You are on page 1of 23

arsitektur.

net
jurnal teori dan desain arsitektur

Imaginary Space: Re-reading Tadao Andos Church of Light


>> Kembali ke Volume 4 No. 1 (2010) Ranny Monita Tadao Ando merupakan salah satu arsitek terkenal yang berasal dari negeri sakura. Tidak seperti arsitek pada umumnya, Ando tidak melalui pendidikan formal di bidang arsitektur. Dengan gaya belajarnya yang tidak biasa, ia mempelajari arsitektur dengan mendatanginya dan membaca buku-buku tentang tempat yang ia kunjungi tersebut. Salah satu hal yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap karya-karyanya adalah pencitraannya terhadap Pantheon saat ia melakukan perjalanan/Tur Amerika-Eropa-Afrika. Selain itu, Ando juga sangat terinspirasi oleh Enso (suatu lingkaran misterius yang sering dibuat oleh para pendeta Buddha). Hal ini terlihat dari karya-karya nya yang membuktikan bahwa suatu bentuk yang sederhana seiring dengan unsur cahaya dan material bisa membuat sesuatu yang sangat meruang. Terlihat jelas dari kebanyakan karya-karya Ando yang banyak bermain dengan material-material modern seperti beton ekspos, kaca, metal serta terdapat banyaknya unsur cahaya, air, angin yang dapat ditemukan di bangunan-bangunannya. Untuk itu, suatu eksperimen mengalami ruang menjadi sangat penting untuk mengerti karya-karya beliau tersebut. Karya-karya Ando juga dikenal dengan bentuk-bentuknya yang sederhana dan sangat modern, salah satunya yang cukup terkenal dan termasuk yang cukup sederhana adalah Church of Light. Gereja ini didirikan di suatu pemukiman di kota Ibaraki, Osaka oleh organisasi Japan United Church of Christ. Terkait dengan masalah finansial dari organisasi tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi Ando untuk membangun suatu gereja yang sederhana namun tetap memberikan kualitas ruang spiritual yang begitu berkesan. Bentuk geometrinya sendiri terdiri dari satu box yang dilintasi oleh suatu dinding diagonal. Dinding diagonal ini berfungsi sebagai pembatas antara bangunan gereja dengan akses masuk menuju ke dalam ruang. Pada saat melewati jalan ini, pengunjung seperti diberi waktu untuk menenangkan diri dan bersiap-siap sebelum melakukan kegiatan suci [berinteraksi dengan Tuhan]. Oleh karena itu ruang ini bersifat sebagai ruang transisi antara ruang publik yang ada di luar gereja dengan ruang privat [ruang chapel di dalam gereja]. Selain itu, dinding yang terbuat dari beton ekspos tersebut menutupi pandangan ke ruang yang ada di dalam sehingga memberi kesan misterius pada penggambaran ruang yang di dalam. Hal ini memberi kesan seolah-olah Ando ingin para pengunjung yang datang terfokus ke dalam perasaan khidmat.

Gambar 1. Akses menuju ruang gereja.

Gambar 2. Elevation Lantai dan bangku-bangku gereja pada ruang dalamnya disusun menurun ke bawah. Hal ini menyimbolkan filosofi komunitas, Jesus Christ, who came down to the lowest of us all. Permainan level tanah ini juga memberi kesan megah dan luas pada ruang chapel tersebut. Pada interiornya, Ando menghadirkan suasana hening dan suram dengan menggunakan material scaffolding berwarna gelap untuk lantai dan bangku-bangkunya serta beton ekspos untuk dinding-dindingnya. Material ini berfungsi sebagai latar dari cahaya berbentuk salib yang ingin diekspos oleh Ando. Sehingga dengan pemakaian material yang gelap dan memantulkan sangat sedikit cahaya, timbullah permainan cahaya terang dan gelap pada ruang kapel tersebut. Dengan begitu kualitas ruang pun sepenuhnya ditentukan oleh intensitas cahaya yang masuk ke ruang tersebut. Karena kegiatan misa dilakukan setiap hari minggu pukul 10.30 pagi hari, maka ruang kapel ini dihadapkan menghadap ke timur atau berorientasi ke arah matahari dengan posisi dan bukaan dimensi tertentu sehingga dihasilkan intensitas cahaya yang dinginkan oleh sang arsitek.

Gambar 3. Studi tentang pencahayaan

Gambar 4.Aplikasi pencahayaan pada ruang dalam bangunan Adanya kesan megah dari permainan level tanah, serta kesan suci dan agung dari cahaya altar, menghasilkan suatu kekhidmatan sendiri, seolah-olah seperti menjadi puncak atau klimaks dari perjalanan ruang tersebut. I have always used natural materials in those parts of a building that come into contact with the human hand or foot because I am convinced that substances such as wood and concrete are invaluable materials for architecture and that one becomes aware of the true quality of architecture through the body. (Tadao Ando, www.ando.tableseven.org)

Dari kutipan di atas, saya mulai menelaah filosofi Ando yang mengagung-agungkan akan suatu arsitektur yang sesungguhnya yaitu merupakan arsitektur yang berinteraksi langsung secara fisik dengan badan manusia yang merasakannya. Seperti yang kita ketahui, tubuh manusia memiliki 5 panca indera dengan fungsi merasakan yang berbeda-beda. Seperti mata yang berfungsi dalam memberi gambaran visual, telinga memberi gambaran melalui suara, dan seterusnya. Untuk itu, panca indera merupakan alat vital yang ada pada manusia untuk merasakan. Pada bangunan Church of Light, saya mencoba mendefinisikan apa saja yang ditangkap panca indra kita saat berjalan melintasi ruang-ruangannya (berdasarkan video yang saya saksikan di www.ando.tableseven.org).

Gambar 5. Transisi sekuens ruang Dari tabel di atas, terlihat bahwa pengalaman dan perasaan yang ditimbulkan oleh tiap ruang memiliki dampak yang berbeda-beda bagi tiap panca indra. Kemudian saya mencoba melihat ruang-ruang tersebut dari indikator yang berbeda. Seperti dari sifat publik dan privat, serta dari kegiatan yang dilakukan di ruang dengan sifat-sifat yang berbeda. Dari situ saya mendapati bahwa tiap ruangnya memiliki suatu hubungan sekuensial.

Gambar 6. Penggambaran visual dari luar bangunan Pada ruang publik yang dilalui pertama kali, pengunjung hanya diberi gambaran visual melalui bangunan atau massa gereja dengan skala yang cukup besar sehingga menimbulkan rasa keagungan tersendiri. Selain itu bangunan tersebut dilingkupi saujana yang terhampar luas dan tidak diberi pagar pembatas maka memberi kesan mengundang untuk didatangi.

Setelah mengundang, pada tahapan selanjutnya kita akan dihadapkan pada suatu ruang yang sempit yang dihimpit oleh 2 dinding besar, serta cukup panjang yakni menyusuri hampir sepanjang satu sisi gereja, seolah-olah memberikan waktu dan tempat untuk mempersiapkan diri sebelum melakukan interaksi dengan Tuhan. Kemudian puncaknya adalah ketika kita sampai kepada inti peruntukkan gereja ini, yaitu suatu ruang besar, kelam, sunyi, dan megah dengan hamparan cahaya terpusat di bagian altarnya. Sehingga perjalanan menuju cahaya tersebut seolah-olah menyimbolkan ritual penyucian diri untuk bertemu dengan sesuatu yang suci.

Gambar 7. Sekuens ruang Sekuens-sekuens tersebut merupakan satu garis besar dasar dari metode disain yang diterapkan oleh Ando untuk kemudian dirasakan oleh orang-orang yang berada di ruang tersebut. Sequencenya bersifat satu-persatu atau tidak terasa sekaligus. Dari sekuens tersebut kemudian barulah sang arsitek mengembangkannya ke unsur-unsur yang lebih detail seperti kegiatan yang akan dilakukan, dimensi ruang, arah atau orientasinya, serta material-material yang akan digunakan untuk membentuk ruang tersebut sehingga terciptalah suatu kendali akan apa yang ingin dirasakan oleh indra. Dengan mengontrol apa yang ditangkap oleh panca indra, maka pengalaman dan perasaan akan suatu ruang juga dapat dikontrol, sesuai dengan harapan dan keinginan yang ingin disampaikan. Dengan begitu dapat saya simpulkan bahwa potongan-potongan sequence itulah yang menghadirkan suatu pengalaman ruang tertentu, di mana rangkaian dari keseluruhan sensasi pengalaman ruang tersebut pada akhirnya mempengaruhi terbentuknya geometri.

Imaginary Space
Imaginary space merupakan suatu penerjemahan dari suatu pandangan akan bentuk geometri yang terbentuk dari potongan-potongan pengalaman atau sensasi yang dirasakan oleh panca indera manusia. Untuk itu, hal yang pertama saya lakukan adalah menentukan skenario cerita tentang pengalaman ruang yang ingin dihadirkan. Pada metode Ando, secara garis besar terdapat 3 fase (seperti yang telah disebutkan sebelumnya), dengan fase climax sebagai inti dari keseluruhan cerita pengalaman ruang tersebut. Sehingga penentuan climax menjadi langkah awal dalam pembuatan imaginary space ini. Step 1: The making of the climax

Gambar 8. Tabel tiga fase secara garis besar Bagaimana cara membuat bagian climax ini terwujud? Karena geometri yang ingin dihadirkan merupakan suatu rangkaian pengalaman sensasi maka langkah selanjutnya adalah menentukan alat indera mana yang akan digunakan sebagai parameter perwujudan dari skenario. Dalam model ini, saya memilih mata sebagai parameter dalam pembentukan skenario.

Gambar 9. Tabel parameter mata sebagai perwujudan skenario

Gambar 10. Alur sekuens ruang Permainan garis-garis dalam eksperimen saya ini dihadirkan melalui material tali. Tali tersebut disusun secara acak sehingga membentuk permainan garis yang menstimulasi mata sehingga pandangan mata tidak hanya terfokus pada satu titik.

Gambar 11. Kaca sebagai salah satu material Selain tali, saya juga menggunakan media kaca sebagai material untuk menghadirkan permainan virtual space. Virtual space yang saya maksud di sini merupakan suatu ruang yang dihasilkan dari kaca-kaca yang saling berhadapan sehingga pantulan kaca yang merefleksikan kaca dihadapannya membentuk suatu ilusi ruang yang lebih luas. Permainan perluasan ini juga bekerja seperti rangkaian tali-tali yaitu untuk membiarkan mata agar tidak terfokus ke satu titik.

Gambar 12. Pemantulan kaca Kaca yang dipasang berhadap-hadapan memberikan pantulan yang bersifat terus menerus sehingga menimbulkan kesan luas dan membuat mata terasa tenang serta rileks. Mata yang rileks seperti itu, akan memicu perasaan bebas. Potongan akan pengalaman merasakan kebebasan itulah yang menjadi salah satu inspirasi bagi bentukan geometri yang ingin dirasakan.

Gambar 13. Fase preparation Untuk membuat fase climax terasa mengejutkan, maka fase sebelumnya yaitu fase preparation harus menghadirkan suasana yang jauh berbeda dari fase climax. Jika pada fase climax, mata kita dibuat tidak terfokus kepada satu titik tertentu, maka pada fase preparation, mata kita dibuat terfokus pada satu titik. Pemfokusan titik dalam pembuatan model dibentuk dengan memasang kain hitam supaya pandangan dapat benar-benar terfokus ke satu titik. Dengan pemfokusan pandangan ke satu titik dimana sisi kanan dan kirinya bersifat bidang masif maka memicu efek perasaan cemas/ketegangan tersendiri.

Gambar 14. Fase opening

Pada akhir dari fase preparation, terbentuklah dengan sendirinya fase opening di mana pada fase ini terlihat sekilas tentang gambaran fase-fase yang telah dilalui sebelumnya sehingga memancarkan aura-aura mengundang perhatian. Sehingga jika kita memposisikan sebagai objek yang akan mengalami pengalaman-pengalaman ruang tersebut maka kita akan melalui potongan-potongan sensasi sebagai berikut:

Gambar 15. Tabel sekuens pada model Kesimpulannya, geometri memiliki cakupan yang cukup luas. Tidak hanya sebatas suatu wujud fisik tetapi juga mencakup lingkup persepsi yang dirasakan oleh panca indra manusia. Pada metode yang saya temukan dalam proses pembentukan geometri Church of light, Ando menunjukan bahwa arsitekturnya tidak hanya sebatas rupa dinding beton yang membatasi suatu ruang tertentu, tetapi juga setiap langkah dan gerakan akan sesuatu yang menstimulasi panca indra kita merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan makna dan dapat kita rasakan. Reference Jodidio, Philip. (2007). Ando: Complete Works. Taschen Publisher. http://www.andotadao.org/aka1.htm http://architect.architecture.sk/tadao-ando-architect/tadao-ando-architect.php http://www.galinsky.com/buildings/churchoflight/index.htm http://www.greatbuildings.com/architects/Tadao_Ando.html http://ando.tableseven.org A Box That Provokes: Eksplorasi Sekuens Ruang Berdasarkan Gagasan Arsitektur Tadao Ando

arsitektur.net
jurnal teori dan desain arsitektur

A Box That Provokes: Eksplorasi Sekuens Ruang Berdasarkan Gagasan Arsitektur Tadao Ando

>> Kembali ke Volume 4 No. 1 (2010) Susanto Ginanjar Putro Tadao Ando, praktisi arsitektur kelahiran Osaka, Jepang peraih Pritzker Architecture Prize 1995 ini tidak pernah menempuh pendidikan formal arsitektur. Ando memiliki pandangan dan gaya arsitekturnya sendiri yang didapatkannya dari his direct experiences, not taught intellectualism(RMIT Architecture Wiki, 2008) . Ando belajar otodidak dengan membaca buku arsitektur dan mengamati bangunan arsitektural di penjuru Jepang, Eropa dan Amerika lebih intens dari yang orang biasa bisa lakukan. Arsitektur Ando adalah suatu bentuk orisinalitas dan tidak terikat dengan konvensi yang ada. his powerful inner vision, ignores whatever movements, schools or styles that might be current, creating buildings with form and composition related to the kind of life that will be lived there. (The Pritzker Architecture Prize, 1995) Ando memperlakukan setiap karyanya sebagai sebuah places of habitation not as abstract design in a landscape (Lacy dalam The Pritzker Architecture Prize, 1995)). Ando tidak berangkat dari sebuah konsep abstrak, metafora, atau gaya arsitektur tertentu dan juga tidak mengejar bentuk fisik semata dalam merancang karyanya, melainkan fokus pada usahanya menciptakan sebuah tempat tertentu yang akan ditinggali oleh pribadi tertentu. The value of (this building) as architecture does not necessary come from some stylistic method or abstract concept aimed atit comes instead from a fundamental way of thinking about building a house for an inhabitant. Andos approach is to connect the art of building to the art of living. (Taki dalam The Pritzker Architecture Prize, 1995) Ando dikenali karyanya dengan bentukan yang berasal dari geometri dasar yang sederhana. Ketika ditanya tentang apa arti arsitektur baginya, Ando menjawab chohatsu suru hako, yang bila diartikan dalam Bahasa Inggris adalah a box that provokes (The Pritzker Architecture Prize, 1995). Ini mengantarkan pemahaman bahwa dalam setiap penciptaan karyanya bukan pencapaian bentuk yang dituju oleh Ando, melainkan apa yang bisa dihadirkan dari keberadaan bentuk tersebut, sesederhana apapun bentuknya. I care not for interesting forms but for the spatiality of forms. Through the medium of simple geometrical forms, I seek to introduce a diversity of intentions and emotions and to take into account intangible factors (Ando, 1988) Kreativitas karya Ando terlihat memukau justru karena muncul dari kesederhanaan bentuk. Baginya bentuk fisik tidak berarti apa-apa, karena ruang yang ia hadirkan memiliki makna yang lebih maya sekaligus kaya dibanding bentuk fisik yang sespektakuler apapun. Ini adalah karakteristik utama dari Tadao Ando, using a geometric simplicity which reveals a subtlety and richness in spatial articulation. (www.greatbuildings.com, 2007). Ando menyebutkan dua fitur sebagai karakter utama dalam karyanya, a use of limited material, which have their texture exposed, and a ambiguous articulation of the function of space (Ando,

1977). Dua atribut utama ini dikembangkan Ando dalam bangunan yang dirancang untuk menjalin komunikasi langsung dengan alam, yakni dengan menghadirkan elemen alami dari alam. Aspek alami seperti cahaya, angin, dan air adalah apa yang dicoba dihadirkan Ando ke dalam ruang bentuknya karya-karyanya. Untuk itu Ando seringkali mengadopsi metode enclosed space dalam karyanya, the primary significance of enclosure is the creation of a place for oneself, an individual zone, within society (Ando, 1977) sebutnya. Walau terdengar sebaliknya, di tangan Ando ketertutupan dan keterpisahan ini mampu membuat komunikasi itu terasa dramatis dan puitis. Sense of sanctuary dalam tiap karya bangunnya memiliki hubungan keruangan yang dipandunya dengan dinding sebagai elemen utama. Dinding dalam karya Ando sebagian besar adalah beton yang ditinggalkannya polos (exposed). At times walls manifest a power that borders on the violent. They have the power to divide space, transfigure place, and create new domains. Walls are the most basic elements of architecture, but they can also be the most enriching. (Ando, 1984) Elemen dinding adalah salah satu unsur vokal yang digunakan Ando dalam penciptaan provokasi ruang dalam karyanya. Keberadaan beton-polos-monokrom yang melingkupi immobile enclosed space Ando menghadirkan kesan sunyi dan khidmat, sehingga ketika sedikit saja elemen alami dimasukkan ke dalamnya, sensasi yang dihadirkan menjadi amat dramatis dan puitis. Eksperimen dalam aspek alami yang disusupkan dalam artikulasi bentuk-ruang tertutupnya inilah yang memberikan salah satu definisi chohatsu suru hako-nya Ando. Sebagaimana dikatakan Ando, I do not believe architecture should speak too much, it should remain silent and let nature in the guise of sunlight and wind speakThey activate space, make us aware of the season, and nurture within us a finer sensitivity. (Ando, 1984) Such things as light and wind only have meaning when they are introduced inside a house in a form cut off from the outside world. The isolated fragments of light and air suggest the entire natural world. The forms I have created have altered and acquired meaning through elementary nature (light and air) that give indications of the passage of time and the changing of the seasons, and through connections with human life. Although many possibilities for different kinds of development are inherent in space, I prefer to manifest these possibilities in simple ways (Ando, 1982) Konsep arsitektur Ando berorientasi pada manifestasi alam pada bentuk-ruangnya yang sederhana, his focus upon nature as the essential counterform to his architecture(Frampton dalam The Pritzker Architecture Prize, 1995) . Saat komunikasi antara bangunan dan alam ini terjadi maka bentuk-ruang pun melebur dalam batasan yang mengabur namun pada saat yang sama malah makin menjelas. when they agree with my aesthetic image, walls become abstract, are negated, and approach the ultimate limit of space. Their actuality is lost, and only the space they enclose

gives a sense of really existing. Under these conditions, volumes and projected lights alone float into prominence as hints of the spatial composition.(Ando, 1982). John Moris Dixon menyebut karya Ando sebagai sesuatu yang bersifat reductivist namun the effect is not to deprive us of sensory richness. Far from it. All of his restraints seem aimed at focusing our attention on the relationships of his ample volumes, the play of light on his walls, and the processional sequences he develops.(Dixon dalam The Pritzker Architecture Prize, 1995). Tadao Ando menghadirkan arsitekturnya dalam simplest way imaginable, without clever superimpositions or intermixing, as a collage of pure geometric signs. All excess is spurned, and frugality is exercised in making the composition (Dal Co, 1995). Dengan bentuk geometri dasar yang sederhana serta detail material yang menolak warna dan elemen dekoratif tak berarti, memang wajar bila Tadao Ando menganggap dirinya sebagai modernis, tapi bukan minimalis yang selama ini kita kenal. Ini karena Ando menghadirkan sesuatu yang lain yang lebih memukau sebagai hasil pendekatan simplistisnya. Komposisi geometris karya Ando menjadi lebih berarti bukan karena wujudnya namun karena daya dukungnya akan kehadiran sesuatu yang lain yang mewujud karena bentuk-ruang tersebut. Karya Ando memang sebuah provokasi ruang.

Bongkar Kotak (yang mem-) Provokasi: Church of the Light


Salah satu karya Ando yang banyak mendapat pujian adalah Church of the Light di Ibaraki, Osaka. Berdiri pada 1988, karya ini bisa dibilang amat mewakili konsep arsitektur Ando. Bangunan dengan beton ekspos ini berdiri dengan anggun di sebuah lingkungan perumahan suburban, melengkapi keberadaan sebuah wooden chapel dan ministers house yang telah lebih dulu ada di situs. Gereja ini berdiri amat dekat sekaligus dihimpit oleh dua ruas jalan, namun hal ini tidaklah mengurangi kemampuan Ando menciptakan pemisahaan karakter sacred dan profan antara gereja dengan lingkungan sekitarnya.

Gambar 1. (kiri) Site Plan, (kanan) View antara 2 ruas jalan Massa bangunan ini dibentuk oleh sebuah boks beton yang denahnya dipotong melintang 15 derajat oleh freestanding concrete walls panjang. Dinding beton masif ini membagi dua boks beton tersebut menjadi kapel dan entrance. Dinding beton yang melingkupi keseluruhan boks ini

memisahkan gereja dari dunia luar, menciptakan enclosed space yang khidmat. Interiornya sendiri telanjang, tanpa elemen estetika samasekali. Tanpa mengabaikan keberadaan furnitur sederhana didalamnya, bisa dibilang isi gereja ini adalah kosong.

Gambar 2. Denah skematik pembentukan ruang One of the features of the interior is the profound emptiness. Many who enter the church say they find it disturbing. The distinct void space and absolute quietness amounts to a sense of serenity. For Ando the idea of emptiness means something different. It is meant to transfer someone into the realm of the spiritual. The emptiness is meant to invade the occupant so there is room for the spiritual to fill them. (Wikipedia, 2009) Dengan bentuk simplistis khas Ando bangunan ini menujukan wujud dirinya untuk memprovokasi penggunanya dengan permainan cahaya yang memukau, terutama di ruang kapelnya. Dengan bentuk yang tidak lebih dari sebuah boks beton dengan dua celah bukaan panjang-tipis berlapis kaca yang berpotongan tegak lurus menembus dinding di belakang altar, ia membiarkan cahaya matahari menyusup masuk dan menciptakan semburat salib besar dalam ruang yang telah dengan sengaja digelapkan. Luminosity is obliged to perform a symbolic function. In those circumstances, even if in a context of rarefies abstraction, it is made use of for contingent purposes; a giant cross of lights is incised into the wall behind the altar to articulate an otherwise hermetic space. (Dal Co, 1995). Sense of place dalam gereja ini didefinisikan oleh cahaya dalam artian yang ekstrim, oleh beda kontras yang timpang antara cahaya, gelap-remang, dan bayangan yang tercipta. Cahaya menyusup tidak hanya dari celah berbentuk salib di sisi barat namun juga dari sudut yang tercipta dari perpotongan dinding di sisi timur. Keremangan yang disengaja dihadirkan dalam ruang yang hampir tertutup sepenuhnya diperkuat oleh penggunaan material lantai kayu dan kursi gereja yang gelap.

Gambar 3. Sekuens view ruang luar-ruang dalam Situs McGill University mendeskripsikan sekuens pengalaman ruang yang akan dirasakan ketika seseorang memasuki gereja ini sebagai berikut, The experience starts with the worshipper making his way past the existing ministers house, to the back of the concrete church. The intersecting walls create an entry forecourt, forcing the visitor to take an S-turn to enter. Inside, the space is dominated by the glowing cross at the end of the nave. The bare concrete walls have no decorations that would mitigate the experience. The starkness creates an isolated, ascetic feeling inside the church. The interior is perhaps claustrophobic, with views to the outside only available through the 20 cm gap in the concrete wall that is the cross. The dominance of the cross is paramount in the church, requiring the pastor to preach from one side, which took some convincing on Andos part. (McGill University,2000). Ando sendiri mendeskripsikan langkah-langkahnya dalam merancang karya fenomenalnya ini sebagai berikut, Here I prepared a box with thick enclosing walls of concrete a construction of darkness. I then cut a slot in one wall, allowing the penetration of light under conditions of severe constraint. At that moment, a shaft of light sharply fractures the darkness. Wall, floor, and ceiling each intercept the light, and their existence is revealed, as they simultaneously bounced back and forth among them reflected light, initiating complex interrelationships. Space is born. Yet, with each increment of change in the angle of lights penetration, the beings of things, and their relationship, are recreated. Space, in other words, never begins to mature, but it is continually made new. In this place of ceaseless birth, people will thus be able to evoke the resonant implications of life. (Ando, 1993). Gereja ini mampu merepresentasikan gagasan Ando tentang arsitektur yang mewujudkan elemen dari alam yang maya untuk memperkaya bentuk-ruang arsitektur itu sendiri. Bentuknya memang

sederhana, namun kehadirannya amat khidmat sekaligus memukau pada saat yang sama, yet the simplicity of the church is its beauty (McGill University, 2000) , sebagaimana yang juga dikatakan oleh Ando tentang gereja ini, an effort to architecturalize or abstracted in the above sense the natural element of light. Space is nearly completely surrounded by substantial concrete walls. Inside is true darkness. In that darkness floats a cross of light itself. That is all there is. Outdoor light that has been architecturalized and rendered abstract by opening in the wall imparts tension to the space and makes it sacred. (Ando, 1989).

Bongkar (Lagi) Kotak (yang mem-) Provokasi: (Azuma) Row House


Sebelum Church of the Light, karya Ando yang pertama kali diakui publik adalah sebuah rumahbaris mungil Azuma di Sumiyoshi, Osaka pada 1976 yang mendapat penghargaan dari Japanese Architectural Association. Dikenal sebagai (Azuma) Row House, rumah ini dibangun Ando di sebuah lahan tipis memanjang kebelakang yang terapit diantara dua rumah baris khas Jepang. Bagi Ando karya ini merupakan titik mula bagi keseluruhan perjalanan gagasan arsitekturnya dalam segala aspek, mulai dari bentuk-ruang hingga materialnya. Sama seperti yang tampak pada Church of the Light, bangunan residensial ini memiliki bentuk simplistis khas Ando dengan ruang tertutup yang dilingkupi oleh dinding beton tebal dengan artikulasi ruang yang sederhana. In its simple but rich spatial composition, in its expression of enclosure, and in the way light gives character to daily-life spaces, this house encapsulates an image of my architecture. (Ando, 1984).

Gambar 4. (Kiri) Perspektif, Isometrik dan skematik massa, (kanan) View dari arah jalan

Massa bangunan ini berawal dari sebuah boks yang kemudian terbagi menjadi tiga bagian volum sama besar. Dua bagian volumnya menjadi ruang dalam tertutup yang dipisahkan oleh sebuah halaman dalam yang terbuka tepat dibagian tengah massa dan mengambil sepertiga volum keseluruhan bangunan. Melihat peletakannya dan besarnya diantara kedua volum ruang dalam lainnya, halaman ini menjadi bagian utama tidak hanya dalam sistem sirkulasi bangunan, namun juga keseluruhan bentuk-ruang yang dituju Ando. Rumah ini memiliki volum masif dari lingkupan dinding beton yang sama sekali dibuat tanpa bukaan, tidak memiliki jendela kearah luar bangunan. Sebagai gantinya dinding transparan dibuat pada sisi-sisi ruang dalam dengan berorientasi pada pusat rumah, halaman dalam yang membuka langsung ke langit dan memiliki peran buffering the other spaces from the outside world, while providing all with access to light and air. (Architecture Week, 2009) Bentuk rumah ini memanjang ke belakang dan terdiri dari dua lantai. Dengan dimensi lebar 3.2 meter dan panjang 12.8 meter, rumah ini memiliki luas lantai ruang hidup sekitar 65 meter persegi yang berdiri pada lahan seluas 57 meter persegi. Dengan halaman dalam tadi sebagai pusat ruangan, di lantai dasar Ando meletakkan living room sekaligus ruang tamu di satu sisinya yang berbatas dengan jalan; kemudian dapur, ruang makan dan kamar mandi di sisi belakang. Lantai atas adalah kamar tidur di sisi yang paralel dengan jalan, dan studyroom di sisi yang berseberangan, dihubungkan dengan jembatan yang melintang di atas halaman dalam. Kedua lantai dihubungkan dengan sebuah tangga sempit yang diletakkan di salah satu sisi halaman dalam. Konfigurasi ruang seperti ini oleh Ando dimaksudkan karena alasan tertentu, sebagaimana dituliskan oleh oleh Darlene Levy, With spaces flanking an interior courtyard, there is an attempt to return the contact with light, air, rain, and other natural elements to the Japanese life-style. In addition to providing light and serving as the focal point of family life, this small court is a spatial entity that attempts to compensate for the reduced physical space. (Great Buildings, 2009)

Gambar 5.Denah, tampak serta potongan perspektif.

Bangunan ini dihadirkan Ando dengan maksud utama untuk seakan menutup dirinya benar-benar dari jalan, dari dunia luar. Hal ini diarahkan oleh Ando sebagai wujud relasi rumah dengan lingkungan sekitar yang dinginkan menjadi privat, secluded. Massa berupa boks beton masif tanpa bukaan menguatkan kesan ini. Its unassuming and slightly austere concrete form belies a carefully composed interior, emphasizing functionality and privacy. (Architecture Week, 2009). Dinding masif berdiri lantang di pinggir jalan, dengan hanya sebuah bukaan kecil yang dimaksudkan sebagai entrance, by way of an inset stoop (Architecture Week, 2009) . Pintu masuk disembunyikan di sisi kiri-kanan dalam relung yang sengaja dibuat dengan mendorong sedikit dinding masif tersebut kedalam, menciptakan sensasi yang sama dengan lubang gua, menimbulkan penolakan yang dingin namun sekaligus mengundang masuk. Dalam bahasa yang lebih intelektual dan singkat, Fransesco Dal Co mendeskripsikan (Azuma) Row House sebagai, It stands on a tight urban plothas a long, thin and absolutely symmetrical layout on plan (Ando) arranges blocks at the front and rear ends of the site and connects them bybridge crossing a central space which is left open as a courtyardthe faade is ruthlessly minimal: a taut wall in concrete, which ignores the urban scene of the street and concentrates on its own perfectionGrey and leaden in color and bereft of any other relieving gestures, with a tiny black hole for an entrance, this faade turns towards the light as a flat planethe interior spaces are uncompromising to the point of anti-domesticityquite deliberately suppressing all possible awareness that there is anything outside at all. The simple, uniform concrete is its logical corollary and leitmotif (Dal Co, 1995).

Gambar 6. (Searah jarum jam) Aksono courtyard, view fasad depan, bukaan courtyard, potongan perspektif Metode yang dilakukan oleh Ando ketika merancang bangunan ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan a microcosm centered on that courtyard (Ando, 1991) , melalui a simple composition with diverse spaces and dramatized by light (The Pritzker Architecture Prize, 1995) . Halaman dalam tersebut memang elemen vokal yang oleh Ando diperankan sebagai aktor

utama dalam bentuk-ruang tertutup yang mencari kedekatan dengan elemen alami dari rumah ini, yang makna keberadaannya dijabarkan oleh Ando sebagai, The courtyard in Azuma house occupies one third of the site and links the inside with the outside. It is a device for appropriating a fragment of naturenot an artificial and domesticated nature, but a true nature that is capable of confronting the individual. Of course (it) tends make to life more severe(but) were enriched. The courtyard is an important place where seasonal changes can be directly perceived through the senses. The expression of nature changes constantly. Sunlight, wind, and rain affect the senses and give variety to life. Architecture in this way becomes medium by which man comes into contact with nature. (Ando, 1984).

Gambar 7. Kolase sekuens ruang Sedangkan tentang komposisi massa dan artikulasi ruang dari bangunan ini Ando menjelaskan maksudnya lebih lanjut sebagai sebuah sekuens pengalaman ruang yang dijabarkannya sebagai, one enters the house and feel secure, but then one notices beyond that space an open courtyard. To enclose an outdoor space inside a building is contrary to common sense. To have an outdoor space where one would expect the indoors is to reserve space and to make space discontinuoushowever, the discontinuity allows nature into the house. (Ando, 1991). Ando memang menyebut (Azuma) Row House sebagai a truly minimalist (Ando, 1991), namun bukan dalam pemahaman yang kadang salah kaprah pada paham Modernisme. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, merancang bagi Ando bukanlah mencari jawaban akan sebuah bentuk spektakuler. Ia lebih memilih solusi paling simpel yang mungkin ada dari pertanyaannya akan hubungan ruang-bangun dan alam. Bentuk yang dihadirkan Ando mungkin sederhana, namun kehadirannya bisa dibuat amat kaya dan memukau dalam cara yang rendah hati olehnya. Hal ini bisa diwakili oleh pendapat pribadinya tentang (Azuma) Row House, The building remains a simple box, but nature and human movement alter the architecture in complex ways. To harbor spaces of great complexity in compositions that are geometrical and simple is to provide the unexpected and to stimulate a persons consciousnessI want to enrich architecture by introducing complexity into that simple box. (Ando, 1991).

(Coba) Susun Kotak (yang mem-) Provokasi


Dalam bagian terakhir dari tulisan ini, tak ada salahnya untuk mencoba seperti Ando, namun tentu saja bukan dalam hal berarsitekturnya. Tulisan ini masih amat kurang untuk memberikan pemahaman akan arsitektur seorang Tadao Ando sepenuhnya. Namun, yang bisa coba dilakukan disini adalah mengikuti metode yang dilakukan olehnya, setidaknya sejauh yang tulisan di atas telah coba bongkar. Metode tersebut dimaksudkan untuk menciptakan sebuah chohatsu suru hako, suatu bentuk yang sesimpel mungkin namun mampu menghadirkan suatu yang lain yang lebih tidak simpel. Dari situ akan dicoba sebuah eksperimen ala Ando yang diusahakan semirip mungkin. Langkah pertama adalah membuat apa yang Ando sebut sebagai microcosm. Simpel saja, sebentuk volum berbentuk kubus yang setertutup mungkin. Enclosed space yang memisahkan diri dengan menutup dirinya sendiri dari dunia luar. Penutupan ini tentu saja dilakukan dengan alasan untuk menyiapkan suatu kehadiran elemen luar. Hal yang ingin dilakukan adalah menyusupkan elemen alam kedalam volum tertutup tersebut agar ia bisa menghadirkan provokasi tertentu di dalamnya.

Gambar 8. Pembentukan microcosm Elemen yang hendak disusupkan adalah elemen favorit Ando, yaitu cahaya. Ando melakukan penyusupan cahaya dalam volum ruangnya dengan berbagai cara. Namun sebelum memilihnya, akan dicoba pembentukan sekuens yang diharapkan mampu membantu menyiapkan provokasi akhir yang dinginkan. Penyusupan yang dipilih akan keluar setelah rangkaian sekuens tersebut. Dengan kata lain, menyiapkan sekuens provokasi. Ando mengakui keberadaan elemen dinding sebagai aktor penting dalam pembentukan ruang, jadi anggap saja volum kubus pertama tadi dilingkupi oleh dinding beton masif yang dikatakan Ando sebagai elemen yang menonjolkan kesan sepi dan tertutup namun sekaligus paling berbicara ketika elemen cahaya hadir menyusupinya. Keseluruhan bentukan nanti memang akan diwakili oleh keberadaan dindingdinding sepi dan dingin itu.

Gambar 9. Alur yang melingkupi kubus utama

Volum kubus pertama adalah volum utama, yang diarahkan sebagai ruang tujuan akhir. Anggap saja ia adalah ruangan yang cukup besar untuk menampung sekelompok orang. Sebuah ruang tujuan yang cukup besar dan menjadi bagian utama provokasi ruang yang dimau. Dengan makna dinding masif seperti yang dipercayai Ando, akan dibuat sebentuk alur yang terlingkupi sepenuhnya menuju kubus utama di ujungnya. Ini adalah sekuensinya yang akan mengantarkan pada kubus utama di ujung perjalanan.

Gambar 10. Aksonometri dan model alur Elemen sekuens alur yang dibuat adalah sebentuk lorong memanjang yang dibuat berkebalikan dari volum utama. Lorong panjang ini dibuat sesempit mungkin, tidak hanya satu namun dua lorong, saling tegak lurus dimana yang satu memotong yang lain. Dengan begini, kita telah memiliki sebentuk konfigurasi sederhana yang terdiri dari dua lorong sempit dan panjang yang saling tegak lurus menuju ruang besar di ujungnya.

Gambar 11. Kolase perspektif ruang dalam Sekuensi ruang ini tidak langsung menuju saja ke ruang utama yang tersembunyi di sisi lorong kedua. Untuk mencapainya masih ada lorong pendek yang tersembunyi. Ujung lurus dari lorong kedua adalah lubang yang membuka keluar. Ujung lurus dari lorong pertama sendiri tidak akan mengantarkan kemana-mana, ia buntu. Namun, walau seakan tersembunyi ia membuka dan menyambung tegak lurus dengan lorong kedua di salah satu sisinya. Langkah terakhir adalah mengatur bagaimana susupan cahaya seperti yang dinginkan di awal. Untuk melihatnya, lebih baik dilakukan dengan mengamati sekuensi ruang pada bentukan yang

terjadi disini. Bayangkan ini akan terbangun dalam skala manusia, dan kita berjalan menempuhnya, mulai dari pangkal lorong pertama hingga dalam ruang utama. Dari awal memasuki lorong pertama, akan dijumpai sebentuk volum sempit memanjang ke dalam yang menampakkan ujungnya yang buntu dan gelap. Tak ada apa-apa disitu. Namun, sebentar saja menempuh keremangan yang dingin dan suram itu, berikutnya tiba-tiba didapati sebuah lubang terbuka di sisi kiri dinding lorong yang ternyata menyambung begitu saja dengan lorong berikutnya.

Gambar 12. Volum kubus pertama yang berbentuk memanjang dan sempit. Membelok tegak lurus, langsung terlihat bahwa lorong kedua ini tidak buntu, karena di ujungnya yang jauh disana ia membuka keluar begitu saja. Sejenak mendapati kejutan karena cahaya yang merebak di lubang kecil diujung jauh, lorong kedua ini ternyata lebih panjang dari lorong pertama, walau sama sempit dan sepinya. Sama seperti sebelumnya, tak ada apa-apa di ujung sana, kecuali ruang di ujung luar sana memang menjadi tujuan. Dalam silau karena cahaya dari lubang diujung itu amat kontras dengan suasana yang remang, disadari ada berkas cahaya samarsamar di sisi kanan lorong.

Gambar 13. Ujung lorong yang berdekatan dengan lorong ketiga Begitu sampai, amat dekat dengan ujung lorong yang terbuka sepenuhnya, disadari bahwa sumber cahaya samar-samar tersebut adalah celah tipis memanjang di ujung langit-langit lorong ketiga yang tersembunyi. Kembali berbelok tegak lurus namun ke arah kanan, perjalanan menyempit dan merapat ke dinding. Di ujung pendek lorong tersembunyi ini kembali didapati dinding yang buntu namun kali ini tidak gelap, karena ia disinari leret cahaya yang jatuh dari celah di langit-langit tersebut. Langsung saja terlihat bahwa lorong pendek ini masih menyambung dengan lorong pendek lain yang mengharuskan perjalanan berputar 180 derajat. Tampaknya lorong kali ini adalah ujung perjalanan karena di sisi sana terdapat bukaan yang dimensinya mengingatkan pada pintu-pintu pada umumnya dan darinya berkas cahaya menyusup masuk menerangi ujung lorong pendek terakhir ini. Lebih terang dari lorong-lorong sebelumnya.

Gambar 14. Dinding volume terakhir yang terbuka dan diterangi cahaya dengan bebas. Berbelok memasuki pintu tersebut, tiba-tiba saja cahaya matahari seakan menyeruak begitu saja dalam sebuah ruang tertutup yang besar. Dibanding dengan lorong-lorong sempit dan gelap sebelumnya, ruangan luas dengan langit-langit tinggi ini amat tertutup sekaligus terbuka dimana salah satu dindingnya memancar amat terang, karena membuka keluar sepenuhnya dari lantai hingga langit-langit. Tiga dinding lainnya masif dan tanpa bukaan sama sekali, sehingga jelas terasa keutamaan ruang ini. Di dalamnya kesan terang dan remang hadir pada saat yang bersamaan. Memang dinding jendela itu amat terang namun langit-langit dan dinding ruangan ini tidak berhenti di dinding jendela tersebut, namun masih terus menjorok agak jauh keluar, membentuk naungan dalam bayang matahari.

Gambar 15. (Kiri) awal perjalanan, (kanan) akhir perjalanan Reference Ando, Tadao. Shintai and Space. Architecture and The Body. New York. Ando, Tadao. A Wedge In Circumstances, dalam The Japan Architect. Edisi Juni 1977. Ando, Tadao (1984). Buildings, Projects, Writings. New York: Rizzoli. Ando, Tadao. From Self Enclosed Modern Architecture Towards Universality. The Japan Architect. Edisi Mei 1982. Ando, Tadao. From the Chapel on the Water to the Chapel with the Light. The Japan Architect. Edisi Juni 1989. Ando, Tadao. From the Periphery of Architecture. The Japan Architect. Edisi Januari 1991. Ando, Tadao. (1993). Licht dalam Jahrbuch fur Licht und Architektur 1993. Berlin. Dal Co, Fransesco (1995), Tadao Ando, A Complete Works. London: Phaidon Press Ltd. http://www.architectureweek.com , diakses Mei 2009.

http://www.amgalans.com, diakses Mei 2009. http://www.arch.mcgill.ca, diakses Mei 2009. http://www.galinsky.com, diakses Mei 2009. http://www.greatbuildings.com/architects/Tadao_Ando, diakses Mei 2009. http://media01.cgchannel.com, diakses Mei 2009. http://www.pritzkerprize.com, diakses Mei 2009. http://wiki.architecture.rmit.edu.au, diakses Mei 2009. www.wikipedia.org, diakses Mei 2009.

You might also like