You are on page 1of 23

USAHA PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

PENDAHULUAN Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka. Foto 1.1: Singkong

Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim, kedua; semi modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan dan yang ketiga; full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.

Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak. Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de cassava. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa. Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi Tepung Tapioka Indonesia (ATTI) yang berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini belum begitu dirasakan oleh pihakpihak terkait terutama petani yang tidak dapat menikmati harga singkong sesuai dengan kesepakatan antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara pengusaha tidak dapat memperoleh bahan baku secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat berperan dalam pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku serta akses permodalan bagi pengusaha, sehingga industri tapioka dapat berkembang dalam rangka memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Industri tapioka mulai marak tahun 1980-an. Dalam melakukan usaha selama ini, industri pengolahan tapioka menggunakan modal sendiri dan sebagian menggunakan modal dari perbankan dan bantuan dari BUMN serta kemitraan. Di kabupaten Lampung Timur usaha ini cukup berkembang dan pemerintah telah mempermudah perizinan dan aktif melakukan pembinaan, disamping itu hampir seluruh perbankan di Lampung Timur membiayai usaha ini. Industri tapioka yang terdapat di Propinsi Lampung, terutama yang berada di Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah survei dalam penyusunan buku ini, pada tahun 2003 memiliki 38.964 hektar lahan untuk penanaman singkong yang menghasilkan 592.358 ton singkong dan memiliki 31 perusahaan menengah besar yang terdaftar di Dinas Pertanian, disamping puluhan perusahaan menengah kecil yang merupakan industri tapioka rakyat (Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004). PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN PROFIL USAHA Ubi kayu atau singkong merupakan bahan baku utama industri tapioka. Di Propinsi Lampung, pabrik tapioka dapat

mengolah sekitar 4000-5000 ton perhari. Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu wilayah penghasil utama singkong. Tabel berikut ini menyajikan perkembangan luas areal dan jumlah produksi pada tahun 2003.

Tabel 2.1. Luas Areal dan Jumlah Produksi Singkong


Kecamatan Metro Kibang Batanghari Sekampung Marga Tiga Sekampung Udik Jabung Pasir Sakti Waway Karya Labuhan Maringgai Mataram baru Bandar SriBawono Melinting Gunung Pelindung Way Jepara Braja Selebah Labuhan Ratu Sukadana Bumi Agung Batanghari Nuban Pekalongan Raman Utara Purbolinggo Way Bungur Jumlah Luas (hektar) 512 344 710 2,755 1,468 1,433 98 919 563 325 616 578 55 485 515 3,789 9,810 1,740 8,269 936 2,261 144 639 38,964 Produksi (ton) 9,417 11,325 9,375 30,488 28,207 13,978 1,140 11,450 5,003 4,973 10,792 9,042 1,838 6,350 8,025 54,145 147,838 31,924 135,992 8,858 37,745 3,310 11,183 592,398

Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur Jumlah perusahaan tepung tapioka yang tercatat pada Dinas Pertanian Lampung Timur saat ini sebanyak 31 perusahaan dengan kapasitas 56.927,08 ton. Tabel 2.2. menyajikan perusahaan tapioka di Kabupaten Lampung Timur dengan kapasitas produksinya. Tabel 2.2. Perusahaan, Kapasitas Produksi, dan Sumber Dana
Kecamatan Nama Perusahaan Kapasitas(ton) Sumber Dana

Batanghari

PT Wira Kencana Adi Perdana PT Eka Inti Tapioka PT Sumber Agung Hendra Sumardi Sumber Maju Anugrah Jaya Sejahtera Mandiri Tohalo Kopastara Ngudi Makmur Wahyu Utama Surya Perdana Warga Sehati I Warga Sukabumi Warga Sehati II Sinar Metro Wonosari Mini Surya Pudana Muara jaya Sido Rukun Rukun Santosa Sido Rukun Harapan Sejahtera Surya Perdana Lestari Jaya PT Bumi Acid PT Umas Jaya Sentral Intan Way Raman Waliyem Subur Jaya 31 perusahaan

6.500,00 6.000,00 1.600,00 1.350,00 547,20 547,20 820,80 410,40 n.a 820,00 382,04 383,04 339,00 n.a 665,00 1,440,00 630,00 1,200,00 n.a 638,40 912,00 1.200,00 684,00 450,00 n.a12.500,00 15.084,00 n.a n.a 912,00 912,00 56.927,08

Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta n.a Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Pembangunan Swasta Swasta Swasta Pembangunan Swasta Swasta Pembangunan Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta

Pekalongan

Sukadana

Bumi Agung Labuhan Ratu Way Jepara Sekampung Udik Raman Utara

Way Bungur Jumlah

Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur Sebagian besar sumber pendanaan usaha berasal dari swasta. Sumber pendanaan yang berasal dari pembangunan merupakan dana pemerintah yang disalurkan melalui dinas pertanian. Sementara industri tapioka yang disurvei belum tercatat di Dinas Pertanian Lampung Timur. Industri tapioka tersebut tergabung pada asosiasi industri tapioka rakyat yaitu Industri Tapioka Rakyat atau ITTARA Mandiri. Sumber pendanaan industri tapioka yang tergabung pada ITTARA Mandiri dari perbankan yaitu BRI, Bank Mandiri, kemitraan dan Pertamina.

POLA PEMBIAYAAN Dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka, sumber modal pengusaha terdiri dari modal sendiri, kredit perbankan dan Pertamina. Pembiayaan yang berasal dari perbankan meliputi kredit modal kerja dan investasi. Untuk modal investasi, pengusaha wajib memiliki 30% modal investasi dan pihak bank membiayai 70% modal investasi. Tingkat bunga kredit yang disalurkan perbankan di Wilayah Lampung Timur adalah 13% (Bank Mandiri) dan 22% (BRI) per tahun dengan sistem angsuran bulanan, dengan jangka waktu 12 bulan dengan pembayaran efektif menurun. Tingkat bunga kredit yang diperoleh dari BUMN sebesar 6% per tahun dengan jangka waktu 12 bulan, angsuran per bulan dengan pinjaman maksimal 50 juta. Usaha pengolahan singkong di wilayah Lampung Timur telah banyak dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas Pertanian Lampung Timur telah mengeluarkan kebijakan tentang harga beli bahan baku di tingkat petani, namun Dinas Industri dan Perdagangan Lampung Timur belum memiliki peraturan khusus yang mengatur perdagangan tapioka terutama kebijakan mengenai harga jual, standar produk serta pemasaran tepung tapioka. ASPEK PEMASARAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN (1) Pasar Domestik Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya. Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan ratarata 15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. (foodmarketexchange.com). Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia. Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga.

(2). Pasar Ekspor Ekspor tapioka Indonesia telah menjangkau berbagai negara di Asia dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea (54%) dan Cina (30%) dari total ekspor (Tabel 3.1). Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa negara Asia dan Eropa menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sangat potensial. Tabel 3.1. Ekspor Tapioka Indonesia Tahun 1997
Negara Tujuan Korea Cina Belanda Malaysia Jerman Swiss Jepang Pilipina Taiwan Inggris Singapura Vietnam Total Ekspor (Dari Berbagai Bentuk) (kg) 120.797.083 67.502.292 20.400.000 2.342.962 4.500.000 3.000.000 762.000 558.000 570.000 26.600 247.000 697.920 Nilai Ekspor (FOB) (US$) 12.125.792 5.473.891 1.371.550 436.884 328.000 165.000 154.570 107.884 85.500 57.399 53.106 41.875

Sumber: Biro Pusat Statistik 1997 (3). Penawaran Seperti dikemukakan pada bab sebelumnya, produksi tepung tapioka di Lampung Timur pada tahun 2003 mencapai 56 927,08 ton (yang tercatat pada Dinas Pertanian) di mana produksi tersebut belum mampu memenuhi pasar dalam negeri. Selain Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa daerah produksi tapioka lainnya seperti Lampung Tengah, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Sulawesi. Wilayah nusantara yang subur dan tanaman singkong yang mudah tumbuh menyebabkan potensi pengolahan tepung tapioka semakin terbuka lebar. PERSAINGAN DAN PELUANG PASAR Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-rata tapioka Indonesia mencapai 15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka pertahun dan Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton tapioka per tahun. Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan memberikan dampak positif terhadap produk pertanian Indonesia, termasuk industri tapioka. Ditinjau dari segi

harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat bersaing dengan Thailand. Sebagaimana diungkapkan foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu ancaman bagi pasar tapioka Thailand. Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa seperti Spanyol, Belanda, Jerman, Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar dalam negeri yang sampai saat ini belum dapat terpenuhi. HARGA Harga tepung tapioka ditentukan oleh kualitas tepung tapioka dan harga bahan baku, yakni singkong. Kualitas tepung yang baik adalah tepung tapioka yang berwarna putih dan empuk. Di Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah survei regulasi yang mengatur perdagangan singkong dan tepung tapioka belum ada sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan harga yang lebar pada tingkat produsen dan petani. Harga singkong di tingkat petani Rp 80,- per kilogram, sementara industri tepung tapioka mampu membeli singkong dengan harga antara Rp 165 hingga Rp 225 per kilogram. Regulasi tersebut dimaksudkan agar petani sebagai produsen bahan baku dapat membiayai dan tetap melangsungkan usahanya. Sementara regulasi perdagangan tapioka dimaksudkan agar terjadi kestabilan harga. Penurunan harga tapioka ditingkat produsen di Kabupaten Lampung Timur tersebut disebabkan oleh tidak adanya regulasi perdagangan tapioka. Pedagang perantara memiliki peran yang signifikan terhadap penentuan harga tersebut. Tabel 3.2 menunjukkan perkembangan harga tepung tapioka ditingkat produsen dengan kualitas baik mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir ini. Tabel 3.2. Perkembangan Harga Tapioka Tahun 2004 2003 2002 2001 Harga (Rp/kg) 525 - 1.300 800 - 1.600 1.350 - 1.700 1.700 - 1.800

Harga tepung tapioka Rp 525 sampai Rp 1.300 per kilogram di tingkat pengusaha, sedangkan harga rata-rata Rp 800 sampai Rp 900 per kg, dan harga pada tingkat konsumen akhir mencapai Rp 2.300,- per kilogram.

JALUR PEMASARAN PRODUK Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil survei, jalur pemasaran produk tapioka di Lampung Timur masih sederhana. Alur pemasaran tapioka tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini: Bagan 3.1. Alur Pemasaran Produk

Sumber: Data Primer Dalam memasarkan tapioka, pengusaha menjual ke pedagang perantara yang kemudian dijual ke pengepul. Dari pengepul tersebut, tapioka didistribusikan ke pasar di Jawa, industri pengolahan yang menggunakan bahan baku tapioka dan pedagang pengecer di pasar. KENDALA PEMASARAN Salah satu kendala pemasaran tapioka terletak pada minimnya informasi mengenai harga dan jumlah permintaan pasar yang dapat diperoleh pengusaha. Selain tidak memiliki informasi pasar yang sempurna, belum adanya regulasi mengenai perdagangan seperti standar produk dan pemasaran juga menjadi kendala usaha ini. Disamping itu, mutu bahan baku juga menentukan kualitas tapioka. Kualitas bahan baku sering tidak selalu baik, karena masih banyak petani yang menerapkan pola panen singkong yang tidak optimal, di mana petani sering kali memanen singkong lebih dini dari usia panen yang seharusnya yakni singkong belum berumur 7 bulan. Padahal singkong yang menghasilkan mutu tapioka yang baik berumur lebih dari 7 bulan. Menurunnya kualitas tapioka tersebut menyebabkan rendahnya harga jual tapioka dan tepung tidak bertahan lama. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan pembinaan dari peyediaan bahan baku sampai pada pemasaran produk. Dalam peyediaan bahan baku diperlukan kemitraan antara petani dan pengusaha agar ketersediaan dan kualitas bahan baku tetap terjaga. Dalam hal pemasaran produk diperlukan regulasi dan pembinaan akses pasar bagi pengusaha industri tapioka. ASPEK PRODUKSI LOKASI USAHA Lokasi pengolahan tapioka sebaiknya dipilih wilayah yang memiliki sumber air dan akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari merupakan faktor produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian, lokasi usaha yang

memiliki akses yang baik terhadap panas matahari akan mendukung keberhasilan usaha pengolahan tapioka, karena umumnya pengusaha kecil pada bidang pengolahan tapioka belum mampu menyediakan teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga sangat penting, terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung. FASILITAS PRODUKSI DAN PERALATAN Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 30 ton singkong per hari dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1. Tabel. 4.1. Fasilitas dan Peralatan Produksi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Asumsi Satuan Jumlah/nilai 2 2 2 10 25 4 1 10 1000 1 16 10.000 1 2

Mesin Penggerak/Generator buah Mesin Parut buah Mesin Pompa buah Mesin Ayakan buah Bak Kaca M2 Bak Penampung buah Alat Semprot buah Saringan buah Bambu buah Pipa set Rak M2 Tambir buah Mesin Induk buah Timbangan buah Sumber: Data Primer, diolah

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi yang digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda. Mesin induk merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi. BAHAN BAKU Bahan baku tepung tapioka adalah singkong yang diperoleh melalui pemasok. Singkong yang dipanen setelah berumur 7 sampai 10 bulan akan menghasilkan tapioka berkualitas baik. TENAGA KERJA Tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi yang digunakan. Besarnya penyerapan tenaga kerja pada

industri pengolahan tapioka ditentukan oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi semakin besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang dibutuhkan meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan sampai pada pengeringan produk. TEKNOLOGI Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Perbedaan Tekonologi Pengolahan Tapioka
Proses Pengupasan Pencucian Pemarutan Pemerasan Pengendapan Pengeringan Tradisional Manual Manual Mesin Mesin Manual Sinar Matahari Semi Modern Manual Manual Mesin Mesin Manual Oven Full Otomate Mesin Mesin Mesin Mesin Mesin Mesin

Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. PROSES PRODUKSI 1. Pengupasan Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak. 2. Pencucian Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong. Foto 4.1 : Pencucian Singkong

3. Pemarutan Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu : a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya. b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator 4. Pemerasan/Ekstraksi Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu: a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember. b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik). Bubur singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan. Foto 4.2: Pemerasan/Pengepresan

5. Pengendapan Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan. Tepung hasil endapan yang siap dikeringkan

6. Pengeringan Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19%.

Pengeringan tapioka dengan sinar matahari

JUMLAH, JENIS DAN MUTU PRODUKSI Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan.

PRODUKSI OPTIMUM Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan baku. Dengan kualitas bahan baku yang baik, satu ton singkong dapat menghasilkan 400 kilogram tapioka dan 160 kilogram onggok. KENDALA PRODUKSI Kendala dalam industri pengolahan singkong ini adalah ketersediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku sangat penting

karena apabila terjadi kelangkaan bahan baku maka produksi akan macet. Untuk itu, kemitraan dengan petani sebagai pemasok bahan baku sangat diperlukan. Disamping untuk menjamin ketersediaan bahan baku, kemitraan ini juga untuk menjamin kualitas bahan baku. ASPEK KEUANGAN PEMILIHAN USAHA Usaha pengolahan tapioka harus memperhatikan ketersediaan bahan baku, musim dan modal. Untuk usaha yang menggunakan mesin pengering, faktor alam seperti sinar matahari dan musim tidak menjadi kendala yang berarti, namun baik teknologi sederhana, semi modern maupun full otomate faktor ketersediaan air harus tetap diperhatikan. Usaha pengolahan tepung tapioka di Indonesia masih potensial untuk dilaksanakan karena Indonesia masih memiliki lahan yang potensial untuk penanaman singkong, sehingga ketersediaan bahan baku untuk industri tapioka dapat terjamin. Disamping itu, industri pengolahan tapioka dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana dan tidak membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus. ASUMSI Analisis keuangan suatu proyek terdiri dari proyeksi penerimaan dan pengeluaran selama periode proyek. Analisis keuangan perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai pendapatan dan biaya, kemampuan melunasi kredit dan kelayakan proyek. Penyusunan analisa keuangan dalam buku ini menggunakan beberapa asumsi yang didasarkan pada hasil pengamatan lapangan serta masukan dari instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan serta referensi yang mendukung dalam penentuan parameter yang digunakan. Tabel 5.1. menyajikan asumsi dan parameter yang digunakan dalam analisis keuangan. Tenaga kerja tetap, termasuk di dalamnya tenaga kerja manajerial, berjumlah 6 orang dengan upah Rp 750.000 per orang per bulan. Dari hasil survai, pemilik usaha kecil pengolahan tapioka sekaligus bertindak sebagai tenaga manajerial yang gajinya sama dengan tenaga kerja tetap. Tabel 5.1. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan
No 1 2 3 Asumsi Periode proyek Luas tanah Hari kerja per bulan - Bulan kerja per tahun - Hari kerja tenaga borongan Produksi dan Harga Satuan tahun hektar hari bulan hari Jumlah/Nilai 5 3 25 12 300

8 9 10

- Kapasitas maksimum per hari - Produksi per bulan - Produksi per tahun - Harga tapioka per ton - Produksi Onggok per bulan - Harga onggok Rendemen per ton bahan baku - Tapioka - Onggok Penggunaan tenaga kerja - Tenaga Manajerial - Tenaga kerja tetap - Tenaga kerja borongan Upah tenaga kerja per hari - Tenaga Manajerial - Tenaga kerja tetap - Tenaga kerja borongan Bahan baku per bulan Harga bahan baku Discount factor/suku bunga

ton ton ton Rp ton Rp/ton % % orang orang orang Rp/org Rp/org Rp/org ton Rp/ton %

30 195 2.340 900.000 62 300.000 25% 8%

6 20

25.000 15.000 780 195.000 13%

KOMPONEN BIAYA OPERASIONAL

INVESTASI

DAN

BIAYA

a. Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya tetap (fixed cost) untuk melakukan pengolahan tepung tapioka. Biaya investasi industri pengolahan tapioka meliputi perizinan, sewa tanah dan bangunan, mesin dan peralatan. Jumlah biaya investasi yang dibutuhkan pada tahun ke-0 sebesar Rp 265.000.000. Selama periode proyek, terdapat beberapa komponen biaya investasi yang harus melakukan reinvestasi pada tahun-tahun berikutnya, antara lain sewa tanah dan bangunan serta peralatan lain seperti kain saringan, bambu, dan tambir.

Tabel 5.2. Komponen Biaya Investasi Pengolahan Tapioka


No 1 2 3 4 Jenis Biaya Perijinan Sewa tanah dan bangunan Mesin/Peralatan Jumlah Sumber dana investasi dari Kredit Dana sendiri Nilai 30.000.000 235.000.000 265.000.000 % 70% 30% Penyusutan 0 0 40.369.048 40.369.048 Rp 185.500.000 79.500.000

b. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya tergantung pada jumlah produk. Komponen biaya operasional dalam pengolahan tapioka ini meliputi biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead. Tabel 5.3. menunjukkan biaya operasional yang dibutuhkan untuk industri pengolahan tapioka ini. Tabel 5.3. Biaya Operasional Pengolahan Tapioka
No 1 Input Satuan orang/bln orang/bln Jumlah 6 20 Harga (per satuan) 750.000 15.000 Nilai per bulan 4.500.000 7.500.000 12.000.000 Nilai per th 54.000.000 90.000.000 144.000.000 1.825.200.000 1.825.200.000 13.875.000 4.800.000 24.000.000 42.675.000 23.400.000 3.000.000 2.038.275.000

Tenaga Kerja a. tetap b. tidak tetap Sub Jumlah 2 Bahan Baku a. Singkong Sub Jumlah 3 Biaya Overhead a. solar b. Listrik c. Telpon Sub Jumlah 4 Transportasi 5 Penjualan output Perbaikan dan Pemeliharaan alat Jumlah Total Biaya

ton

780

195.000 152.100.000 152.100.000 1.850 400.000 2.000.000 1.156.250 400.000 2.000.000 3.556.250 1.950.000 250.000 169.856.250

liter/hari bulan Bulan

25 1 1

ton/bulan bulan

195 1

10.000 250.000

Total biaya operasional yang dibutuhkan pada tahun pertama sejumlah Rp 2.038.275.000. Biaya variabel pada tahun selanjutnya diasumsikan konstan karena kapasitas mesin yang tetap, biaya bahan baku merupakan harga yang telah disepakati antara petani, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Jumlah tenaga kerja tidak tetap yang terlibat dalam usaha ini tergantung pada kapasitas mesin dan

jumlah produksi sedangkan upah tenaga kerja tetap tidak mengalami kenaikan karena menyesuaikan dengan upah minimum propinsi. KEBUTUHAN DANA UNTUK INVESTASI DAN MODAL KERJA Dana yang dibutuhkan untuk usaha pengolahan tapioka terdiri dari modal investasi dan modal kerja, komposisi dana tersebut seperti disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Kebutuhan Modal Kerja dan Investasi
No Rincian Biaya Proyek 1 Dana investasi yang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana investasi 2 Dana modal kerja yang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana modal kerja 3 Total dana proyek yang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana proyek Total Biaya 185.500.000 79.500.000 265.000.000 76.435.313 178.349.063 254.784.375 261.935.313 257.849.063 519.784.375

Pada Tabel 5.4 menunjukkan rincian kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja dalam setahun. Untuk investasi dibutuhkan dana sebesar Rp 265.000.000. Untuk kredit investasi bank mensyaratkan perbandingan: 70% persen kredit bank dan 30% persen dana sendiri. Dengan perbandingan tersebut, kredit investasi yang dibutuhkan adalah Rp 185.500.000 sedangkan dana sendiri untuk investasi sebesar Rp 79.500.000. Untuk modal kerja dibutuhkan dana sebesar Rp 254.784.375 dengan perbandingan 30% kredit bank dan 70% dana sendiri. Dengan perbandingan tersebut, kredit modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 76.435.313 sedangkan dana sendiri untuk modal kerja sebesar Rp 178.349.063. Berikut ini adalah asumsi yang digunakan untuk penghitungan angsuran kredit untuk usaha ini, baik angsuran pokok maupun angsuran bunga. Jangka waktu pinjaman selama 4 tahun Bunga 13%, per tahun dengan sistem perhitungan efektif menurun Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan

Tabel 5.5. Angsuran Pokok dan Angsuran Bunga


Tahun 0 1 2 3 4 Kredit 261.935.313 122.810.313 46.375.000 46.375.000 46.375.000 26.734.143 15.323.073 9.294.323 3.265.573 149.544.455 61.698.073 55.669.323 49.640.573 Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal 261.935.313 261.935.313 139.125.000 92.750.000 46.375.000 Saldo Akhir 261.935.313 139.125.000 92.750.000 46.375.000 0

PRODUKSI DAN PENDAPATAN Output usaha pengolahan tapioka adalah onggok dan tepung tapioka. Dari penjualan output tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp 2.330.640.000 yang diperoleh dari produksi tepung tapioka sebanyak 2.340 ton per tahun dengan harga jual Rp 900/kg dan 749 ton per tahun onggok dengan harga jual Rp 300/kg. PROYEKSI LABA RUGI DAN BREAK EVEN POINT Proyeksi laba rugi menunjukkan bahwa pada tahun pertama usaha pengolahan tapioka mampu memperoleh laba sebesar Rp 87.083.772 dengan rata-rata profit margin tiap tahun sebesar 6,88% per tahun dan BEP rata-rata Rp 826.499.976 atau BEP produksi rata-rata 918 ton. PROYEKSI ARUS KAS DAN KELAYAKAN PROYEK Arus kas usaha pengolahan tapioka ini dapat dilihat pada lampiran 9. Dalam analisis kas dilakukan perhitungan Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C Ratio), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period (PBP). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan usaha yang menguntungkan karena pada tingkat bunga 13% per tahun, net B/C ratio 1,81 dan NPV Rp 373.307.965,- dan IRR sebesar 39,63% artinya proyek ini layak dilaksanakan sampai tingkat bunga pinjaman sebesar 39,63%. Tabel 5.7. Kelayakan Pengolahan Tapioka No 1 2 Kriteria Kelayakan Net B/C ratio pada DF 13% NPV pada DF 13% (Rp) Nilai 1,72 373.307.965

3 IRR (%) 39,63 4 PBP (usaha) 3 tahun 3 bulan 5 PBP (kredit) 1 tahun 9 bulan Dari hasil analisis kelayakan keuangan tersebut dapat disimpulkan bahwa semua biaya investasi yang ditanamkan pada usaha ini akan kembali pada tahun ke-3, pendapatan tahun ke-4 dan selanjutnya merupakan pendapatan bersih. Sementara, berdasarkan jumlah kredit usaha tersebut, investasi yang ditanam akan kembali pada tahun kedua ANALISIS SENSITIVITAS KELAYAKAN PROYEK Proyeksi penerimaan dan biaya didasarkan pada asumsi dan proyeksi yang memiliki ketidakpastian. Untuk itu diperlukan analisis sensitivitas untuk menguji seberapa jauh proyek yang dilaksanakan sensitif terhadap perubahan harga input maupun output, kesalahan dalam pembangunan sarana fisik dan operasional ataupun kelemahan estimasi produksi. Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan menggunakan 3 skenario yaitu: 1. Skenario I Pendapatan mengalami penurunan sebesar 3% dan 4%, sedangkan biaya investasi dan biaya operasional tetap. Penurunan pendapatan dapat terjadi karena harga jual tepung tapioka mengalami penurunan atau jumlah produksi tidak tercapai. 2. Skenario II Biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 4% dan 5%, sedangkan biaya investasi dan pendapatan dianggap tetap. Kenaikan biaya operasional dapat terjadi apabila harga input meningkat. Dalam hal ini komponen terbesar adalah bahan baku, maka biaya operasional sensitif terhadap kenaikan bahan baku singkong. 3. Skenario III Skenario ini merupakan gabungan dari skenario I dan II yaitu diasumsikan pendapatan menurun sebesar 2% dan 3% dan pada saat yang sama biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 2% dan 3%, sedangkan biaya investasi dianggap tetap. Hasil analisis terhadap ketiga skenario di atas diringkas pada tabel berikut ini. Tabel 5.8. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario I No Kriteria Kelayakan Penerimaan Turun 3% 4%

1 2 3 4 5

Net B/C ratio pada DF 13% 1,25 1,09 NPV pada DF 13% (Rp) 127.385.969 45.411.971 IRR (%) 22,56 16,48 PBP (usaha) 4 tahun 3 bulan 6 tahun 1 bulan PBP (kredit) 2 tahun 11 3 tahun 11 bulan bulan Tabel 5.9. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario II Kriteria Kelayakan Biaya Operasional Naik 4% 5%

No 1 2 3 4 5

Net B/C ratio pada DF 13% 1,17 1,03 NPV pada DF 13% (Rp) 86.544.583 14.853.738 IRR (%) 19,56 14,15 PBP (usaha) 4 tahun 9 bulan 6 tahun 2 bulan PBP (kredit) 3 tahun 4 bulan 3 tahun 8 bulan

Tabel 5.10. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario III Penerimaan Turun dan biaya naik 2% 3% 1,13 65.978.277 18,03 4 tahun 11 bulan 3 tahun 7 bulan 0,83 (87.686.567) 5,99 6 tahun 9 bulan 5 tahun 3 bulan

No 1 2 3 4 5

Kriteria Kelayakan Net B/C ratio pada DF 13% NPV pada DF 13% (Rp) IRR (%) PBP (usaha) PBP (kredit)

Pada skenario I, pada saat pendapatan turun sebesar 3% dengan tingkat bunga 13%, diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan IRR mencapai 22,56%. Dapat disimpulkan bahwa pada penurunan pendapatan sebesar 3% proyek tersebut layak dilaksanakan. Pada penurunan pendapatan sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio sebesar 1,09, NPV Rp 45.411.971,-, IRR 16,48%. Jika dilihat dari kriteria investasi, penurunan pendapatan sebesar 4% ini usaha pengolahan tapioka masih layak dilaksanakan. Tetapi jika dilihat dari jangka waktu pengembalian investasi, usaha

ini tidak layak dilaksanakan karena payback periodnya melebihi periode proyek yang hanya 5 tahun. Pada skenario II, biaya operasional mengalami kenaikan dengan asumsi biaya investasi dan pendapatan tetap. Pada kenaikan biaya operasional sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan IRR mencapai 19,56%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan suku bunga 13%, pada kenaikan biaya operasional sebesar 4% proyek ini masih layak dilaksanakan. Pada kenaikan biaya mencapai 5% proyek ini tidak layak dilaksanakan karena Payback period melebihi umur proyek dengan jangka waktu pengembalian investasi selama 6 tahun 2 bulan. Pada skenario III, diasumsikan terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional. Pada penurunan dan kenaikan biaya operasional masing-masing sebesar 2%, proyek tersebut masih layak dilaksanakan, karena pada saat suku bunga 13% Net B/C ratio lebih dari satu dan NPV positif serta IRR mencapai 18,03%. Namun bila penerimaan dan biaya naik sebesar 3%, maka proyek ini tidak layak dilaksanakan karena IRR lebih kecil dari suku bunga yaitu 5,99% dan PBP melebihi umur proyek. Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani, masyarakat dan pengusaha. Di samping memiliki manfaat sosial, usaha pengolahan tapioka ini juga memiliki manfaat ekonomi yang cerah di masa mendatang sehingga usaha ini layak mendapatkan pembiayaan dari perbankan. ASPEK SOSIAL EKONOMI Dilihat dari aspek ekonomi dan sosial, usaha pengolahan tapioka memiliki dampak yang positif. Banyak pihak yang memperoleh manfaat dari usaha ini, diantaranya adalah petani singkong, masyarakat, dan pengusaha itu sendiri. Pihak-pihak yang terkait tersebut dapat memperoleh kenaikan penghasilan dari usaha tersebut. Dampak lain selain kenaikan pendapatan adalah bahwa usaha pengolahan tapioka mampu menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja pengolahan tapioka diperoleh dari masyarakat sekitar sehingga secara tidak langsung mengurangi jumlah pengangguran. ASPEK DAMPAK LINGKUNGAN Usaha pengolahan tepung tapioka ini menghasilkan limbah padat, cair dan udara. Sebagian limbah ini ada yang dapat dimanfaatkan lagi secara ekonomis. Limbah padat atau sering disebut onggok merupakan bahan baku pembuat saus dan obat nyamuk bakar. Limbah padat yang lain adalah kulit singkong yang banyak dimanfaat untuk pupuk dan pakan ternak. Limbah cair dari

usaha ini digunakan untuk mengairi sawah sekitar lokasi pabrik sehingga keberadaan industri tepung tapioka ini sangat bermanfaat bagi petani. Polusi udara yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat karena terletak jauh dari pemukiman masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada limbah dari usaha pengolahan tapioka ini yang merugikan baik makhluk hidup maupun lingkungan yang tinggal di sekitarnya. KESIMPULAN 1. Peluang pasar komoditi tepung tapioka baik untuk ekspor maupun pemenuhan dalam negeri masih terbuka dan berpotensi memberikan peluang bagi pengembangan dan peningkatan produksi tapioka di Indonesia. Dilihat dari potensinya, sumber daya lahan dan sumber daya manusia untuk pengembangan produksi tapioka di Indonesia masih banyak tersedia di berbagai daerah. 2. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam pengembangan usaha tapioka antara lain masalah bahan baku dan pemasaran tapioka. Masalah bahan baku disebabkan oleh harga jual singkong dari petani yang rendah sehingga petani tidak dapat membiayai usaha penanaman singkong, sedangkan masalah pemasaran tapioka disebabkan oleh minimnya informasi yang diperoleh pengusaha mengenai harga dan jumlah permintaan pasar. 3. Kredit usaha yang dibutuhkan meliputi kredit modal kerja dan kredit investasi. Jumlah kredit modal kerja sebesar Rp 76.435.313, dan kredit investasi sebesar Rp 185.500.000. 4. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan penerimaan sampai dengan 4%, dengan asumsi biaya investasi dan operasional adalah tetap. Pada tingkat penurunan penerimaan tersebut proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan. 5. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya operasional menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap kenaikan biaya operasional sampai dengan 5%, dengan asumsi biaya investasi dan penerimaan adalah tetap. Pada tingkat kenaikan biaya operasional tersebut proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan. 6. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan sekaligus kenaikan biaya operasional menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan penerimaan dan kenaikan biaya operasional sampai dengan 3%, dengan asumsi biaya investasi tetap. Pada tingkat penurunan penerimaan sekaligus kenaikan biaya operasional sebesar 3%, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

7. Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani, masyarakat dan pengusaha. Disamping secara sosial memiliki manfaat, secara ekonomi usaha ini juga memiliki masa depan yang cerah dan layak dibiayai perbankan. SARAN 1. Untuk menjaga kestabilan harga baik harga bahan baku dan harga tapioka pengusaha harus mengoptimalkan fungsi asosiasi atau perkumpulan pengusaha tepung tapioka. 2. Untuk menjaga ketersediaan bahan baku dan keberlangsungan usaha, setiap pengusaha diharapkan bermitra dengan petani, dengan memberikan perhatian terhadap masalah penanaman ubi yang menentukan kualitas tapioka dengan menyertakan pemberian pupuk organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah serta memperhatikan umur tanam ubi. 3. Meskipun usaha ini layak dibiayai oleh bank, namun bank perlu untuk melakukan analisis kredit yang lebih komprehensif berdasarkan prinsip kehati-hatian bank.

You might also like