You are on page 1of 18

1 BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia juga mengalami pasang surut dalam perkembangan dan proses penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Proses penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan yang jauh lebih baik dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Hal ini tidak lepas dari adanya kesadaran dari masyarakat Indonesia itu sendiri, dan adanya tekanan, serta opini masyarakat internasional tentang pentingnya penegakan HAM. Sejak indonesia merdeka, sesungguhnya telah memberikan pengakuan dan perlindungan HAM bagi warga negaranya, jauh sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencetuskan Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan sedunia hak-hak asasi manusia). Pengakuan dan perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia tersebut diabadikan dalam konstitusi negara yaitu dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan piagam HAM bagi bangsa Indonesia. Landasan Hukum Penegakan HAM di Indonesia, yaitu : a. Landasan idiil (Pancasila) sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Landasan idiil merupakan landasan filosofis dan moral bagi bangsa indonesia untuk senantiasa memberikan penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; b. Landasan konstitusional (UUD 1945) yakni : Pembukaan UUD 1945 alinea ke-1 dan ke-4; Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A sampai Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945; c. Landasan operasional, yakni landasan pelaksanaan bagi penegakan HAM di Indonesia yang meliputi aturan-aturan pelaksana, seperti:

2 TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan ini menugaskan kepada lembaga-lembaga negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman tentang HAM. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai undang-undang yang menjadi landasan pelaksana yang sangat penting dalam upaya penekan HAM di Indonesia. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undangundang ini mengatur pelaksanaan proses pengadilan bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan. Kepres No. 50 Tahun 1993 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Komisi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan menjadi tonggak sejarah dalam proses penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Meskipun telah banyak produk hukum dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, namun pelanggaran dan pelecehan terhadap hak asasi manusia masih tetap terjadi di dalam masyarakat. Banyak kasus pelanggaran dan pelecehan hak asasi manusia yang terjadi karena tidak dipahaminya aturan-aturan yang ada, baik oleh aparatur penegak hukum ataupun oleh masyarakat itu sendiri. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan undang-undang yang menjadi landasan pelaksanaan HAM di Indonesia. Undang-undang ini selain berisi tentang aturan-aturan dalam penghormatan dan perlindungan HAM, juga berisikan sanksisanksi bagi para pelaku pelanggaran HAM. Berdasarkan Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (ayat 1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.1
1

3 Jenis-jenis HAM yang diatur oleh UU No. 39 Tahun 1999 antara lain : 1. hak untuk hidup; 2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; 3. hak mengembangkan diri; 4. hak memperoleh keadilan; 5. hak atas kebebasan pribadi; 6. hak memperoleh rasa aman; 7. hak atas kesejahteraan; 8. hak wanita; dan 9. hak anak. Salah satu jenis Hak Asasi Manusia yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya adalah hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Seiring berkembangnya penegakkan HAM, gerakan perempuan Indonesia juga mengalami kemajuan sejak Era Reformasi. Namun, kemajuan ini juga diikuti dengan kemunduran yang bersifat paradoks. Timbulnya berbagai bentuk kelembagaan dan perangkat hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan upaya membebaskan perempuan dari tindak kekerasan (seperti Komnas Perempuan) juga disertai dengan fakta bahwa marjinalisasi dan kekerasan perempuan pun terjadi hingga saat ini. Salah satunya adalah penyerangan terhadap komunitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan kelompok minoritas tersebut sebagai bukti belum tegasnya penegakkan HAM di Indonesia. Perempuan Ahmadiyah sering kali mendapat cemooh, sehingga kehilangan hak-hak publiknya. Selain itu, mereka juga terkucilkan dari masyarakat, menerima kekerasan seksual, gangguan jiwa karena tekanan ekonomi, hingga penurunan kesehatan. Kondisi ini terjadi ketika komunitas mereka diserang warga anti-Ahmadiyah.2
Abdullah Yazid et.al., ed., Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang: Program Sekolah Demokrasi PLA CIDS AVERROES dan KID, 2007), hal. 53.
2

4 Tidak hanya itu, karena dianggap minoritas dan menyimpang, perempuan penganut Ahmadiyah dipersulit dalam urusan pelayanan publik. Seperti saat mengurus akta pernikahan karena agama Islam yang mereka anut tidak diakui. Inilah salah satu bentuk pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia sebagaimana telah dijelaskan di atas.

I.2. Pokok Permasalahan Adapun pokok permasalahan dari makalah ini adalah sebagai berikut : I.2.1. Bagaimana pemenuhan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan di Indonesia khususnya bagi perempuan Ahmadiyah? I.2.2. Bagaimana upaya para pihak dalam memenuhi hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan khususnya bagi perempuan Ahmadiyah?

I.3. Tujuan I.3.1. Tujuan Umum Untuk memaparkan mengenai pemenuhan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang dikaitkan dengan instrumen hukum, baik nasional maupun internasional. I.3.2. Tujuan Khusus I.3.2.1. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan khususnya bagi perempuan Ahmadiyah. I.3.2.2. Untuk mengetahui bagaimana upaya para pihak dalam pemenuhan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan khususnya bagi perempuan Ahmadiyah.

www.tempointeraktif.com

5 I.4. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN : BAB II ISI : Latar belakang Pokok permasalahan Tujuan Sistematika penulisan Hak untuk Berkeluarga dalam Instrumen

Internasional dan Instumen Nasional Hal-hal yang Bertentangan dengan Hak untuk Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan BAB III PENUTUP : Kasus Perempuan Ahmadiyah

Kesimpulan Saran

BAB II ISI

6 Manusia diciptakan oleh Tuhan YME berupa laki-laki dan perempuan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Untuk itulah manusia hidup berpasangan, membentuk suatu keluarga, dan melanjutkan keturunannya. Berkeluarga dan melanjutkan keturunan merupakan hak setiap orang yang sangat penting dan dasar. Oleh karena itu, hak setiap orang untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan telah dijamin melalui berbagai perumusan yang dimuat, baik dalam instrumen internasional maupun instrumen nasional.

II.1. Hak untuk Berkeluarga dalam Instrumen Internasional dan Instrumen Nasional Instrumen internasional melalui Pasal 16 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa : 1. Laki-laki dan perempuan dewasa tapa dibatasi oleh ras, kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dengan syarat; 2. Perkawinan hanya dapat dilaksanaka berdasarkan persetujuan yang bebas dan penuh dari kedua calon mempelai; 3. Keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara.3 Selain itu, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam masalah perkawinan melalui Pasal 23 juga merumuskan : 1. Keluarga adalah kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar, dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara; 2. Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui; 3. Tidak ada satupun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah;

Sriyanto, dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional : Hak untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak Mengembangkan Diri, (Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004), hal.19-20.

7 4. Negara pihak dalam Kovenan ini harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin persamaan hak dan tanggung jawab pasangan suami istri tentang perkawinan, selama perkawinan, dan pada saat berakhirnya perkawinan. Dalam hal berakhirnya perkawianan harus dibuat ketentuan yang diperlukan untuk melindungi anak-anak.4 Selanjutnya, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) melalui Pasal 10 menegaskan kembali mengenai perkawinan itu dengan antara lain merumuskan bahwa perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan persetujuan yang sukarela dari calon mempelai.5 Tidak hanya instrumen internasional saja yang menjamin hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Mengingat akan pentingnya hak tersebut, instrumen nasional yaitu hukum Nasional Indonesia, juga menjamin hak tersebut kepada warga negaranya. Hal ini terdapat dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa : 6 (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan clon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan Pasal 10 di atas, terlihat adanya perumusan yang menjamin hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan bersamaan dengan sahnya suatu perkawinan untuk membentuk suatu keluarga yang dimaksud. Sahnya suatu perkawinan dapat ditentukan dari pengaturan yang terdapat pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 2, yang berbunyi :7

Ibid., hal. 20
5

Ibid.
6

Indonesia, UU Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No.3886,

ps. 10.
7

Indonesia, UU Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974, TLN No.3019, ps. 2.

8 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan mengenai sahnya secara hukum suatu perkawinan yang harus dilakukan berdasarkan atas hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut, maka suatu perkawinan harus mutlak dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari kedua calon mempelai. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka perkawinan itu dianggap tidak sah. Dengan kata lain tidak akan ada suatu istilah perkawinan atau pernikahan yang pelaksanaannya dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaan dari kedua calon mempelai.8 Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan bukanlah syarat mutlak mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan, melainkan hanya bertujuan agar perkawinan itu menajdi jelas, terbukti (akta otentik), dan para pihak mendapat hak-hak yang timbul dari perkawinan, serta mencegah halhal yang tidak diinginkan yang mungkin timbul dari pihak lain. Perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaannya tersebut juga diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia bahwasannya,9 (1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keperayaannya itu. Kemudian, dalam Pasal 28 konstitusi Indonesia disebutkan bahwa : Pasal 28 E ayat (2), setiap warga negara berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 28 I ayat (2), warga negara pun berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;
8

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), hal.16.
9

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, ps. 29.

9 Pasal 28 D ayat (4), ia pun berhak atas status kewarganegaraan; Pasal 28 J ayat (1), wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tinjauan Perkawinan Melalui Keagamaan Dalam beberapa kitab keagamaan, terdapat anjuran bagi setiap manusia dewasa untuk

membangun keluarga dan mempunyai keturunan. Al Quran Surat An-Nisa ayat (3) menyatakan bahwa : Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua, tiga, atau empat, jika kiranya kamu takut tidak akan berlaku adil di antara mereka itu, hendaklah kawini seorang saja. Kemudian dalam Riwayat jamaah ahli hadis disebutkan bahwa : Hai pemuda-pemuda, barangsuapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang yan tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa napsunya terhadap perempuan akan berkurang Nabi Muhammad SAW sebagaimana ditulis oleh H. Suleman Rasjid bersabda : Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu

Begitu juga dalam Agama Kristen dan Katolik, mengenai perkawinan disebutkan dalam Alkitab surat Kejadian 1 ayat (28) yang tertulis : Allah memberkati mereka lalu Allah berfirman kepada mereka, Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi ini dan ditaklukkanlah. Kitab Injil Perjanjian Baru juga menyebutkan bahwa perkawinan merupakan hubungan lahir dan batin yang sah antara seorang pria dan seorang wanita.

10 II.2. Hal-hal yang Bertentangan dengan Hak untuk Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan 1. Hak untuk bercerai Adanya hak untuk berkeluarga berlawanan dengan adanya hak untuk bercerai. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi bagi Perempuan yang menyatakan bahwa baik perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian. 2. Poligami Di Indonesia, poligami diizinkan dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :10 (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Homoseksual dan Lesbian Hak berkeluarga sebagaimana dimaksud dalam instrumen internasional, instrumen nasional, dan konstitusi Negara Indonesia, serta ayat-ayat yang terdapat dalam kitab Agama tidak termasuk di dalamnya perkawinan sesama jenis yang disebut sebagai homoseksual dan lesbian. Keluarga yang dimaksud adalah antara seorang pria dan wanita. Namun, adanya desakan kelompok mengklaim bahwa homoseksual dan lesbian juga merupakan hak dasar mereka dan menginginkan negara untuk memberikan penguatan (pengesahan) atas hubungan sesama jenis tersebut. Seperti di Denmark yang disebut Regristered Partnership.11 Namun, di Indonesia sendiri belum ada ketentuan yang menyatakan bahwa hubungan sesama jenis tersebut dapat disahkan melalui perkawinan. Sampai saat ini masih banyak kontroversi mengenai hal tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di atas, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang termuat dalam instrumen internasional, instrumen nasional, dan konstitusi, serta ayat-ayat agama dan kepercayaannya itu, berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
10

Undang-Undang Perkawinan,Op.cit, ps.9.


11

Sriyanto., Op.cit., hal.26.

11 Pada kenyataannya, banyak kesenjangan yang terjadi sehingga kekerasan dan marjinalisasi terhadap warga negara kelompok minoritas, khusunya perempuan, sampai saat ini masih ditemukan. Terjadinya hal ini dimungkinkan karena hal-hal sebagai berikut : 1. belum terbatinkannya (internalisasi) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan konstitusi kita pada cara berpikir dan berprilaku masyarakat; 2. kurang tersosialisasinya secara luas berbagai Undang-Undang yang melindungi hakhak perempuan untuk bebas dari kekerasan; 3. lemahnya penegakan hukum yang berakibat pada lemahnya peran negara; 4. membiarkan para milisi sipil yang melakukan tindak kekerasan sebagai wujud dari lemahnya penegakan hukum dan lemahnya peran negara; dan 5. dominannya politisasi identitas sosial dan abainya sebagian masyarakat pada konstitusi negara yang menjamin keragaman atau kebhinekaan.12

II.3. Kasus Perempuan Ahmadiyah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) mendefinisikan istilah diskriminasi terhadap perempuan sebagai pembedaan, pengesampingan atau pelarangan apa pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan oleh perempuan, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar persamaan lelaki dan perempuan, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain apa pun.13 Dengan meratifikasi
12

http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/013/2010/en/3913399f-5984-4e4c-97c9b9d928d4c0be/asa210132010in.pdf
13

CEDAW, ps.1.

12 CEDAW, negara artinya berkomitmen untuk menjalankan serangkaian cara-cara guna mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuk, termasuk: Memasukkan prinsip kesetaraan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum mereka, menghapus semua undangundang diskriminatif dan mengesahkan undang-undang yang tepat yang melarang adanya diskriminasi terhadap perempuan; Membentuk pengadilan dan lembaga umum lainnya guna memastikan adanya perlindungan efektif terhadap perempuan dari diskriminasi; dan Memastikan penghapusan semua tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang-orang, organisasi atau perusahaan14 Pada bulan September tahun 2005, perwakilan komunitas Ahmadiyah melakukan pengaduan yang direspon oleh Komnas Perempuan, yaitu untuk melakukan pemantauan dan pencarian fakta tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia. Oleh sebab itu, Komnas Perempuan merasa sangat perlu menindaklanjuti pengaduan tersebut. Salah satu tindak lanjut tersebut adalah pemantauan HAM terhadap kondisi perempuan Ahmadiyah di Cianjur dan Nusa Tenggara Barat (NTB) pada bulan Mei Agustus tahun 2006. Laporan ini akan diteruskan ke Presiden, Pelapor Khusus PBB dan elemen-elemen terkait. Dalam pemantauan tersebut Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami diskriminasi berlapis, baik karena mereka perempuan, mereka juga anggota kelompok minoritas yang sedang menjadi sasaran penyerangan. Perempuan Ahmadiyah mengalami pelanggaran-pelanggaran HAM, salah satunya hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Terjadinya pelanggaran hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan terlihat dari 2 (dua) kasus di bawah ini : 1. Pada perempuan Ahmadiyah ditemukan fakta diskriminasi berlapis dalam berbagai bentuk, salah satunya hak perempuan untuk berkeluarga dan melanjutkan ketururunan. Di Lombok Tengah, pasangan suami istri dianggap berzina ketika
14

CEDAW, ps.2.

13 melakukan hubungan seksual lantaran perempuan yang dinikahi seorang Ahmadiyah, dan anak yang dilahirkan dicap sebagai anak haram. 2. Terdapat kesaksian seorang ibu tentang anak perempuannya yang menikah dengan Muslim yang bukan Ahmadiyah dianggap tidak sah, dipandang zina, dan anaknya dipandang sebagai anak haram. Gugatan ini dilakukan oleh pihak KUA Praya yang telah menikahkan mereka. Akibat kejadian ini, keluarga merasa yang membuat perempuan mengalami stres. Komnas Perempuan menegaskan bahwa komunitas Ahmadiyah secara keseluruhan adalah korban pelanggaran HAM yang mencakup pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama yang berkaitan dengan hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Komnas Perempuan mencatat 23 produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembagalembaga Negara dan Pemerintahan, 8 di tingkat nasional dan 15 di tingkat lokal, yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, anak dan komunitas Ahmadiyah. Isi maupun dampak dari kebijakan-kebijakan ini melanggar hak-hak asasi perempuan, anak dan komunitas Ahmadiyah sebagai manusia dan sebagai Warga Negara Indonesia. Tercatat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada 3 November 2002, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pelarangan aliran/ajaran komunitas Ahmadiyah Indonesia wilayah Kabupaten Kuningan yang ditandatangani oleh MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan pimpinan pondok pesantren dan ormas Islam Kabupaten Kuningan. Selain itu di Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada tanggal 20 Juli 2005, juga mengeluarkan pernyataan bersama tentang pelarangan kegiatan Komunitas Ahmadiyah di wilayah tersebut. Beberapa SKB kemudian muncul di sejumlah daerah lain seperti di Garut dan Sukabumi. Puncaknya, pada tanggal 9 Juni 2008 Pemerintah mengeluarkan SKByang ditandatangani Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung bernomor KEP033/A/JA/6/2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Aggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Saat tulisan ini dibuat, pro kontra munculnya SKB ini terus berlanjut. Dari pantauan Komnas Perempuan saat penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah berlangsung ditemukan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia, di antaranya hak atas

14 kebebasan beragama yang telah menjadi amanat UUD 1945 Pasal 28 E ayat (1), hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (pasal 28G ayat (2) UUD 1945), dan hak atas perlindungan yang juga telah menjadi riuh bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (1). Atas dasar fakta-fakta di atas, Komnas Perempuan mendesak agar Pemerintah memberikan penegasan yang efektif tentang hak atas kebebasan beragama bagi setiap anggota komunitas Ahmadiyah, termasuk kaum perempuan dan anak-anak Ahmadiyah, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 bagi seluruh warga negara Indonesia, dan mengambil langkah nyata untuk mencabut semua produk kebijakan negara terkait komunitas Ahmadiyah yang bertentangan dengan UU 1945.15

Upaya-upaya Pemenuhan Hak untuk Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan terhadap Perempuan Ahmadiyah

1. Pertemuan Teolog dan Pendamping Perempuan Koban Kekerasan dalam memaknai keadilan bagi perempuan korban yang berkiblat pada perspektif agama merupakan satu sejarah baru bagi Komnas Perempuan. Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 23 November 2007 adalah bentuk perhatian khusus untuk membangun keterlibatan dengan para pemimpin agama. Komnas Perempuan menganggap bahwa peran lembaga agama sangat besar pengaruhnya terhadap penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertemuan yang berlangsung selama empat jam menghasilkan kesepakatan bersama, bahwasanya semua pemuka agama menyepakati pelaksanaan kerjasama dalam Memaknai Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Perspektif Agama. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai, diantaranya : - Membangun konsep bersama tentang keadilan bagi perempuan korban kekerasan; Mengembangkan kerjasama dengan institusi agama untuk berpihak pada pemenuhan keadilan bagi perempuan korban;
15

http://www.komnasperempuan.or.id/old/demo08.trabas.web.id/metadot/indexf206.html? id=3775&isa=Category&op=show_printer_friendly

15 Mengidentifikasi peluang pemenuhan keadilan bagi perempuan korban dalam komunitas agama dan budaya; Membangun konsep dan mekanisme alternative untuk penyelesaian kasus di dalam masyarakat yang melindungi hak-hak korban. 2. Sebagai ajang untuk pembelajaran bersama dan berbagi pengalaman dan pengetahuan di kalangan internal lembaga, Komnas Perempuan mengadakan ajang diskusi yang diberi nama Forum Belajar Internal (FBI). Diskusi yang berdurasi tiga jam ini, untuk pertama kalinya digelar pada Juni 2007 dengan tema Perkawinan tidak Tercatat. Tema ini dipilih berdasarkan banyaknya temuan tentang ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap berbagai isu yang sedang marak di masyarakat, terutama soal pencatatan perkawinan. Jika terus dibiarkan, akan sangat mungkin perkawinan tidak tercatat dijadikan ruang eksploitasi perdagangan perempuan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan merasa perlu melakukan riset tidak hanya dengan menggunakan perspektif negara-negara berpenduduk Islam saja, tapi juga dengan memadukan konsep yang ada di beberapa negara Eropa. Sistem yang berlaku di negara Eropa dinilai mempunyai pola yang lebih moderat dan dapat menjawab kebutuhan Komnas Perempuan dalam melakukan langkah kongkret. Langkah itu adalah menyadarkan masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan.16

16

www.komnasperempuan.or.id

16

BAB III PENUTUP

III.1.Kesimpulan Setiap manusia memiliki hak yang melekat padanya sejak lahir atau yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Terdapat 8 jenis HAM yang diatur oleh UU Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain: hak untuk hidup; hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; hak mengembangkan diri; hak memperoleh keadilan; hak atas kebebasan pribadi; hak memperoleh rasa aman; hak atas kesejahteraan; hak wanita; dan hak anak. Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas hak-haknya, termasuk hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkeluarga dalam hal ini berarti terikat

17 perkawinan yang sah segaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut, perkawinan yang sah adalah perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan para pihak. Konstitusi Indonesia juga memberikan kebebasan dalam menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya itu. Berdasarkan ketiga hal tersebut, yang merupakan dasar bahwa setiap orang berhak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, maka seharusnya tidak ada pengecualian bagi kaum minoritas seperti yang terjadi pada perempuan Ahmadiyah. Mereka menjalankan agama sesuai dengan apa yang mereka yakini, dan berhak mendapat pengesahan atas perkawinan yang mereka lakukan. Dengan tidak terpenuhinya hak perempuan Ahmadiyah untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunannya, seperti yang terjadi di Lombok Tengah, maka sama saja dengan melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, termasuk juga melanggar konstitusi Indonesia.

III.2.Saran Adapun saran yang dapat diberikan menghadapi permasalahan ini adalah : 1. Untuk pemerintah : Pemerintah dapat mempertegas sikapnya dalam menghadapi kaum minoritas, khususnya perempuan Ahmadiyah, agar mereka memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum; Pemerintah dapat memberikan sanksi bagi mereka yang melakukan kekerasan dan pengucilan terhadap perempuan Ahmadiyah; Pemerintah seharusnya melegalkan perkawinan yang dilakukan perempuan Ahmadiyah, karena mereka bukanlah atheis (tidak beragama), melainkan menjalankan agama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Pemerintah harus lebih tegas dalam penegakkan HAM;

18 Pemerintah seharusnya mencabut SKB Ahmadiyah No.3 Tahun 2008 Nomor:KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor:199 Tahun 2008. SKB tersebut tidak sesuai dengan konstitusi dan seperangkat peraturan mengenai pengegakkan HAM, khususnya untuk menjalankan agama sesuai dengan apa yang diyakininya, sahnya perkawinan menurut hukum agamanya, dan hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan bagi perempuan Ahmadiyah. 2. Untuk masyarakat : Masyarakat diharapkan dapat menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum minoritas, khususnya perempuan Ahmadiyah, dengan tidak melakukan kekerasan dan pengucilan terhadap mereka.

You might also like