You are on page 1of 153

PENGERTIAN ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini : - Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. - Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. - Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat

diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya
Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:

Semestinya tahu aturan tidak akan berbicara sambil menghisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya, dan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang.Seseorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar sampai di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.

Mengangkat gagang telepon setelah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan jika mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap intrupsi adalah menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada disekitarnya.

Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata (ganti rugi). Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan normanorma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah, sebagai berikut: 1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:

Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman.

Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah). 2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:

Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiketdalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasantliving together).

Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).Sedangkan masalah norma non hukum adalah masalah yang cukup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR, yaitu seperti nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati. Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah sikap atau perilaku mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia. Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standard profesi adalah memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masingmasing. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif).
Etiket

Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada persamaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan

tidak melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket berasal dariEt iq u e tt e (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan si kap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam

bertingkah lake sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu selain ada persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umumnya sebagai berikut:

1.Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya.Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.

2.Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik
yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan. 3.Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dany a n g salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya.

4.Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang
hadir.Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku. (dari berbagai sumber)

http://asyilla.wordpress.com/2007/06/30/pengertian-etika/

Sunday, March 19, 2006


ETIKA PROFESI DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI
Diposting oleh Y0u_N13 pada 3/19/2006 06:21:00 PM
Pengertian Profesi dan Pelaksanaan Profesi

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
1. Etika Profesi

Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
2. Kode Etik Profesi

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).

Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
3. Penyalahgunaan Profesi

Dalam bidang computer sering terjadi penyalahgunaan profesi contohnya penjahat berdasi yaitu orang-orang yang menyalahgunakan profesinya dengan cara penipuan kartu kredit, cek, kejahatan dalam bidang komputer lainnya yang biasa disebut Cracker dan bukan Hacker, sebab Hacker adalah Membangun sedangkan Cracker Merusak. Hal ini terbukti bahwa Indonesia merupakan kejahatan komputer di dunia diurutan 2 setelah Ukraine. Maka dari itu banyak orang yang mempunyai profesi tetapi tidak tahu ataupun tidak sadar bahwa ada kode Etik tertentu dalam profesi yang mereka miliki, dan mereka tidak lagi bertujuan untuk menolong kepentingan masyarakat, tapi sebaliknya masyarakat merasa dirugikan oleh orang yang menyalahgunakan profesi.

4. Kesimpu lan

Kesadara n itu penting dan lebih

penting lagi kesadara n itu

timbul dari Diri kita masing -

masing yang sebentar lagi akan

menjadi pelaksan a profesi di bidang

kompute r disetiap tempat kita

bekerja, dan selalu memaha

mi dengan baik atas Etika

Profesi yang memban gun dan

bukan untuk merugik

an orang lain.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Masalah 2.2 Pengertian Etika
Etika adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti : 1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar Dalam dunia bisnis etika merosot terus maka kata etika di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata etika dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Jadi arti kata etika dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.

2.3 Pengertian Kafir


Kafir secara garis besar bisa diartikan sebagai orang yang menutup dirinya dari kebenaran, orang yang tidak percaya, kepada Allah, Rasul Rasul Nya, Malaikat malaikat Nya, Kitab kitabnya, dan

hari kiamat. Hmm, barangkali ada yang mau menjelaskan secara lebih mendalam pengertian dan seputar kafir setelah dikembalikan pada Al Quran dan Hadist? Tapi dimohon dengan sangat jangan menunjuk orang atau golongan tertentu, karena kita tidak boleh sembarangan menunjuk orang lain sebagai kafir. Thread ini hanya sebagai instropeksi aja, karena ada juga yang mendefinisikan kafir sebagai orang yang meninggalkan amal sholeh yang diperintahkan Allah. Dan semoga setelah paham betul akan pengertian kafir tersebut kita bisa menjaga diri agar tidak termasuk dalam golongan kafir. Kafir berasal dari kata "kafaro" yang artinya tertutup,menolak.. pengertianya:hati manusia yang tertutup atau menolak kebenaran yang hakiki berasal dari Allah dan rasulnya. Ada orang kafir yang memang tidak mengakui Allah sbg rab,tapi ada juga orang Islam yang di jatuhi hukum kafir,kerana amalnya,contonya : hadis rasulullah "barang siapa yang menfitnah, dia adalah fasik dan membunuh orang muslim adalah kafir"wallahu a'lam. Ada juga hadist Muslim yang menyebutkan : " Janganlah kamu membenci bapakmu. Siapa yang membenci bapaknya, maka dia kafir." Pengertian 'kafir' tentunya sangatlah luas. Kafir (non-Muslim) dalam perspektif negara Islam menurut Ibnu Arabi tetaplah harus dijamin hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hal ini tercermin pada sejarah Islam periode Madinah (masyarakat Madani) dimana Muslim nonMuslim dpt hidup berdampingan secara damai dalam kepemimpinan Muhammad SAW. Dalam Al-Quran secara umum kafir berarti: 1. mengingkari nikmat-nikmat Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya (QS.16:55, QS. 30:34), 2. lari dari tanggung jawab (QS.14:22), 3. menolak hukum Allah (QS. 5;44), 4. meninggalkan amal soleh yang diperintahkan Allah (QS. 30:44).

2.4 Ayat dan Hadist yang berhubungan


Sebenarnya banyak sekali ayat dan hadist tentang orang kafir berikut diantaranya:

Artinya: Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab; pemimpin; pelindung; penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. [Ali Imrn/3: 28]

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut. 1

Artinya: 1. Katakanlah: Hai orang-orang kafir, 2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.

2.5 Pembagian Kafir


Kafir dalam syariat Islam terbagi empat : -Pertama : Kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-Azz Al-Hakm :

Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al Libaas bab tentang libaasu sy syuhroti: (4033), dan oleh Ahmad:(5232) dari hadis Ibnu Umar rodhiyallaahuanhumaa. Dan dishahihkan oleh Al Irooqiy dalam Takhrriju l ihyaa`: (1/359), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu l Baariy: (10/288), dan oleh Al Albani dalam Al Irwaa`: (1269)

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shgirun (hina, rendah, patuh). (QS. At-Taubah : 29). Dan dalam hadits Buraidah radhiyallahu anhu, Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

Adalah Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (berwasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka. Dan dalam hadits Al-Mughroh bin Syubah radhiyallahu anhu, beliau berkata,

Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah. Kedua : Kafir muahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman, Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. AtTaubah : 7). Dan Allah berfirman, Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya

sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. AtTaubah : 4). Dan Allah Jallat Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya, Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti. (QS. At-Taubah : 12). Dan Allah Azza wa Jalla menegaskan, Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). (QS. AL-Anfal : 55-56) Dan Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

Siapa yang membunuh kafir Muahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata Muahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, Dan yang diinginkan dengan (Muahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah, perjanjian dari penguasa, atau jaminan keamanan dari seorang muslim. Dan Nabi shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang muahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat. Ketiga : Kafir mustaman, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah : 6). Dan dalam hadits Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu, Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam berpesan,

Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun).

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminan keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya. Dan dalam hadits Ummu Hani` radhiyallahu anha, beliau berkata,

Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu Ali bin Abi Tholib,-pent) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`. Keempat : Kafir harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyariatkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Demikianlah pembagian orang kafir telah masyhur dalam uraian para ulama seperti Imam Empat, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya. Dan dari ulama masa kini seperti Syaikh Ibnu Baz (w. 1420 H), Syaikh Al-Albany (w. 1420 H), Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadiiy (w. 1422 H), Syaikh Ibnu Utsaimin (w. 1421 H), Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Bassam (w. 1424 H) dan lain-lainnya. Dan bagi siapa yang menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini tanpa perselisihan. Dan harus kami tegaskan disini, bahwa tiga kafir di atas, yaitu kafir dzimmi, muahad dan musta`man adalah termasuk jiwa yang diharamkan untuk dibunuh sebagaimana yang telah lalu, dan sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya, Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al-Anam : 151) Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sady rahimahullah, Dan firman-Nya Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar dia adalah jiwa muslim, baik laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dan (jiwa) kafir yang terlindung dengan perjanjian dan keterikatan. Dan berkata Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimn rahimahullah, Dan jiwa yang diharamkan oleh Allah adalah jiwa yang terjaga, yaitu jiwa seorang muslim, (kafir) dzimmi, muahad dan mus`tamin. 2.5 Etika Terhadap Orang Kafir Orang Muslim meyakini bahwa seluruh agama adalah batil kecuali agama Islam yang merupakan agama yang benar, dan bahwa para pemeluk semua agama adalah kafir, kecuali pemeluk agama Islam, karena mereka orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim. Mereka yakin karena dalildalil berikut: Firman Allah Taala, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imran: 19).

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85). "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian." (Al-Maidah: 3). Dengan dalil-dalil Ilahi yang benar di atas, orang Muslim mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah dihapus dengan Islam, dan bahwa Islam adalah agama seluruh manusia. Oleh karena itu, Allah Taala tidak menerima agama selain Islam dari siapa pun, dan tidak meridhai Syariat selain Syariat Islam. Dari sinilah, orang Muslim menyadari bahwa siapa saja yang tidak menyembah Allah Taala dengan agama Islam ia orang kafir. Untuk itu, ia menerapkan etika-etika berikut terhadap orang kafir: 1. Tidak mengakui kekafirannya, dan tidak meridhainya, karena meridhai kekafiran adalah kekafiran. 2. Benci kepada orang kafir karena kebencian Allah Taala kepadanya, sebab cinta dan benci itu harus karena-Nya. Oleh karena itu, selagi Allah Azza wa Jalla membencinya karena kekafirannya, maka orang Muslim pun membenci orang kafir, karena kebencian-Nya kepadanya. 3. Tidak memberikan loyalitas dan kasih sayang kepadanya, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah Taala, "Janganlah orang-orang Mukminin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukminin." (Ali Imran: 28). "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (Al-Mujadilah: 22). 4. Berbuat adil terhadapnya, dan berbuat baik kepadanya jika ia bukan orang kafir yang harus diperangi, karena Allah Taala berfirman, "Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8). Pada ayat yang mulia di atas, Allah Taala membolehkan berbuat adil, dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir yang wajib diperangi, karena mereka

mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri dalam ketentuan orang-orang yang wajib diperangi. 5. Menyayanginya dengan kasih sayang umum dengan memberinya makan jika ia lapar, memberinya minum jika ia kehausan, mengobatinya jika ia sakit, menyelamatkannya dan kebinasaan, dan menjauhkan gangguan daripadanya, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., "Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya engkau disayangi siapa yang ada di langit." (Diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Hakim. Hadits ini shahih). "Pada setiap orang yang mempunyai hati yang basah terdapat pahala." (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih). 6. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatannya, jika ia bukan termasuk orang yang wajib diperangi, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., "Allah Taala berfirman, Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas Diri-Ku, dan Aku mengharamkannya terhadap kalian. Oleh karena itu, kalian jangan saling menzhalimi'." (Diriwayatkan Muslim). "Barangsiapa menyakiti orang kafir dzimmi, maka Aku menjadi lawannya pada hari kiamat." (Diriwayatkan Muslim). 7. Ia boleh memberinya hadiah, menerima hadiahnya, dan memakan hadiahnya jika ia Ahli Kitab orang Yahudi, dan orang Kristen, berdasarkan dalil-dalil berikut: Firman Allah Taala, "Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian." (Al Maidah: 5). Dikisahkan dengan shahih bahwa Rasulullah saw. diundang makan oleh orang Yahudi Madinah, kemudian beliau memenuhi undangannya, dan memakan makanan yang dihidangkan kepada beliau. 8. Tidak menikahkan wanita Mukminah dengannya, dan boleh menikahi wanita-wanita kafir dan Ahli Kitab, berdasarkan dalil-dalil berikut: Allah Ta'ala melarang pernikahan wanita Mukminah dengan orang kafir secara mutlak dalam firman-Nya, "Mereka (wanita-wanita Mukminah) tersebut tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka." (Al-Mumtahanah: 10).

"Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman." (Al-Baqarah: 221). Allah Taala membolehkan seorang Muslim menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dalam firman-Nya, "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik." (Al-Maidah: 5). 9. Mendoakannya jika ia bersin dengan memuji Allah dan berkata, "Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu." Karena Rasulullah pernah bersin di samping orang orang Yahudi, karena mengharap mereka berkata, "Semoga Allah merahmatimu," kemudian beliau mendoakan balik, "Semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian, dan memperbaiki urusan kalian." 10. Tidak memulai ucapan salam kepadanya, dan jika orang kafir mengucapkan salam kepadanya, ia menjawabnya dengan mengatakan, "Wa'alaikum (juga atas kalian)". Karena Rasulullah bersabda, "Jika orang-orang Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka katakan kepada mereka, Waalaikum' (juga atas kalian)." (Muttafaq Alaih). 11. Menyempitkan ruang geraknya jika bertemu dengannya di salah satu jalan ke jalan yang paling sempit, karena Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan orangorang Kristen. Jika kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka mendorongnya ke jalan yang paling sempit baginya." (Diriwayatkan Abu Daud dan AthThabrani. Hadits ini hasan). 12. Tampil beda dengannya, dan tidak menirunya dalam hal-hal yang tidak penting, misalnya memanjangkan jenggotnya jika ia tidak memanjangkannya, mengecatnya jika ia tidak mengecatnya, dan berbeda dengannya dalam pakaian, atau kopiah, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., "Dan barangsiapa meniru satu kaum, ia termasuk mereka." (Muttafaq Alaih). "Hendaklah kalian berbeda dan orang-orang musyrik, panjangkan jenggot, dan cukurlah kumis." (Muttafaq Alaih).

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen tidak mengecat, maka berbedalah dari mereka." (Diriwayatkan Al-Bukhari). Maksudnya mewarna jenggot, atau rambut dengan warna kuning, atau merah. Sedang mewamainya dengan warna hitam dilarang Rasulullah saw., karena Imam Muslim meriwayatkan, bahwa beliau bersabda, "Rubahlah ini (rambut putih) dan tinggalkan warna hitam." (Diriwayatkan Muslim).

2.6 Hikmah Berakhlak Terhadap Orang Kafir


Sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti ada hikmahnya. Kita berakhlak pada orang kafir pun mempunyai hikmah/ manfaat. Hikmahnya antara lain: 1. Agar kita tidak menyerupai orang kafir. Seuai dengan perintah rasulullah yang berbunyi: "Dan barangsiapa meniru satu kaum, ia termasuk mereka." (Muttafaq Alaih). 2. Agar kita hidup di dunia bisa saling rukun satu sama lainnya. Ini akan mencerminkan toleransi dalam Islam. 3. Agar terjadi keamanan, kenyamanan, dan ketertiban beragama sehingga terjadi kedamaian. 4. Memupuk sikap tenggang rasa dan toleransiantar umat.Islam memang mengakui adanya agama laintetapi Islam tidak mengakui apa yang mereka yakini( tidak mengakui kekafirannya), tetapi Islam menghargai apa saja yang mereka lakukan asal tidak mengganggu umat Islam sendiri. 5. Agar kita mengetahui tentang larangan menikah dengan orang kafir. 6. Dapat menjaga hubungan kita dengan orang kafiragar tidak terlalu jauh hubungan kita.

PENGERTIAN ETIKA

Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia

TUJUAN MEMPELAJARI ETIKA Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu

PENGERTIAN BAIK

Sesuatu hal dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang, atau bahagia (Sesuatu dikatakan baik bila ia dihargai secara positif)

PENGERTIAN BURUK

Segala yang tercela. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku

CARA PENILAIAN BAIK DAN BURUK

Menurut Ajaran Agama, Adat Kebiasaan, Kebahagiaan, Bisikan Hati (Intuisi), Evolusi, Utilitarisme, Paham Eudaemonisme, Aliran Pragmatisme, Aliran Positivisme, Aliran Naturalisme, Aliran Vitalisme,

Aliran Idealisme, Aliran Eksistensialisme, Aliran Marxisme, Aliran Komunisme [carilah di internet mengenai faham atau aliran-aliran tersebut secara lengkap]

Kriteria perbuatan baik atau buruk yang akan diuraikan di bawah ini sebatas berbagai aliran atau faham yang pernah dan terus berkembang sampai saat ini. Khusus penilaian perbuatan baik dan buruk menurut agama, adapt kebiasaan, dan kebudayaan tidak akan dibahas disini.

Faham Kebahagiaan (Hedonisme)

Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu (1) hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.

Bisikan Hati (Intuisi)

Bisikan hati adalah kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu. Faham ini merupakan bantahan terhadap faham

hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai kebaikan budi pekerti

Evolusi

Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju kea rah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Darwin (ingat konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest) Alexander mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di ala mini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang sebagai buruk.

Paham Eudaemonisme

Prinsip pokok faham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauaan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah.

Aliran Pragmatisme

Aliran ini menititkberatkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri baik yang bersifat moral maupun material. Yang menjadi titik beratnya adalah pengalaman, oleh karena itu penganut faham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.

Aliran Naturalisme

Yang menjadi ukuran baik atau buruk adalah :apakah sesuai dengan keadaan alam, apabila alami maka itu dikatakan baik, sedangkan apabila tidak alami dipandang buruk. Jean Jack Rousseau mengemukakan bahwa kemajuan, pengetahuan dan kebudayaan adalah menjadi perusak alam semesta.

Aliran Vitalisme

Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran natiralisme sebab menurut faham vitalisme yang menjadi ukuran baik dan buruk itu bukan alam tetapi vitae atau hidup (yang sangat diperlukan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok yaitu (1) vitalisme pessimistis (negative vitalistis) dan (2) vitalisme optimistime. Kelompok pertama terkenal dengan ungkapan homo homini lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Sedangkan menurut aliran kedua perang adalah halal, sebab orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan. Tokoh terkenal aliran vitalisme adalah F. Niettsche yang banyak memberikan pengaruh terhadap Adolf Hitler.

Aliran Gessingnungsethik

Diprakarsai oleh Albert Schweitzer, seorang ahli Teolog, Musik, Medik, Filsuf, dan Etika. Yang terpenting menurut aliran ini adalah penghormatan akan kehidupan, yaitu sedapat mungkin setiap makhluk harus saling menolong dan berlaku baik. Ukuran kebaikannya adalah pemelihataan akan kehidupan, dan yang buruk adalah setiap usaha yang berakibat kebinasaan dan menghalangihalangi hidup.

Aliran Idealisme

Sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah segala yang ada hanyalah yang tiada sebab yang ada itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang bai itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri.

Aliran Eksistensialisme

Etika Eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait pada keputusan-keputusan individu, Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan maka pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadao sesuatu yang baik, terutama sekali bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah Truth is subjectivity atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk.

Aliran Marxisme

Berdasarkan Dialectical Materialsme yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan. Jadi apapun dapat dipandang baik asalkan dapat menyampaikan/menghantar kepada tujuan

PENGERTIAN PROFESI

Belum ada kata sepakat mengenai pengertian profesi karena tidak ada standar pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sebagai profesi. Ada yang mengatakan bahwa profesi adalah jabatan seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat komersial. Secara tradisional ada 4 profesi yang sudah dikenal yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan.

PROFESIONALISME

Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri profesionalisme: 1. Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi 2. Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan 3. Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya 4. Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya

CIRI KHAS PROFESI

Menurut Artikel dalam International Encyclopedia of education, ada 10 ciri khas suatu profesi, yaitu: 1. Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus berkembang dan diperluas 2. Suatu teknik intelektual 3. Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis 4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi 5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan 6. Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri 7. Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggotanya 8. Pengakuan sebagai profesi 9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi 10. Hubungan yang erat dengan profesi lain TUJUAN KODE ETIKA PROFESI

Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak sama.

Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah:

1. Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya 2. Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan 3. Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu 4. Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya 5. Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi 6. Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya

Orang kafir dalam syariat Islam terbagi empat : Pertama : Kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-Azz Al-Hakm :

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shgirun (hina, rendah, patuh). (QS. At-Taubah : 29). Dan dalam hadits Buraidah radhiyallahu anhu, Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,


Adalah Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (berwasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka. [1] Dan dalam hadits Al-Mughroh bin Syubah radhiyallahu anhu, beliau berkata,


Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah. [2] Kedua : Kafir muahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman,

Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 7). Dan Allah berfirman, Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 4). Dan Allah Jallat Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya, Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orangorang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti. (QS. At-Taubah : 12). Dan Allah Azza wa Jalla menegaskan, Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibatakibatnya). (QS. AL-Anfal : 55-56) Dan Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda,


Siapa yang membunuh kafir Muahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata Muahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, Dan yang diinginkan dengan (Muahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah[4], perjanjian dari penguasa[5], atau jaminan keamanan[6] dari seorang muslim. [7] Dan Nabi shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang muahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat. [8] Ketiga : Kafir mustaman, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah : 6). Dan dalam hadits Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu, Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam berpesan,


Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun). [9] Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminan keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya. Dan dalam hadits Ummu Hani` radhiyallahu anha, beliau berkata,


Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu Ali bin Abi Tholib,-pent) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`.[10] Keempat : Kafir harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyariatkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Demikianlah pembagian orang kafir telah masyhur dalam uraian para ulama seperti Imam Empat, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya. Dan dari ulama masa kini seperti Syaikh Ibnu Baz (w. 1420 H), Syaikh Al-Albany (w. 1420 H), Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadiiy (w. 1422 H),

Syaikh Ibnu Utsaimin (w. 1421 H), Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Bassam (w. 1424 H) dan lain-lainnya. Dan bagi siapa yang menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini tanpa perselisihan. Dan harus kami tegaskan disini, bahwa tiga kafir di atas, yaitu kafir dzimmi, muahad dan musta`man adalah termasuk jiwa yang diharamkan untuk dibunuh sebagaimana yang telah lalu, dan sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya, Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al-Anam : 151) Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sady rahimahullah, Dan firman-Nya Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar dia adalah jiwa muslim, baik laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dan (jiwa) kafir yang terlindung dengan perjanjian dan keterikatan. Dan berkata Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimn rahimahullah, Dan jiwa yang diharamkan oleh Allah adalah jiwa yang terjaga, yaitu jiwa seorang muslim, (kafir) dzimmi, muahad dan mus`tamin. [11] Dan berkata guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, Jiwa yang diharamkan oleh Allah adalah jiwa mukmin. Dan demikian pula jiwa muahad, walaupun dia kafir namun Allah mengharamkan membunuh jiwa mukminin dan juga mengharamkan membunuh jiwa para muahad dari kaum kuffar yang ada perjanjian dengan kaum muslimin dalam masalah dzimmah atau jaminan keamanan. Dzimmah adalah mereka membayar jizyah atau mereka yang masuk ke negara kita dengan jaminan keamanan. Tidak boleh membunuh dan melampaui batas terhadap mereka, karena mereka berada dalam dzimmah kaum muslimin dan dalam jaminan keamanan kaum muslimin. Tidak boleh mengkhianati dzimmah kaum muslimin, karena itu datang dalam hadits Siapa yang membunuh kafir muahad ia tidak akan mencium baunya sorga.. [12] Dan berikut ini beberapa pernyataan para ulama umat. Berkata Ibnu Abddil Barr (w. 463 H) rahimahullah, Dan saya tidak mengetahui ada silang pendapat di kalangan para ulama bahwa siapa yang memberi jaminan keamanan kepada seorang kafir harby dengan bentuk pernyataan yang dipahami bahwa ia memberi keamanan, maka telah (terjalin) sempurna jaminan keamanan untuknya. Dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa walaupun sekedar isyarat, namun dipahami, maka hal itu terhitung jaminan keamanan sebagaimana halnya pernyataan.
[13]

Dan berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, Adapun (kafir) musta`man, ia adalah orang yang masuk ke negara kaum muslimin bukan untuk menetap padanya. Mereka ini empat macam; (1) para utusan, (2) para pedagang, (3) orang-orang yang meminta perlindungan untuk dihadapkan kepadanya keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka ingin, mereka masuk ke dalam (Islam), dan kalau mereka ingin, mereka ke

negeri mereka, (4) serta orang-orang yang punya hajat berupa kunjungan dan selainnya. Hukum terhadap mereka adalah tidak boleh diboikot, tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipungut jizyah darinya, dan terhadap orang-orang yang meminta perlindungan agar diperlihatkan kepada mereka keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka masuk (Islam), maka itu (yang diinginkan), kalau mereka ingin kembali kepada keamanannya (negaranya,pent.), mereka dibiarkan kembali. [14] Berkata Imam Asy-Syaukany (w. 1250 H) rahimahullah, Muahad adalah seorang kafir harby yang masuk ke negeri Islam dengan jaminan keamanan, maka haram terhadap kaum muslimin untuk membunuhnya hingga ia kembali kepada keamanannya (negaranya) tanpa ada silang pendapat di kalangan penganut Islam. [15] Dan banyak lagi ucapan para ulama dalam masalah ini, sangatlah panjang untuk menyebutkan seluruhnya. Namun kami akan menutup pembahasan pembagian orang kafir ini dengan beberapa fatwa para ulama abad ini, selain dari apa yang telah disebutkan. Wallahul Mustaan. Fatwa Syaikh Ibnu Baz Tentang Mengganggu Turis Dan Tamu Asing Dalam kumpulan fatwa-fatwa beliau jilid 8 halaman 229, beliau ditanya, Apa hukum menganiaya turis-turis asing dan para tamu di negeri-negeri Islam?. Beliau menjawab, Ini tidak boleh, menganiaya siapa saja tidak boleh. Apakah itu para turis atau para pekerja, karena mereka adalah mustaman (orang yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah). Mereka masuk dengan jaminan keamanan, maka tidak boleh menganiaya mereka. Tetapi pemerintah hendaknya dinasehati sehinga melarang apa-apa yang tidak patut untuk ditampakkan. Adapun menganiaya mereka, maka itu tidak boleh. Adapun individu-individu manusia, tidak ada hak bagi mereka untuk membunuh, memukul dan menyakiti mereka (para turis tersebut), bahkan kewajiban mereka untuk mengangkat perkara (yang perlu diperbaiki menurut pandangan mereka,-pent.) kepada pemerintah, karena menganiaya mereka adalah berarti menganiaya orang-orang yang telah masuk dengan jaminan keamanan. Maka tidak boleh menganiaya mereka akan tetapi perkara mereka diangkat kepada orang yang mampu menahan masuknya mereka atau menahan mereka dari kemungkaran yang zhohir. Adapun menasehati dan mendakwahi mereka kepada Islam atau meninggalkan kemungkaran apabila mereka telah muslim, maka itulah perkara yang diinginkan. Dalil-dalil syariat meliputi hal-hal tersebut. Wallahul Mustaan wa la Haula wa la Quwwata Illa billah, serta shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarganya dan para shahabatnya. Keputusan Haiah Kibarul Ulama Saudi Arabia 13/7/1417 H Jiwa yang terjaga dalam hukum syariat Islam adalah semua (jiwa) muslim atau semua (kafir) yang antara dia dengan kaum muslimin ada aman (jaminan keamanan) sebagaimana firman (Allah) Taala :

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mumin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisa` : 93) Dan (Allah) Subhanahu berfirman tentang hukum kafir dzimmy yang terbunuh tanpa sengaja, Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. (QS An-Nisa` : 92) Maka jika kafir dzimmy yang memiliki jaminan keamanan, bila dibunuh tanpa sengaja padanya ada diyah dan kaffarah, maka bagaimana pula jika dibunuh dengan sengaja?, tentunya kekejiannya lebih hebat dan dosanya lebih besar. Dan telah shohh dari Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,


Barangsiapa yang membunuh kafir muahad maka dia tidak akan mencium baunya Surga. HR. AlBukhary.[16] Maka tidak boleh mengganggu (kafir) musta`man, apalagi membunuhnya seperti (yang terjadi pada) kekejian yang besar dan mungkar ini. Dan ini adalah ancaman yang keras terhadap siapa yang membunuh (kafir) muahad, dan sesungguhnya hal itu termasuk dari dosa-dosa besar yang diancam dengan tidak masuknya si pembunuh ke dalam Surga, kita berlindung kepada Allah dari segala kehinaan. Fatwa Syaikh Al-Albany Tentang Mengganggu turis Asing Beliau berkata dalam sebuah kaset terekam, Apabila seorang kafir dari para pesiar atau turis tersebut masuk, mereka tidaklah masuk ke negara kita yang Islamy kecuali dengan izin dari seorang hakim (penguasa) muslim. Karena itu, tidak boleh melampaui batas terhadapnya, sebab ia adalah seorang (kafir) muahad. Kemudian andaikata hal tersebut terjadi, -dan telah terjadi lebih dari sekali dimana seorang muslim melampaui batas terhadap salah seorang dari mereka-, maka akibat hal tersebut dia akan terbunuh atau lebih dari itu, atau ia dipenjara, atau , atau , sehingga pelampauan batas terhadap darah pesiar seperti ini dan di negeri Islam tidaklah tercapai dibelakangnya suatu manfaat islamy, bahkan ia telah menyelisihi hadits yang telah lalu penyebutannya,

- -
Siapa yang membunuh (kafir) muahad dalam kunhi-nya yaitu dalam penjanjian dan jaminan keamanan padanya-, maka ia tidak akan mencium baunya sorga.[17] [18]

[1] [2]

Telah berlalu takhrijnya. Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3158. [3] Hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma riwayat Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686. [4] Yaitu kafir Dzimmi. [5] Yaitu kafir Muahad. [6] Yaitu kafir Musta`man. [7] Fathul Bary 12/259. [8] Hadits riwayat Abu Daud no. 3052 dan Al-Baihaqy 9/205. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadts Ash-Shohhah no. 445. [9] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3179, 6755, 7300, Muslim no. 1370, Abu Daud no. 2034 dan At-Tirmidzy no. 2132. [10] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 357, 3171, 6158 dan Muslim 1/517-518 no. 337 (Kitab Shalatul Musafirn wa Qashriha). [11] Al-Qaul Al-Mufd 1/38. [12] Ianatul Mustafd 1/33. [13] Al-Istidzkar 5/36. [14] Ahkam Ahludz Dzimmah 2/475. [15] Nailul Author 7/155. [16] Telah berlalu takhrijnya, -pen. [17] Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi no. 879, Ahmad 5/36, 38, Ad-Darimy 2/308, Ibnu Abi Syaibah 5/457, Ibnul Jard no. 835, 1070, Abu Daud no. 2760, An-Nasa`i 8/24, Al-Hakim 2/142 dan Al-Baihaqi 9/231 dari Jalan Uyainah bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu. Dan dishohhkan oleh Al-Albani dalam Shohh Abi Daud dan Shohh An-Nasa`i dan guru kami, Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad 2/248 no. 1183 (cet. Pertama). -pen. [18] Demikian ucapan beliau dari sebuah kaset rekaman, kami dinukil dengan perantara kitab Al-Qaul Al-Amn fii Tahdzril Muslimn Minal Itida` Alal Muahadin Wal Musta`mann karya Sholih Al-Bakry.

Tags: darah, dosa, dzimmah, dzimmi, Fatwa, hukum, Islam, jizyah, kafir, Kafir dzimmy, Kafir harby, Kafir mu'ahad, Kafir musta'man, keamanan, membunuh, Menyelami Jihad, muslimin, musuh, negara, pemerintah, pemimpin, perang, umat Baca juga :

Resensi Buku (0) Pembagian Jihad Melawan Kafir Secara Fisik (2) (0) Pembagian Jihad Melawan Kafir Secara Fisik (1) (0) Beberapa Ketentuan Seputar Jihad (0) Anjuran Berbuat Perbaikan Dan Peringatan Bahaya Berbuat Kerusakan di Muka Bumi (0)

Ahlak Terhadap Orang Kafir


29th July 2007 42 4

0digg 42

EmailShare

Ahlak Terhadap Orang Kafir Bagaimana ahlak Rasulullah saw ketika bergaul dengan orang-orang kafir? Ahlak nabi saw adalah al Quran sebagaimana riwayat dari Aisyah ra ketika ditanya ahlak nabi saw, beliau menjawab:
Make money online Make money online free Make Money T mobile smartphones Yamaha waverunner parts T mobile family plan How to make money online

Ahlak beliau (nabi saw) adalah al Quran. Kemudian Aisyah ra membacakan ayat: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Qs al Qalam:4). Kata Khuluqin azhim (budi pekerti yang agung) dalam ayat ini, mencakup seluruh ahlak terhadap semua mahluk. Rahmat (rasa kasih sayang) merupakan ahlak yang paling tinggi, motivator serta motor penggerak utama suatu ahlak. Jika contoh-contoh dan riwayat-riwayat yang telah dibawakan dalam ceramah tersebut berkaitan dengan ahlak beliau saw, terhadap orang-orang kafir saat peperangan, maka bagaimana kita akan menggambarkan ahlak beliau saw terhadap mereka dalam kondisi damai? Saya akan menyebutkan tiga hadits tentang hal itu. Yang pertama, sabda Rasulullah saw: Sesungguhnya para utusan (duta) itu tidak boleh dibunuh. ( Riwayat Abu Dawud). Maksudnya adalah, para utusan yang dikirim oleh orang-orang kafir sebagai duta dan penghubung antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir.

Keadilan dan kasih-sayang Islam tidak memperbolehkan untuk membunuh dan menyakiti mereka. Karena, dalam Islam terdapat ajaran (agar menjaga dan menataati) perjanjian dan ikatan janji. Ini di antara gambaran cara bergaul tingkat tinggi dari kaum Muslimin, atau dari agama Islam, atau dari nabi Islam kepada orang-orang Kafir, non Islam. Hadis kedua, yaitu dalam wasiat nabi saw kepada Muadz bin Jabal ra, beliau bersabda: dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik. (Hr Ahmad, Tirmidzi, Darimi). Dalam hadits ini, Rasulullah saw tidak mengatakan pergaulillah kaum Muslimin, atau orangorang shalih (salih), atau orang-orang yang mengerjakan shalat, akan tetapi beliau mengatakandan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik. Maksudnya adalah semua agama, yang kafir, yang muslim, yang mushlih (muslih; yang melakukan perbaikan), yang faajir (jahat) dan yang shalih, sebagai bentuk keluasaan rahmat dan kelengkapannya dengan ahlak din (agama). Hadis ketiga, yaitu hadis tentang seorang Yahudi, tetangga nabi saw, yang sering menyakiti beliau saw. Suatu ketika, nabi mengetahui bahwa orang yang selalu menyakitinya ini memiliki seorang anak yang sedang sekarat. Maka nabi saw datang berkunjung kerumahnya dan mengajaknya menuju jalan Rabb-nya, dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki keadaan orang ini. Beliau saw membalas keburukan dengan kebaikan, meskipun terhadap orang kafir, Rasulullah saw bersabda kepada si anak, sementara bapaknya juga ada bersama mereka: Wahai bocah, katakanlah laa ilaaha illallah, itu akan menyelamatkanmu dari api neraka. Mendengar seruan ini, si anak memandang ke arah bapaknya dan memperhatikannya. Rasulullah saw mengulangi lagi: Wahai bocah, katakanlah laa ilaaha illallah! Si anak memandang ke arah bapaknya lagi. Kejadian yang sama juga terjadi antara Rasulullah saw dengan pamannya, Abu Thalib, yang senantiasa membantu dan menolong din Islam, kaum Muslimin dan Rasulullah saw, akan tetapi, dia tidak masuk Islam. Rasulullah saw bersabda kepadanya: Wahai paman, katakanlah laa ilaaha illallah Mendengar seruan ini, Abu Thalib memandang para pembesar Qurays. Lalu mereka mengatakan:

Apakah kamu benci terhadap agama nenek moyangmu? (Hadis riwayat Imam Bukhari). Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam kekafiran. Sedangkan orang Yahudi (dalam cerita ini) yang mendengar nabi saw mengajak anaknya agar masuk Islam, Allah menceritakan kondisi mereka: Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah). (QS Al Anaam :20) Bagaimana jawaban dan responnya? Orang Yahudi itu mengatakan: Wahai anakku, taatlah kepada Abul Qasim (Muhammad saw)! Maka si anak mengucapkan syahadatain. Sebelum menghembuskan napas terakhir. Mendapat respon positif ini, Rasulullah bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka dengan sebabku. (Hr Bukhari, 1356, Abu Dawud). Inilah ahlak Rasulullah saw yang muliah, adab beliau yang luhur terhadap orang-orang non Muslim, ketika kondisi perang dan dalam keadaan damai. Kita memohon kepada Allah SWT, agar menjadikan ahlak kita sama seperti ahlak beliau saw, dan semoga Allah menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan terbaik kita. Allah Berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al Ahzab :21) (Syaikh Ali bin Abdul Hamid Hasan al Halaby dalam muhadharah di Masjid Istiqlal, 19 febuari 2006). Tulisan ini dikutip dari rubrik Soal-Jawab majalah As-Sunnah halaman 10, Edisi 02/X/1427 H/2006 M. Semoga bermanfaat Amiin Allahuma Amiin. Wassallam Alikum Warrohmattullahi Wabbarakatuhu

PENGERTIAN PENGERTIAN
Etik atau ethics berasal dari bahasa Yunani, yaitu etos Etik atau ethics berasal dari bahasa Yunani, yaitu etos yang artinya adat, kebiasaan, perilaku atau karakter. yang artinya adat, kebiasaan, perilaku atau karakter. Menurut kamus Webster, etik adalah suatu ilmu yang Menurut kamus Webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral moral Kesimpulan: Dari pengertian diatas etika adalah ilmu tentang Kesimpulan: Dari pengertian diatas etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan- aturan atau prinsip- prinsip yang menentukan aturan- aturan atau prinsip- prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu: tingkah laku yang benar, yaitu:
e. e.

Baik dan buruk Baik dan buruk


f. f.

Kewajiban dan tanggung jawab. Kewajiban dan tanggun

Ketiga istilah diatas: Ketiga istilah diatas:


Etika --- ,Moral --- dan Etiket--- sulit Etika --- ,Moral --- dan Etiket--- sulit

untuk dibedakan, hanya dapat dilihat untuk dibedakan, hanya dapat dilihat bahwa etika lebih menitik beratkan bahwa etika lebih menitik beratkan pada aturan aturan, prinsip- prinsip pada aturan aturan, prinsip- prinsip yang melandasi perilaku yang yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan mendasar dan mendekati aturan aturan, hukum, dan undang- undang aturan, hukum, dan undang- undang yang membedakan benar atau salah yang membedakan benar atau salah secara moralitas. secara moralitas.

ETIK DALAM ETIK DALAM KEPERAWATAN KEPERAWATAN

Untuk menjadi seorang profesional Untuk menjadi seorang profesional dewasa yg mampu secara aktif dewasa yg mampu secara aktif berpartisipasi dalam dimensi etis berpartisipasi dalam dimensi etis praktik mereka, seorang perawat praktik mereka, seorang perawat harus terus mengembangkan suatu harus terus mengembangkan suatu perasaan yang kuat tentang identitas perasaan yang kuat tentang identitas moral mereka, mencari dukungan moral mereka, mencari dukungan dari sumber profesional yang dari sumber profesional yang tersedia dan mengembangkan tersedia dan mengembangkan pengetahuan serta kemampuan pengetahuan serta kemampuan mereka dalam bidang etik. mereka dalam bidang etik.

Posisi atau identitas moral Posisi atau identitas moral perawat yang disebut : perawat yang disebut :

Etik perawatan dijelaskan di Etik perawatan dijelaskan di dalam : kode etik profesional, dalam : kode etik profesional, menugaskan tanggung jawab menugaskan tanggung jawab dan tanggung gugat, dan komite dan tanggung gugat, dan komite etik institusional memberikan etik institusional memberikan dukungan dan arahan untuk dukungan dan arahan untuk praktik etis. praktik etis.

Etik keperawatan di hubungkan Etik keperawatan di hubungkan dengan hubungan antar masyarakat dengan hubungan antar masyarakat dan dengan karakter serta sikap

dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang lain. perawat terhadap orang lain.

Etik keperawatan Etik keperawatan


Pengetahuan perawatan diperoleh Pengetahuan perawatan diperoleh melalui keterlibatan pribadi dan melalui keterlibatan pribadi dan emosional dengan orang lain dengan emosional dengan orang lain dengan ikut terlibat dalam masalah moral ikut terlibat dalam masalah moral mereka ( Cooper, 1991). mereka ( Cooper, 1991).

SEKIAN SEKIAN
DAN DAN

TERIMA KASIH TERIMA KASIH

Etika terhadap orang kafir

Orang Muslim meyakini bahwa seluruh agama adalah batil kecuali agama Islam yang merupakan agama yang benar, dan bahwa para pemeluk semua agama adalah kafir, kecuali pemeluk agama Islam, karena mereka orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim. Mereka yakin karena dalildalil berikut: Firman Allah Taala, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imran: 19). "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85). "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian." (Al-Maidah: 3). Dengan dalil-dalil Ilahi yang benar di atas, orang Muslim mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah dihapus dengan Islam, dan bahwa Islam adalah agama seluruh manusia. Oleh karena itu, Allah Taala tidak menerima agama selain Islam dari siapa pun, dan tidak meridhai Syariat selain Syariat Islam. Dari sinilah, orang Muslim menyadari bahwa siapa saja yang tidak menyembah Allah Taala dengan agama Islam ia orang kafir. Untuk itu, ia menerapkan etika-etika berikut terhadap orang kafir:

1. Tidak mengakui kekafirannya, dan tidak meridhainya, karena meridhai kekafiran adalah kekafiran. 2. Benci kepada orang kafir karena kebencian Allah Taala kepadanya, sebab cinta dan benci itu harus karena-Nya. Oleh karena itu, selagi Allah Azza wa Jalla membencinya karena kekafirannya, maka orang Muslim pun membenci orang kafir, karena kebencian-Nya kepadanya. 3. Tidak memberikan loyalitas dan kasih sayang kepadanya, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah Taala, "Janganlah orang-orang Mukminin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukminin." (Ali Imran: 28). "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orangorang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (AlMujadilah: 22). 4. Berbuat adil terhadapnya, dan berbuat baik kepadanya jika ia bukan orang kafir yang harus diperangi, karena Allah Taala berfirman, "Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8). Pada ayat yang mulia di atas, Allah Taala membolehkan berbuat adil, dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir yang wajib diperangi, karena mereka mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri dalam ketentuan orang-orang yang wajib diperangi. 5. Menyayanginya dengan kasih sayang umum dengan memberinya makan jika ia lapar, memberinya minum jika ia kehausan, mengobatinya jika ia sakit, menyelamatkannya dan kebinasaan, dan menjauhkan gangguan daripadanya, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., "Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya engkau disayangi siapa yang ada di langit." (Diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Hakim. Hadits ini shahih). "Pada setiap orang yang mempunyai hati yang basah terdapat pahala." (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih). 6. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatannya, jika ia bukan termasuk orang yang wajib diperangi, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw.,

"Allah Taala berfirman, Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas Diri-Ku, dan Aku mengharamkannya terhadap kalian. Oleh karena itu, kalian jangan saling menzhalimi'." (Diriwayatkan Muslim). "Barangsiapa menyakiti orang kafir dzimmi, maka Aku menjadi lawannya pada hari kiamat." (Diriwayatkan Muslim). 7. Ia boleh memberinya hadiah, menerima hadiahnya, dan memakan hadiahnya jika ia Ahli Kitab orang Yahudi, dan orang Kristen, berdasarkan dalil-dalil berikut: Firman Allah Taala, "Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian." (Al Maidah: 5). Dikisahkan dengan shahih bahwa Rasulullah saw. diundang makan oleh orang Yahudi Madinah, kemudian beliau memenuhi undangannya, dan memakan makanan yang dihidangkan kepada beliau. 8. Tidak menikahkan wanita Mukminah dengannya, dan boleh menikahi wanita-wanita kafir dan Ahli Kitab, berdasarkan dalil-dalil berikut: Allah Ta'ala melarang pernikahan wanita Mukminah dengan orang kafir secara mutlak dalam firman-Nya, "Mereka (wanita-wanita Mukminah) tersebut tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tidak halal pula bagi mereka." (Al-Mumtahanah: 10). "Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman." (Al-Baqarah: 221). Allah Taala membolehkan seorang Muslim menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dalam firmanNya, "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik." (Al-Maidah: 5). 9. Mendoakannya jika ia bersin dengan memuji Allah dan berkata, "Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu." Karena Rasulullah pernah bersin di samping orang orang Yahudi, karena mengharap mereka berkata, "Semoga Allah merahmatimu," kemudian beliau mendoakan balik, "Semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian, dan memperbaiki urusan kalian."

10. Tidak memulai ucapan salam kepadanya, dan jika orang kafir mengucapkan salam kepadanya, ia menjawabnya dengan mengatakan, "Wa'alaikum (juga atas kalian)". Karena Rasulullah bersabda, "Jika orang-orang Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka katakan kepada mereka, Waalaikum' (juga atas kalian)." (Muttafaq Alaih). 11. Menyempitkan ruang geraknya jika bertemu dengannya di salah satu jalan ke jalan yang paling sempit, karena Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen. Jika kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka mendorongnya ke jalan yang paling sempit baginya." (Diriwayatkan Abu Daud dan Ath-Thabrani. Hadits ini hasan). 12. Tampil beda dengannya, dan tidak menirunya dalam hal-hal yang tidak penting, misalnya memanjangkan jenggotnya jika ia tidak memanjangkannya, mengecatnya jika ia tidak mengecatnya, dan berbeda dengannya dalam pakaian, atau kopiah, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah saw., "Dan barangsiapa meniru satu kaum, ia termasuk mereka." (Muttafaq Alaih). "Hendaklah kalian berbeda dan orang-orang musyrik, panjangkan jenggot, dan cukurlah kumis." (Muttafaq Alaih). "Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen tidak mengecat, maka berbedalah dari mereka." (Diriwayatkan Al-Bukhari). Maksudnya mewarna jenggot, atau rambut dengan warna kuning, atau merah. Sedang mewamainya dengan warna hitam dilarang Rasulullah saw., karena Imam Muslim meriwayatkan, bahwa beliau bersabda, "Rubahlah ini (rambut putih) dan tinggalkan warna hitam." (Diriwayatkan Muslim). Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 168-172 < Sebelumnya Berikutnya >

Etika terhadap Tetangga


Rabu, 14 Februari 2007 19:49 Abu Bakr Jabir al-Jazairi

Orang Muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalil-dalil berikut: Firman Allah Taala, "Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh." (An-Nisa': 36). Sabda Rasulullah saw., "Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku beranggapan bahwa ia akan mewarisi." (Muttafaq Alaih). "Barangsiapa beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, hendaklah a memuliakan tetangganya." (Muttafaq Alaih). Etika terhadap tetangga adalah sebagai berikut 1. Tidak menyakitinya dengan ucapan, atau perbuatan karena sabda-sabda Rasulullah saw. berikut: Sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, maka ia jangan menyakiti tetangganya." (Muttafaq Alaih). Sabda Rasulullah saw., "Demi Allah tidak beriman." Ditanyakan kepada Rasulullah saw.; "Siapakah orang yang tidak beriman wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya." (Muttafaq Alaih). Sabda Rasulullah saw., "Wanita tersebut masuk neraka." Sabda di atas ditujukan Rasulullah saw. kepada wanita yang konon berpuasa di siang hari, dan qiyamul lail di malam hari, namun ia menyakiti tetangganya. 2. Berbuat baik kepadanya dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan, membantunya jika ia meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika bahagia, menghiburnya jika ia mendapatkan musibah, membantunya jika ia membutuhkan, memulai ucapan salam untuknya, berkata kepadanya dengan lemah-lembut, santun ketika berbicara dengan ayah tetangganya, membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya, melindungi area tanahnya, memaafkan kesalahannya, tidak mengintip auratnya, tidak menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya, tidak menyakiti dengan air yang mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya. Itu

semua perbuatan baik yang diperintahkan dalam firman Allah Ta'ala, "Tetangga dekat dan tetangga yang jauh. "(An-Nisa': 36). Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya." (Diriwayatkan Al-Bukhari). 3. Bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, karena sabda-sabda Rasulullah saw. berikut: Sabda Rasulullah saw., "Hai wanita-wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya yang lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing." (HR Bukhari). Sabda Rasulullah saw. kepada Abu Dzar ra, "Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, kemudian berikan kepada tetanggamu." (HR Bukhari). Aisyah ra bertanya kepada Rasulullah saw., "Aku mempunyai dua tetangga, maka yang manakah yang berhak aku berhadiah?" Rasulullah saw. bersabda, "Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat kepadamu." (Muttafaq Alaih). 4. Menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya, dan tidak mendekat ke temboknya hingga ia bermusyawarah dengannya berdasarkan sabda-sabda Rasulullah saw. berikut: Sabda Rasulullah saw., "Salah seorang dan kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakkan kayu di dinding rumahnya." (Muttafaq Alaih). Sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa mempunyai kebun bersama tetangga, atau mitra, maka ia tidak boleh menjualnya, hingga ia bemusyawarah dengannya." (Muttafaq Alaih). Ada dua manfaat yang kita dapatkan dan etika-etika di atas: Pertama: Seorang Muslim mengenal dirinya jika ia telah berbuat baik kepada tetangganya, atau berbuat yang tidak baik terhadap mereka, berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau telah berbuat baik maka engkau memang telah berbuat baik, dan jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau berbuat salah maka engkau memang telah berbuat salah." (Diriwayatkan Al-Hakim dan ia men-shahih-kannya). Kedua: Jika seorang Muslim diuji dengan tetangga yang brengsek, hendaklah ia bersabar, karena kesabarannya akan menjadi penyebab pembebasan dirinya dan gangguan tetangganya. Seseorang datang kepada Rasulullah saw. guna mengeluhkan sikap tetangganya, kemudian beliau bersabda kepadanya, "Sabarlah!" Rasulullah saw. bersabda untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau keempat kalinya kepada orang tersebut, "Buanglah barangmu di jalan." Orang tersebut pun membuang barangnya di jalan. Akibatnya, orang orang berjalan melewatinya sambil berkata, "Apa yang terjadi denganmu?" Orang tersebut berkata, "Tetanggaku menyakitiku." Orang-orang pun mengutuk tetangga yang dimaksud orang tersebut hingga kemudian tetangga

tersebut datang kepada orang tersebut dan berkata kepadanya, "Kembalikan barangmu ke rumah, karena demi Allah, aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi." (HR Ahmad). Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 148-151.

ETIKA BERGAUL DENGAN ORANG LAIN


Posted on Oktober 18, 2007 by Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id
Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.

Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.

Mendudukkan orang lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai.

Perhatikanlah mereka, kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.

Bersikap tawadhulah kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap angkuh terhadap mereka.

Bermuka manis dan senyumlah bila anda bertemu orang lain.

Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka.

Berbaik sangkalah kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka.

Mema`afkan kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.

Remaja Islam Mau Mengenal Islam

Home Islam Dasar o Aqidah o Jalanku o Fiqih Remaja o Menata Hati o Akhlaq Mulia o Pojok Muslimah o Kisah Teladan o Amalan o Nasehat Gaya Muda o Cinta o Pra Nikah Dunia Muda o Tips o Iptek o Dunia Islam o Hidayah Kamu o Resensi Buku Tamu

You are here::

Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran?

Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini. Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Taala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al Isro: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran. Kedua: Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan Padahall Allah Ta'ala perintahkan dalam firman-Nya,

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita

yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, .

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.[2] Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.[3] Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina). Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu , Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.[4] Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaranpelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami, dan seterusnya. Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih

Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.[5]

Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Wahai para pemuda[6], barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat. Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.[9] Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah. Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.[10] Kedua: Banyak memohon pada Allah

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdoa, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Taala berfirman, Dan Rabbmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. Al Mumin: 60) Ketiga: Rajin memenej pandangan Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.[11] Keempat: Lebih giat menyibukkan diri Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafii. Ia berkata, Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).[12] Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayudayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina. Ibnu Masud mengatakan, Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran. Fudhail bin Iyadh mengatakan, Nyanyian adalah mantera-mantera zina. Adh Dhohak mengatakan, Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[13] Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com

[1]Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi At Tafaasir. [2] HR. Muslim no. 5770 [3] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi(shahih dilihat dari jalur lainnya). [4] HR. Muslim no. 6925. [5] HR. Ibnu Majah no. 1847. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shahihah no. 624. [6] Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/173, Dar Ihya At Turots, cetakan kedua, 1392 H) [7] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400. [8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/173. [9]Rodhotul Muhibbin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 212, Darul Kutub Al Ilmiyyah Beirut, tahun 1412 H. [10]Majmu Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/187, Darul Wafa, cetakan ketiga, 1426 H. [11]Majmu Al Fatawa, 15/394. [12]Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al Ilmiyah [13] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al Arobi, cetakan pertama, tahun 1405 H.

Disqus Setuju Banget Dislike

70 people liked this.

Tambahkan Komentar Baru


Image

Showing 41 comments
Urutan tampil

Subscribe by email

Subscribe by RSS

Desy Subagjo 1 tahun yang lalu

Pacaran....sya sendiri sedang menguatkan hati untuk tidak mengikuti trend "Pacaran" ini.Saya yang juga baru dalam berjilbab,sebenarnya sedang ingin melakukan semaksimal mungkin apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan Allah..Namun,banyak orang disekitar saya menyebut saya "sok fanatik" atau sebangsa itu..Saya tidak mau pacaran dibilang "Awas nanti ga laku loh!".Saya berhijab dari lawan jenis dibilang "berlebih". Lah terus saya harus gmna ya untuk tetap istiqomah ??Tolong jawabannya dong...Makachi.. 21 people liked this.

Adydiedy 1 bulan yang lalu in reply to Desy Subagjo

kenapa harus lihat dan dengerin orang.... jodoh kita sudah diatur.... "bagi yang beriman,jodohnya pasti beriman....sedangkan orang yang musyrik,jodohnya pasti musyrik juga"....semua sudah tertuliskan di al-qur'an... lakukan hanya karna allah,bukan karna manusia. Kresna Nurul Fadhila and 3 more liked this

Muhammad Abduh Tuasikal

1 tahun yang lalu in reply to Desy Subagjo

Kami sarankan baca artikel berikut ini: 1. http://rumaysho.com/belajar-is... 2. http://rumaysho.com/belajar-is... Semoga Allah beri keistiqomahn

5 people liked this.

Muhammad Abduh Tuasikal

1 tahun yang lalu in reply to Desy Subagjo

Kami sarankan baca artikel berikut ini: 1. http://rumaysho.com/belajar-is... 2. http://rumaysho.com/belajar-is... Semoga Allah beri keistiqomahn 2 people liked this.

Rofikalubis 9 bulan yang lalu in reply to Desy Subagjo

tetap istiqomah menjalaninya ....

sulistiawati 1 tahun yang lalu

saya minta ijin copy buat catatan saya, sekalian mau dibagikan ke teman-teman. jazakallohu khoir ya ustadz ... Riko Rahmatullah and 7 more liked this

muhammad sholeh selsi 1 tahun yang lalu

ana minta ijin copy buat tautan di catatan ana. jazakallahu khoiron katsiro 6 people liked this.

adex rosa black 1 tahun yang lalu

asaalamualaikum... mow izin share ke tautan saya 3 people liked this.

heri 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.. ana izin share .Jazzakallahu khair Riko Rahmatullah and 3 more liked this

Vannyoktaviany 6 bulan yang lalu

subhanallah bermanfaat sekali setelah membaca ini :)) syukron .. saya minta izin untuk membagikan ilmu yang saya dapat ini kepada teman2 saya n_n 1 person liked this.

rhin 1 tahun yang lalu

Assalammualaikum mau izin share jazzakallahu khoir Ariyati Putri Mustika and 1 more liked this

Udar Ahmad 1 tahun yang lalu

setuju bgt apa yang tercatum dalil2 diatas 1 person liked this.

Awi Biang 1 tahun yang lalu

> syukron...buat artikel2 nya... alhamdulillah.. sangat bermanfaat sekali buat menambah wawasan / ilmu agama ana.. sekalian..ana minta izin CoPas buat share artikel2nya dg ttp mencantumkan sumbernya.. 1 person liked this.

arub makarim 1 tahun yang lalu

assalamualaikum,..saya suka bgt tulisannya,.Dan yang saya hadapi saat ini adalah banyaknya temn2 bahkan sahabat saya yg "berpacaran".memang saya bukan manusia sempurna ,tapi saya sangat risih bgt,dg mereka,saya tak berdaya untuk bilang sama mereka kalo yg mereka lakukan itu sangat dilarang agama,.memang saya baru belajar tentang agamaku islam,dan saya masih sangat dangkal sekali tentang agama.dan saya hanya bisa mendoakan mereka semoga mendapatkan hidayah dari ALLAH SAW.amin.dan apa yg sebaiknya saya lakukan?? 1 person liked this.

Muhammad Abduh Tuasikal

1 tahun yang lalu in reply to arub makarim

Wa'alaikumus salam. Trus nasehati sahabatmu trsbt dan trus doakan dirinya. Semoga Allah beri hidayah demi hidayah. Barakallahu fiikum. 2 people liked this.

wahid_albanjary 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaykum ana share ya artikelnya ..........! Syukron.... 1 person liked this.

Atang_2702 6 bulan yang lalu in reply to wahid_albanjary

ya

xdraw 5 bulan yang lalu

assalamu alaikum, ustad. artikelnya bagus sekali karena didasarkan atas dalil-dalil al-qur'an dan sunnah. hanya saja berdasarkan judul diatas maka artikel tadi masih menyisakan pertanyaan. ketika ana membaca judul "apakah mengenal pasangan harus lewat pacaran?" kemudian jawabannya tidak maka pertanyaannya adalah "bagaimana cara mengenal pasangan yang

syar'i?" jika jawabannya dengan menikah maka kurang tepat karena yang ana maksud adalah sebelum menikah. di artikel belum dijelaskan. mohon penjelasannya

Muhammad Abduh Tuasikal

4 bulan yang lalu in reply to xdraw

wa'alaikumus salam. di dalam Islam ,sebelum nikah ada istilah ta'aruf dan itu hanya sebatas niatan untuk nikah. jadi cuma kenal pasangan lewat org ketiga dan tidak ketemu langsung. lalu setelah cocok, langsung dilamar dan tentukan kapan akan menikah. 1 person liked this.

Dithakalalo 5 bulan yang lalu

bagaimana dengan nyanyian yang beraroma islami, nasyid misalnya?

Muhammad Abduh Tuasikal

5 bulan yang lalu in reply to Dithakalalo

sebaiknya seorang muslim menjauhi semacam itu.

Syintialaras 6 bulan yang lalu

Assalamu'alaikum, izin copas ya akhy/ukhty utk di syiarkan kpd teman-teman ana.. syukran wa jazakallahu khair..

Chory Coboy 10 bulan yang lalu

yupz................kayaknya tu jg cara untuk mengenal lebih dalam tentang pasangan kita..................

Muhammad Abduh Tuasikal

10 bulan yang lalu in reply to Chory Coboy

mengenalnya tidak mesti lewat pacaran. 1 person liked this.

Haa_pee@yahoo.com 11 bulan yang lalu

assalamualaikum izin copy ustadz, syukron

Purwantyipunk 11 bulan yang lalu

masyaallah ternyata islam adalah agama yang haq......dmana hukum2 atau larangan2 yg d buat tdak akan merugikan umatny....khususny dalam hal berpacaran ini,,,,,,islam telah ada aturan dan batasan nya......d balik aturan nya tersimpan kebaikan khususnya untuk kaum wanita agar senantiasa menjaga iffah <kehormatan diri="">.....tentunya islam melarang berpacaran karna agama kita tahu pasti ada kemudarathan d balik itu semua contoh yg ringan patah hati heeeeeeeeeeeee.............ini baru sebagian kecil loh.......ups untuk itu,ikutilah ajaran n aturan islam pasti ga akan rugi deh heee...*sok tau dot com*</kehormatan>

Zara 1 tahun yang lalu

Izin share ya.. -) Jazakallah. Artikel yang bnar bnar mnarik

Riska_kaka 1 tahun yang lalu

assalamu'alaikum ... wah , saya baru liat nih --" , temen-temen bnyak yg udh pacaran ustadz , kalau saya nasihatin ke mereka entar saya dikira gak gaul . jadi apa yg harus saya buat biar mereka tau kalau tindakan mereka yaitu "pacaran" itu zina ?

Ariyati Putri Mustika 1 tahun yang lalu

ijin share ya...sukron..

Cessa_19girl 1 tahun yang lalu

subhanallah, mengingatkan nih. ijin ngopy ustadz.

**nagabonar** 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaikum, ijin share ya ustad jazakallahu khairan...

**nagabonar** 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaikum, izi share ya ustad. terima kasih

**nagabonar** 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaikum...izin share ya ustad. jazakallahu khairan katsira.

Dealiza 1 tahun yang lalu

Assalamualaikum...Sebelumnya salam kenal ya akhi ya ukhti dari Dede Rohmayanti saya mau ijin share ya!!! Terimakasih

Ripu_adsuni 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Izin share.. jazakallohu khoir

kLanz 1 tahun yang lalu

jazakallahu khairan katsira...

Indah Prameswari 1 tahun yang lalu

ijin share,tx.

Abi Neisa 1 tahun yang lalu

saya udah terlanjur, dan udah menikah.. smoga tidak dialami oleh anak2 kami...

Muhammad Abduh Tuasikal

1 tahun yang lalu in reply to Abi Neisa

Semoga Allah beri taufik.

Heri Susilo 1 tahun yang lalu

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.. ana izin share dan boleh ngak saya posting d blog saya .Jazzakallahu khair

Muhammad Abduh Tuasikal

1 tahun yang lalu in reply to Heri Susilo

Wa'alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Silakan pak. Semoga bermanfaat untuk yg lain. Semoga Allah senantiasa memberkahi.

Reactions

SudirmanTahir 2 minggu yang lalu

From twitter

Emang pacaran buat apa?? http://t.co/jtcRsvee


http://disqu

URL Lacakbalik blog comments powered by Disqus back to top

Login
Username

Password

Ingat Saya

Lupa Password? Lupa Username? Mendaftar

Subscribe

Pasang RSS Remaja Islam di web Anda di sini.

Sedang Online
Kami memiliki 18 Tamu online

Komentar Terbaru

kawaii syukron atas info'y...:)

Hati-Hati Memajang Foto di FB 1 month ago

kawaii jazakillah khoiron katsiron....info'y..:)

Hati-Hati Memajang Foto di FB 1 month ago

bdhi ekha nTD mksh

Buku Tamu 1 month ago


Powered by Disqus

Terbanyak Dibaca

Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran? 30.11.99 Mencari Jodoh Sholihah dengan Do'a Sapu Jagad 02.06.10 Agar Do'a Kita Terkabul 30.11.99

Obat Ketika Merindukan Si Dia 30.11.99 10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru 30.11.99

Link Sahabat

Rumaysho.com Kajian.net PengusahaMuslim.com Muslim.or.id Muslimah.or.id Konsultasisyariah.com Yufid.com

Fans Remaja Islam

Hubungi Kami

Hakcipta 2011 Remaja Islam Mau Mengenal Islam. Semua Hak Dilindungi.

PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA.

silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat, http://www.abul-jauzaa.blogspot.com bagi yang ingin bertanya masalah2 agama, konsultasi, curhat masalah cinta, keluarga, agama, dll, atau membaca artikel2 islam yg sangat menarik dan penting, silahkan kunjungi situs2 islam yang sangat bermanfaat berikut ini: http://www.abul-jauzaa.blogspot.com http://www.alimalbantuliy.blogspot.com http://www.bestabuabdullah.blogspot.com http://www.aslibumiayu.wordpress.com http://www.gizanherbal.wordpress.com http://abul-jauzaa.blogspot.com/

TIPS PACARAN YANG ISLAMI (pacaran itu haram: www.pacaranislamikenapa.wordpress.com ) situs anti pacaran: www.majalah-elfata.com 1. Jangan berduaan dengan pacar di tempat sepi, kecuali ditemani mahram dari sang wanita (jadi bertiga) Janganlah seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102] Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepian (berduaan) dengan seorang perempuan melainkan setan yang ketiganya (HSR.Tirmidzi) 2. Jangan pergi dengan pacar lebih dari sehari semalam kecuali si wanita ditemani mahramnya Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sehari semalam tidak bersama mahromnya. [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]

3. Jangan berjalan-jalan dengan pacar ke tempat yang jauh kecuali si wanita ditemani mahramnya ..jangan bepergian dengan wanita kecuali bersama mahromnya.[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341] 4. Jangan bersentuhan dengan pacar, jangan berpelukan, jangan meraba, jangan mencium, bahkan berjabat tangan juga tidak boleh, apalagi yang lebih dari sekedar jabat tangan Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mujam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283, lihat Ash Shohihah 1/447/226) Bersabda Rasulullahi Shallallahu alaihi wassallam: Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita. [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll] 5. Jangan memandang aurat pacar, masing-masing harus memakai pakaian yang menutupi auratnya Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya.. (Al Quran Surat An Nur ayat 30) zina kedua matanya adalah memandang. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasai) 6. Jangan membicarakan/melakukan hal-hal yang membuat terjerumus kedalam zina Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek (Al Quran Surat Al Isra 32) Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah bicara. (H.R. Muslim dan Abu Dawud) 7. Jangan menunda-nunda menikah jika sudah saling merasa cocok Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan. (H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.) WARNING:

sebenarnya banyak ulama dan ustadz yang mengharamkan pacaran, misalnya saja ustadz Muhammad Umar as Sewed. jadi sebaiknya segera menikahlah dan jangan berpacaran sebuah syair mengatakan: kadang peristiwa besar bermula dari hal-hal kecil permulaannya memandang, lalu tersenyum, kemudian menyapa, lalu mengobrol, lantas janjian, kemudian berkencan, dan akhirnya berzina Bagi yang sudah terlanjur berbuat dosa maka bertaubatlah dan jangan putus asa, Allah pasti mengampuni hambanya yang bertaubat dan memohon ampun ===================================================================== ===== BANTAHAN ATAS ARTIKEL DIATAS dari Prima, Desember 26th, 2008 jam 3:52 am Komentar: Menyatakan adanya pacaran Islami sama dengan menyatakan adanya perjudian islami. Adakah perjudian Islami dalam Islam? 1. Pacaran di tempat rame juga nggak boleh, apalagi di tempat sepi. Yang mesti dibahas dalam masalah pergaulan antar pria bukan hanya jumlah wanita dan laki2 yang berinteraksi, tapi juga konten pembicaraannya. Di masa Rasulullah dan sahabat, konten percakapan antara laki-laki dan perempuan hanya di seputar masalah2 berikut ini: ekonomi (contoh:perdagangan), politik (co: muhasabah terhadap penguasa), kesehatan, pendidikan, dakwah, dan pernikahan (rumah tangga). Sedangkan di luar 6 masalah tersebut, Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan interaksi antar gender. Karena itu, bercakap-cakap hanya sekadar hanya untuk menyatakan kata2 romantis atau bercanda ria(seperti dalam pacaran), baik dalam keadaan sepi atau ramai, tidak diperbolehkan. Untuk masalah ini, coba teliti kisah2 perjalanan hidup Rasul dan sahabat yang tercantum dalam hadits ataupun sirah. Kita tidak akan pernah menemukan Rasul maupun sahabat berinteraksi dengan lawan jenis di luar 6 perkara tadi. Sedangkan dalam pacaran, saya pribadi belum pernah menemukan pacaran yang konten pembicaraannya terbatas pada 6 perkara tadi. Selalu saja ada konten pembicaraan yang tidak diperbolehkan syara (minimal bercanda). 2.Melakukan perjalanan kurang dari 1hari 1 malam dengan pacar juga tidak boleh. Wong pacarannya saja tidak boleh. Atau pergi dengan pacar lebih dari 1 hari 1 malam dengan ditemani mahram juga tidak boleh. Ini seperti halnya wanita bepergian bepergian lebih dari 1 ahari 1malam dengan ditemani mahram untuk keperluan berjudi. Ini tetap tidak boleh walaupun wanita tersebut ditemani mahram.Kebolehan bagi perempuan untuk bepergian lebih dari 1 hari 1 malam dengan ditemani mahram hanya diperuntukkan untuk hajat umum yang dimubahkan,

yakni yang termasuk ke dalam 6 perkara tadi. KOnteks hadits yang dicantumkan pada point ke-2 memang seputar masalah2 mubah, bukan perkara2 haram seperti pacaran atau perjudian. Pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut adalah, a)walaupun untuk keperluan mubah, wanita bepergian lebih dari 1 hari 1 malam tanpa mahram atau suami tetap tidak boleh;b)walaupun ditemani mahram atau suami, bepergian lebih dari 1 hari 1 malam untuk hal yang diharamkan tidak diperbolehkan;c)walaupun bepergian kurang dari 1 hari tanpa ditemani mahram atau suami, tetapi untuk urusan yang haram (seperti pacaran) tetap tidak boleh. 3)Walaupun ditemani mahram, berpacaran ke tempat jauh tetap tidak boleh, dan ke tempat dekat pun tidak boleh. 4)Pembahasan dalam masalah pergaulan islami, bukan hanya seputar persinggungan tubuh, tetapi juga seputar konten pembicaraan. Apabila konten pembicaraannya tidak syari walaupun tidak bersinggungan tubuh (berciuman atau bergandengan tangan), pergaulannya tetap haram. 5)Dengan menutup aurat ataupun tidak, pacaran tetap haram. Ibaratnya, perjudian tetap haram walaupun pelakunya adalah wanita yang menutup aurat. -==================================== HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannya pacaran) Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi. I. Tujuan Pacaran Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap. Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal. II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Sehingga kita juga sering mendengar istilah chek-in, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah. Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chekin itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang. Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya. Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal. Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati. III. Pacaran Dalam Pandangan Islam a. Islam Mengakui Rasa Cinta Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya. `Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik. Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`. b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat. Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggungjawab yang disaksikan oleh orang banyak. Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya. Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man. Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana. Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benarbenar telah dilanda degradasi agama. Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu

kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah. c. Pacaran Bukan Cinta Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung. Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya. Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta. d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan. Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661) Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting. Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran. Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan. Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Tiru perbuatan orang kafir, fasik haram


Posted on January 27, 2011 under Islam by wizvax
0digg 12KShare 1

HUKUM asal bagi perhiasan sama ada yang berada pada tubuh badan, pakaian atau tempat tinggal adalah halal dan dibenarkan. Ini berdasarkan dalil yang menyatakan tentang nikmat kurniaan Allah kepada hamba-Nya. Allah SWT berfirman yang bermaksud: Dialah (Allah) yang menjadikan untuk kamu apa yang ada di bumi kesemuanya. (Surah al-Baqarah, ayat 29)

Salah satu contoh perhiasan yang diamalkan ialah menindik anggota badan dengan meletakkan barang perhiasan, sama ada berbentuk emas, perak dan berlian. Amalan bertindik menjadi kecenderungan remaja masa kini. Kebiasaan masyarakat Melayu di Malaysia sejak dulu mengenali amalan bertindik hanya terbatas di bahagian telinga. Namun, masa merubah segala dengan perkembangan teknologi dan pengaruh budaya luar membuatkan semakin ramai bertindik di bahagian selain telinga, seperti di pusat, lidah, bibir dan kening. Malah ia sudah mula melarat kepada golongan lelaki.

Advertise Here

Sebenarnya perbuatan bertindik adalah amalan yang sudah dikenali pada zaman Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh al-Bukhari daripada Ibn Abbas katanya: Pada suatu hari raya, selepas Baginda Nabi SAW solat dan berkhutbah, Baginda menuju ke kawasan perempuan dan memberi tazkirah khas kepada golongan wanita. Sambil Baginda SAW menyeru supaya mereka semua bersedekah. Ibn Abbas mengatakan bahawa: Aku melihat mereka mengisyaratkan kepada telinga mereka dan leher mereka. Lalu menyerahkan (barang perhiasan mereka) kepada Bilal. Dalam hadis berkenaan, isyarat yang diberikan wanita (sahabiyyah) berkenaan adalah antinganting. Ia perhiasan diketahui umum sejak dari zaman awal Islam dan perhiasan ini khusus kepada golongan wanita. Disebabkan itulah golongan lelaki dilarang daripada menindik telinga mereka kerana ia dengan jelas menyalahi kebiasaan perhiasan bagi lelaki. Lelaki yang menyerupai wanita dengan mengenakan perhiasan wanita adalah suatu yang dilarang dalam Islam. Itu permasalahan menindik telinga. Bagaimana pula mereka yang menindik di kawasan selain telinga? Perbuatan menindik selain dari kawasan telinga tidak pernah didengari pada zaman Nabi dan salafussaleh. Namun ia bukanlah jawapan yang menunjukkan keharusan amalan ini. Walaupun tidak dibincangkan secara khusus dalam nas jelas, namun perkembangan fiqh Islam tetap berkembang dalam menjawab setiap persoalan baru yang timbul hasil ijtihad ulama semasa. Islam mendatangkan kaedah umum dalam etika berhias antaranya perhiasan yang dikenakan mestilah tidak digambarkan seolah-olah meniru atau menyerupai orang kafir dan golongan fasik. Sabda Nabi SAW yang bermaksud: Sesiapa yang menyerupai suatu golongan itu, maka ia tergolong daripada golongan berkenaan. (Hadis riwayat Imam Abu Daud dari Ibnu Umar)

Larangan keras terhadap perbuatan meniru orang kafir sama ada dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan dan ibadah bukan saja mengkhususkan kepada menyerupai orang kafir, termasuk meniru perbuatan orang fasik (iaitu orang yang biasa melakukan maksiat). Jelasnya, amalan bertindik selain anggota telinga adalah amalan diambil bukan daripada golongan solihin. Ia budaya negatif remaja di Barat yang jelas jauh dari adat budaya tatasusila seorang Muslim. Islam melarang meniru kebiasaan dan gaya hidup orang lain tanpa membawa manfaat jelas. Tambahan, menyeksa diri dan dibuktikan boleh memberi kesan sampingan terhadap kesihatan tubuh badan dan mampu mendekatkan pelaku dengan jangkitan penyakit seperti Hepatitis B. Permasalahan mengenai tindik sudah dijelaskan Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam yang menyatakan perbuatan berhias secara aneh dan berlebih-lebihan seperti bertindik anggota badan selain cuping telinga adalah dilarang oleh Islam. Selain bertindik, remaja kini juga gemar bertatu dan melihat perbuatan itu seolah-olah tidak menjadi kesalahan dari sudut pandang agama. Mengukir badan sendiri dengan melakarkan corak atau bentuk tertentu sehinggakan kesakitan dianggap satu kepuasan. Bahkan ada yang berbangga memiliki tatu di badan dengan mempertontonkan kepada orang ramai sedangkan ia membawa imej seorang Muslim. Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram fi al-Islam mengatakan, bertatu di badan adalah perbuatan yang dilaknat oleh Rasulullah SAW. Bagi yang sudah tergelincir dan ingin kembali ke pangkal jalan, timbul pula persoalan untuk menghilangkan tatu yang ada. Ada segelintir yang menyeksa tubuh badan mereka semata-mata untuk menghilangkan tatu. Malah, ada yang menggunakan seterika. Memang benar taubat dapat menghapuskan dosa, namun taubat juga perlu bertepatan dengan caranya. Jika menanggalkan tatu itu mendatangkan kemudaratan atau membuatkan anggota badan nampak jelik, maka harus membiarkannya dan memadai dengan taubat (baik lelaki mahupun wanita). Ini pandangan Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari. Pandangan ini bertepatan firman Allah SWT yang bermaksud: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (Surah Al-Baqarah, ayat 195) Namun, tatu itu tetap wajib ditanggalkan jika ada teknologi yang dapat menanggalkannya dengan mudah dan tidak mendatangkan mudarat. Firman Allah SWT yang bermaksud: Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya. (Surah al-Baqarah, ayat 286)

Tidak kira zaman mana pun kita, etika berhias terbaik adalah pakaian takwa. Semoga dengan mengikut suri teladan terbaik iaitu Baginda Nabi SAW, membuatkan kita terselamat daripada segala kecintaan melebihi dari cinta kepada Baginda.
Anda mungkin juga meminati:

Adab Berpuasa dan Solat Tarawih

Logiknya Solat dalam Sudut Pandangan Sains

Pemimpin amanah lahirkan negara berkat

Cetek ilmu punca pertikai larangan rai Hari Kekasih

Tiada alasan kerja GRO

LinkWithin

Tags: Al Bukhari, Anting Anting, Berlian, Bibir, Budaya Luar, Dalam Islam, Dilarang, Leher, Lidah, Nikmat, Pakaian, Pengaruh Budaya, Perhiasan Wanita, Perkembangan Teknologi, Remaja Masa Kini, solat, Surah Al Baqarah, Tazkirah, Telinga, Tubuh Badan

Advertise Here

" Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari " Oleh : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kesempurnaan etika kepada manusia dan membuka pintu bagi mereka untuk mengamalkannya. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada manusia terbaik yang beribadah dan kembali kepada Allah. Sesungguhnya Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala perihal dan urusannya, agama dan dunianya, lapang dan kesulitannya, bangun dan tidurnya, dikala bepergian dan iqamah, makan dan minum, bahagia dan sedihnya. Tidak ada perkara kecil ataupun besar apapun yang tidak dijelaskan oleh Islam. Rasulullah telah menggoreskan buat kita melalui ucapan dan perbuatannya rambu-rambu etika yang seyogya- nya ditempuh oleh setiap mu'min di dalam hidupnya. Melalui kepribadiannya yang mulia, Rasulullah telah menjelaskan kepada kita contoh etika yang seharusnya ditiru. Maka barang siapa yang menghendaki kebahagiaan, hendaklah ia menempuh jalan hidup Rasulullah SAW dan meneladani etikanya. Oleh karena kebanyakan orang pada akhir-akhir ini yang tidak mengetahui etika-etika tersebut atau butuh untuk diingatkan kembali, maka kami memandang perlu menyajikannya secara singkat, dengan iringan do`a kepada Allah semoga amal ini berguna bagi segenap kaum muslimin. Semoga shalawat dan salam tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA : TANTANGAN DAN HARAPAN Oleh : Zainul Abas Dosen STAIN Surakarta

A. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbedabeda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.2 Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.3 Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam.4 Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam
2 Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang disampaikan dalam Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Penulis mendapati tulisan ini dari dua sumber, yakni di dalam Majalah Al-Djamiah, Nomor Khusus, Mei 1968- Tahun ke VIII dan buku karangan Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Dalam konteks ini, penulis memfokuskan diri dari sumber yang pertama. 3M. Rasjidi, Al-Djamiah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35. 4Ibid.

agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.5
Dapat dicermati bahwa Rasjidi tidak memandang adanya pertemuan dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu. Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen. Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas persoalan yang berkembang, misalnya tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kalah tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen. Terdapat kesan bahwa pandangan tentang absolutisme agama didasarkan oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk agama tidak dapat objektif terhadap kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali didasarkan pada ajaran bahwa agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam. Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Quran, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam. Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang al-Quran tetapi juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam selalu

Ibid.

menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel memuat/mengandung Kalam Tuhan. 6 Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang tentang Nabi Muhammad. diyakini oleh Islam, misalnya konsep

Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiaptiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan. 7 Mukti Ali sendiri setuju dengan jalan agree in disagreement. Ia mengakui jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain

Ali, Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems dalam AlJamiah, No. 4 Th. XI Djuli 1970, hlm. 55. 7A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.

6Mukti

juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.8 Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme Djohan Effendi bukan hanya pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusiabersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan. 9 Dengan bahasa lain, Greg Barton menyebut bahwa Djohan Effendi menolak absolutisme agama dan mengakui pluralisme agama.10

Djohan mengemukakan:
Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.11

hlm. 230. Effendi, Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan?, dalam Majalah Prisma 5, Juni 1978, hlm. 16. Lihat juga Djohan Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan Agama dalam Th. Sumarthana dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, hlm. 54-58. 10Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), cet. I, hlm. 237. 11Djohan Effendi, Dialog Antar Agama, hlm. 16. Paragraf ini juga pernah dikutip oleh Greg Barton. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, hlm. 239.
9Djohan

8Ibid.,

Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah (baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.12 Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan akan bisa terwujud. Djohan mengemukakan:

Dengan pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan. 13

Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara agama dan keberagamaan. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Ia tidak setuju terhadap pandangan keagamaan seseorang sebagai suatu keberagamaan-- yang dianggap bersifat absolut. Absolutisme keberagamaan adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat beragama sering kali disebabkan adanya pandangan bahwa keberagamaan seseorang sebagai satu-satunya yang paling benar, sementara keberagamaan orang lain salah. Inilah yang kemudian menumbuhsuburkan adanya misi, zending, dakwah dan semacamnya.

Menurutnya, Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Quran yang menyatakan bahwa tak ada paksaan dalam agama.14 Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya.15 Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap
12Djohan 13Ibid.

Effendi, Dialog Antar Agama, hlm. 17. Paragraf ini juga pernah dikutip oleh Greg Barton. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal,

hlm. 243. 14Q.S. Al-Baqarah (2) : 156. 15Q.S. Al-Kahfi (18) : 29.

agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.16 Ia merujuk ayat al-Quran yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumahrumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.17
Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan: Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhantidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan. 18

Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.19 Nurcholish melihat bahwa peta tahun 1992 sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang bukan satu-satunya faktor,20 tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak
Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan, hlm. 54-55. Al-Hajj (22) : 40. 18Paragraf itu merupakan komentar Nurcholish Madjid yang dicantumkan dalam buku Atas Nama Agama. Lihat Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259. 19Tulisan Nurcholish Madjid yang penuh dengan nuansa dialog ini disampaikan di Taman Ismail Marzuki 21 Oktober 1992, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Pengamatan terhadap realitas pluralitas umat menjadi perhatian serius. Sebagaimana judulnya, ia mengupas bagaimana generasi mendatang menjalankan kehidupan beragama. Kata generasi mendatang adalah kata yang masih umum yang tidak perlu dikotak hanya dalam generasi Islam. Dalam tulisannya itu, Nurcholish ingin melaksanakan kandungan hadis yang menyatakan agama adalah pesan (al-dn alnashhah). Lihat Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam Jurnal Ulumul Quran, No.1 Vol.IV, Th. 1993, hlm. 4 dan 6. 20Faktor-faktor selain agama, misalnya, adalah faktor kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kesenjangan ekonomi, kesejarahan, kekuasaan teritorial, dan sebagainya.
17Q.S. 16Djohan

memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion). Ia menyebut tempat-tempat konflik; Irlandia, sekitar Perancis dan Jerman, Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Perang Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang, dan Filipina.21 Menanggapi semboyan yang diperkenalkan oleh futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Spiritualiy, Yes; Organized Religion, No, Nurcholish menyatakan bahwa semboyan itu mengandung makna prinsipil daripada semboyan yang pernah ia kemukakan 20 tahun sebelumnya Islam, Yes; Partai Islam, No. Nurcholish mengaku mengalami kesulitan besar, bahkan kemustahilan, untuk dapat menerima kebenarannya. Ia juga menegaskan bahwa semboyan Spirituality, Yes; Organized Religion, No, agaknya tidak memiliki pijakan yang kuat.22 Artinya, agama-agama resmi memang masih menjadi fenomena yang banyak memainkan peran dalam kehidupan manusia.
Merujuk pada Kitab Suci al-Quran, Nurcholish menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu dikatakan bahwa:

... semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Quran, kalimatun-saw (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.23 Menurut Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengutip al-Quran, yakni dalam Surat Al-Syr (42):13, al-Nis (4):163-165, al-Baqarah (2):136, al-Ankabt (29):46, Al-Syr
21Nurcholish 22

Madjid, Beberapa Renungan, hlm. 7-8. Ibid., hlm. 8. 23Ibid., hlm. 12.

(42):15, dan al-Midah (5):8. Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman, Dawud, Isa dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.24 Ayat-ayat itu menunjukkan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para Nabi dan Rasul Allah. Nurcholish mengritik masyarakat sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan, karena banyak yang tidak menyadari adanya pandangan itu. Menjelasakan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara genealogis paling dekat ialah agama-agama SemitikAbrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).25 Semua prinsip itu mengarah pada ajaran tidak boleh ada paksaan dalam agama. Menurut Nurcholish, pandangan-pandangan inklusivitas amat relevan untuk

dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi berkat teknologi informasi dan transportasi, yang membuat umat manusia hidup dalam sebuah desa buwana (global village). Ia menegaskan: Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung, manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling mengerti dan paham, dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan atau kalimatun sawa seperti diperintahkan Allah dalam al-Quran. Dengan tegas al-Quran melarang pemaksaan suatu agama kepada orang atau komunitas lain, betapapun benarnya agama itu, karena akhirnya hanya Allah yang bakal mampu memberi petunjuk kepada seseorang, secara pribadi. Namun, demi kebahagiaannya sendiri, manusia harus terbuka kepada setiap ajaran atau pandangan, kemudian bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah pertanda adanya hidayah Allah kepada mereka. Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahl al-kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al-Quran serta kaum Majusi
hlm. 13-14. Nurcholish Madjid, Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), ( Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109.
25Lihat 24Ibid.,

(pengikut Zoroaster) seperti tersebut dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agamaagama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.26 Nurcholish menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar. Ia menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanfiyyah al-samhah, agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Ia mengemukakan: Sikap mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanfiyyah, kehanifan) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan yang tidak bersifat palliative atau menghibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Maka Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanfiyyah al-samhah (baca: al-hanfiyyatus-samhah) yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.27

Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain.28 Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga.29 Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya disebut orang-orang terbaik.30 Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam masyarakat.

26Nurcholish 27Ibid.,

Madjid, Beberapa Renungan, hlm. 16. hlm. 19. 28Q.S. Al-Mumtahanah (60) : 8. Lihat Nurcholish Madjid, Hubungan Antar Umat Beragama, hlm. 111.
29Abdurrahman 30

Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981), hlm. 3. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, hlm. 398.

Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.31 Apa yang disampaikan oleh Gus Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama. Berkenaan dengan makna salah satu ayat al-Quran Surat Al-Fath (48) ayat 9 yang berbunyi Asyidd-u l al-Kuffrm ruham-u bayna hum, ia memahami bahwa ada perbedaan antara orang non-Muslim sekarang dengan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu adalah kaum kafir Mekkah). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi saling menyantuni justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama. 32 Kemudian, berkenaan dengan bunyi ayat al-Quran dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 (Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama mereka, Gus Dur memandang bahwa ayat ini sering digunakan untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi, karena kata tidak rela di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pekabaran Injil, dan sebagainya. Menurutnya, kata tidak rela harus didudukkan secara proporsional. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Tentu saja, ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Tidak menerima konsep dasar bukan berarti mesti mengembangkan sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya, kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. 33 Pendapat orang lain ini tentu saja berarti keyakinan orang lain.

Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah (1) tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya
Wahid, Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 52. 32Ibid., hlm. 53. 33Ibid., hlm. 53-54.
31Abdurrahman

keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada. (3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, semua agama adalah sama. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.34 Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masingmasing. 35 Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Quran menggunakan kata ahl al-kitab (yang

Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII, hlm. 41-43. 35Ibid., hlm. 43.

34Alwi

memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.36 Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas Penulis dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid. Ketiga, pandangan pluralisme yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme liberal. Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme itu tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen terhadap agama masingmasing. Konsep yang dikemukaan Mukti Ali agree in disagreement kiranya dapat mewakili pandangan yang terakhir ini. Begitu juga pandangan Alwi Shihab.

B. Dialog dan Tantangan Umat Beragama Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting. 37 Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya. Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.

hlm. 67. P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia? dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
37Samuel

36Ibid.,

Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu. 38 Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi). Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semua pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk

memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai agenda yang tersembunyi yang tidak diketahui dengan partner dialog. 39 Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas

38Lihat Bassam Tibi, Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the Worlds Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul Abas, Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997. 39 Ibid.

suatu kebenaran atau tidak ada truth claim dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya. 40 Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.41 Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi tuan rumah sedangkan lainnya menjadi tamu yang diundang. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada tangan di atas dan tangan di bawah, semuanya harus sama. 42 Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin). Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. 43 Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.44 (2) Faktor-

Tarmizi Thaher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36. 41 Lihat Komaruddin Hidayat, Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama, hlm. 42. 42Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12. 43Lihat St. Sunardi, Dialog:Cara Baru Beragama, hlm. 76. 44 Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.

40Lihat

faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu. 45 (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif. melibatkan kelompok agama.46 (9) Ketegangan politik yang

C. Urgensi Studi Agama

Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan. Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran

konstruktif mengenai agama-agama lain. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralistik menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalanpersoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama

3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, Gereja Indonesia, hlm. 131. Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.
46Umar

45Poin

dalam semua varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan: Al-Quran hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini untuk tidak mengatakan lewat pintu teologismanusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandangan bulu keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh relijiusitasnya, untuk tidak hanya menonjolkan having a religionnya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan agama.47

Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada titik temu yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis

Amin Abdullah, Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.

47M.

dan etis (moral). Selain itu, titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang diharamkan. AlQuran sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran Al-Quran adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Quran bersikap positif terhadap agama-agama lain. Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi.

Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala.48 Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis, Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.49 Kontak telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal. Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah. Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara sepupunya (anak pamannya) Waraqa bin Naufal50 perihal apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan Muhammad.51 Kemudian ketika Nabi
H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, hlm. 28. 49A. Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970), hlm. 45. 50Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. 51Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaqs Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970), hlm. 111-116. Lihat juga Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984), hlm. 93-94. Lihat juga Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 21.
48Michael

Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan mengelilingi Kabah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah menerima Namus besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa tantangan Muhammad sangat berat.52 Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.53 Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.54 Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya, bersih, tidak berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi

pertumpahan darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia berkata, Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.55 Selama di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan tenteram. Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama, terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan (tauhid). Begitu juga halhal yang berkaitan dengan moralitas dan etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati, saling menghargai dan lainlain. Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah,

52Ibid. Lihat juga Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978), hlm. 1. 53Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad., hlm. 146-148. A.Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam., hlm. 65. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 22. 54Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., hlm. 118. 55Ibid., hlm. 122.

hubungan umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara kota Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.56 Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum muslimin Anshar dan Muhajirindengan orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti pengakuan atas agama mereka masingmasing dan harta benda mereka. Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik dunia waktu itu. Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah.57 Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.58 Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, lintas agama dan lintas suku.

56Lihat

W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956), hlm.

195-204. 57A. Guillaume, The Muhammad Life, hlm. 231-233. Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Jeramjeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84. 58 Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, hlm. 93-94.

Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981). Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII. Amin Abdullah, M. , Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran. No. 4 Vol. IV. Th. 1993. Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993). Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992). Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978). Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), cet. I. Guillaume, A., The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaqs Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970). Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989). Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia? dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 5, Vol.IV Tahun 1993. Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994). Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998). Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998). Majalah Al-Djamiah, Nomor Khusus, Mei 1968- Tahun ke VIII. Majalah Prisma 5, Juni 1978. Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII. Montgomery Watt, W., Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956). Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984). Mukti Ali, A., Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems dalam Al-Jamiah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.

Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999). Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999). Nasir Tamara, M. dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996). Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam Jurnal Ulumul Quran, No.1 Vol.IV, Th. 1993. Parliament of the Worlds Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.). Sjalabi, A., Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970). Stokhof, W.A.L. (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), ( Jakarta : INIS, 1990), jilid VII. Sumarthana, Th. dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.). Zainul Abas, Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.

Etiket/Etika Dalam Berkomunikasi/Komunikasi & Pengertian Etika/Etiket Sosiologi


Tue, 14/10/2008 - 1:22am godam64

A. Arti Definisi / Pengertian Etika ( Etik ) Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. B. Arti Definisi / Pengertian Etiket Etiket adalah suatu sikap seperti sopan santun atau aturan lainnya yang mengatur hubungan antara kelompok manusia yang beradab dalam pergaulan. C. Etika Dan Etiket Yang Baik Dalam Komunikasi Berikut di bawah ini adalah beberapa etika dan etiket dalam berkomunikasi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari : 1. Jujur tidak berbohong 2. Bersikap Dewasa tidak kekanak-kanakan 3. Lapang dada dalam berkomunikasi 4. Menggunakan panggilan / sebutan orang yang baik 5. Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien 6. Tidak mudah emosi / emosional 7. Berinisiatif sebagai pembuka dialog 8. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan 9. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan 10. Bertingkahlaku yang baik D. Contoh Teknik Komunikasi Yang Baik - Menggunakan kata dan kalimat yang baik menyesuaikan dengan lingkungan - Gunakan bahawa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara - Menatap mata lawan bicara dengan lembut - Memberikan ekspresi wajah yang ramah dan murah senyum - Gunakan gerakan tubuh / gesture yang sopan dan wajar - Bertingkah laku yang baik dan ramah terhadap lawan bicara - Memakai pakaian yang rapi, menutup aurat dan sesuai sikon - Tidak mudah terpancing emosi lawan bicara - Menerima segala perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi - Mampu menempatkan diri dan menyesuaikan gaya komunikasi sesuai dengan karakteristik lawan bicara. - Menggunakan volume, nada, intonasi suara serta kecepatan bicara yang baik. - Menggunakan komunikasi non verbal yang baik sesuai budaya yang berlaku seperti berjabat

tangan, merunduk, hormat, ces, cipika cipiki (cium pipi kanan - cium pipi kiri) - Dan lain sebagainya.

ETIKA ISLAM DALAM SAINS DAN TEKNOLOGI ISLAM


Etika merupakan satu bidang falsafah yang membicarakan tentang tingkah laku manusia dari aspek-aspek lahiriah dan batiniahnya .dalam hubungan dengan sains, etika adalah satu bidang ilmu yang mengkaji soal kebaikan dan keburukan dalam sains; berhubung dengan tatacara untuk mempraktiskan kebaikan dan menolak keburukan dalam amalan dan penggunaan sanis dan teknologi. Islam telah menyediakan panduan yang sempurna untuk mengatur segala perlakuan manusia dalam apa jua bidang kerjaya sepanjang zaman. Terdapat konsep-konsep asas yang mampu membimbing ahli sains dalam urusan peribadi dan profesyennya. Konsep asas tersebut terdiri daripada tiga unsur utama: i. Keimanan kepada Allah s.w.t. Iman adalah teras kepada semua jenis amalan dalam Islam. Seorang ahli sains perlu mempunyai keimanan serta keyakinan yang kukuh kepada Allah dan sentiasa memohon bantuan daripadaNya. Mereka perlu sedar Allah sentiasa melihat segala pemikiran dan perlakuan manusia. Allah merupakan Pencipta dan Pemilik alam yang menjadi bahan kajian dan penggunaan sains dan teknologi. Sesungguhnya keimana kepada Allah akan menyediakan asas yang kukuh kepada kelahiran generasi muslim yang bermoral. ii. Kepatuhan kepada Syariah dan etika kerka Seseorang ahli sains perlu mempunyai ketaantan yang tinggi terhadap peraturan-peraturan dan ketentuan Allah dengan mengambil kira persoalan halal dan haram dalam kerjayanya. Matlamat yang murni dalam pembangunan dan penggunaan teknologi seharusnya seiring dengan kaedah yang tidak melanggar batas-batas ajaran Islam. Kepatuhan kepada peraturan Allah dijadikan asas penting kepada etika kerjanya sekalipun berlawanan dengan tuntutan keinginan kerana sains tidak boleh bersifat neutral dan bebas. iii. Mementingkan aspek kemanusiaan dan ihsan Dalam penggunaan sains dan teknologi aspek kemanusiaan dan ihsan merupakan suatu yang tidak boleh diabaikan. Para saintis adalah khalifah Allah di bumi. Mereka bertanggungjawab untuk membawa kemakmuran dan menjaga keharmonian. Mereka perlu menghindari diri dari mengekskploitasi sewenang-wenangnya segala isi kandungan alam semata-mata untuk kepentingan sanis, material dan kekayaan. Mereka perlu melindungi alam sekitar, bersifat belas ihsan dan menghormati hak-hak manusia dan lain-lain kehidupan untuk hidup dengan selesa. Sebagai rumusannya, seseorang ahli sains atau teknokrat muslim yang ingin melaksanakan sesuatu perbuatan atau amalan sainsnya, seharusnya bermula dengan kepercayaan dan keimanan kepada Allah serta berpegang teguh kepada ajaran agama dalam profesyennya. Beliau juga perlu bertindak untuk memastikan adanya persiapan yang cukup sama ada dari segi kuasa intelek atau pun kuasa emperik yang bercorak teknik. Tindak tanduknya pula dibaluti dengan nilai-nilai etika dan moral yang suci murni berdasarkan prinsip melakukan sesuatu yang baik dan menjauhi yang mungkar. Dengan itu persoalan krisis etika dalam pelbagai amalan sains dapat dihindarkan

dan sains menjadi ilmu yang mampu memberi manfaat yang menyeluruh. Dipetik dari Pengenalan falsafah dan konotasi aksiologi atau etika Islam dalam sains dan teknologi oleh Zulfikri bin Mohd Zain.

Etika Islam
Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun realita". Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk (QS. Assyams 7-8). Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be?"(Apa yang seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do?"(Apa yang dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif". Di dalam hidupnya manusia dinilai! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai! Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat mambedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS. 91: 7-8) Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan".

Imam Al Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya: Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari ilmu ma'rifat1). Di sini, Al Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian Ilahyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea" hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea" bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan "ide". Kesadaran tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan Allah dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi asasinya yang disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian diri". Sebab kesejatian inilah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar bersandar pada kejernihan fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan kehendak Allah (fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS. Arrum: 30). Pada dasarnya fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide (ilham) tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman: "Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya." (QS Asysyams 7-8). Betapa bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab pengetahuanpengetahuan itu akan digunakan untuk bagaimana mencuri, korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari sini dapat dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik buruk secara apriori", bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun pengertiannya masih bersifat relatif dan hal itu akan lebih jelas jika disinari oleh wahyu ketuhanan. Sebab ia tidak akan mampu menelusuri secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual" dalam menerima ide yang sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan jiwa kita diam, terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh jiwa berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan syahwatnya.

Kembali kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif, maka nilai tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa jadi, mencuri itu mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut didasari oleh hukum-hukum tentang permalingan, juga sekularisme, hedonisme, komunisme dan ateisme, dasar-dasar inilah yang akan menilai perilaku itu baik atau buruk. Begitupun tata nilai ketuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan orientasi niat yang kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep "Lillahi ta'ala". Pendasaran kepada setiap "laku" manusia, mengandung tuntutan kesadaran, bukan paksaan!! Perilaku seseorang tersebut baru bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi: Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya (Hadist riwayat Bukhari Muslim). Dalam hadist tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan niatnya. Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat". "Maka barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya". (Al Hadits) Di sini sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai atau tidak karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan shalat yang terhalang oleh pikiran yang tidak khusyu' akan berakibat pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti yang termaktub alam Al Qur'an: "Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai) terhambat oleh ingin dilihat orang lain." 1) Perbuatan macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan. Etika pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan ternyata hal ini hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan. Setia dan bertingkah baik an-sich tanpa memperhitungkan syarat lain, memang dapat digolongkan ke dalam "kebajikan". Namun belum tentu dikategorikan dalam kebajikan jika ditinjau lebih jauh pada kondisi-kondisi lain, yakni pada apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa yang melatari perbuatan tersebut. Misalnya: Si Abdullah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat:

1. 2. 3. 4.

Subjek yang berbuat, yaitu "Abdullah". Objek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah". Objek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin. Objek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang, karena Allah dll).

Pada faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai syarat yang ikut mengambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai tindakan etis. Tegas sekali Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai tanggung jawab penghambaan kepada Kholiqnya. Tanggung jawab Islam dalam syariat (etika ketuhanan) selalu mengandung kedalaman dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai objek nilai, juga di dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah, mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai kepada tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak Allah (Fitrah Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada syarat; islam, iman dan ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai agama apabila meliputi ketiga kriteria tersebut. Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan: Artinya: sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang Arab Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang islam, maka Nabi menjawab, "Islam itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, engkau keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergu ke sana. Lalu Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi menjawab, "Yaitu hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada MalaikatNya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati, dan hendaknya engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya. Jibril bertanya lagi, apakah ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau tidak bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam akhir Hadist itu dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para sahabatnya): Dia itu Jibril, Ia datang kepadamu untuk mengajarkan tentang agamamu. Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan: "Ku tundukkan dia, maka ia tunduk" yakni: beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri kepada-Nya. Agama meliputi:
a. Islam: berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji). b. Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental. c. Ihsan: kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.

Maka setiap peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan adanya sikap "ihsan" (seakan-akan

melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat kalian). Hal inilah yang selalu menjadi permasalahan pokok dan mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk yang tidak lagi menjadi masalah, padahal kita bertahun-tahun melakukan peribadatan tidak mendapatkan apaapa kecuali capek dan sia-sia. Ihsan adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah roh setiap peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan salah satu rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun agama ini telah dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai baligh. Sebagaimana Hadist Rasulullah: "Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasay, hadist sohih). Selanjutnya Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan, tetapi tujuannya bukan Lillahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya, sebagaimana firman Allah: "Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (Q.s. Az-zumar: 2). Nash tersebut di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu, maka ia akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana akhlaq Allah, dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan paksaan. Untuk itu kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita melaksanakan peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan di atas.
Catatan kaki:

1) Al Qur'an surat Al Maa'uun ayat 4-5 yang artinya: "Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya"
From: Sangkan SB <patrap1@yahoo.com> Date: Fri Oct 22, 1999 9:11am Subject: Etika Islam

(sebelum, sesudah)

"Ya Allah, Ajari Kami Untuk Selalu Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah" (Al Hadits)

Dengan menjadi anggota keluarga Majelis Dzikrullah memahami seluruh artikel: Perjalanan Menuju Ilahi, Syari'at, Etika Islam, Hakikat Manusia, Jiwa, Hati, Berguru Kepada Allah, Membuka Hijab,

Patrap/Dzikir, tanggapan & artikel lainnya ... Insya Allah anda akan mampu melaksanakan peribadatan secara kusyu' dalam kehidupan sehari-hari.

MUSYAWARAH

(1/2)

Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah. AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH Ada tiga ayat musyawarah. Al-Quran yang akar katanya menunjukkan

a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233 Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya. Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat di atas, Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawaraLkan antara suami-istri. b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159 Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,

maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. c. dalam surat Al-Syura (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah: Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah. Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut. PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya. Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia. Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan

pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan. Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja. Jangankan Al-Quran, Nabi Saw. yang dalam banyak ha1 menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, periha1 musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara satu dengan lainnya. Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan Al-Quran --bukankah Al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama? Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku --rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul Saw. telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian." Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad, "Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya." Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha: Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita. Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika surat Al-Nisa' (4): 59. MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN menafsirkan

Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama. Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat. Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa sebaiknya musyawarah dilakukan. Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara tersurat ditemukan dalam surat Ali 'Imran ayat 159 yang terjemahannya telah dikutip di atas. Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Muhammad Saw. untuk beliau lakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Penyebutan ketiga sikap tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat --sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada ayat Ali 'Imran di atas. Pertama, adalah sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase, Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam ayat atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka). Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya dengan sirnanya kekeruhan hati. di

Memaafkan adalah pihak lain yang musyawarah tanpa hadir bersamaan

Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar

kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa'fu anhum. Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup. William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan, Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita. Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah "indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan, atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan agamawan. Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga "kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi. Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat kepada orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258), kafir (QS Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik (QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS A1 Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3). Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159 di atas, wa istaghfir lahum. Pesan terakhir Ilahi di dalam setelah musyawarah usai, yaitu konteks musyawarah adalah

Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri. ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat 159 surat Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Quran sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shum

(terpelihara dari dosa manusia-manusia selain beliau.

atau

kesalahan),

apalagi

Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan kepada mereka semua. Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah. Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun. Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan: "Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."

Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam


Oleh Ust. Syamsul Arifin Nababan

Pendahuluan
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam. Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. Tidak ada paksaan dalam agama , Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam. Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

Konsep Toleransi Dalam Islam

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah Islam agama rahmatal lillamn (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Quran Allah berfirman yang artinya, dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: Sesungguhnya ini adalah umatmu semua

(wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil. Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: Katakan olehmu (ya Muhamad), Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun saw atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah! Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu menjauhi konflik. Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Jula dengan amat menarik mengemukakan, Al-khalqu kulluhum iylullhi fa ahabbuhum ilahi anfauhum liiylihi (Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya). Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil sam (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah. Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syuab alImam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan. Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti

satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam. Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan yang artinya: Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: Agama yang manakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab agama asal mula yang toleran (al-hanfiyyatus samhah). Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Quran maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antaragama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum. Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan Kelemah lembutan karena kemudahan Muka yang ceria karena kegembiraan Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.

Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur." Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi

dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (assamahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan muamalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallh).

Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam

Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lilalamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik. Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup. Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syariah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syariah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabiun, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan. Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka. Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal

yang begitu bagus sebelumnya. Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini. Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam. Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.

Penutup

Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian muamalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya. Syariah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan. Jakarta, 15 Januari 2009

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurnul Karim Natsir, Mohamad. Keragaman Hidup Antar Agama (Jakarta: Penerbit Hudaya, 1970), cet. II. Al-Baihaqi, Syuab al-Imam (Beirut: t.t), ed. Abu Hajir Muhamad b. Basyuni Zaghlul, VI, h. 105. Syeikh Salim bin Ied al-Hilali, Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidawi (Misra: Penerbit Maktabah Salafy Press, t.t.). Shahih Al-Jami' As-Shaghir wa Ziyadatuhu. No. 3266 Max I. Dimon, Jews, God, and History (New York: New American Library, 1962), h. 194.

sukses dalam keikhlasan


Just another Blogdetik.com weblog Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia Biografi Singkat, Bapak Multikulturalisme dan Pluralis

HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA


Agama memang tetap menjadi basis moral dan benteng spiritual, tetapi agama juga sering membuat masyarakat hancur, karena religisitas umat beragama mudah terprovokasi. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama mereka sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. (Bali Post ; 2003)

Seperti ditegaskan Kimball (2003:12), argumen bahwa adalah orang atau penganut agama bukan agama itu sendirisebagai masalah mengandung kekuatan dan kebenarannya sendiri, karena pada akhirnya memang sikap dan tindakan manusialah yang menjadi persoalan dan menimbulkan masalah. Tetapi penting juga diingat, agama bukanlah entitas abstrak, yang secara bebas mengambang (freefloating) begitu saja. Agama hidup sebagai suatu tradisi yang dipeluk dan menjadi hidup di tangan masyarakat manusia. Agama yang kemudian menjadi tradisi memengaruhi perjalanan manusia; sebaliknya manusia juga memengaruhi agama. Karena itulah ajaran-ajaran dan struktur-struktur agama tertentu dapat digunakan siapa saja untuk kepentingannya sendiri, hampir sama dengan pistol atau senjata apa saja yang dapat digunakan untuk menghabisi riwayat orang lain. Para penganut agama terlalu sering menjadikan pemimpin-pemimpin agama mereka, ajaran-ajaran agama dan kebutuhan untuk membela struktur-struktur institusional agama sebagai alat dan justifikasi bagi tingkah laku mereka yang tak bisa diterima. Karena itu, orang yang berpikiran mendalam harus mencoba belajar lebih banyak lagi tentang kemungkinan bahaya-bahaya dan janji-janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang kita sebut agama. Dalam kajian Azyumardi Azra (Azra: 2001), perjumpaan keras antar agama di Indonesia bersumber setidak-tidaknya dari lima faktor. Pertama, penerbitan tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan suatu agama tertentu tentang suatu agama lain yang dipandang para pemeluk agama lainnya ini tidak sesuai dengan apa yang mereka imani dan, karena itu, dianggap mencemarkan agama mereka (blasphemous). Dalam hal ini juga tercakup tulisan-tulisan (biasanya, tidak jelas sumbernya) yang berisi rencana penyebaran agama; kedua, usaha penyebaran agama secara agresif; ketiga, penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan rumah ibadah di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu; keempat, penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama; dan kelima, kecurigaan timbal-balik berkenaan dengan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia. Dialog Dalam bukunya Ansari, dkk((cf Ansari & Esposito, eds: 2001).sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya Kristen dan Islam, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentuketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama. Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai. Sebagaimana Ali Masrur (Ali Masrur : 2004) menyatakan dalam artikelnya bahwa; Fenomena antar umat beragama seperti kesalahpahaman, ketegangan, dan mungkin juga konflik antaragama membuat kita semua, tidak

bisa tidak, harus melakukan dialog untuk mengurangi benturan-benturan tersebut, jika bukan meniadakannya. Di masa lalu hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk mengalahkan, menundukkan, dan menggaet pihak lain ke agama kita. Hal ini disebabkan karena hubungan antaragama belum sering terjadi. Agama-agama saat itu hidup dalam suatu masyarakat yang relatif homogen, tertutup, dan belum mengenal dunia lain selain dunianya sendiri. Dalam keadaan demikian, agama-agama lebih mengembangkan sikap egosentrisme masyarakat yang beranggapan bahwa merekalah satu-satunya masyarakat yang beragama secara benar sedangkan agama-agama lain yang dianut oleh komunitas agama lain diklaim salah dan sesat. Semua ini tidak bisa terwujud tanpa adanya dialog antar pemeluk agama secara intensif dan berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog di sini bukanlah upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi antar pelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yang kalah; dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan agamanya Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antar penganut agama dan jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain. Pada level ini, dialog mensyaratkan suatu kebebasan beragama sehingga setiap penganut agama bebas mendalami dan melakukan keyakinannya, serta menguraikan dan mengomunikasikan pengalaman keagamaannya kepada orang lain.

Prospek ke Depan
Perjumpaan antar umat beragama di Indonesia yang kadang-kadang keras seperti disarankan di atas, muncul karena banyak faktor yang rumit. Perjumpaan ini akan semakin meningkat intensitasnya di masa-masa mendatang. Karena itu, pemahaman atas faktor-faktor penyebab pertemuan keras itu semakin relevan dan mendesak, supaya dapat dilakukan antisipasi sebelum segalanya menjadi terlambat. Karya Aritonang (Aritonang : 2004), ini jelas memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai faktor yang mengakibatkan terjadinya perjumpaan antar umat beragama di Indonesia. Sebagaimana kajian-kajian historis umumnya, umat-umat beragama seharusnya dipandang bukan hanya sebagai academic exercises, tetapi juga sebagai pelajaran, sehingga peristiwa-peristiwa pahit yang pernah terjadi di masa silam tidak terulang kembali di masa kini dan mendatang. Yang tidak kurang pentingnya, berbagai kesimpulan dan saran yang dikemukakan Aritonang dalam karyanya dapat menjadi semacam guidance bagi perjumpaan yang lebih damai, toleran dan penuh persahabatan antara para penganut Kristen dan Islam dan, tidak kecuali, agama-agama lain di Indonesia.

Dan, jika semua itu dapat diaktualisasikan, maka umat beragama tidak hanya telah memberikan suatu kontribusi penting dalam perwujudan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih baik, tetapi sekaligus melindungi agama itu sendiri dari pencemaran yang dapat menimbulkan citra yang tidak benar dan keliru terhadap agama. Adapun Solusi yang ditawarkan oleh Ali Masrur (Ali Masrur : 2004), kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai tempat. Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasiprovokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antar penganut agama. Daftar Pustaka www.gatra.com/2001-10-26/versi Koran bali post cetak 29/12/2003/. Hlm 3 Kimball, Charles, 2003, When Religion Publishers.(ditranslit oleh Azyumardi Azra) Becomes Evil, New York: HarperCollins

Azra, Azyumardi, 2001, Islam and Christianity in Indonesia: The Roots of Conflict and Hostility, dalam Joseph A. Camillery (ed.), Religion and Culture in Asia Pacific: Violence or Healing?, Carlton South, Victoria, Australia: Pax Christi & Vista Publications. Dr. Ali Masrur, M.Ag,2004, Problem dan Prospek Dialog Antaragama. Artikel cfm. Ansari, Zafar Ishaq & John L. Esposito, eds., 2001, Muslims and the West: Encounter and Dialogue, Islamabad & Washington DC., Islamic Research Institute, International Islamic University & Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).

Home INDEKS ARTIKEL ISLAM YANG SANGAT BERMANFAAT

sesungguhnya pacaran adalah perbuatan haram, maka janganlah berpacaran


Entries RSS | Comments RSS

Recent Posts
o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

SITUS-SITUS TEMPAT BERTANYA, CURHAT DAN KONSULTASI MASALAH AGAMA, CINTA, KELUARGA, DLL Kenapa Sih Kamu Tidak Mau Punya Pacar Untuk Apa Kita Diciptakan Di Dunia Ini? Gadis Yang Tak Mencuri Hatiku Musik itu Haram Menurut Imam 4 Madzhab kumpulan sms tausiyah sms nasehat islami sms religi sms dakwah Nasehat Untuk Remaja Muslim Ukhti, renungkanlah! TIDAK ADA ISTILAH MANTAN PEZINA DALAM ISLAM (dilarang menghina orang yang sudah bertobat) Memadu Kasih di Hari Valentine? (jangan merayakan hari valentine agar tidak mendapat murka Allah) 6 Kerusakan Valentines Day Pandangan Islam terhadap Hari Valentine Tips Memilih Pasangan Hidup Bila Cinta Tak Berbalas Putriku, Kembalilah ke Jalan Tuhanmu Pacaran Berkedok Taaruf Makin Marak di Dunia Maya Jangan Ada Cinta di Facebook! Pacaran = Percobaan Tindak Pidana Perzinahan Bermula dari Pacaran, Terjerumus Ketagihan Gaul Bebas Makin Modern, Pacaran Makin Murahan Hari Gini Pacaran? Apa kata dunia ?????????? WAHAI WANITA TUTUPLAH AURATMU Usaha Yang Ditempuh Untuk Taubat

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

Bagaimana Kiat-kiat Untuk Membangkitkan Semangat Beribadah? Bila Cinta Menyapa 10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun Di Mana Allah? KIAT-KIAT AGAR TERHINDAR DARI MAKSIAT Nasihat Bagi Muslimah! Cara Memanfaatkan Waktu Mendapatkan Pasangan Yang Shalih Nasihat Kepada Para Gadis Remaja Pertemanan Dalam Islam BERHATI-HATILAH DARI PARA PRIA SERIGALA BERBULU DOMBA (Sebab Mekarmu Hanya Sekali) Kehilangan Kehormatan Yang Berakibat Ketaatan TIPS AGAR KAYA MENURUT AJARAN ISLAM TIPS MELEPASKAN DIRI DARI KEMISKINAN Ketahuilah wahai hamba Allah Tidak Semua Majikan Arab Kejam Fenomena TKI di Arab Saudi SAUDARIKU, MAUKAH ENGKAU MENJADI SEORANG RATU? RAHASIA TKW ** UKHTI APAKAH ENGKAU MENGINGINKAN KEBAHAGIAAN ? ** jauhilah penyakit Riya dan Gila Popularitas TATA CARA BERTAUBAT (mari bertaubat sebelum terlambat) SEORANG SALAFI TIDAK SOMBONG WALAUPUN KEPADA ANJING (BINATANG) Waspada Teman Buruk (bahayanya berteman dengan orang-orang yang menyimpang dari agama) Zina, Akibat Buruk Dan Bahayanya Taaruf Syari, Solusi Pengganti Pacaran Kiat Mengenal Calon Tanpa Pacaran Berteman Yes!, Pacaran No! (Nikah: lebih cepat lebih baik) Nggak Virgin Nggak Ok! (bagi yang terlanjur nggak virgin masih tetap belum terlambat untuk bertaubat) Aku Ingin Bertaubat, Tetapi BAGAIMANA PACARAN MENURUT ISLAM ? Pacaran, kuno ? Perbedaan taaruf dan pacaran Asmara Aktivis Rohis (CBSA= cinta bersemi sesama aktivis ??) Saat Cinta Terbentur Orang Tua Rayuan Setan Dalam Pacaran SAYANG, HARI INI KITA PUTUS, KU HARAP KAU MENGERTI ! (PASTI BISA) CARA BERTAUBAT DARI PERBUATAN ZINA Bersamamu dalam Naungan Ilmu (Di Atas Sunnah Kita Menikah) Tips Memilih Pasangan Idaman Siapakah Yang Ukhti Pilih Untuk Menjadi Pendamping Hidup? Adakah Pacaran Islami ?! (tentu tidak) Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang (Hati-hati memilih teman!) Bila Pacar Meninggalkan Kamu (karena pacaran itu haram hukumnya) Batasan Pergaulan Antara Pria dan Wanita menurut Syariat Islam

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

Save Sex? No Free Sex..!! Maraknya Pacaran Berujung Zina, Kita Punya Tanggung Jawab Dakwah Pacaran? Nggak, Ah! Ada Cinta di Sekolah Taubat, Muara Terindah bagi Seorang Hamba PUTRIKU, PAPA HANYA IJINKAN KAMU MENIKAH, BUKAN BERPACARAN Kalau Mau Pacaran, yang Islami Saja !!! INDEKS ARTIKEL ISLAM YANG SANGAT BERMANFAAT SURAT UNTUK PARA PEROKOK 13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan 13 Penawar Racun Kemaksiatan ** UKHTI APAKAH ENGKAU MENGINGINKAN KEBAHAGIAAN ** kumpulan kata mutiara kata-kata motivasi kata-kata indah nasehat cinta islami ramadhan kumpulan kata mutiara nasehat islami kata-kata motivasi nasehat islami kalimat nasehat dakwah islam INDEKS ARTIKEL-ARTIKEL ISLAM YANG MENARIK DAN SANGAT BERMANFAAT DARI gizanherbal.wordpress.com DAFTAR ARTIKEL YANG MENJELASKAN MENGENAI HARAMNYA MUSIK, TERMASUK MUSIK RELIGI SEMUANYA HARAM DAFTAR ARTIKEL YANG MENJELASKAN MENGENAI HARAMNYA PACARAN , ajakan berpacaran adalah ajakan iblis dan setan, maka jangan tergoda Kalo Ikhwan Nyari Gebetan Berteman Yes!, Pacaran No! Jomblo Vs Pacaran Sisi Gelap Pacaran Nikmati Cinta Tanpa Pacaran Pacaran Syariah Pacaran? Pikir Lagi, Deh! Pacaran? Norak Bangeet! Pacaran? Huahaha Kuno! karena pacaran diajarkan Gantung Valentine! Bubarkan Pacaran! Perkawinan Hambar apakah saya masih virgin? Nikah dengan Orang yang Sama Melakukan Zina di Masa Lalu Menuju Pernikahan Menikah Dulu, Baru Pacaran Malam Pengantin Menyatakan Langsung ke Gadis dan Pacaran, Bolehkah? Ingin Bertobat dari Maksiat Dilema Setelah Zina Berzinah Ketika Pacaran Bagaimana Kiat-kiat Untuk Membangkitkan Semangat Beribadah? Usaha Yang Ditempuh Untuk Taubat Pacaran Atau Bukan? Pacaran Lagi, Pacaran Lagi Bergaul dengan Lawan Jenis

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

Cara Mendapatkan Jodoh Berdasarkan Koridor Agama Islam Dosa Pacaran Pacaran?! Salahkah Bila Aku Jatuh Hati??? Taaruf lewat internet Menikah dan Tentang Dosa Besar masa lalu Memberikan Motivasi Untuk Pasangan Hukum Berpacaran Ingin Putus Dari Pacar Ingin Lepas Dari Kecanduan Zina Mata Cara Agar Bisa Lepas Dari Mantan Pacar Pacaran dan Zina Pacaran dengan Non Muslim Pacaran dalam Islam Menikah Tanpa Pacaran Cinta Sejati: Pacaran Dulu atau Nikah Dulu? HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannya pacaran) Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang, Sadarlah! Bukan Pria Idaman Obat Ketika Merindukan Si Dia Sex Before Marriage Bukan Cinta Sejati Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran Hello world! kata mutiara kumpulan kata-kata mutiara cinta kata mutiara islami kata mutiara bijak kumpulan fatwa ulama mengenai haramnya KB (pembatasan jumlah anak) Hukum Penghasilan Penyanyi Adalah Haram (?) HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannya pacaran) Cara Menghilangkan Derita Cinta Ditolak Haramnya Nyanyian dan Musik Dalam Islam Faedah Menikah di Usia Muda

Tips Memilih Pasangan Hidup


Posted on August 10, 2011 by Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id

Antara memilih dan dipilih. Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul menyusul, yang selalu hadir dalam dua buah kondisi : Memilih ataukah dipilih! Dan salah satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan hingga di akhirat.

Masalah Pertama Yang Harus Diperhatikan.

Dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui.

Karena itu ajaran Islam sangat menekankan system pemilihan pasangan hidup yang berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) (QS. An Nuur: 26).

Mengapa Kita Harus Selektif?

Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.

Adalah menjadi suatu hak dan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah untuk mencari pendamping yang benar-benar akan membuka pintu kebaikan buat dirinya dan mengundang keridhaan dari Rabb-nya dan hal ini hanya dapat dicapai bila diawali proses pemilihan calon pasangan hidup yang selektif, yang dilandasi oleh semangat Islami sebagai dasar terjadinya suatu pernikahan. Ingat! Setelah pernikahan, tidak ada pilihan lagi buat kita, kecuali dua hal: mendapatkan ketenangan yang membahagiakan rumah tangga atau memperoleh kesengsaraan yang membinasakan. Naudzubillahi min dzaalik!

Akibat Salah Memilih

Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia, bahkan perceraian dan gonta ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga, dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah awal dalam membentuk rumah tangga.

Iklim pergaulan di masyarakat kita yang memang cenderung permisif dan belum Islami, merupakan penyebab utama yang melahirkan pernikahan sebatas dorongan nafsu semata. Tolak ukur pencarian pasangan hidup jarang yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Melainkan seringkali hanya sebatas keindahan fisik, melimpahnya materi dan mulianya status di masyarakat, atau bahkan hanya karena sudah terlanjur cinta yang telah menyebabkan mata hati menjadi buta terhadap kebaikan dan keburukan orang yang dicinta.

Apabila pernikahan terjadi hanya lantaran dorongan nafsu semacam itu, maka wajarlah jika banyak pasangan yang bertikai mereasa kesulitan menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka secara Islami, lantaran proses pernikahan mereka terjadi begitu saja secara naluriah, tanpa ada landasan nilai-nilai ke-Islaman yang mengawali. Lalu bagaimana mungkin akan kembali kepada Quran dan Sunnah, sedangkan mereka dahulunya tidak berangkat dari keduanya? Maka memilih pasangan hidup atas dasar nilai-nilai Islam adalah sikap yang penting, dan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup menjadi suatu keharusan bagi kita, camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:

Wahai anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka.

(Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari pasangan)

Siapa Yang Harus Kita Pilih?

Islam telah mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup kita:

Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan k arena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah ia. (HR. al Bukhari dan Muslim)

Maka jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri seseorang hamba Allah.

Pilih Yang Taqwa, Baru Yang Lain

Yang pertama adalah perihal kekayaan

Hal ini memang utama, bahkan Rasullah saw adalah seorang dermawan yang paling banyak sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata, bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan kekayaan dengan kefakiran:

Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran.. (HR. Ibnu Hibban).

Yang kedua adalah keelokan

Hal ini juga memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di dunia yang fana ini.

Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama. (HR. Ibnu Majah).

Dan ketiga adalah keturunan,

Demikian pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kebanggaan silsilah yang justru bias membawa kepada penyakit ashobiyah. Bahkan Allah mengancam mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan memberikan kerendahan bukan kemuliaan.

Barangsiapa yang menikahi wanita karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan(HR. Ibnu Hibban)

Terakhir yang keempat adalah akhlak dan agama,

Inilah faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang dihadapan kita. Akhlak dan agama disini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hapalan di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang sebenarnya!.

Betapa beruntungnya menikah dengan hamba yang bertaqwa, karena ia pandai menghormati pasangan hidupnya dan sangat berhati-hati dari menzhaliminya, sebagaimana jawaban Hasan bin Ali ketika ada seseorang yang bertanya. Aku mempunyai anak gadis, menurutmu kepada siapa aku harus menikahkannya? Maka Hasan menjawab. Nikahkanlah ia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah. Jika lelaki itu mencintainya, maka ia akan menghormatinya, dan jika marah maka ia tidak akan menzhaliminya.

Dan sebaliknya penolakan terhadap lelaki atau wanita yang bertaqwa, bagaikan menolak kebaikan dan menggantinya dengan kerusakan:

Simaklah kedua hadits berikut ini:

: Jika datang seorang laki-laki kepadamu (untuk melamar), sedang kau tahu ia baik akhlak dan agamanya lalu kau tolak, maka jadilah fitnah buatmu dan kerusakan yang besar, (HR. Ibnu Majah)

: Apabila telah dating kepadamu seorang wanita yang agama dan akhlaknya baik maka nikahilah dia. Jika engkau menikahi wanita bukan atas dasar agama dan akhlak, maka wanita itu akan menjadi fitnah dan menimbulkan kerusakan luas.(HR. At Tirmidzi).

Akhirnya pernikahan yang ideal sesungguhnya merupakan keseimbangan dari semua faktor tersebut, dengan akhlak dan agama sebagai parameter yang paling penting, karena itu dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai niatan kita hanya sekedar mencari kecantikan atau keturunan atau harta saja dengan meninggalkan criteria taqwa, sehingga tidak ada keberkahan yang akan kita dapatkan dalam rumah tangga kita kelak.

Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kafakiran. Barangsiapa yang mengawini wanita karena untuk memejamkan pandangannya, menjaga kemaluannya serta menjalin tali persaudaraan, niscaya Allah memberkahinya. (HR. Ibnu Hibban).

Mempersempit Pilihan Untuk Keutamaan

Tidak jarang seseorang dihadapkan pada sekian banyak pilihan pasangan hidup yang dari segi akhlak dan agama sama dan setaraf, apalagi masalah di dalam ketaqwaan seseorang memang

sulit untuk dideteksi dalam waktu yang singkat. Maka untuk mencari sebuah keutamaan, pilihan kadang memang perlu dipersempit, sebab semakin banyak pilihan maka akan semakin sulit bagi kita untuk memilih yang terbaik. Dan menurut kacamata agama yang tentunya selalu selaras dengan fitrah dan naluriah seorang insan. Ada beberapa keutamaan yang bias dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup.

1. Pilihan yang sekufu

Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.(HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Al Kafaah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah: usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat dengannya atau dibawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.

Tetapi penting untuk dipahami, bahwa tingkat kesamaan sosial ini bukanlah merupakan syarat mutlak dalam sebuah proses pernikahan, karena Islam sendiri adalah agama tanpa kelas, yang menyamakan kedudukan semua hambanya, terkecuali dari ketakwaanya.

Kalaupun ia menjadi sebuah pertimbangan, adalah semata-mata sebagai tindakan kehati-hatian, agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari yang akhirnya bias lebih menyakitkan, karena sesungguhnya hati manusia itu memang sering labil dan mudah berubah-ubah. Dan masalah ini, sebenarnya merupakan tata cara kebijaksanaan duniawi yang masih bisa disepakati bila ada persetujuan diantara kedua belah pihak.

2. Memilih yang penuh kasih sayang dan subur

Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan (subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat dihari kiamat kelak (HR. Ahmad).

Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun tatapan mata, baik dikala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi kekasaran , kebencian dan kepalsuan.

Sementara itu mereka secara mudahnya dapat kita ketahui dari berapa jumlah saudara atau keluarganya yang terdekat, atau dari jenis penyakit penghambat keturunan yang diderita dirinya ataupun saudaranya dan keluarganya yang terdekat.

3. Memilih kerabat yang jauh

Nasihat Rasulullah saw. Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik. Dan selain untuk menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain, serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling silaturahim.

4. Memilih para gadis

Nikahilah para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu. (HR. Ibnu Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah)

Pernikahan dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan Bercanda serta bersenangsenang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.

Mempersempit pilihan bukan mempersulit pilihan

Jadi sesungguhnya tidak ada larangan untuk mempersempit pilihan kita dalam rangkan meraih sebuah ketentraman, selama pijakannya tetap berpedoman kepada nilai-nilai Islam. Walaupun demikian, keinginan ini bukan suatu kemutlakan yang harus dilakukan apalagi dipaksakan.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, menikahi seorang yang dari satu sisi dianggap tidak sekufu, atau yang kurang kesuburannya, atau yang masaih memiliki hubungan kerabat dekat, atau seorang janda, bukanlah suatu perbuatan yang bernilai minus di dalam Islam, bahkan bisa jadi lebih utama, bila ada alas an yang kuat untuk dilakukan.

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa mempersempit pilihan ini tidaklah sama dengan mempersulit pilihan. Jika mempersempit pilihan berdasarkan anjuran agama demi keutamaan, kepuasan dan kesyukuran seorang hamba atas nikmat Allah yang sangat banyak, maka mempersulit pilihan merupakan anjuran hawa nafsu demi keangkuhan, gengsi dan kepuasan duniawi belaka. Jadi sangat jauh berbeda diantara keduanya

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Wijaya Kusumah

Teacher, Motivator, Trainer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Wijaya adalah Dosen STMIK Muhammdiyah Jakarta, dan Guru TIK SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari

tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan ...

Nilai-nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa


OPINI | 06 January 2011 | 10:11 3547 13 1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat

pendidikan karakter bangsa

Belakangan ini kita dibuat menangis dengan hampir runtuhnya karakter bangsa Indonesia. Mulai dari kasus korupsi yang sulit diberantas, kurang pekanya generasi muda terhadap lingkungan sekitar, sampai masalah kediplinan yang semakin payah. Sebagai seorang pendidik, tentu penulis tak akan berpangku tangan saja menghadapi kenyataan ini. Perlu kiranya kita menyatukan langkah untuk menanamkan kembali nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa. Menurut penulis, ada 16 nilai-nilai Dasar Pendidikan Karakter bangsa yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Ke-16 nilai dasar itu dapat diintegrasikan dalam berbagai kegiatan akademik dan kesiswaan. Dari sanalah kita dapat melakukan pembinaan peserta didik. Nilai-nilai dasar pendidikan karakter yang harus diajarkan adalah: 1. Bertakwa (religious) Para guru harus mampu mengarahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan sadar-sesadarnya bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia. Kegiatan seperti tadarus dan sholat berjamaah adalah merupakan contoh dari kegiatan meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik.

2. Bertanggung jawab (responsible) Para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada dalam diri para peserta didik kita. Kegiatan seperti pentas seni adalah merupakan salah satu bentuk dimana siswa atau peserta didik diberi tanggung jawab dalam mengelola sebuah kegiatan seni. 3. Berdisiplin (dicipline) Para guru harus mampu menamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan. Siapa yang terlambat datang ke sekolah harus terkena sanksi atau hukuman sesuai dengan peraturan tata tertib yang berlakuk di sekolah. Sioswa harus diajarkan disiplin, dengan demikian dia kan terbiasa disiplin dalam kehidupannya. Contoh yang paling mudaha adalah tepat waktu. Siswa harus dididik untuk mampu tepat waktu. 4. Jujur (honest) Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku jujur. Ketika jujur diajarkan di sekolahsekolah kita, maka para peserta didik tak akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini jelas harus menjadi fokus utama dalam pendidikan di sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka di negeri ini. Timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari karakter jujur yang kurang terpelihara dengan baik. 5. Sopan (polite) Mampu berperilaku sopan adalah dambaan setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain akan segan kepada kita. Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik, dan dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain. Terutama kepada mereka yang telah lebih tua daripadanya. Tentu karakter kesopanan harus diperlihatkan dan dijunjung tinggi. Seringkali kita melihat karkater anak sekolahan yang kurang sopan. Baik dalam berbicara mamupun bertindak. Hal inilah yang harus kita rubah dalam pendidikan karakter bangsa. 6. Peduli (care) Peserta didik harus dilatih untuk peduli kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka saudara-saudara kita yang sedang mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah akhirnya jiwa kepedulian kita teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di negeri ini, baik musibah bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita semakin peduli dengan bangsa sendiri. 7. Kerja keras (Hard work)

Peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan. 8. Sikap yang baik (good attitude) Peserta didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain akan menaruh hormat kepadanya karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik harus diajarkan para guru dalam pendidikan karakter di sekolah. 9. Toleransi (tolerate) Peserta didik harus dilatih agar mampu bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini, apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku, agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar umat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari. 10. Kreatif (Creative) Peserta didik harus diajarkan agar mampu kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik kita agar mampu kreatif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif tidak lahir begitu saja. Dia lahir dari proses pendidikan yang berkelanjutan. 11. Mandiri (independent) Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. 12. Rasa Ingin Tahu (curiosty) Setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tentu sebagai guru kita dituntut untuk mampu mengarahkan rasa ingin tahu mereka kearah hal-hal yang positif seperti rasa ingin tahu mereka tentang bumi dan antariksa yang ilmunya terus berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Bila peserta didik memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, amak itu adalah modal dasar untuk menjadi seorang ilmuwan muda dan kaya. Rasa ingin tahu ini harus terus dimotivasi agar para peserta didik kita mampu juga meneliti di usia remaja. 13. Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit)

Para peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri. Contoh yang paling mudah dari semangat kebangsaan adalah sepakbola. Dengan permainan sepakbola, para pemain dan penonton dituntut harus memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Apalagi bila kita bermain di negeri orang lain. 14. Menghargai (Respect) Peserta didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang lain. Saling menghargai merupakan cerminan budaya bangsa yang harus dilestarikan secara turuh temurun. Mengharagai pendapat orang lain adalah salah satu contoh dari karakter saling menghargai sesama. 15. Bersahabat (Friendly) Ketika peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Kita harus memupuk rasa persaudaraan yang tinggi. Bila kita saling bersahabat, maka kita akan semakin dekat dan akrab. Dengan begitu akan semakin dekatlah hati kita masing-masing. Persahabatan bagai kepompong yang akan mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Sungguh indahnya sebuah persahabatan. 16. Cinta damai (Peace Ful) Peserta didik harus cintai damai. Cinta mencintai antar sesama anak manusia. Kita semua bersaudara dan tidak selayaknya kita saling bertengkar. Kita cinta damai, tepai kita pun cinta kemerdekaan. Siapa saja bangsa yang mengusik kemerdekaan kita, maka kita akan melawannya dengan gagah perkasa karena kita lebih mencintai bangsa sendiri. Demikianlah nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa yang dapat diterapkan di sekolahsekolah kita. Semoga kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang penulis jabarkan di atas serta mempunyai kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun berharap akan muncul pemimpin masa depan yang berkarakter, berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa

You might also like