You are on page 1of 12

1

PERCEPATAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM


Oleh:

Yusuf Susilo1
A. PENDAHULUAN
Pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, pembangkit tenaga listrik, pelabuhan sangat penting perannya dalam menunjang perekonomian bangsa. Ketersediaan infrastruktur mampu memberikan dampak berganda (multiplier effect) bagi perekonomian nasional. Kendala untuk pembangunan infrastruktur adalah masalah pengadaan tanah. Masalah pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum antara lain disebabkan :
1. Kurang adanya pendekatan yang baik dari pelaksana dengan masyarakat

berakibat dukungan terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak optimal.
2. Pelaksanaan musyawarah dengan menggunakan dasar penilaian harga dari

appraisal dimulai dengan harga yang rendah, berakibat berlarut-larutnya pelaksanaan pengadaan tanah.

Kepala Sub Direktorat Pengaturan Pengadaan Tanah BPN RI.

3. Terhambatnya perolehan tanah dan pembangunan fisik yang disebabkan

ketidaksepakatan harga, menyebabkan terkatung-katungnya proyek dan berakibat in efisiensi, karena harga tanah, biaya konstruksi naik.
4. Terjadinya peralihan tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan

umum kepada pihak lain, menyebabkan permintaan ganti rugi tanah meningkat.
5. Kurangnya pemahaman secara menyeluruh dan terperinci tentang proses

pengadaan tanah serta koordinasi antara Panitia Pengadaan Tanah (P2T), Tim Pengadaan Tanah (Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah), otoritas keuangan/pembiayaan dan Badan Usaha termasuk masyarakat menyebabkan pelaksanaan pengadaan tanah tidak lancar. 6. Kurang tersedianya dana untuk pengadaan tanah yang memadai.

B. LANDASAN KEBIJAKAN PENGATURAN PENGADAAN TANAH


Pengaturan pengadaan tanah adalah bagian dari kebijakan Pertanahan. Kebijakan pertanahan di Indonesia mengacu pada penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD RI tahun 1945: Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk merealisasikan harapan masyarakat tersebut, maka dilakukan

pembangunan berbagai bidang termasuk pembangunan infrastruktur dengan melibatkan seluruh masyarakat.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, arah pembangunan jangka panjang antara lain disebutkan untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak-hak atas tanah dengan menerapkan prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi. Hak menguasai Negara atas tanah dalam pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960, Hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara tersebut, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hubungan antara manusia dengan tanah di rumuskan dalam pasal 1 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Hukum pertanahan Indonesia dimungkinkan para warga negara Indonesia masing-masing menguasai bagian-bagian tanah tersebut secara individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus yang mengandung unsur kebersamaaan. Unsur kebersamaan tersebut dirumuskan dalam pasal 6 UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Prinsip fungsi sosial hak atas tanah tersebut memperhatikan secara seimbang antara kepentingan-kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat. Prinsip-prinsip dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tersebut menjadi dasar bagi penyusunan hukum Pertanahan Indonesia. Hukum pertanahan Indonesia mengenai hal pengadaan tanah diatur dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, yang prinsip pengaturannya sebagai berikut : a. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi; b. Pembangunan untuk kepentingan umum dipastikan tersedia tanahnya c. Mencegah spekulasi tanah

C. PERCEPATAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH


1. Penyuluhan / Konsultasi Publik Penyuluhan dilakukan melalui konsultasi publik yang merupakan komunikasi dua arah. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) bersama Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah melakukan konsultasi publik dengan masyarakat mengenai rencana, manfaat dan tujuan pembangunan, tata cara pengadaan tanah, bentuk dan penilaian ganti rugi termasuk alternatif pemukiman

kembali, pelaksanaan pemberian ganti rugi, pengajuan keberatan. Konsultasi publik perlu dilakukan secara intensif, agar masyarakat memperoleh informasi yang benar mengenai segala aspek pengadaan tanah temasuk penilaian ganti rugi, agar masyarakat tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti memprovokasi masyarakat untuk meminta ganti rugi yang sangat tinggi. Perlu dilakukan pendekatan yang baik dengan masyarakat, untuk memperoleh dukungan sekaligus mendorong peran serta masyarakat dalam kelancaran pengadaan tanah.

2. Musyawarah Penetapan ganti rugi melalui mekanisme musyawarah, sesuai Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007. Tujuan musyawarah adalah untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan para pihak berlaku sebagai UU bagi yang membuatnya (Ps 1320 Jo. Ps 1338 KUH Perdata). Dasar perhitungan ganti rugi yang dipergunakan dalam musyawarah adalah hasil Penilaian Lembaga / Tim Penilai Harga Tanah. Penentuan besarnya ganti rugi adalah kesepakatan pihak pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah tersebut, oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten/Kota sesuai tugasnya dituangkan secara administratif dalam Berita Acara hasil pelaksanaan musyawarah. Selanjutnya ditetapkan bentuk dan/atau

besarnya ganti rugi, yang oleh Instansi yang memerlukan tanah dipergunakan sebagai dasar pembayaran ganti rugi kepada pemilik. Ganti Rugi adalah Penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.2 Oleh karena itu hasil penilai appraisal adalah merupakan hak masyarakat yang terkena pengadaan tanah yang harus diberikan secara optimal, sebagai pengejawantahan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat berdasarkan prinsip keadilan yang merupakan esensi dari fungsi sosial hak atas tanah yaitu adanya kesimbangan antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat.3 Sebagaimana prinsip keadilan sosial sesuai falsafah Pancasila, semua warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama dihadapan hukum.4 Atau dengan kata lain satu sisi terdapat penghormatan terhadap hak-hak atas tanah, namun pada sisi lain pemegang hak atas tanah juga mempunyai kewajiban moral untuk menghormati hak-hak masyarakat lainnya dan ikut memberikan kontribusi bagi kepentingan bersama.5 Pelaksanaan musyawarah ini merupakan faktor yang sangat menentukan kelancaran pengadaan tanah. Oleh karena itu diperlukan kemampuan, kreatifitas maupun ketelatenan para pelaksana pengadaan tanah.
2

Lihat pasal 1 angka 11 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 3 Lihat pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1960. 4 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arif Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum , Alumni, Bdg, 2000, Hlm 52-53. 5 Eric R. Claeys, Takings Regulation and Natural Property Rights, 88 Cornell L. Rev1549, 2003, Hlm 2-5.

3. Ketidaksepakatan mengenai besarnya ganti rugi Pengalaman empiris dilapangan menunjukkan bahwa dengan kebersamaan, ketelatenan dan upaya maksimal tersebut, kegiatan pengadaan tanah akan tercapai sasarannya dan tidak perlu melalui upaya penitipan ganti rugi ke Pengadilan. Itu yang diharapkan. Namun demikian, dalam pelaksanaan pengadaan tanah kadang-kadang terdapat kondisi-kondisi hal mana harus di tempuh melalui penitipan ganti rugi ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya perlu kehati-hatian, kecermatan, dan berkoordinasi dengan Instansi yang terkait. Sesuai prinsip dasar pengadaan tanah, bahwa pengadaan tanah oleh Pemerintah untuk kepentingan umum dipastikan tersedia tanahnya. Ketidaksepakatan harga hendaknya tidak boleh menjadi kendala pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebagai pemegang hak menguasai tanah, Negara dalam rangka mewujudkan tanah untuk kemakmuran rakyat berwenang mengatur peruntukan, penggunaan tanah, hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan hubunganhubungan hukum dengan antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah, termasuk tanah yang dipergunakan bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Peraturan perundang-undang pengadaan tanah mengatur terhadap tidak adanya kesepakatan besarnya ganti rugi diselesaikan melalui penitipan ganti rugi di Pengadilan Negeri.6
6

Lihat Pasal 37 Peraturan KBPN RI No.3 Tahun 2007.

Disamping itu penitipan ganti rugi antara lain juga dilakukan terhadap yang memperoleh ganti rugi tidak diketahui keberadaannya, sedang menjadi obyek perkara di Pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya.7 4. Mencegah spekulasi Salah satu prinsip pengadaan tanah adalah mencegah adanya spekulasi. Tindakan spekulasi sangat merugikan baik bagi Pemilik maupun Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Perbuatan spekulasi yang memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya saja bertentangan dengan konsep hubungan antara manusia dengan tanah yang di rumuskan dalam pasal 1 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960, bahwa tanah di seluruh wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME kepada seluruh bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Dengan demikian selain memiliki nilai fisik, tanah juga mempunyai nilai kerohanian.8 Oleh karena itu peraturan pengadaan tanah mengatur pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah di lokasi yang di tetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, wajib memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta, kecuali perolehan tanahnya karena pewarisan, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau karena perintah UU.9 Selanjutnya dalam rangka melindungi kepentingan para pemilik, seorang penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari 1 (satu) pemilik dalam rangka musyawarah ganti rugi.10
7 8

Lihat Pasal 48, Peraturan KBPN RI No.3 Tahun 2007 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Kompas, Jkt, 2005, Hlm.41-42. 9 Lihat Pasal 9 dan 10 Peraturan KBPN RI No.3 Tahun 2007 10 Lihat Pasal 33 ayat (4), Peraturan KBPN RI No.3 Tahun 2007.

5. Koordinasi pelaksanaan pengadaan tanah

Modal utama koordinasi yang baik adalah pemahaman secara menyeluruh dan terperinci tentang proses pengadaan tanah. Peraturan pengadaan tanah adalah merupakan suatu bagian dari sistem hukum pertanahan. Oleh karena itu pemahaman terhadap ketentuan pengadaan tanah mencakup pula ketentuan hukum pertanahan secara keseluruhan.11 Pemahaman terhadap ketentuan pengadaan tanah baik oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T), Tim Pengadaan Tanah (TPT), Otoritas keuangan/pembiayaan, Badan Usaha, maupun pemilik sangat penting dalam mewujudkan persamaan persepsi bagi pelaksanaan di lapangan. Diciptakan koordinasi yang baik secara internal dalam Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dengan Tim Pengadaan Tanah (TPT), maupun Badan Usaha sesuai kompetensinya. Perlu dikembangkan semangat kebersamaan oleh para pelaksana pengadaan tanah untuk mencari solusi terhadap penyelesaian permasalahan yang ada, berkoordinasi dengan Instansi yang berwenang, baik Instansi terkait maupun Penegak hukum. Pengalaman keberhasilan pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol selama ini, antara lain berkat peran aktif dan kreatif dari PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. bersama anak perusahaan melalui koordinasi dan fasilitasi bersama P2T, TPT, Instansi terkait maupun masyarakat.

11

Helmi Hussain, Akta Pengambilan Tanah 1960, suatu huraian dan kritikan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999.

10

Pengadaan tanah merupakan tugas kolektif, yang terdiri dari komponenkomponen yang terkait satu dengan yang lain sesuai kompetensinya, sehingga fungsi koordinasi menjadi dominan dalam mengintegrasikan berbagai peran pelaksanaan pengadaan tanah untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas tersebut.

6.

Penyediaan dana Pengadaan Tanah yang memadai Setelah dilakukan tahapan-tahapan kegiatan pengadaan tanah mulai konsultasi publik, inventarisasi, penilaian ganti rugi, musyawarah, maka ditindaklanjuti dengan pembayaran ganti rugi. Percepatan/kelancaran pengadaan tanah sangat dipengaruhi oleh tersedianya dana untuk ganti rugi yang memadai serta regulasi pencairan ganti rugi sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

D. PENUTUP
Keberhasilan pelaksanaan pengadaan tanah terutama ditentukan koordinasi yang baik para pelaksana, dukungan/ peran serta masyarakat, serta pelaksanaan musyawarah yang berkualitas dan efektif. Terhadap permasalahan yang dihadapi diselesaikan dengan semangat

kebersamaan untuk mencari solusi oleh para pelaksana berkoordinasi dengan Instansi berwenang. Peran aktif dan kreatif dalam menunjang percepatan pengadaan tanah oleh P2T, TPT, Otoritas keuangan/pembiayaan, Badan Usaha, Instansi terkait dan masyarakat, kiranya terus ditingkatkan, sehingga segera terealisasi program

11

pembangunan infrastruktur, agar mampu memberikan dampak berganda (multiplier effect) pada tingkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

12

Eric R. Claeys, Takings, Regulations and Natural Property Right, 88 Cornell L. Rev 1549, 2003, Hlm. 2-5. Helmi Hussain, Akta Pengambilan Tanah 1960, Suatu Huraian dan Kritikan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999. Maria SW. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Kompas, Jakarta, 2005, Hlm.41-42. Mochtar Kusumaatmadja, B. Arif Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Amandemen IV Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 2025 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan KBPN RI No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

You might also like