You are on page 1of 136

BAB I PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI Orang sering berbicara tentang "pembangunan" .

Mungkin pertanyaan yang muncul adalah: apa sebenarnya yang dimaksud dengan pem bangunan? Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri ev olusi makna pembangunan sejak ekonomi pembangunan lahir, yakni setelah Perang Du nia II. 1.1. PANDANGAN TRADISIONAL Pada mulanya upaya pembangunan negara sedang berkembang (NSB)' diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Semula banyak yang beranggapa n yang membedakan antara negara maju dengan NSB adalah pendapatan rakyatnya. Den gan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah seperti pen gangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB d apat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan "dampak merembes ke b awah" (trickle down effect. Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riil, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional dalam harga konstan (setelah dideflasi d engan indeks harga) harus lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk . Fenomena ini terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, sepe rti teori Harrod-Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, RosensteinRodan, Nur kse, Leibenstein. Seperti judul buku karya monumental Arthur Lewis, pembangunan ekonomi dianggap merupakan kajian The Theory of Economic Growth. lni mencerminka n munculnya teori pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari setiap kebijakan ekonomi di negara manapun. Sepanjang dasawarsa 1950-an, sementa ra pembangunan ekonomi diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, ekonomi pembangu nan sebagai cabang ilmu ekonomi yang relatif baru memusatkan perhatian pada fakt or-faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Arndt, 1996: h. 6). Meskipun banyak varia n pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi .pembangunan yang dianggap p aling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Diundangnya modal asing nampaknya diilhami oleh kisah sukses Rencana Marshall dalam membantu pembangunan negara Eropa Barat dan Jepang. Adapun industrialisasi yang memusatkan perhatian pada sektor-sektor mode rn dan padat modal nampaknya tidak dapat dipisahkan dari pengalaman Inggris seba gai negara industri pertama. 1

Tak pelak lagi konsep dan strategi pembangunan semacam itu dijiwai oleh pengalam an negara-negara Eropa. Inilah yang disebut eurocentrism, Eropa sentris, dalam p emikiran awal tentang pembangunan (Hettne, 1991). Paham developmentalis gaya Ero pa ini ditandai dengan munculnya kapitalisme, naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, relatif berhasilnya revolusi industri, dan diperkena lkannya "pertumbuhan" sebagai ide perkembangan masyarakat. Tradisi pemikiran aru s utama (mainstream) Eropa diterjemahkan lebih lanjut oleh: model liberal, strat egi kapitalis negara (state capitalist strategy), model Soviet, dan Keynesianism e. Model liberal mendasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme pasar, industria lisasi yang bertahap, dan perkembangan teknologi. Strategi kapitalis negara meru pakan reaksi terhadap paradigma modernisasi. Model Soviet pada dasarnya merupaka n perkembangan lebih lanjut dari strategi kapitalis negara, yang nampaknya diilh ami oleh kisah sukses Soviet dalam program industrialisasinya. Aliran Keynesian merupakan manifestasi dari kapitalisme yang telah mencapai tahap dewasa, yang in tinya menghendaki campur tangan pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internas ional telah tersedia, Maddison, Denison, dan para ahli lain menemukan bahwa perb edaan dalam pembentukan modal dan faktor input tidak banyak menjelaskan mengapa timbul perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Ternyata baru disadari ada banyak fa ktor yang tadinya dianggap "residual", ikut berperanan dalam meningkatkan pertum buhan ekonomi. Residual di sini dikaitkan dengan investasi modal manusia dan kem ajuan teknologi. Pentingnya investment in man, yang menekankan peranan faktor pe ndidikan dan budaya, merupakan tahap pertama menuju konsep pembangunan yang sema kin tidak murni ekonomi lagi. 1.2. PARADIGMA BARU DALAM PEMBANGUNAN Pada akhir d asawarsa 1960-an, banyak NSB mulai menyadari bahwa "pertumbuhan" (growth) tidak identik dengan "pembangunan" (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, set idaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah- masalah seperti pengangguran, kemi skinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan s truktural (Sjahrir 1986, bab1). Fakta ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi t idak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara 1986: h.12; Meier, 1 989: h.7). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan ja sa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar pen ingkatan pertumbuhan ekonomi. 2

Hal inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangun an. Myrdal (1968), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas d ari seluruh sistem sosial. Ada pula yang rnenekankan pentingnya pertumbuhan deng an perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaa n. Kondisi ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penti ng dibanding pertumbuhan ekonomi. Meier (1989: hal. 6) lebih khusus mengatakan : ... perhaps the definition that would now gain widest approval is one the defin es economic development as the process whereby the real per capita income of a c ountry increases over a long period of time--- subject to the stipulations that the number of people below an 'absolute poverty line does not increases, and tha t the distribution of income does not more unequal." Dengan kata lain, pembangun an ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusa tkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan. Selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan, setidaknya men gurangi, kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Dudley Seers (1973) menunjuk 3 sasaran utama pembangunan dengan mengatakan : ".. What has been happening to poverty ? What has been happening to unemployment ? What has been to inequality ? If all three of these have declined from high levels then beyond doubt this ha s been a period of development for the country concerned. If one or two these ce ntral problems have been growing worse, especially if all three have it would be strange to call the result 'development , even if per capita income doubled'. T idak terlalu berlebihan apabila banyak yang memandang bahwa definisi Seers berar ti meredefinisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Dengan cepat dimensi ba ru mengenai pembangunan mendapat sambutan dari penganjur strategi yang berorient asi kesempatan kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan kebutuhan pokok. O bsesi Seers nampaknya didorong oleh keprihatinannya melihat kenyataan pembanguna n di NSB. Timbul kesan bahwa is "tidak sabar" melihat implementasi strategi anti kemiskinan, orientasi pada kesempatan kerja, dan pemerataan pembangunan, yang s ering hany a berhenti sebagai retorika politik para penguasa di NSB semata. In' pula agaknya yang mendorong munculnya konsep dan strategi pembangunan yang baru. Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-rel iant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian 3

terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan penda patan menurut etnis (ethnodevelopment). Barangkali menarik untuk menelusur ide d asar masing-masing paradigma tersebut. A.Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi Para proponen strategi "pertumbuhan dengan distribusi", atau "redistribusi dari pertumbuhan", pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan perha tian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar "kue" pembangunan) namun juga mempert imbangkan bagaimana distribusi "kue" pembangunan tersebut. Situasi ini bisa diwu judkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekono mi lemah. Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada sumber Jaya ma nusia, atau ada yang menyebut sebagai orientasi populisme dalam pembangunan. B.S trategi Kebutuhan Pokok Embrio pendekatan kebutuhan pokok bermula dari program I LO (International Labour Organization) tentang "World Development" pada tahun 19 69 dan "Dekiarasi tentang Prinsip-Prinsip dan Program Aksi Strategi Kebutuhan Po kok dalam Pembangunan" pada Konferensi Dunia tentang kesempatan kerja pada tahun 1976. Hanya perdebatan yang sering muncul adalah berkisar mengenai apa yang dim aksud dengan kebutuhan pokok. Ada yang berpendapat, kebutuhan pokok mencakup keb utuhan minimum konsumsi (pangan, sandang, perumahan) dan jasa umum (kesehatan, t ransportasi umum, air, fasilitas pendidikan). Sementara itu, pendekatan lain leb ih mementingkan apa yang dapat membuat hidup ini lebih berharga. Todaro (1989, h . 89), misalnya, menekankan 3 nilai dasar pembangunan, yaitu life-sustenance (ke mampuan menyediakan kebutuhan dasar), self- esteem (kebutuhan untuk dihargai), d an freedom (kebebasan untuk memilih) Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demi kian telah mencoba memasukkan semacam "jaminan" agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari setiap program pembangunan. Dengan kata lain , konsep kebutuhan pokok harus dipandang sebagai dasar utama dalam strategi pemb angunan ekonomi dan sosial. C.Strategi Pembangunan Mandiri Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun s trategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970 -an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma dependensia dan tidak 4

bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania di baw ah Julius Nyerere, dan Gina di bawah Mao Zedong. Konsep Mao lebih menekankan pad a usaha-usaha mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar. Di Cina, dikembangkan teknologi "pribumi" daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep "mandiri" dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non-blok pada perte muan di Lusaka tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown tahun 1972. Dengan demikian konsep "mandiri" telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep "Tata Ekonomi Dunia B aru" (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menari k diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat loka l, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain kasus kad ang bersifat reaktif. D.Strategi Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanj utan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasa warsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata dunia baru atau lama tid ak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia t idak diperhatikan. Sinyal pertama mengenai batas pertumbuhan adalah laporan dari Club of Rome pada tahun 1972. Dengan menggunakan ekstrapolasi ekonometrika dari data statistik, penulis buku The Limits to Growth menyimpulkan bahwa "bila tren d pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi,polusi, produksi ma kanan, dan deplesi sumberdaya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang". Namun ternyata r amalan Club of Rome tidak terbukti. Pemikiran mereka pun mendapat banyak kritik baik secara metodologis maupun asumsinya bahwa sumberdaya terbatas jumlahnya. Ke ndati demikian, akhir-akhir ini isu mengenai lingkungan hidup semakin gencar den gan adanya laporan mengenai menipisnya lapisan ozon di atas planet bumf kita, is u polusi (udara, air, tanah), erosi tanah, dan penggundulan hutan. Lester Brown (1981) menunjuk 4 area utama dari sudut pandang sustainabilitas, yaitu: tertingg alnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, lahan pertanian), ancaman perubahan iklim (polusi, dampak "rumah kaca", dsb), serta kurangnya bahan pangan. Pada gilirannya, ini memperkuat pand angan bahwa strategi pembangunan di banyak negara seakan "buta" terhadap Iingkun gan hidup. Para pendukung utama pembangunan berkelanjutan lalu menunjuk pentingn ya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosite m di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuh an kebutuhan yang 5

lebih tinggi; namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjut an, balk dari sisi ekologi maupun sosial. E.Strategi Berdimensi Etnik Strategi e thnodevelopment, bermula muncul dari konflik antaretnis. Isu antar etnis (rasial , suku) berkembang di Afrika, dan semakin intens terjadi di Asia Selatan pada da sa warsa 1980-an. Hal ini sering terjadi terutama pada masyarakat di mana terdap at multi etnis. Tidak ada "bahasa penjelas" yang sama untuk konflik antar etnis ini. Namun setidaknya konflik yang biasa muncul adalah: konflik atas penguasaan sumber Jaya alam, konflik yang berkaitan dengan proyek infrastruktur (yang mempe ngaruhi ekosistem suatu daerah), konflik akibat ketimpangan pembangunan, konflik mengenai ide dasar strategi pembangunan nasional, konflik atas bagaimana pemeri ntah mendistribusikan sumberdaya. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka m emasukkan konsep ethnodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat d irasakan kepada semua warga negara secara adil, balk is dari komunitas Cina, Ind ia, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, et.al., 1990). Fenomena inilah bar angkali sebab utama adanya data mengenai distribusi antaretnis dalam setiap publ ikasi data Malaysia. 1.3. PARADIGMA PEMBANGUNAN Demikian banyak makna pembanguna n yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan s tudi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setiap orang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara D unia Ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai "makna pembangunan" sehin gga orang kadang-kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih meru pakan pandangan utopis setiap orang? Persis apa yang dikatakan oleh Arndt (1996) : "Almost everyone considers development -- even economic development -- a desir able objective for the countries and people of the Third World. But so diverse h ave the interpretations of 'development' become that one sometimes wonders wheth er it now stands for anything more substantial than everyone's own utopia". Seja rah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangu nan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangun an mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan 6

perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpa ngan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antre be berapa paradigma lain, seperti: wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/s pasial, dan pembangunan masyarakat. Kendati demikian, banyak yang memandang berb agai paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (das sein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das s ollen; what ought to be). Atau alternatifnya, kita mau tidak mau harus mengkombi nasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijaks anaan. Nampaknya tidak salah apabila disimpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multidimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan Ekonomi, namun juga mencakup perubahan- perubahan utama dalam struktur sosial, erilaku. dan kelembagaan. BACAAN YANG DIANJURKAN Arndt, H.W., The Search for A New Develo pment Paradigm, Panglaykim Memorial Lecture, Jakarta, 14 Mei 1996. Esmara, Hendr a, Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan dan Prospek, PT Gramedi a, Jakarta, 1986. Faaland, Just, J.R. Parkinson, Rais Saniman, Growth and Ethnic Inequality: Malaysia's New Economic Policy, Hurst & Company, London, 1990. Henr iot, Peter J.A., "Development Alternatives: Problems, Strategies, and Values", d alam Michael P. Todaro (ed), The Struggle for Economic Development: Readings in Problem and Policies, Longman, New York & London, 1983. Hettne, Bjorn, Developme nt Theory and the Three World, Longman Scientific and Technical, Essex, 1991, ba b 2 dan 5. Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic Development, 5th. editio n, Oxford University Press, New York, 1989, bab1. Seers, Dudley, The Meaning of Development", dalam Charles K. Wilber (ed.), the Political Economy of Developmen t and Underdevelopment, Random House, New York, 1973. Sjahrir, Ekonomi Politik K ebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif, LP3ES, Jakarta, 1986, bab 1. 7

BAB II INDIKATOR PEMBANGUNAN Pembangunan selalu menimbulkan dampak, balk positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan indikator sebagai tolok ukur terjadi nya pembangunan. Bab ini akan menguraikan mengenai indikator-indikator ekonomi m aupun sosial yang dikenal dalam ekonomi pembangunan. 2.1. PERLUNYA INDIKATOR PEM BANGUNAN Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, paradigma tradisional mengenai pemba ngunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Dewasa i ni, definisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah: suatu prose s di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang p anjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah "garis kemiskin an absolut" tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Mei er, 1995: hi). Yang dimaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuat an tertentu* yang sating berkaitan dan mempengaruhi. Dengan kata lain, pembangun an ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan menghendak i adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: Pertama, perubahan struktur ekonomi: dari pertanian ke industri atau jasa . Kedua, perubahan kelembagaan, balk lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita (GNP riil dibagi jum lah penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahw a perhatian pembangunan bagi negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Pendapatan nasional rill (atau GNP pada harga konstan) yang meningkat seringkal i tidak diikuti dengan perbaikan kualitas hidup. Bila pertumbuhan penduduk meleb ihi atau sama dengan pertumbuhan pendapatan nasional maka pendapatan per kapita bisa menurun atau tidak berubah, dan jelas ini tidak dapat disebut ada pembangun an ekonomi. Kurun waktu yang panjang menyiratkan bahwa kenaikan pendapatan per k apita perlu berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Rencana pembangunan lim a tahun baru merupakan awal dari proses pembangunan. Tugas yang paling berat ada lah menjaga sustainabilitas pembangunan dalam jangka yang lebih panjang. 8

Tambahan catatan berupa rekor kemiskinan absolut dan distribusi pendapatan agakn ya menu njuk pentingnya kualitas proses pembangunan. Yang penting tidak hanya me ningkatkan "kue nasional" namun juga bagaimana "kue" tersebut didistribusikan se cara merata atau tidak. Pembangunan bukan merupakan tujuan melainkan hanya slat sebagai proses instrumental untuk menurunkan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan. Mengingat adanya berbagai maca m dimensi pembangunan, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1, fokus tujuan pembangu nan di masing-masing negara dapat berbeda satu sama lain. Dengan demikian, kita harus mengartikan pembangunan ekonomi sebagai kemajuan ekonomi atau kenaikan kes ejahteraan ekonomi. Peningkatan pendapatan riil per kapita hanyalah merupakan se bagian dari indeks kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi mengandung perti mbangan nilai mengenai tingkat distribusi pendapatan yang diinginkan. Karena itu , kesejahteraan ekonomi tidak hanya mempertanyakan keadilan distributif namun ju ga membicarakan bagaimana komposisi "kue nasional" dan bagaimana kue ini dinilai oleh masyarakat. Dengan demikian, indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi: (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Variabel yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah: GNP per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity. Variabel yang termasuk indikator sosial adalah HDI (Human Development I ndex) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup. 2.2. INDIKA TOR EKONOMI A.Klasifikasi Negara Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriter ia utama Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara a dalah GNP (Gross National Product, atau Produk Nasional Bruto) per kapita. GNP p er kapita adalah GNP dibagi dengan jumlah penduduk. Klasifikasi negara berdasark an kelompok pendapatannya dapat saja berubah pada setiap edisi publikasi Bank Du nia, terutama dalam World Development Report yang terbit setiap tahun, karena be rubahnya GNP per kapita. Bank Dunia (1995) mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNP per kapitanya sebagai berikut: 1. Negara berpenghasilan rendah (low-income economies) adalah kelompok negara-ne gara dengan GNP per kapita kurang atau sama dengan US$ 695 pada tahun 1993. 9

2. Negara berpenghasilan menengah (middle-income economies) adalah kelompok nega ranegara dengan GNP per kapita lebih dari US$ 695 namun kurang dari US$ 8.626 pada tahun 1993. Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi: (1) negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dengan GNP per kapita antara US$ 695 hingga US$ 2.785; (2) negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies) dengan GNP per kapita lebih dari US$ 2.785 namun kurang dari US$ 8.626. 3. Negara berpenghasllan tinggi (high-Income economies) adalah kelompok negara-n egara dengan GNP per kapita US$ 8.626 atau lebih pada tahun 1993. 4. Dunia (World) mel iputi semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan deng an penduduk kurang dari 1 juta jiwa. Negara berpenghasilan rendah dan menengah k adang disebut negara sedang berkembang (developing countries). Jelas ini sekadar untuk memudahkan klasifikasi, dan tidak ada maksud untuk menggeneralisasi bahwa semua negara dalam kelompok ini mengalami tahapan pembangunan yang sama. Klasif ikasi menurut penghasilan tidak selalu mencerminkan status pembangunan (IBRD, 19 93). Namun pada umumnya, negara sedang berkembang (NSB) memiliki karakteristik y ang relatif sama, yaitu: (1) tingkat kehidupannya rendah, dengan ciri penghasila n rendah, ketimpangan distribusi pendapatan tinggi, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan; (2) tingkat produktivitasnya rendah; (3) pertumbuhan penduduk da n beban ketergantungannya tinggi; (4) tingkat pengangguran dan setengah mengangg urnya tinggi dan cenderung meningkat; (5) ketergantungan terhadap produksi perta nian dan ekspor produk primer demikian signifikan; (6) dominan, tergantung, dan rentan dalam hubungan internasional (Todaro, 1994: h. 38-54). Dalam publikasi la ris Bank Dunia yang berjudul The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy (1993), diperkenalkan beberapa sebutan, yaitu: 1) High Performing Asian Economies (HPAEs), yang diidentifikasi karena memiliki ciri umum yang sama, seperti pertumbuhan ekspor yang amat cepat. Dalam kelompok HPAEs ini dapat dibagi lagi menurut lamanya catatan sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi, yaitu: Pertama, 4 Macan Asia (The Four Tigers), yang biasanya diidenti kkan dengan Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini ti ngkat pertumbuhan ekonominya amat cepat dan mulai mendekati ranking negara berpe nghasilan tinggi. Kedua, newly industrializing economies (NIEs), yang meliputi I ndonesia, Malaysia, dan Thailand. 10

2) Asia Timur mencakup semua negara berpenghasilan rendah dan menengah di kawasa n Asia Timur dan Tenggara serta Pasifik. 3) Asia Selatan mencakup Bangladesh, Bhutan, India, Myanmar, Nepal, Pakistan, da n Srilangka. 4) Sub-Sahara Afrika meliputi semua negara di sebelah selatan gurun Sahara terma suk Afrika Selatan, namun tidak termasuk Mauritius, Reunion, dan Seychelles. 5) Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara mencakup negara berpenghasilan menengah di kawasan Eropa (Bulgaria, Czechoslovakia, Yunani, Hungaria, Polandia, Portugal, R umania, Turki, dan bekas Yugoslavia) dan semua negara di kawasan Afrika utara da n Timur Tengah, serta Afghanistan. 6) Amerika Latin dan Karibia terdiri atas semua negara Amerika dan Karibia di se belah selatan Amerika Serikat. Delapan negara HPAEs memang tumbuh Iebih pesat dan kons isten dibanding kelompok negara mana pun di dunia sejak tahun 1960 hingga 1990. Negara-negara ini rata-rata pertumbuhan GDP riilnya 5,5 persen per tahun, melebi hi semua negara di kawasan Amerika Latin dan Sub-Sahara Afrika (kecuali Botswana yang kaya dengan berlian). Gambar 2.1 menunjukkan hubungan antara GDP per kapit a relatif terhadap GDP Amerika Serikat pada tahun 1960 dan pertumbuhan GDP per k apita dari 119 negara selama periode 1960 hingga 1985 (IBRD, 1993: h. 29). Negar a sedang berkembang (NSB) agaknya tidak dapat mengejar negara maju dilihat dari sisi pertumbuhannya karena 70 persen NSB tumbuh Iebih lambat dibanding rata-rata negara berpenghasilan tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, ada 13 NSB yang GDP pe r kapitanya menurun. Kendati demikian, pertumbuhan HPAEs sangat berlainan dengan NSB pada umumnya karena pertumbuhan GDP-nya jauh di atas rata-rata negara berpe nghasilan tinggi. Tidak seperti NSB Iainnya, HPAEs mulai mengejar negara-negara industri. Gambar 2.1. Hubungan antara pertumbuhan GDP dan GDP per kapita 11

B.GNP Per Kapita Dengan Purchasing poower Parity Perbandingan antarnegara berdas arkan GNP per kapita seringkali menyesatkan. Hal ini disebabkan adanya pengkonve rsian penghasilan suatu negara ke dalam satu mata uang yang sama (baca: dolar AS ) dengan kurs resmi. Kurs nominal ini tidak mencerminkan kemampuan relatif daya beli mata uang yang berlainan, sehingga kesalahan sering muncul saat dilakukan p erbandingan kinerja antarnegara. Oleh karena itu, purchasing power parity (PPP) dianjurkan sebagai alat pengkonversi yang lebih tepat dalam mengkonversi GNP dal am mata uang lokal ke dollar. Irving Kravis, et.al. (1975, 1978, 1982, 1987) mem pelopori penggunaan PPP riil dalam perbandingan GDP antar negara. Penyesuaian at as data GDP ini mencerminkan daya bell satu unit mata uang lokal untuk membeli b arang dan jasa di negara tersebut, yang mungkin lebih rendah atau lebih tinggi d aya belinya untuk membeli barang dan jasa di negara lain pada kurs valas yang be rlaku. Tabel 2.1 menunjukkan GNP per kapita menurut kurs pasar yang berlaku dan GNP per kapita dengan PPP di beberapa NSB. Terlihat bahwa daya bell mata uang NS B biasanya lebih tinggi dibanding kurs resminya. Di negara-negara yang hargaharg a domestiknya relatif rendah, GNP per kapita menurut PPP umumnya lebih tinggi di banding GNP per kapita dengan kurs resmi. Nilai GNP per kapita dengan PPP dipero leh dengan memasukkan faktor konversi tertentu yang didesain untuk menyamakan da ya bell mata uang di masing-masing negara. Faktor konversi, yang tidak lain PPP, adalah jumlah unit mata uang suatu negara yang diperlukan untuk membeli sejumla h barang dan jasa di pasar domestik sama dengan daya beli satu dolar di AS. 12

Negara India Pakistan China Srilanka Indonesia Filipina Papua Nugini Thailand Tu rki Brazil Malaysia Argentina Australia Hongkong Singapura GNP / Kapita menurut Kurs Pasar 180 300 430 600 740 850 1.130 2.110 2.970 2.930 3.140 7.220 17.500 18.060 19.850 31.490 GNP / Kapita PPP 900 1.220 2.170 2.330 3.150 2.670 2.350 6.260 3920 5.370 7.930 8.250 17.910 21.560 19.510 20.850 Tabel 2.1. GNP Per Kalipta NSB tahun 1993, Kurs Pasar vs PPP (dalam US Dollar ) 2.3. INDIKATOR SOSIAL Indikator Sosial Sebagai Alternatif Indikator Pembangunan GNP per kapita sebagai ukuran tingkat kesejahteraan mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan umum yang sering dikemukakan adalah tidak memasukkan produksi yang tid ak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsisten, jasa ibu rumah tangga, tr ansaksi barang bekas, kerusakan lingkungan, dan masalah distribusi pendapatan. A kibatnya bermunculan upaya untuk memperbaiki maupun menciptakan indikator lain s ebagai pelengkap ataupun alternatif dari indikator kemakmuran yang tradision al. Pada tahun 1970, UNRISD (United Nations Research Institute on Social Developmen t) mengembangkan indikator sosial-ekonomi, yang terdiri atas: 9 indikator sosial dan 7 indikator ekonomi (Iihat Tabel 2.2). Semula ada 73 indikator, namun akhir nya hanya 16 13

indikator tersebut yang dipilih. Indikator-indikator ini dipilih atas dasar ting ginya korelasi dalam membentuk indeks pembangunan dengan menggunakan "bobot timb angan" yang berasal dari berbagai tingkat korelasi. Indeks pembangunan tersebut ternyata mempunyai korelasi yang lebih erat dengan indikator sosial dan ekonomi dibanding korelasi GNP per kapita dengan indikator yang sama. Tentunya ranking b erbagai negara dengan indeks pembangunan ini berbeda dengan ranking dengan mengg unakan ukuran GNP per kapita. Ditemukan juga bahwa indeks pembangunan ini mempun yai korelasi yang lebih erat dengan GNP per kapita negara maju dibanding dengan NSB. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial berlangsung lebih cepat dibandin g pembangunan ekonomi sampai dengan tingkat US$ 500 per kapita (dengan tahun das ar 1960). Daftar Indikator Kunci Pembangunan Sosial-Ekonomi versi UNRISD 1. Harapan hidup 2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih Kon sumsi protein hewani per kapita per hari 3. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah Rasio pendidikan luar sekolah 4. Rata-rata jumlah orang per kamar 5. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 6. Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air, dsb. Produksi pertan ian per pekerja pria di sektor pertanian Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertania n 7. Konsumsi listrik, kw per kapita 8. Konsumsi baja, kg per kapita 9. Konsumsi e nergi, ekuivalen kg batubara per kapita Persentase sektor manufaktur dalam GDP 10. Perdagangan luar negeri per kapita 11. Persentase penerima gaji dan upah ter hadap angkatan kerja Sumber: UNRISD, 1970 Studi lain yang dilakukan oleh Irma Adelman dan Cynthia Mor ris (1967) mengukur kinerja pembangunan dalam dimensi pola interaksi antara fakt or sosial, ekonomi, dan politik. Mereka mengklasifikasikan 74 NSB berdasarkan 40 variabel sosial, ekonomi, dan politik. Analisis faktor digunakan untuk menguji interdependensi antara variabel sosial dan politik dan tingkat pembangunan ekono minya. Mereka menyimpulkan berbagai korelasi terjadi antara variabel-variabel ku nci tertentu dengan pembangunan ekonomi. Indeks Mutu Hidup (PQLI) 14

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, Morris D. Morris memperkenalkan Physical Quality Life Index (PQLI), yang lazim diterjemahkan sebagai Indeks Mut u Hidup (IMH). PQLI merupakan indeks komposit (gabungan) dari 3 indikator, yaitu : harapan hidup pada usia satu tahun, angka kematian, dan tingkat melek huruf. U ntuk masing-masing indikator, kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skal a 1 hingga 100, di mana 1 merupakan kinerja terjelek, sedangkan 100 adalah kiner ja terbaik. Begitu kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skala 1 hingga 100 untuk masing-masing indikator tersebut, maka indeks kompositnya dapat dihitu ng dari rata-rata penilaian atas ketiga indikator, dengan memberikan bobot yang sama untuk masing-masing indikator. Sebagai contoh, Tabel 2.3 menyajikan indikat or PQLI untuk masing-masing propinsi di Indonesia pada tahun 1971, 1980, dan 199 0. PQLI di Indonesia meningkat dari 45 pada tahun 1971, menjadi 57 pada tahun 19 80, dan naik menjadi 73 pada tahun 1990. Kendati demikian, di antara negara-nega ra ASEAN, PQLI Indonesia termasuk yang paling rendah. Bila dibandingkan antar pr opinsi, terdapat begitu besar variasi PQLI meskipun dengan tingkat yang menurun sebesar 0,1224, 0,1162, dan 0,0864 masing-masing untuk tahun 1971, 1980, dan 199 0 (Ardani, 1996: h. 28). Namun umumnya PQLI mengalami peningkatan untuk masing-m asing propinsi, dengan rata-rata kenaikan per tahun selama 1971-1990 sebesar 2,6 persen. DI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara merupakan propinsi yang memiliki pe ningkatan PQLI tercepat sebesar 3,6 persen per tahun. Pada tahun 1971, PQLI tert inggi dipegang oleh Sulawesi Utara (62). Pada tahun 1980 dan 1990, rekor PQLI di raih oleh DKI Jakarta (72 dan 86). Human Development Index (HDI) Upaya yang pali ng ambisius dan terbaru dalam menganalisis perbandingan status pembangunan sosia l ekonomi, balk di NSB maupun negara maju telah dilakukan oleh UNDP (United Nati ons Development Program) secara sistematis dan komprehensif. UNDP menerbitkan se ri tahunan dalam publikasi berjudul Human Development Reports. Hal yang menarik dan berharga dari laporan ini, yang diterbitkan sejak tahun 1990, adalah penyusu nan dan perbaikan Human Development Index (HDI). Seperti halnya POLI, HDI mencob a meranking semua negara dalam skala 0 (sebagai tingkatan pembangunan manusia ya ng terendah) hingga 1 (pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan atas 3 tu juan atau produk pembangunan, yaitu: (1) usia panjang yang diukur dengan tingkat harapan hidup; (2) pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jum lah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tah un sekolah (diberi bobot sepertiga); dan (3) penghasilan yang diukur dengan pend apatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu 15

disesuaikan menurut Jaya bell mata uang masingmasing negara dan asumsi menurunny a utilitas marginal penghasilan dengan cepat. Dengan 3 ukuran pembangunan ini da n menerapkan suatu formula yang kompleks terhadap data 160 negara pada tahun 199 0, ranking HDI semua negara dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) negara dengan pembangunan manusia yang rendah (low human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50; (2) negara dengan pembangunan manusia yang menengah (med ium human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79; dan (3) negara dengan pembangunan manusia yang tinggi (high human development) bila nila i HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,0. Negara dengan nilai HDI di bawah 0,5 bera rti tidak memperhatikan pembangunan manusianya; negara dengan nilai HDI 0,51 hin gga 0,79 berarti mulai memperhatikan pembangunan manusianya; negara dengan nilai HDI lebih dari 0,8 berarti amat memperhatikan pembangunan manusianya. Perlu dic atat bahwa HDI mengukur tingkat pembangunan manusia secara relatif, bukan absolu t. Selain itu, HDI memfokuskan pada tujuan akhirpembangunan (usia panjang, penge tahuan, dan pilihan material) dan tidak sekadar alat pembangunan (hanya GNP per kapita). Tabel 2.4 menunjukkan perhitungan HDI dan rankingnya. Barbados adalah N SB dengan nilai HDI tertinggi. Sementara di antara negara-negara maju, ranking t ertinggi diraih oleh Kanada, ke-2 oleh Swiss, dan ke-8 oleh AS. Perbedaan rankin g GNP per kapita dengan ranking HDI yang positif (lihat kolom ke-5) menunjukkan bagaimana ranking relatif suatu negara meningkat bila digunakan HDI sebagai indi kator sebagai ganti dari GNP per kapita; tanda negatif menunjukkan sebaliknya. B eberapa negara, seperti Gabon, Brunei, Angola, Namibia, Arab Saudi, dan Uni Emir at Arab, ranking pendapatan per kapitanya jauh melebihi ranking HDI. Negara-nega ra tersebut berarti memiliki potensi untuk menggunakan pendapatannya guna memper baiki kesejahteraan rakyatnya. Sementara itu, negara-negara lain, seperti China, Kolumbia. Costa Rica, Cuba, Guyana, Madagaskar, Indonesia, dan Srilangka, memil iki ranking HDI jauh di atas ranking penghasilannya (ditunjukkan oleh tanda posi tif pada kolom ke-5). Keadaan ini memperlihatkan bahwa negara tersebut telah ban yak menggunakan pendapatannya untuk meningkatkan kapabilitas manusianya. Dengan demikian, indikator HDI jauh melebihi pertumbuhan konvensional. Memang suatu per tumbuhan ekonomi adalah penting untuk mempertahankan kesejahteraan rakyatnya. Na m un pertumbuhan bukan merupakan akhir dari pembangunan manusia. Pertumbuhan eko nomi hanyalah satu alat yang penting. Akan tetapi yang lebih penting adalah baga imana pertumbuhan ekonomi digunakan untuk memperbaiki kapabilitas manusianya, da n pada gilirannya bagaimana rakyat menggunakan kapabilitasnya. Amartya Sen, seor ang ahli 16

ekonomi dari Harvard, menegaskan bahwa pembangunan ekonomi seharusnya diterjemahkan sebagai suatu proses ekspansi dari kebebasan positif yang dinikmat i oleh masyarakat. la mengamati bahwa masalah riil di NSB adalah menurunnya kual itas kehidupan daripada rendahnya pendapatan. Sen menginterpretasikan pembanguna n sebagai proses yang memperluas entitlement dan kapabilitas manusia untuk hidup sesuai dengan yang diinginkannya. "Entitlement" adalah sejumlah komoditi yang d apat diperoleh seseorang dalam masyarakat dengan menggunakan seluruh hak dan pel uang yang dia miliki. "Kapabilitas" diartikan sebagai mencakup apa yang dapat ma upun tidak dapat dilakukan, misalnya bebas dari kelaparan, dari kekurangan gizi, partisipasi dalam masyarakat, bebas bepergian menengok teman, memperoleh tempat tinggal yang memadai, dsb. Kendati HDI memberikan wawasan yang Iebih luas menge nai pembangunan, Todaro (1995: h. 65) memberikan catatan berikut; Pertama, pembe ntukan HDI sebagian didorong oleh strategi politik yang didesain untuk memfokusk an perhatian pada aspek pembangunan kesehatan dan pendidikan. Kedua, ketiga indi kator tersebut merupakan indikator yang bagus namun bukan ideal (misalnya, tim P BB ingin menggunakan status nutrisi bagi anak berusia di bawah lima tahun sebaga i indikator kesehatan yang ideal, tetapi datanya tidak tersedia). Ketiga, nilai HDI suatu negara mungkin membawa dampak yang kurang menguntungkan karena mengali hkan fokus dari masalah ketidakmerataan dalam negara tersebut. Keempat, alternat if pendekatan yang memandang ranking GNP per kapita, dan kemudian melengkapinyad engan indikator sosial lain masih dihargai. Kelima, kita harus selalu ingat bahw a indeks ini merupakan indikator pembangunan yang "relatif", bukan absolut, sehi ngga bila semua negara mengalami peningkatan pada tingkat tertimbang yang sama, maka negara miskin tidak akan memperoleh penghargaan atas kemajuannya. BACAAN YA NG DIANJURKAN Ardani, Amiruddin, Regional Development in Indonesia: Issues and C hallenges, Discussion Paper No. 36, Nagoya University, Nagoya, 1996. Biro Pusat Statistik, Profit Kesejahteraan Rakyat 1995, Jakarta, April 1996. , Indikator So sial Wanita 1994, Jakarta, Januari 1996. IBRD, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, Oxford University Press, Oxford, 1993, bab 1. Kuncoro, Mudrajad, Manajemen Keuangan lntemasional: Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global, BPFE, Yogyakarta, 1996, bab 10. Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic De velopment, edisi ke-6, Oxford University Press, New York, 1995, bab I. B. 17

BAB III TEORI PEMBANGUNAN Begitu kompleksnya pembangunan menyebabkan hingga saat ini tidak ada satu teori pembangunan yang tepat diterapkan bagi semua negara di dunia. Harus diakui, teori-teori pembangunan yang ada, khususnya di awal perkem bangan cabang ilmu ekonomi ini, sangat didominasi oleh hasil pemikiran Para ekon om Barat. Pola pikir dan buah pikiran seorang pakar tentunya tidak akan pernah l epas dari tata nilai dan kondisi Iingkungan yang ada di sekitarnya. Demikian pul a halnya dengan ekonom Barat yang mencoba memformulasikan strategi pembangunan d alam suatu kerangka teori yang sistematis, di mana dasar dari teori yang mereka hasilkan hanya dapat terpenu hi bila teori tersebut diterapkan di Barat. Itulah sebabnya mengapa teori-teori pembangunan yang merupakan hasil pemikiran ekonom B arat, pada banyak kasus ternyata kurang tepat diterapkan begitu saja di negara s edang berkembang (NSB). Perbedaan tata nilai, sistem sosial; dan kondisi Iingkun gan antara negara maju, yang umumnya di benua Eropa dan Amerika, dengan NSB yang umumnya terletak di benua Afrika dan Asia, menyebabkan penerapan teori-teori pe mbangunan yang ada banyak yang menjumpai "kegagalan". Lepas dari permasalahan te rsebut, terdapat banyak teori pembangunan yang telah diformulasikan oleh para ek onom, dan sulit untuk mengelompokkan teori-teori tersebut pada suatu aliran tert entu. Dalam bab ini akan ditelusuri teori-teori dasar pembangunan yang ada, sesu ai dengan pengelompokkan yang dilakukakan oleh Todaro (1991; 1994). Dalam pembah asan mengenai teori pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, dikenal 4 pendek atan yang dominan yaitu: (1) Teori pertumbuhan linear (linear stages of growth); (2) Teori pertumbuhan struktural; (3) Teori revolusi ketergantungan internasion al (dependensia); (4) Teori Neo-Klasik. 3.1. TEORI PERTUMBUHAN LINEAR Model pert umbuhan linear mendominasi perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dik emukakan oleh Adam Smith dan mengalami puncak kejayaannya dengan lahirnya teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rostow. Teori-teori pembangunan yang dikemukak an oleh Adam Smith, Karl Marx, dan Rostow termasuk dalam model pertumbuhan linea r. Dasar pemikiran dari model ini adalah evolusi proses pembangunan yang dialami oleh suatu negara selalu melalui tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan ters ebut merupakan proses urutan seperti halnya aliran air sungai. Artinya, pentahap an tersebut adalah mutlak 18

harus dilalui oleh suatu negara yang sedang membangun, di mana tahap-tahap pemba ngunan tersebut harus dilalui satu-persatu secara berurutan menuju tingkat yang semakin tinggi. 3.1.1. Teorl Pertumbuhan Adam Smith Adam Smith membagi tahapan p ertumbuhan ekonomi menjadi 5 tahap yang berurutan, yaitu dimulai dari masa perbu ruan, masa berternak, masa bercocoktanam, perdagangan dan yang terakhir adalah t ahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam prosesnya, pertumbuhan ek onomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian keraja antarpelaku eko nomi. Dalam hal ini Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input (masuk an) bagi proses produksi. Pembagian kerja merupakan titik central pembahasan dal am teori Adam Smith, dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Spesia lisasi yang dilakukan oleh tiap-tiap pelaku ekonomi tidak lepas dari faktor-fakt or pendorong yaitu: (1) peningkatan keterampilan pekerja, dan (2) penemuan mesin -mesin yang menghemat tenaga. Spesialisasi akan terjadi jika tahap pembangunan e konomi telah menuju ke sistem perekonomian modern yang kapitalistik. Meningkatny a kompleksitas aktivitas ekonomi dan kebutuhan hidup di masyarakat, mengharuskan masyarakat untuk tidak lagi melakukan semua pekerjaan secara sendiri, namun leb ih ditekankan pada spesialisasi untuk menggeluti bidang tertentu. Dalam pembangu nan ekonomi, modal memegang peranan yang penting. Menurut teori ini, akumulasi m odal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan masyarakat. Adanya akumulasi modal yang dihasilkan dari tabungan, maka pelaku ekonomi dapat menginvestasikannya ke sektor dalam upaya untuk meningkatkan penerimaannya. Perl u dicatat bahwa akumulasi modal dan investasi sangat bergantung pada pada perila ku menabung masyarakat, sementara di sisi lain kemampuan menabung masyarakat dit entukan oleh kemampuan menguasai dan mengeksplorasi sumberdaya yang ada. Artinya bahwa orang yang mampu menabung pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang m enguasai dan mengusahakan sumber-sumber ekonomi, yaitu para pengusaha dan tuan t anah. Pekerja merupakan satu-satunya pelaku ekonomi yang tidak memiliki kemampua n menabung karena mereka tidak mampu menguasai dan mengusahakan sumber-sumber ek onomi yang ada. Menurut Adam Smith proses pertumbuhan akan terjadi secara simult an dan memiliki hubungan keterkaitan satu dengan yang lain. Timbulnya peningkata n kinerja pada suatu sektor akan meningkatkan daya tank bagi pemupukan modal, me ndorong kemajuan 19

teknologi, meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Hal ini akan mendoro ng pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Proses pertumbuhan ekonomi sebagai suatu " fungsi tujuan" pada akhirnya harus tunduk terhadap "fungsi kendala" yaitu keterb atasan sumberdaya ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan mulai mengalami perlambatan jika daya dukung alam tidak mampu lagi mengimbangi aktivitas ekonomi yang ada. K eterbatasan sumberdaya merupakan faktor yang dapat menghambat pertumbuhan ekonom i tersebut, bahkan dalam perkembangannya hal tersebut justru menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Penurunan pertumbuhan ekonomi akan terus terjadi karena mat a rantai tabungan, akumulasi modal, dan investasi tetap terjalin dan berkaitan e rat satu sama lain. Jika investasi rendah, maka kemampuan menabung akan turun, s ehingga akumulasi modal akan mengalami penurunan pula. Jika hal tersebut terjadi berarti laju investasi juga akan rendah dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi . Akhirnya kapitalisme dalam hal ini akan berada pada kondisi stasioner, yaitu p ada tingkat pertumbuhan sama dengan nol. Semua tahap pembangunan di atas tidak l epas dari kondisi dasar , yaitu bahwa pasar yang dihadapi adalah persaingan semp urna. Persaingan sempurna mempunyai karakteristik: (1) ada banyak penjual dan pe mbeli di pasar; (2) produk yang diperjualbelikan bersifat homogen; (3) tidak ada kolusi antara penjual maupun pembeli; (4) semua sumberdaya memiliki mobilitas s empurna; (5) balk pembeli maupun penjual memiliki informasi sempurna mengenai ko ndisi pasar (Awh, 1976, h. 242-3). Pasar persaingan sempurna pada dasarnya tidak pernah ada di dunia. Suatu hal yang mustahil bagi perekonomian untuk berada pad a kondisi di mana semua asumsi dasar persaingan sempurna berlaku. Penetapan asum si tidak realistis ini adalah salah satu kelemahan teori pembangunan versi Adam Smith. Teori pembangunan Adam Smith tidak dapat dilepaskan dari evolusi pentahap an proses pembangunan yang terjadi secara berjenjang dan harus dilewati satu per satu. Demikian pula halnya dengan tingkat pertumbuhan, yaitu dimulai suatu titi k tertentu, kemudian secara lambat mulai peningkatan; laju pertumbuhan akan terj adi secara cepat sampai titik optimal tertentu dan akan menurun hingga mencapai titik nol. Pentahapan ini merupakan hal yang nampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kemungkinan terjadinya gelombang konjungtur dalam proses pertumbuhan ekon omi nampaknya merupakan hal yang tidak mungkin menurut teori tersebut. Teori ter sebut menetapkan bahwa akhir dari kapitalisme adalah kondisi stasioner, tanpa ke mungkinan terjadinya gelombang konjungtur. Kritik lain mengenai teori pertumbuha n Adam Smith ini adalah pembagian kelompok masyarakat yang secara eksplisit dapa t menabung dan tidak dapat menabung hanya didasarkan pada jenis usaha yang digel utinya. Sangat tidak realistis jika para pekerja diasumsikan tidak memiliki kema mpuan untuk menabungkan uangnya dari sisa pendapatan 20

yang dibelanjakan. Adam Smith mengabaikan peran perbankan sebagai badan penghimp un dan penyalur surplus Jana dari masyarakat, dan juga mengabaikan adanya kecend erungan orang untuk menabung meski pendapatannya relatif tidak besar. Adam Smith mengasumsikan hanya para tuan tanah dan pengusaha yang mampu melakukan aktivita s menabung, untuk kemudian modal tersebut diinvestasikan ke sektor riil. Dalam h al ini secara implisit Adam Smith menyatakan bahwa gaji pekerja demikian kecilny a, sementara di sisi lain laba pengusaha demikian besarnya sehingga mereka mampu mengakumulasikan modalnya. Artinya dalam sistem ekonomi kapitalis posisi tawarmenawar (bargaining position) pekerja terhadap pengusaha relatif sangat kecil. J ika hal ini terjadi maka konsekuensinya adalah terjadi ekploitasi para pengusaha terhadap para pekerja. Asumsi ini menunjukkan "kekejaman" teori Adam Smith deng an sistem ekonomi kapitalisnya. Suatu hal yang "menyakitkan" bahwa dalam suatu s istem yang diciptakan manusia terjadi eksploitasi manusia atas manusia lain. Let ak ketidakadilan sistem tersebut adalah pada diskriminasi kesempatan untuk menab ung, yang berkaitan erat dengan diskriminasi kemampuan penguasaan faktor produks i dan konsumsi sumberdaya. 3.1.2. Teori Pembangunan Karl Marx Karl Marx dalam bu kunya Das Kapital membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu di mulai dari feodalisme, kapitalisme dan kemudian yang terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat ini akan sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi di mana perekonomian y ang ada masih bersifat tradisional. Dalam tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pelaku eko nomi lain. Perkembangan teknologi yang ada menyebabkan terjadinya pergeseran di sektor ekonomi, di mana masyarakat yang semula agraris-feodal kemudian mulai ber alih menjadi masyarakat industri yang kapitalis. Seperti halnya pada masa feodal , pada masa kapitalisme ini para pengusaha merupakan pihak yang memiliki tingkat posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pihak lain khususnya kaum buruh . Mark menyesuaikan asumsinya terhadap cara pandang ekonomi Klasik ketika itu de ngan memandang buruh sebagai salah satu input dalam proses produksi. Artinya bur uh tidak memiliki posisi tawar menawar sama sekali terhadap para majikannya, yan g merupakan kaum kapitalis. Konsekuensi logis penggunaan asumsi dasar tersebut a dalah kemungkinan terjadinya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan para pengu saha terhadap buruh. Di sisi lain, pada masa itu pemupukan modal kemudian menjad i kata kunci bagi upaya peningkatan 21

pendapatan yang lebih besar di masa yang akan datang. Sejalan dengan perkembanga n teknologi, para pengusaha yang menguasai faktor produksi akan berusaha memaksi malkan keuntungannya dengan menginvestasikan akumulasi modal yang diperolehnya p ada input modal yang bersifat padat kapital. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan peningkatan pengangguran yang terjadi akibat subtitusi tenaga manusia dengan in put modal yang padat kapital, pada akhirnya akan menyebabkan revolusi sosial yan g dilakukan oleh kaum buruh. Fase ini merupakan tonggak baru bagi munculnya suat u tatanan sosial alternatif di samping tata masyarakat kapitalis, yaitu tata mas yarakat sosialis. Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakannya, Marx selalu m endasarkan argumennya pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu : masyarakat pemilik tanah dan masyarakat bukan pemilik tan ah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat bukan pemilik modal. Asumsi lain yan g mendukung adalah bahwa di antara kedua kelompok masyarakat tersebut sebenarnya terjadi konflik kepentingan di antara mereka. Oleh karena itu dalam pola berpik irnya, Marx selalu mendasarkan teorinya pada kondisi pertentangan antarkelas dal am masyarakat. Menurut Marx, kemampuan para pengusaha untuk melakukan akumulasi modal teletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan nilai lebih dari produkti vitas buruh yang dipekerjakan. Nilai buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah mer upakan jumlah tenaga yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga buruh tersebut. A rtinya upah akan sama dengan nilai sarana kehidupan yang diperlukan seorang buru h untuk mempertahankan kehidupannya. Pada kenyataannya nilai upah yang diberikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas buruh tersebut dalam suatu p roses produksi. Selisih antara nilai produktivitas buruh dan nilai tenaga buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah inilah yang kemudian disebut dengan nilai lebi h. Nilai lebih merupakan keuntungan yang diperoleh oleh para pengusaha. Karena t ingkat keuntungan yang diperoleh oleh para pengusaha adalah fungsi dari nilai le bih, maka untuk memaksimalkan keuntungan, para pengusaha tidak akan segan-segan mengeksploitasi pekerja. Nilai lebih akan meningkat jika upah diturunkan atau pr oduktifitas dinaikkan dengan asumsi semua faktor lain tidak berubah. Penurunan u pah buruh nampaknya sulit untuk dilakukan mengingat tingkat upah yang terjadi pa da masa kapitalisme semata-mata diberikan agar buruh tetap hidup dan dapat beker ja. Artinya penetapan upah tersebut tidak lebih besar daripada kebutuhan hidup p ada tingkat subsisten. Hal ini merupakan dampak dari asumsi dasar bahwa buruh di pandang seperti input yang lain. 22

Upaya untuk memaksimalkan keuntungan yang nantinya akan diakumulasikan dalam ben tuk kapital, yang pada akhirnya akan diinvestasikan kembali oleh para pengusaha, hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas kerja. Peningkatan efisiensi kerja ini tidak terlepas dari kondisi pasar yang kian kompetitif. Sem akin sengitnya persaingan antarpara pemilik modal akan menjurus pada upaya mere but pangsa pasar sebesar-besarnya. Jika diasumsikan bahwa kualitas barang yang d iperdagangkan adalah homogen, maka produsen hanya dapat melaksanakan strategi pe nurunan harga output sebagai upaya menguasai pasar. Prasyarat untuk kondisi sema cam itu adalah sistem produksi yang semakin efisien dan produktif. Dengan kata l ain, peningkatan produktivitas kerja dan efisiensi produksi merupakan hal yang t idak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan investasi khu susnya pada barang modal yang bersifat padat kapital untuk meningkatkan produkti vitas kerja tersebut. Konsekuensinya pengusaha akan menurunkan penggunaan tenaga buruh dan diganti dengan penggunaan mesin-mesin yang lebih produktif dan efisie n. Akibat penggunaan mesin-mesin tersebut tingkat pengangguran akan semakin meni ngkat, dan Jaya bell masyarakat akan semakin menurun akibat semakin banyaknya ti ngkat pengangguran yang terjadi. Akumulasi ketertindasan kaum buruh dalam pereko nomian kapitalis yang terus dieksploitasi, meningkatnya pengangguran, dan ditamb ah konflik antarkelas masyarakat yang terus terjadi, maka Marx kemudian menyimpu lkan bahwa kapitalisme akan berakhir dengan timbulnya revolusi sosial yang dilak ukan oleh kaum buruh. Revolusi ini akan membawa perubahan mendasar pada segala b idang, terutama pada sistem produksi dan pemilikan sumberdaya. Akumulasi modal d alam sistem kapitalis akan dig anti dengan pemerataan kesempatan pemilikan sumbe rdaya, individualis dalam masyarakat kapitalis akan berubah menjadi sistem kemas yarakatan yang sosialis. Pada tahap ini, Marx menawarkan suatu sistem baru yaitu sistem perekonomian sosialis, sebagai alternatif dari sistem kapitalis yang saa t itu merupakan satu-satunya sistem perekonomian yang dikenal. Kritik terhadap t eori Marx terutama tertuju pada asumsi adanya nilai lebih dalam suatu perekonomi an. Dalam dunia nyata tidak dikenal adanya istilah nilai lebih ini, karena meman g di dunia nyata kita berkutat dengan harga yang terwujud dan nyata. Jadi Marx d alam hal ini telah menciptakan dunia nilai yang abstrak yang membuat teorinya ag ak "sukar dan kaku" untuk memahami bekerjanya kapitalisme (Jhingan, 1988, h.151) Kritik lain adalah adanya keharusan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju sosialis hanya dapat dilakukan dengan jalan revolusi. Haruskah suatu upaya untuk menuju kepada suatu kondisi yang "dianggap" baik harus dilakukan dengan revolus i yang tentunya akan 23

membawa korban yang besar? Apakah sudah tidak ada lagi kejernihan pemikiran dari kedua belah pihak untuk berdialog satu dengan yang lain? Kekakuan Marx dalam me ndeskripsikan proses perubahan dari masyarakat agraris-feodal menuju masyarakat kapitalis dan terakhir adalah masyarakat sosialis, nampaknya sangat diwarnai sub yektivitas dan kebencian Marx terhadap sistem kapitalis. Itulah sebabnya mengapa Marx mendiskripsikan bahwa kehancuran kapitalis yang akan digantikan oleh sosia lis harus melalui suatu revolusi. Artinya Marx tidak menginginkan keberadaan par a pengusaha yang berjaya di masa kapitalis untuk menghirup udara sosialisme, men gingat revolusi kaum buruh jelas-jelas melawan kaum pengusaha tersebut. Kendati demikian, ternyata Marx justru banyak menyumbang terhadap kelanggengan kehidupan ekonomi kapitalis. Dengan adanya kritik dan sinyalemen terhadap perkiraan dampa k negatif sistem kapitalis, terutama terhadap buruh, maka hal tersebut justru me njadi masukan bagi ekonom kapitalis untuk menyempurnakan sistem yang ada, hingga dampak negatif yang digambarkan Marx dapat dihindari. Marx merupakan orang pert ama yang memberikan gambaran sisi negatif dari sistem kapitalisme jika sistem te rsebut diterapkan berdasarkan perhitungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan nilai sosial kemasyarakatan. Marx menunjukkan kepada dunia bahwa tahap pembangunan ekonomi tidaklah semulus yang diperkirakan sebelumnya. Untuk mencapai perekonomian sosialis, terlebih dahulu harus melewati tahap depre si ekonomi akibat kapitalisme yang merajalela tanpa kendali. Toeri Marx tentang depresi ekonomi inilah yang pada akhirnya justru memperkuat argumentasi Keynes y ang merekomendasikan peningkatan peran pemerintah bagi upaya mengatasi depresi e konomi yang ada. 3.1.3. Teori Pertumbuhan Rostow Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pa da dekade 1950-1960, teori Rostow banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi par a ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Teori Rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah dialami oleh negara-negara maj u terutama di Eropa. Dengan mengamati proses pembangunan di negara- negara Eropa dari mulai abad pertengahan hingga abad modern, maka kemudian Rostow memformula sikan pola pembangunan yang ada menjadi tahap-tahp evolusi dari suatu pembanguna n ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. 24

Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima tahap yaitu: (1) Tahap perekonomian tradisional; (2) Tahap prakondisi tinggal landas; (3) Ta hap tinggal landas; (4) Tahap menuju kedewasaan; (5) Tahap konsumsi massa tinggi . Berikut ini akan diuraikan masing-masing tahapan ini. Tahap L Perekonomian Tra disional Perekonomian pada masyarakat tradisional cenderung bersifat subsisten. Pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi masih sangat terbatas. Dalam perekon omian semacam ini sektor pertanian memegang peranan penting. Masih rendahnya pem anfaatan teknologi dalam proses produksi menyebabkan barangbarang yang diproduks i sebagian besar adalah komoditas pertanian dan bahan mentah Iainnya. Struktur s osial kemasyarakatan dalam sistem masyarakat seperti ini bersifat berjenjang. Ke mampuan penguasaan sumberdaya yang ada sangat dipengaruhi oleh hubungan darah da n keluarga. Tahap II. Prakondisi Tinggal Landas Tahap kedua dari proses pertumbu han Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi dari masyarakat agraris m enuju masyarakat industri. Sektor industri mulai berkembang di samping sektor pe rtanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian. Tahap kedua ini merupakan tahap yang menentukan bagi persiapan menuju tahap-tahap pembangunan be rikutnya, yaitu tahap tinggal landas. Sebagai tahapan yang berfungsi mempersiapk an dan memenuhi prasyaratprasyarat pertumbuhan swadaya, diperlukan adanya semang at baru dari masyarakat. Menurut pengamatan Rostow, negara-negara di Eropa menga lami tahap kedua ini kira-kira pada abad ke-1 5 sampai ke-1 6. Pada saat itu ter jadi terjadi perubahan radikal dalam masyarakat Eropa dengan munculnya semangat Renaissance. Semangat ini telah membalikkan semua tata nilai masyarakat Eropa saat itu yang cenderung statis menjadi sangat dinamis. Perubaha n paradigma berfikir nampaknya merupakan istilah yang Iebih tepat untuk menilai fenomena itu. Pada tahap ini, perekonomian mulai bergerak dinamis, industri-industri bermuncul an, perkembangan teknologi yang pesat, dan lembaga keuangan resmi sebagai pengge rak Jana masyarakat mulai bermunculan, serta terjadi investasi besar-besaran ter utama pada industri manufaktur. Tahap ini merupakan tonggak dimulainya industria lisasi. lndustrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi prasyarat sebagai beri kut: pertama, peningkatan investasi di sektor infrastruktur/prasarana terutama p rasaran transportasi; kedua, terjadi revolusi teknologi di bidang pertanian untu k memenuhi peningkatan permintaan penduduk kota yang semakin 25

besar; ketiga, perluasan impor, termasuk impor modal, yang dibiayai oleh produks i yang efisien dan pemasaran sumber alam untuk ekspor. Proses pembangunan dan in dustrialisasi yang berkelanjutan akan terjadi dengan menanamkan kembali keuntung an yang diptroleh dalam sektor yang menguntungkan. Tahap lll. Tinggal Landas Tin ggal landas merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Pengalaman nega ra-negara Eropa menunjukkan bahwa tahap ini berlaku dalam waktu yang relatif pen dek yaitu kira-kira dua dasawarsa. Dalam tahap ini akan terjadi suatu revolusi i ndustri yang berhubungan erat dengan revolusi metode produksi. Tinggal landas di definisikan sebagai tiga kondisi yang sating berkaitan sebagai berikut : 1. 2. 3 . Kenaikan laju investasi produktif antara 5-10 persen dari pendapatan nasional; Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju per tumbuhan tinggi; Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan institusion al yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern, dan dampak eksternalnya ak an memberikan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi. Prasyarat pertama dan kedua sangat berkaitan erat satu sama lain. Kenaikan laju investasi produktif antara 5 -10 persen dari GNP pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan yang tinggi pada sektor-sektor dalam perekonomian, khususnya sektor manufaktur. Sektor manufaktur diharapkan memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi karena sektor tersebut merupa kan indikator bagi perkembangan industrialisasi yang yang dilakukan. Di samping itu sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki keterkaitan terbesar dengan se ktor-sektor lain. Jika sektor manufaktur berkembang pesat, maka sektor-sektor la in pun akan terpengaruh untuk berkembang pesat pula. Pada akhirnya pertumbuhan y ang tinggi pada semua sektor ini akan berakibat pada perkembangan GNP yang lebih tinggi dari kondisi semula. Prasyarat ketiga merupakan kondisi yang harus dipen uhi agar prasyarat pertama dan kedua dapat terpenuhi dengan baik. Prasyarat keti ga merupakan "iklim" yang memungkinkan terpenuhinya prasyarat pertama dan kedua terpenuhi. Tanpa terpenuhinya prasyarat ketiga, praktis prasyarat pertama dan ke dua tidak akan terpenuhi. Prasyarat ketiga ini menunjukkan kesadaran Rostow bahw a perubahan perekonomian pada dasarnya merupakan konsekuensi dari perubahan moti f dan inspirasi nonekonomi dari seluruh lapisan masyarakat. Artinya perubahan ek onomi dalam skala besar tidak akan terjadi selama tidak ada iklim kondusif 26

yang memungkinkan perubahan tersebut. lklim kondusif tersebut adalah perubahan f aktorfaktor nonekonomi dari masyarakat yang sejalan dengan proses pertumbuhan ek onomi yang terjadi. Tahap IV. Tahap Menuju Kedewasaan Tahap ini ditandai dengan penerapan secara efektif teknologi modern tertfadap sumberdaya yang dimiliki. Ta hapan ini merupakan tahapan jangka panjang di mana produksi dilakukan secara swa daya. Tahapan ini juga ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting yang ba ru. Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, terdapat tiga perub ahan penting yang terjadi: (1) Tenaga kerja berubah dari tidak terdidik menjadi terdidik; (2) Perubahan watak pengusaha dari pekerja keras dan kasar berubah men jadi manager efisien yang halus dan sopan; (3) Masyarakat jenuh terhadap industr ialisasi dan menginginkan perubahan lebih jauh. Tahap V. Tahap Konsumsi Massa Ti nggi Tahap konsumsi massa tinggi merupakan akhir dari tahapan pembangunan yang d ikemukakan oleh Rostow. Pada tahap ini akan ditandai dengan terjadinya migrasi b esarbesaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat pembanguna n pusat kota sebagai sentral bagi tempat bekerja. Penggunaan alat transportasi p ribadi maupun yang bersifat transportasi umum seperti halnya kereta api merupaka n suatu hal yang sangat dibutuhkann. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi d ari pendekatan penawaran (supply side) menuju ke pendekatan permintaan (demand s ide) dalam sistem produksi yang dianut. Sementara itu terjadi pula pergeseran pe rilaku ekonomi yang semula lebih banyak menitikberatkan pada sisi produksi, kini beralih ke sisi konsumsi. Orang mulai berfikir bahwa kesejahteraan bukanlah per masalahan individu, yang hanya dipecahkan dengan mengkonsumsi barang secara indi vidu sebanyak mungkin, namun lebih dari itu mereka memandang kesejahteraan dalam cakupan yang lebih luas yaitu kesejahteraan masyarakat bersama dalam arti luas. Terlepas dari permasalahan di atas terdapat tiga kekuatan utama yang cenderung meningkatkan kesejahteraan dalam tahap konsumsi besar-besaran ini (Jhingan, 1988 : h.188): 1. 2. Penerapan kebijakan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas nasional; Ingin memiliki satu negara kesejahteraan (welfare state) d engan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, pe ningkatan jaminan sosial, dan fasilitas hiburan bagi para pekerja; 27

3. Keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting seperti mobil, jaringan rel kereta api, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik dan sebagainya. Amerika merupakan satu-satunya negara yang p ertama kali mencapai era konsumsi massa tinggi ini, yaitu sekitar tahun 1920. Ha l yang sama kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa Barat. Satu-satunya nega ra di Asia yang telah mencapai tahap tersebut adalah Jepang. Kritik Terhadap Teo ri Rostow Pentahapan pembangunan seperti yang digambarkan oleh Rostow adalah sis tem pentahapan di mana suatu tahapan tidak dapat terjadi tanpa melalui tahapan y ang lain. Tahap kedua tidak dapat terjadi tanpa tahap pertama, tahap ketiga tida k akan terjadi tanpa tahap kedua dan seterusnya. Hal ini terjadi karena teori pe rtumbuhan Rostow merupakan pola penggambaran sejarah pembangunan yang dilakukan negara-negara di Eropa yang memiliki struktur sosial dan budaya yang mapan. Kondisi tersebut tidak terjadi p ada negara-negara di Asia dan Afrika yang belum memiliki sistem sosial yang tera tur. lnteraksi kebudayaan Barat, akibat kolonialisme, dalam kebudayaan Timur (ne gara sedang berkembang di Asia dan Afrika), menyebabkan tahapan dalam teori Rost ow terjadi secara simultan. Ketika di daerah perkotaan modern di negara sedang b erkembang sudah berada pada tahap tinggal landas, bahkan lebih tinggi lagi, seme ntara itu di daerah perdesaan sistem perekonomian dan kemasyarakatan masih berad a pada tahap tradisional. Di daerah perkotaan berkembang sistem sosial yang tela h berkiblat pada sistem sosial Barat. Pada saat yang bersamaan, di perdesaan san gat diwarnai sistem sosial tradisional. Kenyataannya, ada negara-negara di dunia yang tidak pernah melewati tahap pertam a dari pertumbuhan ekonomi Rostow, namun langsung menginjak tahap kedua. Amerika Serikat dan Australia merupakan negara yang mengalami pola pertumbuhan ini. Hal ini terjadi karena keduanya merupakan benua "temuan" orang-orang Eropa, di mana penduduknya yang saat ini ada adalah orang-orang Eropa yang kemudian mentransfe r ilmu dan pengetahuannya ke benua tersebut. Kritik gencar terhadap teori Rostow dikemukakan oleh Simon Kuznets (1989). Pertanyaan kritis yang diajukan Kuznets adalah: "Bagaimana mungkin suatu desain sederhana dapat menjadi suatu rangkuman diskriptif atau klasifikasi analitik dari suatu perubahan historis yang beragam dan bervariasi?" Kusnetz juga mencatat kemiripan dan perbedaan antara teori Rost ow dengan Marx. 28

Teori Rostow pada dasarnya merupakan alternatif bagi teori Marx, di mana Rostow menawarkan Communism Manifesto. Pada dasarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori Marx dan Rostow. Pertama, kedua teori tersebut dengan berani menginterpret asikan evolusi sosial khususnya di sektor ekonomi. Kedua, balk Marx maupun Rosto w telah mencoba mengeksplorasi permasalahan dan konsekuensi dari pembangunan sos ial yang dilakukan. Ketiga, kedua ekonom tersebut menyadari bahwa perubahan sist em ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan yang terjadi di bidang politik, kebudayaan, dan sosial. Sementara di sisi lain perubahan sis tem ekonomi akan berpengaruh juga terhadap kehidupan politik, kondisi budaya dan sosial masyarakat. Meski kedua teori banyak memiliki kesamaan, namun keduanya t idak lepas dari perbedaan satu dengan yang lain. Pertama, Marx memandang bahwa m an usia bersifat sangat kompleks yang memiliki berbagai dimensi kebutuhan dari e konomi sampai budaya. Di sisi lain, Rostow mempersempit dimensi manusia menjadi satu yaitu sebagai homo economicus. Meski demikian Rostow sadar bahwa perubahan ekonomi yang sangat besar harus dipandang sebagai konsekuensi dari perubahan mot if dan inspirasi dimensi nonekonomi dari manusia. Kedua, Marx mendasarkan teorin ya pada sistem konflik antarkelas masyarakat, eksploitasi satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain, dan adanya tekanantekanan semacam itu yang melekat pada sistem kapitalis. Sementara itu, Rostow lebih implisit dalam memandang inte raksi kelas masyarakat dalam sistem kapitalis mengingat Rostow sendiri adalah ek onom yang berkiblat ke kapitalis. Ketiga, Marx mengasumsikan bahwa keputusan yan g diambil oleh masyarakat semata-mata hanyalah fungsi dari siapa pemilik sumberd aya. Artinya perubahan ekonomi hanyalah merupakan fenomena yang hanya dipengaruh i oleh perubahan motif dan inspirasi ekonomis kelas masyarakat penguasa sumberda ya saja. Di sisi lain, Rostow memandang bahwa perubahan ekonomi pada dasarnya me rupakan konsekuensi logis dari perubahan motif dan inspirasi nonekonomi yang ter jadi pada seluruh lapisan masyarakat. Begitu panjangnya kritik terhadap teori Ro stow, tidak berlebihan bila dikatakan kritikkritik tersebut lebih panjang daripa da teori Rostow sendiri. Kendati demikian, harus diakui pola pemikiran maupun is tilah-istilah Rostow telah mempengaruhi pola pemikiran di banyak negara sedang b erkembang. Aspek yang terlupakan dalam teori Rostow adalah peran sentral bantuan luar negeri yang berfungsi sebagai penutup kesenjangan tabungan-investasi dan k esenjangan devisa. Rostow sendiri ketika diundang Bank Dunia (1984) untuk dimint ai tangapannya mengenai hal ini menilai bahwa bantuan luar negeri merupakan sala h satu faktor kritis dalam pembangunan negara sedang berkembang. Tidak mengheran kan bila is 29

menambahkan syarat tinggal landas bagi negara sedang berkembang sebagai berikut (Rostow dalam Meier dan Seers, 1984: h.239): The concept of take-off suggested t he possibility that developing countries would eventually move to self-sustained growth when soft loan would no longer be required. 3.2. TEORI PERUBAHAN STRUKTU RAL Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transfo rmasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bers ifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur pere konomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991: h.68). Dua teori utama yang menggunakan pendekatan perubahan stru ktural akan kita bahas berikut ini , yaitu teori pembangunan yang dikemukakan ol eh Arthur Lewis dengan teori migrasi, dan Hollis Chenery dengan teori transforma si struktural. 3.2.1. Teori Pembangunan Arthur Lewis Teori pembangunan Arthur Le wis pada dasarnya membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota da n desa, yang mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi di antara kedua tem pat tersebut. Teori ini juga membahas pola investasi yang terjadi di sektor mode rn dan juga sistem penetapan upah yang berlaku di sektor modern, yang pada akhir nya akan berpengaruh besar terhadap arus urbanisasi yang ada. Mengawali teorinya , Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya akan terbagi menjadi dua yaitu: 1. Perekonomian Tradisional Dalam teorinya Lewis mengasumsik an bahwa di daerah perdesaan, dengan perekonomian tradisionalnya, mengalami surp lus tenaga kerja. Surplus tersebut erat kaitannya dengan basis utama perekonomia n yang diasumsikan berada di dari perekonomian tradisional adalah bahwa tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten akibat perekonomian yang bersifat subsisten pula. Hal ini ditandai dengan nilai nilai produk marginal (marginal p roduct) dari tenaga kerja yang bernilai nol, artinya fungsi produksi pada sektor pertanian telah sampai pada tingkat berlakunya hukum law of diminishing return. Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan input variabel, dalam hal ini tenaga k erja, justru akan menurunkan total produksi yang ada. Di sisi lain, pengurangan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor pertanian tidak akan mengurangi tingkat produksi yang ada, akibat proporsi input variabel tenaga kerja yang 30

terlalu besar. Dalam perekonomian semacam ini, pangsa semua pekerja terhadap out put yang dihasilkan adalah sama. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan ole h nilai rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari tenaga ke rja itu sendiri. 2. Perekonomian Industri Perekonomian ini terletak di perkotaan , di mana sektor yang berperan penting adalah sektor industri. Ciri dari perekon omian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, te rmasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marginal terutama da ri tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari perdesaan, karena ni lai produk marginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi prod uksi belum berada pada tingkat optimal yang mungkin dicapai. Jika ini terjadi, b erarti penambahan tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan o utput yang diproduksi. Dengan demikian industri di perkotaan masih menyediakan l apangan pekerjaan, dan ini akan berusaha dipenuhi oleh penduduk perdesaan dengan jalan berurbanisasi. Lewis mengasumsikan pula bahwa tingkat upah di kota 30 per sen lebih tinggi daripada tingkat upah di perdesaan, yang relatif bersifat subsi sten dan tingkat upah cenderung tetap, sehingga bentuk kurva penawaran tenaga ke rja akan berbentuk horisontal. Perbedaan upah tersebut jelas akan melengkapi Jay a tarik untuk melakukan urbanisasi Perbedaan tenaga kerja dari desa ke kota dan pertumbuhan pekerja di sektor modern akan mampu meningkatkan ekspansi output yan g dihasilkan di sektor modern tersebut. Percepatan ekspansi output sangat ditent ukan oleh tingkat investasi di sektor industri dan akumulasi modal yang terjadi di sektor modern. Akumulasi modal yang nantinya digunakan untuk investasi hanya akan terjadi jika terdapat ekses keuntungan (profit) pada sektor modern, dengan asumsi bahwa pemilik modal akan menginvestasikan kembali modal yang ada ke indus tri tersebut. Model pertumbuhan dua sektor Lewis dapat dilihat pada Gam bar 3-1. Diagram 3-1a menunjukkan sistem perekonomian kota-modern dan diagram 3.1 b menu njukkan sistem perekonomian pertanian yang tradisional. Diagram sebelah kanan at as menunjukkan tingkat subsistensi produksi bahan makan pada berbagai tingkat pe nggunaan input tenaga kerja. Hal ini merupakan ciri khusus dari fungsi produksi yang dihadapi di sektor pertanian, di mana total produk bahan pangan (Tpa) diten tukan hanya oleh perubahan penggunaan input variabel, dalam hal ini diasumsikan input tenaga kerja merupakan merupakan satu-satunya input yang bersifat variabel , dengan input kapital 31

dan tenaga kerja yang bersifat konstan. Diagram bawah kanan menunjukkan kurva pr oduksi rata-rata (AP) dan produksi marginal (MP) tenaga kerja dalam perekonomian tradisional tersebut, yang diderivasi dari kurva tingkat produksi total. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang tersedia (0Ia) adalah sama pada kedua sis i horisontal kedua diagram tersebut. Lewis mengasumsikan bahwa 80 persen hingga 90 persen penduduk dalam negara tersebut tinggal di perdesaan. dan menggantungka n hidupnya pada sektor pertanian (Todaro, 1991: h.69). Lewis menggunakan dua asu msi utama untuk menjelaskan perekonomian tradisional. Pertama, karena terjadi su rplus tenaga kerja, maka nilai produk marginal dari tenaga kerja (Mpla) bernilai nol. Kedua, semua tenaga kerja di perdesaan memiliki sumbangan/pangsa yang sama terhadap output yang dihasilkan, sehingga upah tidak didasarkan pada produk mar ginal tetapi lebih pada produk rata-rata dari tenaga kerja tersebut. Dasumsikan bahwa sejumlah OLa(=O'La) pekerja di sektor pertanian memproduksi sebanyak 07 ba han makanan, yang sama artinya dengan pembagian secara proporsional terhadap sem ua orang sebanyak OA per orang. Hal in i menunjukkan bahwa OA adalah tingkat ava rage product yang ekuivalen dengan pembagian antara O'T/O'La. Nilai marginal pro duct pekerja Ola bernilai nol, seperti ditunjukkan pada diagram kanan bawah. Dia gram sebelah kiri atas (3-1a) menunjukkan kurva tingkat total produk dari sektor modern. Output dari komoditas manufaktur (Tpm) di sektor modern merupakan fungs i dari input tenaga kerja yang bersifat variabel (Lm), pada tingkat kapital (K) dan teknologi (t) yang tetap. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasil kan total produk sebesar O'TP1 pada saat jumlah kapital mencapai K1 adalah sebes ar O'L1. Sesuai dengan teori Lewis, tingkat akumulasi kapital akan terus meningk at dari K1 ke k2 dan seterusnya, karena berlakunya asumsi bahwa pengusaha akan m enginvestasikan kembali keuntungannya ke industri tersebut. 32

Hal ini akan menyebabkan total produk akan meningkat dari TP1 ke TP2 dan seterus nya. Dengan kurva total produk yang ada akan dapat diturunkan kurva produk margi nal. Dalam pasar tenaga kerja yang bersifat persaingan sempurna di sektor modern maka kurva produk marginal akan menunjukkan kurva permintaan tenaga kerja (Toda ro, 1991: h.70-71). Segmentasi sebesar OA pada diagram 3.1a dan 3.1b bagian bawa h, menunjukkan tingkat subsistensi pendapatan di sektor pertanian yang tradisioa nal. Segmentasi OW menunjukkan tingkat upah riil yang terjadi di sektor perkotaa n. Dengan konfigurasi upah seperti itu, penawaran tenaga kerja di sektor perdesa an diasumsikan memiliki elastisitas yang sempurna, atau dengan kata lain penawar an tenaga kerja adalah tidak terbatas. Tingkat upah sektor perkotaan yang lebih tinggi daripada upah riil di perdesaan, akan menyebabkan perpindahan tenaga kerj a dari desa ke kota, tanpa adanya risiko peningkatan tingkat upah itu sendiri. T ingkat keuntungan maksimal pengusaha di perkotaan akan terjadi pada saat margina l physical product (produk fisik marginal) sama dengan upah buruh. Titik 33

F,G,H, pada diagram 3.1a sebelah bawah menunjukkan tingkat keseimbangan tenaga k erja, yaitu pertemuan kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pada saat tot al produk adalah sebesar 07P1 (K1), kurva permintaan tenaga kerja dicerminkan ol eh kurva D1. Pada saat itu jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah OL1. Da erah segi empat OWFL1 adalah pengeluaran untuk upah total yang dikeluarkan oleh pengusaha, yang berarti total penerimaan dari semua tenaga kerja yang bekerja di sektor modern, pada tingkat upah OW. Segitiga WD1 F merupakan total keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika asumsi dasar bahwa keuntungan yang diperoleh pengusaha akan diinvestasikan kembali, maka modal yang digunakan pada proses pr oduksi meningkat menjadi K2. Itu berarti bahwa tingkat produksi total adalah O'T P2, dengan mempekerjakan pekerja sebanyak OL2, yang berarti mengalami peningkata n permintaan tenaga kerja dari D1 ke D2. Konsekuensinya jumlah yang dapat disera p oleh sektor modern akan meningkat, meski pada tingkat upah yang tetap. Di sisi lain pengusaha mengalami peningkatan keuntungan, yang nantinya akan diinvestasi kan lagi di sektor tersebut. Proses pertumbuhan sektor modern di atas dan mengal irnya arus tenaga kerja yang berurbanisasi diasumsikan akan terus berlanjut samp ai surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan terserap sepenuhnya di sektor modern. Teori Lewis tentang penawaran tenaga kerja yang tak terbatas banyak dikr itik karena asumsi-asumsi dasarnya banyak yang tidak relevan dengan untuk negara sedang berkembang (NSB). Pertama, Lewis mengasumsikan bahwa tingkat perpindahan tenaga kerja dan pembukaan lapangan kerja di sektor modern proporsinal dengan t ingkat akumulasi modal di sektor modern. Diharapkan semakin cepat akumulasi kapi tal di sektor modern, maka akan semakin mendorong pertumbuhan sektor tersebut, y ang pada akhirnya akan meningkatkan pembukaan lapangan kerja baru. Pada kenyataa nnya keuntungan yang ada direinvestasikan untuk peralatan penunjang produksi yan g bersifat menghemat tenaga kerja (laborsaving) dan Iebih canggih daripada reinv estasi pada peralatan dengan tingkat teknologi yang ada seperti yang telah digun akan sebelumnya. Hal ini tentunya menyebabkan reinnvestasi yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap penyediaan lapangan kerja baru, yang secara ekstrem di tunjukkan pada penggunaan tenaga kerja yang tetap (Iihat Gambar 3-2). Fenomena t ersebut justru menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pengusaha semakin men ingkat, sementara penerimaan pekerja dan jumlah pekerja yang digunakan dalam pro ses produksi tidak mengalami perubahan. 34

Kedua, asumsi bahwa di perdesaan mengalami surplus tenaga kerja, sedangkan di pe rkotaan mengalami kekurangan tenaga kerja, tampaknya merupakan hal yang sulit di temukan di negara berkembang. Artinya asumsi tersebut tidak realistis untuk dite rapkan di negara berkembang, mengingat kondisi yang ada justru sebaliknya. Para ekonom sepakat bahwa di negara berkembang yang terjadi justru di perkotaan terda pat surplus tenaga kerja, sementara di perdesaan mulai mengalami kekurangan tena ga kerja. Ketiga, asumsi dasar lain dari teori Lewis yang tidak realistis adalah bahwa di sektor modern, pasar tenaga kerja akan rrfenjamin tingkat upah berada pada tingkat yang tetap sampai penawaran tenaga kerja mengalami penurunan. Kenya taan menunjukkan bahwa di negara-negara sedang berkembang terjadi kecenderungan peningkatan nilai upah secara terus menerus baik di daerah perdesaan maupun di p erkotaan. Keberadaan serikat pekerja, dan tuntutan penetapan upah minimum yang m anusiawi merupakan dua sumber utama upaya peningkatan upah di kedua sektor perek onomian tersebut. Jika kita amati lebih lanjut, teori pertumbuhan Lewis ini pada dasarnya termasuk salah satu teori pendukung kapitalisme. Hal ini dicerminkan d ari perbedaan proporsi pendapatan yang diterima antara pengusaha dan tiap-tiap t enaga kerja yang dipekerjakan. Jika teori yang dikemukakan oleh Lewis terbukti t erjadi di dunia nyata, maka akan terlihat bahwa reinvestasi yang ada semakin men ingkatkan penerimaan pengusaha. Di sisi lain reinvestasi 35

ini hanya akan meningkatkan jumlah pekerja yang bekerja di industri tersebut, da n tidak akan berpengaruh terhadap kemungkinan peningkatan pendapatan dari masing -masing pekerja. Dengan demikian pertumbuhan yang terjadi hanya akan menguntungk an para pengusaha, sementara pendapatan pekerja relatif tetap, dan baru dapat me ngalami peningkatan jika penawaran tenaga kerja di daerah surplus (perdesaan) me ngalami penurunan. 3.2.2. Teori Pola Pembangunan Chenery Analisis teori Pattern of Development memfokuskan terhadap perubahan struktur dalam tahapan proses peru bahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara sedang b erkembang, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sek tor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonominya. Penelitian yang dilakuk an Hollis Chenery tentang transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejal an dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan berg eser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. D iagram 3-3 menunjukkan bahwa pangsa pasar sektur industri dalam GNP meningkat da n pangsa pasar dari sektor pertanian nengalami penurunan, saat GNP/kapita mening kat. Sebagai contoh, pada saat nilai GNP per kapita US$200 maka pangsa produk se ktor primer menguasai 45 persen dart total GNP, sementara sektor industri hanya menyumbang 15 persen saja. Pada saat pendapatan/kapita mencapai US$1000, sumbang an sektor primer dalam GNP h;engalami penurunan 20 persen sementara sektor indus tri meningkat 28 persen (todaro, 1991: h. 74-5). Chenery kemudian membuat pengel ompokkan negara sesuai dengan proses perubahan struktural yang dialami berdasark an tingkat pendapatan per kapita penduduknya. Untuk negara dengan tingkat pendap atan per kapita kurang dari US$600 dikelompokkan ke dalam negara yang baru malak ukakn pembangunan atau sering disebut negara sedang berkembang. Sementara itu ne gara dengan nilai pendapatan per kapita antara US$600 hingga US$3000 digolongkan sebagai negara dalam fase transisi pembangunan. Penggolongan ini didasarkan pad a harga-harga yang terjadi pada tahun 1976, mengingat penelitian yang dilakukan oleh Chenery dilakukakn pada tahun tersebut. Perubahan waktu tentunya juga akan berdampak pada perubahan interval dan nilai batas dari pendapatan per kapita yan g menjadi standar pengelompokkan tersebut. Peningkatan peran sektor industri dal am perekonomian sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang terjadi di suatu negara, berhubungan erat dengan akumulasi kapital dan peningkatan sumberd aya manusia (human capital). Gambar 3-3 menunjukkan 36

bahwa semakin tinggi tingkat investasi sektor riil dan di sektor pendidikan guna meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Sejalan dengan proses perubahan struk tural, pada suatu tingkat tertentu terjadi penurunan konsumsi terhadap bahan mak anan, khususnya jika ditinjau dari permintaan domestik. Sumber : Hollis Cheney and Mises Syrquin. Patterns of Development, 1950-70 (Lond on: Oxford University Press, 1975), Figures 1, 2, 3. Penurunan permintaan terhad ap bahan pangan ini ternyata akan dikompensasikan oleh peningkatan permintaan te rhadap barang-barang non kebutuhan pangan, peningkatan investasi, dan peningkata n anggaran belanja pemerintah, yang mengalami peningkatan dalam struktur GNP yan g ada. Di sektor perdagangan internasional terjadi juga perubahan yaitu peningka tan nilai ekspor dan impor. Sepanjang perubahan struktural ini berlangsung, terj adi peningkatan pangsa ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan penur unan pangsa sektor yang sama pada sisi impor. Dari sisi tenaga kerja, akan terja di proses seperti halnya yang dikemukakan oleh Lewis, yaitu bahwa akan terjadi p erpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di perkotaan, meski pergeseran ini masih tertinggal (lag) dibandingkan proses perub ahan struktural itu sendiri. Dengan keberadaan lag inilah maka sektor pertanian akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan tenaga kerja, baik pada awal hingga akhir dari proses transformasi struktural tersebut. Produktivitas tenaga 37

kerja di sektor pertanian yan rendah, lambat laun akan mulai meningkat, dan memi liki produktivitas yang sama dengan pekerja di sektor industri pada masa transis i. Dengan demikian, produktivitas tenaga kerja dalam perkonomian secara menyelur uh akan mengalami peningkatan (Todaro, 1991: h.76). Selama proses transformasi s truktural tidak berarti segalanya berjalan mulus. Suatu proses yang sedang terja di tentunya akan membawa dua konsekuensi sekaligus, pertama adalah sisi positif dan lainnya adalah sisi negatif. Salah satu sisi negatif dari perubahan struktur al tersebut adalah meningkatnya arus urbanisasi yang sejalan dengan derajat indu strialisasi yang dilakukan. Industrialisasi dan urbanisasi pada beberapa hal jus tru menghambat proses pemerataan hasil pembangunan, di mana peningkatan pendapat an hanya akan terjadi di sektor modern-perkotaan. Sementara itu sektor perdesaan , yang banyak ditinggalkan oleh para pekerja, mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga jurang pemisah antara kota dan desa justru meningkat dengan kondisi te rsebut. Transformasi struktural hanya akan berjalan dengan baik jika diikuti den gan pemerataan kesempatan belajar, penurunan laju pertumbuhan penduduk, dan penu runan derajat dualisme ekonomi antara kota dan desa. Jika hal tersebut dipenuhi maka proses transformasi struktural akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan yang terjadi secara simultan. Hipotesis utama dari teori di atas adalah bahwa model perubahan struktural yang terjadi pada tiap-tiap nega ra sebenarnya dapat diidentifikasi dan proses perubahan secara umum dari masingmasing negara pada dasarnya memiliki kesamaan pola. Meski demikian teori ini tol eran terhadap variasi-variasi kecil yang terjadi dalam proses perubahan struktur al yang mungkin berbeda antarnegara. Perbedaan faktor endowment, kebijakan pemer intah, dan aksesibilitas terhadap modal dan teknologi, merupakan faktor penjelas penting terhadap perbedaan variatif transformasi struktural yang terjadi. Secar a umum negara-negara yang memiliki tingkat populasi tinggi, yang pada dasarnya m enggambarkan tingkat permintaan potensial yang tinggi, cenderung untuk mendirika n industri yang bersifat subtitusi impor. Artinya mereka memproduksi sendiri bar ang-barang yang dulunya diimpor untuk kemudian dijual di pasaran dalam negeri. S ebaliknya negara-negara dengan jumlah penduduk yang relatif kecil, cenderung aka n mengembangkan industri yang berorientasi ke pasar internasional. Teori perubah an struktural menjelaskan bahwa percepatan dan pola transformasi struktural yang terjadi pada suatu negara dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern, yang sali ng berkaitan satu dengan yang lain. 38

3.3. TEORI DEPENDENSIA Teori dependensia pada awalnya lahir dari hasil diskusi p ara ekonom negara-negara Amerika Latin yang kemudian menghasilkan Deklarasi Ekon omi Amerika Latin. Pencetus dasar teori tersebut adalah Paul Baran, yang mencipt akan model dasar tesis alternatif mengenai keterbelakangan ekonomi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga. Teori dependensia berusaha menjelaskan penyebab k eterbelakangan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang. Asumsi dasar teori ini adalah pembagian perekonomian dunia menjadi dua golongan, yang pertama adalah perekonomian negaranegara maju dan kedua adalah perekonomian negara-nega ra sedang berkembang. Andre Gunder Frank (1966) mengelompokkan negara maju ke da lam negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara sedang berkembang dikelompokkan ke dalam negara satelit yang terbelakang (satell ite underdeveloped countries). Sementara itu Samir Amin(1976), salah satu ekonom penganut dependensia, membagi perekonomian menjadi dua yaitu negara-negara maju di pusat (core/central) dan kelompok negara miskin pinggiran (periphery). Dalam hal ini Samir Amin melukiskan bahwa pusat dari perekonomian dunia sangat dipeng aruhi oleh negara-negara pusat, sementara negaranegara miskin pinggiran berada d i sekitar negara-negara pusar tersebut. Seperti halnya dengan pembagian perekono mian menurut Lewis, secara implisit dinyatakan bahwa perekonomian negara miskin pinggiran sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perekonomian tradisional pada teo ri Lewis. Dalam perekonomian negara pinggiran, mekanisme pasar belum sepenuhnya berlaku dalam masyarakat. Hubungan paternalistik dan kerjasama sosial antaranggo ta masyarakat masih mendominasi pada sistem perkonomian ini. Di sisi lain, perek onomian negara pusat berciri perekonomian modern, di mana sistem pasar telah ber laku dengan balk. Interaksi sosial dan hubungan paternalistik telah memudar dan digantikan oleh individualis dan penyelesaian segala permasalahan melalui kontra k transaksi. Interaksi yang terjadi antara negara maju dengan negara miskin lebi h bersifat ekploitasi negara maju terhadap negara miskin. Dominasi perekonomian dunia oleh negaranegara core dan rekayasa eksploitasi yang dilakukan oleh mereka , pada akhirnya justru menjadikan negara-negara pinggiran ini semakin tergantung kepada negara-negara pusat. Paul Baran melihat bahwa investasi perusahaan multi nasional dari negara maju yang dilakukan di negara miskin akan meningkatkan pend apatan nasional negara miskin tersebut. Namun demikian, peningkatan pendapatan i ni tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat negara itu karena kepinc angan dalam distribusi pendapatan. Keuntungan yang dihasilkan dari investasi asi ng tersebut akan dinikmati oleh pengusaha asing dan 39

segelintir anggota masyarakat tertentu di dalam negeri. Keuntungan yang diperole h tersebut semata-mata merupakan hasil dari eksploitasi sumberdaya yang ada. Pen ingkatan kesejahteraan masyarakat di negara-negara miskin pada dasarnya tidak pe rnah dialami akibat masuknya investasi asing di negara-negara tersebut. Sistem t ersebut bahkan menggeser kebiasaan sosial yang ada pada masyarakat di negara mis kin. Kontrak transaksi berdasarkan faktor pasar mengganti dan mendesak hubungan paternalistik yang telah mengakar di negara miskin. Perubahan sistem tersebut me nimbulkan perubahan orientasi rakyat di negara tersebut yaitu dari berorientasi kepada berkecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri, ke produksi untuk memenuhi pasaran luar negeri. Orientasi Baru ini sekaligus membuat sistem ekonomi rakyat di negara tersebut langsung dikaitkan dengan sistem kapitalistis di luar negeri dengan berbagai gejolaknya (Arief dan Sasono, 1984: h.18). Lebih jauh Paul Bara n memaparkan bahwa penggantian sistem hubungan paternalistik dari masyarakat feo dal dengan sistem kapitalis yang didasarkan rasionalitas pasar, dapat merupakan langkah utama dalam transformasi masyarakat ke arah kemajuan dan peradaban seper ti yang dialami Eropa Barat. Namun penerapan nilai komersial dalam tata hubungan sosial pada masyarakat feodal atau semi feodal, justru memperhebat proses ekspl oitasi yang dilakukan oleh pemilik pemilik modal dalam rangka sistem kapitalistis. Proses eksploitasi dalam sistem kapitalistis ini diiringi pula dengan proses kor upsi dan ketidakadilan dalam setiap tingkat struktur pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan sistem kapitalis internasional (Arief dan S asono, ibid). Menurut Andre Gunder Frank (1966), hubungan antara negara metropol is dan satelit ini menyentuh keseluruhan sektor di negara-negara miskin, dan ket erbelakangan sektor tradisional ini justru diakibatkan oleh adanya kontak dengan sistem kapitalis dunia yang masuk ke negara miskin melalui sektor modern. Sekto r modern di negara miskin adalah kaki-tangan sistem kapitalis dunia yang melakuk an eksploitasi terhadap daerah atau sektor yang sekarang menjadi terbelakang (Ar ief dan Sasono, ibid, h.24). Investasi asing memungkinkan bagi negara maju untuk mengeruk sebagian besar potensi ekonomi yang ada di negara miskin. hasil bagi y ang diberikan investor asing kepada negara tempat investasi berada (host country ) jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang disalurkan kemba li ke negara asal (home country), Di sisi lain kaum borjuis nasional atau yang p opuler disebut golongan komprador dan penguasa nasional, semakin memantapkan keb eradaan sektor modern dalam menguasai sistem perkonomian yang ada. Bagaimana pun juga perkembangan sektor modern di negara miskin ini akan terjadi sesuai 40

dengan perkembangan sektor modern yang ada di dunia. Hal ini berarti sektor mode rn di negara-negara miskin pada dasarnya memiliki ketergantungan yang tinggi unt uk berkembang terhadap sektor yang sama di negara maju. Dengan demikian sektor m odern di negara miskin tak lebih dari sektor satelit yang tidak dapat berkembang sendiri dan sangat tergantung pada kondisi perekonomian negara-negara maju. And re Gunder Frank menampilkan tiga hipotesis utama yang relevan, yang berkaitan de ngan pola hubungan antara negara maju dan miskin tersebut (Arief dan Sasono, 199 1: h. 25-7), yaitu: 1. Dalam struktur metropolis dan satelit seperti di atas, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan menuju kepada keterbelakang an yang terus-menerus. 1. Negara-negara miskin yang sekarang menjadi satelit dapat mengalami perkembangan ekonomi yang sehat dan mampu menumbuhkan perkembangan industri yang otonom, apab ila berkaitan dengan metropolis dari dunia kapitalis internasional tidak ada ata u sangat lemah. 3. Kawasan-kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada d alam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem feodal adalah kawasan yang p ada masa lalu memiliki kaitan kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis inter nasional. Kawasankawasan ini ialah kawasan penghasil komoditas ekspor bahan ment ah primer yang terlantar sebagai akibat adanya gelombang konjungtur dalam perdag angan internasional komoditas tersebut. Theotonio Dos Santos (1973) memperluas a rgumentasi Andre Gunder Frank, dengan argumentasinya bahwa titik berat proses ke tergantungan tidak hanya merupakan "faktor eksternal" semata, namun lebih dari i tu "faktor internal" negaranegara miskin tersebut ikut berperan dalam rnembentuk pola ketergantungan tersebut. Elemen-elemen ekonomi di dalam negeri ternyata ju ga berperan dalam menciptakan ketergantungan yang diawali ketergantungan merkant ilis (masa penjajahan), menuju ketergantungan industri dan finansial (pasca keme rdekaan). Ketergantungan dengan segala akibatnya yang terjadi dalam tata interak si ekonomi di dalam negeri, tentunya tidak dapat diatasi hanya dengan menutup di ri din dari dunia luar, seperti apa yang direkomendasikan oleh Andre Gunder Fran k. Artinya, ketergantungan akibat interaksi ekonomi di dalam negeri harus dihila ngkan terlebih dahulu sebelum menangani ketergantungan yang diakibatkan oleh fak tor eksternal. Dos Santos mengklasifikasikan ketergantungan dalam tiga jenis (Ar ief dan Sasono, 1991: h.28), yaitu: 41

1. Ketergantungan kolonial (colonial dependence). Ketergantungan ini ditandai denga n bentuk perdagangan luar negeri zaman penjajahan yang bersifat monopoli yang di ikuti dengan monopoli sumberdaya lainnya oleh pemerintah penjajah. 2. Ketergantungan industri keuangan (industrial-financial dependence). Ketergantung an ini ditandai dengan dominasi modal besar di negara-negara penjajah melaiui in vestasi produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi di negara penjajah. 3. Ketergantungan teknologi industri (technological-industrial dependence). Ketergantungan ini terjadi setelah PD II sebagai akibat operasi perusahaanperusa haan mu Itinasional berinvestasi di negara-negara sedang berkembang. Ekonom peng anut teori ini juga menuduh badan-badan dunia internasional, seperti Bank Dunia dan IMF, sebagai lembaga yang menyebabkan peningkatan ketergantungan yang terjad i di negara sedang berkembang. Pemberian bantuan yang diberikan oleh badanbadan dunia tersebut tidak lepas dari vested of interest dari negara-negara donor yang mendukung Jana lembaga tersebut. Pemberian bantuan dalam bentuk barang, yang um umnya berteknologi tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi negara yang diberi ban tuan, justru meningkatkan ketergantungan terhadap teknologi, di samping nilai ba ntuan yang kemudian sulit untuk dikuantifikasikan. Pengiriman bantuan tenaga ahl i oleh negara-negara donor, pada akhirnya hanya merupakan upaya untuk membuka la pangan kerja bagi tenaga mereka. Yang lebih parah adalah banyak dari tenaga ahli ini sebenarnya memiliki keterampilan dan kemampuan yang pas-pasan, namun demiki an mereka digaji jauh lebih tinggi daripada produk marginal mereka. Teori depend ensia pada dasarnya masih tetap dijiwai oleh pandangan Marxis, sehingga nampak b ahwa sistem pertentangan kelas dalam masyarakat masih mewarnai pembahasan teori tersebut. Namun demikian pertentangan kelas ini justru terjadi dalam konteks int ernasional, yaitu antara negara maju dengan negara miskin. Di dalam negeri pun t erjadi konflik serupa, meski tidak krusial seperti konflik yang terjadi di luar negari. Di dalam negeri konflik terjadi antara masyarakat golongan menengah ke b awah dengan para komprador yang mengambil keuntungan dengan perubahan orientasi sosial ke arah modern, dengan semakin mengeksploitasi masyarakat kelas bawah. Kr itik utama yang dilontarkan oleh para ekonom terhadap teori dependensia adalah b ahwa tesis ketergantungan sangat menitikberatkan keterbelakangan yang terjadi ak ibat interaksi antara negara maju dan miskin di dunia internasional. Tesis ini k urang proporsional dalam menempatkan interaksi yang terjadi di dalam negeri seba gai salah satu faktor yang berpengaruh dalam menciptakan keterbelakangan dan ket ergantungan terhadap negara lain. 42

Kritik lain terhadap teori ini adalah bahwa teori dependensia tidak lebih dari s ekadar tesis yang mampu mengumpulkan sebab-sebabterjadinya keterbelakangan dan k etergantungan semata tanpa mampu mencarikan so/usijalan keluarnya. Sampai saat i ni solusi yang ditawarkan oleh para ekonom penganut teori ini cenderung untuk me lakukan isolasi terhadap pengaruh luar. Solusi ini tidak realistis di alam globa lisasi dan perkembangan pesat arus komunikasi. Sejarah menunjukkan bahwa isolasi yang dilakukan oleh sebagian besar negara komunis, terutama Albania sebagai yan g paling ekstrem, pada akhirnya tidak mampu mengatasi perubahan zaman yang semak in menuju ke arah perdagangan bebas, perpindahan sumberdaya tanpa hambatan geogr afis, dan arus informasi yang kian mengglobal. Meski demikian teori dependensia telah memberikan peringatan kepada para golongan menengah di negara-negara sedan g berkembang, bahwa interaksi antara negara maju dan miskin pada satu sisi mengu ntungkan, di sisi lain ternyata juga membawa efek ketergantungan, yang pada masa -masa sebelumnya belum pernah terpikirkan. Gerakan penyadaran inilah yang sediki t banyak mengilhami para penguasa di negara sedang berkembang untuk melepaskan k etergantungan negaranya dari negara maju. Hal ini juga berakibat pada upaya untu k meningkatkan kinerja ekonomi di negara-negara sedang berkembang tersebut. 3.4: PAHAN NEO-KLASIK TENTANG TEORI PEMBANGUNAN Dekade 1980-an menandai munculnya te ori pembangunan Neo-Klasik yang menjawab sanggahan teori Dependensia. Teori Depe ndensia yang cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat revolusioner sebagai salah satu pemecahan eksploitasi negara pusat terhadap periferi, mendapat sangg ahan oleh teori ini. Teori pembangunan neo-klasik yang anti terhadap pendekatan revolusioner sering disebut sebagai teori penawaran (supply side theory). Teori ini merekomendasikan swastanisasi BUMN, meningkatkan peran perencanaan dan penet apan regulasi ekonomi yang menciptakan iklim kondusif bagi peningkatan peran pih ak swasta dalam pembangunan. Argumentasi sentral yang dikemukakan oleh ekonom pe nganut teori ini terhadap serangan ekonom dependensia adalah bahwa keterbelakang an tidaklah disebabkan oleh eksploitasi negara pusat terhadap periferi. Dengan k ata lain, mereka menyatakan bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh pengaruh ekstern, tetapi lebih pada pengaruh intern dalam negara terbelakang tersebut. B esarnya derajat campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi, merebaknya kor upsi, dan kurangnya intensif ekonomi, serta kesalahan dalam pengalokasian sumber daya, merupakan sumber utama keterbelakangan 43

itu. Dalam teori ini dikemukakan bahwa alokasi sumberdaya yang salah menyebabkan kebijakan penetapan harga menjadi tidak efektif dan ditambah dengan campur tang an pemerintah yang terlalu besar dalam perekonomian. Kedua hal ini merupakan sum ber utama ketidakefisienan "mesin" perekonomian di negara sedang berkembang. Aki batnya percepatan pertumbuhan perekonomian menjadi lebih lambat, sementara di si si lain kesalahan sistem alokasi sumberdaya tidak menunjang terhadap tujuan peme rataan "kue pembangunan". Menurut ekonom penganut teori ini, seperti halnya Jagd ish Baghwaty, Anne 0 Krueger, Bela Ballasa, Deepak Lal dan Iainnya, menyatakan b ahwa semakin besar campur tangan pemerintah dalam perekonomian, semakin lambat l aju pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu negara. Para ekonom tersebut mer ekomendasikan kepada negara berkembang agar menuju sistem perekonomian dengan di dasarkan pada pasar bebas. Seperti diketahui sebagian besar negara berkembang te rletak di benua Asia dan Afrika, di mana tradisi kekuasaan pemerintah yang ada d i kedua benua tersebut banyak melakukan campur tangan dalam aktivitas perekonomi an. Kaum Neo-Klasik menyatakan bahwa dengan membebaskan pasar dari campur tangan pemerintah, swastanisasi BUMN, promosi perdagangan bebas dan ekspansi ekspor, m embuka diri terhadap PMA, dan mengeliminasi ketidakefisienan dalam regulasi peme rintah (melakukan deregulasi), serta menghilangkan distorsi harga balk pada inpu t, produk dan pasar uang, mereka yakin bahwa efisiensi dan pertumbuhan ekonomi a kan semakin terdorong untuk maju. Pasar bebas dan perekonomian laissez faire kem udian menjadi kata kunci bagi keberhasilan pembangunan, dalam konteks teori ini. Diharapkan dengan terciptanya kedua hal tersebut, tangan gaib (invisible hand) akan dapat berperan besar dalam mempercepat proses penyesuaian akibat kejutan da lam perekonomian dan menjamin alokasi sumberdaya secara efisien. Korea Selatan, Taiwan dan Singapura merupakan contoh utama dari negara yang melakukan kebijakan ekonomi sesuai dengan apa yang direkomendasikan oleh kaum Neo-Klasik, dan terbu kti sukses, dan kegagalan campur tangan pemerintah bagi peningkatan kinerja ekon omi dicontohkan sebagaimana negara-negara yang ada di Afrika dan Amerika Latin. Teori ini nampaknya hanya tepat diterapkan di negara-negara yang maju daripada d i negara sedang berkembang. Konsep perdagangan bebas, laissez faire, dan pasar p ersaingan sempurna merupakan hal yang hanya dapat dipenuhi oleh negara-negara ma ju. Bagi negara berkembang pasar yang ada lebih berbentuk monopoli atau oligopol i. Perbedaan struktur masyarakat dan kelembagaan yang dimiliki oleh negara sedan g maju dengan negara 44

berkembang, menjadikan teori pembangunan tersebut pada banyak kasus justru gagal dilaksanakan di negara berkembang. Adalah suatu hal yang sulit bagi negara berk embang untuk menciptakan kondisi pasar yang mendekati sistem pasar yang ada di n egara maju. Penciptaan suatu sistem ekonomi harus didukung oleh suatu suatu kond isi yang kondusif terhadap kemungkinan perkembangan sistem ekonomi yang ada. Kon disi sosial masyarakat di negara berkembang yang umumnya bersifat feodal atau se mi feodal, serta masih menjunjung tinggi hubungan paternalistik, tentunya memerl ukan waktu yang relatif panjang untuk dapat menerapkan sistem ekonomi pasar seca ra baik. Pemaksaan orientasi pasar pada sistem masyarakat feodal atau semi feoda l justru akan meningkatkan eksploitasi antara satu golongan terhadap golongan la in, seperti apa yang telah diungkapkan oleh ekonom penganut faham dependensia di atas. BACAAN YANG DIANJURKAN Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan K eterbelakangan, LSP, Jakarta, 1984. Awh, Robert, Microeconomics: Theory and Appl ications, John Wiley and Sons, New York, 1976. Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta, 1995. Djojohadikusumo, Sumitro, Perkembanga n Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP 3ES, Jakarta, 1994. Jhingan, M.L., Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Press, Jakarta, 1988. 45

BAB IV KRISIS TEORI PEMBANGUNAN 4.1. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas meng enai krisis yang terjadi dalam perkembangan proses pembangunan dan teori pembang unan. Terdapat tiga bentuk krisis yang perlu diperhatikan, yaitu krisis teori pe mbangunan, dalam arti krisis status dari konsep pembangunan itu sendiri; krisis pembangunan di dunia nyata, dan krisis institusi kenegaraan yang banyak terjadi di negara negara di dunia. Krisis dalam teori pembangunan merupakan suatu kritik yan g terhadap teori pembangunan dan relevansinya dengan dunia nyata. Kegagalan suat u teori pembangunan yang diterapkan sebagai strategi pembangunan suatu negara me rupakan krisis dari teori itu sendiri. Krisis yang terjadi dalam pembangunan di dunia nyata, pada dasarnya menunjukkan bahwa krisis pembangunan yang terjadi ber sifat global. Globalisasi ekonomi telah menyebabkan sulitnya perekonomian suatu negara lepas dari pengaruh interaksi dari negara negara lain. Globalisasi krisis men unjukkan fenomena homogen yang memperlihatkan adanya satu sistem tunggal di duni a. Krisis pembangunan di negara sedang berkembang tidak terlepas dari strategi p embangunan yang digunakan, dan kondisi intern yang kurang sesuai dengan penerapa n teori tersebut. Krisis institusi kenegaraan sebagai agen yang menerapkan strat egi pembangunan nampaknya juga terjadi secara global. Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya kegagalan pasar, dan bahwa kegagalan tersebut dapat ditanggulangi dengan campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Krisis institusi terjadi karena ca mpur tangan pemerintah, yang diharapkan mampu mengefisienkan pasar, ternyata jus tru semakin mendistorsi pasar itu sendiri. 4.2. KRISIS TEORI Pada awal era "dema m" teori pembangunan tahun 1950-1960-an, negaranegara sedang berkembang (NSB) ba nyak mengadopsi dan mengadaptasi teoriteori pembangunan yang dikemukakan oleh pa ra ekonom Barat dalam sistem perekonomiannya. Negara negara tersebut Iangsung mener apkan berbagai teori yang ada, yang mereka anggap cocok sebagai model pembanguna n di negara mereka. Proses yang selama ini diyakini kebenarannya. Teori pembangu nan yang didasarkan pada pengalaman pembangunan dan paradigma berfikir Barat, te rnyata banyak menemui 46

kegagalan dalam dataran implementasinya di NSB. Asumsi-asumsi dasar yang dipergu nakan dalam teori pembangunan, merupakan asumsi yang hanya tepat berlaku di nega ra-negara Barat. Sementara itu kondisi di NSB yang demikian kompleks, memerlukan strategi pembangunan yang jauh lebih canggih. Kondisi dasar NSB jauh lebih rumi t dibandingkan dengan negara maju, dan pada banyak hal asumsi yang dig unakan da lam teori pembangunan hanya mengacu pada kondisi yang ada di negara maju. Kondis i tersebut diperparah oleh penerapan teori pembangunan tersebut secara mentah mentah , tanpa melalui proses penyesuaian dengan asumsi dasar yang terdapat di suatu ne gara. Kemudian yang terlihat adalah penggunaan suatu alat yang tidak sesuai dan sepadan dengan apa yang hendak diperbaiki. Akhir dari penerapan teori yang dipak sakan adalah timbulnya suatu kondisi di NSB yang jauh lebih rumit dibandingkan d engan kondisi semula. Contoh kasus adalah pengertian pembangunan dan pertumbuhan yang pada era awal perkembangan teori pembangunan keduanya memiliki arti yang s ama. Pengertian tersebut pada dasarnya mengacu pada kondisi di Barat, di mana da lam proses awal pembangunan mereka tiga abad yang lalu, tolak ukur itulah yang d ipergunakan. Pembangunan ekonomi pada saat itu tidak lebih dari suatu prestasi y ang diukur secara kuantitatif semata. Besarnya GNP per kapita, pertumbuhan ekono mi, dan pertumbuhan lapangan kerja, serta inflasi yang terkendali, merupakan pre stasi-prestasi pembangunan yang menjadi tolak ukur utama pembangunan. Implementa si teori pembangunan kemudian memaksa para ekonom untuk merevisi strategi pemban gunannya dengan memasukkan faktor pembangunan sosial dan politik di dalamnya. Mu nculnya suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi berjalan cepat, tanpa diimbang i oleh distribusi pendapatan dan peningkatan kualitas hidup, telah berhasil meng geser paradigma pembangunan yang ada. Prestasi keberhasilan pembangunan ekonomi kemudian tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi namun lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh. Fenomena tersebut m erupakan salah satu krisis dari teori pembangunan itu sendiri. Pada dasarnya per masalahan pembangunan di NSB justru semakin kompleks dengan penerapan teori teori ba rat secara mentah mentah. Peningkatan permasalahan yang timbul akibat penerapan teor i barat yang kapitalistik, menyebabkan bermunculannya reaksi dari para ekonom NS B. Mereka memunculkan teori baru dan mengkritik teori teori yang mapan. lstilah kris is sebenarnya lebih banyak digunakan oleh ekonom kiri sebagai reaksi terhadap ke gagalan teori Barat yang kapitalistik diterapkan di NSB. Di dunia nyata istilah krisis lebih merujuk pada suatu permasalahan tertentu. Pandangan lain mengenai k risis dalam konteks teori lebih mengarah pada tahap kritis dari 47

suatu gelombang konjungtur yang tidak dapat dibalik prosesnya, kecuali harus dit emukan alternatif teori untuk mengubahnya secara radikal. Dalam kerangka teori k apitalis, suatu perekonomian akan tumbuh dan pada akhirnya bermuara pada suatu k ondisi stasioner, akibat keterbatasan sumberdaya pendukung yang ada. Pada tahap tersebut perekonomian tidak dapat kembali dinamis, karena struktur yang ada demi kian kokoh membangun sistem tersebut. Namun demikian Marx mengingatkan bahwa eks ploitasi dari sistem produksi kapitalisme tidak dapat berlangsung terus. Timbuln ya kelas dan eksploitasi pekerja, akan menyebabkan kapitalisme menjadi rentan da lam jangka panjang, dan kemudian akan digantikan oleh sosialisme. Pada tahap ini krisis merupakan periode transformasi atau transisi. Permasalahan yang timbul k emudian adalah bahwa proses transisi yang terjadi tersebut selalu membawa akibat yang menyakitkan dari yang diharapkan semula. Dalam diskusi mengenai krisis, ha l lain yang harus disamakan persepsinya adalah, apakah krisis yang terjadi merup akan fenomena yang bersifat global atau hanya terjadi secara parsial atau di kaw asan tertentu saja. Bahasan mengenai krisis saat ini lebih banyak merujuk pada f enomena krisis secara global. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa sistem pereko nomian dunia saat ini menciptakan suatu sistem yang lain yaitu suatu hal yang sa ngat sulit untuk menganalisis perekonomian suatu negara tanpa melibatkan interak si negara tersebut dalam kancah perekonomian dunia. Jika ini yang terjadi maka k onsepsi dependensia yang akhirnya muncul, bahwa globalisasi ekonomi justru mempe rparah ketergantungan negara miskin terhadap negara maju. Tingkat ketergantungan ini semakin diperparah dengan eksploitasi perekonomian negara miskin oleh negar a maju. Pemikiran ini banyak diwarnai oleh pemikiran penganut ajaran Marx tradis ional, dan pada hakikatnya merupakan reaksi dari eksploitasi sistem kapitalisme, yang secara sadar atau tidak dilakukan negara-negara maju terhadap negara sedan g berkembang. Didasarkan pada teori Marx, krisis yang terjadi dalam perekonomian kapitalis berasal dari sitem produksinya yang eksploitatif. Penganut teori Marx memandang sistem produksi kapitalis hanya dapat dilaksanakan dalam jangka pende k, namun akan gaga) dalam jangka panjang. Dalam kerangka berpikir Marx, sistem p roduksi jangka panjang akan menghasilkan kelaskelas ekonomi di mana distribusi h asil pembangunan tidak didistribusikan secara merata, bahkan mungkin terjadi eks ploitasi antara suatu kelompok terhadap kelompok tertentu. Sistem produksi kapit alisme hanya dapat berjalan dalam jangka panjang, jika kemudian menggunakan pend ekatan sosialisme. Oleh karena itu, menurut Marx, bentuk sosialisme merupakan ka pitalisme dalam jangka panjang. Jika teori pembangunan didasarkan pada suatu pro ses jangka panjang semacam ini, maka krisis yang terjadi adalah krisis transisi. 48

Dalam teori Marx, krisis ini diwujudkan dalam sistem revolusi yang diwujudkan da lam sistem revolusi yang dilakukan oleh kaum buruh terhadap sistem kapitalisme y ang ada. Pendekatan lain dari krisis adalah ditinjau dari peran negara dalam per ekonomian. Regulation school, atau yang lebih dikenal dengan Fordisme, menjelask an bahwa krisis pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari kesalahan regulasi yang mengakibatkan akumulasi krisis yang ada. Pendekatan ini menjelaskan perubah an faktor-faktor yang secara esensial mempengaruhi keberhasilan ekonomi di Ameri ka Utara dan Eropa Barat, yaitu: mekanisasi produksi masal dengan konsumsi masal , produktivitas tenaga kerja yang tinggi bersama tingkat upah pekerja yang tingg i pula, paham kesejahteraan, dan bentuk lain dari intervensi pemerintah. Pada da sarnya paham ini lebih mengacu pada pada teori Neo-Klasik, di mana mekanisme pas ar dipercayai sebagai proses terbaik dalam perekonomian. Dalam paham NeoKlasik, campur tangan pemerintah diusahakan seminimal mungkin, karena mereka beranggapan bahwa campur tangan pemerintah lebih banyak membawa distorsi pada pe rekonomian. Konsep ini merupakan reaksi atas teori Keynes yang didasarkan pada a nggapan bahwa tidak ada mekanisme pasar yang sempurna, sehingga campur tangan pe merintah mutlak diperlukan. Kaum Fordisme, menganggap bahwa kegagalan pembanguna n justru dapat disebabkan oieh adanya campur tangan pemerintah yang tidak tepat. 4.3. KRISIS PEMBANGUNAN Di samping krisis yang terjadi pada dataran teori, tidak dipungkiri bahwa selama proses pembangunan dapat terjadi krisis dalam proses te rsebut. Jika kita sepakat membagi dunia dalam tiga kategori, yaitu negara Dunia Pertama, Kedua dan Ketiga, maka krisis pembangunan yang terjadi di negara negara ter sebut memiliki corak yang berlainan. 4.3.1. Krisis di Negara Dunia Pertama Di ne gara Dunia Pertama, yaitu negara negara di Eropa Barat dan Amerika Utara, krisis yan g terjadi disebabkan kegagalan mereka dalam mencapai welfare state (negara kesej ahteraan). Fakta bahwa negara Dunia Pertama teiah mencapai tahap pembangunan pal ing maju relatif terhadap belahan dunia lain, adalah hal yang tidak dapat dipung kiri. Namun demikian, dari ratusan tahun pengalaman melaksanakan pembangunan, ne gara kesejahteraan yang mereka dambakan nampaknya masih jauh dari kenyataan. Neg ara kesejahteraan merupakan tujuan pembangunan, di mana pembangunan yang berorie ntasi ke negara ini pada akhirnya diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat se cara menyeluruh. Pada tahun 1970-1980 konsep negara kesejahteraan sebagai tujuan 49

pembangunan mulai dipertanyakan. Kinerja pembangunan yang diwujudkan dalam pertu mbuhan ekonomi dan lapangan kerja, ternyata tidak mampu menjawab tantangan dispa ritas distribusi pendapatan di antara mereka. Meski kinerja pembangunan di negar a Dunia Pertama sangat mengagumkan, namun pada saat yang bersamaan angka pengang guran justru semakin meningkat. Arus migrasi penduduk dari NSB ke negara negara Duni a Pertama, akhirnya semakin meningkatkan problema sosial tersebut. Jenis pengang guran di negara Dunia Pertama adalah pengangguran terbuka, yaitu orang menganggu r karena secara sukarela mereka menganggur. Hal ini disebabkan upah yang akan me reka terima berada di bawah standar upah yang mereka inginkan, atau jenis pekerj aan yang ditawarkan tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang diinginkan. Para im igran mampu memenuhi pasar yang ditinggalkan oleh para pekerja penduduk negara D unia Pertama. Beranjak dari keuletan sebagai perantau inilah banyak diantara mer eka meraih sukses di kemudian hari. Di sisi lain kelompok imigran yang tidak suk ses tetap terpuruk dalam kemiskinan, dan semakin memperburuk problema sosial yan g ada. Kemunculan gerakan neo-fasisme, rasisme dan peningkatan kriminalitas di n egaranegara Dunia Pertama umumnya dilakukan oleh para generasi muda yang frustra si dengan kondisi tersebut. kemunculan gerakan ini justru semakin memperparah ko ndisi sosial di negara-negara tersebut. Kerusuhan rasial di Los Angeles merupaka n hasil akhir dari akumulasi krisis sosial di Amerika Serikat. Kasus tersebut ti dak terlepas dari krisis pembangunan kapitalistik di negara Dunia Pertama. Jika diamati lebih lanjut, praktis hanya Swedia yang mampu mendekati kondisi negara k esejahteraan. Satu hal yang ditempuh oleh Swedia dan tidak dilakukan oleh negara Barat yang lain adalah bahwa Swedia menerapkan sistem sosialisme dalam perekono miannya. Sistem sosialisme di Swedia sangat berbeda dengan sistem sosialisme di negara negara komunis. Sosialisme di Swedia tidak bersifat totaliter, dan kepemilika n individu dihargai sebagaimana kepemilikan kolektif melalui koperasi. Titik sen tral perbedaan tersebut terletak pada cara pandang terhadap penguasaan sumberday a dan tujuan dari pembangunan itu sendir. Di negara komunis, tujuan pembangunan lebih ditekankan pada kesejahteraan negara. Individu dalam hal ini harus berprod uksi dan berkorban demi kesejahteraan negara. Diasumsikan bahwa masyarakat indiv idu akan sejahtera jika negara sejahtera. Di sisi lain sosialisme di Swedia diba ngun dari upaya menyejahterakan masyarakat secara bersama dengan pengakuan terha dap kepemilikan individu. Keadilan tidak dapat dipandang sebagai keadilan absolu t, di mana semua orang, tanpa memandang predikat dan sumbangan mereka, mendapatk an bagian yang sama. Keadilan tetap 50

dipandang sebagai suatu hal yang relatif, yaitu kompensasi diberikan sesuai deng an sumbangan individual terhadap masyarakat. Hal di atas nampaknya sulit diterap kan di negara-negara Dunia Pertama yang lain. Permasalahan utama terletak pada i deologi dan sistem politik yang dianut oleh masingmasing negara yang tentunya ak an berkaitan dengan sistem ekonomi yang dianut. Suatu sistem ekonomi tertentu ha nya dapat dilakukan secara efektif pada satu sistem politik/ideologi tertentu. K risis lain adalah penurunan percepatan pembangunan yang terjadi di negaranegara Dunia Pertama relatif terhadap negara-negara industri baru. Perekonomian Barat y ang demikian kokoh dan maju ternyata tidak mampu membendung defisit neraca perda gangan mereka terhadap Jepang dan beberapa negara industri baru seperti Singapur a, Taiwan, Korea Selatan dan Hongkong. Fenomena ini menunjukkan bahwa nampaknya perekonomian di negara Barat telah sampai pada titik jenuh, atau titik optimal d ari gelombang konjungtur yang mulai menunjukkan trend menurun. Diperlukan berbag ai rekayasa dalam sistem perekonomian mereka untuk mampu menjawab tantangan bera t dari negara-negara maju di Asia ini. 4.3.2. KrisIs di Negara Dunla Kedua Di ne gara dunia kedua, yaitu negara-negara Amerika Latin dan negara-negara Eropa Timu r, krisis yang terjadi relatif berbeda. Di negara-negara Eropa Timur, krisis pem bangunan terjadi pada dataran ideologis. Krisis ideologis inilah yang membawa pe ralihan sistem politik dari komunisme/sosialisme menuju ke perekonomian liberal. Ambruknya negara Uni Soviet menunujukkan bahwa masyarakat di negara tersebut ti dak percaya terhadap mekanisme ekonomi yang ada di negara komunis. Perubahan/ re volusi sistem politik dan ekonomi di negara-negara komunis di Eropa lainnya.pada dasarnya didasarkan pada ketidakpercayaan mereka terhadap mekanisme pemerataan kesejahteraan yang mereka anut. Kelemahan mendasar sistem komunisme terletak pad a pada cara pandang terhadap keadilan. Di sisi lain orientasi pembangunan yang m enganggap bahwa kesejahteraan individu merupakan derivasi dari kesejahteraan neg ara, ternyata tidak mampu berjalan dengan balk. Sistem keadilan absolut yang sel alu digemborgemborkan oleh para pemimpin komunis, ternyata justru menciptakan ke las-kelas baru borjuis yang dimotori oleh para politisi itu sendiri. Revolusi te rhadap kelaskelas masyarakat kapitalis, ternyata hanya menghilangkan kelas-kelas tersebut sementara, namun dalam jangka panjang muncul kelas-kelas baru yang tid ak kalah eksploitatif dibanding kelas borjuis dalam kapitalisme. 51

Dalam proses pembangunan negara komunis, aspek politik jauh mendapat prioritas d ibanding aspek ekonomis. Tujuan-tujuan ekonomis pada akhirnya selalu tunduk terh adap kepentingan politik. Kepentingan politik mendapat peran tertinggi dibanding kan aspek-aspek pembangunan yang lain. Dampaknya sumberdaya pembangunan terkuras oleh upaya penyebaran ideologis. Di sisi lain, pembangunan ekonomi dikorbankan hanya untuk meraih kepentingan politik. Problemnya ketidakseimbangan pembangunan ini harus didukung oleh sumberdaya pembangunan yang ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana kemampuan sumberdaya yang ada terhadap efisiensi al okasi tersebut. Batas ketidakmampuan dukungan ini akhirnya membawa keresahan mas yarakat terhadap sistem kelembagaan yang ada. Pertanyaan yang muncul kemudian ad alah sejauh mana kemampuan sumberdaya yang ada terhadap inefisiensi alokasi ters ebut. Batas ketidakmapuan dukungan ini akhirnya membawa keresahan masyarakat ter hadap sistem kelembagaan yang ada. Hal ini kemudian mengarah pada kemunculan has rat masyarakat bersama yang secara sadar ingin melakukan perubahan sistem politi k dan ekonomi. Berbeda dengan di Eropa Timur, krisis pembangunan di Amerika Sela tan disebabkan salah urus (mismanagement) utang luar negerinya. Beban utang yang demikian tinggi dari sebagian besar negara di kawasan tersebut, disebabkan oleh alokasi utang tersebut sebagian besar untuk pembelian barang mewah, impor perse njataan, merebaknya praktek korupsi, dan modal yang terbang ke luar negeri (capi tal flight) Di sisi lain kondisi tersebut seringkali diperparah oleh perebutan k ekuasaan antarpihak penguasa. Meski negara-negara di Amerika Selatan umumnya tel ah merdeka lebih dari 100 tahun yang lalu, namun kondisi perekonomian yang ada t idak lebih baik dari negara industri baru di Asia. Dapat dikatakan bahwa perkemb angan perekonomian di kawasan tersebut seperti "berjalan di tempat". Inflasi yan g terjadi di negara- negara di kawasan tersebut merupakan yang tertinggi di duni a. Tingkat inflasi yang tinggi ini jelas tidak kondusif terhadap iklim investasi . Tanpa investasi yang memadai, praktis perekonomian tidak dapat tumbuh dengan b aik. Permasalahan lain adalah pengangguran yang tinggi. Hal ini tidak hanya memb awa masalah pada negara bersangkutan, namun juga berakibat pada negaranegara di sekitar kawasan tersebut seperti Amerika Serikat. Setiap hari Amerika Serikat ha rus memulangkan ratusan bahkan ribuan orang pelintas batas, yang memasuki Amerik a Serikat lewat Meksiko. Kalau pun di antara mereka ada yang masuk ke Amerika le wat jalur resmi, maka permasalahan tekanan penduduk, kemiskinan dan pengangguran dengan segera akan merambah Amerika Serikat. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang -orang Amerika Latin ini adalah sebagian besar 52

dari penduduk yang mendiami kawasan kumuh di Amerika Serikat. Kendati negaranega ra di Amerika Selatan telah sekian lama mendapat bantuan, balk dari Amerika Seri kat maupun badan-badan dunia yang ada, namun prestasi yang diperlihatkan masih k urang menggembirakan. Justru pembangunan

permasalahan krisis pembangunan menjadi menonjol di kawasan tersebut. Krisis pem bangunan inilah yang kemudian melahirkan teori dependensia. Teori ini muncul mel alui pertemuan yang diadakan oleh para ilmuwan di kawasan tersebut yang membahas krisis pembangunan yang mereka hadapi. Tesis dari teori tersebut didasarkan pad a pandangan bahwa interaksi antara negara-negara Amerika Latin dengan negara-neg ara maju bersifat menguntungkan sepihak dan eksploitatif. Pemberian bantuan dari masyarakat negara maju terhadap negara berkembang pada akhirnya justru meningka tkan ketergantungan negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain bantuan pemban gunan yang diberikan membuat bargaining position NSB menjadi menurun, akibatnya pemaksaan kepentingan negara maju terhadap negara berkembang dapat ditingkatkan sejalan dengan pemberian bantuan tersebut. Para ilmuwan ini juga mengkritik meto de pemberian bantuan pembangunan yang pada dasarnya hanya bersifat semu. Identif ikasi penyebab krisis pembangunan dari teori dependensia didasarkan pada pandang an Marx. Meski demikian ketika berada pada dataran rekomendasi, terdapat perbeda an pendapat di antara para ilmuwan. Di satu pihak, sekelompok ilmuwan merekomend asikan untuk mengisolasi diri dari hubungan dengan dunia internasional terutama negara negara maju. Di sisi lain menginginkan jalan kooperatif, meski demikian berba gai metode untuk mengurangi ketergantungan itu sendiri. Reaksi atas penerapan mo del teori pembangunan yang sudah mapan di Amerika Latin, merupakan sanggahan ata s teori pembangunan yang dirasakan terlalu bersifat Eurosentris (bias ke Eropa). Kemunculan teori teori pembangunan oleh ilmuwan di negara negara maju, membawa konseku nsi pada penggunaan asumsi dasar pembangunan yang sesuai dengan kondisi kemasyar akatan dan budaya di negara maju. Di sisi lain teori tersebut tidak terlepas dar i sistem politik, tata nilai dan paradigma yang selama ini dianut oleh masyaraka t negara maju. Jika diamati lebih lanjut teori pembangunan Eurosentris cenderung merujuk pada pandangan kaum Neo Klasik. Menurut pandangan teori ini, campur tangan pemerintah dalam pembangunan hendaknya diminimalkan, mengingat setiap campur tan gan 53

pemerintah dalam perekonomian akan selalu mengakibatkan distorsi pasar. Kepercay aan terhadap mekanisme pasar merupakan paradigma utama dan pandangan para ilmuwa n Neo-Klasik. Permasalahannya adalah asumsi dasar perekonomian ala NeoKlasik han ya dapat dicapai oleh negara yang relatif maju, di mana mekanisme harga telah be rlaku dengan baik. Di negara negara sedang berkembang, mekanisme harga dan pasar han ya terjadi di sebagian wilayah negara itu. Dualisme ekonomi yang ada, tidak memu ngkinkan mekanisme pasar terjadi secara menyeluruh di semua kawasan negara terse but. Hal ini menyebabkan mekanisme pasar yang ada tidak mencerminkan kelangkaan dan sistem alokasi sumberdaya yang sesungguhnya. Dengan demikian di negara sedan g berkembang selalu terjadi kegagalan pasar, atau mekanisme pasar tidak sepenuhn ya berlaku. Dalam kondisi semacam ini, Keynes merekomendasikan, bahwa diperlukan campur tangan pemerintah dalam perekonomian untuk menghilangkan kegagalan pasar tersebut. Model perekonomian Keynes nampaknya merupakan model perekonomian yang paling cocok diterapkan di NSB. Tingginya peran pemerintah dalam perekonomian, dan kegagalan pasar yang ada, menjadikan teori tersebut lebih tepat digunakan di NSB. Permasalahannya adopsi terhadap teori ini belum banyak dilakukan karena pa ra pengambil keputusan di NSB, umumnya alumni dari universitas di negara-negara maju, cenderung menerapkan teori Neo-Klasik. Hal ini semata-mata disebabkan oleh penekanan pengajaran di negara-negara maju tersebut sangat menjunjung tinggi ma zab Neo-Klasik, karena selama ini hanya teori tersebut yang diketahui dan dipela jari. Di sisi lain, seringkali bantuan yang diberikan oleh negara-negara maju me nsyaratkan pada suatu hal yang berkaitan dengan penerapan teori Neo-Klasik yang menguntungkan mereka. Privatisasi, pembukaan kesempatan kerja bagi PMA, dan libe ralisasi perekonomian adalah sedikit contoh dari praktek kebijakan yang didasark an pada teori Neo-Klasik. Hal ini didukung oleh penilaian dan bantuan lembaga-le mbaga dunia yang selalu merekomendasikan penerapan kebijakan yang berbau kapital isme dan liberalisme. Bagi para ekonom dependensia, lembaga-lembaga dunia terseb ut tidak lebih dari perpanjangan tangan negara-negara maju. Bantuan pembangunan yang disalurkan lewat lembaga-lembaga dunia tersebut selalu akan berkaitan denga n peningkatan hegemoni negara-negara maju dalam percaturan politik dan ekonomi 54

dunia. Munculnya teori dependensia merupakan tonggak kebangkitan pemikiran di ne gara-negara sedang berkembang. Dependensia merupakan awal dari suara negara Duni a Ketiga dalam merespon perkembangan teori pembangunan yang berasal dari Barat. Meski teori Dependensia sangat baik dalam mendeskripsikan sebab musabab kemundur an negara-negara sedang berkembang, namun pada dataran solusi dan rekomendasi te ori ini kurang mampu mengakomodasikan permasalahan pembangunan di NSB, tanpa mam pu mencarikan alternatif jalan keluar dari keterkungkungan belenggu keterbelakan gan itu sendiri. 4.3.3. Krisis dl Negara Dunla Ketiga Krisis yang terjadi di neg ara dunia ketiga memiliki perbedaan mendasar dibandingkan krisis pembangunan di dua belahan dunia yang lain. Terdapat dua pola krisis pembangunan di Dunia Ketig a, yaitu yang terjadi di Afrika dan di Asia. Di Afrika, krisis pembangunan tetap bermuara pada masalah kelaparan. Kondisi ini diperparah dengan masalah etnis ya ng sering menyulut peperangan antarsuku dan negara di Afrika. Kasus Somalia adal ah salah satu contoh betapa rentannya iklim politik di Afrika. Kelaparan yang te rjadi secara simultan dengan krisis etnis ini menambah permasalahan pembangunan menjadi semakin sulit dipecahkan. Di Asia, praktis krisis etnis merupakan proble ma potensial yang sewaktu--waktu dapat terjadi. Pada beberapa kawasan di Asia, p ertentangan sangat mewarnai perkembangan benua tersebut. Sementara itu pertentan gan etnis di kawasan lain Asia nampaknya kurang menunjukkan tanda-tanda yang men gkhawatirkan. Namun demikian dominasi ras "kuning" dalam perekonomian Asia, namp aknya akan menjadi problema potensial di masa datang. 4.4. KRISIS INSTITUSIONAL Konsep pembangunan pada era 1950-1960 menekankan bahwa keberhasilan pembangunan diukur dad pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat suatu negara. Konsep ini kemudian menjadi tolak ukur umum keberhasilan pembangunan. Tak pelak lagi, pertumbuhan kemudian menjadi tujuan utama dari proses pembangunan di negara-nega ra sedang berkembang. lnilah awal krisis dari proses pembangunan yang dilaksanak an oleh NSB. Dengan menganut konsepsi tersebut, tujuan pembangunan lebih ditekan kan pada pembangunan negara secara umum, dan bukan peningkatan kesejahteraan yan g merata antarindividu. Kemudian yang terjadi adalah pesatnya laju pertumbuhan e konomi yang disertai kerentanan struktur sosial akibat kesenjangan distribusi pe ndapatan. 55

Krisis pembangunan di NSB umumnya dimulai dari ketidakjelasan untuk siapa hasil pembangunan ditujukan. Konsepsi aliran arus utama (mainstream) pembangunan menek ankan proses pembangunan sebagai suatu proses pembentukan national building. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan bias pada upaya pembangunan kekuatan n egara dan bukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam bahasan mengena i pembangunan, selalu diasumsikan bahwa pembangunan ekonomi dapat dipisahkan dar i permasalahan-permasalahan politik. Pada kenyataannya hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Tujuan pelaksanaan pembangunan tidak pernah dapat d ipisahkan dari dunia nyata. Tujuan pelaksanaan pembangunan tidak pernah dilepask an dari tujuan-tujuan politik. Bahkan proses pembangunan itu sendiri sering mend apat kendala dari konflik politik yang ada dalam suatu negara. Konflik politik, di sisi lain, juga banyak mempengaruhi tujuan pembangunan atau bahkan pada beber apa hal justru menyebabkan proses pembangunan tidak berjalan secara efisien. Pil ihan tujuan dan proses pembangunan dalam suatu negara seringkali harus tunduk pa da kepentingan atau tujuan politik tertentu. Konsepsi pembangunan yang berorient asi pada penguatan kekuatan nasional ini pada akhirnya justru menciptakan krisis pembangunan itu sendiri. Upaya untuk menggalang kekuatan nasional akan menempat kan prioritas pembangunan kekuatan politik dan militer di atas pembangunan ekono mi. Konsekuensi Iogisnya, diperlukan surplus ekonomi yang besar untuk menyokong pembangunan kekuatan politik dan militer, yang umumnya banyak membutuhkan biaya besar. Alokasi sumberdaya yang tidak efisien merupakan konsekuensi logis yang ha rus diterima. Pada awal kemerdekaan, pembangunan politik dan militer sebagai upa ya mempersatukan bangsa sangat diperlukan. Kendati demikian harus dipertimbangka n pula prioritas pembangunan ekonomi di masa-masa mendatang. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun kekuatan politik dan militer sangat bergantun g pada rasa persatuan pada masyarakat suatu negara. Semakin tinggi rasa persatua n masyarakat suatu negara, semakin rendah biaya yang dipikul untuk kepentingan t ersebut. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa pembebanan biaya pembangunan kekuatan nasional seringkali hanya didasarkan pada kehendak dan emosi segelinti r orang pemegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya. Jika ini yang terj adi maka beban yang dipikul masyarakat semakin besar, dan risiko ketidakberhasil an pembangunan ekonomi semakin meningkat. Strategi pembangunan pada tahapan ters ebut tidak dapat dipisahkan dari strategi penggalangan kekuatan nasional. Untuk menyukseskan hal tersebut diperlukan surplus pendanaan yang berupa dana investas i dan dana kesejahteraan. 56

Kedua dana tersebut dimaksudkan untuk mendukung proses penggalangan kekuatan nas ional tersebut. Risikonya adalah jika terjadi kesalahan dalam memobilisasikan su mberdaya baik dari sisi internal maupun sisi eksternal, maka penggalangan kekuat an nasional lebih ditekankan pada pemecahan masalah pendidikan daripada untuk ke kuatan militer, maka sumberdaya yang digunakan akan jauh lebih efisien. Pembangu nan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang balk dengan tingkat kesadaran ting gi dan berideologi, jauh lebih berdaya guna dibandingkan pembangunan militer yan g tangguh. Benteng kekuatan nasional terletak pada kesadaran dan rasa tanggung j awab serta intelektualitas penduduk dibandingkan dengan perangkat militer. Dalam jangka panjang pembangunan penggalangan kekuatan nasional melalui pendidikan ak an membawa hasil yang lebih berdaya guna dibandingkan dengan alokasi sumberdaya di bidang penguatan militer tanpa mengindahkan kebutuhan pendidikan. Pada negara yang menitikberatkan penggalangan kekuatan nasional melalui pembangunan militer , kelangkaan sumberdaya akan membawa keresahan yang pada akhirnya akan diatasi d engan pemerintahan yang ditaktor. Di sisi lain, jika hal yang sama terjadi pada negara yang mengembangkan pendidikan sebagai tujuan utama, maka sumberdaya manus ia yang ada siap dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan selanjutnya. Dalam dataran teoritis, permasalahan keamanan dan permasalahan pembangunan dapat diata si dengan beberapa strategi pembangunan. Basic need strategy merupakan strategi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, sehingga dapat meredam ke mungkinan munculnya konflik internal. Self reliance strategies dapat dijadikan j alan keluar untuk mengatasi problema eksternal dari industrialisasi, yaitu penin gkatan Jaya saing. Sustainable development merupakan strategi pembangunan yang m ampu mengatasi kelangkaan sumberdaya. Strategi-strategi ini relatif lebih meyaki nkan dan sesuai diterapkan oleh NSB dalam jangka panjang. BACAAN YANG DIANJURKAN Hettne, Bjorn, Development Theory and the Three Worlds, Longman Scientific & Te chnical, London, 1990, bab 1. Lewis, John P dan Valeriana Kallab, eds, Mengkaji Ulang Strategi strategi Pembangunan (terjemahan), UI Press, Jakarta, 1987. Rahardjo, M. Dawam, Esei esei Ekonomi Politik, LP3ES, Jakarta, 1988, bab 4. 57

BAB V MASALAH KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Di Amerik a Serikat (AS), yang tergolong negara maju dan salah satu negara kaya di dunia, masih terdapat jutaan orang yang tergolong miskin. Sementara itu, mereka yang hi dup tidak miskin relatif miskin dibanding penduduk AS yang lainnya. Persis seper ti dikatakan oleh Sharp, et.al. (1996): "Poverty amidst plenty" is a striking fe ature of the American scene. Our nation is the richest in the world, yet million s of people are poor, and millions more that do not live in poverty are poor rel ative to others. This is not the American dream; it is the American paradox. Di lain pihak, negara miskin menghadapi masalah "klasik": pertumbuhan versus distri busi pendapatan. Isu mendasarnya adalah tidak hanya bagaimana meningkatkan pertu mbuhan GNP namun juga siapa yang membuat "kue nasional" itu tumbuh, segelintir o rang ataukah banyak orang. Bila pertumbuhan terutama disumbang oleh golongan kay a, maka merekalah yang paling mendapat manfaat dari pertumbuhan, sementara kemis kinan dan distribusi pendapatan semakin memburuk. Namun, bila pertumbuhan disumb ang oleh banyak orang, maka buah dari pertumbuhan ekonomi akan dirasakan secara lebih merata. Banyak Negara Dunia Ketiga (NSB) mengalami laju pertumbuhan ekonom i yang relatif tinggi tetapi tidak membawa manfaat yang berarti bagi penduduk mi skin. Hal ini dialami oleh ratusan juta penduduk di Afrika, Asia, dan Amerika La tin, di mana tingkat kehidupannya relatif berhenti dan bahkan anjiok bila dinila i secara riil. Dengan kata lain, kemiskinan setidaknya dapat ditinjau dari 2 sis i, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifik asikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kem iskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masi ng golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. 5.1. BEBAN KEMISKINAN GLOBAL Kemiskinan y ang banyak terjadi sekarang ini mempunyai penyebaran yang tidak seimbang balk an tarwilayah yang ada Dunia Ketiga maupun antarnegara yang ada di 58

wilayah-wilayah tersebut. Hampir setengah dari seluruh masyarakat yang miskin hi dup di Asia Selatan yang mempunyai jumlah penduduk sebesar 30 persen clari total populasi dunia. Sub Sahara Afrika mempunyai penduduk dengan jumlah yang lebih k ecil, tetapi tingkat ketimpangannya masih cukup besar. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di perdesaa n atau di daerah-daerah yang kekurangan sumber Jaya. Persoalan kemiskinan juga s elalu berkaitan dengan masalahmasalah lain, misalnya lingkungan. Beban kemiskina n paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu. Kaum wanita pada umumny a merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah tangga miskin, mereka sering merup akan pihak yang menanggung beban kerja yang lebih berat daripada kaum pria. Demi kian pula dengan anak-anak, mereka juga menderita akibat adanya ketidakmerataan tersebut dan kualitas hidup masa depan mereka terancam oleh karena tidak tercuku pinya gizi, pemerataan kesehatan, dan pendidikan. Selain itu timbulnya kemiskina n sangat sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas tertentu. Dalam banyak kasus, pendapatan yang rendah selalu berkaitan dengan bentukbentuk "kekurangan" yang lain. Misalnya saja di Meksiko, tingkat harapan hidup 10 persen penduduk te rmiskin lebih rendah 20 tahun dibandingkan dengan 10 persen penduduk terkaya. Di Pantai Gading, tingkat pendidikan dasar bagi penduduk termiskin hanya seperlima dari 10 persen penduduk terkaya. Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribu si pendapatan (inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan. Kemiskinan be rkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat . Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja , dan tingkat kemiskinan sangat tinggi. Di sini kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi tersebut menyirat kan tiga pertanyaan dasar, yaitu: bagaimanakah mengukur standar hidup? Apa yang dimaksudkan dengan standar hidup minimum? Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit? 5.1.1. Garis Kemiskina n Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pada norma tertentu. Pilih an norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran kemiskinan yang d idasarkan konsumsi. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi (consumptionbased poverty line) terdiri dari dua elemen, yaitu: (1) pengeluaran yang diperlu kan untuk membeli standar 59

gizi minimum dan kebutuhan mendasar Iainnya; dan (2) jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyaraka t sehari-hari. Bagian pertama relatif jelas. Biaya untuk mendapatkan kalori mini mum dan kebutuhan lain dihitung dengan melihat harga-harga makanan yang menjadi menu golongan miskin. Adapun elemen kedua sifatnya lebih subyektif. Persepsi men genai kemiskinan telah berkembang sejak lama dan sangat bervariasi antara budaya yang satu ke budaya yang lain. Kriteria untuk membedakan penduduk miskin dengan yang tidak miskin mencerminkan prioritas nasional tertentu dan konsep normatif mengenai kesejahteraan. Namun umumnya pada saat negaranegara menjadi lebih kaya, persepsi mengenai tingkat konsumsi minimum yang bisa diterima, yang merupakan g aris batas kemiskinan, akan berubah. 5.1.2. Seberapa Besar Tingkat Kemiskinan Te rjadi? Cara yang paling sederhana untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah denga n menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Cara yang lazim disebut dengan Headcount Index ini sangat bermanfaat, meskipun indikator ini se ring dikritik karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemi skinan. Oleh karena itu, kesenjangan kemiskinan pendapatan atau poverty gap digu nakan untuk mengatasi kelemahan headcount index (Meier, 1995: h. 26). Poverty ga p menghitung transfer yang akan membawa pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat di atas garis kemiskinan, sehingga kemiskinan dapat dilenyapkan. Penggu naan batas atas kemiskinan sebesar US$370 menyebabkan timbulnya estimasi bahwa 1 .116 juta orang di NSB hidup dalam kemiskinan pada tahun 1985 .. Jumlah tersebut merupakan sepertiga dari total populasi di NSB. Di antara jumlah tersebut, 633 juta orang (18 persen dan total populasi di NSB) tergolong sangat miskin, di man a konsumsi tahunan mereka kurang dari US$275 (batas bawah kemiskinan). Kendati d emikian, poverty gap hanya 3 persen dari konsumsi NSB. Bahkan transfer yang dibu tuhkan untuk mengentaskan penduduk yang sangat miskin hanya 1 persen dari konsum si NSB. Tingkat kematian balita di hampir semua NSB rata-rata adalah 121 per ser ibu kelahiran hidup, dan tingkat harapan hidup mereka hanya 62 tahun, sedangkan tingkat pendidikan dasar hanya 83 persen. Hampir separuh penduduk di dunia merup akan golongan miskin, dan hampir separuh dari penduduk yang sangat miskin tingga l di Asia Selatan Negara-negara Sub Sahara Afrika memiliki sekitar sepertiga pen duduk miskin. Negara-negara di Afrika bagian timur tengah dan utara merupakan da erah kedua yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar. Rekor ini diikuii oleh Amerika Latin dan Karibia serta Asia Timur. 60

Meskipun NSB telah mengalami kemajuan yang substansial dalam menurunkan kemiskin an selama tiga dasawarsa terakhir, ternyata hanya terjadi perbaikan tingkat kemi skinan pada akhir tahun 1980-an. Peningkatan jumlah kemiskinan hampir sama denga n peningkatan jumlah penduduk, yang sekitar 1,5 persen per tahun. Oleh karena it u, tantangan kunci yang dihadapi oleh NSB adalah mempercepat pengurangan kemiski nan. Hal ini tentunya memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi y ang dibarengi dengan perbaikan pola pertumbuhan yang menguntungkan golongan misk in. 5.2. HIPOTESIS U TERBALIK TENTANG KETIMPANGAN Banyak perhatian telah diberik an terhadap bagaimana distribusi pendapatan berubah dalam masa pembangunan. Simo n Kuznets (1955) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (inverted U curve) ba hwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi p endapatan makin merata. Perhatikan bahwa sebagian besar kurva Kuznets terletak d i sebelah kanan; ketidakmerataan pendapatan menurun seiring dengan peningkatan G NP per kapita pada tahap pembangunan selanjutnya (lihat Gambar 6.1). Varian di s ekitar kurva Kuznets lebih banyak terdapat di negara dengan tingkat pendapatan t ergolong menengah papan bawah. Kritik utama terhadap kurva Kuznets adalah hasil ini sangat sensitif terhadap ukuran inequalitydan pemilihan set data. Dengan mel akukan pemilihan yang berbeda, seseorang bisa mendapat kurva U, kurva U terbalik , atau tidak ada hubungan sama sekali. 5.3. PENYEBAB DAN SOLUSI KEMISKINAN 5.3.1. Penyebab Kemiskinan 61

Ada banyak penjelasan mengenai sebab-sebab kemiskinan. Kemiskinan massal yang te rjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II memfokuska n pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar masalahnya (Hardiman dan Midgley, 1982: h. 52-54). Penduduk negara tersebut miskin karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten, metode produksi yang t radisional, yang seringkali dibarengi dengan sikap apatis terhadap lingkungan. S harp, et.al (1996: h. 173-191) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipa ndang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas d an kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivita snya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya dis kriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan aks es dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran set an kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempur naan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya p roduktivitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya i nvestasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya (lihat Gambar 6.2). Logi ka berpikir ini dikemukan oleh Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama, di tah un 1953, yang mengatakan: "a poor country is poor because it is boor"(negara mis kin itu miskin karena dia miskin). Gambar 5.2. Lingkaran Setan Kemiskinan (The V icious Circle of Poverty) 62

Negara berkembang sampai kini masih saja memiliki ciri-ciri terutama sulitnya me ngelola pasar dalam negerinya menjadi pasar persaingan yang lebih sempurna. Keti ka mereka tidak dapat mengelola pembangunan ekonomi, maka kecenderungan kekurang an kapital dapat terjadi, diikuti dengan rendahnya produktivitas, turunnya penda patan riil, rendahnya tabungan, dan investasi mengalami penurunan sehingga melin gkar ulang menuju keadaan kurangnya modal. Demikian seterusnya, berputar. Oleh k arena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong Iingkaran dan perangkap kemiskinan ini. 5.3.2. Alternatlf Solusi Kemiskinan Pen galaman di negara-negara Asia menunjukkan adanya berbagai model mobilisasi perek onomian perdesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama, mendasarkan pada m obilisasi tenaga kerja yang masih belum didayagunakan (idle) dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di perdesaan (Nurkse, 1951). Ide bah wa tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga petani kecil da n gurem merupakan sumberdaya yang tersembunyi dan merupakan potensi tabungan. Ke ndati demikian, bila tenaga kerja tersebut diupah sesuai dengan upah yang berlak u dan potensi tabungan direalisasikan, beberapa cara perlu dilakukan untuk menga mankan tabungan dari dalam rumah tangga tersebut. Alternatif cara yang dapat dig unakan untuk memobilisasikan tenaga kerja dan tabungan perdesaan adalah: (1) men ggunakan pajak langsung atas tanah, seperti yang dilakukan di Jepang. Meskipun m etode pajak langsung atas tanah ini berdasarkan atas prinsip progresif dan terba tas pada rumah tangga petani pada lapisan pendapatan yang tinggi, metode ini tid ak dapat diterima di India karena adanya hambatan politis atas kasta (Raj, 1990) ; (2) dapat dilakukan dengan menyusun kerangka kelembagaan di perdesaan yang mem ungkinkan tenaga kerja yang belum didayagunakan untuk pemupukan modal tanpa perl u menambah upah Hal ini persis apa yang dilakukan oleh Cina yang menerapkan sist em ini alas dasar kerja sama kelompok dan brigades di tingkat daerah yang paling rendah (communes). Penggajian alas tenaga kerja berasal dari kelompok produksi lokal dengan menghitung hari kerjanya di dalam kelompok sebelum menentukan bagia n dari masing-masing anggota kelompok dalam panen tiap tahun. Metode ini diterap kan untuk proyek pembangunan infrastruktur dan proyek padat karya. Dengan metode ini ternyata memungkinkan adanya kenaikan yang substansial dalam: (1) intensita s tenaga kerja dalam budidaya tanaman, misalnya lewat Iebih banyaknya jam kerja setiap musim dalam setiap hektar lahan sawah (terutama akibat pengenalan varitas unggul dan perubahan teknologi) dan meningkatnya 63

intensitas penanaman; (2) hasil tanaman, seperti padi yang rata-rata meningkat d ari 2,75 ton per hektar pada pertengahan 1950-an menjadi 4 ton saat ini, bahkan di beberapa daerah hampir mencapai 6,5 ton. Model yang kedua, menitikberatkan pa da transfer sumberdaya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Lewis , 1954; Fei dan Ranis, 1964). Ide bahwa suplai tenaga kerja yang tidak terbatas dari rumah tangga petani kecil dapat meningkatkan tabungan dan formasi modal lew at proses pasar, mulanya tidak berkaitan sama sekali dengan mobilisasi ekonomi p erdesaan. Ketersediaan tenaga kerja semacam itu dikemukakan hanya untuk menjelas kan bagaimana pangsa relatif upah dan laba pada sektor kapitalis (apakah di sekt or pertanian atau industri, di perekonomian perdesaan atau di kota) dapat saja d ipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja di sektor subsisten, yang pada gilira nnya dapat mempengaruhi tabungan dan investasi dalam perekonomian secara umum. D alam konteks ini, ditekankan bagaimana para kapitalis, seperti pemilik perkebuna n di Afrika, memiliki kepentingan Iangsung dalam menjaga rendahnya produktivitas para pekerja subsisten dan menggunakan kekuasaan politiknya untuk menekan kemaj uan teknologi pada pertanian kecil (Lewis, 1954). Pengalaman Taiwan merupakan co ntoh yang balk atas mobilisasi sumberdaya dari sektor pertanian dengan mengandal kan mekanisme pasar, tanpa menggunakan instrumen pajak seperti yang dilakukan ol eh Jepang. Proporsi output sektor pertanian sebagian besar tetap dijaga sebagai surplus lewat intermediasi pemilik tanah dan melalui nilai tukar (terms of trade ) sebelum Perang Dunia II (Lee, 1971). Keadaan ini dapat dilakukan selama masa p enjajahan di mana pemaksaan dengan menggunakan kekuatan polisi mulai dikenal dal am perekonomian desa, dan lebih dari sepertiga total produksi padi dapat diangga p sebagai sewa oleh para pemilik tanah. Surplus ini sebagian besar diangkut ke J epang untuk menopang industrialisasinya dan relatif sedikit sekali membantu pemb angunan industri Taiwan. Kendati demikian, secara analitis yang dapat dipetik ad alah bahwa mobilisasi sumberdaya dari sektor pertanian hanya Iayak karena output tumbuh lebih cepat dibanding penduduk, dan akibatnya produktivitas tenaga kerja meningkat pada kecepatan yang memungkinkan kenaikan moderat dalam konsumsi per kapita di sektor pertanian, meskipun dibarengi dengan tingginya sewa yang dibaya r kepada pemilik tanah dan memburuknya nilai tukar. Model ketiga, menyoroti pote nsi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan tekn ologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin (Schultz, 19 63; Mellor, 1976). Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis Tekn ologi, atau Rural-Led Development. Beberapa permasalahan 64

dalam strategi pembangunan dengan sektor pemimpin pertanian (rural-led developme nt) didasarkan atas kemungkinan dibukanya pertanian oleh teknologi modern. Sekto r pertanian tidak hanya sebagai sumber pasok sumberdaya (baik pangan, bahan baku , tenaga kerja, atau tabungan), namun sebagai sektor yang mampu meningkatkan per mintaan atas produk pertanian dan nonpertanian, dan oleh karena itu mendukung pr oses pertumbuhan seimbang. Proses ini akan berhasil apabila 2 syarat berikut ter penuhi, yaitu: (1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi; (2) proses ini juga menciptakan pola permintaan yang kondusif terhadap p ertumbuhan. Pada gilirannya ini tergantung dari dampak keterkaitan ekonomi perde saan lewat pengeluaran atas barang konsumsi yang dipasok dari dalam sektor itu s endiri, dan melalui investasi yang didorong. Dampak keterkaitan dalam ekonomi pe rdesaan tentunya dapat lebih kuat dalam meningkatkan permintaan pangan bila prop orsi kenaikan pendapatan dari pertumbuhan output bahan pangan digunakan untuk me mbeli produk industri perdesaan. Namun, dampak keterkaitan menjadi tidak pasti b ila bagian terbesar dari kenaikan pendapatan hanya dinikmati oleh rumah tangga p emilik tanah yang berpenghasilan tinggi karena tambahan konsumsinya cenderung di alokasikan untuk komoditi dan jasa nonpertanian. Perlu juga dicatat bahwa pertum buhan pertanian yang pesat dapat menciptakan pola pembangunan yang dipimpin pert anian hanya apabila terjadi distribusi kekayaan yang lebih merata dalam perekono mian agraris. Kasus di Cina, Taiwan, dan Korea Selatan setelah Perang Dunia II m enunjukkan bahwa kondisi tersebut dapat dicapai dengan program land reform yang dikombinasikan dengan eksploitasi potensi sumberdaya dengan teknologi modern unt uk perluasan tanah, penggunaan tenaga kerja secara intensif, peningkatan pendapa tan dan permintaan secara meluas dalam masyarakat desa. 5.4. KETIDAKMERATAAN VER SUS PERTUMBUHAN Ada teori yang mengatakan ada tradeoff antara ketidakmerataan da n pertumbuhan. Namun kenyataan membuktikan ketidakmerataan di NSB dalam dekade b elakangan ini ternyata berkaitan dengan pertumbuhan rendah. Di banyak NSB tidak ada tradeoff antara pertumbuhan dan ketidakmerataan. Seorang sejarahwan ekonomi, Jeffrey Williamson, menyimpulkan bahwa ketidakmerataan yang timbul berdampak se dikit terhadap akumulasi modal Amerika pada abad ke-19 dan untuk lnggris tidak b erdampak sama sekali. Namun ketidakmerataan yang timbul memang memegang peranan penting dalam sulitnya akumulasi modal SDM. Yang jelas, ada berbagai cara pertum buhan ekonomi mempengaru hi distribusi pendapatan. Diskusi mengenai ada tidaknya tradeoff antara pertumbuhan dengan 65

pemerataan, menurut Fields (1990), tergantung jenis data yang digunakan apakah s ilang tempat (cross section), runtut waktu (time series), ataukah menggunakan da ta mikro. Mari kita simak beberapa hasil studi yang menggunakan ketiga macam jen is data ini. 5.4.1. Pelajaran dari Studi dengan Data Silang Tempat Studi dengan data silang tempat paling populer digunakan. Simon Kuznetz (1955) diakui sebagai pelopor studi komparatif dalam distribusi pendapatan. Studi selanjutnya, hanya mengamati ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa dilihat dari studi yan g dilakukan oleh Kravis (1970), Oshima (1962), Kuznetz (1963), Adelman dan Morri s (1973), Chenery dan Syrquin (1975), Ahluwalia, Charter, dan Chengry (1979). St udi-studi empiris tersebut agaknya mendukung tesis Kuznets tetang kurva U yang t erbalik. Yang menarik adalah adanya bukti bahwa hampir separuh variasi distribus i pendapatan dapat dijelaskan oleh tingkat pendapatan nasional. Beberapa pakar p embangunan, seperti Fei dan Ranis (1964), Kuznets (1966), Adelman dan Morris (19 73), berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi, yang ditunjukkan oleh ukuran negara, dasar sumberdaya alam, dan kebijak an yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi struktural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi. 5.4.2. Pelajaran dari Studi dengan Data Runtut waktu Studi empiris pertama yang menggunakan data runtut waktu dila kukan oleh Weisskoff (1970), yang mengamati perubahan dan pola distribusi pendap atan di 3 negara Amerika Latin, yaitu Argentina, Meksiko, dan Puerto Rico. Studi yang dilakukan oleh Fishlow (1972) menunjukkan bahwa sukses ekonomi makro di Br azil ternyata tidak diikuti dengan membaiknya distribusi pendapatan. Studi yang kompresif yang dilakukan oleh Fields (1980) menemukan fakta menarik berikut ini: Pertama, negara yang mengalami kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan terny ata kurang lebih sama dengan banyaknya negara yang mengalami penurunan ketimpang an pendapatan. Kedua, kemiskinan absolut menurut di kebanyakan negara. Ketiga, k etimpangan pendapatan dan kemiskinan banyak yang berjalan beriringan. Kesimpulan Fileds ini didasarkan pengamatannya atas fenomena berikut: Negara yang ketimpan gan pendapatan dan kemiskinannya menurun ditemukan di Costa Rica, Pakistan, Sing apura, Srilangka, dan Taiwan. Fakta ketimpangan dan kemiskinan yang meningkat pa da saat bersamaan terjadi di Argentina, dan Philipina. Negara di mana ketimpanga nnya meningkat tetapi kemiskinannya menurun adalah Bangladesh, Brazil, Meksiko, dan Puerto 66

Rico. Negara di mana ketimpangan pendapatannya menurun namun kemiskinannnya meni ngkat adalah India. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan tergantung dari perhatian dit ujukan pada kemiskinan ataukah ketimpangan pendapatan. Fakta di banyak negara As ia Timur dan Amerika Latin menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat cend erung akan mengurangi kemiskinan absolut. Namun, ada perkecualian terhadap trend ini. Di Philipinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penurunan kemiskinan. Di sisi lain, Srilangka berhasil dalam mengurangi kemiski nan meskipun tingkat pertumbuhan ekonominya rendah. Oleh karena itu, tidak salah bila disimpulkan bahwa kendati pertumbuhan ekonomi yang cepat umumnya menurunka n kemiskinan, pertumbuhan ekonomi tidak menjamin adanya pengurangan kemiskinan. Kasus di Philipina terjadi karena memang relatif kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyat miskin; sedang di Sri Lanka, obsesi mewujudkan pemerataan distri busi pendapatan dilakukan dengan mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi. 5.4.3. P elajaran dari Studi dengan Data Mikro Pada akhir 1960-an, untuk pertama kali dig unakan survei dengan sampel rumah tangga di banyak NSB. Pertanyaan yang selalu m uncul adalah: seberapa jauh data mikro dapat dipercaya kebenarannya di NSB? Bebe rapa pengamat khawatir bahwa rakyat miskin tidak mampu menjawab pertanyaan dari kantor statistik dengan balk. Lepas dari masalah tersebut, data mikro mengenai p endapatan absolut mampu menyajikan profit penduduk miskin dengan berbagai karakt eristik. Ternyata tingkat kemiskinan yang tinggi ditemukan di kalangan penduduk yang rendah tingkat pendidikannya, tinggal di perdesaan, para pekerja di sektor pertanian, dan sebagainya. Manfaat data mikro selain menjabarkan ketimpangan dis tribusi pendapatan juga menampilkan potret ketimpangan menurut daerah, industri, ras, maupun jenis kelamin. Daftar Pustaka Anand, S. dan S.M.R. Kanbur, The Kuzn ets Process and the Inequality - Development Relationship", Journal of Developme nt Economics, Februari 1993. Fields, Gary S., "Income Distribution and Economic Growth", dalam Gustav Ranis dan T.Paul Schultz (eds.), The State of Development Economics: Progress and Perspectives, Basil Blackwell, Oxford, 1990. 67

Kuznets, Simon, "Economic Growth and Income Inequality", American Economic Revie w, Maret 1955. Sigit, Hananto,'Kemiskinan dan Ketimpangan Pembagian Pendapatan d alam Pembangunan Ekonomi Indonesia", makalah dalam Seminar Mencari Paradigma Bar u Pembangunan Indonesia, CSIS dan Bank Dunia, Jakarta, 13 Agustus 1996. Thapa, G .B., Jennifer Chalmers, K.W. Taylor, John Conroy, Banking with the Poor: Report and Recommendation, The Foundation for Development Cooperation, Brisbane, 1992. Todaro, Michael P., Economic Development, edisi ke-5, Longman, Essex, 1994, bab 5. World Bank, World Development Report 1990: Poverty, Oxford University Press, Oxford, 1990. 68

BAB VI DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Di Indonesia, strategi pembangunan yang diprioritaskan pada pemerataan hasilhasil pembangunan dimulai s ejak PELITA III. Strategi ini sejalan dengan amanat GBHN bahwa arah dan tujuan p embangunan nasional Indonesia harus dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejaht eraan rakyat, dan hasil-hasil yang dicapai harus dapat dinikmati secara merata o leh seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangunan tersebut erat kaitannya dengan upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Bab ini secara khusus ak an menelusur dimensi kesenjangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indones ia. Bab ini diawali dengan tinjauan mengenai indikator kesenjangan dan kemiskina n yang digunakan oleh pemerintah selama ini. Trend kesenjangan dan kemiskinan di Indonesia kiranya menarik untuk disimak lebih lanjut. 6.1. INDIKATOR KETIMPANGA N DAN KEMISKINAN 6.1.1. Indikator Kesenjangan Distribusi Pendapatan Indikator ya ng sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah ra sio gini (gini ratio) dan kriteria Bank Dunia (BPS, 1994). Nilai gini ratio berk isar antara nol dan satu. Bila rasio gini sama dengan nol berarti distribusi pen dapatan amat merata sekali karena setiap golongan penduduk menerima bagian penda patan yang sama. Secara grafis, ini ditunjukkan oleh berimpitnya kurva Lorens de ngan garis kemerataan sempurna. Namun, bila rasio gini sama dengan satu menunjuk kan bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang sempurna karena seluruh pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja. Singkatnya, semakin tinggi nil ai rasio gini maka semakin timpang distribusi pendapatan suatu negara. Sebalikny a, semakin rendah nilai rasio gini berarti semakin merata distribusi, pendapatan nya. Kriteria Bank Dunia mendasarkan penilaian distribusi pendapatan atas penda patan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah. Kesenjangan distribusi pendapatan dikategorikan: (a) tinggi, bila 40 persen penduduk berpeng hasilan terendah menerima kurang dari 12 persen bagian pendapatan; (b) sedang, b ila 40 persen penduduk berpenghasilan terendah menerima 12 hingga 17 persen bagi an pendapatan; (c) rendah, bila 40 persen penduduk berpenghasilan terendah mener ima lebih dari 17 persen bagian pendapatan. 69

7.1.2. Indikator Kemiskinan Garis Kemiskinan BPS Batas garis kemiskinan yang dig unakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya per bedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Biro Pusat Statistik (BPS) menggunaka n batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk m emenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran keb utuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, sert a aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai 1993, telah terjadi peningka tan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara da erah perkotaan dan perdesaan. Garis Kemiskinan Model Prof Sayogyo Garis kemiskin an lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Profesor Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan menerapkan garis kemi skinan ini ke dalam data Susenas (Survei Sosiai Ekonomi Nasional) dari tahun 197 6 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentase penduduk yang hidup di bawah gar is kemiskinan. Dikarenakan garis kemiskinan berdasarkan harga beras adalah Iebih rendah dibanding garis kemiskinan BPS maka persentase penduduk yang hidup di ba wah garis kemiskinan akan Iebih rendah setiap tahunnya. Ukuran Sajogyo tidak men unjukkan penurunan tingkat kemiskinan yang "mulus" seperti versi BPS dalam perio de sebelas tahun keseluruhan. Kendati demikian, ukuran Sajogyo memperlihatkan su atu penurunan substansial dalam insidensi kemiskinan, balk untuk kawasan perdesa an maupun perkotaan. Harga beras selama tahun 1980-an tidak meningkat secepat be rbagai indeks harga yang diterbitkan oleh BPS. Akibatnya, garis kemiskinan Sajog yo meningkat dengan laju yang Iebih lambat dari indeks-indeks ini, dan tidak sec epat garis kemiskinan BPS. Dengan demikian, penurunan sangat cepat balk dalam ke miskinan perdesaan maupun perkotaan yang diperlihatkan oleh ukuran Sajogyo setel ah tahun 1980 sebagian karena peningkatan harga beras yang moderat (Booth, 1992: h. 344). 70

Ukuran kemiskinan Sajogyo banyak dikritik karena: (1) mengandalkan pada satu har ga (baca: harga beras); (2) kendati beras tetap menjadi makanan pokok sebagian b esar penduduk Indonesia, porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat. Kalau pada tahun 1969/70, pengeluaran untuk beras dan biji-bijian sekitar 31 persen dari total pengeluaran, pada tahun 1987 turun menjadi hanya 17,5 persen. Oleh karena itu, Profesor Hendra Esmara mencoba mene tapkan suatu garis kemiskinan perdesaan dan perkotaan yang dipandang dart sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial seperti yang diungka pkan secara berturutturut dalam Susenas. Ukuran Esmara mampu menangkap dampak in flasi maupun dampak penghasilan rill yang meningkat terhadap kuantitas barang-ba rang esensial yang dikonsumsi, ukuran kemiskinan Esmara ini meningkat lebih cepa t daripada ukuran BPS maupun Sajogyo. Kendati demikian, dengan ukuran garis kemi skian Esmara ternyata terdapat penurunan persentase penduduk miskin secara perla han sejak tahun 1978 balk di daerah perkotaan maupun perdesaan, meskipun laju pe nurunan kemiskinan lebih rendah dibanding versi BPS dan Sajogyo. 6.2. TREND DALAM DISTRIBUSI PENDAPATAN 6.2.1. Kesenjangan Kota dan Desa Berbagai studi empiris menunjukkan modernisasi pertanian telah memperlebar kesenjangan d istribusi pendapatan. Studi Gibbons, et at (1980) menyimpulkan bahwa Revolusi Hi jau telah memperparah kepincangan distribusi pendapatan masyarakat karena meskip un petani kecil secara umum membaik kondisinya sebagai hasil modernisasi pertani an, namun posisi mereka secara relatif lebih buruk dibanding petani kaya yang ja uh meningkat penghasilannya. Hasil penelitian Arief dan Wong (1977) membuktikan bahwa di daerah perdesaan Jawa terjadi proses meningkatnya kepincangan pendapata n, seperti ditunjukkan oleh meningkatnya rasio gini dari 0,3048 pada tahun 1970 menjadi 0,3604 pada tahun 1976. Kendati demikian, data terbaru dari BPS (1994) m enunjukkan indikasi terjadinya penurunan kesenjangan distribusi pendapatan di de sa selama 1984-1993 (lihat Tabel 7.2). Dibandingkan dengan rasio gini di kota te rnyata rasio gini di daerah perdesaan lebih rendah. Artinya, keadaan distribusi pendapatan di daerah perdesaan relatif lebih merata dibanding di kota. 71

6.2.2. Kesenjangan Regional Isu kesenjangan ekonomi antardaerah telah lama menja di bahan kajian para pakar ekonomi regional. Hendra Esmara (1975) merupakan pene liti pertama yang mengukur kesenjangan ekonomi antardaerah. Berdasarkan data dar i tahun 1950 hingga 1960, is menyimpulkan Indonesia merupakan negara dengan kate gori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Ardani (1996 ; 1992) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dan konsumsi antardaerah denga n menggunakan indeks Williamson selama 1968-1993 dan 19831993. Kesimpulannya men dukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi ter dapat kesenjangan kemakmuran antardaerah, namun semakin maju pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit. Studi Ardani agaknya sejalan dengan den gan hasil studi Akita dan Lukman (1994), yang menemukan tidak terdapatnya peruba han kesenjangan ekonomi antar daerah selama 1983-1990. Dalam konstelasi perkemba ngan terakhir di Indonesia, kesenjangan ekonomi setidaknya dapat dilihat dari 3 dimensi, yaitu: berdasarkan tingkat kemodernan, regional, dan etnis (Iihat Gamba r 7.1). Pertama, kesenjangan dari tingkat kemodernan, yaitu kesenjangan antara s ektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern umumnya berada di perkotaan d an sektor industri; sedangkan sektor tradisional umumnya berada di perdesaan dan sektor tradisional. Kedua, kesenjangan regional adalah kesenjangan antara Katim in (Kawasan Timur Indonesia) dan Kabarin (Kawasan Barat Indonesia). Ketiga, kese njangan menurut etnis, yaitu antara pribumi dengan nonpribumi. Apabila ketiga di mensi ini digabungkan maka akan diperoleh potret kesenjangan kemakmuran di Indon esia, yaitu: semakin ke Kabarin maka semakin banyak dijumpai sektor modern dan i ndustri, dan semakin banyak golongan nonpribumi yang menguasai perekonomian. Seb aliknya semakin ke Katimin, semakin banyak dijumpai sektor pertanian dan tradisi onal, dan semakin banyak pribumi yang mendominasi usaha bisnis. Apabila digunaka n indikator rasio gini sebagai ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, ternyat a cukup bervariasi antar propinsi. Secara nasional, rasio gini di perkotaan dan perdesaan cenderung meningkat dari 0,33 pada tahun 1984 menjadi 0,34 pada tahun 1993 (BPS, 1994). Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7.2, secara umum terjadi p eningkatan ketimpangan distribusi pendapatan di semua propinsi. Rasio gini yang lebih kecil untuk perdesaan dibanding perkotaan menunjukkan bahwa distribusi pen dapatan Iebih merata di kawasan perdesaan dibanding perkotaan. Keadaan ini terja di hampir di seluruh propinsi selama periode 1984-1993. 72

Pada 1984, angka rasio gini di daerah perdesaan berkisar 0,18-0,33, dengan catat an rasio gini terendah adalah propinsi SuIse'. Pada tahun 1993, rasio gini perde saan berkisar antara 0,20-0,30, dengan rekor terendah dipegang oleh propinsi NTT . Sementara itu, di daerah kota, rentang rasio gini Iebih lebar antara 0,21-0,42 pada tahun 1984, dengan catatan terendah diraih oleh Jambi. Pada tahun 1993, ra sio gini daerah perkotaan berkisar antara 0,24-0,37, dengan rekor terendah dipeg ang oleh Jambi dan Maluku. Gambar 7.1. Peta Kesenjangan Kemakmuran di Indonesia 73

6.2.3. Kesenjangan Interpersonal BPS menggunakan data biaya konsumsi per kapita untuk memperkirakan koefisien gini, balk untuk kota maupun desa di Indonesia. Di desa, koefisien gini menunjukkan perubahan yang sangat kecil pada tahun 1964/19 65 sampai 1978, tetapi antara tahun 1978 dan 1984 tampak adanya trend yang menur un. Di kota, koefisien gini meningkat sampai tahun 1978, tetapi menurun setelah itu. Trend menurunnya tingkat kesenjangan distribusi pendapatan dengan data peng eluaran setelah tahun 1978, balk di kota maupun di desa, dikonfirmasi dengan koe fisien gini dengan data pendapatan (Booth, 1992: h. 335). Namun data ini menunju kkan bahwa ketidakseimbangan pendapatan di desa Iebih tinggi daripada di kota. H al ini dapat mencerminkan pengeluaran konsumsi atau tabungan yang lebih tinggi d i daerah perdesaan. Hughes dan Islam (1981: h. 52-53) menunjukkan bahwa ada peni ngkatan yang Iebih besar dalam kesenjangan di Jawa dibanding daerah manapun anta ra tahun 1970 sampai 1976. Peningkatan kesenjangan ini terutama akibat adanya pe rubahan distribusi pendapatan 74

pada golongan berpenghasilan tinggi, yang dapat ditafsirkan bahwa yang kaya sema kin kaya. Di daerah perdesaan Jawa ternyata terjadi penurunan ketimpangan, yang mengindikasikan adanya perubahan dalam golongan pendapatan yang paling rendah. D i luar Jawa kesenjangan lebih rendah dibandingkan di luar Jawa, dan penurunan ke senjangan di desa relatif lebih besar. Peningkatan persentase terbesar dalam kes enjangan personal yang diukur oleh koefisien gini tidak terjadi di Jakarta tapi terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta (Booth, 1992: h.336). Begitupu n setelah tahun 1980, ketika penurunan kesenjangan terjadi di kota-kota di Indon esia. Penurunan disebutkan terjadi di Jakarta dan Jawa Timur. Di Jawa Barat, kes enjangan sebenarnya meningkat antara tahun 1980 hingga tahun 1984, sementara pen urunan sedikit tampaknya terjadi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. 6.2.4. Kesenjang an Antar Kelompok Sosial Ekonomi Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana pengha silan para profesional, manajer dan pegawai negeri dibandingkan dengan pendapata n rata-rata? Bagaimana penghasilan para pekerja yang berpendidikan tinggi diband ingkan dengan pekerja yang berpendidikan rendah? Seperti diketahui bahwa di Indo nesia pendidikan merupakan ukuran yang penting dalam menentukan pendapatan. Hal ini diakibatkan karena akses terhadap pekerjaan dengan gaji tinggi balk di sekto r pemerintahan maupun swasta tergantung dari tingginya tingkat pendidikan. Selam a tahun 1970-an, penghasilan pekerja yang berkualifikasi tinggi meningkat diband ingkan dengan rata-rata nasional, karena permintaan akan tenaga kerja ini melebi hi penawarannya. Beberapa survei yang dilakukan akhir 1960-an dan 1970-an, menge stimasi perbedaan antara penghasilan rumah tangga di mana kepala keluarga sebaga i peg awal negeri dibandingkan rata-rata penghasilan kelompok lain. Perbedaan in i melebar pada tahun 1970-an di hampir semua kota. Namun akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an nampak bahwa perbedaan antara para pekerja profesional berpendidik an teknik dan lainnya mulai menyempit. Derajat perbedaan penghasilan dalam setia p kelas ini, seperti yang diukur dengan koefisien gini juga menurun dalam period e ini (lihat Tabel 7.3). Penurunan yang cepat dalam perbedaan berdasarkan status pendidikan tidak diragukan lag i karena pertumbuhan dalam suplai para pekerja b erpendidikan dan penurunan dalam permintaan akibat pertumbuhan yang Iebih lambat setelah tahun 1981. 6.3. TREND DALAM INDIKATOR KEMISKINAN : 1969-1993 75

Awal tahun 1970-an banyak pembahasan di Indonesia tentang trend kemiskinan. Kala ngan perguruan tinggi, BPS, dan Bank Dunia membuat perkiraan trend dalam kemiski nan, yang masing-masing menggunakan konsep garis kemiskinan yang berbedabeda dan hasil yang diperoleh juga berbeda. Meskipun demikian, perkiraan garis kemiskina n yang diajukan BPS mendapat keunggulan sebagai angka resmi yang digunakan oleh pemerintah. 6.3.1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut BP S, ada suatu penurunan yang berkesinambungan dalam persentase populasi yang hidu p di bawah garis kemiskinan, balk di kawasan perdesaan maupun perkotaan, di Indo nesia sejak tahun 1976. Kendati demikian, populasi perkotaan berkembang Iebih ce pat dibanding populasi perdesaan, sehingga penurunan dalam jumlah absolut kemisk inan jauh Iebih lambat dari total kaum miskin tahun 1987. Terdapat dua alasan ut ama mengapa penurunan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan yang berkesi nambungan cukup cepat (Booth, 1992). Pertama, ketidakseimbangan dalam kawasan pe rdesaan menurun antara tahun 1981 dan 1987. Kedua, garis kemiskinan perdesaan ya ng ditetapkan oleh BPS dalam kenyataan bertambah Iebih lambat antara tahun 1981 dan 1987 dibanding indeks harga perdesaan yang digunakan. Hal ini merefleksikan fakta bahwa harga bahan makanan pokok, khususnya beras, meningkat kurang cepat s ejak tahun 1981 dibandingkan dengan harga-harga lainnya. Hal penting lainnya men genai garis kemiskian BPS adalah berhubungan dengan trend dalam insidensi kemisk inan perdesaan dan perkotaan. Suatu alasan terhadap peningkatan pangsa kaum misk in perkotaan dalam kemiskinan total di Indonesia yaitu populasi perkotaan mening kat lebih cepat. Alasan lain adalah persentase populasi kaum miskin yang tinggal di kawasan perkotaan menurut BPS dalam kenyataan meningkat lebih cepat dari gar is kemiskinan perdesaann sejak tahun 1967, sehingga di tahun 1987 garis kemiskin an perkotaan hampir 70 persen Iebih tinggi dibanding kawasan perdesaan. 6.3.2. J umlah dan Persentase Desa Miskin BPS (1994) menggunakan tiga metode dalam menent ukan desa miskin, yaitu: metode standar deviasi (SD), metode range (R), dan meto de persepsi lapangan (PL). Suatu desa disebut miskin bila paling sedikit dua dar i tiga metode tersebut menyatakan miskin. Status desa menurut metode SD dan R di tentukan berdasarkan hasil kuesioner yang menanyakan 27 variabel di perdesaan da n 25 variabel di perkotaan. Ada 3 kelompok pertanyaan dalam kuesioner tersebut, yaitu: kelompok potensi/fasilitas sosial ekonomi desa, 76

kelompok perumahan dan Iingkungan, dan kelompok kependudukan. Variabel yang digu nakan untuk mengukur masing-masing variabel lihat Tabel 7.4. Jawaban atas seluru h pertanyaan masing-masing diberi skor (tinggi, sedang, rendah) menurut pentingn ya variabel tersebut. Dengan metode SD, jumlah skor tiap desa dibandingkan denga n rata-rata skor tingkat propinsi untuk menentukan apakah desa tersebut miskin. Dengan metode R, skor tiap desa dibandingkan dengan range untuk menentukan apaka h desa tersebut miskin. Metode PL menggunakan kuesioner khusus guna menghimpun p endapat Camat tentang status desa-desa di wilayahnya. Suatu desa diklasifikasika n miskin atau tidak tergantung dari pendapat Camat mengenai keadaan potensi/fasi litas sosial ekonomi desa, perumahan/lingkungan, dan kependudukan. Tentu saja pe rsepsi Camat ini akan dievaluasi oleh petugas pencacah (mantri statistik). Denga n demikian, paling sedikit 2 dari 3 metode tersebut harus menyatakan miskin untu k mengklasifikasikan suatu desa sebagai desa miskin. Pada tahun 1993, sebagaiman a ditunjukkan oleh Label 7.5, jumlah desa miskin di Indonesia sebanyak 20.633, a tau sekitar 31,5 persen dari seluruh desa yang ada (65.554). Dari jumlah tersebu t, 1.008 berada di perkotaan, atau 14,7 persen dari seluruh desa perkotaan. Juml ah desa miskin di perdesaan sebanyak 19.625, atau sekitar 33,4 persen dari selur uh desa perdesaan. Jumlah desa miskin terbanyak berada di Sumatra (33 persen), d iikuti Pulau Jawa (30 persen), Maluku (12 persen), Kalimantan (11 persen), Sulaw esi (9 persen), dan Irian Jaya (5 persen). 6.3.3. Distribusi Regional Kemiskinan Berdasarkan perkiraan Bank Dunia dengan mempergunakan data dari Susenas tahun 1 976, bahwa lebih dari 70 persen orang yang miskin berlokasi di Jawa. Akan tetapi di tahun 1976 distribusi regional kemiskinan mengalami perubahan secara dramati s: hanya 46 persen di perdesaan luar Jawa. Ada penurunan secara drastis proporsi penduduk miskin yang berlokasi di daerah perkotaan maupun perdesaan di Jawa yan g diikuti dengan kenaikan kemiskinan di perdesaan luar Jawa. Secara absolut juml ah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di luar Jawa mengalami penurun an namun secara relatif mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perpindah an penduduk dari Jawa keluar Pulau Jawa yang disebabkan menurunnya kesuburan tan ah di Jawa. Pada dasawarsa 1990-an, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 7.6, terl ihat adanya trend penurunan jumlah absolut dan persentase penduduk miskin secara regional. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,9 juta dengan per sentase penduduk miskin 13,67 persen; ternyata pada tahun 1996 turun menjadi 77

22,5 juta dan persentase penduduk miskin 11,34 persen. Dengan kata lain, selama 1993-1997 jumlah penduduk miskin turun secara absolut sebesar 3,4 juta, atau ber arti menurun 13,15 persen. Ternyata distribusi regional penduduk miskin tidak sa ma persis dengan distribusi regional desa miskin (Iihat kembali Tabel 7.5). Juml ah penduduk miskin terbanyak terdapat di Jawa dan Bali, namun tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh persentase penduduk miskin paling banyak berada di Nusa T enggara, Maluku, dan Irian Jaya. Tabel 7.6. Jumlah penduduk miskin menurut propi nsi, 1993-1996 1 2 3 4 5 6 7 8 9 DI Aceh 496,7 13,46 13,47 11,20 13,38 13,11 11, 64 12,87 5,65 425,6 384,6 322,0 222,8 794,9 137,2 724,9 4246,1 231,3 10,78 10,91 8,76 7,94 9,06 10,72 9,37 10,65 10,15 2,48 9,87 13,91 10,42 11,86 4,30 21,99 11 ,24 14,33 9,24 15,53 10,60 71,1 97,5 181,6 88,8 76,5 229,0 35,9 u7.o 807,4 265,8 650,2 461,4 39,7 377,2 144,6 54,0 132,2 93,5 70,4 350,0 20,1 14,32 7,32 32,07 2 1,62 25,57 22,37 20,72 3,59 15,98 53,47 14,10 9,99 11,56 8,53 53,52 13,13 6,18 4 1,10 18,05 23,86 17,43 6,59 Sumatera Utara1,331,6 Sumatera Barat 566,1 Riau Jamb i Bengkulu Lampung Sumatra DKI Jakarta 10 Jawa Barat 410,9 299,4 173,1 751,8 5.0 53,6 497,1 4.612,4 12,32 1.234,2 Sumatera Selatan1.023,9 14,89 12,20 3.962,1 15,78 4.157,3 11,77 9,46 25,05 303,8 125,6 820,5 189,4 424,3 224,4 13,25 4.046,5 12,84 12.826,6 11 Jawa Tengah 4.618,7 12 DI Yogyakarta 343,5 13 Jawa Timur 14 Bali Jawa - Bali 4. 423,7 270,2 14.765,6 10,75 1.939,0 15 Kalimantan Barat874,5 16 Kalimantan Tengah321,6 20,85 17 Kalimantan Selatan517,8 18,62 18 Kalimantan T imur294,9 Kalimantan 2.008,8 13,75 _________________________________________________________________ 20,17 1.658,7 284,6 19 Sulawesi Utara 304,7 11,79 6.4. TREND KEMAKMURAN Isu tentang trend kemiskinan menerima perhatian yang lebih banyak di negara berk embang dibandingkan trend kemakmuran, seperti Indonesia di mana proporsi 78

penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah menurun dalam dekade belaka ngan ini dan meningkatnya bagian dari penduduk di atas garis kemakmuran (affluen ce line). Booth (1992: h. 359-60) mencoba mengembangkan suatu metodologi untuk m enghitung berapa jumlah penduduk yang hidup di atas garis kemakmuran, yaitu ting kat pengeluaran yang dinikmati oleh sekitar 4 persen penduduk pada tahun 1969/19 70 dan meningkat terus, dan dihitung kira-kira 4 kali garis kemiskinan. Dengan c ara itu, dapat diestimasi jumlah penduduk yang hidup di atas garis kemakmuran un tuk Jawa dan Luar Jawa sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7.7. Jumlah orang Ind onesia yang hidup di atas garis kekayaan meningkat dari 5,61 juta tahun 1969/197 0 menjadi 28,65 juta tahun 1987. Lebih dari separuh kenaikan tersebut terjadi pa da kota-kota di Jawa. Dengan kata lain, proporsi penduduk yang hidup di atas gar is kemakmuran ada di daerah perkotaan Jawa. Harus diakui terjadi pertumbuhan yan g berarti dalam catatan kemakmuran. Adapun di daerah perdesaan Jawa dan perkotaa n di luar Jawa, juga terjadi peningkatan kemakmuran, akan tetapi peningkatannya relatif kecil. Perubahan yang terjadi pada distribusi regional kemiskinan dan ke makmuran merupakan hal yang menarik untuk dapat menerangkan mobilitas antara kel as di dalam suatu daerah. Mobilitas dari kelompok miskin lebih cepat menjadi kel ompok menengah daripada kelompok menengah menjadi kelompok kemakmuran. Adapun un tuk masyarakat yang kaya, untuk lebih kaya lagi, kejadiannya sangat jarang. Dika renakan berkurangnya kemiskinan dan meningkatnya jumlah orang kaya di daerah per kotaan di Jawa lebih cepat dibandingkan daerah lain, maka kemungkinan terjadinya perpindahan dari kemiskinan ke kelas menengah dan dari menengah ke kelas atas a kan lebih besar terjadi di daerah perkotaan di Jawa. BACAAN YANG DIANJURKAN Arda ni, Amiruddin, Regional Development in Indonesia: Issues and Challenges, Discuss ion Paper No. 36, Nagoya University, Nagoya, July 1996. ........, Analysis of Re gional Growth and Disparity: The Impact Analysis of the Inpres Project on Indone an Development, disertasi Ph.D, University of Pennsylvania, Philadelphia, 1992, tidak dipublikasikan. Biro Pusat Statistik, Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Seri 04 Nomor 03, Jakarta, Maret 1994. 79

si

Booth, Anne, "Income Distribution and Poverty" dalam Anne Booth (ed.), The Oil B oom and After: Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto Era, O xfor University Press, Singapura, 1992, h. 321-362. Esmara, Hendra, "Regional In come Distributies", Bulletin of Indonesia Economic Studies, 11(1), h. 4157, 1975 . Hill, Hal, Tranformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan K omprehensif, PAU Studi Ekonomi dan PT Tiara Wacana, 1996, bab 10. Mubyarto, Didi k J, "Kemiskinan di Indonesia", Profil Indonesia, jurnal tahunan CIDES, no. 1, 1 994, h. 213-222. Sigit, Hananto, "Kemiskinan dan Ketimpangan Pembagian Pendapata n dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia", makalah dalam Seminar Mencari Paradigma baru Pembangunan Indonesia, CSIS dan Bank Dunia, Jakarta, 13 Agustus 1996 80

BAB VII MASALAH PEMBANGUNAN MANUSIA : KEPENDUDUKAN, PENGANGGURAN DAN MIGRASI Sej arah mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi manu sia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah. Penekanan pada investasi manusia diyakini merupakan basis dalam meni ngkatkan produktivitas faktor produksi secara total. Tanah, tenaga kerja, modal fisik bisa saja mengalami diminishing returns, namun ilmu pengetahuan tidak. Alf red Marshall pernah mengatakan: "although nature is subject to diminishing retur ns, man is subject to increasing returns... Knowledge is our most powerful engin e of production; it enables us to subdue nature and satisfy our wants". Bab ini akan mengkaji bagaimana peningkatan kualitas manusia sebagai agen produktif haru s menjadi tujuan utama dari setiap kebijakan pembangunan. Masalah yang selalu mu ncul dalam setiap diskusi mengenai pembangunan manusia adalah masalah kependuduk an, pengangguran, wanita, dan migrasi. 7.1. PARADIGMA PEMBANGUNAN BERWAWASAN MAN USIA Dalam praktek pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal pemb angunan, umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemi kiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal acing dan melakukan industrialisasi. Peranan sumberdaya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai "i nstrumen" atau salah satu "faktor produksi" saja. Manusia ditempatkan sebagai po sisi instrumen dan bukan merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nil ai produksi dan produktivitas telah mereduksi manusia sebagai penghamba maksimis asi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan. Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. lnilah yang disebut sebagai pe ngembangan SDM dalam kerangka production centered development (Tjokrowinoto, 199 6: h. 28-29). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigms pembangunan yang semacam itu terbatas pada masalah pendidikan, peningkatan kete rampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. 81

Kualitas manusia yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan masyarakat industrial. Alternatif lain dari strategi pemba ngunan manusia adalah apa yang disebut sebagai people centered development atau putt ing people first (Korten, 1981: h. 201). Artinya, manusia (rakyat) merupakan tuj uan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumbe rdaya yang paling penting. Dimensi pembangunan yang semacam ini jelas lebih luas daripada sekadar membentuk manusia profesional dan terampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu: kemampuan manusia un tuk mengaktualisasikan segala potensinya. 7.2. MASALAH KEPENDUDUKAN 7.2.1. Isu G lobal Kependudukan Setiap tahun, lebih dari 93 juta orang menambah jumlah pendud uk dunia yang telah sebanyak 5,5 milyar jiwa. Lebih dari 82 juta dari tambahan o rang ini setiap tahun lahir di negara Dunia Ketiga. Fakta ini jelas belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. Kendati demikian, masalah pertumbuhan penduduk tid ak hanya masalah jumlah, tapi juga terkait erat dengan masalah kesejahteraan man usia. Oleh karena itu pertanyaan mendasar yang diajukan oleh banyak pakar pemban gunan adalah: Apakah kondisi kependudukan saat ini di negara negara Dunia Ketiga mem berikan kontribusi ataukah menghambat tercapainya tujuan pembangunan, tidak hany a bagi generasi sekarang tapi juga bagi generasi mendatang? Sebaliknya, apakah p embangunan mempengaruhi pertumbuhan penduduk? Di kalangan para pakar pembangunan terdapat konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berd ampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bag i pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumberdaya manusia (Meier, 1995: h .276-281). Setidaknya terdapat 3 alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan. Pertama, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan m empersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibu tuhkan untuk membuat konsumsi di masa mendatang. Rendahnya sumberdaya per kapita akan menyebabkan penduduk tumbuh Iebih cepat, yang pada gilirannya membuat inve stasi dalam "kualitas manusia" semakin sulit. Fakta menunjukkan bahwa aspek kunc i dalam pembangunan adalah penduduk yang semakin terampil dan berpendidikan. Di Malawi, misalnya, dengan penurunan angka kelahiran yang cepat ternyata dapat men ingkatkan tabungan sebanyak 50 persen lebih 82

tinggi karena jumlah anak yang memasuki sekolah sampai tahun 2015 meningkat deng an laju yang Iebih lambat. Kedua, di banyak negara di mana penduduknya masih ama t tergantung dengan sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbanga n antara sumberdaya alam yang Iangka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan p enduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah prod uktivitasnya ke sektor pertanian modern dan pekerjaan modern Iainnya. Di Kenya, sebagai contoh, 70 persen angkatan kerja diperkirakan masih bekerja di sektor pe rtanian sampai dengan 2025, dan jumlah pekerjanya akan dua kali lipat dari jumla h saat ini. Hasilnya, besar kemungkinan berlanjutnya tingkat pendapatan yang ren dah bagi banyak keluarga, dan di banyak kasus menimbulkan tekanan terhadap siste m pertanian tradisional dan kerusakan Iingkungan, yang pada gilirannya mengancam kesejahteraan penduduk miskin. Ketiga, pertumbuhan penduduk yang cepat membuat semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan e konomi dan sosial. Tingginya tingkat kelahiran merupakan penyumbang utama bagi p ertumbuhan kota yang cepat. Bermekarannya kota-kota di NSB membawa masalah-masal ah baru dalam menata maupun mempertahankan tingkat kesejahteraan warga kota. Dal am konteks ini, Dudley Kirk (1971: h. 145-46), berdasarkan pengamatannya di bany ak negara sedang berkembang, menambahkan fakta sebagai berikut: Pertama, telah s emakin banyak negara yang memasuki transisi demografi dalam sisi kelahiran (nata lity) terutama sejak 1970. Kedua, begitu penurunan kelahiran mulai dapat diperta hankan, maka laju penurunan tersebut lebih cepat dibanding yang terjadi di Eropa . Ketiga, negara negara "baru" dapat menurunkan kelahiran dengan amat cepat meskipun awalnya tingkat kelahirannya lebih tinggi dibanding yang pernah tercatat dalam sejarah Eropa Barat. Keempat, ukuran kelahiran yang telah disempurnakan dengan m elakukan stadardisasi dalam perbedaan struktur umur telah mengakibatkan hasil ya ng sama dengan tingkat kelahiran kasar. Kelima, tidak ada bukti langsung bahwa p enurunan angka kelahiran akan berakhir dalam tingkat yang lebih tinggi dibanding yang terjadi di negara negara Eropa dan Jepang. Yang jelas telah terjadi penurunan angka kelahiran yang amat drastis di Cina, India, dan Indonesia. Penurunan angka kelahiran umumnya jugs terjadi di negara-negara Asia Timur dan Amerika Latin. N amun, trend ini tidak terjadi untuk negara-negara Afrika, negaranegara Islam di Timur Tengah, Pakistan, dan Bangladesh. Faktor utama di batik penurunan angka ke lahiran adalah keberhasilan program keluarga berencana (KB). Padahal sampai deng an akhir Perang Dunia II boleh 83

dikata belum ada negara yang menerapkan program KB. Pengamatan Nortman (1982) te rhadap 134 NSB mencatat bahwa ada 39 negara yang mempunyai program resmi untuk m enurunkan laju pertambahan penduduk, 33 negara mendukung program KB bagi kesehat an ibu dan anak namun bukan untuk menekan pertumbuhan penduduk, dan 62 negara ti dak mendukung aktivitas KB. Indonesia memulai program KB pada1968 dan secara res mi dimasukkan dalam Pelita I pada 1969. Penurunan jumlah penduduk dari 2,1 perse n selama 1961-1971 dan 2,32 persen pada 1971-1980 menjadi 1,98 persen pada 19801990, banyak dikaitkan dengan kisah sukses KB di Indonesia yang diakui oleh duni a. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apa faktor-faktor di batik kisah sukses program KB di Indonesia? Singarimbun (1996: bab 1-4) mengidentifikasi faktor pe nopang keberhasilan KB adalah: (1) prioritas yang tinggi dan keterlibatan pemeri ntah yang besar untuk kesuksesan program itu; (2) adanya perubahan nilai mengena i anak, yaitu dari norma keluarga besar menjadi norma keluarga kecil; (3) manaje men program yang balk lewat koordinasi antardepartemen oleh BKKBN (Badan Koordin asi Keluarga Berencana Nasional). 12.2.2. Trend Perubahan Kependudukan di Indone sia Berbeda dengan negara maju, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, p enurunan angka kelahiran dan kematian berlangsung dalam waktu yang relatif singk at, sekitar 25-30 tahun. Sejarah mencatat proses penurunan angka kelahiran dan k ematian di negara maju berjalan sekitar 2 abad. Kecepatan penurunan angka kelahi ran dan kematian di NSB besar kemungkinan akibat adopsi teknologi dari negara ma ju dalam upaya mengubah kondisi demografinya. Ananta dan Anwar (1997: h. 144-47) telah mencoba mengidentifikasi beberapa aspek perubahan demografis di Indonesia yang diperkirakan akan berdampak luas pada berbagai aspek perencanaan pembangun an hingga 2005 sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun diperkirakan selama 20002005 menca pai hampir setengah angka dalam periode 1980-1990, yaitu: turun dari 2,1 persen menjadi 1,2 persen. Meskipun demikian, jumlah penduduk terus meningkat dari 179 juta pada 1990, menjadi 223 juta pada 2005, dan 254 juta pada 2020. 2. Struktur penduduk Indonesia diperkirakan akan semakin menua, dalam arti persenta se dan jumlah penduduk tua (dengan batas umur 60 tahun atau Iebih) terus meningk at, Persentase penduduk tua di Indonesia pada 1990 sebesar 6,3 persen dan diperk irakan akan meningkat menjadi 11,3 persen pada 2020. 84

3. Persentase penduduk yang tinggal di perkotaan (angka urbanisasi) akan terus meni ngkat. Pada 1990 sekitar 30,9 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, me ningkat menjadi 46 persen pada 2005, dan diproyeksikan mencapai hampir 60 persen pada 2020. 4. Penduduk Indonesia akan semakin berpendidikan. Menurut catatan OeyGardiner (1997 ), diperkirakan akan terjadi ledakan pendidikan hingga akhir PJPT II. Pada 2020 jumlah kelompok usia pencari kerja pertama kali (15-24 tahun) dengan pendidikan minimal SLTP akan men ingkat dua kali lipat atau 35 juta orang dibanding 1990. S ementara penduduk berpendidikan SLTA diperkirakan akan meningkat hampir lima kal i lipat dari 15 juta pada 1990 menjadi 71 juta pada 2020. Penduduk yang berpendi dikan tinggi (pendidikan nongelar dan gelar) akan membengkak dari 2 juta orang p ada 1990 menjadi 18 juta orang. 5. Penduduk Indonesia dapat semakin rentan, dalam arti mudah terkena penyakit. Surv ei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1995 mencatat bahwa rata rata 14 persen p enduduk pria dan 13 persen penduduk wanita mengaku mendapat keluhan kesehatan ya ng mengganggu kegiatan sehari hari. 1. Penduduk Indonesia akan semakin mobil (mobilitas dalam jangka pendek), yang tida k dengan tujuan menetap. Jangkauan mobilitas tidak hanya antarwilayah di Indones ia, bahkan juga wilayah dunia. 5. Peningkatan persentase perempuan dalam pasar kerja. Ini terjadi akibat menurunny a angka kelahiran, meningkatnya pendidikan, dan majunya perekonomian sehingga me mbuat perempuan semakin berpeluang memasuki pasar kerja. 6. Penurunan angka pertumbuhan kesempatan kerja (employment). Laju pertumbuhan kese mpatan kerja selama 1989-1992 rata rata hanya sebesar 2,16 persen, sementara rata rata aju pertumbuhan PDB per tahun pada periode yang sama sebesar 6,24 persen (BPS, 1 994: h.55-56). Dari kedua angka itu dapat dihitung besarnya elastisitas kesempat an kerja selama 1989-1992 sebesar 0,35, yang berarti setiap kenaikan PDB sebesar 1 persen akan menciptakan kesempatan kerja hanya sebesar 0,35 persen. Tabel 7.1 memperlihatkan secara sektoral, sektor yang paling tinggi elastisitas kesempata n kerjanya adalah sektor lainnya (0,5), yang diikuti oleh sektor industri (0,35) , dan paling rendah sektor pertanian (0,23). 7.3. MASALAH PENGANGGURAN Sejarah mencatat bahwa pembangunan ekonomi di negara-n egara Eropa Barat dan Amerika Utara sering dideskripsikan sebagai transfer manus ia dan aktivitas ekonomi 85

secara terus menerus dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Ini dimungkinkan karena kombinasi dua faktor, yaitu: (1) ekspansi industri perkotaan yang menimb ulkan penciptaan kesempatan kerja baru; (2) kemajuan teknologi yang bersifat men ghemat tenaga kerja (labor saving) di sektor pertanian sehingga menurunkan kebut uhan angkatan kerja di daerah perdesaan (Todaro, 1995: bab 7). Atas dasar pengal aman itulah, banyak pakar pembangunan menyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi di negara Dunia Ketiga perlu menitikberatkan pada promosi pertumbuhan sektor indust ri perkotaan yang cepat. Mereka cenderung melihat perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Sayangnya, strategi industrialisasi yang cepat di banyak kasus gaga ) membawa dampak yang diinginkan. Dewasa ini, banyak NSB dihadapkan pada kondisi unik dari kombinasi permasalahan pergerakan penduduk dari desa ke kota dalam ju mlah besar, stagnannya produktivitas pertanian, dan meningkatnya pengangguran da n underemployment di daerah perkotaan dan perdesaan. Bagaimana dengan kondisi pe ngangguran dan underemployment di Indonesia? Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu definisi pengangguran terbuka dan setengah pengangguran di Indonesia yan g digunakan oleh Biro Pusat Statistik. Pengangguran terbuka (open unemployment) didasarkan pada konsep seluruh angkatan kerja yang mencari pekerjaan, baik yang mencari pekerjaan pertama kali maupun yang pernah bekerja sebelumnya. Sedang pek erja yang digolongkan setengah pengangguran (underemployment) adalah pekerja yan g masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah (di bawah sepertiga jam kerja normal, atau berarti bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu) namun masih mau menerima pekerjaan, serta mereka yan g tidak mencari pekerjaan namun mau menerima pekerjaan. Pekerja digolongkan sete ngah pengangguran parch (severe underemployment) bila is termasuk setengah menga nggur dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Sebagaimana halnya NSB lainn ya, pengangguran terbuka merupakan fenomena perkotaan. Tingkat pengangguran terb uka di perkotaan 3 kali lebih tinggi glibanding daerah perdesaan. lni diakibatka n karena adanya keterbatasan kesempatan kerja di kota, yang pada gilirannya meny ebabkan persaingan merebut lapangan kerja semakin ketat. Bila dirinci lebih lanj ut, karakteristik pengangguran di Indonesia adalah: Kendati tingkat pengangguran terbuka tergolong rendah (4,4 persen dari total ang katan kerja), penganggur didominasi kaum muda dengan usia antara 1519 tahun (13 persen) dan 20-24 tahun (14 persen). Kedua kelompok usia ini hampir mencapai 70 persen dari pengangguran total. 86

Tingkat pengangguran tertinggi menurut tingkat pendidikan dialami oleh lulusan S MAdan perguruan tinggI, yang masing masing sebesar 16,9 persen dan 14,8 persen dari jumlah angkatan kerja. Data dari Bank Dunia (1988) menunjukkan bahwa sekitar 45 persen pekerja perdesaan berada dalam kondisi setengah menganggur, yang berarti lebih tinggi daripada pekerja perkotaan (21 persen). Perbedaan mencolok terjadi pada para pekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Tabel 7.5 memper lihatkan bahwa pada tahun 1991 terdapat 9,16 persen pekerja dengan jam kerja kur ang dari 25 jam seminggu, yang berarti jauh lebih rendah daripada daerah perdesa an yang mencapai 24,3 persen; sementara pada 1992 angkanya untuk daerah perkotaa n meningkat menjadi 9,98 persen dan di daerah perdesaan sebesar 26,23 persen 7.4. MASALAH WANITA Dalam skala global, dikenal tiga pergeseran interpretasi pen ingkatan peran wanita (P2W) sebagai berikut (Tjokrowinoto, 1996) 1. P2W sebagai Wanita dalam Pembangunan Perspektif P2W dalam konteks Women in Devel opment memfokuskan pada . bagaimana mengintegrasikan wanita dalam berbagai bidan g kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan sumber-sumber yang menyebabkan mengapa p osisi wanita dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder, dan dalam hubungan su bordinasi terhadap pria. Asumsinya, struktur sosial yang ada dipandang sudah giv en. Indikator integrasi wanita dalam pembangunan diukur dengan indikator seperti partisipasi angkatan kerja; akses terhadap pendidikan, hak-hak politik dan kewa rganegaraan, dan sebagainya. 2. P2W sebagai Wanita dan Pembangunan Menurut perspektif Women and Development yang dipelopori oleh kaum feminisMarxist ini, wanita selalu menjadi pelaku penting d alam masyarakat sehingga posisi wanita, dalam anti status, kedudukan, dan perana nnya, akan menjadi lebih baik bila struktur internasional menjadi lebih adil. As umsinya, wanita telah dan selalu menjadi bagian dari pembangunan nasional. 3. P2W sebagal Gender dan Pembangunan 87

Menurut kacamata Gender and Development, konstruksi sosial yang membentuk persep si dan harapan serta mengatur hubungan antara pria dan wanita sering merupakan p enyebab rendahnya kedudukan dan status wanita, posisi inferior, dan sekunder rel atif terhadap pria. Pembangunan berdimensi jender ditujukan untuk mengubah hubun gan jender yang eksploitatif atau merugikan menjadi hubungan yang seimbang, sela ras, dan serasi. Berkaitan dengan P2W, sejak GBHN 1978 telah mengamanatkan keiku tsertaan (integrasi) wanita dalam pembangunan nasional. Semenjak itu berbagai ke bijakan dan program telah dirumuskan untuk lebih membuka partisipasi wanita dala m pembangunan. Dalam GBHN 1993, program P2W dalam Pembangunan Jangka Panjang II diarahkan pada sasaran umum: meningkatnya kualitas wanita dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi wanita untuk pengembangan did dan meningkatkan peranannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbang sa, dan bernegara. Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adala h Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita. Dari sisi ini terlihat bahwa TAPK wanita meningkat dari tahun ke tahtin dan diprediksikan tetap naik pada ta hun mendatang seperti terlihat pada Label 7,6 berikut ini. Kendati demikian, mas ih ada kesenjangan antara partisipasi angkatan kerja pria dan wanita, terutama y ang paling mencolok adalah pada kelompok umur 30-39 tahun di mana TPAK wanita 55 ,27 dan pria 98,54 (BPS, 1996: h.80). Tabel 7.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Ke rja H 1988 1993 1998 .WANITA 37,4 38,8 40,2 LAKPLAKI 62,6 61,2 59,8 Sumber : Biro Pusat Statistik, Proyeksi Angkatan Kerja 1988-2000 Ditinjau dari s isi TPAK, wanita ini mempunyai peran yang makin meningkat dari tahun ke tahun. O leh karena itu menjadi suatu hal yang menarik meneliti di batik fenomena ini. Me skipun kuantitas kontribusi TPAK sudah menunjukkan angka yang meningkat, komposi si jenis pekerjaan mana yang menyumbangkan kenaikan total tadi. Hal ini dapat di cermati dari Tabel 7.7 tentang indikator sosial wanita Indonesia. Ditinjau dari status pekerjaan utama, wanita kebanyakan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar (39,4 persen) dan buruh/karyawan swasta (22,3 persen). Fenomena in i menunjukkan bahwa masih banyak wanita yang bekerja sebagai sambilan atau hanya membantu pria. lni 88

berbeda dengan pria, yang sebagian besar bekerja dengan status berusaha dibantu anggota rumah tangga (32,7 persen) dan hanya 10,5 persen yang berstatus pekerja keluarga. Tabel 10.7 juga memperlihatkan bahwa jenis usaha yang paling banyak di geluti oleh wanita adalah tenaga usaha pertanian, yang diikuti dengan tenaga pen jualan, dan tenaga produksi. Dari tabel tersebut secara eksplisit terlihat bahwa jenis pekerjaan yang tidak memerlukan banyak kualifikasi (blue collar workers) masih cukup besar sumbangannya terhadap total pekerjaan. Tabel 7.7 menunjukkan b ahwa jumlah jam kerja wanita sebagian besar berkisar antara 7 hingga 59 jam semi nggu. Secara umum, agaknya wanita bekerja lebih pendek dibanding pria karena ter dapat 68,2 persen pria yang bekerja selama 35 jam atau lebih, sementara hanya 45 ,1 persen wanita yang bekerja selama 35 jam atau lebih. Dengan kata lain, sebagi an besar wanita bekerja kurang dari 35 jam seminggu.. Ini dapat berarti bahwa se ktor informal wanita yang berhubungan dengan microenterprise wanita memang didug a masih menempati posisi kunci yang menentukan tinggi rendahnya TPAK dan pada gi lirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan wanita itu sendiri. 89

Tabel 7.7. Indikator Sosial Wanita dan Pria, 1994 (dalam persentase) alto Bet as arkarr. . _...-.... Status pekerjaan utama: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Wanifa .... 15,99 16,53 0,58 5,29 22,25 39.36 5,22 0,37 3,65 20,33 1. Pria Berusaha sendiri Berusaha dibantu anggota RT Berusaha dengan buruh Buruh/karyawa n pemerintah Buruh/karyawan swasta Pekerja keluarga Jenis pekerjaan utama: Tenag a profesional Tenaga kepemimpinan & ketatalaksanaan 3.-Tenaga pelaksana dan tata usaha Tenaga penjualan 5,60 19,88 32,71 1,53 7,52 27,82 10,54 3,84 1,04 6,53 12,06 Tenaga usaha jasa 1. 2. 4. 3,10 50,21 10,93 1.03 2,17 0,49 48,21 6,59 2,86 14,80 0,97 2,15 4. 5. 6. 7. Tenaga usaha pertanian Tenaga produksi Tenaga operator Pekerja kasar 10. Lainnya Jumlah jam kerja: 0 2,85 73. MASALAH MIGRASI DAN SEKTOR INFORMAL Strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembang unan. Fakta menunjukkan sektor manufaktur yang modern hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang produktif. Dua macam sektor ekonomi yang sangat berbeda karakteristiknya sating berhadapan satu sama lain. Sektor p ertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial cenderung bersifat c anggih, yang banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional, di bimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan yang maksimal. Di dalam konteks m asyarakat sekarang ini sektor tersebut dikuasai oleh orang-orang bermodal besar (konglomerat) yang terutama berasal dari daerah metropolitan (kota-kota besar), di mana pusat kekuasaan pemerintahan dan 90

kegiatan ekonomi berada. Berhadapan dan terpisah dari sektor yang pertama, dijum pai sektor yang kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional , yang menurut teori ekonomi modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada sikapsikap konservatif, kurang menanggapi rangsangan-rangsangan internas ional dari kekuatan internasional, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan p erdagangan secara dinamis. Sebagian besar warganegara Indonesia hidup di dalam s ektor yang kedua ini (Nasikun,1989). Boeke (1930) menyatakan bahwa dualisme ekon omi timbul akibat adanya sebuah sektor dalam kegiatan ekonomi kolonial yang memb erikan perlawanan dari perembesan politik kolonial. Di dalam dualisme ekonomi, m asing-masing sektor memperlihatkan kejelasan karakteristiknya sendiri. Di satu p ihak, terdapat sektor yang berfungsi atas dasar prinsip-prinsip kapitalistik den gan hadirnya perusahaan dagang dan pabrik besar. Sedangkan di lain pihak, terdap at sektor yang dikuasai petani kecil dan para pengrajin dengan cirinya memiliki "mentalitas oriental" (Evers, 1991). Dewasa ini dualisme ekonomi timbul dari ada nya urbanisasi. Adapun urbanisasi adalah perpindahan penduduk desa yang menuju k ota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk yang tinggal di pe rkotaan. Dengan demikian, tingkat urbanisasi pada suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai besarnya proporsi penduduk perkotaan pada wilayah tersebut (BPS, 1997: bab IV). Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada 1961, penduduk perkotaan baru 15 persen, pada 1970 meningkat sediki t menjadi 17,4 persen, 1980 menjadi 22,27 persen, dan tingkat urbanisasi semakin cepat hingga 1990 mencapai 30,9 persen dan 1995 menjadi 35,9 persen. Tabel 7.8 menyajikan kecenderungan perubahan tingkat urbanisasi untuk masing masing propinsi s elama 1980-1995. Terlihat bahwa urbanisasi yang paling mencolok di DKI Jakarta, diikuti oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Adapun alasan melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, adalah: (1) perubahan status perkawinan dan ikut saud ara kandung/ famili lain sebesar 41,35 persen; (2) karena pekerjaan sebesar 39,6 5; (3) karena pendidikan sebesar 14,96 persen; dan (4) karena perumahan hanya 2, 57 persen dan lain lain 1,47 persen (BPS, 1997: h. 36, tabel 4.5). Bila dirinci menu rut propinsi, DKI Jakarta, yang merupakan tujuan utama para migran, ternyata ala san utama mereka adalah pekerjaan (59,58 persen), berarti orang desa melihat Jak arta lebih sebagai tempat mencari uang. Para migran yang tertarik ke DI Yogyakar ta umumnya 91

karena alasan pendidikan (51,64 persen). Ini berarti Yogyakarta merupakan tempat yang paling diminati oleh orang desa untuk tempat menuntut ilmu. Tabel 7.8 menu njukkan bahwa alasan utama yang paling banyak dikemukakan untuk seluruh propinsi adalah alasan keluarga (41,35 persen), yang diikuti oleh alasan pekerjaan (39,6 5 persen) dan pendidikan (14,96 persen). Perkembangan kota yang lebih cepat meng akibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Artinya, urbanisasi desa -kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Migrasi dari desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan kota. Tabel 7 .9 menunjukkan bahwa para migran dari desa menyumbang antara 35 persen hingga 60 persen pertumbuhan penduduk kota di banyak negara. Pendatang baru di kota karen a tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu nasibnya dengan berpartisipasi dala m kegiatan ekonomi kota sebagai self-employment yang akhir-akhir ini dikenal seb agai sektor informal. Sektor informal menurut Weeks, bukanlah merupakan sektor y ang memiliki sifat-sifat seperti sektor tradisional sepenuhnya yaitu sifat stati s, melainkan memiliki sifat dinamis, walaupun begitu sektor informal bisa dikata kan sebagai bagian dari sektor tradisional yang mempunyai pemahaman lebih luas ( Hidayat, 1978). Sektor informal, menurut Dipak Mazumbar (Bank Dunia), merupakan unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi secara resmi da ri pemerintah. Jadi untuk mengkategorikan suatu unit usaha ke dalam sektor infor mal perlu diperhatikan suatu kriteria bahwa selama bantuan/fasilitas yang disedi akan oleh pemerintah adalah yang digunakan sebagai ukuran, unit-unit usaha yang tidak dapat mempergunakan fasilitas itu dikelompokkan ke dalam sektor informal. Jadi kriteria accesibility terhadap suatu fasilitas yang disediakan oleh pemerin tah adalah yang digunakan sebagai ukuran. Dengan perkataan lain, bukan tersedian ya fasilitas yang penting, melainkan penggunaan fasilitas tersebut. Juga diartik an bahwa sektor informal ialah suatu unit usaha yang telah memperoleh bantuan ek onomi dari pemerintah, tetapi karena sesuatu hal unit usaha itu belum bisa berke mbang (Hidayat, 1978). Sementara itu International Labor Organization (ILO) meny atakan bahwa sektor informal terdiri dari unit usaha berskala kecil yang memprod uksi serta mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok untuk menciptaka n kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya masing-masing dan dalam usahanya itu sangat dibatasi oleh kapita, baik fisik, maupun manusia dan keterampilan (Se thuraman, 1981). Sektor informal adalah bag ian dari sistem ekonomi kota dan des a yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggu nakan bantuan 92

yang telah disediakan atau telah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari (Hidayat, 1983). Sektor informal di Indonesia, menurut Hidayat (1978), umumnya mempunyai ciriciri sebagai berikut : 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha t idak mempergunakan fasilitas/kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada um umnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur b aik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah kel uar masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-sektor. 6. 7. Teknologi yang digunaka n bersifat primitif. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala op erasi juga relatif kecil. 2. 3. 4. 5. 8. 9. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yan g diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya unit usaha t ermasuk golongan one-man-enterprises dan kalau mengerjakan buruh berasal dari ke luarga. 10. Sumber Jana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. 11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsu msikan oleh golongan masyarakat kota/desa yang berpenghasilan rendah, tetapi kad ang-kadang juga yang berpenghasilan menengah. Sektor informal sangat perlu dikem bangkan lebih lanjut dan dibina dengan balk. Adapun alasan-alasan perlu dikemban gkannya sektor informal, menurut Todaro (1994), adalah sebagai berikut: 1. Sektor informal menghasilkan surplus, meskipun berada dalam suatu lingkungan keb ijaksanaan yang memusuhinya, yang menolaknya untuk mendapatkan kemudahan terhada p keuntungan-keuntungan yang ditawarkan kepada sektor informal. 1. Sebagai akibat dari rendahnya intensitas penggunaan kapital, hanya sebagian keci l saja dari kapital yang diperlukan di sektor formal diperlukan untuk mempekerja kan seseorang di sektor informal. 2. Menyediakan kesempatan kerja untuk mendapatkan latihan dan magang dengan biaya y ang jauh lebih rendah daripada yang disediakan oleh lembaga-lembaga formal dan s ektor formal. 1. Sektor informal membutuhkan tenaga yang tidak memiliki keterampilan atau cukup h anya setengah terampil saja yang penawarannya semakin meningkat dan penawaran 93

tersebut mustahil akan diserap oleh sektor formal yang sifat permintaannya lebih banyak membutuhkan tingkat yang berketerampilan. 1. Sektor informal mungkin akan dapat menggunakan teknologi tepat guna dan memanfaa tkan sumber daya setempat yang tersedia yang memungkinkan alokasi sumber daya da pat dilaksanakan secara lebih efisien. 2. Sektor informal memainkan peranan yang penting dalam mendaurulangkan barangbaran g buangan. Hasil studi di berbagai tempat memperlihatkan Jaya serap kesempatan k erja yang terjadi di sektor informal (lihat Tabel 10.10). Sebenarnya sektor informal juga sangat membantu kepentingan masyarakat, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan den gan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau dengan kata lain menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja. Selain itu juga menyediakan ke butuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. BACAAN YANG DIANJURKAN Ananta, Ar is dab Evi Nurvidya Anwar, "Analisis Demografis Perekonomian Indonesia Menjelang 2005: Beberapa Butir Pemikiran", dalam Mari Pangestu dan Ira Setiati (penyuntin g), Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta, 1997. Bintarto, R., Urbanisasi dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Biro Pusat Statistik, Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Jakarta, Maret 1994. __________ ___, lndikator Sosial Wanita Indonesia 1994, Jakarta, Janurari 1996. _Perpindaha n Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia: Hasil Survei Penduduk Antar , Sensus (SU PAS) 1995, Seri S4, Jakarta, 1997. Effendi, Tadjuddin Noor, "Pasar Bebas, Peluan g Kerja, dan Mobilitas Pekerja", makalah dalam Diskusi Panel Ahli GBHN, PPE Faku ltas Ekonomi Ull, Hotel Radisson, Yogyakarta, 23 Juni 1997. Evers, Hans-Dieter, "Ekonomi Bayangan, Produksi Sub-sisten dan Sektor Informal", Prisma, 5 Mei 1991, hal. 21-30. Hidayat, "Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia", Ek onomi Keuangan Indonesia, Vol. XXVI, No. 4, Desember, 1978. __, "Sektor Informal dalam Struktur Ekonomi", Profit Indonesia, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1979. _"Definisi, Kriteria, dan Konsep Sektor Informal : Sumbangan Pemikiran Unt uk Repelita , 94

IV", Analisa, tahun XII, No.7, 1983. Korten, David C., "Social Development: Putt ing People First", dalam David C. Korten dan Felipe B. Alfonso (eds.), Bureaucra cy and the Poor, McGraw Hil International Book Company, Singapura, 1981. Manning , Chris, dan Tadjuddin Noer Effendi (Ed.), 1991, Urbanisasi, Pengangguran, dan S ektor Informal di Kota, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991. Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic Development, edisi ke-6, Oxford University Press, Ox ford, 1995, bab VI. Nasikun, 1989, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Penerbit C .V. Rajawali. Oey Gardiner, Mayling, "Ledakan Pendidikan Tinggi Hingga Akhir PJPT II ", dalam Mari Pangestu dan Ira Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru Pemb angunan Indonesia, CSIS, Jakarta, 1997. Sethuraman, S.U., The Urban Informal Sec tor in Developing Countries, ILO, Geneva, 1981. Singarimbun, Masri, Penduduk dan Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. 95

BAB VIII PEMBIAYAAN PEMBANGUAN INDONESIA DAN UTANG LUAR NEGERI Sebagian besar NS B menutup kesenjangan investasi-tabungan dan kesenjangan devisa dengan mengundan g modal asing. Bab ini akan dibuka dengan menyimak kontroversi di seputar perana n modal asing dalam pembangunan. Dilanjutkan dengan penelusuran motivasi negara donor menyalurkan modal asing ke NSB. Diskusi menarik tentunya adalah mengkaji s umber dan struktur pembiayaan pembangunan Indonesia. Bagaimanakah beban utang lu ar negeri Indonesia menjelang akhir abad ke-21? 8.1. MODAL ASING DALAM PEMBANGUN AN Sejarah mencatat, negara yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri yang cuku p untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, umumnya menutup kesenjangan pembiayaan de ngan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila mengalir arus modal dari negara industri ke negara sedang berkembang (N SB).1 Keseluruhan arus modal asing, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7.1, dap at dibagi dalam modal yang tidak dan yang harus dibayar kembali (Pattisiana, 198 2: h. 881899). Dalam kelompok arus modal yang pertama biasanya mengalir modal da ri sektor pemerintah negara industri ke sektor yang sama di NSB, tanpa suatu eks por modal balasan dari negara tersebut. Sebaliknya dalam kelompok arus 96

97

Ekonomi Pembangunan modal yang harus dibayar kembali terdapat arus batik berupa ekspor modal dari NSB, tergantung dari sumber arus modal tersebut, apakah ke sek tor pemerintah atau swasta di negara industri. Yang pertama tadi meliputi penger tian kredit dan pembiayaan dari proyekproyek pembangunan, yang terakhir adalah m engenai investasi langsung, investasi portfolio dan kredit ekspor. 8.1.1. Aliran Modal ke Sektor Pemerintah Berdasarkan sifatnya, arus modal asing yang harus di bayar kembali juga disebut tabungan luar negeri. Tabungan luar negeri meliputi t abungan resmi ke sektor pemerintah (official savings) dan tabungan swasta (priva te savings) (Gillis, 1983: h. 365-366). Sebagian besar tabungan resmi berwujud k onsesional. Artinya dapat , berupa hibah (grants) atau pinjaman lunak (soft loan s), yang biasanya berbunga rendah dengan jangka waktu pengembalian yang lebih la ma. Aliran konsesional ini secara teknis disebut bantuan pembangunan resmi (ODA= Official Development Assistance), namun lebih populer disebut bantun luar neger i (foreign aid). Oleh karena bantuan luar negeri banyak yang harus dibayar kemba li maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank Dunia (1992) mengklasifikas ikan total utang luar negeri menjadi: utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan penggunaan kredit IMF (Iihat Gambar 12.2). Utang jangka pendek adalah utang dengan jatuh tempo satu tahun atau kurang. Utang jangka panjang umumnya berjang ka waktu lebih dari satu tahun. Penggunaan kredit IMF merupakan kewajiban yang d apat dibeli kembali (repurchase obligations) atas semua penggunaan fasilitas IMF . Utang yang berjangka panjang dapat dirinci menurut jenis utangnya, yaitu: utan g swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah (private nonguaranteed debt), utang pemerintah, dan utang swasta yang dijamin oleh pemerintah (public and publicly g uaranteed debt). Utang swasta yang nonguaranteed debt adalah utang yang dilakuka n oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin oleh institusi pemer intah. Di lain pihak, utang pemerintah adalah utang yang dilakukan oleh suatu in stitusi pemerintah, termasuk pemerintah pusat, departemen, dan lembaga pemerinta h yang otonom. Utang yang publicly guaranteed merupakan utang yang dilakukan swa sta namun dijamin pembayarannya oleh suatu lembaga pemerintah. Bagi kebanyakan N SB, jenis utang yang public and publicly guaranteed yang perlu lebih mendapat pe rhatian karena apabila NSB tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka peme rintah negara tersebutlah yang menanggung akibatnya. Risiko ini tidak dijumpai u ntuk kategori utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah, karena swastalah yang harus menanggung akibatnya. 98

Utang yang tergolong public and publicly guaranteed dapat dirinci menurut kredit urnya. Selama ini kreditur (pihak yang memberikan utang) dapat berasal dari sumb er resmi maupun swasta. Utang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi: (1) pinjaman bilateral, yaitu pinjaman antarpemerintah dan lembaga peme rintah (termasuk bank sentral), misalnya bantuan pemerintah Jepang kepada pemeri ntah Indonesia; dan (2) pinjaman multilateral, yaitu pinjaman dan kredit dari le mbaga keuangan internasional seperti PBB, Bank Dunia, CGI (dulu IGGI), bank-bank pembangunan regional, yang diberikan/dipinjamkan ke NSB. Utang luar negeri yang berasal dari kreditur swasta bisa pula berwujud pinjaman dari bank-bank komersi al, obligasi, dan lain-lain. Pinjaman dari bank-bank komersial adalah pinjaman d ari bank-bank swasta dan lembaga keuangan swasta lainnya. Obligasi dikeluarkan o leh lembaga pemerintah maupun swasta. Bentuk lain adalah kredit dari perusahaan manufaktur, eksportir, dan pemasok barang lainnya, serta kredit bank yang ditutu p dengan jaminan lembaga kredit ekspor. Gambar 8.2. Stok Utang Luar Negeri dan K omponen-komponennya 8.1.2. AlIran Modal ke Sektor Swasta Tabungan swasta asing terdiri atas empat ko mponen. Pertama, investasi langsung (PMA) oleh penduduk atau perusahaan asing. P MA tidak selalu dilakukan oleh perusahaan transnasional. Yang pasti, PMA selalu berupa kontrol penuh atau parsial melalui partisipasi 99

dalam modal dan manajemen. Kedua, investasi portfolio, investasi keuangan yang d ilakukan di luar negeri. Investor membeli utang atau ekuitas, dengan harapan men dapat manfaat finansial dari investasi tersebut. Waktu dan besarnya laba dapat d itentukan sebelumnya berdasarkan atas besarnya bunga yang diperoleh. Bentuk inve stasi portofolio yang sering ditemui adalah pembelian obligasi/ saham dalam nege ri oleh orang/perusahaan asing, tanpa kontrol manajemen. Ketiga, pinjaman dari d ari bank komersial (commercial bank lending) kepada pemerintah dan perusahaan NS B. Keempat, kredit ekspor, yaitu penundaan pembayaran untuk impor. Dengan kata l ain, kredit ekspor merupakan pembiayaan muka dari arus barangbarang yang ditawar kan oleh eksportir dan bank-bank komersialnya ke negara pengimpor sebagai salah satu cara promosi penjualan. Selama 1977-1983, dari 18 negara, negara-negara ind ustri baru (NIB) dan negaranegara Asia Tenggara tercatat berhasil menarik hampir 95 persen dari arus investasi asing (PMA), sementara negara-negara di Asia Sela tan dan Pasifik Selatan hanya memperoleh sisanya (Rana, 1987: tabel 1 dan2). Fak tor utama yang menarik PMA ke NIB dan Asia Tenggara adalah kinerja ekonomi yang dinamis seperti tingginya pertumbuhan PDB, melimpahnya minyak dan sumber daya al am lain (Indonesia dan Malaysia), pasar domestik yang relatif luas (Indonesia, F ilipina, Thailand), serta kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan ekspor pr oduk pengolahan (Hongkong, Rep. Korea, Singapura). Rendahnya aliran modal ke neg ara Asia Selatan dan Pasifik Selatan mencerminkan rendahnya kinerja ekonomi, lem ahnya infrastruktur, dan relatif sedikitnya sumber daya alam dan manusia. Kajian yang dilakukan oleh Rana (1987) memperlihatkan, peringkatan tertinggi pangsa PM A terhadap total arus modal asing dipegang NIB dan negara-negara Asia Tenggara, masing-masing sekitar 32 persen dan 16 persen, yang kemudian diikuti kelompok Pa sifik Selatan (8 persen) dan Asia Selatan (1 persen). PMA memainkan peran yang p enting di Hongkong dan Singapuia (lebih dari setengah hingga 2/3 dari total moda l asing), sementara di Indonesia dan Taiwan pangsanya sekitar seperempat dari to tal modal asing. Data ini juga memperlihatkan, masih kecilnya PMA dalam pembentu kan modal domestik bruto. 8.1.3. Polemik Mengenal Modal Asing Peranan modal asin g dalam pembangunan telah lama diperbincangkan oleh para ahli ekonomi pembanguna n. Secara garis besar, pemikiran mereka sebagai berikut (Chenery dan Carter, 197 3; h.459-68). Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan ol eh NSB sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perubahan struktur prod uksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam 100

mobillisasi dana maupun transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal a sing menjadi menurun segara setelah perubahan struktural benar-benar terjadi (me skipun modal asing di masa selanjutnya lebih produktif). Studi empiris mengenai dampak modal asing terhadap pertumbuhan umumnya difokuskan dengan mengestimasi f ungsi produksi Neo-Klasik, yang menggambarkan bagaimana pertumbuhan ekonomi dite ntukan oleh akumulasi faktor-faktor produksi, seperti modal dan tenaga kerja. Fa ktor-faktor produksi ini selanjutnya dapat dipisah menurut asalnya, dalam negeri atau luar negeri. Hasil studi secara umum memberikan indikasi bahwa arus masuk modal asing telah menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di NSB kawasan Asia dan Pasifik ( Dowling dan Hiemenz, 1983). Asumsi dasar yang melata rbelakangi pemikiran tersebut adalah bahwa setiap satu dollar modal asing akan m engakibatkan kenaikan satu dollar impor dan investasi (Papanek, 1972: h. 934). D engan asumsi ini dan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang stabil. dimung kinkan untuk menghitung dampak modal asing yang masuk terhadap pertumbuhan ekono mi. Atau sebaliknya, dapat dihitung berapa modal asing yang diperlukan untuk men capai target pertumbuhan ekonomi tertentu. Pemikiran yang mendukung bahwa modal asing berpengaruh positif terhadap tabungan domestik dan pembiayaan impor, menda pat banyak tentangan dari kubu ahli ekonomi pembangunan yang lain.' Mereka berke simpulan, hanya sebagian kecil modal asing berpengaruh positif terhadap tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi, sementara sebagian besar digunakan untuk mena mbah konsumsi. Para penganut teori ketergantungan (dependencia) sependapat denga n kesimpulan para penentang di atas. Samir Amin, Paul Baran, Cardoso, Gunder Fra nk, Prebisch, Dos Santos adalah nama-nama yang sering disebut sebagai pendukung utama teori ketergantungan.3 Hipotetis utama teori ketergantungan adalah: (a) PM A dan bantuan luar negeri dalam jangka pendek memperbesar pertumbuhan ekonomi, n amun dalam jangka panjang (5-20 tahun) menghambat pertumbuhan ekonomi; (b) makin banyak negara bergantung pada PMA dan bantuan luar negeri makin besar perbedaan penghasilan dan pada gilirannya pemerintah tidak tercapai. Lepas dari perbedaan visi dan hipotesis pendukung teori dependencia dan NeoKlasik, ada beberapa cata tan yang kiranya menarik untuk diperhatikan dalam setiap studi mengenai dampak a rus modal asing; (a) studi-studi terdahulu umumnya tidak memasukkan faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi selain modal asing, seperti kinerja ekspor, laju pertumbuhan angkatan kerja, sistem perpajakan, tingkat dan struktur 101

tabungan; (b) studi-studi yang pernah dilakukan tidak berhasil menunjukkan hubun gan dua arah antara tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi. Berangkat dari du a kelemahan utama inilah, Rana dan Dowling (1988) mencoba menyusun suatu model k omprehensif berdasarkan sistem persamaan simultan, untuk menulusur dampak arus m asuk modal asing dibandingkan ekspor, pertumbuhan angkatan kerja, sekaligus menu njukkan hubungan timbal batik antara pertumbuhan ekonomi dan tabungan domestik. Model ini telah diuji untuk menelusur dampak arus modal asing di sembilan negara Asia (Myanmar, RRC, India, Republik Korea, Nepal, Filipina, Singapura, Sri Lank a, Thailand). Keunikan model mereka adalah kemampuannya untuk memisahkan dampak langsung dan dampak total modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuh an domestik. 8.2. MOTIVASI NEGARA DONOR Mungkin pertanyaan yang muncul adalah ap a yang mendorong negara donor atau pinjaman luar negeri ? Menurut pengalaman di banyak negara, sebagaimana disimpulkan oleh Ruttan (1989), setidaknya ada dua al asan yang melatarbelakangi negara donor bersedia memberikan bantuan: Pertama, di landasi kepentingan ekonomi dan strategis. Kedua, dilandasi tanggung jawab moral dari penduduk negara kaya kepada penduduk negara miskin. Bagi negara donor, pem berian bantuan akan memperkuat ikatan keuangan antara negara donor dengan negara penerima bantuan. Misalnya, pembangunan infrastruktur seperti jaringan transpor tasi dan instalasi listrik di NSB akan menimbulkan permintaan akan peralatan bar u, setidaknya mengganti peralatan yang telah usang dari negara donor. Hal sepert i ini sering dijumpai pada bantuan-bantuan yang bersifat mengikat (tied aid). Ha mpir senada dengan itu, bantuan teknis untuk pembangunan penggilingan gandum dan industri pengolah bibit sering ditafsirkan sebagai peningkatan permintaan akan pangan dan bibit dari negara donor. Dengan kata lain, di satu sisi, bantuan luar negeri dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, di sisi l ain juga menimbulkan dampak perluasan permintaan barang dan jasa dari negara don or. hal yang terakhir ini terbukti dari tingginya elastisitas permintaan akan im por barang dan jasa dari negara donor. Dari sudut kepentingan politik dan geostr ategik nampaknya tidak perlu diragukan. Keadaan ini terlihat, misalnya, bantuan pangan dan kerjasama ekonomi Amerika Serikat merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dengan kebijakan luar negerinya. Rencana Marshall, yang membantu pr ogram pembangunan kembali Eropa Barat dan Jepang setelah 102

Perang Dunia II, merupakan contoh betapa kentalnya kepentingan politik dan strat egis untuk menangkis ekspansi ideologi komunis. Tanggung jawab moral negara kaya kepada negara miskin dilandasi premis bahwa interdependensi ekonomi dan politik internasional berarti memperluas keadilan sosial dari lingkup nasional ke inter nasional. Hal ini tercermin dari bantuan kepada negara berkembang yang harus dit ujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) bagi sebagian besar rakyatny a, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengangkat mereka dari jurang kemiskina n. Meskipun demikian, diterimanya argumen ini tidak berarti menjawab pertanyaan: sampai seberapa jauh bantuan luar negeri itu efektif dan menyentuh kelompok sas aran? 8.3. SUMBER-SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INDONESIA Minyak bumf, bantuan luar ne geri dan perekonomian Indonesia ibarat segi tiga sama sisi dalam masa Orde Baru, yang ketiganya bertalian secara erat dan berhubungan satu sama lain. Pada empat tahun pertama Pelita I, bantuan luar negeri adalah sumber utama pembiayaan pemb angunan, namun posisi tersebut berubah setelah adanya oil boom pada awal 1974. S elepas 1973 penerimaan dari ekspor minyak dan gas menjadi begitu dominan sebagai sumber penerimaan devisa, mencapai di atas 60 persen. Arus masuk modal asing me ncapai sekitar seperempat penerimaan devisa sebelum 1973. Selama 1973-1981 arus modal asing ini menyumbang 10 persen penerimaan devisa. 8.3.1. Ekspor Sebagai pe nganut sistem ekonomi terbuka, lalu lintas perdagangan internasional berperanan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Seberapa jauh peran per dagangan luar negeri terlihat dari rasio antara ekspor ditambah impor terhadap P DB, yang hanya 19,6 persen pada 1969 menjadi 42,7 persen pada 1984. Sementara pe ranan ekspor terhadap PDB melonjak dari 10,2 persen pada 1969 menjadi 26,1 perse n pada 1984. Pada dasawarsa 1970-an, ekspor nonmigas merupakan sumber utama pene rimaan devisa Indonesia, yang menyumbang hampir 80 persen dari penerimaan ekspor . Adanya lonjakan harga minyak yang pertama 1974, telah mengubah profit ekspor s ecara drastis. Meskipun ekspor nonmigas meningkat dua kali lipat nilainya selama 1971-1975, pangsanya dalam total ekspor menurun menjadi sekitar 25 persen. Seja k itu, situasi ekonomi Indonesia dan prospeknya demikian terikat dengan perkemba ngan pasar minyak. Peran migas sebagai sumber penerimaan negara belangsung hingg a 1981. Setelah 1981 103

kontribusi migas mulai menurun hingga 1985 menjadi 68,8 persen dari total ekspor . Di lain pihak, peranan ekspor nonmigas kembali meningkat akibat menurunnya har ga minyak dan volume produksi. Pada 1985, ekspor non migas meningkat lebih dari 31 persen dari total penerimaan ekspor. 8.3.2. Bantuan Luar Negeri Di masa awal Orde Baru , para penentu kebijakan menghadapi kelangkaan modal dan sumber pembia yaan pembangunan. Tabungan domestik waktu itu begitu rendah dan tidak dapat diha rapkan meningkat dalam waktu singkat. Jalan keluarnya adalah pembiayaan pembangu nan dari sumber-sumber luar negeri, dalam bentuk bantuan luar negeri dan PMA. Ta k pelak lagi, mengalirlah bantuan luar negeri, dalam bentuk pinjaman lunak (loan ) dan hibah, dan investasi asing ke Indonesia. Dalam neraca pembayaran, bantuan luar negeri tercatat sebagai pemasukan modal pemerintah, sedang investasi asing dimasukkan sebagai pemasukan modal swasta. Pada umumnya transaksi berjalan selal u defisit, kecuali 1979/1980 dan 1980/ 1981. Defisit tersebut ditutup dengan pem asukan modal pemerintah dan pemasukan modal swasta (apabila bernilai positif). B antuan luar negeri juga digunakan untuk menutup defisit anggaran negara (APBN). Dengan demikian, tersedianya bantuan serta pinjaman luar negeri dan meningkatnya pajak perseroan migas telah sekaligus membantu untuk menutup ketiga defisit/ ke senjangan ekonomi Indonesia, yaitu kesenjangan antara pengeluaran investasi deng an tabungan swasta nasional, defisit anggaran negara, serta defisit neraca pemba yaran luar negeri (Nasution, 1989). Bps (1996) memperlihatkan perkembangan nerac a pembayaran Indonesia selama 1979/1980-1995/1996. Sejarah neraca pembayaran Ind onesia mencatat bahwa: (1) Neraca perdagangan Indonesia selalu surplus dari tahu n ke tahun, artinya ekspor barang lebih banyak dibanding impor barang; (2) Nerac a transaksi berjalan umumnya defisit (kecuali 1979/1990 dan 1980/81) akibat defi sit pada transaksi jasa, artinya ekspor jasa lebih kecil dibanding impor jasa; ( 3) Neraca modal umumnya positif (surplus) berarti arus modal asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak dibanding arus modal yang keluar. Terlihat bahwa modal a sing, yang dicatat dalam pos neraca modal, telah berperanan dalam menutup defisi t transaksi berjalan Indonesia selama ini. Ditinjau dari macamnya, bantuan luar negeri yang masuk ke Indonesia berupa:5 Pertama, bantuan program yang terdiri at as bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Penjualan devisa serta komoditi pan gan dan nonpangan yang dari bantuan program dipergunakan untuk mencapai sasaran stabilisasi ekonomi jangka pendek, baik untuk mengendalikan inflasi maupun stabi lisasi kurs Rupiah. Hasil penjualan tersebut setelah 104

dikurangi biaya pemasaran, merupakan penerimaan pemerintah dari bantuan program. Kedua, bantuan proyekdengan syarat-syarat pelunasan yang lunak digunakan untuk pembiayaan berbagai proyek prasarana di bidang ekonomi dan sosial. Sebagian dari bantuan proyek ini merupakan jasa konsultan dan tenaga teknisi yang membantu me rencanakan dan melaksanakan pembangunan proyek. Ketiga, pinjaman setengah lunak dan komersial, termasuk di dalamnya kredit ekspor. Keempat, pinjaman tunaiberupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank. 8.3. Investasi Asing (PMA) S elama periode yang diamati, Indonesia telah menjadi importir modal. Arus masuk m odal asing (net capital inflows) meningkat dari hampir 300 juta dollar AS per ta hun pada akhir 1960-an hingga lebih dari 3 milyar dollar AS pada 1984. Hanya ter jadi satu kali arus modal keluar (net capital outflow) pada 1975 seining dengan adanya krisis Pertamina. PMA tercatat sedikit di atas 10 persen dari anus total, namun dalam beberapa tahun, terutama awal Pelita I, pangsanya hampir 1/3 dari a nus total. Pada umumnya, porsi terbesar PMA dialokasikan di sektor pertambangan dan minyak, sedang peringkat kedua di sektor manufaktur (Hill, 1988: h. 81). Sel ama periode 1967-1985 sektor migas menerima 78 persen dari investasi total, seme ntara di sektor manufaktur hampir mencapai 20 persen. Investasi di sektor pertan ian dan jasa relatif sangat kecil karena dibatasinya kiprah modal asing di sekto r ini. 8.3.4. Tabungan Domestik Tabungan domestik diperoleh dari sektor pemerint ah dan sektor masyarakat. Tabungan pemerintah yang dimaksud adalah tabungan peme rintah dalam APBN, yang merupakan selisih antara pen erimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Tabungan masyarakat merupakan akumulasi dari Tabanas, Taska dan Deposito Berjangka. Tabungan ini dibutuhkan untuk membiayai investasi. Kesen jangan antara tabungan dengan investasi (saving-investment gap) ditutup dengan m asuknya anus_ modal asing ke sektor pemerintah maupun swasta. Perkembangan tabun gan, investasi, dan savinginvestment gap sebagai proporsi terhadap PDB disajikan dalam Tabel 12.2. Secara umum saving-investment gap nilainya negatif. Namun bil a ditelusur lebih dalam sumber defisitnya berasal dari sektor swasta dan BUMN. P emerintah pusat nampaknya selalu dapat membiayai investasinya dari tabungan peme rintah. Tabel 8.2. Investasi, Tabungan, dan Saving-Investment Gap: 1994-1997 (pe rsentase terhadap PDB) 105

1094 Investasi Bruto Tabungan Nasional Bruto Saving-Investment Gap Pemerintah Pu sat Investasi Bruto Tabungan Pemerintah Saving-Investment Gap Sektor Swasta Dan BUMN Investasi Bruto Tabungan 20.6 18.5 9.7 9.9 0.3 30.3 28.4 -1.9 1995 31.3 28.2 -3.1 9.5 10.0 0.5 21.8 18.2 1996 33.0 29.1 -3.8 9.5 11.0 1.5 23.5 18.2 1997 34.5 30.2 -4.3 9.4 11.9 2.5 25.1 18.3 8.4. STRUKTUR PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Potret pembangunan Indonesia agaknya dapat dilukiskan sebagai:"tangannya bergelantungan pada bantuan luar negeri, sedang ka kinya berpijak pada minyak". Tak dapat dipungkiri bahwa bantuan luar negeri tela h berfungsi sebagai injeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup de fisit anggaran pembangunan dan defisit neraca pembayaran. Tabel 12.3 menunjukkan struktur pembiayaan pembangunan di mana peranan bantuan luar negeri pernah menc apai Iebih dari 50 persen pada Pelita I dan IV. Kendati peranan bantuan luar neg eri semakin menurun pada tahun-tahun terakhir ini, persentasenya masih di atas 3 5 persen. Bahwa bantuan luar negeri di Indonesia telah berperanan penting dalam menutup defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan kiranya tidak perlu dipe rdebatkan lagi. Boleh dikata dengan injeksi bantuan ini Indonesia telah dapat me mpercepat laju pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan sementara, Indonesia mengalami fenomena debt-led growth. Sepanjang bantuan tersebut efektif dan tidak menjadi beban nampaknya tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun pada dasawarsa 1980-an , agaknya cicilan pokok pinjaman harus mulai dibayar karena sudah jatuh tempo. A kibatnya, sejak tahun fiskal 1987/1988 total cicilan utang berikut bunganya menj adi lebih besar dibanding pinjaman baru setiap tahunnya. Hal inilah yang banyak dituding oleh para pengamat sebagai net resource transfers yang negatif. In' bel um termasuk pelarian modal ke luar negeri. Sebuah penelitian memperkirakan nilai pelarian modal dari Indonesia secara akumulatif dari 1970-1987 mencapai US$ 11 milyar, atau kurang lebih sekitar sepertiga nilai utang luar negeri pada akhir 1 987 (Mahyuddin, 1989). 106

Bagi Indonesia, bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada. Nam un, dibanding negara-negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban utang Indonesia masih relatif lebih ringan. Kendati debt service ratio (DSR), perband ingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4 persen hin gga 40,7 persen selama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisa dibandingkan deng an negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnya melebihi penerimaa n ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahun terakhir sampai 1 990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman baru dan karena perubah an nilai tukar dollar AS terhadap Yen dan Mark Jerman; sedangkan meningkatnya DS R karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjloknya harga minyak bumf dan ko moditi primer lain, serta currency realignment (Djojohadikusumo, 1990). 8.5. DIL EMA MEMELIHARA MOMENTUM PEMBANGUNAN Konsekuensi logis dari komitmen membayar bun ga dan cicilan utang adalah semakin rampingnya konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah. Tidak mengherankan, bila belakangan kita mengenal berbagai kebijaka n yang bernada expenditure reducing, seperti kebijakan uang ketat, penurunan pen geluaran pembangunan, dan penangguhan proyekproyek mega sebagai bagian integral dari penyesuaian struktural.6 Permasalahan tradeoff antara kepatuhan membayar ut ang dan desakan membatasi pengeluaran dalam negeri diperkirakan akan semakin men cuat ke permukaan sebagai salah satu isu sentral di masa mendatang. Susahnya, ba nyak pengamat yang hanya membicarakan berapa bantuan luar negeri yang berhasil d icairkan tahun ini. Media massa pun, tidak ketinggalan, setiap selesai sidang CG I (dulu IGGI) selalu memberitakan di halaman muka dengan komentar klise bahwa In donesia perlu bersyukur karena masih dipercaya oleh negaranegara donor. Bahwa ak umulasi dan beban utang luar negeri kita semakin menjurus pada growth-led debt a tau masuk dalam perangkap utang (debt trap) jarang dipersoalkan. Padahal proyeks i utang luar negeri pada BPS (1996) menunjukkan bahwa fenomena growth-led debt b ukannya tidak mustahil akan menjadi kenyataan. Tanpa bermaksud mempertanyakan ha sil-hasil pembangunan yang telah kita capai, nampaknya semakin mendesak untuk di pikirkan manajemen bantuan luar negeri dalam jangka menengah dan panjang.7 Defis it transaksi berjalan yang terus menerus, terutama pada beberapa tahun terakhir ini, dan kebutuhan menjaga cadangan devisa pada tingkat yang aman nampaknya meme rlukan masuknya modal dari luar yang lebih tinggi. Kebutuhan akan modal asing me nunjukkan indikasi adanya kecenderungan meningkatnya arus masuk modal asing-- ba ik berupa bantuan LN 107

secara resmi namun juga investasi asing langsung dan pinjaman luar negeri ke sek tor swasta-- hingga 2001. 8.6. SUDAHKAH INDIKATOR UTANG LN MENCAPAI OVERBORROWIN G? Kita harus mewaspadai bahwa indikator beban utang LN (Luar Negeri) Indonesia sudah menunjukkan sampai pada taraf overborrowing. Data dari World Debt Tables m enunjukkan bahwa indikator beban utang LN, yaitu DSR, DER, dan DGNP, telah meleb ihi batas yang dianggap aman, yang masing-masing 20 persen, 200 persen, dan 40 p ersen (lihat Tabel 12.5). DSR (debt service ratio), yang merupakan rasio antara pembayaran bungadan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor, masih bertengger p ada angka di atas 31 persen sejak 1986. DER (debt export ratio), yaitu rasio ant ara total utang LN dengan penerimaan ekspor, selalu di atas 200 persen sejak 198 6. Demikian juga, dengan DGNP (debt GNP ratio), yang merupakan rasio antara utan g LN total terhadap Produk Nasional Bruto, telah di atas 40 persen bahkan sejak 1985. Dari sisi total utang, Indonesia menduduki peringkat keempat di antara neg ara pengutang terbesar di dunia, dan mendapat "medali perak" di Asia sebagai neg ara pengutang terbesar.8 Berapakah utang LN yang ditanggung oleh setiap penduduk Indonesia? Pada 1993 saja, menurut catatan World Development Report 1995, bantu an LN bersih (net disbursement of ODA from all sources) per kapita untuk Indones ia sebesar US$ 10,8. Berarti masih di bawah Chile (US$13,3), Korea (US$21,9), Co sta Rica (US$30,1), Peru (US$24,5), Bolivia (US$80,6), namun melebihi Meksiko (U S$4,5), Brazil (US$1,5), dan Argentina (US$8,4). Dalam konstelasi semacam ini, p ertanyaan yang muncul adalah: apakah Indonesia akan mengalami krisis utang LN (m asuk dalam debt trap), ataukah tetap mampu mempertahankan momentum pembangunan? Saat ini, agaknya perlu dipikirkan manajemen utang yang mampu meredam gejolak pe rubahan nilai tukar mata uang negara donor utama. Tabel 12.6 memperlihatkan bahw a selama ini utang luar negeri Indonesia didenominasi dalam dollar AS dan Yen Je pang. Apresiasi mata uang Yen terhadap dollar AS (terkenal dengan yendaka) diper kirakan menyebabkan melonjaknya kewajiban pembayaran utang kita sebesar US$ 18,6 milyar antara 1981 hingga pertengahan 1995. Kerugian akibat foreign exchange ex posure bisa dihindari dengan tindakan hedging, balk dengan: (1) melakukan curren cy swap atas utang dalam yen dengan utang dalam dollar; (2) membeli kontrak forw ard ataupun currency option.9 Dengan cara ini nilai tukar dapat diproteksi terha dap risiko fluktuasi mata uang negara donor. 108

Selain itu, strategi pinjam-meminjam yang prudent perlu memperhitungkan ketidakp astian akan kejutan eksternal yang berdampak kurang menguntungkan. Pada dasawars a 1990-an, ada kecenderungan kuat bahwa bantuan dari sumber-sumber resmi (ODA) s emakin sulit diperoleh. Sementara pada waktu yang sama, dunia usaha dan perbanka n kita semakin gencar mencari pinjaman off-shore. Bila kecenderungan ini berlang sung terus di masa mendatang, akibat arus globalisasi dan gelombang deregulasi, maka perekonomian kita semakin "responsif" terhadap apa yang terjadi di dunia in ternasional. Pelajaran dari krisis utang 1980-an menunjukkan, biaya Jana pinjama n yang tadinya kelihatan murah bisa berubah menjadi mahal bila suku bunga pasar tiba-tiba melonjak. Hal ini mungkin saja terjadi karena pola pinjaman off-shore yang paling banyak dimanfaatkan berupa obligasi dengan tingkat bunga mengambang dan fasilitas revolving credit. Langkah ini bisa dikombinasikan dengan usulan un tuk melakukan debt-intoequity swaps, khususnya untuk hutan tropis kita, sebagai mekanisme untuk mengurangi beban utang sekaligus instrumen konservasi hutan trop is. Sebagai Ketua Gerakan Non-Blok ditambah struktur utang kita yang terutama be rsumber dari pinjaman multilateral dan bilateral, langkah lewat jalur diplomasi ini agaknya merupakan agenda strategis yang sayang untuk dilewatkan. Tidak berle bihan apabila ada yang mempertanyakan: sampai kapan Indonesia *an bergantung pad a Jana dari luar negeri? Apakah bantuan luar negeri semata*Rata hanya injeksi (s ementara), ataukah sudah menjadi semacam infus (kebutuhan yang tidak bisa dihent ikan untuk menjaga momentum pembangunan) ? Bagaimana dengan amanat GBHN yang men yatakan bahwa bantuan luar negeri hanya sebagai aeiengkap dan bersifat sementara ? Apabila komitmen terhadap GBHN tetap dipertahankan, yaitu bahwa bantuan tsar n egeri hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara, maka upaya mobilisasi Ana dari dalam negeri merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar. Untuk itu dituntut fad* hanya inisiatif pemerintah namun juga partisipasi seluruh lapisan masyaraka t dalam pembiayaan pembangunan, balk lewat mobilisasi tabungan domestik, aerpaja kan, maupun gerakan swadana. Gerakan tabungan nasional, intensifikasi dan eksten sifikasi perpajakan, dan penjualan saham BUMN, merupakan bukti betapa oemerintah sudah menyadari pentingnya Iangkah ini. Kalau usulan-usulan langkah strategis i ni diterapkan secara intensif dan simultan, "rtsya Allah, tiada lagi ungkapan:"H abis Bantuan Terbitlah Utang". Namun, sebaliknya dengan bangga mengatakan: "Habi s Bantuan Terbitlah 109

Kemandirian". Setidaknya ada lima faktor kunci yang menentukan arah utang LN Ind onesia di masa mendatang, yaitu: arah kebijakan ekonomi pemerintah, pertumbuhan utang swasta, pertumbuhan utang sektor publik dan quasi-public, komposisi mata u ang dari kewajiban utang, dan pertumbuhan tabungan domestik (Radelet, 1995). Har us diakui, inilah sumber dilema utang luar negeri, sekaligus dilema memelihara m omentum pembangunan. Tentunya tidak diinginginkan bahwa "generasi saat ini yang berpesta pora sementara generasi anak cucu nanti yang mencuci pining"? DAFTAR PU STAKA Abimanyu, Anggito, "Utang Luar Negeri dan Efisiensi Penggunaan dalam Pemba ngunan Ekonomi Indonesia", Prospektif PPSK, 6(1), 1994, h. 50-58. Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan, LSP, Jakarta, 1984. Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia, Jakarta, 1995. Chenery, Hol lis B. and Nicholas G. Carter, "Foreign Assistance and Development Performance, 19601970", American Economic Review, vol. 63, no.2, Mei 1973, h. 459-468. Djojoh adikusumo, Sumitro, Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita 196 9/701988/89, CPS dan ISEI, Jakarta, 1989. "Purchasing-Power Parity: Its Nature, Deviations, and Implications for International Financial Management", Kelola Gad jah Mada University Business Review, 111(7), September 1194, h. 83-99. Manajemen Keuangan Intemasional: Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global, BPFE, Yogyakarta, 1 996. Mahyuddin, Moh. lkhsan, "Pelarian Modal dari Indonesia: Estimasi dan Masala hnya", Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 37(1), 1989. Papanek, Gstav F., "The Effe ct of Aid and Other Resource Transfers on Savings and Growth in Less Developed C ountries", Economic Journal, vol. 82,no. 327, September 1972. Pattisiana, Engeli na, "Dampak-dampak Kegiatan Penanaman Modal Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi d i Indonesia", Analisa CS/S, no. 9, 1982, h. 881-899. 110

Sastrowardoyo, Sanyoto, "'Overview' Perkembangan Investasi di Indonesia: Sebuah Pengantar", Kelola Gadjah Mada University Business Review, no. 7/III, 1994, h.11 5. Stoneman, Colin, "Foreign Capital and Economic Growth", World Development, vo l. 3, no.1, Januari 1975. Todaro, Michael P., Economic Development in the Third World, edisi ke-5, Longman, Essex, 1994. Tucker, Alan L., Jeff Madura, dan Thoma s C. Chiang, International Financial Market, West Publishing Company, New York, 1992. Wie, Thee Kian, "Pendekatan Dependencia dalam Sejarah Perekonomian: Suatu Kritik", dalam Hendra Esmara (penyunting), Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pemba ngunan: Kumpulan Esei untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, PT Gramedia, Ja karta, 1988. BAB 9 EK0NOMI KERAKYATAN SEKTOR RIIL DAN UMKM Dalam suatu talkshow di suatu tele visi swasta, seorang pemirsa menanyakan suatu pertanyaan menggelitik berikut. "M engapa kita hanya membicarakan krisis keuangan global? 111

Bukankah itu krisis orang kaya yang mengeluh dan teriak-teriak karena sedikit me nurun return (keuntungan) atau kekayaannya? Bagi kami, pengusaha kecil, mikro, d an zvong cilik pada umumnya, krisis itu kami alami hampir setiap hari." Saya ter menung mendengar komentar kritis tersebut. Saya mencoba menelusuri dimensi krisi s pada 1998 dan 2008. Dimensi krisis Indonesia pada 1998 ternyata paling parah d ibandingkan enam negara Asia lain (Rao, 2001). Pada awalnya memang hanya krisis mata uang, lambat laun menjadi krisis kepercayaan, krisis keuangan, krisis ekono mi, krisis sosial, dan krisis politik. Singkatnya, sepuluh tahun lalu Indonesia mengalami krisis total, tidak hanya krisis moneter.Tidak kurang, Hal Hill memuji Indonesia sebelum krisis. Guru besar dari Australian National University ini ya kin bahwa Indonesia akan menjadi emerging giant in South East Asia, raksasa ekon omi yang naik daun di ASEAN. Namun ketika krisis melanda negeri ini, dia menulis Indonesia sebagai the sudden death of Asian Tiger, macan Asia yang tibatiba mat i (Hill, 1998). Hebatnya, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) bisa bertahan, bah kan banyak yang malah mengalami masa boom karena beberapa faktor. Pertama, UMKM yang berorientasi ekspor justru berpesta pora ketika nilai rupiah ambruk hingga mencapai Rp17.000 lebih per dolar AS. Mereka mendapatkan windfall profit akibat depresiasi rupiah karena mendapatkan penghasilan dalam dolar AS. Kedua, mayorita s UMKM umumnya dianggap unbankable, tidak layak mendapatkan kredit dari bank kom ersial sehingga tidak terpengaruh dengan credit crunch yang melanda sektor korpo rat. UMKM inilah pilar utama ekonomi kerakyatan di Indonesia. Agak mengagetkan k etika dalam pidato kenegaraan Presiden Megawati 16 Agustus 2001 menyebutkan bahw a konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi rakyat belum jelas pengertian, lingkup, dan isinya, bahkan menimbulkan kebingungan. Barangkali konsep ekonomi kerakyatan hanya membingungkan bagi mereka yang menolaknya. Padahal dalam sistem ekonomi k erakyatan sudah disebutkan dalam ketetapan MPR, setidaknya Tap no. XVI/1998, yan g menyebutkan kata "ekonomi rakyat" dua kali. Ekonomi kerakyatan adalah gagasan tentang cara, sifat, dan tujuan pembangunan dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat (Sumawinata, 2004: 161). Dengan kata lain, sistem ekonomi kerakyatan ada lah sistem ekonomi yang memihak pada kepentingan ekonomi rakyat (Mubyarto, 2002: Bab 5). Ekonomi rakyat merupakan sektor yang mencakup UMKM, dan koperasi, sebag ai pilar utama pembangunan nasional. 112

Bab ini akan membahas mengenai peran UMKM dalam perekonomian, faktor-faktor yang menyebabkan UMKM perlu dikembangkan, profil dan sebaran UMKM, permasalahan mend asar yang dihadapi UMKM, tujuh tantangan bagi UMKM di tengah krisis global, pake t kebijakan UMKM, dan akses modal dengan lembaga keuangan mikro. 9.1. MENGAPA UM KM PERLU DIKEMBANGKAN? Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melak ukan berbagai upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukt urisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bi dang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan k ecil dan menengah; bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendap at keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru pe rusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1.000 orang, yang men ikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kun coro & Abimanyu, 1995). Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembang kan UMKM setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, UMKM menyerap banyak te naga kerja (lihat Tabel 19.1). Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumny a membuat banyak UMKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya slam lokal. Apa lagi karena lokasinya banyak di perdesaan, pertumbuhan UMKM akan menimbulkan dampak positif terhadap peningka tan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distrib usi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Simatupang et al., 1994; K uncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UMKM jelas perlu mendapat perhatian karena t idak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan perdesaan, ujung peran tombak penting dalam UMKM upaya peng entasan kemiskinan. Di memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan seedbed bagai pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999). Boleh dikat a, is juga berfungsi sebagai strategi mempertahankan hidup (survival strategy) d i tengah krisis. (2006) Kedua, UMKM memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada tah un 1990 mencapai US$ 1.031 juts atau menempati peringkat kedua setelah ekspor da ri kelompok aneka industri. UMKM juga berkontribusi terhadap penerimaan ekspor, namun kontribusi UMKM jauh lebih kecil dibandingkan 113

dengan kontribusi usaha besar (lihat Tabel 19.2). UMKM mampu menyumbang ekspor n onmigas sebesar 19,2% hingga hampir 22% selama 2002-2005. Pada UMKM, penyumbang terbesar ekspor nonmigas juga sektor industri pengolahan, terutama garmen, tekst il dan produk tekstil, dan sepatu. Ketiga, adanya urgensi untuk struktur ekonomi yang berbentuk piramida, yang menunjukkan adanya ketimpangan yang lebar antara pemain kecil dan besar dalam ekonomika Indonesia. Gambar 19.1 memperlihatkan bah wa pada puncak piramida dipegang oleh usaha skala besar, dengan ciri: beroperasi dalam struktur pasar quasimonopoli oligopolistik, hambatan masuk tinggi (adanya bea masuk, nontariff barriers, modal, d11.), menikmati margin keuntungan yang t inggi, dan akumulasi modal cepat (Kuncoro, 2006). Pada dasar piramida dari total 22,7 juta unit usaha didominasi oleh usaha skala menengah, kecil dan mikro (99, 1%) yang beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif, hambatan masuk rendah, m argin keuntungan rendah, dan tingkat drop-out tinggi. Struktur ekonomi bentuk pi ramida terbukti telah mencuatkan isu konsentrasi dan konglomerasi, serta banyak dituding melestarikan dualisme perekonomian nasional. Menurut Sensus Ekonomi 200 6, Gambar 19.1 juga menunjukkan usaha mikro dan kecil mendominasi dari sisi unit usaha sebesar 83,3% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 62,5%, dengan perbandin gan 2 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha mikro dan 3 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha kecil. Sebaliknya usaha besar dan menengah, yang jumlah unit u sahanya hanya sebesar 0,2%, menyerap 9,6% tenaga kerja dengan perbandingan 19 te naga kerja per unit usaha untuk usaha menengah, dan 108 tenaga kerja per unit us aha untuk usaha besar. Thee (1993:109) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah can_ yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manu faktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masaiah pen gangguran, mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karva sehin gga dengan demikian selain bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan perdesaan. Sebaga i pendamping kelangsungan pertumbuhan UMKM, perkembangan koperasi juga belum dap at berperan optimal dalam mendukung perekonomian nasional. Berbagai layanan yang dapat disediakan koperasi dapat dimanfaatkan UMKM untuk peningkatan usahanya, s eperti pinjaman uang/barang modal, pengadaan bahan Baku, pemasaran, dan bimbinga n usaha. Kelembagaan koperasi 114

periode 2000-2006 mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2000, jumla h koperasi mencapai lebih dari 103 ribu unit, dan terus meningkat sehingga pada tahun 2006 jumlahnya mencapai hamper 142 ribu unit (lihat Gambar 19.2). Sejalan dengan perkembangan koperasi, jumlah anggota koperasi mengalami peningkatan. Gam bar 91.. Perkembangan Kelembagaan Koperasi Tahun 2000-2006 Perkembangan jumlah koperasi aktif untuk periode 2000-2006 secara nasional terca tat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,9% pertahun. Namun laju pertumbuha nnya masih lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan jumlah koperasi secara nas ional (5,5% pertahun). Hal ini mengindikasikan semakin banyak koperasi tidak akt if pada akhir 2006. Data pada gambar ini juga menunjukkan bahwa proporsi koperas i aktif terhadap jumlah koperasi total cenderung menurun. Persentase koperasi ak tif yang telah melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT), sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja koperasi, juga cenderung naik-turun dalam periode 2000-2006. Belum optimalnya k eberadaan UMKM dan Koperasi di Indonesia pasti menimbulkan pertanyaan yang barangkali muncul: bagaimana profil UMKM di Indonesia? Apa permasalahan dan tantangan aktual yang mereka hadapi? Sej auh mana upaya pembinaan dan pengembangan yang telah dilakukan? 9.2. PROFIL DAN SEBARAN UMKM 115

Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rpl miliar dan me miliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling b anyak Rp200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Badan Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah t angga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan peker ja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri be sar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250). Undang-Undang No. 20 T ahun 2008 tentang UMKM membedakan beberapa jenis usaha di Indonesia dengan krite ria sebagai berikut: Pertama, Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki kekayaan be rsih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; at au memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Kedua, Usaha Kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta rupiah sampai d engan paling banyak Rp500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp2,5 miliar. Ketiga, Usaha Menengah memiliki kekayaan ber sih lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 miliar, tidak termasu k tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih d ari Rp2,5 miliar sampai dengan paling banyak Rp50 milliar. Kendati ada beberapa definisi, UMKM mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adany a pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994) menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34, 316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggun akan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tena ga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memil iki tenaga kerja tetap. Kedua, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainva status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusaha an kecil sebanvak sebanvak 124.990, ternyata 90,6% merupakan perusahaan perorang an 116

yang tidak berakta notaris; 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris ; dan hanya 1,7% yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Kopera si). Ketiga, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bag ian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, m inuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rump ut dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang berg erak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sanga t sedikit sekali yaitu kurang dari 1%. Padahal, Tabel 19.3 menunjukkan bahwa UMK M memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nila i output. Pada tahun 2002, dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanya k 2,732 juta, ternyata 99,2% merupakan unit usaha UMKM. UMKM, dengan jumlah tena ga kerja kurang dari 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 59,3 % dari total kesempatan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai output UMKM terh adap industri manufaktur hanya sebesar 17,8 %. Pola ini cenderung sama dari tahu n ke tahunnya (1997-2002). Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada UMKM memperl ihatkan betapa pentingnya peranan UMKM dalam membantu memecahkan masalah pengang guran dan pemerataan distribusi pendapatan. Di lain pihak, industri besar dan me nengah (IBM) memberikan kontribusi yang dominan dari sisi nilai output. Pada tah un 1997, IBM menyumbang 91% dari keseluruhan nilai output, menyerap sekitar 39% dari total kesempatan kerja, namun dari sisi hanya menyumbang 0,8% dari total un it usaha yang ada. Pada tahun 2002, IBM menyumbang 91,5% dari keseluruhan nilai output, menyediakan lapangan pekerjaan sekitar 40% dari total kesempatan kerja, namun hanya menyumbang 0,8% dari total unit usaha yang ada. Data berdasarkan Sen sus Ekonomi 1996 menunjukkan tren yang tidak berubah . Sekitar 99% jenis usaha b isnis di Indonesia tergolong sebagai UMKM. Selain dominan dalam jumlah unit usah a, ternyata tenaga kerja yang diserap oleh UMKM masih sekitar 59% dari total ten aga kerja yang terserap untuk sektor 117

industri. Angka ini masih lebih besar dibanding industri besar dan menengah (IBM ), yang hanya menampung tenaga kerja sekitar 41%. Dilihat dari sebaran geografis nya, sama seperti IBM, UMKM terkonsentrasi di pulau Jawa (lihat Tabel 19.5). Kon tribusi UMKM di Jawa terhadap total tenaga kerja dan omzet masing-masing sekitar 75%. Namun berbeda dengan IBM yang terkonsentrasi secara spasial di kota-kota b esar, UMKM tersebar secara merata di luar ketiga kota metropolitan Jawa. 9.3. MASALAH DASAR UMKM Memang cukup berat masalah yang dihadapi untuk memperkua t struktur perekonomian nasional. Pembinaan UMKM hares lebih diarahkan untuk men ingkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah dan pengusaha mik ro menjadi pengusaha kecil. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil m enghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, man ajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kema mpuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yan g dihadapi UMKM adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan me mperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbata san untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan ja ringan usaha 118

kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usah a yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembina an yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kep edulian masyarakat terhadap usaha kecil. telah melaksanakan rapat anggota tahuna n (RAT), sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja koperasi, juga cend erung naik-turun dalam periode 20002006. Belum optimalnya keberadaan UMKM dan Ko perasi di Indonesia pasti menimbulkan pertanyaan yang barangkali muncul: bagaima na profil UMKM di Indonesia? Apa permasalahan dan tantangan aktual yang mereka h adapi? Sejauh mana upaya pembinaan dan pengembangan yang telah dilakukan? 9.2. PROFIL DAN SEBARAN UMKM Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rpl miliar dan me miliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling b anyak Rp200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Badan Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah t angga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan peker ja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri be sar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250). Undang-Undang No. 20 T ahun 2008 tentang UMKM membedakan beberapa jenis usaha di Indonesia dengan krite ria sebagai berikut: Pertama, Usaha Mikro adalah usaha yang memiliki kekayaan be rsih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; at au memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Kedua, Usaha Kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta rupiah sampai d engan paling banyak Rp500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp2,5 miliar. Ketiga, Usaha Menengah memiliki kekayaan ber sih lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 miliar, tidak termasu k tanah dan bangunan 119

tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 miliar samp ai dengan paling banyak Rp50 milliar. Kendati ada beberapa definisi, UMKM mempun yai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yan g jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelo la oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan , serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS ( 1994) menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang m eliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lai n), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota kelu arga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja teta p. Kedua, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainva status ba dan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak seb anvak 124.990, ternyata 90,6% merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7% y ang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi). Ketiga, dilih at menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh i ndustri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembaka u (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), i ndustri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali y aitu kurang dari 1%. Padahal, Tabel 19.3 menunjukkan bahwa UMKM memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai output. Pada tah un 2002, dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanyak 2,732 juta, tern yata 99,2% merupakan unit usaha UMKM. UMKM, dengan jumlah tenaga kerja kurang da ri 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 59,3 % dari total kesemp atan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai output UMKM terhadap industri manu faktur hanya sebesar 17,8 %. Pola ini cenderung sama dari tahun ke tahunnya (199 7-2002). Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada UMKM memperlihatkan betapa pen tingnya peranan UMKM dalam 120

membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan. D i lain pihak, industri besar dan menengah (IBM) memberikan kontribusi yang domin an dari sisi nilai output. Pada tahun 1997, IBM menyumbang 91% dari keseluruhan nilai output, menyerap sekitar 39% dari total kesempatan kerja, namun dari sisi hanya menyumbang 0,8% dari total unit usaha yang ada. Pada tahun 2002, IBM menyu mbang 91,5% dari keseluruhan nilai output, menyediakan lapangan pekerjaan sekita r 40% dari total kesempatan kerja, namun hanya menyumbang 0,8% dari total unit u saha yang ada. Data berdasarkan Sensus Ekonomi 1996 menunjukkan tren yang tidak berubah . Sekitar 99% jenis usaha bisnis di Indonesia tergolong sebagai UMKM. Se lain dominan dalam jumlah unit usaha, ternyata tenaga kerja yang diserap oleh UM KM masih sekitar 59% dari total tenaga kerja yang terserap untuk sektor industri . Angka ini masih lebih besar dibanding industri besar dan menengah (IBM), yang hanya menampung tenaga kerja sekitar 41%. Dilihat dari sebaran geografisnya, sam a seperti IBM, UMKM terkonsentrasi di pulau Jawa Kontribusi UMKM di Jawa terhada p total tenaga kerja dan omzet masing-masing sekitar 75%. Namun berbeda dengan I BM yang terkonsentrasi secara spasial di kota-kota besar, UMKM tersebar secara m erata di luar ketiga kota metropolitan Jawa. Gambar 9.3. Industri Manufaktur Menurut jumlah Tenaga Kerja dan Unit Usaha: Indo nesia, 1996 (%) 121

9.3. MASALAH DASAR UMKM Memang cukup berat masalah yang dihadapi untuk memperkua t struktur perekonomian nasional. Pembinaan UMKM harus lebih diarahkan untuk men ingkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah dan pengusaha mik ro menjadi pengusaha kecil. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil m enghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, man ajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kema mpuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yan g dihadapi UMKM adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan me mperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbata san untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan ja ringan usaha kerjasama antara pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Keli ma, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. K eenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya keperca yaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil. Secara garis besar, tanta ngan yang dihadapi UMKM dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi usaha mik ro dengan omset kurang dari Rp300 juta setahun umumnya tantangan yang dihadapi a dalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup 122

usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan "aman" sudah cukup. M ereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasan ya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipaham i bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD), lint ah darat, mindring, bank plecit, amat membantu modal kerja mereka. Kedua, bagi u saha kecil dengan omset antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar, tantangan yang di hadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan eksp ansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh usaha jenis ini adalah (K uncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan ma najemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusah aan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk m emperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan UMKM me ngeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, da n tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulait as rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera kon sumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengg anti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang teramp il. 9.4. TUJUH TANTANGAN UMKM DI TENGAH KRISIS Tidak diragukan bahwa fundamental makroekonomi dan kinerja sektor riil Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda kr isis sampai pertengahan 2008, meski krisis keuangan mengguncang Amerika Serikat dan Eropa. Krisis global ini memang sempat mengguncang pasar modal dan valas di Indonesia. Bursa Efek Indonesia terpaksa di-suspend setelah indeks harga saham g abungan (IHSG) anjlok lebih dari 10% untuk kedua kalinya dalam waktu tiga hari, dan sempat bertengger 123

di posisi 1.451. Pada Oktober 2008, kurs sempat menyentuh level Rp9.870 per US$. Namun, seberapa jauh krisis ini akan berdampak pada sektor riil, khususnya UMKM , tampaknya perlu diantisipasi. Kewaspadaan diperlukan walaupun pemerintah optim istic bahwa fundamental perekonomian nasional masih cukup kuat untuk menyangga s ektor riil. Saat ini, BI Rate yang tinggi, mencapai 9,5%, tentu merupakan kebija kan yang paling Namun UMKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive kare na: pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perb ankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempa t, berorientasi ekspor. Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapa i 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk do mestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja se kitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga ekspo rtir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/imp ortir di luar negeri. Namun, daya tahan UKM pascakenaikan harga bahan bakar miny ak (BBM) benarbenar diuji. Kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah pada 23 Mei 2008 sangat mempengaruhi kondisi usaha UKM. Survei terhadap pelaku UKM di DI Yogyakarta menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM menyebabkan 18.734 pelaku usaha tersebut di daerah ini semakin terpuruk, bahkan kreditnya terancam macet. Berda sarkan pengakuan UKM, sebanyak 73% dari total responden mengatakan usaha mereka terpengaruh oleh dampak kenaikan harga BBM. Gambar 19.4 memperlihatkan bahwa 31% di antaranya amat terpengaruh karena biaya BBM mencapai di atas 50% dari total biaya produksi, 30% mengaku terpengaruh karena biaya BBM antara 20-50% dari tota l biaya produksi, dan 12% lainnya agak terpengaruh karena biaya BBM antara 10-20 % dari total biaya produksi. Gambar 9.4 Pengaruh Kenaikan BBM Terhadap UMKM di DIY 124

Dari total responden yang mengaku sangat terpengaruh kenaikan harga BBM di atas, sebagian besar adalah UMKM yang bergerak sektor makanan, minuman dan tembakau ( 38%). Lainnya, 17% adalah UMKM yang bergerak di sektor kayu, bambu, rotan, rumpu t dan sejenisnya dan 14% adalah UMKM yang bergerak di sektor barang dari logam ( lihat Gambar 19.5). Gambar 9.5.Pengaruh Kenaikan BBM Terhadap UMKM Menurut Sekto r di DIY Survei ini sejalan dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan ba hwa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap kenaikan biaya produksi usaha mikro sebesar 34%, usaha kecil 24,6%, dan usaha menengah 129,6% (Kompas, 2008). Apa ta ntangan yang dihadapi UMKM? Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas ant ara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan UMKM dikelola oleh perorangan ya ng merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, akses industri kecil ter hadap lembaga kredit formal rendah, sehingga mereka cenderung menggantungkan pem biayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber lain, seperti keluarga, kerabat, pe dagang perantara, bahkan rentenir. 125

Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status bada n hukum. Mayoritas UMKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notar is, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris, dan hanya 1,7% yang su dah memiliki badan hukum (PT/ NV, CV, Firma, atau koperasi). Keempat, tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuatif dan berubahubahnya komoditas eks por Indonesia selama periode 1999-2006. Penyebabnya adalah eksportir masih menun ggu order dari pembeli/pelanggan dari luar negeri, faktor musim di negara mitra dagang ikut berpengaruh, dan belum stabilnya bisnis UMKM yang berorientasi ekspo r. Kelima, masalah terbesar yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku adalah maha lnya harga, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang relatif jauh. Ini karena ba han baku bagi UMKM yang berorientasi ekspor sebagian besar berasal dari luar dae rah usaha tersebut berlokasi. Keenam, masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak terampil dan mahalnya biaya tenaga kerja. R egenerasi perajin dan pekerja terampil relatif lambat. Akibatnya, di banyak sent ra ekspor mengalami kelangkaan tenaga terampil untuk sektor tertentu. Ketujuh, d alam bidang pemasaran, masalahnya terkait dengan banyaknya pesaing yang bergerak dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi, dan penetrasi pasar di luar negeri. 9.5. AY AT-AYAT KRISIS UMKM: KASUS DI YOGYAKARTA (DIY) Usulan moratorium bagi kredit UMK M DIY selama 3 tahun mendapat dukungan Komisi B DPRD dan Gubernur DIY. Ini kali ke-2, Jogja Resque Team (JRT) mendampingi dan memperjuangkan agar UMKM yang dibu ru-buru debt collectors, bank, perusahaan leasing, koperasi, atau lintah darat, bisa bernafas lega. DIY agaknya membutuhkan langkah nyata dalam menyelamatkan UM KM pasca gempa. UMKM perlu diprioritaskan pemulihannya, tidak hanya rekonstruksi rumah dan infrastruktur. Data Sensus Ekonomi 2006 yang dikumpulkan BPS mencatat dari 403 ribu unit usaha di DIY ternyata 99% tergolong UMKM. Namun, gempa tekto nik Mei 2006 terbukti memporakporandakan tidak hanya rumah namun juga tempat, pa brik, bahan baku, barang jadi, barang siap ekspor, dan peralatan usaha. 126

Bank Dunia mengestimasi total kerusakan dan kerugian UMKM di DIY sekitar Rp7 tri liun. Padahal dengan hancurnya peralatan dan stok barang, serta fasilitas rumah yang sekaligus bengkel kerja, banyak UMKM yang mengalami stagnasi produksi. Akib atnya banyak UMKM yang terpaksa tidak dapat membayar kewajiban membayar kreditny a. Tidak sedikit UMKM yang mengalami kredit macet. Berapa jumlah total kredit ya ng macet di DIY? Menurut data BI, total kredit bermasalah (macet, diragukan, kur ang lancar) sebesar Rp336,9 miliar pada bulan April 2007. Ini berarti%tase kredi t bermasalah terhadap total kredit (biasa disebut NPL=Non Performing Loans) sebe sar 4,47%. Bila dirinci, angka NPL di Bank Perkreditan Rakyat terhitung 10,34%, yang lebih tinggi daripada NPL bank umum yang hanya 3,71%. Dampak gempa memang l uar biasa bagi UMKM dan perbankan DIY. Kendati pertumbuhan ekonomi DIY masih pos itif 3,7% tahun lalu, namun sektor industri dan perbankan mengalami kontraksi ma sing-masing -1,3% dan 6,9%. Dengan kata lain, solusi atas kredit macet perlu mem pertimbangkan fakta bahwa sektor perbankan dan UMKM di DIY sama-sama Baru mender ita akibat gempa. Di lapangan, berdasarkan pengaduan UMKM kepada JRT problem yan g dihadapi oleh UMKM lebih mengkhawatirkan. Pihak pemberi kredit (kreditur) tida k hanya perbankan tetapi juga leasing, pegadaian, koperasi, dan lintah darat. Pa ra kreditur sudah banyak yang mengancam untuk menyita aset UMKM. Beberapa malah sudah menggunakan jasa debt collectors dan menyita aset yan g diagunankan oleh UMKM. Inilah yang membuat pusing pelaku UMKM DIY. Usaha bisnis UMKM belum pulih 100% sementara ancaman penyitaan aset oleh para kreditur sudah di depan mata. Pelaku UMKM ini mengeluh mereka sek arang benar-benar UMKM, Peraturan Bank Indonesia No 8/10/PBI/2006 memberikan per lakuan khusus bagi UMKM korban gempa di DIY dan Jawa Tengah. PBI ini intinya men gatur restrukturisasi kredit bagi Bank Umum dan BPR yang dilakukan untuk debitur yang terkena dampak bencana alam tersebut langsung dikategorikan berkualitas 'l ancar' selama 3 tahun sejak ketentuan ini berlaku. Dalam praktik, PBI ini mengun tungkan dari sisi perbankan karena laporan bank ke BI nampak 'cantik', tidak ada kemacetan. Namun bagi debitur UMKM, PBI ini hanya menunda masalah karena restru kturisasi kredit setelah 3-6 bulan diikuti denda dan rapelan selama UMKM dibebas kan dari pembayaran cicilan utang. Jeritan UMKM ini didengarkan dengan seksama o leh para wakil rakyat di DPRD DIY. Usulan 127

Jogja Resque Team (JRT) untuk moratorium kredit bagi UMKM sampai tahun 2010 mend apat dukungan Komisi B DPRD DIY. Ketika bertemu JRT Mei 2008, Gubernur DIY Sri S ultan HB X, mendukung upaya moratorium selama 3 tahun bagi UMKM agar UMKM merasa tenteram dalam memulihkan bisnisnya. Bahkan tentang moratorium UMKM ini sudah d ilaporkan di hadapan Menko Bidang Perekonomian dan sejumlah menteri di Jakarta t anggal 26 Juni 2007. Apa yang dimaksud dengan moratorium kredit? Moratorium inti nya merupakan suatu 'penundaan' terhadap utang atau kredit usaha. Adanya krisis atau kejadian luar biasa menjadi latar belakang moratorium. Tujuannya, untuk mem berikan ruang gerak dan waktu bagi UMKM agar kembali memiliki kemampuan membayar kewajibannya. Pemerintahan India, khususnya Menteri Keuangan, pada tahun 2004 m elakukan moratorium bagi kredit usaha pertanian yang berdurasi 6 bulan. Bencana kekeringan yang berkepanjangan menjadi pemicu kebijakan tersebut. Kebijakan ini mencakup kredit untuk pertanian dan pengolahan lahan pertanian yang dikeluarkan oleh perusahaan pemberi kredit, bank komersial dan bank regional. Untuk moratori um kredit UMKM Jogja perlu dirumuskan apakah moratorium kredit mencakup penjadua lan pembayaran utang (rescheduling) selama 3 tahun, ataukah penghapusbukuan (wri te-off) dan penghapus tagihan? Bila moratorium kredit disepakati oleh kreditur d an diijinkan oleh BI, serta mendapat 'Iampu hijau' dari pemerintah pusat, UMKM m asih membutuhkan modal kerja yang memadai untuk memulihkan aktivitas bisnisnya. Karena itu, moratorium kredit UMKM membutuhkan rencana aksi terkoordinasi dari M enteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menneg BUMN, Menneg KUMKM, Pemda, bersama Bank Indonesia serta pihak-pihak terk ait untuk memprioritaskan rencana aksi pemulihan ekonomi produktif untuk DIY Menunda masalah ini berarti . menunggu 'bo rn waktu' yang bisa meledak kapan saja. Posisi kredit UMKM pada bank/pemberi pinjaman semakin buruk. Data dari 20 Juni 2006 sampai den gan Oktober 2007 posisi kredit yang bermasalah semakin memprihatinkan. Tak kuran g ada 17.526 kredit UMKM yang terancam bermasalah, dengan nilai kredit mencapai Rp328 miliar. Kendati nilai agunan mencapai Rp884 miliar, dengan penurunan nilai aset sekitar 20-45%, kondisi kolektibilitas kredit UMKM jelas mengkhawatirkan. Kred it UMKM yang termasuk lancar menurun drastis dari 27% menjadi 1%. 128

Kendati kredit yang tergolong dalam perhatian khusus menurun dari 26% menjadi 19 %, kredit kurang lancar naik dari 8% menjadi 9%, kredit diragukan naik dari 9% m enjadi 11% dan kredit macet melonjak drastis dari 10% menjadi 31%. Bahkan yang t ermasuk dalam kategori 'tidak ada keterangan' diperkirakan juga bermasalah karen a cenderung meningkat dari 20% menjadi 29%. Penelusuran saya bersama tim penelit i terhadap 4.500 kredit UMKM korban gempa menunjukkan bahwa ada sekitar 47% yang direstrukturisasi, 19% tidak direstrukturisasi dan sisanya malah tidak memiliki keterangan. Perlu digarisbawahi, sebenarnya program restrukturisasi kredit di D IY tidak mengatasi permasalahan pokok karena kredit bermasalah meningkat dari 64 % pada 2006 menjadi 83% pada 2007. Kondisi UMKM yang tidak direstrukturisasi mal ah lebih parah, kredit bermasalahnya meningkat dari 54,5% menjadi 96%.Angkaangka dan faktafakta ini menunjukkan bahwa meski sudah ada upaya pemulihan UMKM terny ata hasilnya belum seperti yang diharapkan. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Bu wono X, sudah melayangkan surat kepada Menteri Negara BUMN dan Menko Perekonomia n agar melakukan rescheduling, injeksi pinjaman, penangguhan eksekusi jaminan ba gi UMKM korban gempa, ataupun permohonan kepada Dirjen Kekayaan dan Lelang Negar a untuk menunda lelang terhadap jaminan nasabah UMKM. Namun, agaknya belum cukup ampuh mengerem laju penurunan kinerja UMKM maupun menghentikan penyitaan terhad ap aset jaminan UMKM. Hampir tiap hari, Tim Ad-hoc masih menerima pengaduan dari UMKM tentang ancaman debt collectors dan penyitaan aset UMKM. Kebijakan restruk turisasi kredit belum cukup jika tidak disertai 'bantuan teknis' untuk mempercep at pemulihan, seperti pendampingan dan pelatihan. Saat ini yang paling dibutuhka n pelaku UMKM dengan kredit bermasalah adalah modal segar agar bisa segera bangk it. Diperkirakan hanya 45% UMKM yang bisa bangkit sendiri, sisanya sulit pulih k arena mayoritas tempat tinggal mereka digunakan pula sebagai tempat usaha. Dalam konteks inilah, saya mengusulkan perlunya program aksi yang koheren dan integra tif antara lembagalembaga yang terkait dengan UMKM. Di tingkat Pemda, program ak si yang dapat dilakukan adalah membantu penyelesaian kredit bermasalah, terutama untuk kredit mikro dengan maksimal kredit Rp5 juta. Pemda propinsi dan kabupate n/kota dapat meminta pihak perbankan baik pemerintah maupun swasta dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat), BUKP (Badan Usaha Kredit Pedesaan), Lembaga Leasing, 129

maupun KUD (Koperasi Unit Desa), supaya tidak melakukan eksekusi, penyitaan atau pelelangan aset-aset terkait tunggakan UMKM. Di tingkat pusat, Bank Indonesia s ebagai otoritas moneter juga harus melakukan penyempurnaan PBI No 8/10/2006 tent ang perlakuan khusus terhadap kredit bank pasca gempa. Perlu PBI khusus untuk UM KM pasca bencana yang mencakup gempa, banjir, tsunami, lumpur papas dan lainnya. Selain itu perlu pula disusun suatu kebijakan khusus tentang penyelesaian kredi t bermasalah khususnya standar prosedural bagi UMKM di daerah bencana, yang proUMKM. Menko Perekonomian, Menneg BUMN, Menneg UMKM dan Menteri Perindustrian per lu segera mengeksekusi kebijakan yang supportive terhadap UMKM. Menko Perekonomian harus menyusun skema anti-disaster measures bagi UMKM untuk d aerah bencana baik bencana kecil maupun bencana besar. Skema ini pernah dilakuka n Pemerintah Jepang dalam White Paper 2001 dengan nama safety net guarantee prog ram, yaitu kebijakan pemerintah untuk melindungi UMKM dari kebangkrutan dengan m enyediakan jaring pengaman kredit bagi para UMKM. Selain itu, diperlukan penyempurnaan konsep dan implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi UMKM di daerah bencana, yang tentunya harus berkoordinasi dengan Men neg UMKM dan Menteri Keuangan. Sebagai pendukung kebijakan Menko Perekonomian, M enneg BUMN dapat mempercepat implementasi haircut kredit UMKM di bank BUMN dan m engusahakan adanya kredit tanpa agunan maksimal Rp20 juta bagi UMKM. Hal ini dap at dilakukan dengan merealokasi Dana Kemitraan dan Bina Lingkungan dari BUMN, ya ng tiap tahun tidak pernah terserap 100%. . Dengan percepatan implementasi ini s etidaknya UMKM dapat kembali bergeliat dan memiliki motivasi untuk kembali produ ktif. Namun tentunya hal ini harus diimbangi dengan program-program pemulihan se ntra-sentra industri kecil sebagai basis pertumbuhan UMKM. Di sinilah Menteri Pe rindustrian dapat berperan serta dengan menyusun program pemulihan sentra indust ri. Dana dan program dari negara donor perlu difokuskan untuk pemulihan liveliho od (baca: sektor ekonomi produktif), khususnya UMKM. Java Reconstruction Fund pe rlu menitikberatkan program pemulihan dan penyelamatan UMKM bermasalah. Hasil ka jian Tim Ad-hoc dan UNDP untuk identifikasi sentra dan profil UMKM per kecamatan dapat langsung dimanfaatkan bagi semua stakeholders yang peduli 130

dengan nasib UMKM. Inilah saatnya berlomba-lomba membantu UMKM DIY. Rencana kenaikan harga BBM dalam waktu dekat ini dapat semakin memukul bisnis UM KM. 'Ayat-ayat krisis' UMKM ini perlu segera dicari solusinya. 9.6. PAKET KEBIJAKAN UMKM Menyadari tentang pentingnya UMKM, pemerintah SBY-JK m engeluarkan Inpres No. 6/2007 yang secara eksplisit berupaya mempercepat dan mem berdayakan UMKM di Indonesia. Ini tercermin dari 141 paket kebijakan ada 29 tind akan yang khusus memberdayakan UMKM. Dari 29 tindakan, menghasilkan 34 keluaran yang sudah selesai dilakukan kurang lebih 73,5% sampai bulan Maret 2008. Sedangk an keluaran yang masih dalam proses adalah sebesar 14,7%. Kemudian keluaran yang masih berlanjut sebesar 11,8% Dari keempat bidang kebijakan pemberdayaan UMKM p ada Inpres No. 6 2017 prioritas pemerintah adalah pada bidang peningkatan akses UMKM pada surnber pembiayaan. Hal ini ditunjukkan dari besarnya proporsi tindaka n pada bidang ini vaitu sebesar 44,8%. Diikuti oleh bidang peningkatan peluang p asar produk UMKM sebesar 27,6%. Kemudian bidang pengembangan kewirausahaan dan s umber daya manusia sebesar 20,7%. Dan terakhir adalah bidang reformasi regulasi sebesar 6,9%. Untuk kebijakan yang masih dalam proses, rencananya keluarannya ak an berbentuk Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Tran smigrasi mengenai Penempatan Tenaga Kerja, dan Peraturan Pemerintah sebagai pela ksanaan Pada Inpres No. 6/2007, ada 6 kebijakan yang berada di bawah wewenang Menteri Pe rdagangan. Semua kebijakan tersebut sudah selesai dilakukan. Kemudian dari keena m kebijakan itu, tiga diantaranya merupakan kebijakan untuk pengembangan sistem resi gudang sebagai instrumen pembiayaan bagi UMKM. Keluarannya adalah dalam ben tuk PP Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sis tem Resi Gudang, dokumen peraturan teknis operasional sebagai Pedoman Pemanfaata n dokumen Resi Gudang, dan kegiatan sosialisasi. 131

Resi gudang pada dasarnya adalah satu cara bagaimana komoditi bisa dijadikan kol ateral. Petani ataupun pemilik komoditi tidak perlu menjual komoditinya sewaktu harga rendah, tetapi masih dapat mendapatkan dana dari perbankan untuk memulai k egiatannya lagi. Yang menjadi penting di sini adalah bagaimana perbankan dapat m empercayai nilai komoditi yang diagunkan. Bagaimana kualitas komoditi tersebut t idak menurun dan untuk jangka waktu tertentu. Bagaimana kalau pemilik tidak dapa t menjualnya. Hal inilah yang merupakan tugas pengelola gudang untuk dapat membe rikan jaminan kepada bank. Yang sering mengganjal dan kelihatan enggan untuk iku t menyelesaikan masalah ini adalah justru perbankan. Perbankan adalah salah satu mata rantai yang penting dalam perekonomian. Selain itu sistem Resi Gudang tida k kalah pentingnya dari mata rantai lainnya. Resi Gudang mempunyai juga fungsi m engamankan para petani. Peraturan dibuat untuk melancarkan apa yang ingin dijala nkan. Janganlah peraturan menjadi ganjalan untuk mencapai tujuan. Komitmen perba nkan diperlukan untuk mendukung sistem perdagangan komoditi pertanian. Bursa Ber jangka Komoditi, Pasar Lelang dan Resi Gudang harus berjalan bersamaan. Kemudian kebijakan yang lainnya yang sudah selesai adalah pengembangan institusi promosi produk UMKM dengan keluarannya dalam bentuk program penguatan dan penambahan ma rketing points di wilayah perbatasan. Dari 6 marketing point yang direncanakan b erdiri (Entikong, Tarakan, Bitung, Atambua, Nunukan dan Skouw), hingga kini tela h beroperasi di 3 titik yaitu Tarakan, Nunukan, dan Skouw. Selanjutnya adalah ke bijakan pemberdayaan pasar tradisional dan peningkatan peran peritel modern dala m membuka akses pasar bagi produk UMKM dengan keluarannya dalam bentuk rancangan Peraturan Presiden (PP) mengenai pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pu sat perbelanjaan dan toko modern. Kemudian kebijakan mengenai pengembangan pasar yang terintegrasi antara pasar penunjang, pasar induk dan pasar tradisional den gan keluarannya dalam bentuk pembangunan fisik pasar dan pengembangan skema pilo t project pasar sinergi (lihat Tabel 19.7). Tindakan-tindakan yang dilakukan dal am hal implementasi Inpres No. 6/2007 tentang Pemberdayaan UMKM memiliki keluara n dalam bentuk produk hukum yang berbeda-beda 132

komprehensif. Setiap kebijakan yang ada dalam lampiran Inpres itu dirinci dalam bentuk program, tindakan, keluaran dan sasaran yang terukur dengan jelas, disert ai target waktu penyelesaian yang telah dilengkapi dengan menteri/kepala LPND ya ng bertanggungjawab untuk mengimplementasikannya. Dilihat dari cakupan dan subst ansinya, Inpres ini merupakan paket kebijakan "jilid II" dari paket kebijakan se rupa tahun 2006 yang dituangkan dalam Inpres No. 3/2006. Saya kira inilah saatny a melakukan akselerasi tripple track strategy, yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di awal pemerintahannya, yaitu pro-growth, pro-poor, dan pro-j obs. Paket kebijakan di bawah Inpres No. 6/2007 ini merupakan necessary but not sufficient condition, syarat perlu tapi belum mencukupi untuk menggerakkan sekto r riil dan UMKM. Hasil monotoring Mudrajad Kuncoro (2009) atas implementasi pake t kebijakan di bawah Inpres no.3/ 2006 menunjukkan adanya sejumlah kelemahan: pe rtama, dari 85 rencana tindakan tidak semuanya menjawab subtansi masalah yang di hadapi sektor riil dan UMKM. Kedua, lemahnya sosialisasi paket kebijakan terutam a bagi pelaku bisnis dan pemda. Ketiga, serangkaian program dan tindakan yang tu juannya memperbaiki iklim investasi di Indonesia ternyata lemah dari sisi implem entasi di level pusat, apalagi daerah. Keempat, tidak adanya sanksi bagi rencana tindak yang tidak selesai. Kelima, mulai terlihatnya reform fatigues di kalanga n para penanggung jawab program maupun birokrat di departemen teknis, yang terli hat dalam rakor bulanan yang digelar oleh kantor Menko Perekonomian. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Dennis (1982), "Small Industry in Developing Countries" , World Development, November. Bachruddin, Zaenal, Mudrajad Kuncoro, Budi Praset yo Widyobroto, Tridjoko Wismu Murti, Zuprizal, Ismoyo (1996), Kajian Pengembanga n Polo Industri Pedt,aan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil, LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK, Yogyakarta. BPS (1999). Statistical Yearbook of Indo nesia 1998. Biro Pusat Statistik, Jakarta. 133

Harianto, Farid (1996), "Study on Subcontracting in Indonesian Domestic Firms", dalam Mari Pangestu (ed.), Small-Scale Business Development and Competition Poli cy, CSIS, Jakarta. Hill, Hal (1998), "The Indonesian Economy: The Strange and Su ddenth Death of a Tiger" dalam Forrester, Geoff & R.J. May (eds.), The Fall of S oeharto, Bathurst: Crawford House Publishing Pty Ltd. ILO (International Labour Organization) (2007), The Promotion of Sustainable Enterprises, Geneva: Internat ional Labour Office. Kasali, Rhenald (2007), Re-code Your Change DNA: Membebaska n Belenggu-belenggu Malik Meraih Keberanian dan Keberhasilan Dalam Pembaharuan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kuncoro, Mudrajad, Zainal Arifin, Andryan Se tyadharma (2008), Evaluasi Paket Kebijakan Inpres No 6/2007 Bidang Perbaikan Ikl im Investasi, Perdagaugan, Pemberdayaan UMKM, dan Infrastruktur. Jakarta: Partne rship. Kuncoro, Mudrajad (2008), "Grameen Bank dan Lembaga Keuangan Mikro", Keda ulatan Rakyat, http:, www.kr.co.id, Sabtu 2 Agustus 2008. Kuncoro, Mudrajad (200 8), "Ayat-ayat Krisis UMKM", Kedaulatan Rakyat, http://www.kr.co.id/ ebi detail.php? sid=163203&actmenu=46, 13 Mei 2008. Kuncoro, Mudrajad (2007), "Moratorium Kredit UMKM", Kedaulatan Rakyat, http://www.kr.co.id/ article.php?sid=129397, Rabu 4 J uli 2007. Kuncoro, Mudrajad (2007), "Akselerasi Sektor Riil dan UMKM", Investor Daily, http:/. www.investorindonesia.com, 20 Juni 2007. Kuncoro, Mudrajad (2006) . Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP STIM YKPN, Yogyakart a. Kuncoro, Mudrajad (2004). Otonomi dan Pembangunan daerah, Reformasi, Perencan aan, Strategi dan Peluang, Erlangga, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad (2002), "A Quest For Industrial Districts: An Empirical Study of Manufacturing Industries in Jav a", International workshop organised by the. N.W. Posthumus Institute for Econom ic and Social History on the theme Economic Growth and Institutional Change in I ndonesia during the 19" and 20th Centuries, Amsterdam, 25-26 February. Kuncoro, Mudrajad (2000), The Economics of Industrial Agglomeration and Clustering, 19761996: the Case of Indonesia (Java), disertasi Ph.D, Department of Management, Un iversity of Melbourne, Melbourne, tidak dipublikasikan. 134

Kuncoro, Mudrajad (1994), "Peta Bisnis Aliansi Strategik", Manajemen dan Usahawa n Indonesia, Nopember. Kuncoro, Mudrajad (1995), "Tantangan dan Peluang Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi. Agustus. Kuncoro, Mudrajad (1996), "Struktur d an Kinerja Ekonomi Indonesia Setelah 50 tahun Merdeka: Adakah Peluang Usaha Keci l?", Jurnal Ekonomi, tahun II, vol.7, Januari. Kuncoro, Mudrajad (1997), "Pengem bangan Industri Pedesaan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil: Suatu Studi Kasus di Kalimantan Timur", Analisis CSIS, XXVI, no.1. Kuncoro, Mudrajad dan Anggito Abim anyu (1995), "Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan D ebirokratisasi", Kelola (Gadjah Mada University Business Review), no.10/IV/1995. Kuncoro, Mudrajad, Bambang Kustituanto, Masykur Wiratmo, dan R. Agus Sartono (1 996), Laporan Akhir Pengembangan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil Tahun Anggaran 1995/1996 Propinsi DIY, kerjasama Depkop & PPK dengan PPE-FE-UGM, Yogyakarta. E konomi", makalah dalam Diskusi Ekonomi Kerakyatan, diselenggarakan oleh Harian P ikiran Rakyat, Hotel Radisson, Yogyakarta, 5 135

You might also like