,2) Z(4,1)

q Gambar 52 Ilustrasi plot regionalized variable. Semi-variogram dilakukan menurut 4 arah (Gambar 53), yaitu arah sumbu x, sumbu y, dan diagonal. Gambar 53 Arah semi-variogram. Jika semi-variogramdilakukan menurut arah sumbu x maka jalur/arah i dan jarak h pada Gambar 53 mengikuti baris q. Jumlah pasangan sampel dengan jarak 4 satuan, n(h) = n(4), adalah 4 pasang yaitu {Z(1,1);Z(4,1)}, {Z(1,2);Z(4,2)}, {Z(1,3);Z(4,3)}, dan {Z(1,4);Z(4,4)}. Semi-variance dihitung untuk setiap pasangan sampel pada masing-masing jarak 1 satuan, 2

satuan, 3 satuan, dan 4 satuan. Pembuatan plot antara semi-variance pasangan sampel dan jarak yang bersangkutan menghasilkan semivariogram (Gambar 54). Jika semi-variogram dipengaruhi oleh jarak dan arah maka disebut bersifat anisotropic, sedangkan jika semi -variogram hanya dipengaruhi oleh jarak maka disebut bersifat isotropic. Pada penelitian ini diasumsikan semi-variogram bersifat isotropic dan tidak dikaji interaksi hara (multivariate geostatistics ). Gambar 54 Semi-variogram (White et al., 1997). Model pemupukan 1 Pemupukan pertama Penentuan jumlah hara yang harus ditambahkan pada pemupukan pertama dengan pendekatan precision farming berdasarkan persamaan berikut: Ndt = Ndb hN Nt . Pdt = Pdb hP Pt keterangan

.. (41)

...... (42)

Ndt : jumlah hara N yang ditambahkan untuk pupuk pertama (kg/ha) Ndb : jumlah hara N yang dibutuhkan untuk pupuk pertama (kg/ha) Nt : jumlah hara N total di dalam tanah (kg/ha)

hN : efisiensi penyerapan hara N oleh tanaman (%) (30 70%) Pdt : jumlah hara P yang ditambahkan untuk pupuk pertama (kg/ha) Pdb : jumlah hara P yang dibutuhkan untuk pupuk pertama (kg/ha) Pt : jumlah hara P total di dalam tanah (kg/ha) hP : efisiensi penyerapan hara P oleh tanaman (%) (5 30%) Ndb dan Pdb ditentukan berdasarkan rekomendasi pustaka dan target hasil. Rekomendasi pustaka yang digunakan untuk menentukan Ndb dan Pdb adalah dari De Geus (1973) yaitu bahwa untuk menghasilkan 100 ton tebu per hektar diperlukan 200 kg/ha N, 80 kg/ha P2O5, dan 240 kg/ha K2O yang mana N dan P2O5 diberikan pada pemupukan pertama. Sedangkan penentuan Ndb dan Pdb berdasarkan target hasil menggunakan model neural network . Pemikiran model pemupukan untuk pemupukan pertama didasarkan pada hubungan input-output seperti disajikan pada Gambar 55. Jumlah hara N Hasil tebu input Jumlah hara PKadar gula output Gambar 55 Hubungan pemberian jumlah hara N dan P dengan hasil tebu dan kadar gula pada pemupukan pertama. Dari Gambar 55 dapat dipahami bahwa pemberian hara dapat meningkatkan atau menurunkan hasil tebu dan kadar gula. Dengan demikian jika diketahui hubungan antara jumlah hara yang diberikan dengan hasil tebu dan kadar gula maka untuk mendapatkan target hasil tebu dan kadar gula yang tinggi dapat ditentukan jumlah hara yang harus diberikan. Untuk mencapai maksud tersebut maka dibuat model neural network dengan metode back propagation seperti disajikan pada Gambar 56. Asumsi untuk model ini adalah pemupukan kedua optimal dan lahan seragam. Pada penelitian ini tidak dikaji interaksi hara.

Kadar gula Jumlah hara N yang dibutuhkan a b c d Jumlah hara P yang dibutuhkan Hasil tebu in out input layer hidden layer output layer Gambar 56 Konfigurasi model neural network untuk pemupukan pertama pada budidaya tebu dengan konsep dosis seragam. Setelah diperoleh hubungan dari Gambar 56 maka target yang diharapkan dapat dinyatakan dengan persamaan : yt = f ( Ndb , Pdb ) rt = f ( Ndb , Pdb ) (43) ........ (44)

keterangan yt : target hasil tebu/yield (ton tebu/ha) rt : target kadar gula (%) Ndb : jumlah hara N yang dibutuhkan untuk pupuk pertama (kg/ha) Pdb : jumlah hara P yang dibutuhkan untuk pupuk pertama (kg/ha) 2 Pemupukan kedua Penentuan jumlah hara yang harus ditambahkan pada pemupukan kedua dengan pendekatan pre cision farming berdasarkan persamaan berikut: Ndb Ndn Ndt = hN Nt . (45)

Kdt = Kdb Kdn hK keterangan

Kt .. (46)

Ndt : jumlah hara N yang ditambahkan untuk pupuk kedua (kg/ha) Ndb : jumlah hara N yang dibutuhkan untuk pupuk kedua (kg/ha) Ndn : jumlah hara N pada tanaman (kg/ha) Nt : jumlah hara N total di dalam tanah (kg/ha) hN : efisiensi penyerapan hara N oleh tanaman (%) (30 70%) Kdt : jumlah hara K yang ditambahkan untuk pupuk kedua (kg/ha) Kdb : jumlah hara K yang dibutuhkan untuk pupuk kedua (kg/ha) Kdn : jumlah hara K pada tanaman (kg/ha) Kt : jumlah hara K total di dalam tanah (kg/ha) hK : efisiensi penyerapan hara K oleh tanaman (%) (50 80%)

Ndb dan Kdb ditentukan berdasarkan rekomendasi pustaka dan target hasil. Rekomendasi pustaka yang digunakan untuk menentukan Ndb dan Kdb adalah dari De Geus (1973) yaitu bahwa untuk menghasilkan 100 ton tebu per hektar diperlukan 200 kg/ha N, 80 kg/ha P2O5, dan 240 kg/ha K2O yang mana N dan K2O diberikan pada pemupukan kedua. Sedangkan penentuan Ndb dan Kdb berdasarkan target hasil menggunakan model neural network. Pemikiran model pemupukan untuk pemupukan kedua didasarkan pada hubungan hara yang diberikan dan hasil tebu yang diperoleh seperti disajikan pada Gambar 57. input outputJumlah hara N Jumlah hara K Hasil tebu Kadar gula Gambar 57 Hubungan pemberian jumlah hara N dan K dengan hasil tebu dan kadar gula pada pemupukan kedua. Dari Gambar 57 dapat dipahami bahwa pemberian hara dapat meningkatkan atau menurunkan hasil tebu dan kadar gula. Dengan

demikian jika diketahui hubungan antara jumlah yang diberikan dengan hasil tebu dan kadar gula maka untuk mendapatkan target hasil tebu dan kadar gula yang tinggi dapat ditentukan jumlah hara yang harus diberikan. Untuk mencapai maksud tersebut maka dibuat model neural network dengan metode back propagation seperti disajikan pada Gambar 58. Asumsi untuk model ini adalah pemupukan pertama optimal dan lahan seragam. Pada penelitian ini tidak dikaji interaksi hara. in out Hasil tebu Kadar gula Jumlah hara N yang dibutuhkan a b c d Jumlah hara K yang dibutuhkan input layer hidden layer output layer Gambar 58 Konfigurasi model neural network untuk pemupukan kedua pada budidaya tebu dengan konsep dosis seragam Setelah diperoleh hubungan dari Gambar 58 maka target yang diharapkan dapat dinyatakan dengan persamaan : yt = f ( Ndb , Kdb ) rt = f ( Ndb , Kdb ) keterangan yt : target hasil tebu/yield (ton tebu/ha) rt : target kadar gula (%) Ndb : jumlah hara N yang dibutuhkan untuk pupuk kedua (kg/ha) Kdb : jumlah hara K yang dibutuhkan untuk pupuk kedua (kg/ha . (47) ............. (48)

Model Biaya 1 Biaya pemupukan Biaya (cost) pemupukan dihitung dengan menggunakan Persamaan 49 BP= (BAL+ BPS + BJP) / LTS ... (49)

55.

BAL= (HATN1 + HATN2 + HATP + HATK + HADN2 + HADK) * JS (50) BPS = (UPST + UPSD) * JS .. (51) (52)

n n n BJP= JUreai * HUrea + JTSPi * HTSP + JKCli * HKCl i=1 i=1 i=1 LTS = JS * LS . (53) n BPTaw = BP / {( RTawi * Tawi ) / n} i=1 n BPTak = BP / {( RTaki * Taki ) / n} i=1 keterangan

. (54) (55)

BP : biaya pemupukan per satuan luas (Rp/ha) BPTaw : biaya pemupukan per satuan bobot hasil gula pada taksasi awal (Rp/ton) BPTak : biaya pemupukan per satuan bobot hasil gula pada taksasi akhir (Rp/ton) BAL : biaya analisa laboratorium (Rp) BPS : biaya pengambilan sampel (Rp) BJP : biaya jumlah pupuk yang digunakan (Rp) LTS : luas total sel (ha) HATN1 : harga analisa tanah N per sampel untuk pemupukan pertama (Rp) HATN2 : harga analisa tanah N per sampel untuk pemupukan kedua (Rp) HATP : harga analisa tanah P per sampel untuk pemupukan pertama (Rp) HATK : harga analisa tanah K per sampel untuk pemupukan kedua (Rp) HADN2: harga analisa daun N per sampel untuk pemupukan kedua (Rp) HADK : harga analisa daun K per sampel untuk pemupukan kedua (Rp)

UPST : upah pengambilan sampel tanah per sampel (Rp) UPSD : upah pengambilan sampel daun per sampel (Rp) JS : jumlah sampel LS : luas sel per sampel (ha) JUreai : jumlah pupuk Urea untuk pe mupukan pertama dan kedua sel ke-i (kg) JTSPi : jumlah pupuk TSP untuk pemupukan pertama sel ke-i (kg) JKCli : jumlah pupuk KCl untuk pemupukan kedua sel ke-i (kg) HUrea : harga pupuk Urea (Rp/kg) HTSP : harga pupuk TSP Rp/kg) HKCl : harga pupuk KCl (Rp/kg) RTawi : rendemen pada taksasi awal sel ke -i (%) RTaki : rendemen pada taksasi akhir sel ke-i (%) Tawi : taksasi awal sel ke-i (ton/ha) Taki : taksasi akhir sel ke-i (ton/ha) n : jumlah sel Asumsi-asumsi yang digunakan: Biaya pemupukan (BP/BPTaw/BPTak) hanya terdiri dari biaya analisa laboratorium (BAL), biaya pengambilan sampel (BPS), dan biaya jumlah pupuk yang digunakan (BJP). Sedangkan biaya di luar itu seperti upah tenaga pemupukan dan lain sebagainya dianggap sama untuk semua plot percobaan. Biaya analisa laboratorium (BAL) hanya terdiri dari biaya analisa tanah dan daun, sedangkan biaya lain di luar itu diabaikan. Biaya pengambilan sampel (BPS) hanya terdiri dari upah pengambilan sampel, sedangkan biaya lain di luar itu diabaikan. Biaya jumlah pupuk (BJP) hanya terdiri dari biaya jumlah pupuk yang digunakan, sedangkan biaya lain di luar itu diabaikan. Harga analisa laboratorium untuk sampel tanah dan daun yang digunakan untuk perhitungan bersumber dari Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB yang mulai berlaku sejak tanggal 2 Februari 2006 yang dikutip dan disajikan sesuai kebutuhan penelitian ini seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Harga analisa laboratorium Jenis analisa Harga analisa per sampel (Rp) N 13,000.00 Analisa tanah P 10,000.00 K 6,000.00 N 13,500.00 Analisa daun K 6,500.00 (Sumber : Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya La han Fakultas Pertanian IPB, 2006)

Harga pupuk Urea, TSP, dan KCL yang digunakan untuk perhitungan bersumber dari internet seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Harga pupuk Harga pada tanggal 9 Maret 2006 Jenis pupuk Satuan (Rp) Urea kg 1,400.00 TSP kg 1,800.00 KCl kg 2,400.00 (Sumber : PDKG, 2006) Upah pengambilan sampel diasumsikan Rp 280.00/sampel (berdasarkan keterangan dari PT GPM pada tanggal 8 April 2006 bahwa pengambilan sampel pada 3 petak dengan masing-masing seluas 8 ha dan setiap hektar mengambil 6 sampel dilakukan dalam satu hari kerja oleh 2 orang dengan upah masing-masing Rp 20,000.00). PT GPM mendasarkan pengambilan 6 sampel/ha masing-masing untuk sampel tanah dan daun pada 3 petak yang mewakili tiap blok. Luas tiap petak yang mewakili blok diasumsikan 8 ha. Luas satu blok diasumsikan 80 ha. Untuk itu jumlah sampel tanah dan daun (JS) masing-masing adalah 144 sampel pada Plot Percobaan C dan D. Secara ringkas dapat dituliskan JS Plot Percobaan C = 144 sampel JS Plot Percobaan D = 144 sampel LTS Plot Percobaan C = 80 ha LTS Plot Percobaan D= 80 ha

2 Biaya produksi gula Biaya produksi gula dihitung dengan Persamaan 56 dan 57. BPGTaw = BPGSP+ BPTaw BPGTak = BPGSP+ BPTak keterangan BPGTaw : biaya produksi gula pada taksasi awal (Rp/ton) BPGTak : biaya produksi gula pada taksasi akhir (Rp/ton) BPGSP : biaya produksi gula selain pemupukan (Rp/ton) BPTaw : biaya pemupukan per ton gula pada taksasi awal (Rp/ton) BPTak : biaya pemupukan per ton gula pada taksasi akhir (Rp/ton) Asumsi yang digunakan adalah bahwa semua biaya produksi gula di luar biaya pemupukan (BPGSP) dianggap sama untuk semua plot percobaan yaitu Rp 3,170,981.32/ton gula yang dihasilkan (=Rp 3,170.98/kg). Angka tersebut diperoleh dari asumsi bahwa biaya produksi gula secara keseluruhan adalah Rp 3,500.00/kg (keterangan dari PT GPM pada tanggal 8 April 2006 bahwa biaya produksi gula berkisar antara Rp 3,000.00 Rp 4,000.00/kg) dan kemudian dikurangi biaya pemupukan dengan dosis seragam yang diperoleh dari penelitian ini yaitu Rp Rp 2,217,585.91/ha atau Rp 329,018.68/ton hasil gula (=Rp 329.02/kg, berdasarkan data sekunder produktivitas gula PT GPM pada tahun 2002 yaitu 6.74 ton/ha). Asumsi biaya produksi gula sebesar Rp 3,500.00/kg pada tahun 2005-2006 masih relevan dengan referensi bahwa biaya produksi gula di dalam negeri rata-rata Rp 3,100.00 Rp 3,200.00/kg (Hidayati, 2004). 3 Manfaat hasil gula Manfaat (benefit) dari perolehan gula dihitung dengan Persamaan 58 dan 59. MHGTaw = HG * 1000 MHGTak = HG * 1000 (58) (59) .. . (56) (57)

keterangan MHGTaw : manfaat dari perolehan gula pada taksasi awal (Rp/ton)

MHGTak : manfaat dari perolehan gula pada taksasi akhir (Rp/ton) HG : harga gula (Rp/kg) Asumsi yang digunakan adalah harga gula sebesar Rp 6,000.00/kg berdasarkan keterangan Direktur Bina Pasar Departemen Perdagangan RI (Gunaryo) yaitu bahwa pemerintah kemungkinan akan membuat harga patokan naik dari Rp 5,500.0/kg tetapi masih di bawah Rp 6,000.00/kg (Sumber : Dtc-33, 2006). 4 Keuntungan yang diperoleh Keuntungan (profit) yang diperoleh dihitung dengan Persamaan 60 dan 61. PTaw = MHGTaw PTak = MHGTak keterangan PTaw : PTak : MHGTaw MHGTak BPGTaw BPGTak keuntungan pada taksasi awal (Rp/ton) keuntungan pada taksasi akhir (Rp/ton) : manfaat dari perolehan gula pada taksasi awal (Rp/ton) : manfaat dari perolehan gula pada taksasi akhir (Rp/ton) : biaya produksi gula pada taksasi awal (Rp/ton) : biaya produksi gula pada taksasi akhir (Rp/ton) BPGTaw BPGTa .. (60) (61)

5 B/C ratio B/C ratio dihitung dengan menggunakan Persamaan 62 dan 63. MHGTaw B/C ratioTAw= BPGTaw MHGTak B/C ratioTAk= BPGTak keterangan B/C ratioTAw : B/C ratio pada taksasi awal B/C ratioTAk : B/C ratio pada taksasi akhir MHGTaw : manfaat dari perolehan gula pada taksasi awal (Rp/ha) MHGTak : manfaat dari perolehan gula pada taksasi akhir (Rp/ha) BPGTaw : biaya produksi gula pada taksasi awal (Rp/ha) BPGTak : biaya produksi gula pada taksasi akhir (Rp/ha) (62)

(63)

Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog merupakan komponen model yang berfungsi mengatur komunikasi dengan pengguna model, sehingga interaksi antara pengguna dengan model dapat lebih mudah dilaksanakan dan menarik. Tata Laksana Penelitian Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan April 2002, sedangkan penelitian lapangan telah dilakukan pada bulan September 2002 Juli 2003 di perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram, Wilayah Mataram Udik, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung (Gambar 82 pada Bab IV). Diagram alir tata laksana penelitian disajikan pada Gambar 59. Penjelasan dari setiap tahap tata laksana penelitian adalah sebagai berikut: 1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengambil data sekunder yang meliputi jadwal kegiatan budidaya tebu, produktivitas lahan, kegiatan pemupukan, keadaan umum lokasi penilitian, persiapan lahan untuk penelitian, dan koordinasi Penelitian pendahuluan diperlukan untuk mengetahui keadaan umum lokasi penelitian, kegiatan pemupukan yang selama ini dilakukan di PT GPM, tingkat keragaman dosis pemupukan yang dilakukan, keragaman produktivitas lahan tebu, persiapan lahan untuk penelitian, dan koordinasi kegiatan penelitian. 2 Pemetaan sampel Beberapa petak digunakan untuk lokasi plot-plot percobaan seperti disajikan pada Gambar 60 dan 61. Selanjutnya dilakukan pembuatan sel-sel di dalam plot (grid cell plotting) dan pemetaan plot percobaan seperti disajikan pa da Gambar 62 dan 63.

MULAI PENELITIAN PENDAHULUAN PEMETAAN SAMPEL PENGAMBILAN SAMPELTANAH I ANALISA TANAH I untuk mengetahui kandungan hara tanah N dan P PENENTUAN DOSIS PUPUK PERTAMA untuk menghitung dosis pupuk N dan P A ANALISA KERAGAMAN SPASIAL I untuk mengetahui nilai keragaman (sill) hasil Analisa Tanah I MULAI PENELITIAN PENDAHULUAN PEMETAAN SAMPEL PENGAMBILAN SAMPELTANAH I ANALISA TANAH I untuk mengetahui kandungan hara tanah N dan P PENENTUAN DOSIS PUPUK PERTAMA untuk menghitung dosis pupuk N dan P A ANALISA KERAGAMAN SPASIAL I untuk mengetahui nilai keragaman (sill) hasil Analisa Tanah I Gambar 59 Diagram alir tata laksana penelitian.

A PENGAMBILAN SAMPEL DAUN DAN TANAH II ANALISA HARA DAUN dan TANAH II untuk mengetahui kandungan hara N dan K ANALISA KERAGAMAN SPASIAL II untuk mengetahui nilai keragaman (sill) hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif I, hasil Analisa Daun dan hasil Analisa Tanah II APLIKASI DOSIS PUPUK PERTAMA Plot Percobaan A-PF: dosis N dan P pendekatan precision farming dengan rekomendasi pustaka, manual Plot Percobaan B-PF: dosis N dan P pendekatan precision farming dengan target produktivitas, manual Plot Percobaan C-DS: dosis N dan P seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, manual Plot Percobaan D-DS: dosis N dan P seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, mekanis Plot Percobaan E-PF: dosis N dan P pendekatan precision farming dengan rekomendasi pustaka, mekanis PENGAMATAN PERTUMBUHAN VEGETATIF I B Gambar 59 Diagram alir tata laksana penelitian. (lanjutan)

PENGAMATAN PERTUMBUHAN VEGETATIF II, HAMA, PENYAKIT, GULMA, KADAR AIR TANAH, TAKSASI AWAL, TAKSASI AKHIR, BIOMASSA TEBU APLIKASI DOSIS PUPUK KEDUA Plot Percobaan A-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan rekomendasi pustaka, manual Plot Percobaan B-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan target produktivitas, manual Plot Percobaan C-DS: dosis K seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, manual Plot Percobaan D-DS: dosis K seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, manual Plot Percobaan E-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan rekomendasi pustaka, manual PENENTUAN DOSIS PUPUK KEDUA untuk menghitung dosis pupuk N dan K B ANALISA KERAGAMAN SPASIAL III untuk mengetahui nilai keragaman (sill) hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif II, hasil analisa kemasakan, taksasi awal, taksasi akhir, gulma, kadar air tanah, dan biomassa tebu PENGAMATAN PERTUMBUHAN VEGETATIF II, HAMA, PENYAKIT, GULMA, KADAR AIR TANAH, TAKSASI AWAL, TAKSASI AKHIR, BIOMASSA TEBU APLIKASI DOSIS PUPUK KEDUA Plot Percobaan A-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan rekomendasi pustaka, manual Plot Percobaan B-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan target produktivitas, manual Plot Percobaan C-DS: dosis K seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, manual Plot Percobaan D-DS: dosis K seragam rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, manual Plot Percobaan E-PF: dosis N dan K pendekatan precision dengan rekomendasi pustaka, manual PENENTUAN DOSIS PUPUK KEDUA untuk menghitung dosis pupuk N dan K B ANALISA KERAGAMAN SPASIAL III untuk mengetahui nilai keragaman (sill) hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif II, hasil analisa kemasakan, taksasi awal, taksasi akhir, gulma, kadar air tanah, dan biomassa tebu C

farming farming

farming

farming farming

farming

Gambar 59 Diagram alir tata laksana penelitian. (lanjutan)

C PEMBUATAN PETA INFORMASI LAHAN untuk mengetahui gambaran sebaran spasial hara tanah, hara daun, pertumbuhan vegetatif, taksasi awal, taksasi akhir, gulma, kadar air tanah, dan biomassa tebu PEMBUATAN PROGRAM TERPADU Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Informasi Geografis ANALISA PERTUMBUHAN VEGETATIF pembuatan grafik hubungan respon perlakuan pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif (jumlah daun, jumlah anakan, tinggi batang, dan diameter batang) terhadap waktu UJI BEDA NYATA untuk mengetahui tingkat perbedaan perlakuan pemupukan dari setiap plot percobaan SELESAI ANALISA BIAYA untuk mengetahui biaya pemupukan, biaya produsi gula, manfaat hasil gula berdasarkan taksasi, keuntungan yang diperoleh, dan B/C ratio Gambar 59 Diagram alir tata laksana penelitian. (lanjutan)

Gambar 60 Petak-petak lahan untuk Plot Percobaan A -PF, B-PF, dan C-DS.

Gambar 61 Petak lahan untuk Plot Percobaan D -DS (bawah) dan E -PF (atas).

Hasil pembuatan sel dan pemetaan petak percobaan disajikan pada Gambar 64 68. Sedangkan deskripsi setiap plot percobaan disajikan pada Tabel 10. Gambar 62 Pembuatan sel-sel di dalam plot percobaan. Gambar 63 Pemetaan plot percobaan.

Gambar 64 Pembagian sel pada Plot Percobaan A-PF.

Gambar 65 Pembagian sel pada Plot Percobaan B-PF.

Gambar 66 Pembagian sel pada Plot Percobaan C-DS.

DD 13 DD 14 DD 15 DD 12 DD 11 DD 10 DD 7 DD 8 DD 9 DD 6 DD 5 DD 4 DD 1 DD 2 DD 3 Gambar 67 Pembagian sel pada Plot Percobaan D-DS. Tabel 10 Deskripsi plot percobaan Plot Percobaan A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Lokasi Petak 60 TU 3 Blok 1 TU 6 Divisi II Petak 58 TU 3 Blok 1 TU 6 Divisi II Petak 56 TU 3 Blok 1 TU 6 Divisi II Petak 100 TU 60 Blok 6 TU 10 Divisi I Petak 100 TU 60 Blok 6 TU 10 Divisi I Luas 4.11 ha 5.82 ha 3.58 ha 3.07 ha 9.2 ha Kategori Ratoon 1 Ratoon 1 Ratoon 1 Ratoon 3 Ratoon 3 Varietas Tanggal kepras Perlakuan pemupukan GP 94-2027 26 9 - 2002 Precision farming dengan rekomendasi pustaka GP 94-2027 24 9 2002 Precision farming dengan target produktivitas GP 94-2027 26 9 2002 Dosis seragam dari PT GPM P 3 9 2002 Dosis seragam dari PT GPM P 3 9 2002 Precision farming dengan rekomendasi

pustaka Jenis pupuk Pupuk I : N + P Pupuk II : N + K Pupuk I : N + P Pupuk II: N + K Pupuk I: N+ P Pupuk II : K Pupuk I : N + P Pupuk II : K Pupuk I : N + P Pupuk II: N+ K Jumlah sel 33 32 16 15 45 Cara pemupukan Manual Manual Manual Pupuk I: Mekanis Pupuk II: Manual Pupuk I: Mekanis Pupuk II: Manual

EE 45 EE 44 EE 43 EE 40 EE 41 EE 42 EE 39 EE 38 EE 37 EE 34 EE 35 EE 36 EE 33 EE 32 EE 31 EE 29 EE 28 EE 30 EE 26 EE 25 EE 23 EE 24 EE 20 EE 19 EE 17 EE 18 EE 14 EE 13 EE 11 EE 12 EE 8 EE 7 EE 5 EE 6 EE 2 EE 1 EE 27 EE 22 EE 21 EE 16 EE 15 EE 10 EE 9 EE 4 EE 3 Gambar 68 Pembagian sel pada Plot Percobaan E-PF.

3 Pengambilan sampel tanah I Cara tanam pada plot percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alur tanam ganda (double row planting ) seperti disajikan pada Gambar 69.

Gambar 69 Alur tanam ganda (double row planting). Sampel tanah Gambar 68 di 30-60cm (sub minggu (Plot diambil pada lokasi yang ditunjukkan oleh anak panah pada atas. Sampel tanah diambil pada kedalaman 0-30cm (top soil ) dan soil). Pengambilan sampel tanah I diambil pada umur tebu 1 Percobaan A-PF, B-PF, C-DS) dan 2 bulan (Plot Percobaan D-DS

dan E-PF). Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode grid center. Setiap plot dibagi dalam sel-sel (grid sampling). Setiap sel pada plot percobaan diambil satu sampel tanah yang merupakan gabungan dari empat titik pengambilan sampel berjarak masing-masing 2m dari titik tengah sel menurut anak panah seperti disajikan pada Gambar 70. 2m 2m : titik : titik pengambilan Gambar 70 Titik pengambilan sampel tanah pada setiap sel.

4 Analisa hara tanah I Sampel tanah yang sudah diperoleh kemudian dianalisa di Group Agro Laboratory Division , Sugar Group Company di wilayah PT Gula Putih Mataram. Analisa hara tanah I dilakukan untuk mengetahui jumlah hara N dan P yang tersedia di dalam tanah. 5 Analisa keragaman spasial I Analisa keragaman spasial dilakukan untuk unsur hara tanah N dan P dengan piranti lunak GS+ (Geostatistics for the Environmental Sciences) dari Gamma Design Software sehingga diperoleh parameter semi -variogram seperti nugget, sill, effective range, nilai Q, bentuk semi-variogram, dan r2. Analisa dilakukan berdasarkan model isotropik dengan asumsi tidak ada pengaruh kelerengan, angin, dan cahaya matahari pada semi-variogram. Pada penenlitian ini tidak dikaji interaksi hara ( multivariate geostatistics). Untuk dapat mengetahui tingkat keragaman spasial hasil analisa semivariogram maka dibuat klasifikasi keragaman spasia l dengan menggunakan Persamaan 64 68. Zmaks Zmin IK = JK 1 keterangan IK : interval regionalized variable yang dikehendaki Zmaks : nilai maksimum dari sekumpulan regionalized variable Zmin : nilai minimum dari sekumpulan regionalized variable JK : jumlah kelas keragaman yang dikehendaki Zi = Zmin + IK ( i atau Zi = Zmaks IK ( i 1 ) ; i = 1 .. JK (66) 1 ) . (65) .. . (64)

keterangan Zi : nilai regionalized variable ke-i pada pengurutan i : nomor urutan (1 .. JK)

i = ( Zmin Zi )2 2 .. (67) atau ( Zmaks Zi )2 i = 2 .. (68)

yang mana i adalah nilai semivarian ke-i yang menunjukkan batas interval nilai keragaman spasial. Selanjutnya dapat dibuat standar klasifikasi keragaman spasial seperti disajikan pada Tabel 11 dan 12. Tabel 11 Standar umum klasifikasi keragaman spasial Kelas Interval Nilai Keragaman 1 1 < < 2 2 2 < 3 . . . i i < i+1 . . . JK 1 JK-1 < JK JK = JK

Tabel 12 Standar khusus klasifikasi keragaman spasial untuk 11 kelas Kelas Interval Nilai Keragaman Tingkat Keragaman 1 1 < < 2 amat sangat rendah 2 2 < 3 sangat rendah 3 3 < 4 rendah 4 4 < 5 cukup rendah 5 5 < 6 agak rendah 6 6 < 7 sedang 7 7 < 8 agak tinggi 8 8 < 9 cukup tinggi 9 9 < 10 tinggi 10 10 < 11 sangat tinggi 11 = 11 amat sangat tinggi 6 Penentuan dosis pupuk pertama Penentuan dosis pupuk pertama yang ditambahkan dilakukan untuk menentukan dosis pupuk Urea (N) dan pupuk TSP (P). Dosis pupuk yang ditentukan meliputi dosis seragam (Plot Percobaan C-DS dan D-DS) dan dosis dengan konsep precision farming (Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF). Dosis seragam untuk Plot Percobaan C dan D ditentukan berdasarkan rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, yaitu 543 kg/ha Urea (250 kg/ha N) dan 217 kg/ha TSP (100 kg/ha P2O5). Penentuan dosis pupuk dengan konsep precision farming dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan rekomendasi pustaka (Plot Percobaan A-PF dan E-PF) dan berdasarkan target produktivitas (Plot Percobaan B-PF). Rekomendasi pustaka yang digunakan adalah dari De Geus (1973) yaitu bahwa untuk menghasilkan 100 ton tebu per hektar diperlukan 200 kg/ha N, 80 kg/ha P2O5, dan 240 kg/ha K2O. Rekomendasi tersebut sebagai hasil dari percobaan pemupukan

182 pada lahan tebu di Hawai dengan konsep pemupukan konvensional (dosis seragam) karena belum adanya konsep precision farming. Pupuk N yang dibutuhkan pada pemupukan pertama adalah setengah dari rekomendasi yaitu 100 kg/ha sedangkan setengahnya lagi diaplikasikan pada pemupukan kedua. Perhitungan dosis pupuk pertama untuk target produktivitas dengan program Artificial Neural Network (ANN) ber dasarkan data sekunder pada Tabel 13. Program ANN yang dipakai adalah Backpro2N yang telah dibuat oleh Rudiyanto dan Budi Indra Setiawan (2003). Akurasi dari program ANN tersebut disajikan pada Lampiran 1. Tabel 13 Data untuk training pada program komputer penentuan dosis pupuk Artificial Neural Network dengan metode back-propagation Kadar Dosis (kg/ha) Sumber data Produkstivitas gula Pupuk Dasar Pupuk Susulan (ton tebu/ha) (%) N P2O5 N K2O GPM 1997 88.28 16.60 73 69 58 180 GPM 1998 75.31 14.27 46 63 92 180 GPM 1999 86.64 16.25 119 69 0 150 GPM 2000 64.55 15.26 123 138 0 150 SIL 1995 72.30 18.24 46 138 92 180 SIL 1996 81.32 17.56 46 108 92 180 SIL 1997 73.20 18.55 54 138 69 180 SIL 1998 75.60 15.45 46 63 92 180 SIL 1999 81.25 18.06 46 108 69 150 SIL 2000 75.82 18.40 54 108 92 150 SIL 2001 101.78 18.25 54 138 69 150 Perhitungan dosis pupuk pertama yang ditambahkan dilakukan dengan Persamaan 43 dan 44. Bulk density diketahui berdasarkan hubungannya dengan tekstur tanah seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hubungan antara tekstur tanah dan bulk density Tekstur tanah Bulk density (g/cm3) Sand 1.6 Sandy loam 1.5 Loam 1.4 Silt loam 1.3 Clay loam 1.2 (Sumber: Thompson, 1957)

7 Aplikasi dosis pupuk pertama Aplikasi dosis pupuk pertama terlambat dari jadwal yang semestinya (umur tebu 2 minggu) karena musim kemarau yang panjang sehingga menyebabkan kekeringan di areal kebun. Irigasi tidak dapat dilakukan karena sangat terbatasnya peralatan dan biaya yang tinggi. Pemupukan yang dilakukan pada kondisi kering efektivitasnya rendah karena penguapan yang tinggi. Di samping itu pelaksanaan penggemburan sebagai prakondisi pemupukan tidak dapat dilakukan karena tanah yang keras. Pada awalnya aplikasi pemupukan akan dilakukan secara mekanis dengan fertilizer applicator tetapi dijumpai beberapa kendala yang nyata. Kendala pertama adalah kesulitan pelaksanaan pemupukan dengan ukuran sel yang kecil untuk operasi mekanis, sementara setiap se l menghendaki dosis yang berbeda. Kendala berikutnya adalah ketidakakuratan pengaturan dosis pada fertilizer applicator, penyumbatan pada device, dan kebocoran. Untuk itu pemupukan pertama pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dilakukan secara manual. Sedangkan pemupukan dengan fertilizer applicator dilakukan pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF. Percobaan dengan corong pupuk dilakukan untuk mengurangi ketidakakuratan faktor manusia. Karena hasil kalibrasi dan uji coba pemupukan manual dengan corong tidak memuaskan maka pemupukan pertama untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dilakukan dengan cara tabur oleh tenaga manusia. Hal ini dilakukan dengan memilih tenaga pemupuk yang dapat dipercaya dan diawasi secara ketat oleh mandor. Pemupukan pertama secara manual disajikan pada Gambar 71. Gambar 71 Pemupukan pertama manual dengan cara tabur.

8 Pengamatan pertumbuhan vegetatif I Pengamatan pertumbuhan vegetatif yang dilakukan meliputi pengamatan jumlah anakan, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan persentase gap. Pengamatan pertumbuhan vegetatif sebelum pemupukan pertama dilakukan pada umur tebu 1 bulan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dan umur tebu 2 bulan untuk Plot Percobaan D dan E. Pengamatan pertumbuhan vegetatif setelah pemupukan pertama dilakukan pada umur tebu 2 bulan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dan umur tebu 2.5 bulan untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF. Pada setiap sel dalam plot percobaan, pengamatan dilakukan pada tiga jurungan (alur tanama n) yang ditentukan sedemikian rupa sehingga apabila tanaman sudah tinggi maka pengamat tidak mengalami kesulitan untuk menemukan lokasi pengamatan (Gambar 72). Karena cara tanam pada penelitian ini adalah double row maka panjang juringan pengamatan adalah (10,000m2 : 1.8m) x 1000 = 5.5 m. Gambar 72 Juringan pengamatan pertumbuhan vegetatif pada setiap sel.

Pada setiap sel dalam plot percobaan terdapat 13 juringan/alur tanaman tebu. Dalam pengamatan pertumbuhan vegetatif, pada juringan pertama setiap sel, pengamat masuk sejauh 15m (Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS) atau 30m (Plot Percobaan D-DS dan E-PF) akan menemukan juringan pengamatan pertama sepanjang 5.5m. Untuk menemukan juringan pengamatan kedua, pengamat bergeser sejauh 6 juringan/alur tanaman. Juringan pengamatan ketiga dapat ditemukan setelah bergeser 6 juringan dari juringan pengamatan kedua. Pengamatan pertumbuhan vegetatif dilakukan paling tidak oleh 4 orang. Orang pertama bertugas mengukur tinggi, diameter, dan menghitung jumlah daun. Orang kedua dan ketiga bertugas menghitung jumlah anakan dan mengukur persentase gap. Orang keempat bertugas mencatat data. Tanaman yang dipilih untuk pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah daun diberi tanda dengan tali plastik Pengamatan pertumbuhan vegetatif pada tanaman tebu umur 2 bulan disajikan pada Gambar 73 dan 74. Pada pengamatan tebu umur 1 bulan, diameter batang tebu belum dapat diamati karena jika tanaman tebu dikelupas maka titik tumbuh tepat pada permukaan tanah (Gambar 75). Gambar 73 Pengamatan tinggi tanaman tebu.

Gambar 74 Pengamatan jumlah anakan dan persentase gap tebu. ( utuh ) ( dikelupas ) Gambar 75 Tanaman tebu varietas GP 94-2027 umur 1 bulan.

9 Pengambilan sampel tanah II dan daun Cara dan lokasi pengambilan sampel tanah II sama dengan pengambilan sampel tanah I. Sampel tanah II diambil pada umur tebu 3 bulan (Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS) dan 4 bulan (Plot Percobaan D-DS dan E-PF). Sementara itu untuk sampel daun diambil di bagian tengah sel, yaitu di sekitar juringan pengamatan kedua. Daun yang yang diambil adalah daun keempat sejumlah 40 helai daun (Gambar 76). Sampel daun diambil pa da umur tebu 3, 6, dan 9 bulan (Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS) serta 4, 6, 9 bulan (Plot Percobaan D-DS dan E-PF). Gambar 76 Pengambilan sampel daun. 10 Analisa hara tanah II dan hara daun Sampel tanah dan daun yang sudah diperoleh kemudian dianalisa di Laboratorium Analisis Tanah dan Tanaman, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung karena kerusakan peralatan laboratorium

188 pada Group Agro Laboratory Division, Sugar Group Company di wilayah PT Gula Putih Mataram. Analisa hara tanah II dilakukan untuk mengetahui jumlah hara N dan K yang tersedia di dalam tanah. Sedangkan analisa hara daun dilakukan untuk mengetahui jumlah hara daun N dan K yang tersedia pada tanaman. 11 Analisa keragaman spasial II Analisa keragaman spasial II dilakukan terhadap hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif sebelum pemupukan dasar, pertumbuhan vegetatif sesudah pemupukan dasar, hara tanah II, dan hara daun. 12 Penentuan dosis pupuk kedua Penentuan dosis pupuk kedua dilakukan untuk menentukan dosis pupuk Urea (N) dan KCl (K) yang ditambahkan. Persamaan yang digunakan adalah Persamaan 47 dan 48. Pengamatan bobot kering tanaman dilakukan untuk dapat melakukan konversi jumlah hara yang tersedia dalam tanaman. Perhitungan jumlah pupuk yang dibutuhkan juga menggunakan data sekunder pada Tabel 13 di muka. Dosis seragam untuk Plot Percobaan C-DS dan D-DS berdasarkan rekomendasi dari PT Gula Putih Mataram, yaitu 417 kg/ha KCl (250 kg/ha K2O). 13 Aplikasi dosis pupuk kedua Aplikasi dosis pupuk kedua menjadi terlambat karena keterlambatan aplikasi dosis pupuk pertama, kerusakan peralatan laboratorium, dan tidak tersedianya pupuk yang diperlukan pada waktunya. Aplikasi pupuk KCl untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dilakukan pada umur tebu 4 bulan sedangkan untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF dilakukan pada umur tebu 5 bulan. Aplikasi pupuk Urea untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS dilakukan pada umur tebu 4 bulan, sedangkan untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF dilakukan pada umur tebu 5 bulan. Aplikasi dosis pupuk kedua sebaiknya dilakukan pada umur tebu 1 2 bulan dan tidak boleh melebihi umur tebu 6 bulan. Dengan demikian walaupun aplikasi dosis pupuk kedua dalam penelitian ini terlambat tetapi masih dalam

batas toleransi. Aplikasi dosis pupuk kedua dilakukan secara manual pada seluruh plot percobaan. Aplikasi mekanis pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF tidak dapat dilakukan karena tanaman sudah cukup tinggi. 14 Pengamatan pertumbuhan vegetatif II, gulma, hama dan penyakit Pengamatan pertumbuhan vegetatif II dilakukan pada umur tebu 4, 5, 6, dan 9 bulan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS. Sedangkan untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF pengamatan pertumbuhan vegetatif II dilakukan pada umur tebu 5, 6, dan 9 bulan. Selain itu juga dilakukan pengamatan tebu roboh untuk mengetahui indikasi kelebihan pemberian pupuk N. Pada penelitian ini, pelaksanaan tebang tidak dapat dilakukan untuk setiap sel karena kesulitan tenaga tebang, sarana transportasi, dan sarana penimbangan. Untuk itu dilakukan pengambilan sampel batang pada umur tebu 6, dan 9 bulan sehingga dapat dilakukan analisa kemasakan dan perhitungan taksasi. Taksasi awal (6 bulan) dan taksasi akhir (9) dihitung dengan Persamaan 2 di muka. Pengamatan kadar air tanah juga dilakukan untuk mengetahui kondisi kelengasan tanah pada saat pengambilan sampel batang. Pengambilan sampel batang untuk analisa kemasakan dan taksasi disajikan pada Gambar 77. Gambar 77 Pengambilan sampel batang untuk analisa kemasakan dan taksasi tebu umur 9 bulan.

Pengamatan gulma dilakukan dengan mengukur persentase penutupan gulma untuk ketiga juringan pengamatan pada setiap sel dalam plot percobaan. Pengukuran dilakukan pada luasan 1 m2 pada setiap juringan pengamatan. Pengamatan dilakukan pada umur tebu 6 dan 9 bulan. Pengamatan persentase penutupan gulma disajikan pada Gambar 78. Gambar 78 Pengamatan persentase penutupan gulma. Pengamatan hama dan penyakit tanaman tebu tidak dapat dilakukan pada setiap sel karena keterbatasan tenaga pengamat. Untuk itu pengamatan dilakukan per plot percobaan (Gambar 79). Gambar 79 Pengamatan hama dan penyakit tanaman tebu.

Pada akhir kegiatan penelitian dilakukan pengamatan biomassa untuk mengetahui bobot kering tanaman (Gambar 80). Gambar 80 Pengambilan sampel biomassa tanaman tebu. 15 Analisa keragaman spasial III Analisa keragaman spasial III dilakukan terhadap hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif II, analisa kemasakan, perhitungan taksasi, kadar air tana h, gulma, hama, dan biomassa. 16 Pembuatan peta informasi lahan Pembuatan peta informasi lahan untuk dosis pupuk, populasi tebu, tinggi tebu, dan taksasi tebu. Peta kontur dari peubah-peuba h tersebut sebagai hasil pengolahan data dengan piranti lunak Surfer 8.0 digabungkan (overlay ) dengan peta spasial peubah yang bersangkutan menggunakan piranti lunak ArcView 3.3.

17 Analisa biaya Analisa biaya dilakukan untuk menghitung biaya pemupukan dengan Persamaan 49 53, biaya produksi gula dengan Persamaan 54 57, manfaat hasil gula dengan Persamaan 58 59, keuntungan yang diperoleh dengan Persamaan 60 61, dan B/C ratio dengan Persamaan 62 18 Pembuatan program terpadu 63.

Pembuatan program komputer yang dapat mengolah secara terpadu model hasil tebu, model pemupukan, model geostatistika, model spasial, dan model biaya. Program komputer dibuat dengan bahasa Delphi 7.0. 19 Analisa pertumbuhan vegetatif Pembuatan grafik hubungan respon perlakuan pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif (jumlah daun, jumlah anakan, tinggi batang, dan diameter batang) terhadap waktu untuk menganalisa pengaruh pemupukan terhadap kecenderungan pertumbuhan vegetatif. 20 Uji beda nyata Uji beda nyata dilakukan dilakukan menggunakan metode A One Sample t-test Metode ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata suatu kelompok sampel dengan nilai pembanding yang ditetapkan, yaitu a Rata-rata taksasi awal dan akhir pada Plot Percobaan A-PF terhadap target produktivitas 100 ton tebu/ha dan produktivitas Plot Percobaan A -PF pada tahun 2002 (75.57 ton tebu/ha). b Rata-rata taksasi produktivitas 110 tahun 2002 (85.42 Rata-rata taksasi produktivitas 100 tahun 2002 (78,03 awal dan akhir pada Plot Percobaan ton tebu/ha dan produktivitas Plot ton tebu/ha). awal dan akhir pada Plot Percobaan ton tebu/ha dan produktivitas Plot ton tebu/ha). B-PF terhadap target Percobaan B-PF pada C-DS terhadap target Percobaan C-DS pada

193 d Rata-rata taksasi awal dan akhir pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF terhadap target produktivitas 100 ton tebu/ha. e Rata-rata kadar gula awal dan akhir pada Plot Percobaan A-PF terhadap target kadar gula 20% dan kadar gula Plot Percobaan A-PF pada tahun 2002 (16.5%). f Rata-rata kadar gula awal dan akhir pada Plot Percobaan B-PF terhadap target kadar gula 20% dan kadar gula Plot Percobaan B-PF pada tahun 2002 (16.5%). g Rata-rata kadar gula awal dan akhir pada Plot Percobaan C-DS terhadap target kadar gula 20% dan kadar gula Plot Percobaan C-DS pada tahun 2002 (16.5%). h Rata-rata kadar gula awal dan akhir pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF terhadap target kadar gula 20%. i Rata-rata rendemen awal dan akhir pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS, D-DS, dan E-PF terhadap nilai rendemen 10%. Rumusan hipotesanya adalah: Ho : rata -rata kelompok sampel pada setiap Plot Percobaan adalah sama dengan nilai pembanding yang ditetapkan Ha : rata-rata kelompok sampel pada setiap Plot Percobaan adalah tidak sama dengan nilai pembanding yang ditetapkan Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan a nilai t -jika thitung < ttabel, maka Ho diterima dan H a ditolak -jika thitung > ttabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima b angka signifikansi (a ) -jika a 0.05, maka Ho diterima dan H a ditolak -jika a < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha diterima Nilai ttabel dicari pada tabel distribusi t, yaitu pada taraf kepercayaan 95% (a = 5%, tetapi karena uji t bersifat dua sisi maka nilai a yang dirujuk pada tabel t

adalah a /2= 0.05/2= 0.025) dan derajat bebas (df) = n-1. Berdasarkan pencarian pada tabel distribusi t dan interpolasi yang dilakukan maka diperoleh nilai t tabel seperti disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai ttabel untuk uji beda nyata dengan one sample t-test Plot Percobaan n df a /2 t tabel A-PF 33 32 0.025 2.038 B-P F 32 31 0.025 2.040 C-DS 16 15 0.025 2.131 D-DS 15 14 0.025 2.145 E-PF 45 44 0.025 2.017 B Paired Sample t-test Metode ini dilakukan untuk menguji signifikansi perbedaan rata -rata antara taksasi awal dan akhir pada setiap plot percobaan. Selain itu juga menguji signifikansi perbedaan rata -rata antara rendemen awal dan akhir pada setiap plot percobaan Rumusan hipotesanya adalah: Ho : kedua rata-rata taksasi awal dan akhir adalah sama Ha : kedua rata-rata taksasi awal dan akhir adalah tidak sama Pengambilan keputusan dan nilai ttabel yang diperlukan sama dengan pada uji beda nyata dengan one-sampel t-test di muka. C One Way ANOVA dengan uji lanjut Metode ini dilakukan untuk menguji signifikansi perbedaan rata -rata antar varian dari lima plot percobaan (A-PF, B-PF, C-DS, D-DS, dan E-PF) meliputi peubah a Populasi tebu pada taksasi awal b Populasi tebu pada taksasi akhir c Tinggi tebu pada taksasi awal d Tinggi tebu pada taksasi akhir e Taksasi awal f Taksasi akhir g Rendemen Awal h Rendemen Akhir

Pada metode ini dila kukan uji homogenitas sebelum dilakukan uji lanjut Uji Homogenitas Rumusan hipotesanya adalah: Ho : kelima varian populasi adalah homogen Ha : kelima varian populasi adalah tidak homogen Pengambilan keputusan berdasarkan a nilai probabilitas -jika probabilitas 0.05, maka Ho diterima dan Ha ditolak -jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha diterima b nilai F -jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak -jika Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima Nilai Ftabel dari tabel distribusi F pada taraf kepercayaan 95% (a =5%) serta derajat bebas (df) 1 dan 2 masing-masing adalah df1=5-1=4 dan df2=1415= 136 adalah 2.4356 (hasil interpolasi). Jika asumsi homogenitas varian terpenuhi maka uji One Way ANOVA dapat dilanjutkan. Uji lanjut One Way ANOVA Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas -jika probabilitas 0.05, maka Ho diterima dan Ha ditolak -jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha diterima Analisa dan interpretasi keluaran dari ketiga metode di muka dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS 13.0. Ringkasan diagram alir tata laksana penelitian disajikan pada Gambar 81, sedangkan tabulasi analisa data disajikan pada Tabel 16.

Pengambilan sampel tanah I Mulai Pemetaan sampel Analisa hara tanah I Penentuan dosis pupuk pertama Aplikasi dosis pupuk pertama Pengambilan sampel tanah II dan daun Analisa hara tanah II dan daun Penentuan dosis pupuk kedua Aplikasi dosis pupuk kedua Analisa keragaman spasial Pengamatan pertumbuhan vegetatif Pengamatan pertumbuhan vegetatif Pembuatan peta informasi lahan Pembuatan SPK Analisa pertumbuhan vegetatif Analisa biaya Uji beda nyata Penelitian pendahuluan Pengambilan sampel tanah I Mulai Pemetaan sampel Analisa hara tanah I Penentuan dosis pupuk pertama Aplikasi dosis pupuk pertama Pengambilan sampel tanah II dan daun Analisa hara tanah II dan daun Penentuan dosis pupuk kedua Aplikasi dosis pupuk kedua Analisa keragaman spasial Pengamatan pertumbuhan vegetatif Pengamatan pertumbuhan vegetatif Pembuatan peta informasi lahan Pembuatan SPK Analisa pertumbuhan vegetatif Analisa biaya Uji beda nyata Penelitian pendahuluan Selesai Gambar 81 Ringkasan diagram alir tata laksana penelitian.

Tabel 16 Tabulasi analisa data Keluaran No. Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode yang Tujuan umum diharapkan Hara tanah N (%) Hara tanah P (ppm) Hara tanah K (me/100 gr tanah) 1a Membuat semivariogram hara tanah, hara daun, dan pertumbuhan vegetatif Hara daun N (% berat kering) Hara daun K (% berat kering) Pupulasi tebu Tinggi tebu (cm) Diameter tebu (cm) Jumlah daun Persentase gap (%) Jumlah tebu roboh GEOSTATISTIKA Semi-variogram GS+ for Windows Tabel Nugget, sill, effective range, Q, bentuk, r2 dari masingmasing peubah keragaman spasial hara tanah, hara daun, dan pertumbuhan vegetatif Persentase penutupan gulma (%) Kadar air (%)

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) Keluaran No. Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode yang Tujuan umum diharapkan Menentukan klasifikasi keragaman 1b spasial hara tanah, hara daun, dan pertumbuhan vegetatif Hara tanah N (%) Hara tanah P (ppm) Hara tanah K (me/100 Hara daun N (% berat Hara daun K (% berat Pupulasi tebu Tinggi tebu (cm) Diameter tebu (cm) Jumlah daun Persentase gap (%) GEOSTATISTIKA Klasifikasi keragaman spasial Analitis Tabel Tingkat keragaman spasial masingmasing peubah keragaman spasial hara tanah, hara daun, dan pertumbuhan vegetatif Jumlah tebu roboh Persentase penutupan Kadar air (%)

gr tanah) kering) kering)

gulma (%)

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) Keluaran Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode yang Tujuan umum diharapkan Membuat peta kontur teoritis hara tanah, hara 1c daun, dosis pupuk, dan pertumbuhan vegetatif Hara tanah N (%) Hara tanah P (ppm) Hara tanah K (me/100 Hara daun N (% berat Hara daun K (% berat Dosis Urea (kg/ha) Dosis TSP (kg/ha) Dosis KCl (kg/ha) Pupulasi tebu Tinggi tebu (cm) Diameter tebu (cm) Jumlah daun Persentase gap (%) Jumlah tebu roboh Persentase penutupan Kadar air (%) keragaman spasial GEOSTATISTIKA Kontur Kriging Surfer 8.0 Peta kontur dari masing-masing parameter hara tanah, hara daun, dosis pupuk, dan pertumbuhan vegetatif

gr tanah) kering) kering)

gulma (%)

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) No. Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode Keluaran yang diharapkan Tujuan umum 2a 2b Membuat semivariogram kadar gula, rendemen, dan taksasi Menentukan klasifikasi keragaman spasial kadar gula, rendemen, dan taksasi Kadar gula (%) Rendemen (%) Taksasi (ton/ha) Kadar gula (%) Rendemen (%) Taksasi (ton/ha) GEOSTATISTIKA Semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial GS+ for Windows Tabel Analitis Tabel Nugget, sill, effective range, Q, bentuk, r2 dari masingmasing peubah Tingkat keragaman spasial masingmasing peubah keragaman spasial kadar gula, rendemen, dan taksasi 2c Membuat peta kontur teoritis kadar gula, rendemen, dan taksasi Kadar gula (%) Rendemen (%) Taksasi (ton/ha)

Kontur Kriging Surfer 8.0 Peta kontur dari masing-masing parameter

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) No. Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode Keluaran yang diharapkan Tujuan umum 3a Menentukan jumlah hara N dan P yang dibutuhkan Hasil tebu (t on/ha) Kadar gula (%) Penentuan Pupuk pertama Neural Network Jumlah hara N dan P yang dibutuhkan (kg/ha) hubungan jumlah hara N dan P yang dibutuhkan dengan hasil tebu dan kadar gula 3b Menentukan jumlah hara N dan K yang dibutuhkan Hasil tebu (ton/ha) Kadar gula (%) PEMUPUKAN Penentuan Pupuk kedua Neural Network Jumlah hara N dan K yang dibutuhkan (kg/ha) hubungan jumlah hara N dan K yang dibutuhkan dengan hasil tebu dan kadar gula Jumlah hara N Menentukan Jumlah hara N dan P yang dan P yang jumlah hara N Penentuan 4a dibutuhkan (kg/ha) Analitis perlu dan P yang Pupuk pertama ditambahkan

ditambahkan (kg/ha) Jumlah hara N Menentukan Jumlah hara N dan K yang dan K yang jumlah hara N Penentuan 4b dibutuhkan (kg/ha) Analitis perlu dan K yang Pupuk kedua ditambahkan ditambahkan (kg/ha) Sistem Pendukung Keputusan untuk Strategi Pemupukan pada Budidaya Tebu dengan Pendekatan Precision Farming

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) Keluaran No. Tujuan Peubah / Parameter Model Analisa Metode yang Tujuan umum diharapkan Menentukan 4c taksasi tebu Membuat overlay peta kontur teoritis dan peta dosis 4d pupuk, populasi tebu, tinggi tebu, dan rendemen Menenentukan biaya 4e pemupukan setiap plot percobaan Populasi tebu Tinggi tebu (cm) Dosis Urea (kg/ha) Dosis TSP (kg/ha) Dosis KCl (kg/ha) Populasi tebu Tinggi tebu (cm) Taksasi (ton/ha) Jumlah pupuk Urea/sel (kg) Jumlah pupuk TSP/sel (kg) Jumlah pupuk KCl/sel (kg) Harga Urea/kg (Rp/kg) Harga TSP/kg (Rp/kg) Harga KCl/kg (Rp/kg) Harga analisa tanah N/sampel (Rp) Harga analisa daun N/sampel (Rp) Harga analisa tanah P/sampel (Rp) Harga analisa tanah K/sampel (Rp) Harga analisa daun K/sampel (Rp) Upah pengambilan sampel tanah/sampel (Rp) Upah pengambilan sampel daun/sampel (Rp) Luas tiap sel (ha) Jumlah sel tiap plot

Produktivitas HASIL TEBU lahan SPASIAL Peta Biaya BIAYA pemupukan (fertilizer cost) Analitis Overlaypeta kontur dan spasial dengan ArcView 3.3 Taksasi tebu (ton/ha) Peta informasi lahan dari masing-masing parameter Biaya Analitis pemupukan tiap Grafis plot per hektar (Rp/ha) Sistem Pendukung Keputusan untuk Strategi Pemupukan pada Budidaya Tebu dengan Pendekatan Precision Farm ing

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) No. Tujuan Peubah Parameter Model Analisa Metode Keluaran yan g diharapkan Tujuan umum Menentukan biaya produksi Rendemen tiap sel (%) Taksasi tiap sel (ton/ha) Biaya produksi selain pemupukan Biaya produksi Analitis Biaya produksi gula pada taksasi awal dan 4f gula setiap plot percobaan (Rp/kg) Biaya pemupukan per kg gula (Rp/kg) Jumlah sel gula (production cost) Grafis akhir setiap plot percobaan (Rp/ha) 4g Menenentukan manfaat hasil gula setiap plot percobaan Rendemen tiap sel (%) Taksasi tiap sel (ton/ha) Harga gula (Rp/kg) Jumlah sel Manfaat hasil gula (benefit) Analitis Grafis BIAYA Manfaat hasil gula pada taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan (Rp/ha) Sistem PendukunKeputusan untuk Strategi Pemupukan pada g Menenentukan Manfaat hasil gula pada taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan

Keuntungan pada taksasi 4h keuntungan setiap plot (Rp/ha) Biaya produksi gula pada taksasi Keuntungan ( profit) Analitis Grafis awal dan akhir setiap plot percobaan awal dan akhir setiap plot percobaan (Rp/ha) percobaan (Rp/ha) Manfaat hasil gula pada taksasi awal Menenentukan dan akhir setiap plot percobaan 4i B/C ratio setiap plot (Rp/ha) Biaya produksi gula pada taksasi percobaan awal dan akhir setiap plot percobaan (Rp/ha) B/C ratio pada B/C ratio Analitis Grafis taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan Budidaya Tebu dengan Pendekatan Precision Farming

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) Keluaran Peubah No. Tujuan Model Analisa Metode yang Tujuan umum Parameter diharapkan Membuat ---grafik pertumbuhan Pupulasi tebu Tinggi tebu (cm) Diameter tebu (cm) Jumlah daun Persentase gap (%) Jumlah tebu roboh Persentase penutupan gulma (%) Kadar air (%) Kadar gula (%) Rendemen (%) Taksasi (ton/ha) Pertumbuhan ---Grafis vegetatif Grafik pertumbuhan masing-masing parameter pertumbuhan --vegetatif, kadar air, kadar gula, rendemen, dan taksasi

Tabel 16 Tabulasi analisa data (lanjutan) Keluaran Peubah No. Tujuan Model Analisa Metode yang Tujuan umum Parameter diharapkan One sample t-test Melakukan uji beda Pembanding : Signifikansi nyata rata-rata Taksasi=75,57 ; 85,42 perbedaan rata taksasi, kadar gula, Taksasi (ton/ha) ; 78,03 ; 110 ; 100 rata setiap peubah ---dan rendemen Kadar gula (%) Uji beda nyata -ton/ha terhadap nilai terhadap nilai Rendemen (%) Kadar gula= 16,5 dan pembanding yang pembanding yang 20% ditetapkan ditetapkan Rendemen=10% Signifikansi perbedaan ratarata antara taksasi awal dan akhir Melakukan uji beda setiap plot nyata rata-rata percobaan

Taksasi (ton/ha) ---taksasi dan Paired sample t-test Signifikansi --Rendemen (%) rendemen setiap plot perbedaan rata percobaan rata antara Uji beda nyata rendemen awal dan akhir setiap plot percobaan Signifikansi Populasi tebu Melakukan uji beda perbedaan rataTinggi tebu (cm) ---nyata antar plot One Way ANOVA rata setiap peubah --Taksasi (ton/ha) percobaan antar plot Rendemen (%) percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian PT Gula Putih Mataram (PT GPM) merupakan perusahaan yang mengelola perkebunan tebu dan pabrik gula, berbe ntuk perseroan terbatas (PT) swasta penuh dengan status penanaman modal dalam negeri (PMDN). PT GPM didirikan dengan akta notaris Imas Fatimah, SH. nomor 33 tanggal 21 April 1988 dan surat izin nomor 064/SITU/BKPMD/II/1988. PT GPM mempunyai tujuan: (1) mampu menunjukkan eksistensi dan peranan dalam menunjang program-program pemerintah terutama penyediaan gula untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun penyediaan lapangan kerja; (2) berusaha mendayagunakan lahan yang kurang produktif menjadi lahan produktif; (3) ikut serta menggali potensi pengalaman dan pengetahuan tentang budidaya tebu di lahan kering; dan (4) mampu menunjang dan mewujudkan upaya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar lingkungan perusahaan. PT GPM terletak di Wilayah Mataram Udik, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung dengan kantor pusat di Jakarta. Areal berbentuk Site (Remote Area) berjarak 144 km dari Bandar Lampung. Letak geografis PT GPM adalah 10526 18 -10530 22 dan 442 5 LS. Batas-batas areal PT GPM di sebelah Selatan dan Timur adalah areal perkebunan tebu milik PT Gunung Madu Plantations dan areal milik Inhutani, di sebelah Barat bagian Utara dan Utara adalah Sungai Way terusan dan areal perkebunan tebu milik PT Sweet Indo Lampung, dan di sebelah Barat bagian Selatan adalah areal perkebunan milik PT Indo Lampung Perkasa (Gambar 82). Keadaan topografi areal PT GPM mulai dari datar sampai bergelombang dengan kemiringan 0 8 %. Ketinggian tempat antara 32 37 meter di atas permukaan laut. Perkebunan tebu PT GPM mulai dibangun tahun 1983, dengan penanaman tebu pada keseluruhan areal efektif sampai Juli 2002 seluas 25.000 hektar. Pembangunan pabrik PT GPM dimulai pada bulan Juni 1986 dan selesai pada

153 PT GPM Gambar 82 Peta lokasi PT Gula Putih Mataram.

bulan Juli 1987. Pada bulan Agustus 1987 mulai dilakukan percobaan giling tanpa beban. Pabrik dioperasikan secara penuh dan memproduksi gula untuk pertama kalinya pada bulan Desember 1987 dengan kapasitas giling 8000 ton tebu perhari. Sejak tahun 1994, kapasitas giling pabrik ditingkatkan menjadi 10.000 12.000 ton tebu perhari. Luas areal tanam dan produksi PT GPM tahun 1984 2002 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Luas areal tanam dan produksi PT Gula Putih Mataram Tahun 1984 2002 Tahun Luas tanam Luas tebang Tebu Produksi Produktivitas Gula Produksi Produktivitas Ton tebu per ton Rendemen (ha) (ha) (ton) (ton/ha) (ton) (ton/ha) gula (%) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 363 --1,152 1,077 111,711 103.72 2,131 2,034 182,113 89.53 4,197 3,172 221,339 69.78 8,151 6,254 481,373 76.97 13,954 13,354 1,070,245 80.14 16,774 15,747 1,260,402 80.04 17,189 16,305 1,072,425 65.77 17,888 16,108 1,165,938 72.38 18,153 17,008 1,500,266 88.21 17,693 16,893 1,371,572 81.19 18,512 17,307 1,450,377 83.80 22,216 20,945 1,885,142 90.00 22,278 21,275 1,960,427 92.20 23,389 20,893 1,613,953 77.30 23,621 21,846 1,612,792 73.83 23,998 21,961 1,808,150 82.33 24,290 22,060 1,780,227 80.70 24,278 22,529 1,788,321 79.38

6,703.0 6.2 16.7 6.0 10,926.7 5.4 16.7 6.0 12,900.0 4.1 17.2 7.1 26,063.3 4.2 18.5 5.8 60,021.9 4.5 17.8 5.6 66,898.6 4.2 18.8 5.3 66,029.2 4.0 16.2 6.2 65,548.4 4.1 17.8 5.6 110,959.3 6.5 13.5 8.0 113,084.8 6.7 12.1 8.2

97,992.2 5.66 14.8 6.8 157,686.0 7.53 12.0 8.4 184,127.9 8.65 10.6 9.4 100,768.5 4.82 16.0 6.3 135,043.4 6.18 11.9 8.5 162,387.0 7.39 11.1 9.0 164,612.1 7.46 10.8 9.2 151,794.2 6.74 11.8 8.5 (Sumber: Divisi PAS Plantation Department GPM, 2003)

Kebun di PT GPM terdiri atas blok-blok dengan luas 70-80 ha perblok yang dibagi menjadi 10 petak, luas satu petak rata-rata 7-8 ha. Bentuk petak sebagian besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 500 m x 200 m kecuali pada petak-petak yang berbatasan dengan sungai atau lebung dan terpotong oleh

saluran drainase yang dalam. Antar blok maupun antar petak dipisahkan oleh jalan. Areal tanam dibagi menjadi Divisi 1, Divisi 2, Divisi 3, Divisi 4, Divis i 5 (Inti dan Plasma), Riset dan Pengembangan (R & D), dan areal perencanaan. Pada umumnya tanah di PT GPM didominasi oleh tanah Ultisol yang memiliki sifat kimia kurang baik. Berdasarkan hasil analisis tanah tahun 1998 2001, tanah memiliki keasaman yang tinggi (pH < 5.5), bahan organik rendah ( < 2.0 ), dan miskin unsur hara (Tabel 18). Tabel 18 Hasil analisa tanah PT Gula Putih Mataram tahun 1998 Tahun Parameter Satuan 1998 1999 2000 2001 TS SS TS SS TS SS TS SS pH H2O -5.10 4.76 5.07 4.70 5.17 4.80 5.25 4.85 pH KCl -4.68 4.37 4.62 4.25 4.69 4.29 4.71 4.37 C-Organik % 1.97 1.00 1.96 0.72 1.76 0.82 -N % 0.17 0.11 0.17 0.08 0.14 0.08 0.16 0.09 C/N -11.84 9.79 11.53 9.00 12.57 10.25 -P-Total ppm 50.44 10.92 56.24 9.56 50.91 13.29 56.47 13.92 K-dd me/100g 0.16 0.08 0.15 0.07 0.15 0.08 0.16 0.09 Ca-dd me/100g 0.89 0.54 0.88 0.45 0.93 0.48 0.92 0.49 Mg-dd me/100g 0.30 0.22 0.28 0.16 0.27 0.16 0.32 0.19 Al-dd me/100g 0.29 0.47 0.39 0.39 0.36 0.46 0.28 0.37 H-dd me/100g 0.93 0.98 0.84 0.92 0.78 0.89 0.78 0.88 KTK -9.00 6.98 8.30 5.81 8.46 5.79 -TS = topsoil ; SS = subsoil (Sumber: Soil & Plant Laboratory -R&D GPM Group , 2003) PT GPM beriklim tropis yang memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tipe iklim di PT GPM menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dengan curah hujan bulanan 204.5 mm dan curah hujan rata -rata tahunan 2,454 mm. Suhu rata-rata bulanan 29.1 C. Kelembaban relatif rata -rata bulanan 75%. Kecepatan angin rata-rata 3.4 km/jam. Lama penyinaran rata-rata 5.5 jam/hari. Tanaman tebu yang dibudidayakan di PT GPM terdiri atas tiga kategori yaitu Plant Cane (PC), Replanting Cane (RPC), dan Ratoon Cane (RC). Plant Cane adalah tanaman tebu yang pertama kali ditanam di areal yang baru dibuka, Replanting Cane adalah tanaman tebu yang ditanam pada areal tanaman tebu 2001

sebelumnya yang telah dibongkar, sedangkan Ratoon Cane adalah tanaman tebu yang setelah tebang tidak dibongkar tetapi dipelihara kembali. Tanaman plant cane dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan, pembentukan lahan, persiapan lahan (pembajakan I, pengumpulan akar I, penggaruan I, pembajakan II, pengumpulan akar II, penggaruan II, pembuatan kairan, pengumpulan akar III, pemberian dolomit), pemupukan I, penanaman/irig asi, pengendalian gulma pra tumbuh, pemeliharaan (penyulaman, kultivasi, pemupukan II, pengendalian gulma pascatumbuh I, pengendalian gulma manual). Tanaman replanting cane dimulai dengan kegiatan pemanenan/tebang, pembakaran sampah, pemberian blotong, persiapan lahan (pembajakan I, penggaruan I, pembajakan II, pembuatan kairan, pemberian dolomit), pemupukan I, penanaman/irigasi, pengendalian gulma pra tumbuh, penanaman, pemeliharaan (penyulaman, kultivasi, pemupukan II, pengendalian gulma pascatumbuh I, pengendalian gulma pascatumbuh II, pengendalian gulma manual). Tanaman ratoon cane dimulai dengan kegiatan pemanenan/tebang, pembakaran sampah, penyulaman/kepras tunggul, kultivasi, pemupukan II, penggemburan, pembakaran sampah sisa/serak sampah, perbaikan jalan, pengendalian gulma pra tumbuh, pengendalian gulma pascatumbuh I, pengendalian gulma pascatumbuh II, pengendalian gulma manual. Varietas tanaman tebu yang ditanam di PT GPM terdiri dari berbagai macam jenis dan asal tempat pemuliaan. PT GPM sendir i melalui bagian pemuliaan tanaman pada Divisi Reserach & Development telah menghasilkan beberapa temuan varietas. Deskripsi varitas tebu yang ditanam di PT GPM disajikan pada Tabel 19. Sementara itu data produksi tahun 2002 petak lahan yang digunakan untuk penelitian ini disajikan pada Tabel 20.

Tabel 19 Deskripsi varietas tebu yang ditanam di PT Gula Putih Mataram Varietas Parameter GP 94-2027 P ROC 11 ROC 13 ROC 14 ROC 15 ROC 22 TC 04 TC 09 Asal Negara Indonesia Taiwan RRC RRC RRC RRC RRC Malaysia Malaysia Hasil persilangan SIL 04 -SS13 -------Umur tanaman (bulan) 10 11 12 ------Populasi (000/ha) --81 70 84 89 107 91 156 Tinggi batang (cm) 275 310 290 325 311 295 304 303 301 287 293 Diameter batang (cm) 2.3 2.5 2.5 2.7 2.69 2.66 2.36 2.36 2.66 2.62 2.36 Bobot/batang (kg)Agronomi --1.75 1.69 1.68 1.00 1.54 1.46 1.17 Jumlah anakan tiap rumpun 3 4 4 5 ------Jumlah daun tiap batang 8 10 8 9 ------Kerobohan (%) --42.50 10.00 12.50 78.13 4.00 -0.50 Pembungaan --43.75 3.00 -94.38 1.00 -Brix --19.35 18.68 16.56 17.6 19.78 16.45 19.62 PolKualitas --17.40 15.89 14.13 14.64 17.60 13.46 17.47 Purity --89.92 85.06 85.23 83.19 88.98 81.80 89.04 Rendement 8 9.60 9.49 9.26 9.15 8.13 8.19 8.92 7.02 9.12 Ton tebu per hektar (TCH)Produksi Ton gula per hektar (TSH) 86 102 8 10.22 94.32 8.94 97.43 9.02 116.95 10.70 140.96 11.44 87.09 7.13 146.43 13.06 132.49 9.30 160.37 14.55 Ketahanan Sedang Sedang ------Ringkai Daun (%) --0.77 --0.88 1.88 -Karat Daun (%) Noda Cincin (%) Hama dan Penyakit -

1.16 0.70 0.33 0.51 Noda Kuning (%) --0.76 2.44 1.76 0.74 3.89 0.94 3.79 Top Borer (%) ---1.13 1.22 --3.24 Stem Borer (%) ---37.20 31.80 --14.75 (Sumber: R&D PT Gula Putih Mataram, 2003) Catatan: GP = Gula Putih Mataram ; ROC = Republic of China ; TC = Tebu Cuping Ma laysia

158 Tabel 20 Data produksi beberapa petak lahan tebu di PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lampung, dan PT Indo Lampung Perkasa Tahun 1993 2002 PT Gula Putih Mataram Tahun Petak 56 TU 3 , luas 3.58 ha Petak 58 TU 3 , luas 5.82 ha Produktivitas (ton/ha) Brix (%) Pol (%) Purity (%) Varietas Kategori Produktivitas (ton/ha) Brix (%) Pol (%) Purity (%) Varietas Kategori 1993 -----------1994 -----------1995 -17.67 15.27 86.42 ---17.67 15.27 86.42 -1996 84.05 18.71 16.57 88.56 PS 84 - 14707 R2 99.78 18.71 16.57 88.56 PS 84 - 14 707 R2 1997 95.66 19.36 17.39 89.82 ROC 11 RPc 88.28 19.36 17.39 89.82 ROC 11 RPc 1998 56.45 17.95 15.32 85.35 ROC 11 R1 75.31 17.95 15.32 85.35 ROC 11 R1 1999 61.09 19.55 17.19 87.93 ROC 11 R2 86.64 19.55 17.19 87.93 ROC 11 R2 2000 71.35 18.69 16.24 86.89 ROC 15 RPc 64.55 18.69 16.24 86.89 ROC 15 RPc 2001 65.91 19.26 16.92 87.85 ROC 15 R1 66.70 19.26 16.92 87.85 ROC 15 R1 2002 78.03 19.31 16.50 85.45 GP 94-2027 RPc 85.42 19.31 16.50 85.45 GP 94-2027 R Pc Petak 60 TU 3 , luas 4.11 ha Produktivitas (ton/ha) Brix (%) Pol (%) Purity (%) Varietas Kategori -----------17.67 15.27 86.42 -68.72 18.71 16.57 88.56 PS 84 - 14707 R2 110.39 19.36 17.39 89.82 ROC 11 RPc 85.91 17.95 15.32 85.35 ROC 11 R1 64.02 19.55 17.19 87.93 ROC 11 R2 62.72 18.69 16.24 86.89 ROC 15 RPc

68.60 19.26 16.92 87.85 ROC 15 R1 75.57 19.31 16.50 85.45 GP 94-2027 RPc Tahun PT Sweet Indo Lampung PT Indo Lampung Perkasa Petak 44 E 45 , luas 9.36 ha Petak 259 A 24 , luas 7.09 ha 1993 92.30 ---ROC 11 PC -----1994 85.40 ---ROC 11 R1 -----1995 72.30 19.18 17.08 89.05 ROC 11 R2 -----1996 81.32 18.49 16.42 88.80 Sil 03 RPc -----1997 73.20 19.43 17.45 89.81 Sil 03 R1 -----1998 75.60 16.64 14.12 84.86 ROC 15 RPc -----1999 81.25 19.02 16.89 88.80 ROC 15 R1 133.85 17.17 19.50 88.05 ROC 11 2000 75.82 19.39 17.19 88.65 ROC 15 R2 78.41 17.13 19.40 88.29 ROC 11 2001 101.78 19.29 16. 99 88.08 ROC 22 RPc 96.88 17.27 19.66 87.84 ROC 11 2002 -----------(Sumber: R&D PT Gula Putih Mataram, R&D PT Sweet Indo Lampung, dan R&D PT Indo L ampung Perkasa, 2002)

Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dengan mengambil data sekunder telah dilaksanakan pada tanggal 24 April 2002 dan diperoleh data produktivitas lahan tebu pada sebagian areal tebu yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Produktivitas lahan tebu Blok TU 1/14 PT Gula Putih Mataram Tahun 2001 Petak Kategori Varietas Produktivitas lahan tebu (ton/ha) 132TU003 R1 TC 04 63.31 132TU004 R1 TC 04 86.13 132TU007 R1 TC 04 98.79 132TU010 R1 TC 04 103.65 133TU001 R1 TC 04 90.04 133TU002 R1 TC 04 91.68 133TU003 R1 TC 04 89.82 133TU004 R1 TC 04 84.14 133TU005 R1 TC 04 69.33 133TU006 R1 TC 04 84.45 133TU007 R1 TC 04 68.78 133TU010 R1 TC 04 85.64 134TU002 R1 TC 04 101.97 134TU010 R1 TC 04 92.00 Rata-rata produktivitas lahan tebu (ton/ha) 86.41 Koefisien Variansi (%) 14.10 (Sumber: Departemen Tanaman PT Gula Putih Mataram, 2002) Keterangan: R1 : keprasan pertama (ratoon 1) TC 04 : Tebu Cuping 04 (varietas tebu dari Malaysia) Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa terdapat keragaman produktivitas lahan tebu (rata -rata 86.41 ton/ha dengan koefisien variansi 14.1%). Jenis tana h pada keseluruhan lahan tebu adalah seragam yaitu Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Aplikasi pupuk di PT GPM dikenal dua cara yaitu pemupukan sekali dan bertahap. Pemupukan sekali merupakan pemberian pupuk dengan sekali penambahan, dilaksanakan karena adanya keterbatasan alat, ketersediaan pupuk di pasaran, kondisi lingkungan yang tidak mendukung pelaksanaan pemupukan bertahap, dan lebih mempertimbangkan faktor efisiensi. Pemupukan sekali lebih

banyak diterapkan pada tanaman ratoon, dilaksanakan setelah penggemburan ( satu minggu setelah tebang) dengan dosis pupuk seragam untuk keseluruhan petak lahan tebu. Pemupukan bertahap merupakan penambahan pupuk secara bertahap berdasarkan pertimbangan sifat dari pupuk yang diberikan dan faktor-faktor lain seperti iklim dan cara kerja peralatan, dilaksanakan pada awal penanaman (pemupukan pertama) dan pemupukan kedua dengan dosis pupuk yang juga seragam untuk keseluruhan petak lahan tebu. Pemupukan pertama dilaksanakan setelah pembuatan alur tanaman dan sebelum penanaman bibit dengan cara sebar di sepanjang alur tanam dan kedalaman 5 10 cm. Sedangkan pemupukan kedua dilaksanakan pada saat tanaman berumur 1.5 2.0 bulan. Pada tanaman baru, pemupukan kedua dilaksanakan setelah penggemburan, sedangkan untuk tanaman ratoon dilaksanakan setelah pengendalian gulma pra tumbuh dengan cara ditempatkan di dalam larikan di antara barisan tanaman tebu. Penentuan dosis pupuk di PT GPM didasarkan pada analisa tanah dan daun. PT GPM melaksanakan analisa tanah rutin yang dilaksanakan pada musim tebang dan analisa daun rutin yang dilaksanakan setiap bulan setelah tanaman mencapai umur dua bulan. Pupuk yang digunakan di PT GPM terdiri atas beberapa jenis, tetapi yang paling banyak digunakan adalah Urea (45% N), SP 36(36% P2O5), dan KCl (60% K2O). Analisa tanah dimulai dengan pengambilan sampel tanah sebanyak enam lubang perhektar pada tiga petak yang mewakili setiap blok. Lokasi pengambilan sampel secara zig -zag pada setiap petak yang mewakili. Kedalaman sampel dibedakan menjadi 0-25 cm untuk lapisan top soil dan 25-50 cm untuk lapisan sub soil. Untuk masing-masing sampel dilakukan pencampuran dan diambil 1.5 kg. Sampel tanah tersebut dikeringkan dan dihaluskan untuk dianalisa. Standar hara tanah yang digunakan di PT GPM disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Standar penggolongan kandungan hara tanah di PT Gula Putih Mataram No. Unsur hara Sangat rendah (kurang) Rendah (miskin) Sedang (cukup) Tinggi Sangat tinggi (Berlebih) Metode analisis Sumber acuan 1. N (%) < 0.1 0.1 0.2 0.21 0.50 0.51 1.0 > 0.1 Kjedahl Brooker Tropical Soil Ma nual, 1991 2. P (ppm) -< 17 17 34 > 34 -Bray I tanah asam) (NH4F + HCl) Brooker Tropical So il Manual, 1991 3. K (me/100g) < 0.15 0.15 0.30 0.31 0.50 > 0.50 -NH4 OAC 1N pH = 7 Brooker Trop ical Soil Manual, 1991 4. Ca (me/100g) -< 0.55 0.55 1.25 > 1.25 -NH4 OAC 1N pH = 7 Australian Sugar Can e Nutrition Manual 5. Mg (me/100g) -< 0.2 0.2 0.5 > 0.5 -NH4 OAC 1N pH = 7 Brooker Tropical Soil Ma nual, 1991 6. Fe (ppm) 0 1.2 1.3 2.4 2.5 9.9 10 20 > 20 NaOAC, DTPA (Morgan, Wolf) Soil Tes ting, 1984 7. Cu (ppm) 0 0.5 0.6 1.2 1.3 5 5.1 10 > 10 NaOAC, DTPA (Morgan, Wolf) Soil Test ing, 1984 8. Mn (ppm) 0 1.2 1.3 2.4 2.5 9.9 10 20 > 20 NaOAC, DTPA (Morgan, Wolf) Soil Tes ting, 1984 9. Zn (ppm) 0 1.2 1.3 2.4 2.5 9.9 10 20 > 20 NaOAC, DTPA (Morgan, Wolf) Soil Tes ting, 1984 10. B (ppm) 0 0.4 0.5 0.9 1.0 1.9 2 4 > 4 NaOAC, DTPA (Morgan, Wolf) Soil Testin g, 1984 11. C-org (%) < 2 2 4 4 10 10 20 > 20 Walkley & Black 12. CEC (me/100g) < 5 5 15 15 25 25 40 > 40 NH4 OAC 1N pH = 7 13. Exch. Al/CEC (%) -< 30 60 85 > 85 -Calculation Brooker Tropical Soil Manual, 1991 14. Exch. Na?CEC (ESP) (%) 2 10 10 20 20 40 40 60 -Calculation Brooker Tropical Soil Manual, 1991 15. pH -< 5.5 5.5 7 7 8.5 > 8.5 PH Meter Brooker Tropical Soil Manual, 1991 (Sumber: Soil & Plant Laboratory R&D GPM Group, 2003)

Analisa daun dilaksanakan setiap bulan mulai tanaman berumur dua bulan sampai menjelang panen. Sampel daun diambil dari petak yang mewakili blok secara zig-zag. Setiap sampel membutuhkan 40-50 lembar daun plus satu. Setiap lembar daun sampel dilipat dua, dipotong 10 cm, dan tulang daun dihilangkan. Sampel dikeringkan dan dihaluskan untuk dianalisa. Standar hara daun yang digunakan di PT GPM disajikan pada Tabel 23. Sedangkan dosis pupuk yang diterapkan di PT GPM disajikan pada Tabel 24. Dosis pupuk seragam tidak hanya dilakukan di PT GPM tetapi juga diterapkan pada 2 pabrik gula lainnya yaitu PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa yang bersama PT GPM tergabung dalam satu manajemen Sugar Group Company. Tabel 23 Standar hara daun di PT Gula Putih Mataram Nilai Optimum pada umur (bulan) No. Unsur hara 3 4 6 10

1. N (%) ODM 2.2 2.6 2.0 2.2 1.21 1.65 2. P (%) ODM 0.21 0.30 0.21 0.30 0.21 0.30 3. K (%) ODM 1.20 1.60 1.21 1.60 1.21 1.60 4. Ca (%) ODM 0.18 0.20 -5. Mg (%) ODM 0.08 0.35 -6. Fe (ppm) 80 100 -7. Cu (ppm) 4 15 -8. Zn (ppm) 15 50 -9. Mn (ppm) 20 200 -10. B (ppm) 6 29 -( Sumber: Soil & Plant Laborator y R&D PT GPM, 2003) Dengan aplikasi dosis pupuk yang seragam untuk keseluruhan petak lahan tebu dan terlebih lagi adanya keragaman produktivitas lahan tebu maka kajian precision farming perlu dilakukan. Keragaman yang terdapat pada Tabel 17 di muka merupakan keragaman antar petak (between-field variability), dengan demikian pada penelitian ini akan dikaji lebih lanjut keragaman di dalam petak (within-field variability ).

Tabel 24 Dosis pupuk yang diterapkan di PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lam pung, dan PT Indo Lampung Perkasa Tahun 1988 2002 Tahun Dosis pupuk (kg/ha) PT Gula Putih Mataram PT Sweet Indo Lampung PT Indo Lampung Perkasa Pupuk Pertama Pupuk Kedua Pupuk Pertama Pupuk Kedua Pupuk Pertama Pupuk Kedua N P2O5 K2O N K2O N P2O5 N K2O N P2O5 N P2O5 K2O 1988 69 184 90 92 90 --------1989 46 184 90 92 90 --------1990 46 184 60 92 150 --------1991 46 184 60 115 180 --------1992 46 161 60 115 180 --------1993 46 161 60 114 180 46 138 92 180 ----1994 46 92 60 92 150 46 138 92 180 ----1995 46 144 30 92 150 46 138 92 180 ----1996 50 69 60 81 120 46 108 92 180 ----1997 73 69 -58 180 54 138 69 180 ----1998 46 63 -92 180 46 63 92 180 54 138 69 -180 1999 119 69 --150 46 108 69 150 54 138 138 81 180 2000 123 138 --150 54 108 92 150 54 138 111 138 150 2001 123 138 --150 54 138 69 150 54 138 123 60 124 2002 250 100 --250 ---------

Keragaman Spasial Analisa keragaman spasial menghasilkan parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial yang disajikan pada Tabel 24 42. Beberapa hasil ilustrasi semi-variogram ditampilkan pada Gambar 83 94. Unsur hara tanah Pengamatan awal N top soil pada Tabel 25 menunjukkan bahwa pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF diketahui tidak mempunyai ketergantungan spasial R2 karena diperoleh nilai yang rendah yaitu masing-masing 0.246 dan 0. Implikasi dari hal ini adalah bahwa pengamatan selanjutnya dapat dilakukan secara acak. Sementara itu Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS menunjukkan ketergantungan spasial dengan R2 yang besar. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan B-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.96. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Implikasi dari hal ini adalah bahwa ukuran pengamatan selanjutnya dapat dibuat lebih besar dari 25 m. Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan B-PF menunjukkan yang paling baik yaitu cukup rendah, sedangkan tingkat keragaman Plot Percobaan A-PF paling jelek yaitu sedang. Sementara itu jika dilihat pada pada pengamatan akhir N top soil diketahui Plot Percobaan B-PF, C-DS, dan D-DS tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu masing-masing 0.161; 0.087; dan 0.239. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan A-PF yaitu 0.943. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF dan E-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingk at keragaman spasial Plot Percobaan A-PF menunjukkan yang paling baik yaitu cukup rendah. Berdasarkan keterangan di atas, jika pengamatan awal N top soil dan penga matan akhir N top soil dikaitkan maka dapat diketahui bahwa perlakuan pemupukan pertama Urea dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan A-PF dapat menurunkan tingkat keragaman spasial yaitu dari sedang menjadi cukup rendah.

165 Pengamatan awal P top soil pada Tabel 24 menunjukkan bahwa pada Plot Percobaan C-DS dan E-PF diketahui tidak mempunyai ketergantungan spasial R2 dengan masing-masing 0.032 dan 0.115. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan B-PF yaitu 1. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan D-DS yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan B PF menunjukkan yang paling baik yaitu cukup rendah. Sementara itu jika dilihat pada pengamatan akhir P top soil diketahui bahwa Plot Percobaan B-PF dan C-DS tidak terdapat ketergantungan spasial dengan R2 masing-masing 0.003 dan 0.046. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan ole h Plot Percobaan A-PF yaitu 1. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan APF, D-DS, dan E-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan A-PF dan E-PF menunjukkan yang paling baik yaitu agak rendah. Berdasarkan keterangan di ata s, jika pengamatan awal P top soil dan pengamatan akhir P top soil dikaitkan maka dapat diketahui bahwa perlakuan pemupukan pertama TSP dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan A-PF tidak merubah tingkat keragaman spasial yaitu tetap agak rendah, tetapi hal ini masih lebih baik karena meningkatkan ukuran efektif pengamatan dari 81.4 m menjadi 96.7 m. Unsur hara daun Pengamatan awal hara daun N pada Tabel 26 menunjukkan bahwa pada Plot Percobaan A-PF, C-DS, D-DS, dan E-PF diketahui tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu masing-masing 0.143; 0.064; 0; dan 0. Struktur spasial Plot Percobaan B-PF tinggi yaitu 0.928. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan B-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan B PF menunjukkan rendah. Sementara itu jika dilihat pada pengamatan tengah hara daun N diketahui bahwa Plot Percobaan A-PF dan E-PF tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu masing-masing 0.139 dan 0. Struktur

spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan C yaitu 0.89. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan B-PF, C-DS, dan D-DS yang diperoleh lebih besar dari yang dila kukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan C-DS menunjukkan yang paling baik yaitu amat sangat rendah. Berdasarkan keterangan di atas, jika pengamatan awal dan tengah hara daun N dikaitkan maka dapat diketahui bahwa perlakua n pemupukan kedua Urea dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan B-PF tidak merubah tingkat keragaman spasial yaitu tetap cukup rendah, tetapi hal ini masih lebih baik kare na meningkatkan ukuran efektif pengamatan dari 86.3 m menjadi 150.4 m. Jumlah anakan tebu (populasi tebu) Pengamatan jumlah anakan tebu sebelum pemupukan pertama pada Tabel 27 (periode pengamatan I untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan II untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan bahwa semua plot percobaan mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang besar. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan C-DS dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.999. Ukuran efektif pengamatan untuk semua plot percobaan yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan C-DS menunjukkan yang paling baik yaitu rendah. Sementara itu pengamatan jumlah anakan tebu sesudah pemupukan pertama pada Tabel 27 (periode pengamatan II untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan III untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan bahwa Plot Percobaan D-DS tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang kecil yaitu 0.077. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan o leh Plot Percobaan A-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.999. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS, dan E-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keraga man spasial Plot Percobaan E-PF menunjukkan yang paling baik yaitu rendah. Berdasarkan keterangan di atas, jika pengamatan jumlah anakan tebu sebelum dan sesudah pemupukan pertama dikaitkan maka diketahui bahwa pemupukan dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan E-PF dapat

menekan tingkat keragaman dari agak rendah menjadi rendah. Sementara pemupukan dengan dosis seragam pada Plot Percobaan C-DS menambah tingkat keragaman dari rendah menjadi sedang. Pengamatan jumlah anakan tebu sebelum pemupukan kedua pada Tabel 27 (periode pengamatan III untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan IV untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan bahwa Plot Percobaan B-PF dan C-DS tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu 0.109 dan 0.073. Struktur spasial yang pali ng kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan A-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.999. Ukuran efektif pengamatan untuk semua plot percobaan yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan A-PF menunjukkan yang paling baik yaitu cukup rendah. Sementara itu pengamatan jumlah anakan tebu sesudah pemupukan kedua pada Tabel 27 (periode pengamatan IV untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan V untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan semua plot percobaan mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang besar. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan A-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.931. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS, dan E-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan A PF menunjukkan yang paling baik yaitu cukup rendah. Berdasarkan keterangan di atas, jika pengamatan jumlah anakan tebu sebelum dan sesudah pemupukan kedua dikaitkan maka diketahui bahwa pemupukan dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan A-PF tidak merubah tingkat keragaman yaitu tetap cukup rendah, tetapi meningkatkan ukuran efektif pengamatan dari 41.7 m menjadi 178.2 m. Tinggi tanaman tebu Pengamatan tinggi tanaman tebu sebelum pemupukan kedua pada Tabel 30 (periode pengamatan III untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan IV untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan bahwa Plot Percobaan D-DS tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu 0.187. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot

Percobaan A-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.999. Ukuran efektif pengamatan untuk semua plot percobaan yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan EPF menunjukkan tingkat keragaman cukup rendah. Sementara itu pengamatan tinggi tebu sesudah pemupukan kedua pada Tabel 30 (periode pengamatan IV untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS dan periode pengamatan V untuk Plot Percobaan D-DS dan E-PF) menunjukkan Plot Percobaan B-PF dan E-PF tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu 0.008 dan 0.164. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan A-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.786. Ukuran efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan A-PF dan C-DS menunjukkan tingkat keragaman agak rendah. Berdasarkan keterangan di atas, jika pengamatan tingg tebu sebelum dan sesudah pemupukan kedua dikaitkan maka diketahui bahwa pemupukan dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan A-PF menunjukkan penyimpangan karena menambah tingkat keragaman dari cukup rendah menjadi agak rendah. Taksasi Pengamatan taksasi awal pada Tabel 43 menunjukkan bahwa pada Plot Percobaan D-DS diketahui tidak mempunyai ketergantungan spasial karena diperoleh nilai R2 yang rendah yaitu 0.072. Struktur spasial yang paling kuat ditunjukkan oleh Plot Percobaan B-PF dengan nilai Q tertinggi yaitu 0.999. Ukura n efektif pengamatan untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, C-DS, dan E-PF yang diperoleh lebih besar dari yang dilakukan pada penelitian ini (25 m). Tingkat keragaman spasial Plot Percobaan B-PF menunjukkan yang paling baik yaitu rendah. Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemupukan dengan pendekatan precision farming pada Plot Percobaan B-PF dapat menghasilkan tingkat keragaman spasial yang paling baik yaitu rendah. Di samping itu jika dibandingkan dengan produktivitas Plot Percobaan B-PF pada tahun 2002 dengan dosis seragam dihasilkan 85.42 ton tebu/ha (Tabel 24), sedangkan dengan pendekatan precision farming dihasilkan 87.5 ton tebu/ha.

Tabel 25 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara t anah N, P, dan K Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Peubah Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman N top soil Awal A-PF 0.00031 0.00108 1525.2 0.715 Exponential 0.667 6 sedang (%) B-PF 0.00004 0.00099 316.9 0.96 Spherical 0.899 4 cukup rendah C-DS 0.00022 0.0006 277.1 0.637 Spherical 0.901 5 agak rendah D-DS 0.00001 0.0003 46.7 0.973 Spherical 0.246 5 agak rendah E-PF 0 0.00022 24.3 1 Spherical 0 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.00002 0.00042 113.1 0.943 Exponential 0.584 4 cukup rendah B-PF 0.00071 0.00145 935.7 0.514 Exponential 0.161 4 cukup rendah C-DS 0 0.00042 86.3 0.998 Exponential 0.087 5 agak rendah D-DS 0 0.00053 58 0.998 Spherical 0.239 4 cukup rendah E-PF 0.00034 0.00138 2065.5 0.757 Exponential 0.545 5 agak rendah sub soil Awal A-PF 0.00009 0.00082 40.9 0.89 Spherical 0.38 4 cukup rendah B-PF 0.00033 0.00207 1167.6 0.841 Exponential 0.438 6 sedang C-DS 0.00045 0.00045 152 0 Linear 0.806 4 cukup rendah D-DS 0.00014 0.00014 130.7 0 Linear 0.057 5 agak rendah E-PF 0.00005 0.00031 45.3 0.853 Exponential 0.043 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.00003 0.00024 25.3 0.873 Spherical 0 4 cukup rendah B-PF 0.00016 0.00016 171.3 0 Linear 0.017 4 cukup rendah C-DS 0 0.00013 51 0.999 Linear 0.807 4 cukup rendah D-DS 0.00006 0.00045 310 0.872 Spherical 0.933 6 sedang E-PF 0.00003 0.00021 52 0.842 Spherical 0.525 4 cukup rendah

Tabel 25 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara t anah N, P, dan K (lanjutan) Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Peubah Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman P top soil Awal A-PF 1 549.9 81.4 0.998 Spherical 0.484 5 agak rendah (ppm) B-PF 0.1 315.8 49.1 1 Spherical 0.396 4 cukup rendah C-DS 0.1 199.4 34.2 0.999 Spherical 0.032 5 agak rendah D-DS 123 1689 627.3 0.927 Exponential 0.522 7 agak tinggi Akhir E-PF A-PF 83 0.1 889 291.2 42 96.7 0.907 1 Spherical Spherical 0.115 0.939 3 5 rendah agak rendah B-PF 146.02 146.02 171.3 0 Linear 0.003 4 cukup rendah C-DS 172.85 214.88 152 0.196 Linear 0.046 6 sedang D-DS 126 705.2 254.8 0.821 Spherical 0.885 7 agak tinggi E-PF 89 419.7 79.8 0.788 Exponential 0.395 5 agak rendah sub soil Awal A-PF 74.7 335.5 285 0.777 Exponential 0.92 4 cukup rendah B-PF 405.47 405.47 171.3 0 Linear 0.008 5 agak rendah C-DS 1 616.7 48.9 0.998 Spherical 0.133 6 sedang D-DS 33.75 108.44 130.7 0.689 Linear 0.732 6 sedang E-PF 0.1 200.5 43.2 1 Spherical 0.028 3 rendah Akhir A-PF 51.6 126.9 720.9 0.593 Exponential 0.423 4 cukup rendah B-PF 0.01 6.538 41.4 0.998 Spherical 0.372 4 cukup rendah C-DS 124 558.9 1039.5 0.778 Exponential 0.416 8 cukup tinggi D-DS 29.81 57 130.7 0.447 Linear 0.305 4 cukup rendah E-PF 31 156 963.9 0.801 Exponential 0.833 4 cukup rendah

Tabel 25 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara t anah N, P, dan K (lanjutan) Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot Effective Peubah pengamatan percobaan Nilai R2 Kelas Nugget Sill Range Bentuk Tingkat keragaman Q keragaman (m) K top soil Awal A-PF 0 0.00127 83.2 0.999 Spherical 0.783 4 cukup rendah (me/100g B-PF 0.00019 0.0021 18 0.908 Spherical 0 4 cukup rendah tanah) C-DS 0 0.00149 30.9 0.999 Exponential 0.008 4 cukup rendah D-DS 0 0.00041 55.3 0.99 Spherical 0.418 5 agak rendah E-PF 0.00062 0.00239 47.1 0.742 Exponential 0.244 3 rendah Akhir A-PF 0.00011 0.00038 863.4 0.712 Exponential 0.805 7 agak tinggi B-PF 0.00015 0.00086 344.4 0.821 Exponential 0.607 5 agak rendah C-DS 0.00005 0.00047 93.2 0.904 Spherical 0.191 5 agak rendah D-DS 0.00009 0.00044 319.2 0.794 Spherical 0.782 8 cukup tinggi E-PF 0.0003 0.0009 2040.3 0.666 Exponential 0.479 4 cukup rendah sub soil Awal A-PF 0.00031 0.00031 B-PF 0.00001 0.00119 C-DS 0.00001 0.00085 D-DS 0.00003 0.00015 E-PF 0.00237 0.00237 182.4 0 Linear 0.226 5 agak rendah 250.2 0.993 Exponential 0.856 6 sedang 66.9 0.987 Exponential 0.101 5 agak rendah 60.3 0.82 Exponential 0.307 4 cukup rendah 259 0 Linear 0.159 3 rendah

Akhir A-PF 0.00001 0.00013 40.1 0.913 Spherical .226 5 agak rendah B-PF 0.00043 0.00043 171.3 0 Linear 0.162 4 cukup rendah C-DS 0 0.00035 16.2 0.997 Exponential 0 4 cukup rendah D-DS 0.00002 0.00002 130.7 130.7 Linear 0 7 agak tinggi E-PF 0.00005 0.00016 476.4 0.672 Exponential 0.881 4 cukup rendah Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS Periode pengamatan plot perco baan D-DS dan E-PF Awal = pada umur tebu 1 bulan Awal = pada umur tebu 2 bulan Akhir = pada umur tebu 3 bulan Akhir = pada umur tebu 4 bulan

Tabel 26 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara d aun N, P, dan K Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Peubah Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman N Awal A-PF 0.00704 0.00704 182.4 0 Linear 0.143 4 cukup rendah (%) B-PF 0.00047 0.00655 86.3 0.928 Spherical 0.583 3 rendah C-DS 0.00118 0.00118 152 0 Linear 0.064 1 amat sangat rendah D-DS 0.00026 0.01612 25.8 0.984 Spherical 0 4 cukup rendah E-PF 0.00134 0.01388 24.3 0.903 Spherical 0 4 cukup rendah Tengah A-PF 0.00001 0.0022 47.8 0.994 Spherical 0.139 4 cukup rendah B-PF 0.00208 0.00629 150.4 0.669 Spherical 0.828 3 rendah C-DS 0.00087 0.00788 290.7 0.89 Spherical 0.803 1 amat sangat rendah D-DS 0.00072 0.00433 198 0.834 Spherical 0.664 5 agak rendah E-PF 0.00149 0.00988 24.3 0.849 Spherical 0 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.00036 0.00267 35.4 0.865 Spherical 0.121 3 rendah B-PF 0.00016 0.00366 25.6 0.956 Spherical 0.043 1 amat sangat rendah C-DS 0.00256 0.01172 304.2 0.782 Spherical 0.587 1 amat sangat rendah D-DS 0.00867 0.00867 130.7 0 Linear 0.498 5 agak rendah E-PF 0.01104 0.03598 2078.7 0.693 Exponential 0.696 6 sedang P Awal A-PF 0.00008 0.00105 462.5 0.926 Spherical 0.761 8 cukup tinggi (%) B-PF 0.00001 0.00027 34.2 0.973 Spherical 0.189 1 amat sangat rendah C-DS 0 0.00017 63.6 0.991 Spherical 0.402 1 amat sangat rendah D-DS 0.00003 0.00026 59.4 0.902 Exponential 0.099 5 agak rendah E-PF 0.00014 0.00057 206.7 0.746 Spherical 0.829 5 agak rendah Tengah A-PF 0.00016 0.00048 406.4 0.667 Spherical 0.82 6 sedang B-PF 0.00001 0.00059 402.9 0.983 Exponential 0.95 1 amat sangat rendah C-DS 0.00002 0.00044 36.4 0.945 Spherical 0.045 1 amat sangat rendah D-DS 0 0.00046 39.8 0.996 Spherical 0.051 5 agak rendah E-PF 0.00028 0.00064 456.9 0.561 Exponential 0.514 4 cukup rendah

Tabel 26 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial unsur hara d aun N, P, dan K (lanjutan) Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Peubah pengama Plot Effective Nilai Kelas percobaan Nugget Sill Range Bentuk R2 Tingkat keragaman tan Q keragaman (m) Akhir A-PF 0.00011 0.00011 182.4 0 Linear 0.112 4 cukup rendah B-PF 0.00007 0.00026 250.2 0.739 Exponential 0.579 1 amat sangat rendah C-DS 0.00001 0.00007 28.5 0.802 Exponential 0.062 1 amat sangat rendah D-DS 0.0005 0.0005 130.7 0 Linear 0.687 5 agak rendah E-PF 0.00024 0.00077 255.3 0.688 Spherical 0.886 4 cukup rendah K Awal A-PF 0.0001 0.0343 25.3 0.997 Spherical 0 3 rendah (%) B-PF 0.0389 0.1478 1440.6 0.737 Exponential 0.174 3 rendah C-DS 0.00527 0.03474 277.2 0.848 Spherical 0.43 7 agak tinggi D-DS 0.045 0.1094 869.4 0.589 Exponential 0.585 5 agak rendah E-PF 0.0081 0.042 44.4 0.807 Spherical 0.683 4 cukup rendah AkhirA-PF-------BPF-------CDS-------DDS 0.00001 0.02122 105.9 1 Spherical 0.942 6 sedang E-PF 0.00887 0.03044 1803.9 0.709 Exponential 0.575 6 sedang Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS Periode pengamatan plot perco baan D-DS dan E-PF Awal = pada umur tebu 3 bulan Awal = pada umur tebu 4 bulan Tengah = pada umur tebu 6.5 bulan Tengah = pada umur tebu 6.5 bulan Akhir = pada umur tebu 9.5 bulan Akhir = pada umur tebu 9.5 bulan

174 Tabel 27 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah anakan tebu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot Effective Kelas Tingkat pengamatan percobaan Nugget Sill Range Nilai Q Bentuk R2 keragaman keragaman (m) I A-PF 63.8 179.7 132.4 0.645 Spherical 0.749 4 cukup rendah B-PF 66.2 341.2 317.7 0.806 Exponential 0.853 5 agak rendah C-DS 0.1 99.8 51 0.999 Linear 0.972 3 rendah D-DS-------EPF ------II A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF III A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF IV A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF V A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

32.3 193.4 82.5 0.833 Spherical 0.79 4 cukup rendah 42.5 248.5 225.9 0.828 Exponential 0.843 5 agak rendah 87 384.9 661.2 0.774 Exponential 0.444 6 sedang 515.33 515.33 130.7 0 Linear 0.508 5 agak rendah 439 2004 2088.9 0.781 Exponential 0.735 5 agak rendah 0.1 68.2 54 0.999 Spherical 0.555 4 cukup rendah 110.49 110.49 171.3 0 Linear 0.109 4 cukup rendah 118 159.6 152 0.261 Linear 0.073 4 cukup rendah 382.93 382.93 130.7 0 Linear 0.077 6 sedang 201.4 402.9 113.7 0.5 Exponential 0.681 3 rendah 2.6 37.42 41.7 0.931 Spherical 0.27 4 cukup rendah 67.29 67.29 171.3 0 Linear 0.442 4 cukup rendah 46.8 116.23 867.9 0.597 Exponential 0.336 6 sedang 166.64 166.64 130.7 0 Linear 0.399 4 cukup rendah 141.9 400.6 391 0.646 Spherical 0.94 5 agak rendah 9.1 50.08 178.2 0.818 Exponential 0.72 4 cukup rendah 37.46 37.46 171.3 0 Linear 0.617 4 cukup rendah 15.3 101.6 753.9 0.849 Exponential 0.388 6 sedang 142.66 142.66 130.7 0 Linear 0.375 4 cukup rendah 58 426.9 468.5 0.864 Spherical 0.93 5 agak rendah

VI A-PF 4.2 60.94 142 0.931 Spherical 0.812 4 cukup rendah

B-PF C-DS D-DS E-PF VII A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

37.5 228.1 1005.3 0.836 Exponential 0.742 5 agak rendah 20.9 68.04 740.1 0.693 Exponential 0.466 6 sedang 153.03 153.03 130.7 0 Linear 0.001 4 cukup rendah 118.6 241.4 265.5 0.509 Exponential 0.787 4 cukup rendah 0.1 44.46 167.7 0.998 Exponential 0.881 4 cukup rendah 3.2 45.17 48.5 0.929 Spherical 0.309 3 rendah 5.5 148.7 374.8 0.963 Spherical 0.839 8 cukup tinggi 92.71 97.07 130.7 0.045 Linear 0.009 4 cukup rendah 11.2 68.4 24.3 0.836 Spherical 0 3 rendah

Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS I = pada umur tebu 1 bulan II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan Periode pengamatan plot percobaan D-DS dan E-PF I = tidak diamati II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

175 Tabel 28 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah daun hijau tebu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot Effective Kelas Tingkat pengamatan percobaan Nugget Sill Range Nilai Q Bentuk R2 keragaman keragaman (m) I A-PF 0.383 0.383 182.4 0 Linear 0.095 3 rendah B-PF 0.001 1.015 100.2 0.999 Spherical 0.788 4 cukup rendah C-DS 0.074 0.785 56.3 0.906 Spherical 0.329 7 agak tinggi D-DS-------EPF ------II A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF III A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF IV A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF V A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

0.045 0.931 0.928 0.913 0.281

0.931 0.931 0.928 0.913 0.977

78.9 0.952 Exponential 0.28 5 agak rendah 171.3 0 Linear 0.147 4 cukup rendah 152 0 Linear 0.142 5 agak rendah 130.7 0 Linear 0.096 4 cukup rendah 133.9 0.712 Spherical 0.792 3 rendah

0.141 1.413 76 0.9 Spherical 0.364 4 cukup rendah 0.54 7.561 276.1 0.929 Spherical 0.847 5 agak rendah 0.001 2.232 80.8 1 Exponential 0.116 4 cukup rendah 0.63 6.269 558.2 0.9 Exponential 0.517 8 cukup tinggi 0.466 1.352 84.3 0.655 Spherical 0.392 4 cukup rendah 0.152 1.422 62.5 0.893 Spherical 0.38 3 rendah 0.251 1.326 190.2 0.811 Exponential 0.788 5 agak rendah 0.001 0.941 51 0.999 Linear 0.783 3 rendah 0.54 4.337 35.7 0.875 Spherical 0.103 4 cukup rendah 2.24 7.489 1335 0.701 Exponential 0.819 4 cukup rendah 0.08 0.742 1.8 0.892 Exponential 0 3 rendah 0.001 1.368 122.3 0.999 Spherical 0.839 5 agak rendah 0.001 1.447 46.2 0.999 Spherical 0.15 5 agak rendah 0.131 0.636 58.5 0.794 Exponential 0.321 4 cukup rendah 0.035 0.793 35.6 0.956 Spherical 0.06 4 cukup rendah

VI A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF VII A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

0.098 0.519 49.2 0.811 Exponential 0.068 4 cukup rendah 0.001 1.384 56.4 0.999 Spherical 0.551 3 rend ah 0.81 4.722 348.4 0.828 Spherical 0.481 7 agak tinggi 0.142 0.81 46 0.825 Spherical 0.683 5 agak rendah 0.104 0.769 24.3 0.865 Spherical 0 4 cukup rendah 0.145 1.74 71.1 0.917 Spherical 0.896 4 cukup rendah 0.239 1.274 98.4 0.812 Exponential 0.723 4 cukup rendah 1.1 5.2 796.8 0.788 Exponential 0.822 9 tinggi 0.026 1.223 24.4 0.979 Spherical 0 4 cukup rendah 0.325 1.651 57 0.803 Exponential 0.107 4 cukup rendah

Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS I = pada umur tebu 1 bulan II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan Periode pengamatan plot percobaan D-DS dan E-PF I = tidak diamati II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 29 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah daun kering tebu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot Effective Kelas pengamatan percobaan Nugget Sill Range Nilai Q Bentuk R2 Tingkat keragaman keragaman (m) I A-PF -------BPF -------CDS -------DDS-------EPF ------IIA-PF -------BPF -------CDS -------DDS-------EPF ------III A-PF 0.094 0.835 33.3 0.887 Exponential 0.024 4 cukup rendah B-PF 0.228 1.932 219.6 0.883 Exponential 0.634 5 agak rendah C-DS 1.793 1.793 152 0 Linear 0.116 4 cukup rendah D-DS-------EPF ------IV A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF V A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

0.019 0.001 2.333 0.199 1.521

2.757 2.377 2.333 2.045 1.521

130.2 0.993 Exponential 0.806 4 cukup rendah 94.4 1 Spherical 0.87 4 cukup rendah 152 0 Linear 0.173 4 cukup rendah 49.3 0.903 Spherical 0.289 5 agak rendah 259 0 Linear 0.047 4 cukup rendah

1.01 4.922 146.4 0.795 Spherical 0.883 5 agak rendah 0.18 5.121 303.9 0.965 Exponential 0.881 6 sedang 0.35 2.751 46.5 0.873 Spherical 0.441 4 cukup rendah 0.85 5.03 61.9 0.831 Spherical 0.728 5 agak rendah 0.599 3.17 111.2 0.811 Spherical 0.837 4 cukup rendah

VI A-PF 0.137 1.976 127.6 0.931 Spherical 0.778 4 cukup rendah

B-PF C-DS D-DS E-PF VII A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF

0.01 3.897 79.6 0.997 Spherical 0.802 4 cukup rendah 0.01 6.061 56.2 0.998 Spherical 0.207 4 cukup rendah 1.28 6.023 626.1 0.787 Exponential 0.472 5 agak rendah 1.718 3.857 110.1 0.555 Spherical 0.609 4 cukup rendah 0.85 0.01 0.53 0.01 0.01 4.583 51.3 0.815 Exponential 0.224 4 cukup rendah 7.848 105.3 0.999 Exponential 0.769 4 cukup rendah 4.928 28.2 0.892 Exponential 0.007 5 agak rendah 5.22 47.7 0.998 Linear 0.937 4 cukup rendah 14.17 106.8 0.999 Spherical 0.6 4 cukup rendah

Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS I = belum ada daun kering pada umur tebu 1 bulan II = belum ada daun kering pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan Periode pengamatan plot percobaan D-DS dan E-PF I = belum ada daun kering pada umur tebu 1 bulan II = belum ada daun kering pada umur tebu 2 bulan III = belum ada daun kering pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 30 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial tinggi tebu Klasifikasi keragaman Parameter semi -variogram spasial Periode Plot pengamatan percobaan Effective Kelas Tingkat Nugget Sill Nilai Q Bentuk R2 Range (m) keragaman keragaman I A-PF -------B-PF -------C-DS -------D-DS -------E-PF -------II A-PF 0.6 6.823 36.3 0.912 Spherical 0.069 4 cukup rendah B-PF 5.966 5.966 171.3 0 Linear 0.199 4 cukup rendah C-DS 0.94 5.7 63 0.835 Exponential 0.206 5 agak rendah D-DS -------E-PF -------III A-PF 0.1 73.63 76.1 0.999 Spherical 0.739 4 cukup rendah B-PF 12.5 55.34 88.6 0.774 Spherical 0.528 4 cukup rendah C-DS 38.4 121.27 510.9 0.683 Exponential 0.642 6 sedang D-DS 1.8 9.3 79.8 0.806 Exponential 0.15 4 cukup rendah E-PF 7.47 23.28 483 0.679 Spherical 0.854 5 agak rendah IV A-PF 51.6 241 1316.7 0.786 Exponential 0.747 5 agak rendah B-PF 73.68 82.12 171.3 0.103 Linear 0.008 4 cukup rendah C-DS 50.32 99.89 152 0.496 Linear 0.455 5 agak rendah D-DS 96.61 96.61 130.7 0 Linear 0.187 4 cukup rendah E-PF 18.2 108.9 63.6 0.833 Spherical 0.749 4 cukup rendah V A-PF 96.87 152.53 182.4 0.365 Linear 0.282 4 cukup rendah B-PF 2.5 71.52 103.5 0.965 Spherical 0.89 4 cukup rendah C-DS 60.73 115.49 152 0.474 Linear 0.404 5 agak rendah D-DS 100.07 100.07 130.7 0 Linear 0.685 5 agak rendah E-PF 40.2 214 37.3 0.812 Spherical 0.164 4 cukup rendah VI A-PF 93 342.2 337.5 0.728 Spherical 0.697 4 cukup rendah B-PF 80.4 142.44 171.3 0.436 Linear 0.122 4 cukup rendah C-DS 0.2 141.6 51 0.999 Linear 0.759 4 cukup rendah D-DS 111.51 111.51 130.7 0 Linear 0.454 4 cukup rendah E-PF 9.1 198.8 37.9 0.954 Spherical 0.108 4 cukup rendah VII A-PF 0.1 186.4 53.2 0.999 Spherical 0.53 4 cukup rendah B-PF 0.1 259.1 89.4 1 Spherical 0.768 4 cukup rendah C-DS 0.1 186.8 51 0.999 Linear 0.726 3 rendah D-DS 215.21 215.21 130.7 0 Linear 0.728 4 cukup rendah E-PF 288 669.6 1359 0.57 Exponential 0.572 4 cukup rendah Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS Periode pengamatan plot perco baan D-DS dan E-PF I = pada umur tebu 1 bulan I = tidak diamati II = pada umur tebu 2 bulan II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan III = pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan

VI = pada umur tebu 6.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan Tinggi tebu dalam cm

Tabel 31 Parameter semi -variogram dan klasifikasi keragaman spasial diameter te bu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman I A-PF -------B-PF -------C-DS -------D-DS -------E-PF -------II A-PF 1.721 3.443 89.3 0.5 Spherical 0.376 4 cukup rendah B-PF 9.296 9.296 171.25 0 Linear 0.113 4 cukup rendah C-DS 0.2 6.528 75.6 0.969 Spherical 0.276 4 cukup rendah D-DS -------E-PF -------III A-PF 0.73 7.469 318.3 0.902 Spherical 0.835 5 agak rendah B-PF 0.001 2.21 50.8 1 Spherical 0.728 3 rendah C-DS 1.158 1.158 152 0 Linear 0.329 4 cukup rendah D-DS 0.95 21.89 729.3 0.957 Exponential 0.439 9 tinggi E-PF 1.14 8.18 233.2 0.861 Spherical 0.95 5 agak rendah IV A-PF 0.495 2.589 51.6 0.809 Exponential 0.067 4 cukup rendah B-PF 2.572 2.572 171.3 0 Linear 0.017 4 cukup rendah C-DS 1 5.868 173 0.83 Spherical 0.647 5 agak rendah D-DS 2.432 2.432 130.7 0 Linear 0.303 3 rendah E-PF 0.816 2.754 67.2 0.704 Exponential 0.542 4 cukup rendah V A-PF 0.552 3.032 143.4 0.818 Spherical 0.747 4 cukup rendah B-PF 0.01 6.968 348.3 0.999 Exponential 0.894 5 agak rendah C-DS 0.001 2.364 48.2 1 Spherical 0.123 5 agak rendah D-DS 3.3 3.3 130.7 0 Linear 0.228 4 cukup rendah E-PF 0.718 3.04 24.3 0.764 Spherical 0 4 cukup rendah VI A-PF 0.001 1.868 70.1 0.999 Spherical 0.524 4 cukup rendah B-PF 0.208 1.811 42.6 0.885 Spherical 0.219 4 cukup rendah C-DS 1.754 1.754 152 0 Linear 0.159 5 agak rendah D-DS 0.01 7.493 111.7 0.999 Spherical 0.687 5 agak rendah E-PF 0.853 3.952 84.1 0.784 Spherical 0.913 3 rendah VII A-PF 0.258 1.365 50 0.811 Spherical 0.575 4 cukup rendah B-PF 0.616 3.033 93.3 0.797 Exponential 0.527 4 cukup rendah C-DS 0.92 4.163 282.9 0.779 Exponential 0.934 6 sedang D-DS 1.27 7.549 238.5 0.832 Spherical 0.963 7 agak tinggi E-PF 0.965 3.644 145.8 0.735 Exponential 0.726 4 cukup rendah Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS I = pada umur tebu 1 bulan II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan

VII = pada umur tebu 9.5 bulan Diameter tebu dalam cm Periode pengamatan plot percobaan D-DS dan E-PF I = tidak diamati II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 32 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial persentase g ap Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman I A-PF 4.8 50.68 62.8 0.905 Spherical 0.465 4 cukup rendah B-PF 0.1 62.36 36.3 0.998 Spherical 0.298 4 cukup rendah C-DS 10.5 110.71 220.3 0.905 Spherical 0.925 6 sedang D-DS -------E-PF -------II A-PF 0.7 42.63 47.2 0.984 Spherical 0.279 4 cukup rendah B-PF 3.7 37.16 38.7 0.9 Spherical 0.554 4 cukup rendah C-DS 36.5 124 1222.8 0.706 Exponential 0.321 7 agak tinggi D-DS 0.1 120.5 30 0.999 Spherical 0.004 5 agak rendah E-PF 78.9 209.6 485.4 0.624 Spherical 0.71 4 cukup rendah III A-PF 3.14 28.92 25.3 0.891 Spherical 0 4 cukup rendah B-PF 23.59 23.59 171.3 0 Linear 0.24 5 agak rendah C-DS 2.14 20.47 42.2 0.895 Spherical 0.219 5 agak rendah D-DS 91.28 94.84 130.7 0.038 Linear 0.003 4 cukup rendah E-PF 84.2 280.6 1640.1 0.7 Exponential 0.706 5 agak rendah IV A-PF 7.38 32.08 40.2 0.77 Exponential 0.087 5 agak rendah B-PF 9.3 54.06 98.1 0.828 Exponential 0.526 4 cukup rendah C-DS 29.1 72.14 667.5 0.597 Exponential 0.766 6 sedang D-DS 88.92 121.84 130.7 0.27 Linear 0.148 5 agak rendah E-PF 30.7 114.1 72.9 0.731 Exponential 0.266 4 cukup rendah V A-PF 7.3 43.15 30.8 0.831 Exponential 0.033 4 cukup rendah B-PF 0.01 29.05 37.9 1 Spherical 0.564 4 cukup rendah C-DS 20.72 20.72 152 0 Linear 0.171 4 cukup rendah D-DS 58.12 89.33 130.7 0.349 Linear 0.405 4 cukup rendah E-PF 70.9 158.1 753.6 0.552 Exponential 0.709 4 cukup rendah VI A-PF 5.8 30.49 48 0.81 Exponential 0.111 4 cukup rendah B-PF 0.1 36.61 33.9 0.997 Spherical 0.511 5 agak rendah C-DS 4.35 34.84 39.3 0.875 Spherical 0.211 5 agak rendah D-DS 112.8 112.8 130.7 0 Linear 0.17 4 cukup rendah E-PF 90.17 130.84 259 0.311 Linear 0.607 4 cukup rendah VII A-PF 39.92 49.26 182 0.19 Linear 0.089 4 cukup rendah B-PF 36.49 36.49 171.3 0 Linear 0.026 4 cukup rendah C-DS 7.35 112.8 152 0.935 Linear 0.631 7 agak tinggi D-DS 72.37 72.37 130.7 0 Linear 0.512 4 cukup rendah E-PF 90 231.3 1543.2 0.611 Exponential 0.728 5 agak rendah Catatan: Periode pengamatan plot percobaan A-PF, B-PF, C-DS I = pada umur tebu 1 bulan II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 3.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

Periode pengamatan plot percobaan D-DS dan E-PF I = tidak diamati II = pada umur tebu 2 bulan III = pada umur tebu 2.5 bulan IV = pada umur tebu 4.5 bulan V = pada umur tebu 5.5 bulan VI = pada umur tebu 6.5 bulan VII = pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 33 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial kadar air ta nah Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Lapisan tanah Periode pengam atan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Top soil Awal A-PF 0.001 2.126 177.2 1 Spherical 0.983 4 cukup rendah B-PF 0.894 3.798 971.7 0.765 Exponential 0.363 6 sedang C-DS 0.001 1.712 51 0.999 Linear 0.85 4 cukup rendah D-DS 1.369 1.369 130.7 0 Linear 0.402 4 cukup rendah E-PF 0.276 1.884 87.2 0.854 Spherical 0.854 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.607 1.564 139 0.612 Spherical 0.777 4 cukup rendah B-PF 0.001 2.882 60.3 1 Linear 0.965 3 rendah C-DS 0.047 0.951 78.3 0.951 Exponential 0.22 5 agak rendah D-DS 0.001 0.993 47.7 0.999 Linear 0.952 4 cukup rendah E-PF 0.001 2.14 112.4 1 Spherical 0.716 4 cukup rendah Sub soil Awal A-PF 0.01 4.029 208.7 0.998 Spherical 0.979 5 agak rendah B-PF 0.564 0.564 171.3 0 Linear 0.089 4 cukup rendah C-DS 0.001 0.626 31.6 0.998 Spherical 0.011 5 agak rendah D-DS 0.72 1.723 742.5 0.582 Exponential 0.622 5 agak rendah E-PF 0.001 1.808 105 0.999 Spherical 0.902 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.147 2.965 188.8 0.95 Spherical 0.922 4 cukup rendah B-PF 0.4 1.087 197.1 0.632 Spherical 0.79 3 rendah C-DS 0.172 0.909 169 0.811 Spherical 0.857 5 agak rendah D-DS 0.11 0.675 65.7 0.837 Exponential 0.025 5 agak rendah E-PF 0.001 1.772 120.7 0.999 Spherical 0.689 4 cukup rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Kadar air tanah dalam % periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan Tabel 34 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial jumlah tebu roboh Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot pengamatan percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.0114 0.1138 29.4 0.9 Spherical 0.003 5 agak rendah B-PF 0.0001 0.1132 76.1 0.999 Spherical 0.512 1 amat sangat rendah C-DS 0.0001 0.1142 50.7 0.999 Exponential 0.059 5 agak rendah D-DS 0.18 4.753 24.4 0.962 Spherical 0 5 agak rendah E-PF 1.32 5.199 195 0.746 Exponential 0.797 5 agak rendah

Akhir A-PF 0.438 2.975 48 0.853 Spherical 0.377 3 rendah B-PF 0.165 3.019 59.4 0.945 Exponential 0.25 4 cukup rendah C-DS 5.19 20.44 1047.6 0.746 Exponential 0.355 7 agak tinggi D-DS 6 73 300.7 0.918 Spherical 0.591 7 agak tinggi E-PF 5.4 37.79 58.1 0.857 Spherical 0.583 4 cukup rendah Catatan : periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 35 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot biomassa tebu Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Peubah Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman AKAR Bobot A-PF 8 105.1 139.4 0.924 Spherical 0.906 5 agak rendah basah B-PF 3.81 14.36 38.1 0.735 Exponential 0.245 4 cukup rendah C-DS 9.99 9.98 152 0 Linear 0.423 4 cukup rendah D-DS 11.4 50.69 106.3 0.775 Spherical 0.446 4 cukup rendah E-PF 82.01 181.31 259 0.548 Linear 0.533 2 sangat rendah Bobot A-PF 54 654.5 244.5 0.917 Exponential 0.463 3 rendah kering B-PF 0.961 4.054 67.5 0.763 Exponential 0.679 4 cukup rendah C-DS 2.68 2.68 152 0 Linear 0.466 4 cukup rendah D-DS 1.22 7.581 84.3 0.839 Exponential 0.48 4 cukup rendah E-PF 2.25 20.26 2081.1 0.889 Exponential 0.687 7 agak tinggi TUNGGUL Bobot A-PF 99.112 174.01 182.4 0.43 Linear 0.344 5 agak rendah basah B-PF 58.12 140.19 171.3 0.6 Linear 0.446 9 tinggi C-DS 16.8 72.69 74.1 0.769 Exponential 0.514 4 cukup rendah D-DS 115.86 115.86 130.7 0 Linear 0.676 4 cukup rendah E-PF 139.3 304.1 706.5 0.542 Exponential 0.576 5 agak rendah Bobot A-PF 5.87 11.75 771.3 0.5 Exponential 0.175 4 cukup rendah kering B-PF 0.01 13.87 81 0.999 Spherical 0.803 3 rendah C-DS 1.42 3.45 113.7 0.587 Spherical 0.576 4 cukup rendah D-DS 6.1 6.1 130.7 0 Linear 0.401 4 cukup rendah E-PF 4.33 8.672 878.4 0.501 Exponential 0.413 4 cukup rendah BATANG Bobot A-PF 3000 22860 38.5 0.869 Spherical 0.092 3 rendah basah B-PF 100 43000 54.9 0.998 Spherical 0.559 5 agak rendah C-DS 5000 16050 118 0.688 Spherical 0.324 4 cukup rendah D-DS 15200 51500 795.9 0.705 Exponential 0.611 7 agak tinggi E-PF 2590 18920 72.8 0.863 Spherical 0.581 4 cukup rendah Bobot A-PF 160 2294 44.3 0.93 Spherical 0.367 3 rendah kering B-PF 10 3955 86.7 0.997 Exponential 0.512 5 agak rendah C-DS 3 1468 71.7 0.998 Exponential 0.087 4 cukup rendah D-DS 444 2813 24.4 0.842 Spherical 0 5 agak rendah E-PF 259 2141 46 0.879 Spherical 0.324 5 agak rendah DAUN Bobot A-PF 876 2717 889.5 0.678 Exponential 0.661 6 sedang basah B-PF 1 1316 53.3 0.999 Spherical 0.616 4 cukup rendah C-DS 1 2010 40.5 1 Exponential 0.028 4 cukup rendah D-DS 924 924 130.7 0 Linear 0.776 4 cukup rendah E-PF 334 1481 25.9 0.774 Spherical 0 3 rendah Bobot A-PF 1 352 25.3 0.991 Spherical 0 4 cukup rendah kering B-PF 151 758.5 159 0.801 Exponential 0.351 4 cukup rendah C-DS 535 569 152 0.059 Linear 0.002 4 cukup rendah D-DS 129 129 130.7 0 Linear 0.827 4 cukup rendah E-PF 34.1 177.2 38.2 0.808 Spherical 0.167 3 rendah

Tabel 35 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot biomassa tebu (lanjutan) Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Peubah Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman PUCUK Bobot A-PF 400.24 400.24 182.6 0 Linear 0.012 4 cukup rendah basah B-PF 1 653.6 67.8 0.998 Spherical 0.834 4 cukup rendah C-DS 138.76 193.02 152 0.281 Linear 0.11 5 agak rendah D-DS 366.57 366.57 130.7 0 Linear 0.314 4 cukup rendah E-PF 155 585.5 15.9 0.735 Exponential 0.001 4 cukup rendah Bobot A-PF 16.04 16.04 182.4 0 Linear 0.038 4 cukup rendah kering B-PF 0.01 31.1 75.8 1 Spherical 0.734 4 cukup rendah C-DS 0.01 7.79 23.2 0.999 Spherical 0 5 agak rendah D-DS 18.36 18.36 130.7 0 Linear 0.408 4 cukup rendah E-PF 7.58 28.79 21.3 0.737 Exponential 0.016 3 rendah Jumlah A-PF 0.05 4.796 72.3 0.99 Spherical 0.463 3 rendah ruas B-PF 0.01 6.07 64.8 998 Spherical 0.677 4 cukup rendah C-DS 0.01 3.714 33.4 0.997 Spherical 0.016 6 sedang D-DS 0.69 6.176 53.3 0.888 Spherical 0.628 4 cukup rendah E-PF 0.84 4.557 29.6 0.816 Spherical 0.008 3 rendah Catatan: bobot biomassa dalam gram Tabel 36 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial persentase penutupan gulma Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode Plot pengamatan percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 5.5 61.74 65.5 0.911 Spherical 0.289 4 cukup rendah B-PF 0.1 161.6 82.1 0.999 Spherical 0.779 5 agak rendah C-DS 36.11 98.49 152 0.633 Linear 0.512 5 agak rendah D-DS 75 418.2 38.4 0.821 Exponential 0.084 4 cukup rendah E-PF 1 563.7 132.4 0.998 Spherical 0.932 5 agak rendah Akhir A-PF 8.71 33.71 294.1 0.742 Spherical 0.855 4 cukup rendah B-PF 10.2 52.35 227.6 0.805 Spherical 0.62 4 cukup rendah C-DS 19.48 142.42 152 0.863 Linear 0.647 6 sedang D-DS 38 361.3 87.7 0.895 Spherical 0.233 5 agak rendah E-PF 82.2 378.8 46.8 0.783 Spherical 0.527 5 agak rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 37 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot tebu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.001 0.57 290.9 0.998 Spherical 0.962 5 agak rendah B-PF 0.0001 0.1892 68 0.999 Spherical 0.831 4 cukup rendah C-DS 0.0001 0.1322 50.9 0.999 Linear 0.948 4 cukup rendah D-DS 0.0003 0.2396 49.6 0.999 Spherical 0.329 5 agak rendah E-PF 0.325 1.267 1649.1 0.743 Exponential 0.652 5 agak rendah Akhir A-PF 0.0205 0.226 35.7 0.909 Spherical 0.06 4 cukup rendah B-PF 0.0001 0.2562 83.1 1 Spherical 0.874 4 cukup rendah C-DS 0.0224 0.1968 46.5 0.886 Exponential 0.082 5 agak rendah D-DS 0.0305 0.185 63.6 0.835 Spherical 0.834 5 agak rendah E-PF 0.1559 0.3128 633.9 0.502 Exponential 0.697 5 agak rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Bobot tebu dalam gram periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan Tabel 38 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial bobot nira Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.007 0.523 241.8 0.987 Spherical 0.953 5 agak rendah B-PF 0.0108 0.2336 56.7 0.954 Spherical 0.38 4 cukup rendah C-DS 0.0001 0.1552 50.9 0.999 Linear 0.96 4 cukup rendah D-DS 0.0003 0.0518 51.8 0.994 Spherical 0.188 5 agak rendah E-PF 0.0432 0.1784 60.6 0.758 Exponential 0.157 3 rendah Akhir A-PF 0.0286 0.2282 37.5 0.875 Spherical 0.191 4 cukup rendah B-PF 0.0001 0.2922 82.9 1 Spherical 0.853 5 agak rendah C-DS 0.20157 0.2016 152 0 Linear 0.092 5 agak rendah D-DS 0.025 0.151 42.9 0.834 Spherical 0.625 5 agak rendah E-PF 0.0514 0.2738 42.7 0.812 Spherical 0.358 4 cukup rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Bobot nira dalam gram periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 39 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial nilai Brix Par ameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.407 1.213 984.3 0.664 Exponential 0.72 4 cukup rendah B-PF 0.001 0.323 59 0.997 Spherical 0.493 4 cukup rendah C-DS 0.001 0.391 51 0.997 Linear 0.804 4 cukup rendah D-DS 0.277 1.055 42 0.737 Exponential 0.38 4 cukup rendah E-PF 0.142 0.745 69.9 0.809 Exponential 0.424 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.001 0.995 76.4 0.999 Spherical 0.775 4 cukup rendah B-PF 0.497 2.067 925.8 0.76 Exponential 0.519 6 sedang C-DS 0.001 0.684 51 0.999 Linear 0.925 4 cukup rendah D-DS 0.99853 0.9985 130.7 0 Linear 0.229 4 cukup rendah E-PF 0.126 0.737 45.8 0.829 Spherical 0.389 3 rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Brixdalam % periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan Tabel 40 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial kadar gula Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.483 2.681 1337.4 0.82 Exponential 0.647 5 agak rendah B-PF 0.059 0.494 186 0.881 Exponential 0.522 4 cukup rendah C-DS 0.193 1.56 344.7 0.876 Spherical 0.696 7 agak tinggi D-DS 1.42707 1.4271 130.7 0 Linear 0.289 4 cukup rendah E-PF 0.173 0.926 87.6 0.813 Exponential 0.569 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.063 0.917 73.3 0.931 Spherical 0.682 4 cukup rendah B-PF 1.2868 1.2868 171.3 0 Linear 0.048 4 cukup rendah C-DS 0.001 0.535 51 0.998 Linear 0.884 4 cukup rendah D-DS 1.317 1.317 130.7 0 Linear 0.065 4 cukup rendah E-PF 0.171 1.083 48.7 0.842 Spherical 0.476 3 rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Kadar gula dalam %Pol periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 41 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial nilai Purity Parameter semi-variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 3.59 22.84 1388.7 0.843 Exponential 0.607 6 sedang B-PF 1.118 8.046 341.6 0.853 Spherical 0.746 6 sedang C-DS 0.001 2.347 26.2 1 Spherical 0.001 5 agak rendah D-DS 18.1161 18.116 130.7 0 Linear 0.314 4 cukup rendah E-PF 0.173 0.926 87.6 0.813 Exponential 0.569 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.188 2.204 25.3 0.915 Spherical 0 4 cukup rendah B-PF 8.2167 8.2167 171.3 0 Linear 0.169 4 cukup rendah C-DS 1.80991 1.8099 152 0 Linear 0.554 4 cukup rendah D-DS 4.39 12.789 923.4 0.657 Exponential 0.487 7 agak tinggi E-PF 0.171 1.083 48.7 0.842 Spherical 0.476 6 sedang Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Purity dalam % periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan Tabel 42 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial rendemen tebu Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 0.0367 0.3484 37.3 0.895 Spherical 0.097 4 cukup rendah B-PF 0.0001 0.2492 76.2 1 Exponential 0.701 4 cukup rendah C-DS 0.089 0.484 993.3 0.816 Exponential 0.595 9 tinggi D-DS 0.63713 0.6371 130.7 0 Linear 0.311 3 rendah E-PF 0.0606 0.3242 93.6 0.813 Exponential 0.559 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.1049 0.4048 55.2 0.741 Exponential 0.248 4 cukup rendah B-PF 0.54007 0.5401 171.3 0 Linear 0.079 4 cukup rendah C-DS 0.0001 0.2572 50.9 1 Linear 0.925 4 cukup rendah D-DS 0.46479 0.4648 130.7 0 Linear 0.172 4 cukup rendah E-PF 0.505 1.258 1353.3 0.599 Exponential 0.754 5 agak rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Rendemen dalam % periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Tabel 43 Parameter semi-variogram dan klasifikasi keragaman spasial taksasi Parameter semi -variogram Klasifikasi keragaman spasial Periode pengamatan Plot percobaan Nugget Sill Effective Range (m) Nilai Q Bentuk R2 Kelas keragaman Tingkat keragaman Awal A-PF 20.7 90.03 288.3 0.77 Exponential 0.796 5 agak rendah B-PF 0.1 149.2 44.7 0.999 Spherical 0.51 3 rendah C-DS 22.94 134.84 152.01 0.83 Linear 0.565 5 agak rendah D-DS 43.99 43.99 130.7 0 Linear 0.072 4 cukup rendah E-PF 81.63 81.63 259 0 Linear 0.254 4 cukup rendah Akhir A-PF 0.1 105.4 84.9 0.999 Spherical 0.855 4 cukup rendah B-PF 6.7 70.13 45.6 0.904 Spherical 0.651 4 cukup rendah C-DS 0.1 83.8 51 0.999 Linear 0.763 4 cukup rendah D-DS 56.48 56.48 130.7 0 Linear 0.57 4 cukup rendah E-PF 105.63 108.98 259 0.031 Linear 0.017 4 cukup rendah Catatan: periode pengamatan awal pada umur tebu 6.5 bulan Taksasi dalam ton/ha periode pengamatan akhir pada umur tebu 9.5 bulan

Gambar 83 Semi-variogram kandungan N top soil (ppm) tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan pertama. Gambar 84 Semi-variogram kandungan N top soil (ppm) tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan kedua .

Gambar 85 Semi-variogram kandungan P top soil (ppm) tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan pertama. Gambar 86 Semi-variogram kandungan P top soil (ppm) tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan A-PF sebelum pemupukan kedua .

Gambar 87 Semi-variogram kandungan N top soil (ppm) tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan pertama. Gambar 88 Semi-variogram kandungan N top soil (ppm) tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan kedua.

Gambar 89 Semi-variogram kandungan P top soil (ppm) tebu umur 1 minggu pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan pertama. Gambar 90 Semi-variogram kandungan P top soil (ppm) tebu umur 3 bulan pada Plot Percobaan C-DS sebelum pemupukan kedua.

Gambar 91 Semi-variogram nilai Taksasi Awal (ton/ha) tebu umur 6.5 bulan pada Plot Percobaan A-PF. Gambar 92 Semi-variogram nilai Taksasi Akhir (ton/ha) tebu umur 9.5 bulan pada Plot Percobaan A-PF.

Gambar 93 Semi-variogram nilai Taksasi Awal (ton/ha) tebu umur 6.5 bulan pada Plot Percobaan C-DS. Gambar 94 Semi-variogram nilai Taksasi Akhir (ton/ha) tebu umur 9.5 bulan pada Plot Percobaan C-DS.

Peta Informasi Lahan Pembuatan peta informasi lahan yang merupakan gabungan (overlay) antara peta spasial parameter pengamatan dan hasil analisa dengan peta kontur teoritisnya (ideal) disajikan pada Lampiran 2 49. Lampiran 2 19 menunjukkan dosis pupuk yang diaplikasikan dengan diwakili warna dari setiap sel. Semakin gelap warna pada sel maka menunjukkan dosis pupuk yang diaplikasikan semakin besar Dari Lampiran 3 dapat secara cepat dan jelas diketahui bahwa sebagian besar Plot Percobaan A-PF ternyata tidak memerlukan aplikasi pupuk TSP. Penggabungan peta kontur memperjelas dan informasi yang diperlukan. Sebagai hasil keterangan yang serinci mungkin terhadap interval kontur yang ditentukan. Semakin teliti informasi yang dihasilkan. menambah ketelitian kriging, kontur mampu memberi setiap bagian lahan tergantung pada kecil interval kontur maka semakin

Lampiran 10 15 menunjukkan manfaat kontur sebagai pembanding perlakuan pemupukan dengan dosis seragam pada Plot Percobaan C-DS dan DDS sehingga dapat diketahui dosis sebenarnya yang diperlukan jika diterapkan pemupukan dengan pendekatan precision farming. Perbedaan kebutuhan pupuk per sel pada setiap plot percobaan antara pendekatan precision farming dan dosis seragam disajikan pada Gambar 87 101. Informasi dari gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa aplikasi pupuk dengan dosis seragam tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi (precision farming). Perbedaan jumlah kebutuhan pupuk setiap plot percobaan disajikan pada Gambar 101 106, yang dalam hal ini tidak dapat disimpulkan jumlah kebutuhan pupuk dengan konsep precision farming lebih banyak atau lebih sedikit dari pada dosis seragam. Hal ini disebabkan kebutuhan pupuk tergantung pada tingkat ketersediaan hara yang ada. Walaupun dengan pendekatan precision farming , tetapi kalau hara yang tersedia sedikit sementara yang dibutuhkan banyak maka tentunya pupuk yang ditambahkan akan banyak dan sebaliknya. Deviasi pupuk (kelebihan/kekurangan) setiap plot percobaan disajikan pada Gambar 107 116 dalam bentuk grafik dan Gambar 118 137 dalam bentuk peta spasial. Deviasi pupuk ditentukan berdasarkan selisih dosis antara

perhitungan dengan pendekatan precision farming dan dosis seragam. Dari Gambar 118 137 dapat diketahui bahwa semakin gelap warna pada sel maka semakin banyak kelebihan/kekurangan pupuk yang terjadi. Tingkat inefisiensi disajikan pada Gambar 117. Tingkat inefisiensi kurang dari 0 menunjukkan kekurangan penggunaan pupuk, sedangkan tingkat inefisiensi lebih dari 0 menunjukkan pemborosan penggunaan pupuk. Kekurangan pupuk di satu sisi menghemat biaya dan mengurangi dampak lingkungan tetapi di sisi lain berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tebu dan hasil yang diperoleh. Sementara pemborosan pupuk tidak menghemat biaya, menambah dampak lingkungan, serta berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tebu dan hasil yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF diterapkan penggunaan pupuk dengan dosis seragam maka terjadi pemborosan pupuk TSP. Pemborosan pupuk TSP pada Plot Percobaan E-PF menunjukkan tingkat berlebihan (86.96%), sedangkan Plot Percobaan A-PF dan B-PF sangat berlebihan (563.47% dan 692.37%). Sementara Plot Percobaan CDS yang memang menggunakan pupuk dengan dosis seragam menunjukkan pemborosan pupuk TSP dan KCL yang amat sangat berlebihan. Pemborosan juga terjadi pada penggunaan pupuk Urea untuk Plot Percobaan B-PF yang menunjukkan tingkat berlebihan jika diterapkan dosis seragam. Selain itu penggunaan pupuk KCl pada Plot Percobaan C-DS menunjukkan pemborosan pada tingkat amat sangat berlebihan.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 AA-1AA-3AA-5AA-7AA-9AA-11AA-13AA-15AA-17AA-19AA-21AA-23AA-25AA-27AA-29AA-31AA-33 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 AA-1AA-3AA-5AA-7AA-9AA-11AA-13AA-15AA-17AA-19AA-21AA-23AA-25AA-27AA-29AA-31AA-33 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 95 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan A-PF. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 BB-1BB-3BB-5BB-7BB-9BB-11BB-13BB-15BB-17BB-19BB-21BB-23BB-25BB-27BB-29BB-31 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan target produksi GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram

Gambar 96 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan B-PF.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 CC-1CC-2CC-3CC-4CC-5CC-6CC-7CC-8CC-9CC-10CC-11CC-12CC-13CC-14CC-15CC-16 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 CC-1CC-2CC-3CC-4CC-5CC-6CC-7CC-8CC-9CC-10CC-11CC-12CC-13CC-14CC-15CC-16 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 97 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan C -DS. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 DD-1DD-2DD-3DD-4DD-5DD-6DD-7DD-8DD-9DD-10DD-11DD-12DD-13DD-14DD-15 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan target produksi GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 98 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan D-DS.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Kebutuhan pupuk Urea/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 99 Perbedaan kebutuhan pupuk Urea pada Plot Percobaan E-PF. 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 AA-1AA-3AA-5AA-7AA-9AA-11AA-13AA-15AA-17AA-19AA-21AA-23AA-25AA-27AA-29AA-31AA-33 Kode sel Kebutuhan pupuk TSP/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 100 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan A-PF.

Kode sel Catatan : PF = precision farming dengan target produksi GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 101 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan B-PF. Kode sel Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 102 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan C-DS. 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 Kebutuhan pupuk TSP/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama BB-1 BB-3 BB-5 BB-7 BB-9 BB-11 BB-13 BB-15 BB-17 BB-19 BB-21 BB-23 BB-25 BB-27 BB-29 BB-31 0.00

5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 Kebutuhan pupuk TSP/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama CC-1 CC-2 CC-3 CC-4 CC-5 CC-6 CC-7 CC-8 CC-9 CC-10 CC-11 CC-12 CC-13 CC-14 CC-15 CC-16

Kebutuhan pupuk TSP/sel (kg) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama DD-1 DD-2 DD-3 DD-4 DD-5 DD-6 DD-7 DD-8 DD-9DD-10DD-11DD-12DD-13DD-14DD-15 Kode sel Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 103 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan D-DS. 0.00 10.00 20.00 30.00

40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Kebutuhan pupuk TSP/sel (kg) PF Pupuk Pertama GPM Pupuk Pertama Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 104 Perbedaan kebutuhan pupuk TSP pada Plot Percobaan E-PF.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 AA-1AA-3AA-5AA-7AA-9AA-11AA-13AA-15AA-17AA-19AA-21AA-23AA-25AA-27AA-29AA-31AA-33 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 AA-1AA-3AA-5AA-7AA-9AA-11AA-13AA-15AA-17AA-19AA-21AA-23AA-25AA-27AA-29AA-31AA-33 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 105 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan A-PF. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 BB-1BB-3BB-5BB-7BB-9BB-11BB-13BB-15BB-17BB-19BB-21BB-23BB-25BB-27BB-29BB-31 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan target produksi GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 106 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan B-PF.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 CC-1CC-2CC-3CC-4CC-5CC-6CC-7CC-8CC-9CC-10CC-11CC-12CC-13CC-14CC-15CC-16 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 CC-1CC-2CC-3CC-4CC-5CC-6CC-7CC-8CC-9CC-10CC-11CC-12CC-13CC-14CC-15CC-16 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 107 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan C-DS. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua DD-1 DD-2 DD-3 DD-4 DD-5 DD-6 DD-7 DD-8 DD-9DD-10DD-11DD-12DD-13DD-14DD-15

Kode sel Catatan : PF = precision f arming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 108 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan D-DS.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Kebutuhan pupuk KCl/sel (kg) PF Pupuk Kedua GPM Pupuk Kedua Catatan : PF = precision farming dengan rekomendasi pustaka GPM = dosis seragam dari PT Gula Putih Mataram Gambar 109 Perbedaan kebutuhan pupuk KCl pada Plot Percobaan E-PF. Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan A 2307.88 2241.85 135.16 896.74 2636.72 1718.75 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Urea TSP KCl

Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Gambar 110 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan A-PF.

Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan B 1416.47 109.74 869.57 1977.90 1666.67 2173.91 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Urea TSP KCl Jumlah pupuk (kg) Jenis pupuk Gambar 111 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan B-PF. Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan C 1086.96 0.00 434.78 0.00 833.33 1270.35 0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming

Dosis Seragam Urea TSP KCl Jumlah pupuk (kg) Jenis pupuk Gambar 112 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan C-DS.

Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan D 1964.01 1630.43 740.17 652.17 1929.49 1250.00 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Urea TSP KCl Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan D 1964.01 1630.43 740.17 652.17 1929.49 1250.00 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Urea TSP KCl Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Gambar 113 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan D-DS. Perbedaan Kebutuhan Pupuk Plot Percobaan E

5648.74 4891.30 1046.50 1956.52 5995.58 3750.00 0.00 1000.00 2000.00 3000.00 4000.00 5000.00 6000.00 7000.00 Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Precision Farming Dosis Seragam Urea TSP KCl Jumlah pupuk (kg) Jenis pupuk Gambar 114 Perbedaan kebutuhan pupuk antara precision farming dan dosis seragam pada Plot Percobaan E-PF.

Gambar 115 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan A-PF. Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan A -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 AA-1 AA-3 AA-5 AA-7 AA-9 AA11 AA13 AA15 AA17 AA19 AA21 AA23 AA25 AA27 AA29 AA31 AA33 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan A -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 AA-1 AA-3 AA-5 AA-7 AA-9 AA11 AA13 AA15 AA17 AA19 AA21 AA23 AA25 AA27 AA29 AA31 AA33 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk Plot Percobaan A 761.58

-917.97 -1727.20 1661.17 -2000.00 -1500.00 -1000.00 -500.00 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Gambar 116 Deviasi pupuk Plot Percobaan A-PF.

Gambar 117 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan B-PF. Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan B -20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 BB-1 BB-3 BB-5 BB-7 BB-9 BB11 BB13 BB15 BB17 BB19 BB21 BB23 BB25 BB27 BB29 BB31 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan B -20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 BB-1 BB-3 BB-5 BB-7 BB-9 BB11 BB13 BB15 BB17 BB19 BB21 BB23 BB25 BB27 BB29 BB31 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk Plot Percobaan B 791.02 759.82 -311.23 131.52 -400.00 -200.00

0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Gambar 118 Deviasi pupuk Plot Percobaan B-PF.

Gambar 119 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan C-DS. Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan C -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 CC-1 CC-2 CC-3 CC-4 CC-5 CC-6 CC-7 CC-8 CC-9 CC10 CC11 CC12 CC13 CC14 CC15 CC16 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan C -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 CC-1 CC-2 CC-3 CC-4 CC-5 CC-6 CC-7 CC-8 CC-9 CC10 CC11 CC12 CC13 CC14 CC15 CC16 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk Plot Percobaan C 748.75 -932.15 434.78 833.33 -1200.00 -1000.00 -800.00 -600.00 -400.00 -200.00 0.00

200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Jenis pupuk Jumlah pupuk (kg) Gambar 120 Deviasi pupuk Plot Percobaan C-DS.

Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan D -120.0 -100.0 -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 DD-1 DD-2 DD-3 DD-4 DD-5 DD-6 DD-7 DD-8 DD-9 DD10 DD11 DD12 DD13 DD14 DD15 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan D -120.0 -100.0 -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 DD-1 DD-2 DD-3 DD-4 DD-5 DD-6 DD-7 DD-8 DD-9 DD10 DD11 DD12 DD13 DD14 DD15 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Gambar 121 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan D-DS. Deviasi Pupuk Plot Percobaan D Jumlah pupuk (kg) 1500.00 1000.00

500.00 0.00 -500.00 -1000.00 -1500.00 929.15 -679.49 -87.99 -1262.73 Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Jenis pupuk Gambar 122 Deviasi pupuk Plot Percobaan D-DS.

Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan E -120.0 -100.0 -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Deviasi Pupuk per sel Plot Percobaan E -120.0 -100.0 -80.0 -60.0 -40.0 -20.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 EE-1EE-3EE-5EE-7EE-9EE-11EE-13EE-15EE-17EE-19EE-21EE-23EE-25EE-27EE-29EE-31EE-33 EE-35EE-37EE-39EE-41EE-43EE-45 Kode sel Jumlah pupuk (kg) Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Gambar 123 Deviasi pupuk per sel Plot Percobaan E-PF. Deviasi Pupuk Plot Percobaan E 4000.00 3000.00 2000.00 1000.00 0.00 -1000.00 -2000.00 -3000.00 -4000.00 -5000.00

3108.07 -3865.50 910.02 -2245.58 Urea Pertama Urea Kedua TSP KCl Jenis pupuk Gambar 124 Deviasi pupuk Plot Percobaan E-PF. Jumlah pupuk (kg)

300 Tabel 44 Perbedaan kebutuhan pupuk dan tingkat inefisiensi pemupukan Plot Percobaan A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Urea Precision Farming 2307.88 1416.47 1270.35 1964.01 5648.74 Dosis Seragam 2241.85 2173.91 1086.96 1630.43 4891.30 Jumlah Precision Farming 135.16 109.74 0.00 740.17 1046.50 TSP pupuk Dosis Seragam 896.74 869.57 434.78 652.17 1956.52 (kg) KCl Precision Farming Dosis Se ragam 2636.72 1718.75 1977.90 1666.67 0.00 833.33 1929.49 1250.00 5995.58 3750.00 Inefisiensi (%) Urea TSP KCl -2.86 563.47 -34.81 53.47 692.37 -15.74 -14.44 berlebihan berlebihan -16.98 -11.89 -35.22 -13.41 86.96 -37.45 Inefisiensi (%) Tingkat Inefisiensi Pemupukan 800.00 700.00

600.00 500.00 400.00 563.47 692.37 86.96 -16.98-14.44 -13.41 53.47 -2.86 -11.89-15.74 -35.22 -37.45-34.81 Urea TSP 300.00 KCl 200.00 100.00 0.00 -100.00 ABCD E Plot Percobaan Gambar 125 Tingkat inefisiensi pemupukan setiap plot percobaan.

44.3 42.0 49.0 46.7 49.060.9 53.8 44.3 58.5 49.0 44.3 53.8 51.4 51.4 49.0 46.7 44.3 49.0 53.8 51.4 49.0 58.5 53.8 42.0 56.1 44.3 46.7 51.4 51.4 56.1 49.0 49.0 60.9 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters U batas sel Keterangan : jumlah kelebihanpupuk Urea pada setiapsel (dalamkg) ____ 44.3 PETA SPASIAL 44.3 42.0 49.0 46.7 49.060.9 53.8

44.3 58.5 49.0 44.3 53.8 51.4 51.4 49.0 46.7 44.3 49.0 53.8 51.4 49.0 58.5 53.8 42.0 56.1 44.3 46.7 51.4 51.4 56.1 49.0 49.0 60.9 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters U batas sel Keterangan : jumlah kelebihanpupuk Urea pada setiapsel (dalamkg) ____ 44.3 PETA SPASIAL Gambar 126 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan A-PF. 9.0 3.4 4.4 6.7 3.3 27.2 27.2 27. 2 27. 2

27.2 27.2 27. 2 27. 2 27.2 27.2 27.2 27.2 27. 2 27. 2 27.2 27.2 27.2 27. 2 27.2 27.2 27. 2 27.2 27. 2 13.8 27.2 14.5 27.2 27.2 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters KELEBI HAN PUPUK TSP Plot Percobaa nA U batas sel Keterangan: jumlahkelebihan pupukTSP pada setiap sel (dalam kg) ____ 3.3 PETA SPASIAL Gambar 127 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan A-PF.

51.1 52.254.0 53.8 60. 1 -47.4 49.1 -46.7 57.1 54.6 54.6 49.1 -44.3 52.2 54.6 60.5 60.1 55.4 -47.2 52.1 56.6 50.8 -47.0 54.0 53.9 48.8 52.4 53.2 56.6 -42.3 55.1 49.6 50.6 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters U batas sel Keterangan: jumlahkekurangan pupuk Urea pada setiap sel (da lam kg) ____ PETA SPASIAL -42.3 51.1 52.254.0 53.8 60. 1 -47.4 49.1

-46.7 57.1 54.6 54.6 49.1 -44.3 52.2 54.6 60.5 60.1 55.4 -47.2 52.1 56.6 50.8 -47.0 54.0 53.9 48.8 52.4 53.2 56.6 -42.3 55.1 49.6 50.6 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters U batas sel Keterangan: jumlahkekurangan pupuk Urea pada setiap sel (da lam kg) ____ PETA SPASIAL -42.3 Gambar 128 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan A-PF. -24.2 27.1 27.2 29.5 -24. 430.4 27.6 -24.9 31.6 29.3

26.0 28.4 32.3 26.1 -24. 1 27.3 30.6 26. 3 25.7 26.6 -24.9 29.9 25.8 29.2 27.5 32. 5 28. 6 30. 2 25. 8 25. 4 26. 3 31. 8 30.4 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Meters KEKURANGAN PUPUK KCl Plot Percoba an A U batas sel Keterangan : jumlah kekur angan pupukKCl pada setiap sel (da lam kg) ____ PETA SPASIAL -24.1 Gambar 129 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan A-PF.

26. 6 21.9 29.0 21.9 26.6 29.0 33.7 24.2 21.9 21.9 26.6 38.4 19.5 26.6 31.3 31.3 21.9 12.0 21.3 23.6 18.9 31.3 29.0 24.2 23.6 19.5 21. 9 24.2 19.5 26.6 21.3 21.9 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Met ers P l ot P erco ba a n B batas petak dan sel jumlah kelebihan pupuk Urea pada setiap sel (dalam kg) yang tidak diamati batas sel yangdiamati____ Keterangan : U PETA SP AS IAL 12.0 26. 6

21.9 29.0 21.9 26.6 29.0 33.7 24.2 21.9 21.9 26.6 38.4 19.5 26.6 31.3 31.3 21.9 12.0 21.3 23.6 18.9 31.3 29.0 24.2 23.6 19.5 21. 9 24.2 19.5 26.6 21.3 21.9 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Met ers P l ot P erco ba a n B batas petak dan sel jumlah kelebihan pupuk Urea pada setiap sel (dalam kg) yang tidak diamati batas sel yangdiamati____ Keterangan : U PETA SP AS IAL 12.0 Gambar 130 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan B-PF.

3.8 20.6 27.2 27.2 13.6 15.9 27.2 27.2 27.2 27.2 15.9 27.2 27.2 27.2 27.2 10.9 19.3 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 10.7 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 24.2 27.2 27.2 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Meters KELEBIHAN PUPUKTSP Plot Percobaan B batas petak dan sel jumlah kelebihan pupuk TSP pada seti ap sel (dalam kg) yang t idak diamati batas sel yang diamati____ Ket erangan : U PETA SPASIAL 3.8 Gambar 131 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan pertama

Plot Percobaan B-PF.

5.2 3.1 3.5 2.7 2.1 4.3 3.8 5.0 1.8 3.2 7.7 7.4 4.4 2.9 3.0 6.2 0.9 6.8 8.5 -0.3 8.0 -0.4 3. 1 -1. 3 2.6 10.1 17.2 22.8 16.2 10.9 12.0 11. 1 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Meters KELEBIHAN / KEKURANGAN PUPUK UREAKEDUA Plot Percobaan B batas pet ak dan sel jum lah kekurangan pupuk Urea pada seti ap sel (dalam kg) yang tidak diamati batas sel yang diamati____ Keterangan : U

PETA SPASIAL jum lah kelebihan pupuk Urea pada seti ap sel (dalam kg) -0.3 0.9 5.2 3.1 3.5 2.7 2.1 4.3 3.8 5.0 1.8 3.2 7.7 7.4 4.4 2.9 3.0 6.2 0.9 6.8 8.5 -0.3 8.0 -0.4 3. 1 -1. 3 2.6 10.1 17.2 22.8 16.2 10.9 12.0 11. 1 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Meters KELEBIHAN / KEKURANGAN PUPUK UREAKEDUA Plot Percobaan B batas pet ak dan sel jum lah kekurangan pupuk Urea pada seti ap sel (dalam kg)

yang tidak diamati batas sel yang diamati____ Keterangan : U PETA SPASIAL jum lah kelebihan pupuk Urea pada seti ap sel (dalam kg) -0.3 0.9 Gambar 132 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan B-PF. 0.8 0.2 9.8 8.0 7. 6 8.2 -4.4 8. 9 -5. 3 -6.3 7. 2 -6.2 -6.3 9.7 -0.3 8.5 13. 4 16. 8 14.5 14. 7 11.6 13. 3 13. 1 15.7 11.6 16.4 14.6 13.9 11.8 11.1 12.2 11.1 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250

25 0 25 50 75 Meters KELEBIHAN / KEKURANGAN PUPUKKCl Plot Percobaan B b atas pet ak dan sel jum lah kekurangan pupuk KCl p ada seti ap sel (dalam kg) yang tidak diamati b atas sel yang diamati___ _ Keterangan : U PETA SPASIAL jum lah kelebihan pupuk KCl p ada seti ap sel (dalam kg) -0.3 0.2 Gambar 133 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan B-PF.

51.4 55.4 50.8 48.4 53.8 46.1 37.2 43.8 46.1 43.8 46.7 46.7 46.1 44.3 43.8 44.3 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : batas petak dansel yangtidak diamati batas se lyangdiamati____ jumlah kelebihan pupuk Urea pada setiap sel (dalamkg) 25 0 25 Meters U PETA SPASIAL 37.2 51.4 55.4 50.8 48.4 53.8 46.1 37.2 43.8 46.1 43.8 46.7 46.7 46.1 44.3 43.8 44.3 0 0 50

50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : batas petak dansel yangtidak diamati batas se lyangdiamati____ jumlah kelebihan pupuk Urea pada setiap sel (dalamkg) 25 0 25 Meters U PETA SPASIAL 37.2 Gambar 134 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan C-DS. 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 27.2 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Ketera ngan : batas petak dansel yang tidak diama ti batas selyang diama ti____ jumlah kelebihanpupuk TSP pada setiap sel (dalamkg)

25 0 25 Meters U KELEBIHAN PUPUK TSP Pl ot PercobaanC PETASPASIAL 27.2 Gambar 135 Peta spasial kelebihan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan C-DS.

-51.7 60.8 58.2 58.9 -53.6 58.8 -50.3 56.2 60.3 63.8 61.1 -51.3 -53.7 67.5 62.0 63.9 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan: batas petak dan sel yangtidak diamati batas sel yangdiamati____ jumlahkekuranganpupukUrea pada setiapsel (dalamkg) 25 0 25 Meters U PETA SPASIAL -50.3 -51.7 60.8 58.2 58.9 -53.6 58.8 -50.3 56.2 60.3 63.8 61.1 -51.3 -53.7 67.5 62.0 63.9 0 0 50

50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan: batas petak dan sel yangtidak diamati batas sel yangdiamati____ jumlahkekuranganpupukUrea pada setiapsel (dalamkg) 25 0 25 Meters U PETA SPASIAL -50.3 Gambar 136 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupuka n kedua Plot Percobaan C-DS. 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 52.1 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : bataspetakdan sel yangtidakdiamati batassel yangdiama ti____ jumlah kelebihanpupukKCl pada setiap sel (dalam kg)

25 0 25 Meters U KELEBI HAN PUPUK KCl Plot Percobaan C PETA SPASIAL 52.1 Gambar 137 Peta spasial kelebihan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan C -DS.

U bata s se l Ke t erangan : ____ juml ah kelebi hanpupuk ure a pada set iap sel (da la m kg) 55.2 626 66.3 62.6 58.9 709 58.9 701 55.2 55.2 55.2 58.9 663 58.9 738 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 0 25 50 75 100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL 55.2 U bata s se l Ke t erangan : ____ juml ah kelebi hanpupuk ure a pada set iap sel (da la m kg) 55.2 626 66.3 62.6 58.9 709 58.9 701 55.2 55.2 55.2 58.9 663 58.9 738 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 0 25 50 75 100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL 55.2 Gambar 138 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan D-DS.

KELEBIHAN / KEKURANGAN PUPUK TSP Plot Percobaan D U bata s se l Ke t erangan : ____ -1.2 -7.2 -2.5 43. 5 15.7 43.5 12.3 14.1 258 308 -385 -44 1 242 -28 1 144 0 0 25 25 50 50 75 75 100 100 125 125 150 150 175 175 200 200 225 225 250 250 0 0 25 25 50 50 75 75 1 00 100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL juml ah kelebi hanpupuk tsp pada set iap sel (da la m kg) -7. 2 12.3 juml ah kekurangan pupuk ts p pada set iap sel (da la m kg) Gambar 139 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan D-DS.

U bat as se l Ket erangan : ____ jum lah kekuranga npupuk Ure a pada set i apse l (da lam kg) -78.2 866 -83.6 93 4 -80.3 -61.1 -83.1 926 -85.6 89 9 887 -83.2 91 9 918 -72.7 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 25 50 75 100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL -61.1 U bat as se l Ket erangan : ____ jum lah kekuranga npupuk Ure a pada set i apse l (da lam kg) -78.2 866 -83.6 93 4 -80.3 -61.1 -83.1 926 -85.6 89 9 887 -83.2 91 9 918 -72.7 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 25 50 75 100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL -61.1 Gambar 140 Peta spasial kekurangan Plot Percobaan D-DS. KEKURAN GAN PUPUKKCl Plot Percobaan D

250 250

250 250

pupuk Urea pada pemupukan kedua

U bat as se l Ket erangan : ____ 484 454 439 45 5 -42.2 -37.7 444 457 471 45 1 -41.1 473 -43.1 523 50 6 0 0 25 25 50 50 75 75 100 100 125 125 150 150 175 175 200 200 225 225 250 250 0 0 25 25 50 50 75 75 00100 25 0 25 50 Meters PETA SPASIAL jum lah kekuranga npupuk KCl pada set i apse l (da lam kg) -37.7 1 Gambar 141 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan D-DS.

U batas sel Keterangan : jumlah kelebihan pupuk Ure a pada setiap sel (da lam kg) ____ 50 0 50 Meters 70.1 74.781.2 70.1 70.1 74.7 62.6 62.6 63.3 70.9 70.1 70.9 81.2 74.7 70.9 70.9 70.9 67.1 62.6 62.6 70.9 58.9 70.1 78.5 62.6 70.1 67.1 70.1 55.2 67.1 70.9 81.2 63.3 67.1 70.9 66.3 73.8 74.7 67.1 66.3 66.3 62.6 67.1 67.1 70.1 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250

150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL 58.9 U batas sel Keterangan : jumlah kelebihan pupuk Ure a pada setiap sel (da lam kg) ____ 50 0 50 Meters 70.1 74.781.2 70.1 70.1 74.7 62.6 62.6 63.3 70.9 70.1 70.9 81.2 74.7 70.9 70.9 70.9 67.1 62.6 62.6 70.9 58.9 70.1 78.5 62.6 70.1 67.1 70.1 55.2 67.1 70.9 81.2 63.3 67.1 70.9 66.3 73.8 74.7 67.1 66.3 66.3 62.6 67.1 67.1 70.1 0 0 50 50

100 100 150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL 58.9 Gambar 142 Peta spasial kelebihan pupuk Urea pada pemupukan pertama Plot Percobaan E-PF. KELEBIHAN / KEKURANGAN PUPUK TSP Plot Percobaan E U batassel Ketera ngan: jumlah kekurangan pupuk TSP padasetiapsel (dalam kg) ____ 50 0 50 Meters 1.3 6.6 0.7 1.6 43 .5 43. 5 43.5 -9.3 43 .5 42. 512.2 43 .5 22 .4 32.5 43. 5 43. 5 43.5 20.0 12 .2 14 .4 30 .2 43 .5 17.2 17. 3 29. 2 43.5 43.5 43.5 43.5 10 .2 21 .6 34. 6 11.3 28.5 41 .2 43 .5 43. 5 43.5

-2 5.8 -19 .1 -22.2 -24.5 39 .5 -13 .5 39.5 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL jumlah kelebihanpupuk TSP padasetiapsel (dalam kg) -9.3 0.7 Gambar 143 Peta spasial kelebihan/kekurangan pupuk TSP pada pemupukan pertama Plot Percobaan E-PF.

U batas sel Ke terangan : jumlahkekuranganpupukUrea pada setiap sel (da lam kg) ____ 50 0 50 Meters -7 7.6 -86.5-70.2 9 3.7 9 3.3 -85.5 -89.3 -88.5 -47.2 9 1.4 9 1.5 -7 6.8 -88 .2 95.5 -89.2 -66.9 -67.5 94.3 -8 5.6 -8 9.2 -8 6.3 -7 1.2 92.1 92.3 93.5 -85.3 92.5 -80.1 91.9 -87.7 -81.9 -80.3 -86.6 -8 8.8 -7 7.2 98.8 97.4 -87.6 -78.7 9 1.6 -8 7.8 -87.0 -81.0 100.0 1 00.2 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 150

200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL -47.2 U batas sel Ke terangan : jumlahkekuranganpupukUrea pada setiap sel (da lam kg) ____ 50 0 50 Meters -7 7.6 -86.5-70.2 9 3.7 9 3.3 -85.5 -89.3 -88.5 -47.2 9 1.4 9 1.5 -7 6.8 -88 .2 95.5 -89.2 -66.9 -67.5 94.3 -8 5.6 -8 9.2 -8 6.3 -7 1.2 92.1 92.3 93.5 -85.3 92.5 -80.1 91.9 -87.7 -81.9 -80.3 -86.6 -8 8.8 -7 7.2 98.8 97.4 -87.6 -78.7 9 1.6 -8 7.8 -87.0 -81.0 100.0 1 00.2 0 0 50 50 100 100

150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL -47.2 Gambar 144 Peta spasial kekurangan pupuk Urea pada pemupukan kedua Plot Percobaan E-PF. KEKURANGAN PUPUK KCl Plot Percobaan E U batas sel Keterangan : jumlahkekuranganpupuk KCl pada setiap sel (da lam kg) ____ 50 0 50 Meters -36.4 42.343.4 -30.6 -49.5 54.0 53.9 52.9 48.8 52.8 56.9 54.0 55 .2 53.1 -49.6 59.5 56.0 54.2 49.5 50.5 49.5 47.9 46.7 52.5 45.9 54.7 47.4 55.6 56.0 46.8 51.6 49.8 50.0 40.1 49.5

42.7 57.1 56.4 52.2 45.2 44.2 44.4 -56.1 48.951.0 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 PETA SPASIAL -30.6 Gambar 145 Peta spasial kekurangan pupuk KCl pada pemupukan kedua Plot Percobaan E-PF.

Sistem Pendukung Keputusan Sistem Pendukung Keputusan untuk Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu telah dibangun dengan nama STRAFERT-PF. Program komputer tersebut dibuat dalam bahasa Delphi 7.0. Tampilan STRAFERT-PF disajikan pada Gambar 146 160. STRAFERT-PF menggunakan empat software untuk mendukung operasionalnya, yaitu (1) Backpro2N dari Rudiyanto dan Budi Indra Setiawan, (2) GS+ for Windows dari Gamma Design Software, (3) Surfer 8 dari Golden Software, dan (4) ArcView 3.3 dari Environmental Systems Research Institute. Backpro2N digunakan untuk mendapatkan bobot hubungan antara (1) jumlah hara N dan P yang dibutuhkan oleh tanaman tebu pada pemupukan pertama dengan hasil tebu dan kadar gula, (2) jumlah hara N dan K yang dibutuhkan oleh tanaman tebu pada pemupukan kedua dengan hasil tebu dan kadar gula. Data yang digunakan untuk training disajikan pada Tabel 13 Bab III. Jumlah data yang diperoleh hanya 11 pasang sehingga tidak tersedia data untuk test. Hasil traning menunjukkan akurasi yang baik yaitu R2=0.9253 untuk N pemupukan pertama, R2=0.8836 untuk P pemupukan pertama, R2=0.880 untuk N pemupukan kedua, dan R2=0.92 untuk K pemupukan kedua. Keterangan selengkapnya untuk akurasi tersebut disajikan pada Lampiran 1. Ketersediaan data yang banyak dan berkualitas sangat diperlukan untuk mendapatkan bobot hubungan yang lebih akurat. Data yang berkualitas berkaitan dengan pemupukan adalah bahwa data hasil tebu dan kadar gula diperoleh dari kegiatan budidaya seperti pemupukan, irigasi, pengendalian gulma, hama, dan penyakit yang baik. Pemupukan yang baik selain tepat jumlah dan tempat juga harus tepat mutu, waktu, dan jenis, Pada menu utama STRAFERT-PF, software Backpro2N terdapat pada ikon Neural Network (Gambar 147) sedangkan tampilannya disajikan pada Gambar 149. Bobot yang diperoleh dari software tersebut digunakan untuk menentukan jumlah hara yang dibutuhkan tanaman tebu sehingga dapat dilakukan penentuan dosis pupuk pada menu Model Pemupukan (Gambar 150). GS+ for Windows digunakan untuk analisa keragaman spasial beberapa parameter seperti kandungan hara tanah N, P, K; kandungan hara daun N, P, K;

jumlah anakan tebu, jumlah daun, tinggi tebu, diameter tebu, persentase gap, kadar air tanah, jumlah tebu roboh, bobot biomassa tebu, persentase penutupan gulma, bobot tebu, bobot nira, nilai Brix, nilai Pol, nilai Purity , rendemen, d an taksasi tebu.. Hasil dari software tersebut adalah parameter semi-variogram seperti sill, nugget effect, range , tingkat struktur spasial (Q), dan bentuk se mivariogram. Pada menu utama STRAFERT-PF, software, GS+ for Windows terdapat pada ikon Model Geostatistika (Gambar 147) sedangkan tampilannya disajikan pada Gambar 154 156. Surfer 8 digunakan untuk membuat peta kontur parameter-parameter seperti tersebut di atas. Pada menu utama STRAFERT-PF, software, Surfer 8 terdapat pada ikon Model Geostatistika (Gambar 147) sedangkan tampilannya disajikan pada Gambar 157. Model Geostatistika sebenarnya dapat digabung dalam satu software. Tetapi karena software yang ada, seperti Surfer 8, tidak menghasilkan tampilan semi-variogram yang memadai, sementara GS+ for Windows yang digunakan adalah versi demo sehingga tidak dapat digunakan untuk membuat peta kontur maka model menggunakan dua software yaitu GS+ for Windows untuk analisa keragaman spasial dan Surfer 8 untuk pembuatan kontur. ArcView 3.3 digunakan untuk membuat peta spasial parameter-parameter seperti tersebut di atas dan melakukan penggabungan (overlay) peta tersebut dengan peta kontur hasil Surfer 8. Pada menu utama STRAFERT-PF, software, ArcView 3.3 terdapat pada ikon Model Spasial (Gambar 147) sedangkan tampilannya disajikan pada Gambar 158. Peta dari lahan yang menjadi cakupan penelitian ini dan keperluan selanjutnya didigitasi dengan ArcView 3.3 dan parameter-parameter pengamatan yang dimasukkan sebagai atribut peta tersebut menjadi basis data bagi Model Spasial dan model-model yang lain. Model Hasil Tebu (Gambar 140) memerlukan basis data yang meliputi indeks populasi, tinggi batang normal, bobot batang normal/10 cm, indeks tinggi batang, dan tinggi panen dari setiap varietas tebu pada beberapa periode umur tebu. Dengan memasukkan data populasi dan tinggi tebu pada model ini maka dapat diketahui taksasi. Data tersebut dapat berasal dari basis data yang terdap at pada Model Spasial atau memasukkan data baru. Hasil dari model ini dapat menjadi data training pada Backpro2N untuk keperluan penerapan precision

farming siklus berikutnya. Hasil tersebut tersimpan dalam basis data pada Model Spasial yang dapat digunakan untuk perhitungan pada model-model lain. Model Pemupukan pada menu utama STRAFERT-PF (Gambar 147) memungkinkan dilakukannya penentuan dosis pupuk (Gambar 150-153). Data yang diperlukan dapat berasal dari basis data yang terdapat pada Model Spasial atau memasukkan data baru. Penentuan dosis pupuk berdasarkan target produktivitas (Gambar 150 dan 151) memerlukan Estimasi ANN terlebih dahulu yang sebelumnya sudah diperoleh bobot dari Neural Network sehingga dapat diketahui jumlah hara N dan P yang dibutuhkan pada pemupukan pertama maupun jumlah hara N dan K yang dibutuhkan pada pemupukan kedua. Simulasi dapat dilakukan dengan merubah-rubah input target produktivitas dan kadar gula yang dikehendaki. Sedangkan pada penentuan dosis pupuk berdasarkan rekomendasi pustaka (Gambar 152 dan 153) dperlukan kejelian memilih rekomendasi pustaka yang dapat dihandalkan. Model Pemupukan menghasilkan dosis pupuk dan jumlah pupuk yang dibutuhkan yang kemudian tersimpan dalam basis data pada Model Spasial yang dapat digunakan untuk perhitungan pada model-model lain. Model Biaya (Gambar 159) memungkinkan dilakukannya perhitungan biaya pemupukan, biaya produksi gula, manf aat dari hasil gula, keuntungan yang diperoleh, dan B/C ratio. Basis data yang diperlukan meliputi jumlah pupuk yang digunakan, rendemen, dan taksasi yang dihasilkan. Basis data tersebut terdapat pada Model Spasial. Simulasi dapat dilakukan dengan merubah-rubah input harga-harga analisa sampel, pupuk, gula, upah pengambilan sampel, dan biaya produksi gula selain pemupukan. Dari Model Biaya dapat diketahui apakah penerapan precision farming yang dilakukan menguntungkan atau merugikan. STRAFERT-PF dilengkapi fasilitas Help (Gambar 160) untuk memudahkan pengoperasiannya. Selain itu juga memungkinkan dilakukan perubahan dan pengembangan untuk penyempurnaan hasil yang diperoleh maupun penyesuaian kebutuhan yang diharapkan.

Gambar 146 Tampilan awal SPK Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu.

Gambar 147 Tampilan menu utama SPK Pendekatan Precision Farming dalam Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu. Gambar 148 Tampilan menu Model Hasil Tebu.

Gambar 149 Tampilan menu program Artificial Neural Network (ANN). Gambar 150 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk pertama dengan target produktivitas melalui ANN.

Gambar 151 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk kedua dengan target produktivitas melalui ANN. Gambar 152 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk pertama dengan rekomendasi pustaka.

Gambar 153 Tampilan menu Model Pemupukan untuk pupuk kedua dengan rekomendasi pustaka. Gambar 154 Tampilan menu Model Geostatistika.

Gambar 155 Tampilan analisa keragaman spasial dengan GS+ for Windows. Gambar 156 Tampilan contoh keluaran analisa keragaman spasial. Gambar 157 Tampilan pembuatan kontur dengan Surfer 8.

Gambar 158 Tampilan menu Model Spasial dengan ArcView 3.3. Gambar 159 Tampilan menu Model Biaya.

Gambar 160 Tampilan menu Help.

Analisa Pertumbuhan Vegetatif Analisa pertumbuhan vegetatif menggunakan nilai rata -rata per plot percobaan dari setiap parameter pengamatan. Pertumbuhan ketersediaan hara yang disajikan pada Gambar 161 166 menunjukkan bahwa pemupukan dengan pendekatan precision farming dapat mengendalikan ketersediaan hara yang lebih baik dibanding pemupukan dengan dosis seragam. Plot Percobaan C-DS dan DDS pada pemupukan dasar menurut pendekatan precision farming tidak memerlukan pupuk TSP, tetapi karena plot tersebut pada penelitian ini memakai dosis seragam maka seperti ditunjukkan pada Gambat 162, ketersediaan hara P tetap tinggi. Sementara itu ketersediaan hara P pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF lebih rendah. Pertumbuhan jumlah anakan menunjukkan bahwa pendekatan precision farming dapat menjaga jumlah anakan tetap lebih banyak dibanding pendekatan dosis seragam (Gambar 167). Secara umum pertumbuhan jumlah anakan menunjukkan meningkat sampai umur 3.5 bulan kemudian mengalami penurunan. Hal ini juga terjadi pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS kecuali Plot Percobaan D-DS dan E-PF yang menunjukkan penyimpangan. Penyimpangan ini disebabkan keterlambatan pemupukan pertama yang lebih lama dialami Plot Percobaan D-DS dan E-PF. Pertumbuhan jumlah daun juga menunjukkan bahwa pendekatan precision faming berpengaruh (Gambar 168 dan 169). Pada pemupukan pertama, jumlah pupuk Urea yang diberikan pada Plot Percobaan C-DS lebih banyak dari perhitungan dosis menurut pendekatan precision farming. Ketersediaan hara N yang banyak menyebabkan daun lebih lebat dan gelap. Pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman tebu dengan pendekatan precision farming juga lebih baik dari pendekatan dosis seragam (Gambar 170 dan 171). Ketersediaan hara yang lebih baik dapat menjamin pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman yang lebih baik. Di samping itu gap yang terjadi menjadi lebih kecil (Gambar 172) dan tebu yang roboh lebih sedikit (Gambar 173). Gambar 174 menunjukkan penutupan gulma pada Plot Percobaan D-DS dan E-PF sangat besar. Hal ini karena pemeliharaan tanaman yang kurang dibanding Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan CDS. Banyaknya gulma

menimbulkan masalah persaingan perebutan hara sehingga berpenga ruh pada pertumbuhan tebu (Gambar 175). Beberapa faktor pada penelitian ini seperti keterlambatan pemupukan, ketelitian pemupukan yang masih kurang baik dengan fertilizer maupun tenaga manusia, irigasi yang tidak memadai, pemeliharaan tanaman yang kurang, pemberantasan hama dan penyakit yang relatif tidak ada menyebabkan target produksi tidak tercapai (Gambar 176 178). Pada pendekatan precison farming dengan target produksi, diharapkan dapat dicapai produktivitas 110 ton tebu/ha dan nilai Pol 20. Sedangkan pada pendekatan precision farming dengan rekomendasi pustaka diharapkan produktivitas 100 ton tebu/ha. Uji beda nyata produktivitas dan kadar gula terhadap target yang ditentukan menunjukkan hasil perbedaan yang signifikan (Lampiran 50 dan 52). Wala upun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan precision farming menghasilkan produksi yang lebih baik (Gambar 178) dan biomassa yang lebih baik (Gambar 180 185). Dari Tabel 45 dapat diketahui bahwa perbedaan produktivitas antara pendekatan precision farming (Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF) dan dosis seragam (Plot Percobaan C-DS dan D-DS) adalah 8.71 ton/ha (7.6%) untuk Plot Percobaan A-PF, 6.18 ton/ha (10.71%) untuk Plot Percobaan B-PF, dan -3.68 ton/ha (-6.51%) untuk Plot Percobaan E-PF. Sementara itu histogram rendemen dan taksasi masing-masing ditampilkan pada Gambar 186 dan 187. Dari nilai P pada Tabel 45 dapat diketahui bahwa keragaman rendemen Plot Percobaan A-PF dan B-PF (precision farming) lebih kecil dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis seragam), tetapi keragaman Plot Percobaan E-PF (precision farming ) lebih besar dari pada Plot Percobaan D-DS (dosis seragam). Sementara untuk keragaman taksasi Plot Percobaan A-PF (precision faraming) lebih besar dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis seragam), keragaman taksasi Plot Percobaan B-PF (precision farming) lebih kecil dari dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis seragam), dan keragaman taksasi Plot Percobaan E-PF (precision farming ) lebih kecil dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis seragam).

( top soil ) 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu N hara tanah (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu N hara tanah (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu N hara tanah (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu N hara tanah (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( sub soil ) Gambar 161 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah N.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu P hara tanah (ppm) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu P hara tanah (ppm) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( top soil ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu P hara tanah (ppm) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( sub soil )

Gambar 162 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah P.

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu K hara tanah (me/100g) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu K hara tanah (me/100g) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( top soil ) 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1 K hara tanah (me/100g) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 1 minggu 2 bulan 3 bulan 4 bulan Umur tebu ( sub soil ) Gambar 163 Kecenderungan pertumbuhan hara tanah K.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 N hara daun (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 0 0.5 1 1.5 2 2.5 N hara daun (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 3 bulan 4 bulan 6 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gambar 164 Kecenderungan pertumbuhan hara daun N. 0.7 0.6 0.5 P hara daun (%) 0.4 0.3 0.2 0.1 0 3 bulan 4 bulan 6 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Gambar 165 Kecenderungan pertumbuhan hara daun P. 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 K hara daun (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 3 bulan 4 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gambar 166 Kecenderungan pertumbuhan hara daun K.

50 60 70 80 90 100 110 120 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah AnakanPlot A Plot B Plot C 50 60 70 80 90 100 110 120 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah AnakanPlot A Plot B Plot C ( a ) 60 80 100 120 140 160 180 2 bulan 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah AnakanPlot D Plot E ( b ) Gambar 167 Kecenderungan pertumbuhan jumlah anakan tebu.

6 8 10 12 14 16 18 20 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun hijau tebuPlot A Plot B Plot C 6 8 10 12 14 16 18 20 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun hijau tebuPlot A Plot B Plot C ( a ) 6 8 10 12 14 16 18 2 bulan 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun hijau tebuPlot D Plot E ( b ) Gambar 168 Kecenderungan pertumbuhan jumlah daun hijau tebu.

0 5 10 15 20 25 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun kering tebuPlot A Plot B Plot C 0 5 10 15 20 25 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun kering tebuPlot A Plot B Plot C ( a ) 0 2 4 6 8 10 12 14 2 bulan 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Jumlah daun kering tebuPlot D Plot E ( b ) Gambar 169 Kecenderungan pertumbuhan jumlah daun kering tebu.

14 16 18 20 22 24 26 28 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Diameter tebu (mm) Plot A Plot B Plot C 14 16 18 20 22 24 26 28 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Diameter tebu (mm) Plot A Plot B Plot C ( a ) 10 12 14 16 18 20 22 24 26 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Diameter tebu (mm) Plot D Plot E ( b ) Gambar 170 Kecenderungan pertumbuhan diameter tebu.

0 50 100 150 200 250 300 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Tinggi tanaman tebu (cm) Plot A Plot B Plot C 0 50 100 150 200 250 300 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Tinggi tanaman tebu (cm) Plot A Plot B Plot C ( a ) 0 50 100 150 200 250 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Tinggi tanaman tebu (cm) Plot D Plot E ( b ) Gambar 171 Kecenderungan pertumbuhan tinggi tanaman tebu.

5 10 15 20 25 30 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gap tebu (%) Plot A Plot B Plot C 5 10 15 20 25 30 1 bulan 2 bulan 3.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gap tebu (%) Plot A Plot B Plot C ( a ) 20 22 24 26 28 30 32 34 36 2 bulan 2.5 bulan 4.5 bulan 5.5 bulan 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gap tebu (%) Plot D Plot E ( b ) Gambar 172 Kecenderungan pertumbuhan persentase gap tebu.

12 10 8 6 4 2 0 Jumlah tebu roboh 0 10 20 30 40 50 60 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Penutupan gulma (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gambar 173 Kecenderungan pertumbuhan jumlah tebu roboh. Gambar 174 Kecenderungan pertumbuhan penutupan gulma.

Gambar 175 Kecenderungan pertumbuhan bobot tebu. 3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Bobot tebu (kg) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 6 8 10 12 14 16 18 20 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Pol (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Bobot tebu (kg) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 6 8 10 12 14 16 18 20

6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Pol (%) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Gambar 176 Kecenderungan pertumbuhan nilai Pol.

Rendemen (%) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 Plot Plot Plot Plot Plot A B C D E

6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gambar 177 Kecenderungan pertumbuhan nilai rendemen. 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 Taksasi tebu (ton/ha) Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Gambar 178 Kecenderungan pertumbuhan nilai taksasi.

12 14 16 18 20 22 24 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Kadar Air Tanah (%) top soilPlot A Plot B Plot C Plot D Plot E 12 14 16 18 20 22 24 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Kadar Air Tanah (%) top soilPlot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( top soil ) 12 14 16 18 20 22 24 6.5 bulan 9.5 bulan Umur tebu Kadar Air Tanah (%) sub soilPlot A Plot B Plot C Plot D Plot E ( sub soil ) Gambar 179 Kecenderungan pertumbuhan kadar air tanah.

Bobot (gram) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Bobot basah AKAR Bobot kering AKAR Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Gambar 180 Perbandingan bobot biomassa akar tebu. 0 10 20 30 40 50 Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Bobot (gram) Bobot basah TUNGGUL Bobot kering TUNGGUL Gambar 181 Perbandingan bobot biomassa tunggul tebu. 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Bobot (gram) Bobot basah BATANG Bobot kering BATANG Gambar 182 Perbandingan bobot biomassa batang tebu.

0 50 100 150 200 250 Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Bobot (gram) Bobot basah DAUN Bobot kering DAUN 0 50 100 150 200 250 Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Bobot (gram) Bobot basah DAUN Bobot kering DAUN Gambar 183 Perbandingan bobot biomassa daun tebu. 0 20 40 60 80 100 120 Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Bobot (gram) Bobot basah PUCUK Bobot kering PUCUK Gambar 184 Perbandingan bobot biomassa pucuk. 0 5 10 15 20 25 30 Jumlah ruas Plot A Plot B Plot C Plot D Plot E Plot Percobaan Gambar 185 Perbandingan jumlah ruas tebu.

Tabel 45 Deskripsi statistik rendemen dan taksasi setiap plot percobaan Peubah Plot Percobaan N Min Max Mean (m) Std. Deviation () CV P(m a) C 16 5.66 6.89 6.23 0.42 6.71 68.27 Rendemen pada B 32 5.10 7.05 6.21 0.48 7.73 61.61 taksasi E 45 2.04 4.40 3.07 0.55 17.99 55.15 awal (%) A 33 4.46 7.23 5.96 0.59 9.96 51.92 D 15 2.71 6.88 4.01 1.01 25.18 32.11 D 15 45.17 69.98 56.51 6.56 11.61 68.27 Taksasi A 33 73.69 106.56 90.01 8.43 9.37 56.35 awal E 45 39.24 78.15 52.83 8.89 16.83 53.95 (%) C 16 65.23 101.21 81.30 8.97 11.03 53.56 B 32 60.01 118.47 87.48 11.94 13.65 41.74 a = nilai terendah pada masing-masing peubah Distribusi frekuensi 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% HISTOGRAM RENDEMEN pada TAKSASI AWAL 2 - 3 3 - 4 4 - 5 5 - 6 6 - 7 7 - 8 8 - 9 9 - 10 10 - 11 Rendemen pada Taksasi Awal (%) Plot Plot Plot Plot Plot Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan A B C D E

Gambar 186 Histogram rendemen pada taksasi awal.

HISTOGRAM TAKSASI AWAL 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 30 - 40 40 - 50 50 - 60 60 - 70 70 110 120 Taksasi Awal (ton/ha) Distribusi frekuensiPlot Percobaan Plot Percobaan B Plot Percobaan C Plot Percobaan D Plot Percobaan E HISTOGRAM TAKSASI AWAL 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 30 - 40 40 - 50 50 - 60 60 - 70 70 110 120 Taksasi Awal (ton/ha) Distribusi frekuensiPlot Percobaan Plot Percobaan B Plot Percobaan C Plot Percobaan D Plot Percobaan E Gambar 187 Histogram taksasi awal. Analisa Biaya

- 80 80 - 90 90 - 100 100 110 A

- 80 80 - 90 90 - 100 100 110 A

Hasil analisa biaya disajikan pada Tabel 46 dan Gambar 188 190. Tabel 46 menunjukkan bahwa biaya pemupukan dengan pendekatan precision farming (Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF) lebih besar dari biaya pemupukan dengan dosis seragam (Plot Percobaan C-DS dan D-DS), kecuali biaya pemupukan pada Plot Percobaan B-PF berdasarkan taksasi awal. Hal ini disebabkan biaya analisa sampel tanah dan tanaman yang diperlukan pada pemupukan dengan pendekatan precision farming lebih besar dari pada biaya analisa sampel tanah dan tanaman yang diperlukan pada pemupukan dengan pendekatan dosis seragam (Gambar 188). Selain itu juga biaya pengambilan sampel pada pemupukan dengan pendekatan precision farming lebih besar dari pada biaya pengambilan sampel yang diperlukan pada pemupukan dengan pendekatan dosis seragam (Gambar 189). Sedangkan biaya jumlah pupuk tergantung pada kondisi kesuburan tanah. Pada tingkat kesuburan tanah yang sangat rendah maka penentuan dosis pupuk dengan pendekatan precision farming tentunya merekomendasikan kebutuhan

pupuk yang banyak sehingga biaya jumlah pupuk menjadi besar dan sebaliknya. Oleh karena itulah biaya jumlah pupuk pada Plot Percobaan B-PF lebih kecil dari pada Plot Percobaan C-DS sehingga biaya pemupukan Plot Percobaan B-PF lebih kecil dari Plot Percobaan C-DS (Gambar 190). Biaya jumlah pupuk merupakan biaya yang timbul akibat jumlah pupuk yang digunakan. Semakin banyak pupuk digunakan maka semakin besar biaya jumlah pupuk yang dikeluarkan. Tabel 46 Analisa biaya Parameter Plot Percobaan A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Biaya pemupukan (Rp/ton hasil gula) TAw TAk 536,817.40 590,142.46 412,676.02 313,650.54 438,833.82 305,581.20 993,188.53 512,175.87 1,864,108.21 681,710,61 TAw 3,707,798.72 3,583,657.34 3,609,815.14 4,164,169.85 5,035,089.53 Biaya produksi gula (Rp/ton) TAk 3,761,123.78 3,484,631.86 3,476,562.52 3,683,157.19 3,852,691.93 Manfaat hasil TAw 6,000.00 6,000.00 6,000.00 6,000.00 6,000.00 gula (Rp/ton) TAk 6,000.00 6,000.00 6,000.00 6,000.00 6,000.00 Keuntungan TAw 2,292,201.28 2,416,342.66 2,390,184.86 1,835,830.15 964,910.47 (Rp/ton) TAk 2,238,876.22 2,515,368.14 2,523,437.48 2,316,842.81 2,147,308.07 TAw 1.62 1.67 B/C ratio TAk 1.60 1.72 Keterangan: TAw = Taksasi TAk = Taksasi 1.66 1.44 1.19 1.73 1.63 1.56 Awal Akhir

Biaya produksi gula mencakup seluruh biaya produksi dalam satu musism sampai men jadi gula Manfaat hasil gula merupakan manfaat dari penjualan gula Asumsi : Biaya produksi gula selain pemupukan = Rp 3,170,981.32/ton

Harga gula = Rp 6,000.00/kg Tabel 46 juga menunjukkan bahwa biaya produksi gula berdasarkan taksasi awal untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF (precision farming) lebih besar dari Plot Percobaan C-DS dan D-DS (dosis seragam), kecuali biaya produksi gula pada Plot Percobaan B-PF berdasarkan taksasi awal. Biaya produksi gula berkaitan dengan jumlah gula yang dihasilkan. Jumlah gula yang dihasilkan berkaitan dengan rendemen dan taksasi (Gambar 177 dan 178). Gambar 177 menunjukkan bahwa rendemen untuk Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS tidak berbeda nyata (Lampiran 53) tetapi nilai taksasinya (Gambar 178) berbeda nyata

(Lampiran 53). Nilai rendemen dan taksasi awal Plot Percobaan D-DS lebih rendah dari Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan C-DS. Sementara nilai rendemen dan taksasi awal Plot Percobaan E-PF paling rendah di antara plot percobaan yang lain dan berbeda nyata sehingga biaya produksi gulanya paling tinggi. Biaya Analisa Sampel 91,598.67 12,645.05 28,618.84 192,559.48 101,668.44 92,481.72 70,419.65 14,758.418,805.36 69,618.71 0.00 50,000.00 100,000.00 150,000.00 200,000.00 250,000.00 A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Plot Percobaan Biaya analisa sampel (Rp/ton hasil gula) Taksasi Awal Taksasi Akhir Gambar 188 Biaya analisa sampel setiap plot percobaan. Biaya Pengambilan Sampel 1,241.01 299.21 677.18 2,608.87 1,252.98 1,377.44 943.22 208.35 349.21 954.07 0.00 500.00 1,000.00 1,500.00 2,000.00 2,500.00 3,000.00 A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Plot Percobaan Upah pengambilan sampel (Rp/ton hasil gula) Taksasi Awal Taksasi Akhir Gambar 189 Biaya pengambilan sampel setiap plot percobaan.

Biaya Jumlah Pupuk 319,836.34 425,889.56 963,892.51 1,668,939.86 443,082.65 610,336.89 497,068.25 296,567.49 243,088.61 487,096.51 0.00 200,000.00 400,000.00 600,000.00 800,000.00 1,000,000.00 1,200,000.00 1,400,000.00 1,600,000.00 1,800,000.00 A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Plot Percobaan Biaya jumlah pupuk (Rp/ton hasil gula) Taksasi Awal Taksasi Akhir Biaya Jumlah Pupuk 319,836.34 425,889.56 963,892.51 1,668,939.86 443,082.65 610,336.89 497,068.25 296,567.49 243,088.61 487,096.51 0.00 200,000.00 400,000.00 600,000.00 800,000.00 1,000,000.00 1,200,000.00 1,400,000.00 1,600,000.00 1,800,000.00 A-PF B-PF C-DS D-DS E-PF Plot Percobaan Biaya jumlah pupuk (Rp/ton hasil gula) Taksasi Awal Taksasi Akhir Gambar 190 Biaya jumlah pupuk setiap plot percobaan. Biaya produksi gula pada taksasi akhir untuk Plot Percobaan C-DS paling rendah karena gula yang dihasilkan paling banyak. Taksasi akhir Plot Percobaan C-DS tidak berbeda nyata dengan Plot Percobaan A-PF dan B-PF tetapi rendemen pada taksasi akhir Plot Percobaan C-DS paling tinggi dan berbeda nyata dengan plot percobaan yang lain.

Manfaat hasil gula per satuan bobot gula untuk semua plot percobaan mempunyai nilai yang sama karena hanya berdasarkan pada harga jual gula yang ditentukan. Nilai tersebut akan berbeda untuk setiap plot percobaan jika manfaat hasil gula diperhitungkan berdasarkan manfaat per satuan luas karena tergantung pada hasil gula setiap plot percobaan dan harga gula yang ditentukan. Tabel 46 menunjukkan bahwa, keuntungan yang dihasilkan pemupukan dengan pendekatan precision farming (Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF) lebih kecil dari keuntungan yang dihasilkan pemupukan dengan dosis seragam (Plot Percobaan C-DS dan D-DS), kecuali Plot Percobaan B-PF (precision farming) pada taksasi awal yang lebih besar dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis

seragam). Hal ini karena rendemen Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF lebih kecil dari pada Plot Percobaan C-DS dan D-DS. Oleh karena itu B/C ratio pemupukan dengan pendekatan precision farming lebih kecil dari B/C ratio yang dihasilkan pemupukan dengan dosis seragam (Gambar 185) kecuali Plot Percobaan B-PF (precision farming ) pada taksasi awal yang lebih besar dari pada Plot Percobaan C-DS (dosis seragam) . Rendahnya rendemen tersebut disebabkan keterlambatan pemupukan, ketelitian pemupukan yang masih kurang baik dengan fertilizer maupun tenaga manusia, irigasi yang tidak memadai, pemeliharaan tanaman yang kurang, serta tidak adanya pemberantasan hama dan penyakit. Namun demikian baik berdasarkan taksasi awal maupun akhir ternyata pendekatan precision farming pada Plot Percobaan A-PF, B-PF, dan E-PF masih menguntungkan (B/C ratio > 1). Pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada Plot Percobaan B-PF berdasarkan taksasi awal hanya dapat meningkatkan keuntungan 1.09%. Perhitungan berdasarkan taksasi akhir tidak dapat dihandalkan karena faktor serangan hama dan penyakit yang semakin parah pada umur tebu 9.5 bulan sehingga taksasi akhir lebih rendah. Oleh karena itu agar pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K lebih menguntungkan maka pemupukan harus tepat pada waktunya, pelaksanaan pemupukan harus teliti (mekanis maupun manual), serta kegiatan budidaya di luar pemupukan seperti irigasi, pemeliharaan tanaman, pemberantasan hama dan penyakit harus mendapat perhatian yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan 1 Keragaman spasial kandungan hara a pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K dapat menekan tingkat keragaman spasial kandungan hara N, P, dan K; b unsur hara N top soil, N sub soil, dan P top soil menunjukkan ketergantungan spasial sehingga untuk pengamatan pada siklus precision farming selanjutnya perlu diperhatikan pola keragaman yang terjadi; c unsur hara P sub soil K top soil, dan K sub soil tidak menunjukkan ketergantungan spasial sehingga untuk pengamatan pada siklus precision farming selanjutnya dapat dilakukan secara acak; d agar lebih efisien maka ukuran pengambilan contoh (sampling size) pengamatan tanah dapat diperbesar dari 25 m menjadi minimal 40 m, dengan rincian 51 - 2065.5 m untuk N, 41.4 - 1039.5 m untuk P, dan 60.3 - 2040.3 m untuk K; e tingkat keragaman spasial yang terjadi berkisar dari agak rendah sampai cukup tinggi berdasarkan 11 kelas keragaman spasial yang digunakan, sedang untuk N, cukup rendah cukup dengan rincian cukup rendah tinggi untuk P dan K. 2 Keragaman spasial produktivitas lahan a pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K dapat menekan tingkat keragaman spasial produktivitas lahan; b produktivitas lahan menunjukkan ketergantungan spasial sehingga untuk pengamatan pada siklus precision farming selanjutnya perlu diperhatikan pola keragaman yang terjadi; c agar lebih efisien maka ukuran pengambilan contoh (sampling size) pengamatan produktivitas lahan dapat diperbesar dari 25 m menjadi minimal 40 m, dengan rincian 288.3 m untuk Plot Percobaan A-PF, 44.7 m

347 untuk Plot Percobaan B-PF, 152 m untuk Plot Percobaan C-DS, acak untuk Plot Percobaan D-DS, dan 259 m untuk Plot Percobaan E-PF; d tingkat keragaman spasial yang terjadi berkisar dari rendah sampai cukup rendah berdasarkan 11 kelas keragaman spasial yang digunakan, denga n rincian agak rendah pada Plot Percobaan A-PF, rendah pada Plot Percobaan B-PF, agak rendah pada Plot Percobaan C-DS, cukup rendah pada Plot Percobaan D-DS, dan cukup rendah pada Plot Percobaan E. 3 Model Artificial Neural Network (ANN) yang dibangun untuk memformulasikan hubungan antara jumlah hara yang dibutuhkan dengan hasil tebu dan kadar gula memiliki akurasi R2=0.93 untuk pupuk pertama N, R2=0.88 untuk pupuk pertama P, R2=0.88 untuk pupuk kedua N, dan R2=0.92 untuk pupuk kedua K. Dibandingkan dengan penentuan dosis pupuk berdasarkan rekomendasi pustaka, penentuan dosis pupuk berdasarkan target produksi dan kadar gula dengan model ANN memberikan hasil yang lebih baik. 4 Sistem Pendudukung Keputusan untuk pendekatan precision farming dalam pemupukan N, P, dan K pada budidaya tebu telah dibangun dengan nama STRAFERT-PF yang mempunyai kemampuan untuk menentukan taksasi tebu; menentukan kebutuhan jumlah hara N, P, dan K untuk pemupukan pada target produktivitas dan kadar gula yang diharapkan; menentukan dosis pupuk; melakukan analisa keragaman spasial; membuat peta informasi lahan; dan melakukan analisa biaya. 5 Pendekatan precision framing dalam pemupukan dapat menekan pemborosan penggunaan pupuk 53.47% untuk Urea, minimal 86.96% untuk TSP, berlebihan untuk KCl; meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman; meningkatkan produktivitas 0.9 10.7%; dan meningkatkan keuntungan 1.09%. Saran Untuk mendapatkan hasil yang baik pada penerapan precision farming pada pemupukan maka perlu diperhatikan tersedianya jumlah data untuk training

program ANN yang memadai; pemilihan rekomendasi dosis pupuk dari referensi yang akurat; tersedianya pupuk dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat sesuai kebutuhan; kegiatan selain pemupukan yang baik seperti pemilihan varietas tebu, pengolahan tanah, penggemburan, pengguludan, irigasi, pengendalian gulma, pemberantasan hama dan penyakit; pelaksanaan pemupukan yang baik (tersedianya tenaga manusia yang cukup, terampil, teliti, dan dapat dipercaya jika pemupukan dilakukan secara manual atau tersedianya fertilizer applicator dengan jumlah cukup, kondisi teknis baik, pengaturan output akurat, dan operator yang handal jika pemupukan dilakukan secara mekanis); pengelolaan menyeluruh yang baik dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai berbasis sistem informasi yang baik. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai analisa semi-variogram dengan asumsi anisotropic dan multivariate geostatistics; penambahan input pada konfigurasi ANN seperti faktor genotip tebu (varietas) dan musim; pemetaan sampel dengan GPS (global positioning system), pola pengambilan sampel yang tepat; peralatan pengambilan sampel yang akurat, efisien, dan murah; rancang bangun fertilizer applicator untuk pemupukan pada tanaman tebu dengan VRT (variable rate technology); analisa ekonomi penerapan precision farming pada budidaya tebu; rancang bangun yield sensor pada mesin tebang tebu.

DAFTAR PUSTAKA [ACPA] The Australian Centre for Precision Agriculture. 2005. Annual Symposium on Precision Agriculture Research & Application in Australia : Presentaion Program & Index/Abstract. Sydney: The University of Sydney. http://www.usyd.edu.au/su/agric/acpa/symposium [15 Oktober 2005] [AGI] Asosiasi Gula Indonesia. 1996. Laporan Triwulanan. Pasuruan: Asosiasi Gula Indonesia. Agustedi. 1994. Sistem Penunjang Keputusan untuk Pembinaan Agroindustri Perikanan Rakyat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anom IM, Shibusawa S, Sasao A, Sakai K, Hache C. 2001. Sampling strategies in soil mapping with real-time soil spectrophotometer. Di dalam: Intelligent 2nd Control for Agricultural Application. Proceeding of IFAC-CIGR Workshop on, Bali Indonesia 22-24 August 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 40-43. [Anonim]. 2002. Spectrum, Affordable Field Measurement Technology to Help You Grow : Minolta SPAD 502 Meter. http://www.specmeters.com/Plant_Chlorophyll_Meters/Minolta_SPAD_502 _Meter.html [26 Juni 2002] Ant/fir. 19 Desember 2005. Mengapa kelangkaan pupuk selalu berulang. Jakarta: Republika. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=226917&kat_id=&kat_id1 =&kat_id2= [16 Maret 2006] Arifin Z. 2002. Program penyiapan pupuk nasional tahun 2002 2007 untuk

ketahanan pangan. Di dalam: Peningkatan Produktivitas melalui Penguasaan Teknologi Inovatif menuju Kemandirian Industri Pertanian. Prosiding Seminar Nasional; Jakarta, 9 Juli 2002. Jakarta: Persatuan Insinyur Indonesia. hlm 3-1 3-6. Barnes AC. 1964. The Sugar Cane. New York: Interscience Publisher Inc. Blackmore S. 1994. Precision Farming : an overview. Agricultural Engineer 49(3):86-88. Braun H, Roy RN. 1983. Maximizing the efficiency of mineral fertilizers. Di dalam: Efficient Use of Fertilizers in Agriculture. Proceeding of the Symposium on Research into Agro-technical Methods Aiming at Increasing the Produktivity Crops Co-efficients for the most Efficient Use of Fertilizer Nutrients and Means for reducing the Losses of Nutrients to the Environment under the Conditions of Intensive Agriculture at Geneva,

Switzerland. 17-21 January 1983. New York: Martinus Njhoff Publishers. p251-271. Bregt AK [abstrak]. 1997. GIS support for precision agriculture: problems and possibilities. Wageningen: Staring Centre for Integrated Land,Soil and Water Research. http://www.novartisfound.org.uk/catalog/210abs.htm [5 Mei 2006] Burks TF, Shearer SA, Fulton JP. 2000. Assessment of fertilizer application accuracy with the use of navigation aids. http://www.bae.uky.edu/~precag/PrecisionAg/Reports/NavAids/navigationa l_aids.htm [14 Oktober 2005] Burrough PA. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Oxford: Clarendon Press.. ___________, Swindell J [abstrak]. 1997. Optimal mapping of site-specific multivariate soil properties. Utrecht: Faculty of Geographical Sciences. http://www.novartisfound.org.uk/catalog/210abs.htm [5 Mei 2006] Clark I. 1979. Practical Geostatistics. London : Applied Science Publishers. ______, Harper WV. 2000. Practical Geostatistics 2000. Ohio : Ecosse North America Llc, publishers. Colwell JD. 1994. Estimating Fertilizer Requirements: A Quantitave Approach. Wallingford: Cab International. Cook SE, O Brien R, Corner RJ, Oberthur T. 2003. Is precision agriculture irrelevant to developing countries? Columbia: International Center for Tropical Agriculture. http://www.wageningenacademic.com/books/ECPA/_contents.pdf [31 Juli 2005] [CU] Cranfield University. 2005. Postgraduate research projects. Cranfield University. http://www.silsoe.cranfield.ac.uk/cpf/research/research_postgradproj.htm [14 Oktober 2005] De Geus JG. 1973. Fertilizer Guide for the Tropics and Subtropics. Zurich: Centre d Etude del Azote. [DIKTI] Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1991. Kesuburan Tanah. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dillewijn CV. 1952. Botany of Sugarcane. Waltham, Massachuset: The Cronica Botanica, Co.

Djojonegoro P, Kuntohartono, Fauzy, Syafei, Dharmoko, 1992. Hara dan pertumbuhan tebu. Pasuruan: P3GI. [DPRIN] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2004. Rangkuman penjelasan mengenai latar belakang kebijakan impor gula dan sikap Deperindag terhadap penanganan gula ilegal. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. http://www.dprin.go.id/publikasi/Siaran_Pers/2004/200406251.htm [12 April 2006] Drummond S et al. [abstrak]. 2002. Neural network analysis of site-specific soil , landscape and yield data. Madison: Agronomy Society of America. http://aus.usda.gov/research/publications/publications.htm?SEQ_NO_115=1 36992 [5 Mei 2006] Dtc-33. 25 Januari 2006. Faktor global picu kenaikan harga gula lokal. Semarang: Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/25/eko03.htm [16 Maret 2006] Engelstad OP. 1997 Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. [ESRI] Environmental Systems Research Institute. 1990. PC : Understanding GIS. USA: Environmental Systems Research Institute, Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1981. Agriculture Toward 2000. Rome: FAO. Fauconnier R. 1993. Sugar Cane. MacCrimmon PR, penerjemah. London: The MacMillan Press Ltd. G12-74n. 3 Juli 2004. Pupuk KCl langka di pasaran. Semarang: Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/03/pan01.htm [16 Maret 2006] Georing [abstrak]. 2000. Data management for site -specific farming. Illinois: Illinois Laboratory for Agricultural Remote Sensing.. http://www.age.uuc.edu/remote-sensing/DataManagement.html [Mei 2006] Goense D. 1997. The accuracy of farm machinery for precision agriculture : a case for fertilizer application. Netherland Journal of Agricultural Science 45:201-217.

[GPM] Gula Putih Mataram. 2002. Info Gula. Bandar Lampung: Gula Putih Mataram Group. [GS] Golden Software. 2002. Surfer 8. User manual. USA : Golden Software, Inc. Hidayati N. 10 Juli 2004. Kebutuhan tambah, produksi lesu, penyelu ndupan marak. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/10/Fokus/1139545.htm Humbert RP. 1968. The Growing of Sugar Cane. Revised edition. AmsterdamLondon-New York: Elsevier Publishing Company. Indarto. 1996. Produksi gula tebu lahan kering dengan aplikasi dua macam bentuk urea dan perbedaan waktu pemupukan urea tahap pertama . Jurnal Agrotropika I(i):1-3. Isaaks EH, Srivastava RM. 1989. Applied Geostatistics. New York: Oxford University Press. Jones JB.Jr, Wolf B, Mills HA. 1991. Plant Analysis Handbook : a practical sampling, preparation, analysis, and interpretation guide. USA: MicroMacro Publishing, Inc. Kasmoni. 2004. 7 Jam Belajar Delphi 8 untuk Orang Awam. Palembang: CV Maxikom. Kuhar JE, editor 1997. The Precision-Farming : Guide for Agriculturist. Illinois : John Deer Publishing. Lee CK. 2001. Mapping of Field Information and Development of Yield Sensor for precision Agriculture in Paddy Field [disertasi]. Kyoto: Graduate School of Agriculture Kyoto University. Leiwakabessy FM, Sutandi A. 1998. Pupuk dan Pemupukan. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Manetsch TJ, Park GL. 1977 System Analysis and Simulation with Applications to Economic and Social Systems. Part I : Third Edition. East Lansing, Michigan: Department of Electrical Engineering and System Science, Michigan State University,. Mangelsdorf AJ. 1950. Sugarcane -as seen from Hawaii. Econ. Botany 4:150 176. _____________. 1953. Sugarcane breeding in Hawaii. II. 1921 to 1953. Hawaiian Planters Record 54:101-137.

McBratney A, Whelan BM. 1995. The potential for site-specific management of cotton farming systems. Discussion Paper No. 1, Co-operative Research Center for Sustainable Cotton Production. Australia. Miller RW, Donahue RL. 1990. Soils : An Introduction to Soils and Plant Growth. Sixth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. Mubyarto, Daryanti. 1991. Gula : Kajian Sosial dan Ekonomi . Yogyakarta: Aditya Media. Muchovej RM. 2001. Application of Precision Agricultural Techniques to Florida s Mineral Soils. Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Florida. Muhali I. 1979. Analisa N, P, dan K dari Daun Tebu dan Pupuk. Yogyakarta : Lembaga Pendidikan Perkebunan. Mulla DJ [abstrak]. 1997. Geostatistics, remote sensing and precision farming. St.Paul: University of Minnesota. http://www.novartisfound.org.uk/catalog/210abs.htm [5 Mei 2006] Munir M. 1996. Tanah-tanah Utama Indonesia : Karakterisitik, Klasifikasi, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Pustaka Jaya. Murase H, Matsushita Y, Muraka mi K. 2001. Precision technology for controlling soil moisture with plug seedlings. Di dalam: Intelligent Control for Agricultural Application. Proceeding of 2nd IFAC-CIGR Workshop on, Bali Indonesia 22-24 August 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm. 49-52. Nelson MM, Illingworth WT. 1991. A Practical Guide to Neural Nets. USA: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Notojoewono AW. 1968. Berkebun Tebu Lengkap. Djilid 2. Surabaya: BPUPPN Gula Inspeksi VI. Nuarsa IW. 2005. Belajar Sendiri Menganalisis Data Spasial dengan ArcView 3.3 untuk Pemula. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Oozer Y. 1993. Agroteknologi Tebu Lahan Kering. Jakarta: AMC. Park WK, Chung SO, Sung JH, Kim HJ, Kim YK. 2000. Agricultural mechanization system for precision farming. Suhwon Academic Press. Pawirosemadi M. 1980. Metode Hara Berimbang Optimum dalam Analisis Daun untuk Petunjuk Saran-Saran Pemupukan Tanaman Tebu di Indonesia [disertasi]. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

[PDKG] Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan. 2006. Info bisnis harga bahan pokok. Grobogan: Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan. http://www.grobogan.go.id/perkembangan_harga.htm [16 Maret 2006] Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika. ________. 2005. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Bandung: Penerbit Informatika. Prammanee P, Jintrawet A, Lairungreung C, Kongton S [abstrak]. 2003. A chemical fertilizer recommendation software for sugarcane production in Thailand. Suphanburi: Suphanburi Field Crops Research Center. http://issct.intnet.mu/Agriculture%20AbsPapers2005.htm#AG1%20abs [31 Juli 2005] ___________, Kongston S, Jintrawet A, Prasertsak P, Lairungreaung. 2004. Comparison of actual sugarcane yield and simulated yield in CaneFert 1.0 (a chemical fertilizer recommendation software for sugarcane production in Thailand). http://www.afitaandwa2004.net/html/papers/22 comparison.pdf+canegro+software&h1=id&g [19 Maret 2006] [PSE] Pusat Studi Ekonomi Litbang Deptan. 2006. Harga gula tinggi: sudah sewajarnya. Jakarta: Pusat Studi Ekonomi Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Republik Indonesia. http://pse.litbang. deptan.go.id/index.php?sid=2&id=0.816953001140656880 [12 April 2006] [PTPN VII] PT Perkebunan Nusantara VII. 1998. Vademecum Tanaman Tebu : Bidang Tanaman. Bandar Lampung: PT Perkebunan Nusantara VII (Persero). Purnama R. 2002. Pupuk, produktivitas, added value , ketahanan pangan. Di dalam: Peningkatan Produktivitas melalui Penguasaan Teknologi Inovatif menuju Kemandirian Industri Pertanian. Prosiding Seminar Nasional; Jakarta, 9 Juli 2002. Jakarta: Persatuan Insinyur Indonesia. hlm 2-1 2-16. Radite PAS, Umeda M, Iida M, Khilael M. 2000. Variable rate fertilizer applicator for paddy field. ASAE Annual International Meeting. Milawaukee USA. Rachman B. 2003. Evaluasi kebijakan sistem distribusi dan harga pupuk di tingkat petani. Jakarta: Pusat Studi Ekonomi Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Republik Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/AKP_1_3_2003_0.pdf [16 Maret 2006]

Robert PC. 1999. Precision Agriculture: Research needs and status in the USA. Precision Agriculture 99 Part 1:pp19-33. Richard EP et al. [abstrak]. 2003. Opportunities in sugarcane agronomy to confront the new realities emerging in the 21st century: a review of the 2003 agronomy workshop. http://issct.intnet.mu/Agriculture%20AbsPapers2005.htm#AG1%20abs [31 Juli 2005] Setyamidjaya D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta: CV Simplex. Setyati MMS. 1979. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT Gramedia. Shearer SA et al. 2000. Yield prediction using a neural network classifier train ed using soil landscape features and soil fertility data. Lexington: University of Kentucky. http://www.bae.uky.edu/precag/PrecisionAg/Reports/n_network.htm [5 Mei 2006] Shibusawa S. 1999. The Japan Agricultural News. Nov.9-10. __________ 2001. Precision farming approaches for small scale farms. Di dalam: Intelligent Control for Agricultural Application. Proceeding of 2nd IFAC-CIGR Workshop on, Bali Indonesia 22-24 August 2001. Bali: IFACCIGR. hlm 22-27. Shock BM, Carpenter GA, Gopal S, Woodcock CE [abstrak]. 2002. ARTMAP neural network classification of land use change. Michigan: American Society of Agricultural and Biological Engineers. http://asae.frymulti.com/abstract.asp?aid=8303&t=1 [5 Mei 2006] Shrestha DS, Steward BL [abstrak]. 2002. Early growth stage corn plant population measurement using neural network approach. Michigan: American Society of Agricultural and Biological Engineers. http://asae.frymulti.com/abstract.asp?aid=8303&t=1 [5 Mei 2006] Simoes AS, Reali Costa AH, Hirakawa AR, Saraiva AM [abstrak]. 2002. Applying neural networks to automated visual fruit sorting. Michigan: American Society of Agricultural and Biological Engineers. http://asae.frymulti.com/abstract.asp?aid=8303&t=1 [5 Mei 2006] Soeminto. 1996. Berbagai faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur fosfor pupuk oleh tanaman. Majalah Kultum 11:46-57. Stone ML, Kranzler GA. 1995. Artificial neural networks in agricultural machinery applications. Oklahoma State University. http://biosystems.okstate.edu/Home/mstone/nnet.htm [5 Mei 2006]

Sudiatso S. 1983. Bertanam Tebu. Bogor: Departemen Agronomi Faperta IPB. Suharnoto Y. 1995. Training on Geographycal Information System. Bogor: JICA-CREATA. Supriyadi A. 1992. Rendemen Tebu : Liku-Liku Permasalahannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Thompson SK [abstrak]. 1997. Spatial sampling. USA: Pennsylvania State University. http://www.novartisfound.org.uk/catalog/210abs.htm [5 Mei 2006] Thompson, Shaw, Mask, Dillard, Touchton. 2000. Row crop farmers have traditionally managed fertility issues. http://www.ag.auburn.edu/aaes/communications/highlightsonline/summers0 1/sum-shaw.html [5 Mei 2006] Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1990. Soil Fertility and Fertilizers. Fourth Edition. New York: Macmillan Publishing Company. Triton PB. 2005. Cara Cepat Menguasai SPSS 13.0: Uji Beda Nyata & Rancangan Percobaan. Yogyakarta: Tugu Publisher. Umeda M, Iida M, and Suguri M. 1999. Research at laboratory of farm machinery of Kyoto University. ASAE/CSAE -SCGR Annual International Meeting. Toronto Canada. [UMN] University of Minnesota. 2005. Precision Agriculture Center. University of Minnesota. http://precision.agri.umn.edu/Precision Agriculture Center.htm [31 Juli 2005] Usman B. 1997. Pemupukan Tanaman Tebu Yang Berhasil Guna. Pasuruan: P3GI. Vendrusculo LG, Magalhaes PSG, Viera SR [abstrak]. Strategies for soil sampling and multi-layers maps generation through geostatic tools: development of a computational system. Michigan: American Society of Agricultural and Biological Engineers. http://asae.frymulti.com/abstract.asp?aid=8303&t=1 [5 Mei 2006] [WK] Wahana Komputer. 2001. Sistem Informasi Geografis dengan AutoCAD MAP. Edisi 1 Cetakan 1. Semarang: Wahana Komputer dan Andi Offset.

Wallace MK, Hawkins DM. 1994. Application of geostatistics in plant nematology. The Society of Nematologist. Journal of Nematology 26(4S):626-634. White JG, Welch RM, Norvell WA. 1997. Soil zinc map of the USA using geostatistics and geographic information systems. Soil Science Society American Journal 61:185-194. Wolf SA, Wood SD. 1997. Precision farming : environmental legitimation, commodification of information, and industrial coordination. The Rural Sosiological Society. Rural Sociology 62(2):180-206. Yuan H, Xiong F [abstrak]. 2002. The study on a neural network model of tea quality evaluation based on chemical compositions. Michigan: American Society of Agricultural and Biological Engineers. http://asae.frymulti.com/abstract.asp?aid=8303&t=1

UCAPAN TERIMA KASIH 1. Prof.Dr.Ir. H. Bambang Pramudya N., M.Eng; Dr.Ir. I Wayan Astika, M.Si.; Dr.Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr.; dan Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan penguji. 2. Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. (Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB / Dekan Fakultas Pertanian IPB) selaku penguji dari luar komisi pembimbing pada Ujian Tertutup. 3. Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. (Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB) selaku penguji dari luar komisi pembimbing pada Ujian Terbuka. 4. Dr.Ir. Gunawan Sukarso, M.Sc. (Direktur PT Tjandi Sewu Baru / Mantan Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) selaku penguji dari luar komisi pembimbing pada Ujian Terbuka. 5. Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. selaku Mantan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 6. Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. (Wakil Rektor II Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumberdaya Manusia Institut Pertanian Bogor) selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Terbuka. 7. Dr.Ir. Wawan Hermawan, M.S. (Ketua Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor) selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Tertutup. 8. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. (Dekan); Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Sc. (Plh Wakil Dekan); Prof.Dr.Ir. Marimin, M.Sc. (Sekretaris Program Doktor) beserta seluruh staf Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 9. Pimpinan, para staf pengajar, dan seluruh karyawan/karyawati Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 10. Pimpinan, para staf pengajar, dan seluruh karyawan/karyawati Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 11. Prof.Dr.Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. (Ketua) dan Dr.Ir. Suroso, M.Agr. (Sekretaris) Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Khusus kepada Prof.Dr.Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. juga dihaturkan terima kasih atas izin penggunaan program Backpro2N versi bahasa Delphi 5.0. 12. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yang telah memberikan beasiswa melalui program BPPS. 13. Ir. H. M. Fauzi Toha selaku Direktur Sugar Group Company, yang telah memberi izin pelaksanaan penelitian di PT Gula Putih Mataram. 14. Ir. H. Ishar Madi, M.S.; Ir. M. Asrul Hasibuan; Dr.Ir. S. Lamaji; Ir. Muzni Jamhur; Ir. Siti Sadarini; Ir. Emawati; M.B. Taufik, Ali Isdiantoro; Suprapto ; Sokib; Ngatiman; Putut Hasto Kuncoro dari R&D GPM Group dan R&D PT GPM yang telah memberi kesempatan, fasilitas, saran-saran, dan dukungan serta bantuan selama penelitian.

15. Ir. H. Ahmad Majedi, Sunarto Agung, Ahmad Supriyadi, Tatik, Sunaryo yang telah menyediakan fasilitas penginapan dengan segala fasilitasnya selama penelitian. 16. Ir. H. Ahmad Amin Budiarto dan Ir. Andi Heru Wibowo yang telah memberi kesempatan penelitian di Departemen Plantation PT GPM dengan segala fasilitas dan bantuannya. 17. Ir. C. Sudrajat Widiarso (Kepala Divisi I sebelum Maret 2003 dan Kepala Divisi Harvesting), Puguh Santoso Adi (Kepala Divisi I sesudah Maret 2003), Ir. Agus Rizal, Ir. Suharyanto, Sarjono, Pamuji, Solikhin yang telah menyediakan lahan dengan segala fasilitasnya untuk penelitian dengan dukungan, bantuan, dan sara-saran yang sangat berarti. 18. Ir. Bambang Wahyono (Kepala Divisi II) yang telah menyediakan lahan untuk penelitian dengan dukungan dan bantuan. 19. Natanel, Binarso, dan Slamet Riyanto dari bagian Workshop yang telah membantu menyediakan peralatan dan mesin pertanian yang diperlukan. 20. Parmo, Sahnan, Eka, Sri yang telah membantu analisa tanah dan daun. 21. Kabul, Agus, Zubaidah yang telah membantu analisa kemasakan tebu. 22. Suyanto, Agus, Amroni Subroto yang telah berperan penting dalam koordinasi kegiatan di lapang dengan bantuan dan saran-saran penting. 23. Timbul S., Suryadi, Teguh, Suroso, Sahdad, Tukino, Rudi, Hendri W., Amirudin, Rimba W., Sukardi, Samlawi, Lubis Mujaro, Kodarman, Triyanto, Yudi, Krismanto, Hermansyah, Danil, Amirambe, Suprapto, Triyono, Imam Hudi, Yuswanno, Dayat, Rismanto, Suroto sebagai tenaga harian dari bagian Soil & Plant Laboratory, Departemen R&D PT Gula Putih Mataram yang telah membantu pengambilan data di lapang. 24. Warji, Zubeid, Nurdin, Ma ruf, Nuri, Imam Ghuzuli, Rudi, Kurdi, Ngaspani, Indri Yatno, Agus, Hamrudin, Herwani, Atin, Sutarno, Edi dari Divisi I yang telah membantu pengawasan dan pelaksanaan kegiatan di lapang. 25. Bambang Sutrisno dan Supriyono selaku operator traktor 26. Darwis, Octa, Lucki, Wage, Suwardi, Agus, Habib, Sutijo, Dedek Suwito, Samsudin, Qoidori, M. Kasan, Sabar S., dan rekan-rekan dari tenaga harian di Divisi I yang telah membantu pelaksanaan kegiatan lapang. 27. Nur Aminah, Aminah Sulandari, Yeni, Eko, dan rekan-rekan dari bagian administrasi R&D GPM Group yang telah membantu kelancaran komunikasi kegiatan dan data. 28. Slamet, Rebo, dan rekan-rekan yang telah membantu kegiatan pemetaan di lapang. 29. Joko Kris, Jayus, Saribun, Sulaksono, Bambang, Anjas, Rustiningsih, Salamah, Setiarti, Bibit, Kusmiyati, Ribut, Junarwan, dan rekan-rekan yang telah membantu pelaksanaan aplikasi pengendalian dan pengamatan hama dan penyakit.

30. Drs. Wisnu Broto, Suratmin, Karis, dan rekan-rekan yang telah membantu pengamatan gulma. 31. Dr. Jamalam Lumbanraja dan Dewi Anggraini dari Laboratorium Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung yang telah membantu analisa unsur hara sebagian sampel tanah dan daun.

32. Zahrudin, Paham, Parman , Imron Rosidi, Rifai, Solekhan, Bambang, Sukimin, Kirman, dan Mujiyono yang telah membantu kelancaran transportasi di lapang. 33. Sarno, Soleh, Soni, Ismet, Mulyanto, Istudi yang telah membantu kelancaran transportasi keluar-masuk PT GPM dan kegiatan di dalam PT GPM. 34. Sarti, Indah, Susi, Indun Asia, Rudi, Habib, Asmoro, Joni, Sardi di bagian Mess B PT GPM yang telah membantu fasilitas mess dengan segala keramahan dan keakraban selama penulis tinggal di Mess B. 35. Dokter Maryoto, drg. Fitri, Padang Haruman, Anwar yang telah memberikan suasana akrab dan kekeluargaan dengan diskusi dan sumbang-saran pikiran sebagai sesama warga sementara Mess B. 36. Rekan-rekan seperjuangan: Dr. Slame t Suprayogi, Dr. Hermantoro, Dr. Gani Suhadi, Dr. Tamrin Latief, Dr. Gatot Pramuhadi, dan Dr. Arief RM Akbar atas dorongan dan semangat yang senantiasa diberikan. 37. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya pada program Studi Ilmu Kete knikan Pertanian : Listyanto, Mustafril, Rudiyanto, dan kawan-kawan atas dorongan dan semangat serta partisipasi yang telah diberikan. 38. Rudiyanto dan Muhammad Nur Hendiyanto yang telah membantu dalam pemrograman. Khusus kepada Rudiyanto juga disampaikan terima kasih atas izin penggunaan program Backpro2N versi bahasa Delphi 5.0. 39. Gozali, Kasman, Jonifli, dan Sugiyanto yang senantiasa siap membantu mempersiapkan perlengkapan presentasi. 40. Seluruh Keluarga Besar Keparakan Lor dan Glagahsari yang telah banyak membantu moril maupun materiil. 41. Almarhumah Ibunda Sardjuni Siti Ngatidjah, Almarhum Ayahanda Hendro Subardjo, Almarhum Kakek Wirjodisastro, Almarhumah Nenek Siti Aminah Wirjodisastro, Almarhum Ayahanda Mertua Poniman Somo Sukarto, dan semua leluhur. 42. Istriku Sukarni bersama anak-anakku Tresti Wikan Ayu Prabawarni dan Khansa Pinka Daniswara yang dengan sabar dan kasih sayang memberi do a, dorongan, hiburan, dan semangat.

L A M P I R A N

Lampiran 1 Akurasi program Artificial Neural Network (ANN) pada penentuan jumlah hara yang dibutuhkan No. Pupuk Pertama Pupuk Kedua N P N K Data ANN Data ANN Data ANN Data ANN 1 73 69 69 79 58 68 180 184 2 46 45 63 41 92 94 180 179 3 119 105 69 72 0 14 150 150 4 123 120 138 141 0 2 150 150 5 46 58 138 132 92 80 180 183 6 46 44 108 102 92 84 180 170 7 54 51 138 131 69 81 180 177 8 46 62 63 51 92 81 180 182 9 46 39 108 112 69 87 150 157 10 54 40 108 117 92 89 150 153 11 54 65 138 132 69 50 150 150 Pupuk Pertama N data (kg/ha) 160 120 80 40 0 R2=0.9253 0 40 80 120 160 Pupuk Pertama N model ANN (kg/ha)

Lampiran 1 Akurasi program Artificial Neural Network (ANN) pada penentuan jumlah hara yang dibutuhkan (lanjutan) 0 40 80 120 160 Pupuk Pertama P model ANN (kg/ha) 0 40 80 120 160 Pupuk Pertama P data (kg/ha) R2=0.8836 0 20 40 60 80 100Pupuk Kedua N data (kg/ha) R2=0.880 0 20 40 60 80 100 Pupuk Kedua N model ANN (kg/ha)

Lampiran 1 Akurasi program Artificial Neural Network (ANN) pada penentuan jumlah hara yang dibutuhkan (lanjutan) Pupuk Kedua K data (kg/ha) 200 150 100 50 0 R2=0.92 0 50 100 150 200 Pupuk Kedua K model ANN (kg/ha)

Lampiran 2 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan A-PF 140 120 160 80 100 180 60 200 180160 140 200 100180 100 160 120 160 180 160 140 18080 100 140 160 180 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te r s P et a D osi s pe r s D OS IS UR EA PE R TA P lot P e rc obaa n A U batas se l kontur teoritis dosis (kg/ha) Ke tera ngan : (dalam kg/ha) ____ 56.5 56.5 -94.3 94.3 -132.2 132.2 -170 170-207.8 Lampiran 3 Peta dosis Plot Percobaan A-PF

e l dan Kon t ur Te or it is M A

Ur ea per tama

per sel dan kontur teoritis dosis TSP

40 0 20 6080100 120 140 160 180 100 0 80 120 20 60 120 0 20 140 160 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e ter s Pe t a D osis pe r se l dan K ont u r T eor it is D O SIS TS P P lo t P e r co baan A U batas sel kontur teoritis dosis TSP Ke tera ngan : (dala mkg/ha) ____ 0 0-107.4 107.4 -145.3 145.3 -163.5 163.5 -190.8

Lampiran 4 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan A-PF 660400 440 460 420 380 480 360 400420440 420 380 400 480 360 0 0 50 50 1 00 1 00 1 50 1 50 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te rs Pe ta D osis pe r se l dan Ko ntu r Te orit is DO SIS U RE A KED U A P lot Pe rc obaan A U batas sel kon tu r teoritis dosis U rea kedua (kg/ha) Keterangan : (dalam kg /ha) __ __ 338 .3 -379.3 379 .3 -406.1 406 .1 -425.3 425 .3 -457 457 -484.4 Lampiran 5 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan A-PF 0 50 100 150 610 650 670 640 650 630640 620630

640 630 620 660 670 640 630 620 650 630 650 650 Peta Dosis per sel dan Kontur Teoritis 250 DOSIS K Cl Plot Percobaan A U 200 250 200 150 100 50 0 150 25 0 25 50 Meters 100 Keterangan : batas sel kontur teoritisdosis KCl 50 609.7 616.2 629.2 645.2 0 -616.2 -629.2 -645.2 -661.8

661.8 -676.5 0 50 100 150 (dalam kg/ha)

Lampiran 6 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan B-PF 360 320 300 380 340 280 400 260 420440 360 380380 340 320 300 340 340 240 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 5 0 75 Meters P e t a D os is pe r s e l d an K on t u r Te or it is D O S IS U R E A P ER T A M A P lot P e r co b aan B kontur teori tis dosis Urea per tama (kg/ ha) batas petak dan sel (dala m kg/ha) yang tidak dia mati batas se l yang dia ma ti ____ Ke tera ngan : U 236.1 236.1 -311.7 311.7 -354.8 354.8 -392 392 -447.7 Lampiran 7 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan B-PF 0 20 406080

100 140 120 160 80 60 120 8060 80 100 60 80 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 5 0 75 M eters P e t a D o si s p e r s e l d an K on t ur T e or it i s D O S IS T S P P l ot P e r co b aan B kontur teoritis dosis TSP batas petak dan sel (dalam kg/ha) yang tidak diama ti batas sel yang diama ti ____ Ke tera ngan : U 0 -24 24 -63 63 -108.8 108.8 -131.8 131.8 -187.4

Lampiran 8 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan B-PF 0 10 2030 40 50607080 20 40 0 50 20 30 1020 30 10 10 40 50 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 M e te rs P et a D osis pe r s e l d an K on tu r Te or it is D O S IS U R E A KE D U A P lot P e r cob aan B kontur teoritis dosis Urea kedua (kg/ha) batas petak dan sel (dala m kg/ha) yang tidak diamati batas sel yangdiama ti____ Ke terangan : U 0 -3.3 3.3 -10.7 10.7 -24.5 24.5 -63.7 63.7 -88.7 Lampiran 9 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan B-PF 480 460 500

440420 520 540 520 520 480 440 520 460 500 520 460 500 520 540 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 Me ters P et a D osi s pe r se l dan Ko nt u r Te or it is D O SI S K C l P lot P er c ob a an B kontur teor itis dosis KCl batas petak dan sel (dalam kg/ ha) yang tidak dia mati batas se l yang dia mati____ Ketera ngan : U 409.9 -419.1 419.1 -466.7 466.7 -494.8 494.8 -524 524 -550.9

460 450 440 500 470490 480 510 520 430 530 420 410 420 490 480 430 460 480 470 470 480 450 500 430 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : kontu r teoritis dosis urea kedua (kg/ha) konsep pr ecis ion farming batas petak dan sel yang tidak diamati batas sel yang diamati____ 0 kg/ha dosisi seragam dar i PT GP M 25 0 25 Me te rs U Pet a Dosis per se l dan Kont ur Teor itis DO SIS URE A K EDU A P lot Perc obaan C 460 450 440 500 470490 480 510 520

430 530 420 410 420 490 480 430 460 480 470 470 480 450 500 430 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : kontu r teoritis dosis urea kedua (kg/ha) konsep pr ecis ion farming batas petak dan sel yang tidak diamati batas sel yang diamati____ 0 kg/ha dosisi seragam dar i PT GP M 25 0 25 Me te rs U Pet a Dosis per se l dan Kont ur Teor itis DO SIS URE A K EDU A P lot Perc obaan C Lampiran 10 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan C-DS 180 170 200 160 190 210 220 150 230 140 240 250 130 110

120 140 190 170 150 130 120 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : kontur teoritis dosis ur ea pertama (kg/ha) kons ep precision farming batas petak dan sel yan g tidak diamati batas sel yang diamati____ 543 kg/ha dosisi seragam dar i PT GP M 25 0 25 Me te rs U Pet a Dosis pe r se l dan K ont ur Teoritis DOSIS UREA P ER TAMA P lot Perc obaan C420 Lampiran 11 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan C-DS

Lampiran 12 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan D-DS Peta D osis p er s el d an Kon tu r Teoritis DOSIS UREA PERTAMA P lo t Percob aan D 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 4 44 0380 400 420 460 420 40 00 460 4 44 0 4 44 0 440 420 40 00 340320 400 360 U 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 100 75 50 25 0 250 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis dosis Urea pertama (kg/ha) konsep precison farming 583 kg/ha dosis seragamdariPT GPM Lampiran 13 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP

Plot Percobaan D-DS Pet a D os is per sel dan Ko nt ur Teoritis DOSIS TSP Plot Perc obaa n D 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 340 260 260 300 340 260 220 380 340 423800 180 140 060 20 10 00 U 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 100 75 50 25 0 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis dosis TSP (kg/ha) konsep precison farming 217 kg/ha dosis seragamdari PTGP M

Lampiran 14 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan D-DS Peta Do sis per s el dan Ko ntu r Teoritis D OSI S UR EA KED UA Plo t Percobaa n D U batas sel kontur teoritis dosis urea kedua (kg/ha) konsep precison farming Keterangan : ____ 0 kg/ha dosis seragam dari PTGPM 420 400 360 340 380440 320 460 420 440 400 400 440 420 400 440 460 0 0 25 25 50 50 75 75 100 100 125 125 150 150 175 175 200 200 225 225 250 25000 2525 5050 7575 100100 25 0 25 50 Meters Lampiran 15 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan D-DS

Peta D osis p er sel dan Kon tur Teoritis DOSI S KCl Plot Perco baan D U batas sel kontur teoritis dosis KCl (kg/ha) konsep precison farming Keterangan : ____ 417 kg/ha dosis seragamdariPT GPM 650 640 660 630 670 620 610 640 650630 0 0 25 25 50 50 75 75 100 100 125 125 150 150 175 175 200 200 225 225 250 25000 2525 5050 7575 100100 25 0 25 50 Meters

Lampiran 16 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea pertama Plot Percobaan E-PF Pet a Dosis pe r se l dan Kont ur Te or iti s DO SIS UREA P ER TA MA Plot P e rcob aan E U batas s el kontur teo ritis dosis U rea p ertama (kg/ha) Ketera ngan : (dalam kg/ha) __ _ _ 50 0 50 Me ter s 200 180 160 240 220 140 220 200 180 180 200 160 220 220 200 160 240 180 200 220 220 180 200 220 180 160 220 200 220 220 260 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 15 0 200 20 0 250 25 0

300 30 0 350 35 0 400 40 0 450 45 0 137.4 -151 .1 151.1 -174 .6 174.6 -193 .2 193.2 -211 .7 211.7 -267 .5 Lampiran 17 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis TSP Plot Percobaan E-PF P et a D osi s per se l dan Kont ur Te or iti s DOSIS TSP Plot P er cobaan E U batas sel k ontu r teoritis dosis TS P Keteran gan : (dalam kg/ha) __ _ _ 50 0 50 Me ters 120 200 0 0 360 120 40 280 200 240 160 40 40 200 80 80 120 200 0 160 80 40 240 280 320 360 200 80 120 320280 240 120 200 160 120 40 120 240 200

80 240 8040 280 400 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 0 -11.3 11.3 -109.6 109.6 -184.3 184.3 -285 285 -414.8

Lampiran 18 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis Urea kedua Plot Percobaan E-PF Pet a Dosis per se l dan K ont ur Teorit is DOSIS UR EA K EDU A Pl ot Pe rcobaan E U batas sel kontu r teoritis dosis Ur ea kedu a (kg /ha) Keterangan : (dalam kg/ha) _ _ __ 50 0 50 Mete rs 440 400 320280 360 480 360 440 480 400 400 400 440 440 360 440 440 400 400 400 440 440 360 480 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 15 0 200 20 0 250 25 0 300 30 0 350 35 0 400 40 0 450 45 0 235.8 -356.2 356.2 -409.7 409.7 -446.6

446.6 -477.3 477.3 -501.2 Lampiran 19 Peta dosis per sel dan kontur teoritis dosis KCl Plot Percobaan E-PF Pet a Dosi s pe r sel dan Kontur Te or itis DOSIS KC l Plot P er cobaan E U batas s el kon tur teoritis dos is K Cl Keteran gan : (dalam kg/ha) __ _ _ 50 0 50 Me te rs 660 620 680 640 600 700 580 680 660 640 680 680 680 680 660 640660 680 680 680 680 660 620 640 640 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 25 0 25 0 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 56 9.9 -598 .7 59 8.7 -646 .3

64 6.3 -671 .9 67 1.9 -690 .1 69 0.1 -714 .4

Lampiran 20 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan A-PF 78 82 86 74 70 90 74 78 74 70 78 82 90 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te rs P et a S eb ar an p er se l d an K ont ur Te o rit is P O PU LA S I T EBU p ada Tak sasi Aw a l P lot P er c ob aan A U batas sel kontur teoritis populasi tebu Keterangan : ____ (dala mribuan) 66000-72000 72001-75000 75001-80000 80001-86000 86001-94000 Lampiran 21 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan A-PF 64 68 72 76 60 72 68 68 72 60

60 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te rs P e t a Se b ara n p er se l d an K ont u r T e ori t is P O P U LA S I T EBU p ada T aks asi A kh ir P lot P er c ob aan A U batas sel kontur teoritis populasi tebu Ke tera ngan : ____ (dala mribuan) 56000 -60000 60001 -64000 64001 -69000 69001 -75000 75001 -80000

Lampiran 22 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan B-PF 76 80 72 84 68 88 92 100 64 104 9684 76 84 88 72 72 92 96 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 2 5 0 2 5 5 0 7 5 Me ters P e t a S e b a r a n p e r se l d a n K on t u r T e o r i t is P O P U L A S I T E B U p a d a T a k sa s i A w a l P lo t P e r c o b a an B kontu r teori tis popula si tebu (dal am ribua n) bata s pe tak dan sel ya ng tidak dia m a ti ba tas se l ya ng dia ma ti____ Ket era nga n : U 61000 -65000 65001 -74000 74001 -80000 80001 -89000 89001 -108000 Lampiran 23 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan B-PF 70 66 78

74 82 62 58 8690 70 66 66 66 74 70 70 74 62 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 M ete rs P e t a S e b ar a n p e r s e l d an K o n t u r T e o ri t i s P O P U L A S I T E B U p a d a T ak s a si A k h ir P l ot P e r c o ba a n B kontur t eoritis populasi te bu (dala m ribuan) ba tas peta k da n sel yan g tidak dia ma ti ba tas se l yang dia ma ti____ Ke tera ngan : U 54000 54001 -65000 65001 -69000 69001 -77000 77001 -92000

Lampiran 24 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan C-DS 70 78 74 82 78 74 70 82 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : kontur teoritis populas i tebu (dalam ribuan) batas petak dan sel yang tidak diamati batas sel yang diamati____ 25 0 25 Meter s U Pet a Se baran per sel dan K ont ur Te oritis PO PULAS I TEBU pada Taksasi Aw al P lot Per cobaan C 66000 -68000 68001 -72000 72001 -76000 76001 -79000 79001 -86000 Lampiran 25 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan C-DS 66 70 58 62 74 54 70 66 66 66 62 0 0 50

50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keteran gan : kontu r teoritis populasi tebu (d alam ribua n) batas petak dan sel yang tidak diamati batas sel yan g diamati____ 25 0 25 Mete rs U Pet a Se baran p er sel dan Kontur Te ori tis POP ULASI TEBU p ada Taksasi Akhir Plot P erc ob aan C 53000 -54000 54001 -59000 59001 -64000 64001 -71000 71001 -77000

Lampiran 26 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan D-DS PetaSebaranper seldanKontur Teoritis POPULA SI TEBU pada Taksasi Awal Plo t Percob aan D 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 U 118114 98 12 22 126106 10290 86 82 94 94 110 9098 98 90 110 86 82 106 102 1 11 4 100 75 50 25 0 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis populas itebu (dalam ribuan) 77000-78000 78001-89000 89001-102000 102001 -115000 115001 -130000

Lampiran 27 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan D-DS Peta POPU pada Plot Seba ra n per s el da n K ontur Teoritis LAS I TEBU TaksasiAkhir Percob aan D

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 62 74 78 869082 70 74 58 62 62 66 66 62 74 70 70 7882 U 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 100 75 50 25 0 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis populasi tebu (dalamribuan) 55000 55001 60001 68001 78001 -60000 -68000 -78000 -93000

Lampiran 28 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan E-PF Pe ta Se baran per sel dan Kontur Teori tis P O PU LASI TEBU pada Ta ksasi A wal P lot P er cobaan E U batas sel kon tur teoritis populas i tebu (dalam ribuan) Keterangan : ____ 50 0 50 M ete rs 90 96 102 84 108 114 120 78 96 78114 102 120 108 90 102 114 84 96 90 90 84 84 108 90 96 90 102 108 114 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 15 0 150 20 0 200 25 0 250 30 0 300 35 0 350

40 0 400 45 0 450 72000 -840 00 84001 -940 00 94001 -104 000 104001 -11 2000 112001 -12 7000 Lampiran 29 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis populasi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan E-PF Pet a Seb aran per sel dan Kontu r Teor it is P O PU LAS I TEBU p ad a T aksasi A khir P lot P er cobaan E U batas sel kontu r teoritis p opulas i tebu (d alam ribuan ) Keteran gan : ____ 50 0 50 Me ter s 74 62 80 68 8690 56 74 56 62 62 68 74 68 74 68 62 62 68 80 80 74 62 68 56 0 0 5 0 5 0 10 0 10 0 1 50 1 50 200 200 250 250 1 50 15 0 2 00 20 0 2 50 25 0

3 00 30 0 3 50 35 0 4 00 40 0 4 50 45 0 51 000 -58000 58 001 -64000 64 001 -69000 69 001 -78000 78 001 -94000

Lampiran 30 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan A-PF 220 230 210 200 240 190 180 220 230 230 220 230 210 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Me te r s P et a Se b ara n p er se l da n K ont ur Te or it is T IN GG I T EB U p ada Tak sa si Aw al P lot P er c ob aan A U batas se l kontur teoritis tinggi tebu Keterangan : (dalam cm) ____ 177 -182 183 -190 191 -203 204 -216 217 -223 Lampiran 31 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan A-PF 274 280286 268262 298 256292 292286 262 268 262 280

274 268 262 268 280 286 262 256 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te rs Pe t a S e bar an pe r se l da n K ont u r Te or it is TIN G G I T E BU p ad a T aksas i A kh ir P l ot P er c ob aan A U batas sel kontur teoritis tinggi tebu Keterangan : (dala m cm) ____ 229 -240 240 -250 250 -258 258 -267 267 -285

Lampiran 32 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan B-PF 220 214 226 208 232 202 196 238 232 226 232 220 238 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 2 5 50 75 Mete rs P et a Se ba ra n p e r s el da n K ont u r Te or it is T IN GG I T E B U p ad a Ta ksa si A w a l P l ot P e r c ob aa n B kontur teoritis t inggi tebu bat as petak dan sel (dalam cm) yang tidak dia ma ti batas se l yang dia mati____ Ke terangan : U 155 -169 170 -182 183 -192 193 -200 201 -206 Lampiran 33 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan B-PF 260 270 280 250 240 290 230

260 250 270 280 250 260 270 290 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 M eters P et a S e ba ra n p e r s el da n K on t ur Te o ri t is T IN G G I T E BU p ad a T ak sas i A k h ir P l ot P e r c ob aan B kontur teoritis tinggi te bu batas petak dan sel (dalam cm) yang tidak dia mati batas se l yang diama ti____ Ketera ngan : U 212 -233 233 -247 247 -258 258 -267 267 -284

240 250 255 235 245 260 230 265 270 225 275 220 280 255 250240255 235 245 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 5 0 100 1 00 150 1 50 200 2 00 250 2 50 Keterangan : kontu r teoritis tinggi tebu batas petak dan sel (dalam cm) yan g tidak diamati batas sel yang diamati____ 25 0 25 Me te rs U P eta Sebaran p er sel dan K ontur Te or itis TINGGI TEBU p ad a Taksasi Akhir Plot Perc ob aan C 192 -211 211 -227 227 -240 240 -253 253 -273 240 250 255 235 245 260 230 265 270 225 275

220 280 255 250240255 235 245 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 5 0 100 1 00 150 1 50 200 2 00 250 2 50 Keterangan : kontu r teoritis tinggi tebu batas petak dan sel (dalam cm) yan g tidak diamati batas sel yang diamati____ 25 0 25 Me te rs U P eta Sebaran p er sel dan K ontur Te or itis TINGGI TEBU p ad a Taksasi Akhir Plot Perc ob aan C 192 -211 211 -227 227 -240 240 -253 253 -273 Lampiran 34 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan C-DS 202 208 214 220196 226 190 232 214 202202 208 196 232 0 0 50 50 100 100 150 150

0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keterangan : kon tur teoritis tin ggi tebu batas petak dan s el (dalam cm) yang tidak diamati batas se l yang diamati____ 25 0 25 Me ters U Pet a Se baran p er sel dan K ontur Te orit is TINGGI TEBU pada Taksasi Aw al Plot Perc ob aan C 158 -168 169 -176 177 -182 183 -198 199 -208215 Lampiran 35 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan C-DS

Lampiran 36 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan D-DS Peta Sebaran per sel dan KonturTeoritis TINGG I TEBU pada Taksasi Awal Plot Percob aan D 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 U 146 142 150146 134 138 134 138 134 150 130158 16216 66 154 150 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis tinggitebu 91 -96 100 75 50 25 0 97 -106 107 -114 115 -122 123 -133 (dalam cm) Lampiran 37 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan D-DS Peta sebaran perseldan KonturTeoritis TINGGI TEBU pada Taksasi Akhir Plot Percob aan D

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 U 186 198 210 192180 210 216 204 216 222 228 198 192 180186 198 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 100 75 50 25 0 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis tinggi tebu 154 -159 160 -168 169 -184 185 -198 199 -217 (dalam cm)

Lampiran 38 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi awal Plot Percobaan E-PF P et a Se baran pe r sel dan Kontur Te orit is T IN GGI TEBU pada Taksasi Awal Plot P er cobaan E U batas sel kontu r teoritis tinggi tebu Keterangan : (d alam cm) ____ 50 0 50 Me te rs 142 136 154 148 160166 118 124 130 154 130 160 130 136 130 142 142 136 154 124 130 148 124 142 148 148 160 124 142 130 136 154148 142 142 124130 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250

250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 74 -82 83 -94 95 -104 105 -121 122 -140 Lampiran 39 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis tinggi tebu pada taksasi akhir Plot Percobaan E-PF Pet a Sebaran per sel dan Kont ur Teorit is TING GI TEBU pad a Taksasi Akhir Plot Per cobaan E U batas s el kontur teoritis tinggi tebu Keterangan : (dalam cm) ____ 50 0 50 Mete rs 210 200 220 190 230240 180 170 250 250 210 220 220 210 190 220 240 180 210 190 200 210 230 240 200 200 190 190 190 230 210 0 0 50

50 100 100 150 150 200 200 250 250 150 200 250 300 350 400 450 145 165 182 196 210

150 200 250 300 350 400 450 -164 -181 -195 -209 -242

Lampiran 40 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan A-PF 92 88 100 80 84 104 76 96 96 84 80 96 92 96 80 88 76 96 88100 96 96 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 M e te rs Pe t a Se bar an p er se l da n Kon tu r T eo rit is T A KSA S I A W AL P lo t P er c ob aa n A U batas se l kontur teoritis taksa si awal Keterangan : (dala mtontebu/ha) ____ 73.69 -75.84 75.84 -84.51 84.51 -91.11 91.11 -97.31 97.31 -106.56 Lampiran 41 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan A-PF 76 72 8064

84 88 92 68 94 98 84 76 68 84 92 80 64 88 76 80 92 92 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 Met ers P et a S e b ar an p e r s el da n K on t ur T e o ri t is T A K S A S I A K H IR P l o t P e r c ob aa n A Ke teranga n : (dala m ton tebu/ha) kontur teoritis taksa si akhir batas se l____ U 59.99 -66.97 66.97 -73.81 73.81 -81.45 81.45 -89.11 89.11 -101.44

Lampiran 42 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan B-PF 92 80 88 84 100 96 76 104 7268 0 112 64 10876 92 108 92 84 72 100 96 96 88 80 88 76 888096 84 84 92 80 76 72 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 25 0 25 50 75 M e te r s P et a Se b ar an p er s el d an K ont u r Te o ri t is T A K SA S I A W A L P lot P e r co ba an B kontur teoritis taksasi awal batas petak dan sel (dala m ton tebu/ha) yang tidak diama ti

batas sel yang dia mati____ Ke terangan : U 60.01 -73.16 73.16 -82.17 82.17 -87.93 87.93 -97.98 97.98 -118.47 Lampiran 43 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan B-PF 86 90 94 78 82 74 70 98 66 66 78 74 78 70 90 86 78 78 74 82 8286 94 74 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 300 300 25 0 25 50 M e te r s P e t a Se b ara n p e r s el dan K on t ur Te o ri t is TA K SA S I A KH IR P l ot P e r c oba an B (dalam tontebu/ha) Ke terangan : batas petak dan sel kontur teoritis taksa si akhir yang tidak diamati

batas U 62.63 66.65 76.11 82.11 88.81

sel yang diamati____ -66.65 -76.11 -82.11 -88.81 -101.52

Lampiran 44 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan C-DS 80 84 76 88 72 92 68 96 80 88 84 84 84 72 92 100 0 0 50 50 100 100 15 0 15 0 0 0 50 50 100 100 150 150 200 200 250 250 Keteran gan : kontur teoritis taksas i awal batas petak d an sel (dalam ton tebu/ha) yan g tidak diamati batas se l yang diamati____ 25 0 25 M ete rs U P eta Se baran per sel dan Kont ur Te orit is TA KSASI A WA L Pl ot P erc ob aan C 65.23 -70.43 70.43 -76.35 76.35 -80.73 80.73 -85.26 85.26 -101 .21 Lampiran 45 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan C-DS Keterangan : kontur teoritis taksasi akhir batas petak dan sel (dalam ton tebu/ha) yan g tidak d iama ti batas sel yang diamati_ ___ U

P et a Se baran per sel dan Kont ur Te orit is TA KS ASI AKH IR Pl ot P erc ob aan C 64 68 76 72 60 56 80 52 8488 72 76 68 76 80 80 0 0 50 50 100 100 150 150 0 0 5 0 50 10 0 100 15 0 150 20 0 200 25 0 250 25 0 25 50 75 Me te rs 48 .58 -5 0.77 50 .77 -6 6.86 66 .86 -7 2.71 72 .71 -7 6.32 76 .32 -8 9.81

Lampiran 46 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan D-DS PetaSebaranperseldanKontur Teoritis TAKSASI AWAL Plo t Percob aan D U 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0255075100 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 54 60 60 54 51 63 48 57 54 54 51 5157 60 51 69636 66 100 75 50 25 0 250 25 0 25 50 Meters Keterangan : batas sel kontur teoritis taksasi awal 45.17 -50.07 50.07 -55.78 55.78 -59.66 59.66 -64.17 64.17 -69.98 (dalamton tebu/ha) Lampiran 47 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan D-DS Pet a Seb aran p er s el da n Kont ur Teoritis TA KSA SI AKHI R Plot Percob aan D U batas sel

kontur teoritis taksasi akhir Keterangan : (dalam ton tebu/ha) ____ 58 62 50 6654 46 72 4266 62 58 62 54 54 0 0 25 25 50 50 75 75 100 100 125 125 150 150 175 175 200 200 225 225 250 250 00 2525 5050 7575 100100 25 0 25 5 0 Mete rs 40.69 -47.64 47.64 -56.12 56.12 -58.88 58.88 -62.04 62.04 -71.58

Lampiran 48 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi awal Plot Percobaan E-PF Pet a Se baran per sel dan K ont ur Teorit is TAKSAS I AW AL Plot Pe rcobaan E U batas sel kontur teoritis taksasi awal Keterangan : (dalam ton tebu/ha) ____ 50 0 50 Meter s 56 5248 60 64 68 44 44 44 60 56 64 44 52 52 56 56 52 60 56 64 48 60 56 48 48 48 60 60 56 64 48 56 60 48 48 60 56 6472 0 0 50 50 100 100 150 150

200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 39.24 -44.81 44.81 -50.28 50.28 -57.15 57.15 -63.89 63.89 -78.15 Lampiran 49 Peta sebaran per sel dan kontur teoritis taksasi akhir Plot Percobaan E-PF P eta Se baran per sel dan K ont ur Te orit is TAK SASI AKH IR P lot P er cobaan E U batas sel k ontu r teoritis taks asi akhir Ke terangan : (dalam ton tebu/ha) __ __ 0 56 74 80 68 50 86 62 44 44 56 62 68 50 50 44 5050 56 68 56 62 62 68 80 62 50 50 56 74 62 62 0

0 5 0 5 0 10 0 10 0 150 150 200 200 250 250 150 150 200 200 250 250 300 300 350 350 400 400 450 450 50 0 50 Me ters 39.04 -46.01 46.01 -53.44 53.44 -61.64 61.64 -74.05 74.05 -87.46

Lampiran 50 Uji beda nyata rata -rata kadar gula setiap plot percobaan terhadap nilai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% Parameter N Mean Std. Deviation Std. Error Mean t df Nilai Pembanding Keterangan Kadar gula pada taksasi awal (% Pol) Plot Percobaan A-PF 33 12.4933 0.99373 0.17299 -23.162 32 16.5 beda nyata Kadar gula pada taksasi akhir (% Pol) Plot Percobaan A-PF 33 16.9894 0.95738 0.16666 2.937 32 16.5 beda nyata Kadar gula pada taksasi awal (% Pol) Plot Percobaan B-PF 32 12.6850 0.62304 0.11014 -34.638 31 16.5 beda nyata Kadar gula pada taksasi akhir (% Pol) Plot Percobaan B-PF 32 16.8431 1.02140 0.18056 1.900 31 16.5 tidak beda nyata Kadar gula pada taksasi awal (% Pol) Plot Percobaan C-DS 16 13.2975 0.82993 0.20748 -15.435 15 16.5 beda nyata Kadar gula pada taksasi akhir (% Pol) Plot Percobaan C-DS 16 18.6338 0.96319 0.24080 8.861 15 16.5 beda nyata Kadar gula pada taksasi awal (% Pol) Plot Percobaan D-DS 15 8.6320 1.39290 0.35965 -31.609 14 20 beda nyata Kadar gula pada taksasi akhir (% Pol) Plot Percobaan D-DS 15 14.2367 1.23360 0.31852 -18.094 14 20 beda nyata Kadar gula pada taksasi awal (% Pol) Plot Percobaan E-PF 45 7.1964 0.93834 0.13988 -91.533 44 20 beda nyata Kadar gula pada taksasi akhir (% Pol) Plot Percobaan E-PF 45 14.1284 1.02661 0.15304 -38.367 44 20 beda nyata

Lampiran 51 Uji beda nyata rata-rata rendemen setiap plot percobaan terhadap nil ai pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% Parameter N Mean Std. Deviation Std. Error Mean t df Nilai Pembanding Keterangan Rendemen pada taksasi awal (%) Plot Percobaan A-PF 33 5.9564 0.59304 0.10323 -39.169 32 10 beda nayata Rendemen pada taksasi akhir (%) Plot Percobaan A-PF 33 6.0973 0.60175 0.10475 -37.257 32 10 beda nyata Rendemen pada taksasi awal (%) Plot Percobaan B-PF 32 6.2100 0.48009 0.08487 -44.657 31 10 beda nyata Rendemen pada taksasi akhir (%) Plot Percobaan B-PF 32 9.0075 0.65130 0.11513 -8.620 31 10 beda nyata Rendemen pada taksasi awal (%) Plot Percobaan C-DS 16 6.2344 0.41807 0.10452 -36.028 15 10 beda nyata Rendemen pada taksasi akhir (%) Plot Percobaan C-DS 16 10.0788 0.65441 0.16360 0.481 15 10 tidak beda nyata Rendemen pada taksasi awal (%) Plot Percobaan D-DS 15 4.0113 1.00997 0.26077 -22.965 14 10 beda nyata Rendemen pada taksasi akhir (%) Plot Percobaan D-DS 15 7.5733 0.68751 0.17751 -13.670 14 10 beda nyata Rendemen pada taksasi awal (%) Plot Percobaan E-PF 45 3.0671 0.55162 0.08223 -84.311 44 10 beda nyata Rendemen pada taksasi akhir (%) Plot Percobaan E-PF 45 7.6198 0.84917 0.12659 -18.803 44 10 beda nyata

Lampiran 52 Uji beda nyata rata-rata taksasi setiap plot percobaan terhadap nila i pembanding dengan metode one-sample t test pada taraf kepercayaan 95% Parameter N Mean Std. Deviation Std. Error Mean t df Nilai Pembanding Keterangan Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan A-PF 33 90.0109 8.43290 1.46798 -6.805 32 1 00 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan A-PF 33 90.0109 8.43290 1.46798 9.837 32 75 .57 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan A-PF 33 80.1018 10.05899 1.75105 -11.364 3 2 100 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Per cobaan A-PF 33 80.1018 10.05899 1.75105 2.588 32 75.57 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan B-PF 32 87.4809 11.93968 2.11066 -10.669 31 110 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan B-PF 32 87.4809 11.93968 2.11066 0.976 31 8 5.42 tidak beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan B-PF 32 79.0372 8.52222 1.50653 -20.552 31 110 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan B-PF 32 79.0372 8.52222 1.50653 -4.237 31 85.42 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan C-DS 16 81.3006 8.96711 2.24178 -8.341 15 1 00 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan C-DS 16 81.3006 8.96711 2.24178 1.59 15 78. 03 tidak beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan C-DS 16 72.3694 10.85687 2.71422 -10.180 1 5 100 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan C-DS 16 72.3694 10.85687 2.71422 -2.086 15 78.03 tidak beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan D-DS 15 56.5140 6.56120 1.69409 -25.669 14 100 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan D-DS 15 57.2667 8.09247 2.08947 -20.452 14 100 beda nyata Taksasi awal (ton/ha) Plot Percobaan E-PF 45 52.8340 8.88937 1.32515 -35.593 44 100 beda nyata Taksasi akhir (ton/ha) Plot Percobaan E-PF 45 57.7847 10.65080 1.58773 -26.589 4 4 100 beda nyata

Lampiran 53 Uji beda nyata antara rata-rata rendemen pada taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan dengan metode paired-sample t test pada taraf kepercayaan 95% Paired Diffrerences Parameter N Mean Std. Std. Error t df Keterangan Deviation Mean Rendemen pada taksasi awal Percobaan A -PF 33 -0.1409 0.85108 0.14815 Rendemen pada taksasi awal Percobaan B -PF 32 -2.7975 0.83731 0.14802 Rendemen pada taksasi awal Percobaan C -DS 16 -3.8444 0.63717 0.15929 Rendemen pada taksasi awal Percobaan D -DS 15 -3.5620 1.08264 0.27954 Rendemen pada taksasi awal Percobaan E-PF 45 -4.5527 1.03388 0.15412

dan taksasi akhir (%) Plot -0.951 33 tidak beda nyata dan taksasi akhir (%) Plot -18.900 32 beda nyata dan taksasi akhir (%) Plot -24.134 16 beda nyata dan taksasi akhir (%) Plot -12.742 15 beda nyata dan taksasi akhir (%) Plot -29.539 45 beda nyata

Lampiran 54 Uji beda nyata antara rata -rata taksasi awal dan akhir setiap plot percobaan dengan metode paired-sample t test pada taraf kepercayaan 95% Paired Diffrerences Parameter N Mean Std. Std. Error t df Keterangan Deviation Mean Taksasi awal dan akhir (ton/ha) 827 32 beda nyata Taksasi awal dan akhir (ton/ha) 4.212 31 beda nyata Taksasi awal dan akhir (ton/ha) 774 15 beda nyata Taksasi awal dan akhir (ton/ha) 0.463 14 tidak beda nyata Taksasi awal dan akhir (ton/ha) 3.762 44 beda nyata

Plot Percobaan A-PF 33 9.9091 8.33819 1.45149 6. Plot Percobaan B -PF 32 8.4438 11.33932 2.00453 Plot Percobaan C-DS 16 8.9312 7.48256 1.87064 4. Plot Percobaan D-DS 15 -0.7527 6.30010 1.62668 Plot Percobaan E-PF 45 -4.9507 8.82832 1.31605 -

Lampiran 55 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way ANOVA Dosis Urea Dasar (kg/ha) Subset for alpha = .05 Plot Percobaan N 1234 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan A-PF 33 140.7727 Plot Percobaan E-PF 45 198.1333 Plot Percobaan B-PF 32 345.7375 Plot Percobaan C-DS 16 543.4800 Plot Percobaan D-DS 15 543.4800 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Dosis Urea Susulan (kg/ha) Plot Percobaan 1 2 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Sig. .921 .823 N Subset for alpha = .05 Plot D-DS B-PF A-PF E-PF Percobaan C-DS 16 .0000 15 .0000 32 8.3906 33 418.7091 45 429.5022

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Dosis TSP (kg/ha) Plot Percobaan 1 2 3 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan N Subset for alpha = .05 Plot A-PF E-PF C-DS D-DS Percobaan B-PF 32 27.4375 33 32.7667 45 116.2756 16 217.3900 15 217.3900

Sig. .999 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed.

Lampiran 53 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way ANOVA (lanjutan) Dosis KCl (kg/ha) Subset for alpha = .05 Plot Percobaan N 1 2 3 4 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan C-DS 16 416.6700 Plot Percobaan D-DS 15 416.6700 Plot Percobaan B-PF 32 494.4750 Plot Percobaan A-PF 33 639.2091 Plot Percobaan E-PF 45 666.1711 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Populasi Tebu pada Taksasi Awal (dalam ribuan) Plot Percobaan 1 2 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Sig. .699 .449 N Subset for alpha = .05 Plot A-PF B-PF E-PF D-DS Percobaan C-DS 16 74.9375 33 78.0000 32 79.0938 45 96.5778 15 102.0000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Populasi Tebu pada Taksasi Akhir (dalam ribuan) Subset for alpha = .05 Plot Percobaan 1 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Sig. .601

N Plot A-PF E-PF B-PF D-DS Percobaan C-DS 16 66.0000 33 67.0909 45 67.1556 32 68.4688 15 69.2000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b T he group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Ty pe I error levels are not guaranteed.

Lampiran 53 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way ANOVA (lanjutan) Tinggi Tebu pada Taksasi Awal (cm) Subset for alpha = .05 Plot Percobaan N 123 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan E-PF 45 106.0222 Plot Percobaan D-DS 15 107.2667 Plot Percobaan C-DS 16 185.3125 Plot Percobaan B-PF 32 188.9688 188.9688 Plot Percobaan A-PF 33 197.5758 Sig. .998 .900 .228 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Tinggi Tebu pada Taksasi Akhir (cm) Plot Percobaan 1 2 3 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Sig. .820 .093 N Subset for alpha = .05 Plot E-PF C-DS B-PF A-PF .561 Percobaan D-DS 15 178.6667 45 184.3333 16 234.7500 32 248.0313 248.0313 33 255.9697

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. T y pe I error levels are not guaranteed. Rendemen pada Taksasi Awal (%) Plot Percobaan N Subset for alpha = .05 1 2 3 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan E-PF 45 3.0671 Plot Percobaan D-DS 15 4.0113 Plot Percobaan A-PF 33 5.9564 Plot Percobaan B-PF 32 6.2100 Plot Percobaan C-DS 16 6.2344 Sig. 1.000 1.000 .505

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed.

Lampiran 53 Uji beda nyata antar plot percobaan dengan metode One Way ANOVA (lanjutan) Rendemen pada Taksasi Akhir (%) Subset for alpha = .05 Plot Percobaan N 1234 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan A-PF 33 6.0973 Plot Percobaan D-DS 15 7.5733 Plot Percobaan E-PF 45 7.6198 Plot Percobaan B-PF 32 9.0075 Plot Percobaan C-DS 16 10.0788 Sig. 1.000 .999 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Taksasi Awal (ton tebu/ha) Plot Percobaan 1 2 3 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Plot Percobaan Sig. .665 .166 N Subset for alpha = .05 Plot D-DS C-DS B-PF A-PF .887 Percobaan E-PF 45 52.8340 15 56.5140 16 81.3006 32 87.4809 87.4809 33 90.0109

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed. Taksasi Akhir (ton tebu/ha) Plot Percobaan N Subset for alpha = .05 1 2 Tukey HSD(a,b) Plot Percobaan D-DS 15 57.2667 Plot Percobaan E-PF 45 57.7847 Plot Percobaan C-DS 16 72.3694 Plot Percobaan B-PF 32 79.0372 Plot Percobaan A-PF 33 80.1018 Sig. 1.000 .060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.481. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Typ e I error levels are not guaranteed.

Lampiran 56 P engamatan hama dan penyakit Umur tebu (bulan) Plot Jumlah batang Kutu Perisai Intensitas luas serangan % serangan PB % serangan Intensitas seranganKPR Int. KPR N. Kuning N. Cincin K. Daun I II TB SB 4.5 A-PF 93 2.50 0.12 3.94 12.32 1.68 4.5 B-PF 95 1.24 0.14 3.32 12.23 2.37 4.5 C-DS 97 5.74 4.10 3.41 14.52 1.45 5.5 D-DS dan E-PF 83 1.40 0.06 1.54 0.08 0.01 0.26 0.35 1.12 14.22 2.42 6.5 A-PF 90 1.65 0.08 0.84 0.10 0.11 -0.14 6.28 45.74 10.18 6.5 B-PF 101 6.87 0.04 0.87 0.09 6.48 35.16 5.49 6.5 C-DS 95 3.50 0.08 1.51 0.17 0.18 0.46 5.01 40.70 7.04 7.5 D-DS dan E-PF 80 2.55 0.30 2.70 8.90 1.04 7.5 A-PF 84 0.23 0.01 2.33 0.10 0.06 0.51 1.12 10.84 60.61 9.68 7.5 B-PF 103 1.44 0.06 1.74 0.05 0.11 0.34 0.17 12.12 64.67 12.25 7.5 C-DS 94 4.24 0.23 2.47 0.07 0.18 0.97 0.97 17.07 67.12 13.47 8.5 D-DS dan E-PF 87 0.34 0.01 3.01 0.03 -13.63 53.14 7.68 8.5 A-PF 93 6.02 0.57 3.15 0.07 -91.18 97.63 28.89 8.5 B-PF 99 2.42 0.11 3.09 0.03 0.16 -73.63 84.34 29.30 8.5 C-DS 91 3.95 0.17 2.97 0.06 0.19 -63.07 84.39 27.89 9.5 D-DS dan E-PF 87 0.45 0.01 3.35 0.16 -1.01 34.25 48.16 15.54 9.5 A-PF 104 20.84 3.10 86.82 89.38 9.5 B-PF 113 18.10 2.67 84.00 91.21 9.5 C-DS 111 18.40 2.33 82.39 92.85 Keterangan: KPR = kutu perisai PB = Int. = intensitas TB = top borer N = noda SB = stem borer K = karat 26.40 34.39 38.20 penyakit batang

You might also like