You are on page 1of 36

SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM

DI INDONESIA

Penulis:
Ust. Ir. Umar Abdullah

Editor:
KH. Ir. M. Shiddiq al-Jawi
Dr. Ing. H. Fahmi Amhar
Usth. Ir. Lathifah Musa

Naskah ini telah diangkat dalam


VCD Sejarah Penerapan Syariat Islam di Indonesia Seri 1,
El-Moesa Production, 2007

El-Moesa Production

2007

1
PENGANTAR

Menelusuri sejarah penerapan syariat Islam di Indonesia, bagai


mengurai benang kusut yang tercampuri debu dan potongan-potongan
benang menyesatkan. Para peneliti dituntut kemampuan memilah
mana yang fakta sejarah dan mana yang opini sejarah. Belum lagi
banyaknya mitos yang tampaknya sengaja ditaburkan untuk
mengaburkan makna penerapan syariat Islam yang sesungguhnya.
Opini-opini sejarah yang berasal dari para penulis sejarah non
muslim kebanyakan beranjak dari persepsi mereka yang keliru tentang
Islam. Apalagi bila opini tersebut berasal dari orang-orang yang
sengaja disusupkan penjajah untuk memberikan rekomendasi yang
dapat menghancurkan Islam dari dalam. Sebagai contoh, keharusan
berhati-hati ketika mengambil pendapat Snouck Hugronje yang
disusupkan kafir penjajah Belanda untuk mempelajari cara yang
paling tepat menghentikan perjuangan dan perlawanan umat Islam.
Mitos juga banyak dikembangkan untuk memalingkan umat
Islam dari perjuangan penerapan Islam yang sesungguhnya. Mitos-
mitos yang menyelimuti Wali Songo banyak ditanamkan melalui
kisah-kisah di kalangan masyarakat Jawa. Sisi bahwa Wali Songo
yang sesungguhnya adalah para dai ulama utusan kesultanan-
kesultanan di seluruh penjuru Khilafah Islamiyah untuk menata
dakwah di tanah Jawa serta memperjuangkan penerapan syariat Islam
dalam bentuk kesultanan-kesultanan Islam, menjadi lembaran sejarah
yang hilang di kalangan masyarakat Jawa. Yang banyak diangkat
untuk menghapus dan menyimpangkan perjuangan para wali adalah
mitos-mitos yang bahkan tercampuri dengan bid’ah, syirik dan
khurafat.
Menelusuri jejak penerapan syariat Islam di Indonesia, adalah
menata fakta-fakta sejarah dan menarik benang merahnya dengan
Khilafah Islamiyah yang saat itu menjadi payung besar pelindung
kaum muslimin dan negara nomor satu di dunia tanpa pesaing. Para
peneliti harus berhati-hati dan memiliki gambaran utuh terhadap
pemikiran-pemikiran Islam, metode penegakannya, sejarah
penerapannya dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiyah, dan

2
bagaimana bentuk sistem pemerintahannya. Mereka juga harus
memahami bagaimana Rasulullah saw. memperjuangkan Islam
pertama kali, membangun institusi negara Islam di Madinah, dan
menyebarkannya ke seluruh Jazirah Arab; bagaimana para khalifah,
dan para gubernurnya menyebarkan Islam dan meluaskan wilayah
Negara Islam. Mereka juga harus memiliki kerangka ideologis Islam
yang mampu memberikan gambaran bagaimana Islam dengan mudah
diterima oleh masyarakat nusantara dengan jalan mengubah cara
berfikir masyarakat dan ahlu quwwahnya, dan berkembang secara
pesat ke seluruh penjuru nusantara. Islam sebagai ideologilah yang
mampu membentuk budaya dan kultur mulia masyarakat nusantara
yang bertahan selama berabad-abad.
Secara khusus, kami menyampaikan terima kasih dan kecintaan
yang teramat dalam kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
rahimahullah, pendiri Hizbut Tahrir, atas penjelasan beliau yang
sangat mencerahkan dalam Kitab at-Tafkir (diterjemahkan dalam
Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, 2006). Dalam kitab inilah,
kami mendapatkan kerangka berfikir yang memudahkan membaca
sejarah, memahami mana fakta sejarah dan mana opini sejarah beserta
asumsi-asumsinya. Dengan kerangka berfikir inilah kami juga mampu
memahami adanya distorsi-distorsi yang terbaca dalam sejarah
Indonesia yang memalingkan dari kebenaran sejarah. Hanya dengan
kemudahan dan pertolongan Allah SWT, kebenaran sejarah dapat
terungkap.
Kaum muslimin di Indonesia, adalah cucu-cucu keturunan para
da’i ulama dari poros Khilafah Islamiyah, keturunan para sultan
pemberani yang dengan kekuatan aqidahnya mampu mengganti sistem
kerajaan Hindu-Budha menjadi kesultanan Islam yang mulia, anak
cucu Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Tuanku Imam Bonjol,
dan para pejuang pembela Islam mulai dari Sabang hingga merauke
yang bahagia gugur sebagai syuhada. Semoga doa dan harapan para
ulama dan pejuang terdahulu mulai tumbuh, bersemi dan terkabul
pada generasi saat ini.
Dan kini, sebesar apapun kesungguhan negara-negara salib
Eropa, kaum nasionalis sekuler dan golongan Kristen yang telah
berhasil menutup-nutupi, menyimpangkan, dan memutarbalikkan

3
fakta sejarah Indonesia, Allah yang Maha Kuasa telah menetapkan
rencana lain. Jejak-jejak Syariat Islam dan Khilafah di Indonesia kian
terungkap seiring dengan kembalinya kecintaan masyarakat Indonesia
terhadap Syariat Islam serta pembelaan mereka terhadap Khilafah.
Kami persembahkan karya ini kepada bangsa yang pernah
dimuliakan Allah SWT. Semoga Allah SWT membimbing kembali
bangsa ini kepada kemuliaan Islam. Amin.

Bogor, 11 Februari 2007

Editor,

Lathifah Musa

4
DAFTAR ISI
PENGANTAR .............................................................................. 2
PERMULAAN DAKWAH ISLAM KE INDONESIA ............... 7
Khilafah Islam Menjadi Negara Nomor Satu di Dunia ........... 7
Dakwah kepada Raja Srindravarman ...................................... 8
Dakwah Islam di Peureulak .................................................... 9
Kesultanan Peureulak; Kesultanan Islam Pertama
di Nusantara ........................................................................ 9
SYARIAT ISLAM MULAI DITERAPKAN DI INDONESIA .. 10
MENJADI BAGIAN DARI KHILAFAH ISLAM ..................... 11
Syarif Makkah ......................................................................... 11
Syarif Makkah Mengangkat Meurah Silu Menjadi Sultan ...... 11
Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam ................................... 12
Dakwah Islam Besar-besaran dari Pasai ke Seluruh Nusantara 12
Target Politis ............................................................................ 13
Dakwah Poros Khilafah ........................................................... 13
Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa ........................................ 15
Kesultanan Demak Berdiri ...................................................... 16
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten .......................... 16
Dakwah Islam Tanpa Kekerasan ............................................ 17
Majelis Syura Para Sultan ....................................................... 17
BERDIRI KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM DI
NUSANTARA ............................................................................ 18
Poros Kekuasaan Islam Nusantara .......................................... 23
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA SELAMA
10 ABAD LEBIH HINGGA 1904 M ...................................... 24
Penerimaan Ahlul Quwwah terhadap Ideologi Islam .............. 24
BIDANG PEMERINTAHAN ............................................... 24
Kesultanan-Kesultanan Nusantara Setingkat Karesidenan .. 25
Lembaga Pembantu Sultan .................................................. 25
Kekeliruan Penerapan Sistem Putra Mahkota ..................... 26
Kesalahan Pengangkatan Sultan Wanita ............................ 26

5
BIDANG PERADILAN ......................................................... 26
Pejabat Peradilan ................................................................. 27
Kitab Undang-undang Peradilan ......................................... 27
Lembaga Syaikhul Islam ..................................................... 28
BIDANG EKONOMI ........................................................... 28
Perdagangan Komoditas Primadona .................................. 28
Nusantara Mengalami Kemakmuran .................................. 29
Penggunaan Sistem Syarikah ............................................. 30
Perdagangan Tingkat Kabupaten ....................................... 31
Mata Uang .......................................................................... 31
Kepemilikan Tanah ............................................................ 31
BIDANG BAHASA .............................................................. 31
BIDANG BUSANA .............................................................. 32
BIDANG PERIBADAHAN ................................................... 32
BIDANG PENDIDIKAN ....................................................... 33
Pendidikan Dasar ................................................................. 33
Pendidikan Menengah & Tinggi ......................................... 33
Pesantren ............................................................................. 34
Pengiriman Pelajar ke Pusat-pusat Ilmu ............................. 34
BIDANG KESENIAN ............................................................ 34
Seni Suara ........................................................................... 35
Kreasi Permainan Anak ..................................................... 35
Seni Pertunjukan, Musik & Ukir ........................................ 35
Seni Tata Kota .................................................................... 36
Seni Arsitektur .................................................................... 37
Seni Sastra .......................................................................... 37
PENERIMAAN MASYARAKAT NUSANTARA TERHADAP
ISLAM ....................................................................................... 38
Syariat Islam Menyatukan Nusantara .................................... 38
Menjaga Kesatuan Negeri-negeri Islam ................................. 38
PENUTUP ................................................................................. 39
RUJUKAN ................................................................................. 40

6
PERMULAAN DAKWAH ISLAM KE INDONESIA

Khilafah Islam Menjadi Negara Nomor Satu di Dunia


644 M
Pada tahun 23 H/ 644 M Islam yang terwujud dalam negara
Khilafah menjadi negara nomor satu di dunia tanpa pesaing, setelah di
masa pemerintahan Khalifah ’Umar bin Khaththab ra., Khilafah
Islam berhasil membebaskan Persia, Mesir dan Syam dari cengkraman
dua negara adidaya saat itu, yakni Romawi Bizantium dan Kisra
Dinasti Sasan. Di masa pemerintahan Khalifah ’Utsman bin ’Affan
ra. (23–35 H/ 644–656 M), ke arah timur wilayah kekuasaan Islam
meluas hingga ke India. Pada masa inilah risalah Islam berhasil
mencapai pusat Kekaisaran Cina, kawasan Kanton, Pulau Sumatera
dan Kerajaan Kalingga di Jawa dibawa oleh utusan-utusan Khilafah
Islam, baik oleh misi dakwah yang dipimpin Saad bin Abi Waqash
ra. maupun misi dakwah yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan
ra.
715 M
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin ’Abdul Malik
dari Bani Umayyah (715 M), wilayah Khilafah Islamiyah
membentang sangat luas dari Punjab di India hingga Andalusia di
Eropa.
717 M
Dan pada tahun 98 H/ 717 M Khilafah Islam yang dipimpin
oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. berhasil menerapkan
Syariat Islam dengan baik. Penerapan peradaban Islam yang dilakukan
oleh Khilafah Islam ini memudahkan Muslim Arab, Persia dan India
yang berdagang hingga ke Nusantara (Archipelago) mendakwahkan
Islam ke penduduk nusantara, mulai dari aspek aqidah, ibadah, sistem
ekonomi, sosial, peradilan hingga sistem pemerintahannya. Karena
dakwah Islam yang paling efektif adalah dengan melihat langsung
bagaimana syariat Islam diterapkan. Dari interaksi dakwah Islam yang
terjadi di kalangan para pedagang inilah penduduk di nusantara
mengenal Islam dan kemuliaan peradabannya.

7
Dakwah kepada Raja Srindravarman
718 M
Dakwah Islam yang bermula di kalangan pedagang ini akhirnya
sampai ke telinga para raja Hindu dan Budha yang tersebar di
Nusantara. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi (Kerajaan
Melayu) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah
meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.
Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu
raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang
binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua
sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala
dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak
12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain
dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar
tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya
seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman,
yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal
dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya
Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut
Budha.

Dakwah Islam di Peureulak


Pada masa Khalifah al-Ma`mun dari Bani Abbasiyah,
tepatnya tahun 820 M setitik harapan muncul dari pesisir utara pulau
Sumatera, di pusat perdagangan yang bernama Peureulak. Peureulak
saat itu adalah tempat persinggahan para pedagang muslim Arab dan
Persia. Di sana mereka mendakwahkan Islam ke penduduk Peureulak,
menikah dengan putri-putri Peureulak, sehingga lahirlah anak-anak
muslim campuran darah Arab, Persia dan Peureulak. Islamisasi

8
melalui jalur perdagangan dan pernikahan ini akhirnya menembus
jajaran elite penguasa Peureulak.

Kesultanan Peureulak; Kesultanan Islam Pertama di Nusantara


Islam akhirnya membuat perubahan yang luar biasa bagi
Peureulak dengan berdirinya Kesultanan Peureulak. Kesultanan
Peureulak didirikan pada hari Rabu 1 Muharram tahun 225 H (839 M)
dengan sultan pertamanya Sultan Alaiddin Sayid Maulana ‘Abdul
‘Aziz Shah. Kesultanan Peureulak beribukota di Bandar Peureulak
yang berganti nama menjadi Bandar Khalifah. Saat itu Khilafah
dipimpin oleh Khalifah al-Mu`tashim billah.

SYARIAT ISLAM MULAI DITERAPKAN


DI INDONESIA

839 M
Sejak Kesultanan Peureulak berdiri, Syariat Islam diterapkan di
salah satu bagian Indonesia yang oleh Marcopolo disebut dengan
nama The Law of Muhammad (Undang-undang Muhammad).
Sebagaimana Sribuza Islam, Kesultanan Peureulak ini pun
diserang oleh Kerajaan Sriwijaya Budha pada tahun 986 M. Pada
tahun 1006 M Sriwijaya Budha menarik pasukannya untuk
menghadapi Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa.

Khilafah Abbasiyah Mengalami Kemunduran


Sementara itu, di kawasan Timur Tengah, setelah mengalami
masa keemasannya, sejak Abad ke-4 H Khilafah Islamiyah yang
diperintah Bani Abbasiyah mengalami kemunduran akibat
melemahnya kemampuan berijtihad. Kemunduran ini terus
berlangsung hingga terjadinya Perang Salib di akhir abad ke-11 M.
Perancis yang mengambil alih kepemimpinan dunia bersama Inggris
menganeksasi wilayah Syam.

9
Kemunduran ini membuat Khilafah Islamiyah tak berdaya
ketika Pasukan Tartar yang dipimpin Hulaghu Khan dari Imperium
Mongol menyerbu dan menghancurkan Baghdad, ibukota Daulah
Khilafah Islamiyah saat itu, dan membunuh Khalifah al-Musta’shim
billah dari Bani Abbasiyah pada tahun 1258 M. Sejak itu kaum
muslimin hidup tanpa khalifah.
Meski demikian, di sebelah barat kota Baghdad, kaum
muslimin masih berada dalam naungan Kesultanan-kesultanan Islam.
Di Anatolia ada Bani Saljuk Rum, di Syam hingga Mesir ada Bani
Mamluk, dan di Hijaz berkuasa Syarif Makkah.

MENJADI BAGIAN DARI KHILAFAH ISLAM

Syarif Makkah
Syarif Makkah adalah penguasa Hijaz yang saat itu merupakan
wilayah setingkat propinsi dari Khilafah Abbasiyah. Ketika Sultan
Baybars al-Bandaqadari dari Kesultanan Mamluk membai’at al-
Mustansir billah dari Bani Abbasiyah sebagai khalifah pada tanggal 13
Rajab tahun 659 H atau 1261 M, Syarif Makkah pun menggabungkan
kembali wilayah Hijaz ke dalam kekuasaan Khilafah Abbasiyah ini.

Syarif Makkah Mengangkat Meurah Silu Menjadi Sultan


1261 M
Syarif Makkah juga yang mengirim misi dakwah yang berhasil
mengislamkan Samudra-Pasai dan menjadikannya sebagai bagian dari
Khilafah Islamiyah. Meurah Silu menjadi sultan di Kesultanan
Samudra-Pasai dengan gelar Sultan Malikus Saleh. Sehingga sejak
tahun 1261 M Kesultanan Samudra-Pasai menjadi bagian dari
Khilafah Abbasiyah Mesir, di bawah kontrol Makkah atau Serambi
Mekah. Dan memang begitulah seharusnya, setiap wilayah yang
berhasil di-Islamkan secara sukarela dan penguasanya pun bersedia
menerapkan Syariat Islam, maka wilayah tersebut wajib
menggabungkan diri menjadi bagian dari Khilafah Islamiyah.

10
Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam
Samudra-Pasai mengalami perubahan besar pada masa
pemerintahan Meurah Silu. Awalnya kesultanan ini adalah Kerajaan
Samudra dan Kerajaan Pasai yang pada tahun 433 H (1042 M)
digabungkan menjadi Kerajaan Samudra-Pasai. Pada tahun 659 H
(1261 M) Kerajaan yang terletak di pesisir timur laut Aceh ini diubah
menjadi kesultanan oleh Meurah Silu dengan nama resmi Kesultanan
Samudra-Pasai Darussalam. Meurah Silu menjadi sultan pertamanya
dengan gelar Sultan Malikus Saleh.
Tahun 1292 M Kesultanan Peureulak menggabungkan diri
dengan Kesultanan Samudra-Pasai yang sedang tumbuh dan
berkembang pesat, yakni

Dakwah Islam Besar-besaran dari Pasai ke Seluruh Nusantara


Sejak menjadi bagian dari Khilafah, Kesultanan Samudra-Pasai
melesat menjadi pusat koordinasi dan pengkaderan dai yang akan
dikirim ke seluruh penjuru Nusantara.
Dakwah Islam secara besar-besaran ke nusantara pun dimulai.
Dari Pasai, dakwah Islam menyebar melalui dua jalur:
• Jalur Malaka dan Jalur Giri di Gresik. Dari Malaka dakwah Islam
bergerak ke Johor, Kedah, Trengganu, Pattani, Kelantan, Campa,
Brunai, Sulu, Mindanao dan Manila. Dari Johor dakwah
menyebar ke Riau dan Siak. Dari Mindanao dakwah menyebar ke
Sulawesi Utara.
• Dari Giri dakwah Islam menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Barat,
Banten, Palembang, Tanjung Pura, Banjar, Sulawesi Selatan, dan
Ternate. Dari Ternate menyebar ke Buton dan Sulawesi Tengah.
Dan dari Sulawesi Selatan dakwah Islam menyebar ke Kutai di
Kalimantan Timur dan Bima di Nusa Tenggara.

Target Politis
Misi dakwah Islam ini memiliki target politik yang jelas, yakni
menyiapkan berdirinya kesultanan-kesultanan yang akan menerapkan
syariat Islam dan menggabungkannya dengan Khilafah Islam yang
saat itu diperintah oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah.

11
Penyiapannya dilakukan melalui dua jalur. Jalur pertama,
menyiapkan rakyat kerajaan dengan memunculkan kesadaran Islam
pada diri mereka. Jalur kedua, menyiapkan ahlul quwwah (pemilik
kekuatan riil) di kerajaan tersebut dengan mendakwahkan Islam
kepada mereka dan membantu mereka dalam metode dan strategi agar
mereka mampu menerapkan Syariat Islam dengan baik. Dalam sistem
kerajaan Hindu-Budha, pemilik kekuatan riil adalah raja dan para
pangeran, karena kekuatan militer berada langsung di bawah mereka.

Dakwah Poros Khilafah


Dakwah tidak lagi hanya dilakukan oleh para pedagang, tetapi
dilakukan Daulah Khilafah Islamiyah yang didukung oleh kesultanan-
kesultanan di seluruh penjuru wilayah Daulah Khilafah. Dukungan ini
dilakukan dengan mengirimkan para ulama terkemukanya untuk
diutus berdakwah ke nusantara. Poros Khilafah ini nampak jelas
seperti dalam misi dakwah Islam ke Pulau Jawa.
1404 M
Pada tahun 808 H (1404 M) berangkatlah Sembilan da`i ulama
dari berbagai tempat di wilayah daulah Khilafah atas sponsor Sultan
Muhammad Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke tanah Jawa
melalui Kesultanan Samudra Pasai. Mereka adalah Maulana Malik
Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari
Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam,
Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad
al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki,
Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari
Palestina, Muhammad Maulana Ali Akbar dan Syekh Subakir dari
Persia.
Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di
Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa
Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana
Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga
da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah
Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang

12
dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-
Kamboja(Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina(Sunan
Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi
Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Gelar sunan berasal dari kata
susuhunan yang berarti “yang dijunjung tinggi” atau “panutan
masyarakat setempat”.

Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa


1436 M
Misi dakwah Islam ke Tanah Jawa ini terorganisir dengan rapi
dengan pembagian tugas dan wilayah yang jelas. Pada sidang tahun
1436 M yang diadakan di Ampel, Surabaya, kelompok dakwah ini
membagi tugas dakwah menjadi sembilan pengurus atau wali: Sunan
Ampel (Raden Rahmat), Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro
mengurus Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana al-
Maghribi mengurus Jawa Tengah; sedang Syarif Hidayatullah,
Maulana Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin mengurus Jawa Barat.
Misi dakwah ini dikenal dengan nama misi dakwah Wali Songo
dengan pucuk pimpinan dipegang Sunan Ampel yang memiliki akses
paling dekat dan kuat dengan pemegang kekuasaan Kerajaan
Majapahit saat itu, yakni sebagai keponakan Prabu Brawijaya
Kertabumi.
Untuk menambah kekuatan SDM, masing-masing wali
mencetak kader-kader da`i melalui proses belajar mengajar dalam
halqah-halqah dan memberi tugas untuk berdakwah di daerah tertentu
hingga satu orang da`i membawahi wilayah setingkat kecamatan.
Sunan Ampel misalnya, yang bertanggung jawab untuk kawasan
Surabaya hingga pusat Kerajaan Majapahit di Mojokerto mengkader
Abu Hurairah menjadi Sunan Kapasan yang membawahi kecamatan
Kapasan di Surabaya. Dengan cara ini jumlah da`i semakin banyak
khususnya dari kalangan penduduk dan penguasa setempat.
Mulai tahun 1463 M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa
yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah
Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi
Sekardadu Putri Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan, Raden

13
Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan
Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu
Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari
kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali,
menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di
kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit, sehingga terbentuknya
sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Kesultanan Demak Berdiri


1478 M
Akhirnya setelah berjuang 75 tahun, target politik dakwah Wali
Songo pun tercapai. Berdirilah kesultanan Islam pertama di Jawa,
yakni Kesultanan Demak pada tahun 1478 M dengan Raden Hasan
al-Fattah sebagai sultan pertama. Raden Hasan yang bernama asli Jin
Bun adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi Raja Majapahit
terakhir dengan Dewi Kian seorang putri Cina. Saat itu Majapahit
telah runtuh akibat serangan Prabu Girindrawardana dari Kediri,
sehingga sebagai Pangeran Majapahit, Raden Hasan adalah pemegang
kekuasaan sah atas bekas wilayah Majapahit.

Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten


Sementara itu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,
seorang wali yang bertanggung jawab untuk kawasan Jawa Barat,
dengan strategi yang sangat jitu berhasil mendirikan Kesultanan
Cirebon dan Kesultanan Banten, serta menjalin hubungan dengan
Kekaisaran Cina. Syarif Hidayatullah adalah cucu Raja Siliwangi Raja
Hindu terakhir di Pajajaran Bogor dari Putri Rarasantang yang
menikah dengan Penguasa Mesir, Sultan Syarif Abdullah. Bersama
pamannya, Pangeran Walangsungsang putra Raja Siliwangi, Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Cirebon. Selanjutnya beliau
mendirikan Kesultanan Banten bersama Pangeran Sebakingking dan
Fatahilah atau Fadhilah Khan (Wong Agung Pasai). Kesultanan
Banten dipimpin oleh Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan
Maulana Hasanuddin putra Syarif Hidayatullah dari Nyi Kawungen

14
putri Adipati Banten. Sehingga dua kesultanan ini dipimpin oleh para
ahlul quwwah yakni para pangeran dari bekas Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Pajajaran sendiri kemudian berangsur redup dan akhirnya
tergantikan oleh kekuasaan Islam.

Dakwah Islam Tanpa Kekerasan


Demikianlah, karena pertolongan Allah semata, dakwah Islam
di tanah Jawa berlangsung dengan damai. Raja terakhir Majapahit,
Raja Brawijaya Kertabhumi misalnya, setelah mendapat penjelasan
dari Sunan Ampel dan Sunan Giri tentang Islam, dia berkata,
“Maksud agama Islam dan Budha adalah sama, yang berbeda adalah
cara ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat saya memeluk
agama baru ini, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan
keyakinan, tanpa paksa. Adapun mengenai diri saya sendiri, mungkin
kelak saya akan memeluknya...”.
Begitu pula Prabu Siliwangi, Raja Hindu terakhir Pajajaran.
Walaupun keduanya menolak masuk Islam, namun mereka
membiarkan rakyat, pangeran dan panglima perang mereka memeluk
Islam. Kondisi inilah yang menyebabkan Islam masuk ke tanah Jawa
dan pulau-pulau lain di nusantara dengan damai dan tidak
memerlukan pengiriman pasukan Jihad. Subhanallah!

Majelis Syura Para Sultan


Fungsi para wali yang dipimpin Sunan Ampel yang setelah
wafat dipegang oleh Sunan Giri ini, selain mengangkat para sultan di
tanah Jawa, adalah layaknya Majelis Syura bagi sang Sultan. Para wali
memberi arahan-arahan strategis kepada para sultan dalam
melaksanakan syariat Islam, baik dalam politik ketatanegaraan Islam,
pengajaran Islam kepada warga negaranya, hubungan dengan
Kesultanan Samudra-Pasai, maupun hubungan dengan negara
tetangga mereka: Majapahit, Pajajaran, Blambangan, dan Kekaisaran
Cina.

15
BERDIRI KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM
DI NUSANTARA

Dakwah besar-besaran dan bersifat politis dari Samudra-Pasai


Darussalam sang Serambi Mekkah ini berhasil memunculkan
kesultanan-kesultanan Islam berikutnya di seluruh nusantara mulai
abad ke-15 M hingga awal abad ke-19 M.

Kesultanan Brunai Darussalam


Pada tahun 1402 M berdiri Kesultanan Brunai Darussalam di
Kalimantan Utara dengan Awang Alang Betatar, seorang Raja
Brunai yang masuk Islam sebagai sultan pertamanya dengan gelar
Sultan Muhammad Syah.

Kesultanan Malaka
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1414 M berdiri Kesultanan
Malaka. Kesultanan Islam ini dikonversi dari Kerajaan Hindu oleh
Parameswara sang raja yang kemudian menjadi sultan pertamanya
bergelar Sultan Megat Iskandar Syah.

Kesultanan Sulu
Di Kepulauan Sulu Pada tahun 1457 M berdiri Kesultanan Sulu
dipimpin Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu
Bakr sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Demak
Di Jawa pada tahun 1478 M berdiri Kesultanan Demak dengan
Pangeran Jin Bun sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan
Alam Akbar al-Fattah. Sementara di Gresik berdiri Kesultanan Giri
dengan Raden Paku sebagai sultan pertama bergelar Prabu Satmata.

Kesultanan Pattani

16
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan
Pattani dengan Phaya Tu Nakpa, seorang raja Budha yang masuk
Islam, sebagai sultan pertama dengan gelar Sultan Islamil Syah.

Kesultanan Ternate
Di Kepulauan Maluku pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan
Ternate dengan Zainal Abidin sebagai sultan pertamanya. Selain
Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku berdiri Kesultanan Tidore,
Jailolo, dan Bacan.

Kesultanan Cirebon
Di akhir abad ke-15 M berdiri Kesultanan Cirebon di Jawa
Barat dengan Syarif Hidayatullah sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Aceh Raya Darussalam


Di Aceh, pada tahun 1511, kesultanan-kesultanan
menggabungkan diri menjadi Kesultanan Aceh Raya Darussalam yang
ibukota di Banda Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali
Mughayat Syah sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Mindanao
Di Mindanao pada tahun 1515 M berdiri Kesultanan Mindanao
dipimpin oleh Syarif Muhammad Kabongsua.

Bani Utsmaniyah Menyelamatkan Khilafah Islamiyah


1517 M
Sementara itu, di Mesir pada tahun 1517 M terjadi perpindahan
tampuk kekhilafahan dari Khalifah al-Mutawakkil ’Alallaah III dari
Bani Abbasiyah kepada Sultan Salim dari Turki Utsmani. Khilafah
Utsmaniyah yang menerapkan syari’at Islam dengan penuh keimanan
membuat tubuh khilafah yang lemah sejak masa Perang Salib hingga
masa Abbasiyah Mesir kini mulai menguat kembali.
Khilafah Utsmaniyah berhasil menyatukan hampir seluruh
wilayah Islam di bawah kekuasaannya, membentang dari Afrika Utara

17
hingga ke Nusantara. Khilafah kembali menjadi negara nomor satu di
dunia tanpa pesaing.
Seiring dengan meningkatnya kekuatan Khilafah Islamiyah,
kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara pun mencapai masa
keemasannya. Terjadi pemantapan pada kesultanan-kesultanan yang
telah ada, disamping berdiri kesultanan-kesultanan baru di wilayah-
wilayah lain di nusantara setelah para ahlul quwwah-nya menerima
Islam sebagai ideologi bagi kerajaannya.

Kesultanan Banten
Di ujung barat pulau Jawa pada tahun 1524 M berdiri
Kesultanan Banten dengan Pangeran Sebakingking sebagai sultan
pertamanya dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin.

Kesultanan Gorontalo
Di Sulawesi Utara pada tahun 1525 M berdiri Kesultanan
Gorontalo dengan Sultan Amai sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Perak
Setelah Kesultanan Malaka dikuasai Portugis, pada tahun 1528
M di Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Perak dengan Sultan
Muzaffar Syah sebagai sultan pertamanya.
Kesultanan Johor
Di ujung Semenanjung Malaya pada tahun 1530 M berdiri
Kesultanan Johor dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah.

Kesultanan Arosbaya
Di Madura Barat pada tahun 1531 M berdiri Kesultanan
Arosbaya dengan Pratanu sebagai sultan pertamanya dengan gelar
Panembahan Lemah Dhuwur.

Kesultanan Buton
Di Sulawesi Tenggara pada tahun 1538 M berdiri Kesultanan
Buton setelah Raja Buton ke-6 yakni Timbang Timbangan atau Halu
Oleo memeluk agama Islam.

18
Kesultanan Palembang
Di Sumatera Selatan pada tahun 1539 M berdiri Kesultanan
Palembang dipimpin Ki Gedeng Suro.

Kesultanan Kutai Kartanegara


Di Kalimantan Timur pada tahun 1545 M berdiri Kesultanan
Kutai Kartanegara dengan Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam
sebagai sultan pertamanya dengan gelar Aji Raja Mahkota Mulia
Islam.

Kesultanan Pajang
Di Kartosuro dekat Solo pada tahun 1546 M berdiri Kesultanan
Pajang melanjutkan Kesultanan Demak dengan Joko Tingkir sebagai
sultan pertamanya bergelar Sultan Hadiwijaya.

Kesultanan Pagaruyung
Di Sumatera Barat pada tahun 1560 M berdiri Kesultanan
Pagaruyung dengan Sultan Alif sebagai sultan pertamanya.
Kesultanan Mataram
Dan setelah Kesultanan Pajang runtuh, berdiri Kesultanan
Mataram pada tahun 1582 M dengan Sutawijaya Pangeran Ngabehi
Lor Ing Pasar sebagai sultan dengan gelar Panembahan Senopati Ing
Alogo Sayidin Panotogomo.

Kesultanan Gowa-Tallo
Di Sulawesi Selatan pada tahun 1593 M berdiri Kesultanan
Gowa-Tallo dengan Raja Gowa ke-14 I-Mangerangi Daeng
Manrabbia sebagai sultan dengan gelar Sultan Alauddin. Kesultanan
ini beribukota di Makassar. Di samping Kesultanan Gowa-Tallo
berdiri juga Kesultanan Bone, Luwu, Wajo dan Soppeng.

Kesultanan Banjar
Di Kalimantan Selatan pada tahun 1595 M berdiri Kesultanan
Banjar. Kesultanan ini awalnya Kerajaan Daha. Setelah Pangeran

19
Samudera naik tahta Kerajaan Daha diubah menjadi Kesultanan
Banjar dengan Pangeran Samudera menjadi sultan pertamanya
bergelar Maharaja Suryanullah atau Sultan Suriansyah.

Kesultanan Bima
Di Nusa Tenggara pada tahun 1620 M berdiri Kesultanan Bima
dengan Ruma Ma Bata Wadu sebagai sultan pertamanya bergelar
Sultan Abdul Kahir.

Kesultanan Deli
Di Sumatera Utara pada tahun 1669 M berdiri Kesultanan Deli
yang dipimpin Tuanku Panglima Perunggit. Sultan Deli bergelar Sri
Paduka Tuanku Sultan.

Kesultanan Johor-Riau
Di kawasan Riau pada tahun 1722 M berdiri Kesultanan Johor-
Riau dengan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah sebagai sultan
pertamanya,

Kesultanan Siak Sri Indrapura


Setahun kemudian, di pedalaman Riau berdiri Kesultanan Siak
Sri Indrapura dengan Raja Kecil sebagai sultan pertama bergelar
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah,

Kesultanan Pontianak
Dan di Kalimantan Barat pada tahun 1772 M berdiri
Kesultanan Pontianak dengan Syarif Abdurrahman sebagai sultan
pertamanya. Selain itu ada Kesultanan Sambas dan Kesultanan
Mempawah.

Poros Kekuasaan Islam Nusantara


Setelah kesultanan-kesultanan Islam bermunculan di Nusantara,
kesultanan-kesultanan tersebut dipimpin oleh tiga poros kekuasaan
Islam di Nusantara.

20
Poros I. Poros Pasai yang mengontrol Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Semenanjung Malaya, Pattani, Brunai.
Poros II. Poros Giri yang mengontrol Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Banten, Palembang, Nusa Tenggara, Tanjung
Pura, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Poros III. Poros Ternate yang mengontrol Ternate, Tidore,
Kepulauan Maluku, Papua, Buton, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Utara, Sulu, Mindanao, dan Manila.
Dalam perjalanannya poros ini berpindah kepada tiga
kesultanan terkemuka di nusantara, yakni:
1. Kesultanan Aceh Darussalam di Sumatra
2. Kesultanan Mataram di Jawa, dan
3. Kesultanan Goa-Tallo di Sulawesi.

PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA


SELAMA 10 ABAD LEBIH

PENERIMAAN AHLUL QUWWAH TERHADAP IDEOLOGI


ISLAM
Pengaruh struktur politik kerajaan yang menjadikan raja
sebagai ahlul quwwah (pemegang kekuasaan riil) sangat menentukan
perkembangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Konversi
seorang raja yakni masuk Islamnya seorang raja, akan segera diikuti
oleh pengikut-pengikutnya dan rakyat yang berada di bawah
kekuasaan raja. Di Sulawesi Selatan misalnya, hanya dalam waktu
sekitar 6 bulan sejak Raja Gowa-Tallo masuk Islam, hampir semua
masyarakat Sulawesi Selatan beralih menjadi muslim.
Begitu pula penerimaan raja-raja di nusantara terhadap Islam
sebagai sebuah ideologi akan mengubah kehidupan negara dan
masyarakatnya menjadi negara dan masyarakat yang Islami. Semua
segi kehidupan: pemerintahan, peradilan, ekonomi, peribadahan,
pergaulan pria-wanita, pendidikan, pakaian, makanan, minuman,

21
pengaturan warga negara, hubungan sesama kesultanan Islam serta
hubungan dengan negara-negara tetangga pun dibangun berdasar
aqidah dan syariat Islam.

BIDANG PEMERINTAHAN

Oleh raja-raja di Nusantara yang umumnya dulu beragama


Hindu atau Budha, sistem pemerintahan kerajaan dikonversi menjadi
sistem kesultanan. Sistem Kesultanan adalah sistem pemerintahan
yang Islami. Kata “sultan” diambil dari bahasa Arab yakni “sulthaan”
yang berarti penguasa.

Kesultanan-Kesultanan Nusantara Setingkat Karesidenan


Sultan-sultan di nusantara adalah para penguasa di bawah
Syarif Makkah, gubernur Khilafah untuk kawasan Hijaz. Sehingga
sultan-sultan di Nusantara posisinya setingkat residen atau ‘aamil
yang membawahi kota-kota atau kabupaten-kabupaten. Penggunaan
gelar Sultan dapat dibenarkan karena ‘aamil termasuk penguasa
karena dia memiliki wewenang pemerintahan.
Para sultan di Indonesia mendapatkan pengesahan dari Syarif
Makkah baik saat Khilafah Abbasiyah maupun Khilafah Turki
Utsmani. Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048
H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul
Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula
Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar
Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami yang lebih
dikenal dengan nama Sultan Agung. Pengangkatan para ‘aamil oleh
wali (gubernur) bisa dibenarkan syara’ jika Khalifah memberikan
wewenang kepada Syarif Makkah untuk mengangkat para ‘aamil dari
Nusantara.

Lembaga Pembantu Sultan

22
Perubahan sistem pemerintahan ini menjadi basis bagi
diterapkannya politik dan budaya Islam dalam tata kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
Lembaga-lembaga pembantu sultan di masing-masing
kesultanan berbeda-berbeda tergantung kebijakan Sultan. Di
Kesultanan Samudra Pasai sultan dibantu para wazir (untuk urusan
pemerintahan), al-Kuttab (beberapa sekretaris), Syaikhul Islam (untuk
urusan peradilan), Senapati (untuk urusan keamanan), dan Tuha Peut
(untuk dewan penasehat). Di Kesultanan Mataram, Sultan dibantu
Patih (untuk urusan pemerintahan), Penghulu (urusan peradilan), dan
Adipati (yang bertanggung jawab menjaga keamanan).

Kekeliruan Penerapan Sistem Putra Mahkota


Namun demikian ada kekeliruan dalam penerapan syariat Islam
di Indonesia, yakni diterapkannya sistem putra mahkota sebagai sultan
pengganti. Jadilah seolah-olah jabatan sultan itu sebagai jabatan milik
keluarga sultan. Padahal jabatan penguasa setingkat residen ini
seharusnya didapatkan dari khalifah atau gubernur yang diberi
wewenang untuk mengangkat sang residen.

Kesalahan Pengangkatan Sultan Wanita


Demikian pula halnya kesalahan penerapan lainnya, yaitu
pengangkatan wanita sebagai sultanah. Dalam sistem pemerintahan
Islam, jabatan ‘aamil adalah jabatan penguasa yang memiliki
wewenang pemerintahan. Sehingga wanita tidak diperkenankan
menjabatnya karena Rasulullah saw bersabda:
“Lan yufliha qaumun walau amrahum imra`ah”
[Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan pemerintahan mereka kepada seorang perempuan] (H.R. al-
Bukhari).
Dan benarlah sabda Rasulullah saw. Sejak muncul sultanah
yakni Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu pada tahun 801 H
(1400 M) Kesultanan Samudra-Pasai mengalami kemunduran.
Begitu juga yang terjadi di Kesultanan Aceh. Sejak dipimpin
oleh para sulthanah selama 49 tahun mulai tahun 1641 M yakni

23
Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Sri Ratu Nurul Alam
Naqiatuddin, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu
Kemalat Syah, Kesultanan Aceh mengalami kemunduran drastis.

BIDANG PERADILAN

Dalam sistem peradilan diterapkan syari’at Islam untuk


memecahkan masalah-masalah kehidupan masyarakat di nusantara.
Perangkat hukum berupa pejabat peradilan dan kitab undang-undang
disusun.

Pejabat Peradilan
Ada Qadhi sebagai pejabat peradilan. Di Kesultanan Aceh
Darussalam ada lembaga Kadi yang dijabat oleh para ulama. Lembaga
ini menyelenggarakan pengadilan hukum terhadap pelanggar hukum
serta pembangkang kesultanan, terlibat dalam pemilihan sultan, dan
sebagai penengah dalam konflik antara rakyat dengan sultan.
Lembaga pengadilan ini dipimpin Maalikul Aadil yang bergelar Raja
Indera Purba.
Di Kesultanan Banten lembaga Kadi bergelar Pakih
Najmuddin. Di Kesultanan Gowa-Tallo disebut Daeng ta Kaliya, di
Kesultanan Palembang disebut Pangeran Penghulu Nata Agama. Di
Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram disebut Penghulu.

Kitab Undang-undang Peradilan


Di Kesultanan Malaka misalnya, ada Undang-undang Malaka
yang disusun sekitar tahun 854 H/ 1450 M. Undang-undang ini berisi
pengaturan kesultanan pada hampir semua aspek kehidupan dengan
syariat Islam mulai hak dan kewajiban sultan dan lembaga-lembaga
negara, pernikahan, hukum pidana, hingga seperangkat hukum
ekonomi Islam.
Sultan Adam dari Kesultanan Banjar membuat kodifikasi
hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Sultan
Adam.

24
Di Kesultanan Mataram, keputusan hukum Penghulu Keraton
didasarkan pada sejumlah kitab fikih. Kitab-kitab itu seperti Kitab
Mukaror (al-Muharrar), Kitab Makali (al-Mahalli), Kitab Tufah
(Tuhfatul Muhtaaj), Kitab Patakulmungin (Fathul Mu’in), Kitab
Patakulwahab (Fathul Wahhaab). Kitab-kitab ini sampai sekarang
dapat ditemui di pesantren-pesantren di Jawa. Pengadilan yang
diselenggarakan Penghulu keraton ini dikenal dengan nama
Pengadilan Serambi Masjid Agung.

Lembaga Syaikhul Islam


Ada juga lembaga Syaikhul Islam. Syaikhul Islam ini yang
berperan sebagai Mufti atau pemberi fatwa hukum sekaligus
penasehat sultan-sultan. Untuk seluruh Melayu Nusantara dipegang
oleh para ulama terkemuka dari Kesultanan Aceh Darussalam, seperti
Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri. Sedang Mufti untuk Tanah
Jawa dipegang Sedang Mufti untuk Tanah Jawa dipegang para Sunan
Kesultanan Giri.

BIDANG EKONOMI

Perdagangan yang dihalalkan oleh Islam makin berkembang di


bawah naungan kesultanan-kesultanan Islam. Nusantara beranjak
menjadi wilayah yang makmur.
Pada akhir abad ke-13 M saja, Kesultanan Samudra-Pasai
sudah menjadi kota pelabuhan internasional penting yang
menghubungkan Laut Tengah, Asia Barat, Asia Tenggara dan Cina.

Perdagangan Komoditas Primadona


Kesultanan Malaka melanjutkannya pada abad ke-15 Malaka
menjadi tempat bertemunya komoditas: emas, kapur barus, belerang,
besi, batu akik, mutiara, merica atau lada, kayu cendana, buah asam,
sutra, damar, madu, lilin, kapas, rotan, beras dan bahan pangan
lainnya, budak, bahan tekstil india dan barang-barang dari Cina.
Dalam jaringan perdagangan internasional, rempah-rempah dari
nusantara menjadi komoditas primadona, khususnya lada atau merica.

25
Mahalnya harga rempah-rempah pada masa itu tercermin dari
ungkapan orang Eropa: “Mahalnya seperti harga
merica.”Perdagangan ini menguntungkan semua pihak, baik pemilik
modal, pedagang, dan pekebun.
Di Maluku, Sultan mendorong perluasan penanaman tanaman
cengkih, pala dan merica untuk memenuhi permintaan pasar dunia.
Sultan Aceh memodali usaha perkebunan tanaman merica di pantai
barat Sumatera, dan memetik keuntungannnya.
Khilafah Islamiyah membentuk jalur perdagangan yang
dihubungkan dengan lautan yang terhubung dari Laut Merah,
Samudera Hindia, Selat Malaka, hingga perairan Nusantara. Letak
ibukota kesultanan-kesultanan yang sebagian besar berada di pesisir
sangat tepat untuk peningkatan arus kegiatan ekonomi melalui
maritim. Hasil-hasil agraris yang menjadi bahan komoditas
perdagangan yang laku di pasaran perdagangan internasional diangkut
ke kota-kota pelabuhan milik kesultanan, seperti Malaka, Aceh,
Banten, Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Palembang,
Banjarmasin, Makassar, Ternate, Tidore, Ambon, dan Lombok.

Nusantara Mengalami Kemakmuran


Pada abad ke-16 dan 17 Kesultanan-kesultanan Islam menjadi
kekuatan penting dalam perdagangan internasional. Anthony Reid,
sejarawan Australia bahkan menyebutnya sebagai The Age of
Commerce (abad perdagangan). Pada masa inilah nusantara mencapai
kemakmuran. Kemakmuran ini memperkuat perkembangan Islam di
Nusantara. Banyak muslim nusantara yang mengunjungi Mekah dan
Madinah untuk menunaikan haji dan menuntut ilmu. Kemakmuran itu
pula yang menarik para ulama dari seluruh wilayah Daulah Khilafah
Islam, khususnya dari Jazirah Arab, Persia, dan India, untuk datang ke
nusantara.

Penggunaan Sistem Syarikah


Untuk menjalankan perdagangan banyak dipakai sistem
syarikah atau kemitraan dagang dan sistem mudharabah (kepemilikan
modal).

26
Sistem syarikah banyak dilakukan oleh para saudagar muslim
yang melakukan perdagangan dan pelayaran keliling bandar Malaka,
Aceh, Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya dan bandar
lainnya. Bila lancar dan ramai keuntungan dagang bisa mencapai 200
%.
Adapun sistem mudharabah merupakan sistem kerjasama
antara penanam modal atau pemilik barang dengan para saudagar
yang pergi berlayar dan berkeliling menjajakan barang dagangannya
ke tempat yang jauh. Para saudagar kemudian kembali untuk membagi
keuntungan hasil penjualan dagangannya dengan pihak pemilik modal
atau pemilik barangnya. Penanam modal atau pemilik barang
umumnya para sultan dan keluarganya juga para bupati dan
keluarganya. Sistem mudharabah ini sangat berperan dalam mendasari
kemajuan usaha perdagangan masa itu.

Perdagangan Tingkat Kabupaten


Pada perdagangan tingkat kabupaten, kesultanan Islam
melakukan pengaturan. Di Jawa, dilakukan rotasi kegiatan pasar
menurut sistem kalender Jawa-Islam yang telah diperbarui oleh
Sultan Agung dari Kesultanan Mataram. Hitungan tahun Saka diubah
ke tahun Hijriah, nama bulan dan hari bahasa Jawa Kuno diubah ke
nama bulan dan hari dalam bahasa Arab, yakni Senen, Selasa, Rebo,
Kemis, Jum’at, Sabtu dan Ahad / Minggu). Sehingga di kota-kota
Pesisir kegiatan pasar berotasi dari Pasar Senen, Pasar Selasa, Pasar
Rebo, Pasar Kemis, Pasar Jumat, Pasar Sabtu dan Pasar Minggu.
Sementara di kabupaten-kabupaten pedalaman kegiatan pasar berotasi
dari Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon, Pasar Wage, dan Pasar
Kliwon yang dikenal sebagai hari pasaran atau pekenan.

Mata Uang
Mata uang yang sesuai dengan syariat Islam, yakni mata uang
emas (dinar) dipakai di Nusantara. Sultan Malik az-Zahir yang
berkuasa antara 1297-1326 mengeluarkan mata uang emas yang ditilik
dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan
yang tinggi.

27
Kepemilikan Tanah
Dalam hal kepemilikan tanah, secara umum, dijumpai tiga jenis
pemilikan tanah, yaitu: tanah milik kesultanan, tanah milik ulayat atau
tanah desa (tanah komunal/ milik umum), dan tanah milik penduduk
(milik individu).

BIDANG BAHASA

Bahasa dan aksara Arab yang menjadi bahasa resmi Khilafah


Islam. ikut tersebar ke nusantara melalui jaringan komunikasi dan
transportasi perdagangan maritim. Tulisan Arab berbahasa Melayu dan
berbahasa Jawa yang dikenal dengan huruf Jawi juga dipergunakan
dalam kitab-kitab kuning yang sampai sekarang bisa kita lihat di
pesantren-pesantren. Angka Arab yang lebih praktis dan efisien
daripada angka Romawi bahkan kita gunakan dalam kehidupan sehari-
hari sampai sekarang.

BIDANG BUSANA

Sejak syariat Islam diterapkan oleh kesultanan-kesultanan di


Nusantara, terjadi perubahan cara berpakaian. Laki-laki dan wanita
yang semula hanya memakai cawat atau kain untuk menutupi alat
kelaminnya, sehingga wanita terlihat dadanya, berubah menutupi aurat
tubuhnya. Laki-laki memakai pakaian yang menutupi tubuhnya
minimal mulai pusar hingga lutut baik dengan celana, sarung maupun
kain tak berjahit. Para ulama, mubaligh, dan saudagar muslim bahkan
memakai baju kutang, jubah dan surban.
Perempuan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari
pundak hingga kaki. Ketika perempuan keluar rumah, mereka
menutupi kepala hingga dadanya dengan kerudung, baik yang dijahit
ataupun tidak. Adapun mereka yang tidak berpakaian sempurna
mereka umumnya para budak.

BIDANG PERIBADAHAN

28
Dalam hal peribadahan umat Islam, kesultanan-kesultanan
Islam membangun masjid. Masjid ini biasanya disebut masjid agung,
baik di ibukota kesultanan maupun ibukota kabupaten. Masjid-masjid
ini masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Adapun tempat peribadahan umat-umat selain Islam dibiarkan
dan tidak dihancurkan, sehingga sampai sekarang, di bekas-bekas
kerajaan Hindu dan Budha masih bisa kita lihat candi-candi Hindu dan
candi-candi Budha.
Begitu pula Gereja dan bangunan milik zending. Jadi, sangat
salah penggambaran bahwa ketika syariat Islam diterapkan, umat
agama lain akan terpinggirkan apalagi dizalimi. Karena dalam sistem
Islam, umat agama lain adalah warga negara, hak dan kewajibannya
terhadap negara sama dengan umat Islam

BIDANG PENDIDIKAN

Ketika syariat Islam diterapkan di Nusantara, pendidikan


menjadi perhatian utama para sultan. Di Kesultanan Samudra-Pasai,
Sultan Malik Zahir mengadakan pengajaran hukum Islam di istana.
Samudra-Pasai banyak dikunjungi para ulama dari seluruh penjuru
wilayah Khilafah Islam menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka
abad ke-14.

Pendidikan Dasar
Terjadi pemberantasan buta huruf. Di Kesultanan Aceh
Darussalam, Sultan Iskandar Muda, menyelenggarakan Meunasah
sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak untuk belajar membaca al-
Qur`an yang berbahasa Arab. Saat itu bahasa Arab menjadi bahasa
Internasional terpenting. Tulisan Arab baik dengan bahasa Arab
maupun bahasa Melayu dan Jawa sampai pertengahan abad ke-20
masih banyak dipakai kakek nenek kita.

Pendidikan Menengah & Tinggi

29
Pendidikan menengah dan tinggi diselenggarakan oleh
kesultanan. Kesultanan Aceh Darussalam menyelenggarakan lembaga
Rangkang untuk tingkat pendidikan menengah dan Dayah untuk
pendidikan keahlian, seperti dayah tafsir dan dayah fikih. Pada tahap
awal tenaga pengajar didatangkan langsung dari Timur Tengah. Tahap
berikutnya pengajaran dilakukan oleh para ulama Aceh sendiri yang
bergelar Tengku. Model pendidikan ini selanjutnya menjadi dasar
tumbuhnya lembaga pendidikan serupa di wilayah Melayu Nusantara
lainnya, seperti lembaga pendidikan Surau di Minangkabau.

Pesantren
Di Jawa berkembang lembaga pendidikan pesantren yang
dipimpin oleh seorang ulama. Sunan Ampel dengan Pesantren Ampel
banyak menghasilkan para da’i yang mengawal tegaknya syariat Islam
di tanah Jawa. Pengajaran Islam dimodifikasi agar mudah diingat,
seperti ajaran Moh limo: moh madon (tidak mau berzina), moh maling
(tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau menghisap candu), moh
main (tidak mau berjudi), moh ngombe (tidak mau minum arak).

Pengiriman Pelajar ke Pusat-pusat Ilmu


Kemakmuran yang tinggi menyebabkan banyak pelajar dikirim
ke Timur Tengah untuk belajar ilmu-ilmu Islam. Di Timur tengah,
para pelajar dari nusantara umumnya disebut ashab al-Jawiy. Saat itu
nama Indonesia belum dikenal. Yang dikenal adalah Jawa. Kaum
terpelajar nusantara tersebut menjadi para guru-guru besar yang
mengajarkan ilmunya sepulangnya ke nusantara. Mereka itu antara
lain: Syekh Abdur Rauf al-Jawi as-Singkili, Syekh Muhammad Nafis
al-Banjari dan Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari.

KESENIAN

Dalam hal seni, Syariah Islam membenarkan kreativitas selama


tidak melanggar rambu-rambu syariat. Penerapan Syariah bahkan akan
semakin indah dengan ide-ide kreatif para seniman. Maka tidaklah

30
mengherankan para ulama masa itu sebagiannya adalah juga para
seniman.

Seni Suara
Dalam bentuk seni suara, para wali di tanah Jawa menyelipkan
ajaran Islam dalam berbagai tembang: Asmaradana dan Pocung kreasi
Sunan Giri. Tembang Durma kreasi Sunan Bonang, Mijil dan
Maskumambang kreasi Sunan Kudus. Sinom dan Kinanthi kreasi
Sunan Muria, Gending Pangkur kreasi Sunan Drajat, Dhandhang
Gula Semarangan yag merupakan perpaduan melodi Arab dan Jawa
adalah kreasi Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo juga mengkreasi
tembang Lir Ilir.

Kreasi Permainan Anak


Sunan Giri mengkreasi permainan anak-anak: Jamuran,
Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Seni Pertunjukan, Musik & Ukir


Dalam seni pertunjukan, Sunan Kalijogo mengkreasi
pertunjukkan wayang kulit berikut alat musik pengiringnya yaitu
gamelan. Gamelan terdiri dari kenong, saron, kempul, kendang dan
genjur. Gong Sekaten yang nama aslinya Gong Syahadatain juga
kreasi Sunan Kalijogo.
Begitu juga seni ukir bermotif dedaunan pada tempat
menggantungkan gamelan adalah hasil kreasi beliau yang sebelumnya
seni ukir Hindu dan Budha bermotifkan manusia atau binatang, bentuk
seni ukir yang dilarang oleh Islam. Wayang yang sebelumnya
berbentuk kertas bergambar manusia, diubah oleh Sunan Kalijogo
dengan bentuk yang tidak mirip manusia, matanya satu dengan
tubuhnya gepeng.
Dalang, yang berasal dari kata Dalla dalam bahasa Arab berarti
menunjukkan, berfungsi sebagai orang yang menunjukkan syariat
yang benar.

Seni Tata Kota

31
Seni tata ruang pusat kota dirancang oleh Sunan Kalijogo untuk
selalu mengingatkan penguasa agar menerapkan syariat Islam.
Di pusat kota selalu ada: Alun-alun, Masjid Agung, satu atau
dua pohon beringin, dan pendopo bupati. Terkadang ada pengadilan
dan rumah tahanan. Alun-alun yang berasal dari bahasa Arab Allaun-
allaun berarti berbagai macam warna dimaksudkan tempat
berkumpulnya segenap rakyat dan penguasa. Beringin berasal dari
bahasa Arab “Waraa’in” berarti orang-orang yang sangat berhati-hati.
Dua Beringin perlambang dua pengayom rakyat yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Masjid tempat para hamba Allah bersujud.
Pesan yang ingin disampaikan oleh Sunan Kalijaga adalah:
“Hai penguasa, ayomilah rakyatmu semua dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasul secara hati-hati, karena kau akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah, jika kau lalai Pengadilan siap
mengadilimu dan rumah tahanan menantimu. Jika kau lurus maka
engkau memang hamba Allah.”
Tata pusat kota ini masih bisa dilihat hingga sekarang di sekitar
alun-alun setiap ibukota kabupaten atau keraton kesultanan di Jawa
dan Madura.
Di sekitar Masjid Agung biasanya ada kampung Kauman,
tempat tinggal Penghulu Agung dan seluruh pegawai pengadilan
hukum Islam.

Seni Arsitektur
Arsitektur Masjid banyak terpengaruh arsitektur Turki yang
menggunakan kubah. Di atas kubah masjid ada lambang bulan
bintang, sebuah lambang mencerminkan keterkaitan pembangun
masjid tersebut dengan Khilafah Turki Utsmani yang benderanya
berlambang bulan bintang.

Seni Sastra
Sementara muslim Melayu banyak menulis prosa berisi sejarah
dalam bentuk hikayat. Seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah
Melayu atau Sulaalah as-Salaatiin (Keturunan Para Sultan) oleh Tun
Sri Lanang bendahara Kesultanan Johor, Hikayat Aceh atau Hikayat

32
Iskandar Muda, Bustaanus Salaatiin (Taman Para Sultan) karya ulama
besar Nuruddin ar-Raniri abad ke-17, Silsilah Melayu dan Bugis
dan Segala Raja-rajanya dan Tuhfah an-Naafis keduanya karya Raja
Ali Haji, dan Hikayat Banjar.

PENERIMAAN MASYARAKAT NUSANTARA


TERHADAP ISLAM

Demikianlah, penerapan syariat Islam sebagai sebuah sistem


ideologi ini memberikan pengaruh yang sangat besar pada masyarakat
di Nusantara untuk menerima Islam sebagai agama mayoritas
penduduknya. Bagi masyarakat nusantara, Islam sebagai agama dan
politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Syariat Islam Menyatukan Nusantara


Kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara menganggap diri
mereka menyatu dan menjadi bagian dari Daarul Islaam (wilayah
Islam). Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak Hindu dan
Budha yang awalnya terpisah-pisah dan saling serang satu sama lain
menjadi satu kesatuan di bawah kepemimpinan Khilafah Islam baik
ketika masa Khilafah Abbasiyah maupun masa Khilafah Turki
Utsmani yang berpusat di Istambul. Antar kesultanan terdapat
hubungan dakwah, politik, ekonomi, militer, bahkan kekerabatan.

Menjaga Kesatuan Negeri-negeri Islam


Terhadap wilayah Islam yang diduduki negara kafir,
kesultanan-kesultanan di Nusantara bekerja sama untuk mengusir
penganeksasi agar negeri Islam tetap dalam satu kesatuan.
Ketika Malaka diduduki Kafir Portugis, Kesultanan Demak
membantu Kesultanan Aceh berjihad membebaskan Malaka. Bahkan
pada tahun 1615 dan 1629 Kekhilafahan Utsmani membantu
Kesultanan Aceh membebaskan Malaka dari Portugis. Penyerangan

33
tahun 1629 mengerahkan angkatan perang yang terdiri dari 20.000
orang.

PENUTUP

Demikianlah abad ke-16 dan 17 M adalah masa keemasan bagi


Indonesia di bawah naungan syariat Islam yang diterapkan oleh
kesultanan-kesultanan di nusantara. Ketika Syariat Islam diterapkan di
Indonesia, Allah Swt Sang Pembuat Syariat melimpahkan barakah-
Nya berupa kemuliaan, keadilan, kemakmuran, keamanan,dan
ketentraman hidup bagi bangsa ini.
Sungguh, benarlah firman Allah:
“Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa niscaya
kami bukakan atas mereka barakah dari langit dan bumi, akan
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa
mereka akibat perbuatan mereka sendiri.” (TQS. al-A’raaf: 96)
RUJUKAN
BOOKS:
Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Prof. Dr. HAMKA. 1974. Bulan
Bintang. Jakarta.
Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj. Ad-Daulah al-
Utsmaaniyyah ‘Awaamilu an-Nuhuudh wa Asbaabu as-Suquuth). Dr. Ali
Muhammad Ash-Shalabi. 2003. Pustaka al-Kautsar. Jakarta.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara. Prof. Dr. Taufik
Abdullah (Ketua Dewan Editor). 2002. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.
Hakekat Berpikir (Terj. At-Tafkir). Taqiyuddin an-Nabhani. 2006. Pustaka
Thariqul Izzah. Bogor
Kerajaan Islam di Asia Tenggara. Abu Hafsin, Ph.D. dkk. 2002. Ichtiar
Baru Van Hoeve. Jakarta.
Kisah dan Sejarah Walisongo. MB. Rahimsyah. Karya Agung. Surabaya.
Konsepsi Politik Hizbut Tahrir (Terj. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir).
2006. Hizbut Tahrir Indonesia. Jakarta.
Malikussaleh; Mutiara Dari Pasai. A. Hadi Arifin. 2005. Penerbit Madani
Press. Jakarta.

34
Membumikan Islam. (Kumpulan Makalah Seminar Nasional
Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia). Prof.
Dr. H. Nani Tuloli (Koord. Editor). 2004. Pusat Penelitian dan
Pengkajian Badan Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur
Indoneisa Di Gorontalo. Gorontalo.
Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. 1998.
Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Mizan. Bandung.
Negara Islam (Terj. Ad-Daulah al-Islaamiyyah). Taqiyuddin an-Nabhani.
2000. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Qoer`an Tardjamah Djawi. Moehammad Djauzie. 1935. Bandung.
Sejarah Emas Muslim Indonesia. 2003. Majalah Sabili No. 9 Th. X. Jakarta.
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indoensia (Kumpulan
Prasaran pada Seminar di Aceh). Prof. A. Hasymy. 1993. PT. Al-
Ma’arif. Bandung.
Sistem Pemerintahan Islam (Terj. Nizhaamul Hukmi fil Islam). Taqiyuddin
an-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum. 1997. Al-Izzah. Bangil.
Struktur Negara Khilafah; Pemerintahan dan Administrasi (Terj. Ajhizah
ad-Daulah al-Khilafah). Hizbut Tahrir. 2006. Hizbut Tahrir Indonesia.
Jakarta.
Sunan Kalijaga (Asal Usul Mesjid Agung Demak). Ade Soekirno, SSP.
1999. Grasindo. Jakarta.
Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam (Terj. Taarikh al-Khulafaa`u).
Imam Suyuthi. 2001. Pustaka al-Kautsar.
Terjemah Hadits Shahih Al-Bukhari I-IV (Terj. Shahiih al-Bukhaariy).
Imam Bukhari. 1992. Widjaya. Jakarta.
The Times Atlas of World History. Geoffrey Barraclough (Editor). 1988.
Hammond Inc. Maplewood, New Jersey.
Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayyah Hingga Imperialisme
Modern (Terj. Lahmatun min Tarikhid Da’wah; Asbabudh Dha’fi fil
Ummatil Islamiyyah). Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil. 1998. Pustaka al-
Kautsar. Jakarta.

FILES:
Aceh// Borneo// Brawijaya// Cheng Ho// Dharmawangsa//
Fatahillah// Ferdinand Magellan//Gamelan// Goa// Gorontalo//
Hejaz// History of Jambi// History of Indonesia// Jawi Script//
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat// Kerajaan Deli//
Keraton// Kesultanan Banten// Kesultanan Cirebon//
Kesultanan Deli// Kesultanan Kutai// Kesultanan Pajang//
Kesultanan Ternate// Kotagede Ibukota Kesultanan Mataram//

35
Kronika Islam di Indonesia//
Kutai Aji Raja Mahkota Muda Alam// Majapahit Empire// Malaysia// Malikul
Salih// Marcopolo//
Maulana Malik Ibrahim// Medan// Melayu Kingdom//
‘Mengembalikan’ Islam di Keraton// Minangkabau//
Ming Dynasty// North Borneo// Parameswara (Sultan)//
Pattani Kingdom// Penanggalan Jawa// Pengislaman Bugis// Pontianak Kota//
Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi//
Samudra-Pasai// Sejarah Madura// Sejarah Pagarruyung//
Sultan Ageng Tirtayasa// Sultan of Brunei// Sultanate of Demak// Sultanate of
Johor// Sultanate of Maguindanao//
Sultanate of Malacca// Sultanate of Mataram// Sultanate of Sulu//
Sumatra// Southeast Asian History// Spice Islands// Srivijaya//
Sultanate// Sultan Agung of Mataram// Sunan Ampel//
Sunan Bonang// Sunan Drajat// Sunan Giri// Sunan Kalijaga// Surabaya//
Sutawijaya// Syekh Yusuf// Tidore// Walisongo

36

You might also like