You are on page 1of 40

Tafsir Falsafi

TAFSIR FALSAFI
Sejarah tentang tafsir falsafi
Tafsir Falsafi dalam Pandangan Islam
- Al-Quran mengajak berfilsafat
- Metode penafsiran falsafi
3. Kekuatan dan kelemahannya
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Sejarah tentang Tafsir Falsafy
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang
kepada gerakan penerjemahan buku-buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini pula yang
membawa Islam kepada pengenalan terhadap filsafat terutama dari buku-buku karangan Aristoteles dan
Plato. Filsafat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengeksplor pemikiran mereka dan oleh karena
mereka sangat gandrung akan model pemikiran semacam ini, maka dari sinilah mengapa sebagian
orang Islam menafsirkan al-Quran dengan menggunakan pendekatan filsafat atau yang disebut dengan
tafsir falsafi.
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Quran adalah bagaimana para
filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Diantara tokohnya
adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Sedang Thaba Thabai sendiri memasukkan pembahasan filsafat
sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan
dengan al-Quran. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada sebagian ayat saja.
1
Menyikapi hal ini, ulama Islam terbagi kepada dua golongan sebagai berikut:
Golongan pertama yang menolak filsafat, atau ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku
karangan filosof tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena mereka memahami
diantaranya ada yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka yang
menolak buku-buku itu dan menyerang faham-faham yang dikemukakan didalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari
kaum muslimin. Diantara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat
adalah Hujjah al-Islam al- Imam Abu Hamid al-Ghazaly. Karena itu ia mengarang sebuah
kitab al- Irsyad dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Begitu juga Fakhrur Rozi di
dalam kitab tafsirnya beliau membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan
agama. Dan akhirnya dengan tegas ia menolak filsfat berdasar dalil yang beliau anggap
memadai.
2
Kelompok kedua, adalah kelompok yang menerima filsafatdan mengaguminya. Meskipun
sebenarnya ada pertentangan yang nampak jelas anatara filsafat dan agama. Namun mereka
berpendapat bahwa hal itu masih memungkinkan untuk dilakukan kompromi antara al-Quran dengan
filsafat dengan menghilangkan pertentangan yang terjadi diantara keduanya. Dalam mengkompromikan
kedua hal tersebut, dilakukan dengan dua cara
3
, yaitu:
Cara pertama, mereka melakukan tawil terhadap nash-nash al-Quran sesuai dengan
pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash Al-Quran pada pandangan-
pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Quran dengan pandangan
pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian
primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Quran sebagai bagian sekunder yang
mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui Al-Quran. Cara ini lebih berbahaya dari
cara yang pertama.
Beberapa contoh penafsiran falsafi :
Al-Farabi (257-339)
Ikhwanushofa
Ibnu Shina
Tafsir falsafi dalam pandangan Islam
2.1. Al-Quran mengajak untuk berfilsafat.
Arab, suatu tempat dimana Al-Quran diturunkan sebelum datangnya Islam tidak mengenal
pemikiran filsafat. Malah mereka tidak mengenal kata-kata filsafat itu, karena filsafat bukanlah kata-
kata arab sendiri, tetapi dari Yunani. Ilmu ini mereka kenal sesudah orang-orang Islam menerjemahkan
buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
Doktor Jamil Saliba dalam bukunya Tarikh al-Falsafah al- Arabiyah mengatakan bahwa Arab Jahiliah
telah memiliki pengetahuan falak, ilmu alam, ilmu kedokteran experimental yang bercampur aduk
dengan ilmu magik dan azimat, serta dongeng tentang jin dan syaitan, mereka pintar berpuisi dan
prosa, dan syair-syair suhud yang mengandung unsur akhlak dan kejiwaan; tetapi semua ini tidak
tersusun dalam satu aliran filsafat yang sempurna dan sistematis. Pemikiran filsafat belumlah mereka
miliki kecuali setelah datangnya Islam.
4
Bangsa Arab yang cara berfikirnya sangat fanatik kepada leluhur mereka, maka Islam datang
memerdekakan ratio (akal) mereka dari belenggu yang mengikatnya dan membebaskan dari
pengaruh taklid yang memperbudaknya. Akal itu dipersilahkan untuk memberikan keputusan
dengan ilmu dan kebenarannya sendiri, disamping harus tunduk hanya kepada Allah Yang
Maha Esa semata dan patuh kepada peraturan syariat agama-Nya. Islam tidak merintangi
dinamika akal, dan tidak membatasi kemajuan berfikirnya yang terus meningkat.
Dengan kemajuan berfikir itu, Quran mengajak dan mendorong untuk berfikir dan
menyelidiki serta membahas segala hal yang wujud. Dengan demikian akal akan sampai
kepada pembuktian adanya pencipta dan sekalian ciptaan-Nya. Dan ini adalah merupakan inti
dari pembahasan pemikiran falsafi.
5
Banyak kandungan ayat-ayat al-Quran yang mendorong akal
untuk berfikir falsafi, seperti Firman Allah Taala :
Maka ambillah pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan (pikiran) Al- Hasyr (59:2)
Ia pun telah berfirman ;
Bahwasannya dalam kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal.
Dan, banyak lagi ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah-masalah Allah, alam, dan
manusia maupun persoalan-persoalan ratio, atau akal dan etika, masalah-masalah yang merupakan
tema dasar dari pengkajian filosof-filosof dari masa ke masa sepanjang sejarah pemikiran filsafat. Maka
pengkajian yang mendalam antara orang-orang Islam tentang ayat-ayat al-Quran yang berhubungan
dengan Allah, Alam dan manusia, membawa mereka kepada mendalami masalah filsafat, dalam artian
dengan datangnya Islam maka al-Quran meletakkan fundasi dasar untruk berfikir falsafi bagi orang-
orang Arab khususnya dan bagi orang-orang Islam umumnya.
Ayat-ayat mutasyabihat baik dulu hingga kini dan untuk selamanya merupakan pendorong untuk berfikir
dan mengajak manusia menggunakan akalnya, atau dengan kata lain membantu manusia dalam meniti
jalan filosofis.
6
2.2. Metode Penafsiran Falsafi
1 Muhammad Hussain At-Thaba-ThabaI, al-Mizan fi Tafsir Al-Quran. Bairut: (Mu,assisah al-Alamy Li al
Mathbuat) halm; 3
2 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Rajawali Press, Jakarta, 1992, halm; 61
3 Mahmud Hamdi, Al-Mausuah al-Quraniah al Mutakhossishoh. Kairo, kementrian wakaf,2003 halm;285
4 Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Quran, Bustami A GAni, Litera Antar Nusa, Jakarta,1994, halm 231
5 Ibid, halm 235
6 M yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat,Tiara Wacana, Yogyakarta,1991, halm; 29
diposkan
oleh smartfamily di 22:03 010009000003ee02000000002e02000000002e02000026060f005204574d464
3010000000000010063370000000001000000300400000000000030040000010000006c000000000000
0000000000110000000c00000000000000000000007a020000ca01000020454d4600000100300400000c
000000010000000000000000000000000000000004000000030000690100000f01000000000000000000
00000000001c83050055220400460000002c00000020000000454d462b014001001c0000001000000002
10c0db010000006000000060000000460000008001000074010000454d462b224004000c000000000000
001e4009000c00000000000000244001000c000000000000003040020010000000040000000000803f21
4007000c0000000000000008400005cc000000c00000000210c0db010000000000000000000000000000
00000000000100000047494638396112000d00e300008a8a8a808080e5e5e5fffffff2f2f2eaeaeae4e4e400
0000ccccccb4b4b41a1a1a3333336666664d4d4dffffffffffff2c0000000012000d0000045910c8492b0893e8
cdf90508400c646912205684a359a288a1aea23b1ca0210345cf9e8b836ed7f3d50e8ac322a99bf50009d18
1d1581e844ea84000402a99c482764b162c034ddeb8bc3d081268cc9a5d866302f8bc7e8f8f00003b08400
10824000000180000000210c0db01000000030000000000000000000000000000001b40000040000000
340000000100000002000000000000bf000000bf000090410000504103000000000000b3000000b3ffff8f
41000000b3000000b3ffff4f412100000008000000620000000c00000001000000150000000c0000000400
0000150000000c00000004000000510000004c0100000000000000000000110000000c00000000000000
000000000000000000000000120000000d0000005000000060000000b00000009c00000000000000200
0cc00120000000d00000028000000120000000d00000001000400000000000000000000000000000000
000e0000000000000000000000ffffff008a8a8a0080808000f2f2f200cccccc00eaeaea00e4e4e4003333330
01a1a1a00b4b4b400666666004d4d4d00e5e5e50023333333333333333303030322adddddddddddda330
20a0d262adddddddd0da3730d0d0a2662addddddd8937730d0d0d26662add2090890773030000266662a
240bc8900730d0d0d266665241090890773060606266652411114807773090007266524111111025773
020a0226524111111114257303030025241111111111425300090022444444444444442306060622222
22222222222320007074c000000640000000000000000000000110000000c0000000000000000000000
120000000d0000002900aa0000000000000000000000803f00000000000000000000803f000000000000
0000000000000000000000000000000000000000000000000000220000000c000000ffffffff460000001c0
0000010000000454d462b024000000c000000000000000e000000140000000000000010000000140000
000400000003010800050000000b0200000000050000000c020d001200030000001e000400000007010
40004000000070104008b000000410b2000cc000d001200000000000d001200000000002800000012000
0000d00000001000400000000000000000000000000000000000e0000000000000000000000ffffff008a8
a8a0080808000f2f2f200cccccc00eaeaea00e4e4e400333333001a1a1a00b4b4b400666666004d4d4d00e
5e5e50023333333333333333303030322adddddddddddda33020a0d262adddddddd0da3730d0d0a2662a
ddddddd8937730d0d0d26662add2090890773030000266662a240bc8900730d0d0d26666524109089077
3060606266652411114807773090007266524111111025773020a022652411111111425730303002524
111111111142530009002244444444444444230606062222222222222222320007070c0000004009290
0aa000000000000000d00120000000000040000002701ffff030000000000
CORAK TAFSIR FALSAFI DAN TAFSIR SUFI
A. TAFSIR FALSAFI
1. Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Quran dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat.[1] Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-
teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai
penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti
bahwa ayat-ayat Al Quran dapatditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al
Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan
teori-teori filsafat.
Tafsr al-Falsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau
pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.[2] seperti tafsir
yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini
di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[3]
Al Quran adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci
ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Quran melalui penafsiran
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di
dalam menafsirkan Al Quran terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga
membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi,
ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan
yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Quran
serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Quran pun terus
berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada
tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik
dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan,
dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir
yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung
membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu
mendominasi, maka metode ini kurangmemperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun
begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi
makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan
lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[4]
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan
nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang
tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian
pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Quran tidak lepas
dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan
lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan.
Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum
menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu
hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman
kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai
aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal
dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid
walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan
semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat
dan kredibel dari pada tafsir lain.
2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-
kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-
buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di
antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti
Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua
golongan, sebagai berikut:
1. Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof
tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara
yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku
itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-
argumennya,mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin.[5]
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat
adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang
kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd.
Demikian pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham
mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan
dengan agama dan al-Quran.
2. Sebagian ulam Islam yang lain, justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat
menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha
memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.[6]
Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan teori-teori filsafat
mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkinnash al-Quran
mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata Kami tidak
pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang
mengarang satu kitab tafsir Al-Quran yang lengkap. Yang kami temukandari mereka tidak
lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang
berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[7]
Dari golongan yang pertama lahirlah kitab Mafatih AL-Ghayb, karangan Al-Fakhr Al-Razy
(W. 606 H)
B. TAFSIR SUFI
1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering
didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari
sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam
suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Dr. Muhammad Husen adz Dzahabi adalah transmisi
jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya hati dan
komunikasinya ruh.
Tafsr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua
bagian; tafsr shfi nadzary dan tafsr shfi isyary. Tafsir sufi nazary adalah tafsir yang
didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini
tertolak.[8] tafsir sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf)
si penulis seperti tafsr al-Qur`an al-`Adzm karya al-Tustari, Haqiq al-Tafsr karya al-
Sulami dan `Aris al-Bayn f Haqiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa
diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak
bertentangan dengan syareat/ rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak
memenuhi syarat ini, maka ditolak.[9]
Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran secara
potensial mengandung 4 tingkatan makna: zhahir, batin, hadd, dan matla. Keempat
tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila corak penafsiran
semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak
awal turunnya al-Qurn kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang
dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Quran
melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para
sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.
Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan melalui jalan periwayatan secara
tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para
wali merupakan pewaris kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski
berbeda secara substansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah
ilahiyah kepada ummat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul
tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada
keluhuran budi pekerti.[10]
Klaim sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa
para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika
mencapai tahapan marifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep
mistik yang oleh Ibn Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai
kedudukan yang disebutnya sebagaial-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian
umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang
menerimanubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai
utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian
tertutup sampai akhir zaman nanti.[11]
Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-
Quran melalui jalan itibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih
pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau
dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya
seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan
isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan
sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qurn al-
Azhim, karya Sahl al-Tustar (w.283 H). Haqiq al-Tafsr karya Abu Abd al-
Rahman al-Sulam (w.412 H). Lataif al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan Aris al-
Bayn f Haqiq al-Qurn karya al-Syiraz (w.606).
Ketika ilmu-ilmu agama dan Science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam
tersebar ke seluruh plosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka
berkembanglah ilmu tasawuf dan ilmu itu mempunyai dua wujud: teoritis dan praktis.
a. Tasawuf Teoritis
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk
meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Quran dengan sudut pandang sesuai
dengan teori-teori tasawuf mereka. Merekamentawilkan ayat-ayat al-Quran dengan tidak
mengikuti cara-cara untuk mentawilkan ayat al-Quran dan menjelaskannya dengan
penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh
dalil Syari serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat.
[12]
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut:
Apa yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Quran adalah termasuk ke
dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh
orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-
pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal
ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual,
itulah yang dikehendaki). Oleh karena demkianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim,
maka mereka sampai menafikan syariat secara keseluruhan.
Tokoh-tokoh sufi kita tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka
menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada
tahap pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran danpengertian tekstual, sebab
tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu
ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa
yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Quran sebelum mengetahui penafsiran
dan pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam
kabah sebelum ia melawan pintunya.[13]
Labih jauh Al-Alusy berkata: Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemempuannya
terbatas dan keiimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Quran mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dkehendaki.
Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45),
Sebagai berikut:


Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Alllah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-
orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya daritajally-tajally Allah
yang amat halus n menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang
yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nya lah
mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan
meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukaan selain
eksistensi Allah sebagai raja yang Maha halus dan Maha Perkasa.
b. Tasawuf Praktis
Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan ata hidup
sedrhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari
segala kenikmatan, meemutuskan jiwa dari berbagai macam syahwat dan mmenghancurkan
diri dalam taat kepada Allah.
Imam Ahmad Ibn Sahl berkata, musuhmu itu ada empat:
1. Dunia. Senjata (yang digunakan oleh) dunia (untuk memperdaya manusia) adalah hidup
membaur dengan hidup sesame manusia dan penagkalnya adalah hidup menyendiri.
2. Syaitan. Senjata syaitan adalah kenyang dan penangkalnya adalah lapar.
3. Jiwa, senjata jiwa adalah tidur dan penagkalnya adalah tidak tidur pada malam hari.
4. Hawa nafsu. Senjata hawa nafsu adalah banyak berbicara dan penagkalnya adalah diam.
[14]
Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup diri mereka,
mereka bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri menghadapi
kehidupan di akhirat.
Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: kami tidak mendengar ada seseorang
yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang mennafsirkan ayat demi ayat
demi ayat dalam al-Quran sepertti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-
makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Quran). Yang kami temukan adalah keterangan-
keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat dalam
penafsiran yang disandarka kepada Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan
beliau , sebagaimana sebagian yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir
yang corak penafsirannya berbeda-beda.
Mereka berkata, tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat, sebagai
berikut:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Quran.
2. Penafsiran itu diperkuat oleh dalil Syara yang lain.
3. Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara atau ratio.
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang
dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui
pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam Al-Alusy.[15]
Di antara kitab-kitab tentang tafsir Sufi adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-Quran al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.
2. Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.
3. Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Quran, karangan Imam Al-Syirazy.[16]
2. Tafsir Sufi Lebih Dekat DenganTasawuf
Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena
di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu tasawuf juga dalam sejarah
perkembangannya telah mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai
polemik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena
istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga
tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang
mengandung arti suci. Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan
umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat,
puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup
menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,
sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan
seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-
Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal
Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan
ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.
Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H. dan seterusnya), secara berangsur-angsur
terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal
dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang
dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.).
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada
masa pemerintahan Abbasiyah (4 H.), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang
melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada
praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu
tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam,
sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf nazari dan tasawuf amali.
Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun
tasawuf amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah
swt.
Dari hal tersebut di atasi mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang
yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya.
Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir.
Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, marifah, hulul dan
lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin
ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan
yang lainnya.
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang
telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang tasawuf. Di samping itu,
telah banyak bermunculan karya-karya tafsir produk ulama sufi. Di antara karya tafsir ulama
sufi adalah al-Futuhat karya Ibn al-Arabi, Tafsir al-Quran al-Azim karya al-Tastari dan
Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi.
Dua macam tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar
terhadap penafsiran al-Quran, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi
nazary dan tafsir sufi Isyari.
3. Karakteristik Tafsir Sufi
Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi
sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri
khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi
paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar
bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya
itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
a. Tafsir Sufi Nazari
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan
memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir
membawa al-Quran melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan
manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-
Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Quran
yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn
al-Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-
teori tasawufnya dengan al-Quran. Karya tafsir Ibn al-Arabi di antaranya al-Futuhat al-
Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham
wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan
antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Quran tentang paham ini diantaranya:
Pertama, al-Quran surat al-Baqarah ayat 186: Jika hamba-hambaku bertanya
padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia
panggil Aku. Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa
dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau
memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan
perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada
mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah: Timur dan Barat kepunyaan Allah,
maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah. Kaum sufi menafsirkannya dengan
di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari
Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ketiga, surat Qaf ayat 16, Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang
dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri
yang ada dilehernya. Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk
mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya
sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan
berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadis
Nabi, Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.Untuk memperkuat tafsiran
itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat 17
dari surat Al-Anfal: Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan tapi
Allah yang melemparkannya.
Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham
wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-
olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn
al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang
dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas
penafsiran Ibn al-Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Contoh penafsiran Ibn al-Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat
al- wujud-nya diantaranya yaitu Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang
berbunyi:
.
Fadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk
mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk
bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada
pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka
kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu.
Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-
ciri dalam penafsiran nazary yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran tafsir nazari sangat besar dipengaruhi
oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazari yang dipengaruhi filasafat yaitu
penafsiran Ibn al-Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :

Menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafadz makanan aliyyan dengan antariksa
(alam bintang). Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu
yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang
nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan
apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nazari adalah hanya
berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut
hemat penulis tafsir al-Nazari pada hakikatnya adalah tafsir isyariyang secara umum dipakai
oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nazari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-
kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.
b. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna
lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara
kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan
menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Quran mencakup apa yang zhahir dan batin.
Makna zhahir dari al-Quran adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Quran
yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga
diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut
dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu,
bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan
menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir
tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa
yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal
atau ray, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ray atau akal.
Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum
adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di
dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan
kata Isyarat adalah untuk membedakannya dari tawil yang selalu dinisbatkan kepada
tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih
banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka
terhadap al-Quran tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi
makna al-Quran dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya
dengan Isyarah.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi
pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran khusunya dan melihat dunia pada
umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin.
Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zahir teks adalah penyinar.
Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ibn Abi
Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna; zahir, batin, had dan matla. Al-
Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dhahir, al-Quran memiliki makna batin.
Abdullah (Al-Muhasibi) dan Ibnu al-Arabi memberikan penjelasan pernyataan tersebut,
bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya.
Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah
bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Quran adalah dari Allah. Lahir
adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya,
sedangkan al-Batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-
arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-
Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada
Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi dhahir dan batin
(dan al-Quran termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah
al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Manawi. Contoh penafsiran
isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu
penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :

Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi
maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang
sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena
manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu
amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah
banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika
para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:

Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada
Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa
ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari
surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan.
Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat
yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam asebuah riwayat Ibnu Abi
Syaibah menyatakan bhwa ktika ayat ini diturunkan Umar ibn al-Khatab menangis, lantas
Nabi bertanya: apa yang kamu tangisi (Umar) ? saya menangisi bahwa sesungguhnya kita
telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali
tambah berkurang
Al-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazari
dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
1. Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang
sufi yang kemudian menafsirkan al-Quran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya.
Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi
didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga
tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran.
2. Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Quran mempunyai
makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi
isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik
makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna zahir dan batin.
Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para sufi menafsirkan ayat-ayat
tentang hukum atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka
menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan
oleh mereka adalah hakikat bukan syariat. Dalam menaggapi persoalan ini, perlu merujuk
para ulama tasawuf sendiri.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam
antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dmainkan
oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara
keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya
adalah Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat
bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa
mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat.
Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana
para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas
mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat
tersebut untuk menegtahui hikamh-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para
fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya:
Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-
Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau
mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun
makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia
Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan
berilmu.[17]
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban
membayar zakat yang ditujukan pada delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq
al-zakat). Ibnu Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat
ini berpendapat bahwa zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara
syariah diwajibkan tujuan adalah untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka
delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak menerima zakat yang jumlahnya delapan.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka
tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan
syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara
lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan
hikmah-hikmahnya.
Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf
Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya
hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan
hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 182
[2] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I,
hlm. 419
[3] Ibid., Jilid II, hlm.431
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik,Paramadina, Jakarta,1996, hal. 215
[5] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 61
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 62
[8] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Jilid II, hlm. 346
[9] Ibid., hlm. 377
[10] Tawfiq b. Amir, Dirasah fi al-Zuhd wa al-Tasawwuf, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 15-17
[11] Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54
[12] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hlm. 55.
[13] Ibid., hlm. 56
[14] Ibid., hlm. 57
[15] M. Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, Juz III, hlm. 43
[16] Ibid.
[17] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar, Dar Iqra, Beirut, 1983,
hlm. 32
Diposkan oleh ARIF FIKRI BLOG di 18:58
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google
Buzz
B. Tafsir Falsafi
Tafsir Falsafi adalah penafsiran Al-Quran berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran
filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Ilmu filsafat tidak diketahui orang-orang Islam
sebelum masa bani Abbasiyah pertama (132-232 11/ 750-847 M). Ilmu ini ditransfer kedunia
Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang tersebar di daerah-daerah Laut
Putih, Iskandariah, Anthakiah, dan Harran.
Pada masa Harun Al-Rasyid lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia.
Kemudian pada masa Al-Makmun penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan
mengirim tim-tim ke negara-negara tetangga seperti Cyprus dan Romawi untuk mendapatkan
buku-buku filsafat. Kemudian lahirlah filsuf-filsuf muslim yang terkenal, yang kemudian
menulis buku dalam Khazanah keilmuan dalam berbagai cabang, seperti kedokteran, logika,
astronomi dan lainnya. Diantaranya adalah, Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina:
1. Tema-tema penafsiran dengan kecenderungan filsafat
Karena filsafat merupakan cabang dari ilmu pengetahuan dan mempunyai objek kajian
tertentu yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Tafsir dengan kecenderungan filsafat
mempunyai objek yang tidak lepas dari pengaruh dari objek kajian filsafat itu sendiri.
Menurut C.A. Qadir, objek kajian tersebut antara lain berikut ini :
a. Masalah doktrin monteisme atau keesaan Allah. Menurut doktrin ini, Allah adalah pencipta
Alam semesta yang tidak berawal dan tidak berakhir, tidak berubah, Maha tahu, Maha kuasa ,
satu-satunya yang disembah. Hal ini berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
b. Masalah yang sangat penting adalah menyangkut kenabian, yang menyangkut sebagai sifat
dasar dan cirri-ciri kesadaran, perbedaan dan kemiripannya dengan kesadaran mistik, logika
atau kesadaran keagamaan, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
c. Masalah penyelesaian antara filsafat dan agama. Para filosof berpendapat bahwa pada
tingkat akhir, hasil pemikiran filsafat tidak bertentangan dengan agama karena kedua-duanya
bersumber pada hakikat terakhir yang sama.
2. Metodologi tafsir dengan kecenderungan falsafi
Dari objek kajian dan prinsip kefilsafatan ini, dapat dilihat bahwa dalam metodologi
penafsiran dari mazhab tafsir yang berkecenderungan filsafat ini, terdapat upaya
penggabungan antara filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks-teks agama pada makna-
makna yang sesuai dengan filsafat, yang filosofis, yang dimulai perenungan atas sejumllah
fenomena lainnya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ayat Al-Quran .
Dengan kata lain, dapat dikatakan, mendahulukan pertimbangan logika kemudian diteruskan
dengan melihat norma syariat, yaitu Al-Quran.
3. Contoh penafsiran dalam kecenderungan Filsafat
Artinya : Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada nya.
(Ar-Rahman :6)
Kata sujud pada ayat tersebut dengan makna tunduk pada ketentuan Illahi. Karena secara
lahir, kata sujud bagi binatang dan pohon tidak mungkin terlihat pada sujud ketika shalat bagi
manusia. Dengan demikian harus diakui bahwa benda-benda mempunyai daya hidup.
Sedangkan kehidupan merupakan indikasi adanya kematian atau kehancuran yang terjadi
pada suatu saat. Karena makhluk rasional lebih unggul ketimbang yang irasional. Padahal
benda-benda tidak mempunyai akal, batas kecerdasan benda-benda itu termasuk benda itu
sendiri, haruslah lebih rendah dari manusia.
Menurut Quraish Shihab, medan filsafat alam objek penafsirannya hanya sekitar hal yang
menyangkut keyakinan (tauhid, aqidah, atau teologi). Oleh karena itu, terjadi bias-bias yang
terkadang mengarah kepada tercerabutnya konsep tauhid terutama dari Mutazilah dan orang
yang masuk Islam yang sekat-sekat keyakinan lamanya masih kuah dan terbawa pada
ketauhidan Islam. Dengan tafsir yang bersifat falsafi ini, akidah menjadi cacat, Fasad, dan
sekedar menjadi bahan perbincangan yang membuat pro dan kontra.
DAFTAR PUSTAKA
Juhaya, S. Praja, Dr. Tafsir Hikmah (seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia), PT
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.
Suma Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia. 2001
Khaeruman Badri, Drs.Mag, Sejarah Perkembangan Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia.
2004
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung . Pustaka Setia. 2005
Corak Tafsir
Pendahuluan
Al Quran ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, para penyelam berusaha untuk
menyelam sedalam-dalamnya untuk mengetahui isinya, Al-Quran senantiasa aktual sepanjang masa
untuk ditafsirkan atau di tawilkan oleh para mufassir, berbagai metode telah dilakukan untuk
menafsirkan kandungan setiap ayat dalam Al-Quran. Salah satu metode yang dipakai oleh mufassir
adalah metode tahlili, ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir para ulama membagi wujud tafsir
Al-Quran dengan metode Tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bil al-Matsur, tafsir bi al-Rayi, tafsir
Shufi, tafsir Fiqhi, tafsir Falsafi, tafsir lmi dan tafsir Adabi Ijtimai.
A. Tafsir bil al-Matsur
Tafsir bi al-matsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah
khazanah intelektual Islam. Tafsir bi al-matsur ialah tafsir yang meliputi tafsir Quran dengan Quran,
tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dari nukilan para shahabat dan tafsir dengan nukilan dari para
tabiin ridhwanullah alaihim. Adapun contoh penafsiran tersebut sebagai berikut:
1. Tafsir Quran dengan Quran
Al-Quran itu, sebagaimana diketahui, sebagian ayatnya merupakan tafsiran bagi sebagian yang lain.
Yang dimaksud ialah bahwa sesuatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat
yang lain: suatu ketentuan yang berbentuk mujmal (global) mengenai suatu masalah, dijelaskan dalam
topik yang lain; sesuatu yang bersifat umum dalam sebuah ayat, ditakhshish (dijadikan khusus) oleh
ayat lainnya; sesuatu yang berbentuk mutlak di satu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad
(terbatas) mengenainya. Berdasarkan hal ini, maka seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-
Quran hendaklah melihat lebih dahulu dalam al-Quran, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama
menyangkut sebuah topik dan merujuk-silangkan (cross ferencing ) satu kepada yang lainnya untuk
memperoleh keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas, dengan bantuan
berbagai ayat tersebut; atau untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang mujmal; untuk
menghubungkan sesuatu yang nampak mutlak dengan keterangan yang tidak mutlak (muqayyad), yang
umum dengan yang khusus. Inilah maksud dan sifat apa yang disebut menafsirkan al-Quran dengan
al-Quran
Para ulama berkata: Penafsiran Al-Quran yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat Al-Quran
terhadap sebagian ayat yang lain. Hal ini sebagaimana kita temukan pada ayat Al-Quran yang muthlaq
ditafsirkan oleh ayat yang lain yang muqayyad atau ayat Al-Quran yang mujmal ditafsirkan oleh ayat
lain yang mufasshal seperti firman Allah (QS. 3: 133), sebagai berikut:

.
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS, Ali Imran, 133)
Siapa al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa?). ayat berikutnya (134) menafsirkannya, sebagai
berikut:
. .
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.
Juga misalnya firman Allah SWT :
. -
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nimat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (orang-orang yang mengetahui kebenaran
dan meninggalkannya), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (orang-orang yang meninggalkan
kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan). (QS, al-Fatihah, 6-7)
Orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nimat dalam ayat di atas ditafsirkan dengan firman
Allah:
.
Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nimat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin , orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS, an-Nisa,
69)
2. Tafsir al-Quran dengan Sunnah
Tafsir al-Quran dengan Sunnah yaitu tafsir yang dilakukan jika tidak diperoleh penafsiran al-Quran
dengan al-Quran, sebagaimana Allah berfirman:
3 9 _ )9 _ _ 9 9 7 ]
#!%2 )9 , 7 & 9 , !
Artinya: Dan Kami turunkan peringatan kepadamu agar kamu menerangkannya kepada ummat
manusia, tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.(QS. an-Nahl,
16:44).
Adapun contoh penafsiran al-Quran dengan sunnah sebagai berikut:
Untuk mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum. Penafsiran Nabi atas kata
kezhaliman (zhulm) dalam firman Allah SWT:
( #{ , 9 & 9 7 / 1 )
1 6 ) # ( 9 # # ( #!% ]
Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS, al-Anam, 6 : 82).
Rasulullah telah mengkhususkan kezhaliman dalam ayat tersebut di atas dengan kemusyrikan.
Setelah sebagian sahabat memahami bahwa kata kezhaliman dalam ayat tersebut berbentuk umum
(amm), Rasulullah saw lalu menjelaskan dengan mengatakan kepada mereka bahwasanya yang
dimaksudkan kezhaliman di sini adalah syrik. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh
bamba-Nya yang saleh (yakni Lukman al-Hakim):
9 1 ' #9 8 )
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS,
Lukman, 31 : 13).
3. Tafsir Sahabat
Tafsir sahabat adalah tafsir yang digunakan apabila kita tidak menemukan tafsiran dalam al-Quran
maupun sunnah serta hadits-hadits yang telah ditetapkan dari Rasulullah saw, maka hendaknya kita
kembali kepada keterangan-keterangan yang sahih dan yang telah ditetapkan dari para sahabat yang
terkemuka, karena merekalah yang pernah bersama Rasulullah saw, bergaul dengan beliau dan
menghayati petunjuk-petunjuk beliau. Adapun contoh penafsiran tersebut sebagai berikut:
Diantara atsar sahabat, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara
maushul (bersinambung) dengan sanad yang sahih dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra.yang
menerangkan tentang makna firman Allah Taala:

Artinya: Sesungguhnya perbuatan yang demikian adalah khub yang benar. (QS, an-Nisa, 2).
Ibnu Abbas berkata: Khub itu artinya dosa besar (itsmun azhim).
Demikian pula Ibnu Jarir meriwayatkan melalui bermacam-macam jalur, dari Sad bin Abi Waqash,
bahwa ia (Sad) berkata dalam menafsirkan firman Allah taala:
.
Jika seseorang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa meninggalkan ayah atau
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan. (QS, an-Nisa, 12)
Sad bin Abi Waqash berkata: Maksudnya adalah bahwa Ia mempunyai saudara laki-laki atau saudara
perempuan dari ibunya.
B. Tafsir bi Rayi
Yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran
mufassir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah
dia menguasai sumber-sumber tadi.Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi
Al Rayi. Sebagian ulama melarang penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini, sebagian
yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan
hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan
golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa
meniadakan mana dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas
penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih
dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak
di perbolehkannya menafsiri Al-Quran hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-
Rayi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta
tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syariat serta tidak mengikuti kaidah ilmu
tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama, seperti yang di sampaikan oleh
Ibnu Masud: akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Quran, akan tetapi mereka
tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Quran, dan menjauhi segala
bentuk bidah.
Disamping itu ada enam hal syarat-syarat yang harus di hindari oleh seorang mufassir bi al-Rayi,
sebagai berikut:
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak
memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
3. Menafsirkan dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-
mata berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya (dimungkinkannya).
5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham
madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham madzhab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki oleh Allah adalah
demikian, dengan tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Rayi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi keenam hal di atas dengan disertai
niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan
rasional. Jika tidak demikian, maka berarti ia menyimpang dari cara yang dibenarkan dan oleh karena
itu penafsirannya ditolak, tidak dapat diterima.
Kitab-kitab Tafsir bi Al-Rayi yang di Legalkan oleh Ulama:
Perpustakaan Islam telah banyak mengoleksi kitab-kitab tafsir bi Al-Rayi yang di perbolehkan, yang
sebagiannya telah di bukukan pada masa-masa awal termasuk kitab-kitab yang digunakan untuk
mengalahkan ahli filsafat dan ahli kalam dan yang lain-lain.
Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Majazul Quran li Abi Abidah Muammar bin matsna at-Taimy (w. 210 H)
2. Mafatihul Ghoib li Rozi (w. 606 H)
3. Anwaruttanzil wa Asrorit Tawil lil Baidhowi (w. 685 H)
4. Al-Jami li Ahkami Al-Quran li Al-Qurthubi (w. 671 H) Dan lain-lain
C. Tafsir Sufi
Tafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etomologis berasal dari asal kata
asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Jadi kata Isyari berfungsi
sebagai keterangan sifat bagi lafal tafsir dengan demikian tafsir Isyari berarti: sebuah penafsiran al-
Quran yang berangkat dari isyarat atau petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat
atau petunjuk yang diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang banyak
menafsirkan al-Quran melalui isyarat yang mereka terima. Oleh karena itulah tafsir Isyari disebut juga
tafsir sufi.
Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang
membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh
mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia
melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas
pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf. Tafsir sufi ini terbagi menjadi dua:
1. Tafsir Sufi Nazhari
Tafsir Sufi al-Nazhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-
teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Quran melenceng
jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra
konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhori dalam
praktiknya adalah pensyarahan al-Quran yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazhari yaitu Muhyiddin Ibn al-Arabi. Beliau dianggap
sebagai ulama tafsir sufi nadhory yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Quran.
Karya tafsir Ibn al-Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-Arabi adalah
seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah
paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Quran tentang paham ini diantaranya:
Pertama, al-Quran surat al-Baqarah ayat 186: Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku,
aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku. Kata doa yang
terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi
mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat
dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan
menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, yaitu ayat 115 dari surat al-Baqarah: Timur dan Barat
kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah. Kaum sufi menafsirkannya
dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari
Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada. Ketiga, surat
Qaf ayat 16, Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya.
Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya. Para ahli tasawuf
menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh.
Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada
di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka memperkuat penafsirannya itu
dengan mengutip hadis Nabi, Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya. Untuk
memperkuat tafsiran itu mereka juga mengambil atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain,
seperti ayat 17 dari surat Al-Anfal: Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan tapi Allah yang
melemparkannya.
Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud
yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu
dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-Arabi dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-
Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Contoh penafsiran Ibn al-Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya
diantaranya :
Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
.
Wadkhulijannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui
Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan
yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu
insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan
mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah
Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam
penafsiran nazhary yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-
Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-Arabi
terhadap ayat 57 dari surat Maryam :

Menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam
yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir al-Nazhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata/tampak atau
dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan
dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir al-Nazhari adalah hanya berdasarkan pada
penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir al-
Nazhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-
Nazhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh
dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai
dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat
dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-
Quran mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Quran adalah teks ayat sedangkan
makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Quran yang hanya melihat
zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang
dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana
mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir,
mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah
yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak
secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan
oleh akal atau rayi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ray atau akal.
Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode
isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat
untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata Isyarat adalah untuk
membedakannya dari tawil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang
digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga
berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Quran tidak disebut sebagai tafsir, karena hal
itu sama saja dengan membatasi makna al-Quran dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka
lebih menyebutnya dengan Isyarah.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam
menafsirkan al-Quran khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah
berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan
sedangkan zhahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu
dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna; zhahir, batin,
had dan matla. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zhahir, al-Quran memiliki makna
batin. Abdullah (Al-Muhasibi) dan Ibnu al-Arabh memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa
yang dimaksud dengan yang zhahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu
Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Dhahir adalah bacaanya sementara yang batin
adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Quran adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil)
al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa ummatnya, sedangkan al-Batin adalah adanya
pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu
dualisme lahir-batin dalam wacana Al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan
kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki
dimensi dhahir dan batin (dan al-Quran termasuk makhluk). Yang dhahir adalah bentuk yang bisa
diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Manawi.
Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh
ditinggalkan oleh mufassir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan dengan syara dan akal.
4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain
makan zahir.
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas,
yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :

Andadan, beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan
disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan
oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan
Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan
oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu:
Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:

Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa
ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya.
Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal
Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama
sebagai ayat yang terakhir diturunkan. Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau
menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam
asebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bhwa ketika ayat ini diturunkan Umar ibn al-Khatab
menangis, lantas Nabi bertanya: apa yang kamu tangisi (Umar) ? saya menangisi bahwa
sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi
kecuali tambah berkurang
Al-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazhari dengan tafsir sufi
isyari sebagai berikut :
1. Tafsir sufi nazhari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi
yang kemudian menafsirkan al-Quran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi
isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati
seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran.
2. Dalam tafsir sufi nazhari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Quran mempunyai makna-
makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi
dasarnya bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan
perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna zahir dan batin.
Persoalan yang timbul kemudian adalah, bagaimana para sufi menafsirkan ayat-ayat tentang hukum
atau fiqh. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam cerita-cerita para sufi, mereka menolak hukum fiqh atau
syariah seperti shalat, puasa jakat dan sebagainya. Yang ditekankan oleh mereka adalah hakikat bukan
syariah. Dalam menaggapi persoalan ini, perlu merujuk para ulama tasawuf sendiri.
Dalan sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli
hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha.
Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai
kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang
yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan
dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang
perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi
yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak
tetapi menelusuri apa yang ada dibalik isyarat tersebut untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Dan hal
ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat
tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana
dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah
menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi
setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan
termasuk orang yang berakal dan berilmu.
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat, para ulama sufi menerima adanya kewajiban membayar
zakat yang ditujukan pada delapan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zahkah). Ibnu
Arabi dengan pendekatan isyarat dalam menafsirkan ayat-ayat tentang zakat ini berpendapat bahwa
zakat yang arti bahasanya adalah pensucian (al-isytiqaq) yang secara syariah diwajibkan tujuan adalah
untuk penyucian delapan anggota badan kita. Angka delapan ini dinisbatkan pada orang yang berhak
menerima zakat yang jumlahnya delapan.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap
berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-
Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa
menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya.
Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy.
Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan
hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata
uang yang tidak bisa dipisahkan.
D. Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi muncul setelah filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini
tidak begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang lengkap.
Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:
1. Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan
agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. diantara kitab-
kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-
Razi (606 H)
2. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang
bertentangan dengan Nash dan Syara. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik
temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan. Tentang kitab tafsir
mereka al-Zahabiy mengatakan, kami tidak pernah mendengar bahwa diantara para filosof itu ada yang
menulis kitab tafsir secara lengkap, semua yang kami temukan tidak lebih dari sebagian pemahaman
terhadap al-Quran secara parsial yang termuat di dalam kitab-kitab filsafat secara yang mereka tulis.
E. Tafsir Fiqhi
Supiana M.Ag dan M.Karman M.Ag dalam bukunya Ulumul Quran, ia mengatakan Tafsir al-Fiqhi atau
Tafsir Al-Ahkam adalah Corak tarfsir yang berorientasi kepada hukum Islam (Fiqhi). Biasanya, para
Mufassirnya adalah termasuk tokoh dalam bidang hukum Islam yang menafsirkan al-Quran terhadap
ayat-ayat yang berhubungan dengan persoalan-persoalan hukum Islam,Oleh karena itu penafsiran
mereka terkadang hanya ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan soal hukum fiqhi saja,
sedangkan ayat ayat lain yang tidak memuat hukum fiqh tidak di tafsirkan, bahkan tidak dimuat sama
sekali.
Depinisi yang sama juga dikemukakan oleh M.Alfatih Suryadilaga, Dkk. Mengatakan bahwa Tafsir Al-
Fiqhi adalah Salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan
hukum Islam. Tafsir jenis ini banyak sekali terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah Mazhab Fiqih
berkembang pesat. Sebagian di antaranya memang disusun untuk membela suatu mazhab tertentu.
Tafsir fiqhi mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya:
1. Kelebihan tafsir fiqhi
Kendatipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Quran lewat
pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan,
diantaranya :
a. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syariat yang terdapat dalam al-
Quran, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Quran tidak hanya
menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga
menjelaskan tentang aspek-aspek syriah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syriah atau hukum
bukan semata-mata merupakan produk fuqaha akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-
Quran bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun
sosial.
b. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam
mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Quran setelah
terjebak ke dalam perbedaan mazhabi dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c. Tafsir al-Quran dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan
pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa
sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap
harus tunduk kepada al-Musyarri al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada
pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri ats-Tsany bada Allah
(Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Quran lewat pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah
kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap
permasalahan kehidupan manusia.
e. Tafsir fiqhi kendatipun bergam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia,
sebab tanpa adanya penafsiran al-Quran dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan
manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelemahan Tafsir Fiqhi
Hasil olah fikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan
kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang
lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Quran yang meskipun
landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara
mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan
penafsiran al-Quran melalui pendekatan fiqhi adalah:
a. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi,
pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab
lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
b. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Quran (penafsiran parsial) padahal al-
Quran meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan
pemhaman dan penafsiran secara universal.
c. Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Quran dengan menghubungkannya pada konteks
sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam
al-Quran (rahmatan li al-alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada
masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat
hukum al-Quran yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang
bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis
mazhaby.
F. Tafsir Ilmi`
Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan
keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena
alam. Di antara tafsir yang bercorak al-Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-
Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al-IhyaUlumuddin dan Jawahir al-Quran. Sedangkan
al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan. Sedangkan ulama kontemporer yang menaruh minat
melakukan kajian al-Tafsir al-Ilmi untuk menyingkap makna ayat-ayat kauniyah diantaranya:
1. Muhammad Ahmad al-Ghamawi. Di dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah
2. Thantawi Jauhari. Melalui kitabnya yang tebal.
3. Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Melalui kitabnya Riyadh al-Mukhtar.
4. Hanafi Ahmad. Melalui karyanya al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Quran al-Karim
Sikap para ulama terhadap tafsir ilmi dan bersikap dapat dokelompokkan kepada dua, sebagai berikut;
Pertama, kelompok pendukung tafsir ilmi. Mereka menjadikan al-Quran sebagai mukjizat ilmiah, oleh
karena itu ia mencakup segala macam penemuan dan teori ilmiah modern. Mereka berpendapat bahwa
al-Quran menghimpun ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh
manusia, bahkan lebih dari itu. Al-Quran mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum turun dan
yang akan terjadi. Di dalamnya juga terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum
tentang hukum alam yang bisa disaksikan, fenomena-fenomena alam yang bisa dilihat dari waktu ke
waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan itu bukan sebagai hal
yang baru.
Kedua, kelompok menolak tafsir ilmi. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna
yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan al-Quran kepada teori ilmiah
yang terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena itu teori itu bersifat relative.
Mereka menganggap tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-
ayat al-Quran, sebab ia tidak tunduk kepada teori itu. Selain itu juga tidak perlu mengaitkan ayat al-
Quran dengan kebenaran ilmiah dan teori ilmu alam. Sebaliknya, mereka berpendapat harus
menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat al-Quran dengan mengungkapkan makna-makna
yang ditunjukkan oleh teks ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melangkah terlalu
jauh.
Alasan kelompok kedua lebih disebabkan karena kepentingan al-Quran bukanlah berbicara kepada
manusia tentang problematika kosmologis dan kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-mata merupakan
kitab petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk kebahagiaan manusia.
Selain dua sikap ulama tersebut diatas, ada diantara ulama yang bersikap moderat. Mereka
menganggap perlunya cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan tentang hikmah-hikmah dan rahasia-
rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyya. Ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti
pemahaman bangsa Arab, karena al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia. Setiap manusia dapat
menggali sesuatu dari al-Quran sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang tidak bertentangan
dengan tujuan pokok al-Quran sebagai petunjuk dan sasaran yang dikehendaki ditujunya, yaitu sebagai
tuntunan. Banyak hikmah yang akan ditemukan oleh pengkaji professional, yaitu mejadi jelasnya
rahasia-rahasia dengan menjelaskan rahasia kemukjizatannya.
G. Tafsir Adaby Ijtimaiy
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang
berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma
yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam
mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya.
Sedangkan kata al-ijtimaiy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtimai adalah tafsir yang berorientasi pada
satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa disebut dengan tafsir sosio-kultural.
Corak tafsir al-Adaby al-IjtimaI adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-
Quran yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-
penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Quran pada segi-
segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak Adaby Ijtimai adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-Manar, karya Imam Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridla.
2. Tafsir al-Quran, karya Syaikh Ahmad Al-Maraghy.
3. Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Syaikh Mahmud Syaltut.
4. Al-Tafsir al-Wadlih, karya Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.
F. Kesimpulan
Setelah mencermati pemahaman mengenai berbagai macam corak penafsiran diatas, selanjutnya
penulis memberikan penyimpulan sebagai berikut :
1. Tafsir bi al-matsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah
khazanah intelektual Islam. Tafsir bi al-matsur ialah tafsir yang meliputi tafsir Quran dengan Quran,
tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dari nukilan para shahabat dan tafsir dengan nukilan dari para
tabiin ridhwanullah alaihim.
2. Tafsir bi al-rayi adalah penafsiran al-Quran dengan ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan
kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-
sumber tadi.
3. Tafsir Shufi yaitu tafsir yang identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu metode penafsiran al-Quran
yang lebih menitik beratkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris.
4. Tafsir falsafi muncul setelah filsafat berkembang pesat di dunia Islam. Tafsir yang mengikuti corak ini
tidak begitu banyak. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada karya tafsir falsafi yang lengkap.
5. Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan
keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena
alam.
6. Corak tafsir Fikih yaitu; salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-
persoalan hukum Islam.
7. Corak tafsir adaby ijtimaiy yaitu; corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Quran pada segi-
segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Daftar Pustaka
Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV. Rajawali, Jakarta, 1992.
_______, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 ).
Baidan, Nasruddin, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Semarang, 2001.
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka,
Bandung, 1987.
M.Karman, Supiana, Ulumul Quran, Cet. I, Pustaka Islamika, Bandung, 2002.
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet.1, Teras,Yogyakarta, 2005.
Suryadilaga, M.Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet.I, Teras, Yogyakarta, 2005.
Syihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Cet. I, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2007.
Corak Tafsir Falsafi
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril AS dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya, luas
artinya dan cakupanya. Yang terdapat penjelasan masalah dasar-dasar aqidah,
kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling
lurus dalam pemikiran dan amal. Namun begitu, Allah SWT tidak memberiperincian
dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal al-Quran yang membutuhkan
tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas
pengertiannya. Dalam lafal yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna.
Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir l-Quran.
Selanjutnya pemakalah disini akan membahas tentang corak tafsir falsafi
yang berarti memjelaskan tentang kebenaran makna ayat al-Quran dengan
menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal,
sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.
Ada perbedaan perspektif di kalangan para ulama tentang tafsir falsafi, ada
yang menganggap bertentangan dengan Agama Islam dan jauh dari pemahaman
nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama
sebagai filsafat. Di sudut lain, bagi ulama yang mendukung tafsir dengan metode
falsafi ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada
pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah
swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode
sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan
dalam bentuk pemberian takwil pada nash al-Quran yang tertentu dan memberikan
kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar. Agar lebih jelas mengenai tafsir falsafi
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Falsafi
Pengertian tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Quran dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat.[1] Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-
teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal
ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat
atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsr al-Falsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan
pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih
berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang
menjustifikasi ayat.[2] seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan
al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama
dari dalam.[3]
Al-Quran adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang
pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam
pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman
ayat-ayat al-Quran melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi
maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Quran terdapat
beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda
pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir.
Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi,
falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas
serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa
awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi
kandungan al-Quran serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka
tafsir al-Quran pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf
bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut,
muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak
penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring
dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat
Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian
juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya
berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini
kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi
positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna
latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih
luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[4]
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita
mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi
yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika
tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab
pada prinsipnya teks al-Quran tidak lepas dari struktur historis dan konteks
sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis
yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin
harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum
menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun
ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku
mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka
khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud
dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang
digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya
akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih
tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis
tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini
jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.
B. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-
kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa
khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku
karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya
para ulama tafsir mencoba memahami Al-Quran dengan metode filsafat tersebut,
maka lahirlah metode falsafi.[5]
Thaba Thabai dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Quran berpendapat bahwa
para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah
Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba Thabai dalam tafsirnya memasukkan pembahasan
filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat
yang bertentangan dengan al-Quran. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya
pada bagian ayat tertentu saja.[6]
Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan
adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal
menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor
kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyaratdan
kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam
kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat
mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Quran. Dia membeberkan
ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan al-Quran dan
akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap
memadai. [7]
Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya
didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syari. Kelompok ini
berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk
menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum
mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah
secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Quran
semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak
hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Quran. [8]
Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan al-Quran
dengan filsafat, yaitu:
1. Cara pertama, mereka melakukan tawil terhadap nash-nash al-
Quran sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan
nash-nash al-Quran pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga
keduanya nampak seiring sejalan.
2. Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Quran
dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan
pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan
menempatkan al-Quran sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat.
Yakni filsafat melampaui al-Quran. Cara ini lebih berbahaya dari cara
yang pertama.[9]
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan
penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan miraj Nabi Muhammad
Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini
kemungkinan miraj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad.
Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari
golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1. Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2. al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah
mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Quran secara lengkap,
kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Quran secara
parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.[10]Penulisan secara
parsial tafsir falsafi antara lain:
1. Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2. Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3. Rasail Ikhwan al-Safa.[11]
C. Al-Quran mengajak untuk berfilsafat
Bangsa Arab ialah tempat dimana al-Quran diturunkan, sebelum Islam
datang orang-orang Arab tidak mengenal pemikiran filsafat. Malah mereka tidak
mengenal kata filsafat itu, karena filsafat bukanlah kata yang berasal dari bahasa
Arab, tetapi berasal dari Yunani. Ilmu ini mereka kenal sesudah orang-orang Islam
menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
Doktor Jamil Saliba dalam bukunya Tarikh al-Falsafah al-
Arabiyahmengatakan bahwa Arab Jahiliah telah memiliki pengetahuan falak, ilmu
alam, ilmu kedokteran experimental yang bercampur aduk dengan ilmu magik dan
azimat, serta dongeng tentang jin dan syaitan, mereka pintar berpuisi dan prosa,
dan syair-syair zuhud yang mengandung unsur akhlak dan kejiwaan, tetapi semua ini
tidak tersusun dalam satu aliran filsafat yang sempurna dan sistematis. Pemikiran
filsafat belumlah mereka miliki kecuali setelah datangnya Islam.[12]
Bangsa Arab yang cara berfikirnya sangat fanatik kepada leluhur mereka,
oleh karena itu, Islam datang memerdekakan dan mencerahkan rasio (akal) mereka
dari belenggu yang mengikatnya dan membebaskan dari pengaruh taklid yang
memperbudak mereka. Akal itu dipersilahkan untuk memberikan keputusan dengan
ilmu dan kebenarannya sendiri, disamping harus tunduk hanya kepada Allah Yang
Maha Esa semata dan patuh kepada peraturan syariat agama-Nya. Islam tidak
merintangi dinamika akal, dan tidak membatasi kemajuan berfikir mereka yang
terus meningkat.
Dengan kemajuan berfikir itu, al-Quran mengajak dan mendorong untuk
berfikir dan menyelidiki serta membahas segala hal yang wujud (ada). Dengan
demikian akal akan sampai kepada pembuktian adanya pencipta dan sekalian
ciptaan-Nya. Dan ini adalah merupakan inti dari pembahasan pemikiran falsafi.
[13] Banyak kandungan ayat-ayat al-Quran yang mendorong akal untuk berfikir
falsafi, seperti Firman Allah Taala :


Maka ambillah pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan
(pikiran). (QS: al- Hasyr 2).

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (QS: Ali Imran
190).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mendorong umat Islam untuk
berfilsafat, baik yang berhubungan dengan segala ciptaan Allah, alam, dan manusia
maupun persoalan-persoalan rasio, atau akal dan etika, masalah-masalah yang
merupakan tema dasar dari pengkajian filosof-filosof dari masa ke masa sepanjang
sejarah pemikiran filsafat. Maka pengkajian yang mendalam antara orang-orang
Islam tentang ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan segala ciptaan Allah,
Alam dan manusia, membawa mereka untuk lebih mendalami masalah filsafat,
dalam artian dengan datangnya Islam maka al-Quran meletakkan fundasi dasar
untruk berfikir falsafi bagi orang-orang Arab khususnya dan bagi orang-orang Islam
umumnya. Ayat-ayat mutasyabihat baik dulu hingga kini dan untuk selamanya
merupakan pendorong untuk berfikir dan mengajak manusia menggunakan akalnya,
atau dengan kata lain membantu manusia dalam meniti jalan filosofis.[14]
D. Contoh Falsafi Bahwa Alam Qadim
Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan
terdapat dua fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktuadalah
sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktudijadikan sebagai
patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang azalidan abadi. Gerak itu
haruslah melingkar dan bersambung dalam tempat, sehinggagerak ini pun tidak
berawal dan berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan
adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut
Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah
yang menggerakkan gerak yang azali tadi.[15]
Dari pola pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam
membangun kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia,
berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di
alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh
sejumlah sebab di luar dirinya.[16] Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari
Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat
menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan
tanpagerak atau alat, karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.
[17]Dalam hal ini, al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori
emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya akal pertama sampai akal kesepuluh yang
biasa disebut sebagai al aql al faal.
Aql faal inilah yang melakukan aktifitas di dunia karena aql faal ini sebagai
penghasil materi dan pemberi bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda
ketika benda tersebut siap menerimanya. Jadi, aql faal juga merupakan sumber
eksistensi jiwa manusia.[18] Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan
dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada
kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal
dan tidak hancur.[19]
Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah
Pencipta abadi alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa
aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas
kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam materi
pertama (hayula), yang dinyatakan sebagai abadi bersama Tuhan (co-eternal).Ini
sesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan
pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami.
Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut wujud potensial berkembang
melalui bentuk menuju wujud aktual. Oleh karena itu, Tuhan selaku Pencipta
abadi konstan mengkombinasikan materi dengan bentuk-bentuk baru; Dia tidak
menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an belaka pada saat tertentu pada
masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada keabadian
waktu.
Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah,dianggap
menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-
eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme.Menurut al
Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak
hanya menciptakan bentuk (forma) tetapi juga materi dan waktu bersama
keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat
terbatas.[20] Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodimberarti tidak
bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa
kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang
terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan
haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam (dunia) ini harus
diasumsikan dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.[21] Dan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak
bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut
teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan Pencipta dalam
paham teologi adalah penciptaan sesuatu dari tiada (creation ex nihilo). Masih
menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah
diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai Pencipta, padahal dalam al Quran telah
jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya.
Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya,
pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al
Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang
menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud
lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini
hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja.[22]
Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat
7 yang berbunyi:

Artinya: Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. Huud: 7)[23]
Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud
langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat
tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya: 30 yang berbunyi:

Artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. al Anbiya: 30)[24]
Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit
dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama air. Dalam ayat lain disebut
uap. Antara air dan uap cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan
dari uap atau air, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti
unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atauqadim.[25]
1. Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena
sebab yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai
permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadimberarti sesuatu
yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan
tak berakhir. Selanjutnya, Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog
dan filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa
itu qadim dan hadits. Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan
dari tiada, sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak
bermula dan tak berakhir. Adapun qadimmenurut filosof tidak selalu
berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud
dengan sebab.[26]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Quran dengan menggunakan perserktif
falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya.
Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Quran
dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran
dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Quran bisa berkaitan
dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-
teori filsafat.
Adapun awal berkembangnya tafsir falsafah ini, bermula pada saat ilmu-ilmu
agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang
di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam
bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang
diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato.
Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Quran
dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi
Ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan
adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Seperti, Imam al-Ghazali danFakhr
al-Razi Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya
didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syari. Seperti Ibn
Sina, al-Farabi dan Ikhwan al-Syafa.
Daftar Pustaka
Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Quran, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999).
Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui Dan Cara
Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994).
Muhammad Hussain At-Thaba-ThabaI, al-Mizan fi Tafsir Al-Quran.
Bairut: (Mu,assisah al-Alamy Li al Mathbuat).
Mahmud Hamdi, Al-Mausuah al-Quraniah al Mutakhossishoh,
( Kairo, kementrian wakaf, 2003)
Al-Majlis al-Ala li al-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausuah al-Quraniyah
al-Mutakhossisah, (Kairo: Wazir al-Auqaf, 2003).
Bustami Abdul Ghani, Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Quran,
(Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994).
Muhammad Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, ( Yogyakarta: Tiara
Wacana,1991).
Amirah Hilmy Mathr, al Falsafah al Yunaniyah; Tarikhuha wa
Musykilatuha, (Kairo: Daar Quba, 1998).
M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika
Islam,terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), Cet-II.
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979).
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, Cet. II, 1978).
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1994).
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Surabaya:
Mekar, 2004).

[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
hlm. 182.
[2] Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1995), Jilid I, hlm. 419.
[3] Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitb al-Tafsr wa al-Mufassirn, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1995), Jilid I, hlm. 431.
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.
[5] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui Dan Cara
Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),
hlm. 20.
[6] Muhammad Hussain At-Thaba-ThabaI, al-Mizan fi Tafsir Al-Quran. Bairut:
(Mu,assisah al-Alamy Li al Mathbuat) hal. 3
[7] Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri,
1995), Juz III, hlm. 83.
[8] Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri,
1995), Juz III, hlm. 84.
[9] Mahmud Hamdi, Al-Mausuah al-Quraniah al Mutakhossishoh, ( Kairo, kementrian
wakaf, 2003), hal. 285.
[10] Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri,
1995), Juz III, hlm. 90.
[11] Al-Majlis al-Ala li al-Syuuni al-Islamiyah, al-Mausuah al-Quraniyah al-
Mutakhossisah, (Kairo: Wazir al-Auqaf, 2003), hlm. 285-286.
[12] Bustami Abdul Ghani, Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Quran, (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1994), hlm. 231.
[13] Bustami Abdul Ghani, Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Quran, (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1994), hlm. 235.
[14] Muhammad Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, ( Yogyakarta: Tiara Wacana,1991),
hlm. 29.
[15] Amirah Hilmy Mathr, al Falsafah al Yunaniyah; Tarikhuha wa
Musykilatuha, Kairo: Daar Quba, 1998, hlm. 273.
[16] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam,terj. Hamzah,
Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 59.
[17] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm. 144.
[18] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm. 61.
[19] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II,
1978, hlm. 45.
[20] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam,terj. Hamzah,
Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 62.
[21] Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 379.
[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II,
1978, hlm. 45-50.
[23] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 298.
[24] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 451.
[25] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II,
1978, hlm. 52.
[26] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II,
1978, hlm. 54.
Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Matsur dan Tafsir Bir-Rayi.
Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
Tafsir Bilmatsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber
penafsirannya.
Tafsir Bir-Rayi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-
tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.
Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini
terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya
pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai
berikut:
Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber
penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilmatsur.
Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal
ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi
ini termasuk tafsir bir-Rayi.
Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan
umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Rayi.
Tafsir al-Adab al-Ijtimai, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial
kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima ini termasuk tafsir
bir-Rayi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir
campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
1. Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.
2. Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang
dikehendaki dalam ayat.
3. Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran,
kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut,
kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-Aridh, 1992: 75].
4. Metode Maudhui (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu
masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam tawil
Tawil yang jauh dari pemahaman, yakni tawil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang
terendah sekalipun.
Tawil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai
makna yang benar

You might also like