You are on page 1of 6

Ibnu Rusydi (Averrous) 1126-1198

Ibnu Rusydi dilahirkan pada tahun 1126 M di Qurtubah (Cordoba) dari sebuah keluarga bangsawan terkemuka. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Cordoba, dan banyak pula saudaranya yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang kelauarga tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitasnya di kemudian hari. Abul al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusydi atau Averrous, merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh pada abad ke12 dan beberapa abad berikutnya. Ia adalah seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Kebesaran Ibnu Rusydi sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau jiwa zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia (Spanyol) di bawah pemerintahan Dinasti Abasiyah. Para penguasa muslim pada masa itu mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karyakaryanya masih tetap terpelihara sampai sekarang. Liku-liku perjalanan hidup pemikir besar ini sangatlah menarik. Ibnu Rusydi dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir Al Quran dan Hadits ataupun dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu Al Kuliyat Fil-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran. Kecerdasan yang luar biasa dan pemahamannya yang mendalam dalam banyak disiplin ilmu, menyebabkan ia diangkat menjadi kepala qadi atau hakim agung Cordoba, jabatan yang pernah dipegang oleh kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al Murabitun di Afrika Utara.Posisi yang prestisius dan tentunya diimpikan banyak orang. Posisi tersebut ia pegang pada masa pemerintahan Khalihaf Abu Yakub Yusuf dan anaknya Khalifah Abu Yusuf.

Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusydi dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rusydi menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani. Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunanakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi. 1. Karya-Karyanya Ibn Rusyd seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah putus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dalam perkawinan dirinya. Lebih jelas lagi dalam kitab at-Takmilah, Ibn al-Abbar melukiskan pribadi Ibn Rusyd sebagai berikut: Abul Walid Muhamad Ibn Ahmad Ibn Ahmad Ibn Rusyd tidak pernah lahir di Andalus seorang insane yang sebanding dengannya dalam kesempurnaan, ilmu dan keutamaan. Kendatipun disegani dan dimuliakan, ia sangat rendah diri terhadap orang lain. Sejak kecil sampai tua, ia menaruh minat kepada ilmu, sehingga diriwayatkan bahwa ia tidak meninggalkan bernalar dan membaca sejak mulai berakal, kecuali malam meninggal ayahnya dan malam membina keluarganya ( malam perkawinan ). Ia menulis mengulas dan meringkaskan kira-kira sepuluh ribu lembar kertas. Ia gemar kepada ilmu orang-orang dulu, sehingga menjadi imamah (pimpinan) dalam zamannya. Fatwanya dalam ilmu kedokteran dan ilmu fiqh menjadi pegangan orang, di samping pengetahuannya yang luas dalam bahasa dan sastra Arab. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang ulama dan sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan zamannya yang tercermin dalam pelbagai judul kitab yang ditulisnya. Karangannya meliputi berbagai ilmu seperti fiqh, usul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tulisannya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan atau ringkasan. Menurut Ernest Renan, seorang peneliti sarjana Perancis telah berusaha mencari bukubuku karangan Ibn Rusyd di pelbagai perpustakaan di Eropa. Di perpustakaan Eskurial di Madrid, ia telah menemukan suatu daftar buku-buku karya Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd. Dalam daftar tersebut ia menemukan karya Ibn Rusyd sebanyak 78 judul, baik dalam bidang filsafat, kedokteran, fiqh maupun teologi. dengan rincian dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 28 judul dalam ilmu filsafat 20 judul dalam ilmu kedokteran 8 judul dalam ilmu hukum Islam (fiqh) 5 judul dalam ilmu kalam ( teologi ) 4 judul dalam ilmu buntang ( astronomi ) 2 judul dalam ilmu sastra Arab

11 judul dalam perbagai ilmu pengetahuan lain. Buku buku tersebut hampir semuanya dalam bahasa latin dan Ibrani yang merupakan terjemahan dari buku-buku asli yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian buku-buku asli telah hilang, kecuali sepuluh buah dalam ilmu filsafat, tiga buah dalam ilmu kedokteran, tiga buah dalam ilmu hukum dan dua buah dalam ilmu kalam. Diantara buku-buku Ibn Rusyd yang terkenal dan sampai kepada kita adalah : 1. Bidayatul Mujtahid, dalam ilmu fiqh; Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran) dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing. 1. Fashlul Maqal bi ma bainal Hikmah.. wa Syariah min al ittishal, dalam ilmu kalam . Buku ini ., dimaksudkan untuk menunjukan adanya persusuaian antara filsafat dengan syariat, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M. Oleh Muller, ahli ketimuran Jerman. 2. Manahij al-Adillah fil aqaid al-Millah, juga dalam ilmu kalam. Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahankelemahannya, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Muller tersebut pada tahun 1895 juga. 1. Tahafut al-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimaksudkan membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya tahafit al-Falasifah. Buku tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh Van den Berg terbitan tahun 1952. 1. Dalam Ilmu Kedokteran, al-Kulliyat Bahan yang terpenting dalam buku ini, suatu kenyataan ilmiah yang oleh ilmu kedokteran modern dibenarkan dan ditegaskan kebenarannya, bahwa penyakit cacar tidak mendatangi seseorang dua kali, dan menjelaskan pula tugas selaput jala mata. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Rusyd disamping sebagai ahli hukum, filosof, dokter juga dikenal sebagai penulis yang produktif pada zamannya. Bahkan hampir separoh dari umurnya dipenuhi oleh karya-karya yang bermunculan, sejak ia berumur 36 tahun sampai dengan 70 tahun. Tulisan-tulisan tersebut hampir tiap tahun dihasilkan oleh Ibn Rusyd. Untuk jelasnya, sebagian hasil karya Ibn Rusyd yang ditulis berdasarkan tahapan umurnya, dapat disebutkan sebagai berikut : Pada umur 36 tahun ia menulis Al Kulliyat bit tib Pada umur 43 tahun ia menulis Syarh ash Shogir lil Juziyat walhayawan Pada umur 44 tahun ia menulis Syarh al-Wasit lit Tabiah wat-Tahlilat Pada umur 45 tahun ia menulis Syarh as-Sama wal-Alam Pada umur 49 tahun ia menulis Syarh al-Shogir lil Fashohah uzs Syiri lima bada at-Tabiah Pada umur 51 tahun ia menulis Syarh al-Wasit lil Akhlak Pada umur 53 tahun ia menulis Badu Ajzai mim madah al-Ajram Pada umur 54 tahun ia menulis Al-Kasyf an manahij al Adillah Pada umur 61 tahun ia menulis Syarh al-Kabir lit-Tobiah. Pada umur 68 tahun ia menulis Syarh Chalinus. Pada umur 70 tahun ia menulis Al Mantiq. Itulah sebagian dari karya Ibnu Rusyd yang dapat diungkapkan berdasarkan dan informasi sejarah, tentu saja yang belum sempat dicatat masih banyak. 1. Kritikan/Bantahan Ibnu Rusyd Terhadap Tuduhan al-Ghazali.

Sebagaimana diketahui bahwa Imam al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah (1) Kekadiman alam, (2) Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juziyat) dan (3) pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat. 1. Kaqadiman Alam Mengenai masalah alam qadim, antara kaum teologi dan kaum filosof, memang terdapat perbedaan tentang arti dan . Bagi kaum teolog al-ihdas mengandung arti menciptakan dari tiada, sedang kaum filosof kata itu berarti menciptakan dari ada. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak bisa dirubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah wujud berobah menjadi wujud dalam bentuk lain. Demikian juga kaum teolog, qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab. Bagi kaum filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya sesuatu yang berwujud tanpa sebab tetapi boleh juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab dengan kata lain sungguhpun ia disebabkan ia boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujud Qadim, dengan demikian, adalah sifat bagi sesuatu yang dalam kejadian kekal, kejadian terus menerus yaitu kejadian yang tidak bermula dan tak berakhir. Dalam pemikiran al-Ghazali , sewaktu Tuhan menciptakan alam , yang ada hanya Tuhan. Tidak ada sesuatu yang lain disamping Tuhan ketika Ia menciptakan alam. Terhadap pemikiran al Ghazali tersebut Ibn Rusyd mengajukan bantahannya, bahwa sewaktu Tuhan menciptakan alam sudah ada sesuatu disamping Tuhan. Dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan Tuhan, itulah Tuhan menciptakan alam. Untuk memperkuat bantahannya Ibn Rusyd mengemukakan beberapa ayat dalam al-Quran. Artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahtaNya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Ia uji siapa di antara kamu yang lebih (baik amalnya (Hud : 7 Ayat tersebut, menurut Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sewaktu Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada sesuatu di samping Tuhan, yaitu air. Artinya : Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa keduanya menjawab: kami datang dengan suka hati (Fushshilat :11). Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit telah ada uap disamping Tuhan. Dalam memberi komentar ayat yang terakhir ini Ibn Rusyd mengatakan : ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa langit diciptakan dari sesuatu. Pendapat kaum teolog tidak sesuai dengan arti lahir ayat mereka dalam hal ini sebenarnya memakai tawil. Disini terjadi perbedaan penafsiran ayat. Kaum filosof termasuk Ibn Rusyd mengambil arti lafdzi, sedangkan bagi kaum teolog termasuk alGhazali mengambil bentuk pengertian dalam arti tawil. Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan, telah ada benda lain, yaitu air dan uap, jadi bukan diciptakan dari tiada, oleh karena itu alam ini dalam arti unsurnya bersih kekal dari zaman lampau yaitu qadim. B. Tuhan tidak mengetahui perincian (juziyat) Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas dalam al-Quran, sehingga telah merupakan consensus dalam kalangan umat Islam. Hanya bagaimana Tuhan mengetahui hal-hal yang parsial ( juziyat ) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan. Terhadap tuduhan al-Ghazali, bahwa Tuhan tidak mengetahui princian yang ada dalam alam ini, Ibn Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan yang demikian. Menurut Ibn Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan zatNya pengetahuan Tuhan tidak bersifat juzI maupun bersifat kulli,

sebagaimana manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat. Selanjutnya pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapun kecilnya. Jadi, bagi Ibn Rusyd bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil/perincian, artinya Tuhan tidak mengetahui perincian itu dengan ilmu baru, dimana syarat ilmu baru itu dengan kebaharuan peristiwa/perincian tersebut, karena Tuhan menjadi sebab (illat) bagi perincian tersebut, bukan menjadi akibat (musabbab ) dari padanya seperti halnya dengan ilmu baru, ilmu Tuhan bersifat qadim tidak berubah, karena perubahan peristiwa. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian Tuhan Yang Maha Mengetahui segala-galanya. 1. Kebangkitan jasmani tidak ada Dalam kitab Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti di surga. Tentang masalah pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tidak menyebut nyebut hal itu. Semua agama menurut Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Namun, perlu disadari maksud pokok dari Syariat adalah menghimbau manusia untuk selalu melakukan perbuatan terpuji dan meninggalkan perbuatan jahat sehingga ajaran yang dibawa oleh agama harus sesuai dengan tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di akhirat harus disampaikan dalam wujud jasmani. Untuk itu, Ibn Rusyd dalam kitabnya Tahafut al-Tahafut mengemukakan firman Allah yang maksudnya perumpamaan surga bagi orang-orang muttaqin disisi Allah, sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Dan juga sabda Rasulullah saw. Artinya : Di dalammya ( surga ) terdapat apa yang tidak pernah mata melihat dan telinga mendengar serta tidak pernah tergores dalam kalbu manusia. Ini berarti kata Ibn Rusyd bahwa dalam surga, manusia tidak dalam wujud jasad, dan apa yang diajarkan al-Quran tentang surga dan isinya harus difahami secara metafora. Demikian pula Ibn Abbas mengatakan bahwa tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersih keduniaan kecuali nama saja, hidup di akhirat lebih tinggi dari hidup di dunia. Dalam pada itu, Ibn Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, karena dalam beberapa tulisannya terjadi kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut al Falasifah bertentangan dengan apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. Dalam buku Tahafut al Falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada orang Islam yang berpendapat adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku tentang tasawuf ia menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak dapat dikafirkan. Apalagi al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya pada ijma ulama. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn Rusyd (kaum filosof) dengan al-Ghazali (kaum Teolog) berkisa sekitar interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd ( kaum filosof ) maupun al Ghazali ( kaum teolog ) tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam diciptakan. Hanya yang menjadi

permasalahan ialah, apakah semenjak azal Tuhan menciptakan sehingga alam dengan demikian menjadi qadim, ataukah Tuhan menciptakan tidak semenjak azal, sehingga alam bersifat baru. Kaum filosof ( Ibn Rusyd ) berpendapat Tuhan menciptakan semenjak qidam sedangkan kaum teolog ( al Ghazali ) tidak semenjak qidam. Kedua fihak mengakui adanya hari perhitungan dan yang di permasalahkan adalah apakah yang menghadapi perhitungan itu roh atau tubuh, ataukah hanya roh manusia saja. Menurut kaum filosof ( Ibn Rusyd ) hanya roh, sedangkan menurut kaum teolog ( alGhazali ) tubuh dan roh. Kedua golongan sama-sama mengakui bahwa T uhan mengetahui perincian ( juziyat ) dan yang dipersoalkan kaum filosof cara Tuhan mengetahui yang juhalziyat itu. Jelas kiranya yang terdapat disini hanyalah perbadaan ijtihad, dan perbedaan ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran. Bahkan Nabi bersabda yang artinya Jika seorang benar dalam ijtihadnya ia mendapat dua pahala, dan jika salah, mendapat satu.

You might also like