You are on page 1of 41

SKRIPSI

PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2011

SKRIPSI
PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Pertanian/Teknologi Pertanian padaFakultas PertanianUniversitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2011

SKRIPSI
PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037

Diterima dan disetujui Tanggal : / /

Dosen Pembimbing I,

Dosen Pembimbing II,

Ruly Eko Kusuma K. SP., M.P. NIP 19780420 200604 1 025

Ruth Feti Rahayuniati, SP., M.P. NIP19740610 200604 2001

Mengetahui: Dekan,

Dr. Ir. H. Achmad Iqbal, M.Si. NIP 19580331 198702 1 001

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Kalampangan adalah salah satu kawasan gambut di Kalimantan tengah dengan jenis tanah gambut ombrogen. Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut ombrogen adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Permasalahan pengembangan pertanian di lahan gambut terkendala antara lain oleh karena kesuburan tanah yang rendah, masalah air, dan subsiden (Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Kesuburan tanah gambut yang rendah disebabkan karena pH tanah yang masam, kandungan P, K, Ca, Dan Mg serta hara mikro yang rendah, tanah gambut juga mempunyai kemampuan mengikat air yang tinggi, yaitu sampai 20 kali berat keringnya (Widjaya-Adhi et al, 1992 dalam Eni dan maulia, 2009). Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan dan dalam keadaan selalu tergenang dimana proses dekomposisinya berlangsung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukkan dan akumulasi bahan

organik membentuk tanah gambut. Masalah lain pada tanah gambut adalah subsiden (penurunan permukaan tanah), akibat dari proses dekomposisi gambut (Eni dan Maulia, 2009). Pembakaran gambut dalam kegiatan pembukaan lahan dan pengadaan abu bakar menyebabkan polusi asap terjadi pada setiap musim kemarau. Keberadaan gangguan asap pada setiap musim kemarau akan menyebabkan kerugian pada masyarakat berupa gangguan kesehatan, aktifitas transportasi, pendidikan, perdagangan dan lain-lain (Sagiman, 2007). Kebakaran hutan pada lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering akibat suhu tanah yang tinggi dan pelepasan gas emisi memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002). Meskipun demikian, 9095% pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan berbagai penggunaan lahan lainnya. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002). Proses dekomposisi lahan gambut dipengaruhi oleh adanya

mikroorganisme perombak bahan organik dalam tanah. Mikroorganisme

perombak bahan organik ini terdiri atas golongan fungi dan bakteri. Lapisan gambut terbentuk dalam kondisi tertentu, karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh fungi, bakteri, dan organisme lainnya. Namun karena sifat tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara sehingga proses dekomposisi berlangsung lambat (Central Kalimantan Peatlands Project, 2006). Fungi dan bakteri berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik (Foth, 1991 dalam Budi, 2010). Mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan dalam pengolahan air. Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dapat diambil dari berbagai sumber, antara lain dari air hujan, air tanah, dan air permukaan. Penduduk pedesaan yang tinggal di daerah rawa dan daerah pasang surut seperti di Kalimantan umumnya menghadapi kesulitan dalam memperoleh air bersih terutama pada musim kemarau, karena menurunnya intensitas hujan dan menurunnya kualitas sumber air tanah. Salah satu sumber air permukaan yang ada di Kalimantan khususnya di Propinsi Kalimantan Barat adalah air gambut yaitu air permukaan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah gambut dibawahnya. Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah air gambut sangat potensial untuk dikembangkan karena air gambut memiliki kandungan organik cukup yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi untuk

pertumbuhannya. Tanah gambut ombrogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut yang berasal dari Desa Kalampangan Kota Palangkaraya Provinsi

Kalimantan tengah. Secara geografis, daerah ini terletak antara 113 57 dan 114 07 BT dan 2 17 dan antara 2 23 LU. Daerah ini berada diantara dua sungai, yaitu sungai Kahayan dan Sunagai Sebangu.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi pada lahan gambut ombrogen bekas terbakar adalah akibat terbakarnya lahan gambut menyebabkan perubahan lingkungan, hilangnya biomassa tanah gambut, perubahan suhu tanah, dan perubahan total mikroorganisme.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui kondisi agihan cacak total Mikroorganisme tanah dan kadar abu pada berbagai penggunaan lahan di tanah gambut ombrogen bekas terbakar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menentukan langkah pemanfaatan lahan gambut ombrogen bekas terbakar sehingga mampu memberikan keuntungan secara ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambut Ombrogen

Menurut Noor (2001), Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerob, karena laju penambahan bahan organik (humifiksasi) lebih tinggi dari pada laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, sehingga menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Di dataran rendah dan daerah pantai mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah akan membentuk gambut ombrogen. Tanah gambut terbentuk pada tempat yang kondisi tergenang, seperti pada cekungan-cekungan daerah lembah, rawa bekas danau, atau daerah depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan akumulasi bahan organik yang telah beradaptasi dengan lingkungan tergenang. Penumpukan bahan organik secara terus-menerus menyebabkan lahan gambut membentuk kubah (peat dome). Dataran dan kubah gambut terbentang pada cekungan luas di antara sungai-sungai besar, dari dataran pantai ke arah hilir sungai hingga mencapai jarak 10 30 km (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Berdasarkan wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua yaitu gambut tropik (gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik) dan gambut iklim sedang (gambut yang berada di kawasan yang umumnya mempunyai iklim empat

musim). Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dibedakan menjadi dua macam yaitu gambut ombrogen (dipengaruhi oleh air hujan) dan gambut topogen (dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah). Gambut omborgen kurang subur karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu, karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah ini, maka kondisi lahan miskin hara. Lain halnya dengan gambut topogen yang berada di kawasan tropik mempunyai kesuburan lahan relatif baik, karena adanya pengaruh air sungai dan pengaruh tanah mineral (Noor, 2001). Gambut ombrogen umumnya terbentuk jauh dari pantai. Tanah diantara dua sungai mengakibatkan adanya sedikit mikroorganisme pengurai hingga lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Gambut ombrogen umumnya terdapat di atas gambut topogen. Awalnya di daerah dataran atau cekungan yang tergenang air merupakan tanah mineral, semakin lama cekungan tersebut akan tertimbun oleh sisa-sisa tanaman dan membentuk lapisan gambut topogen. Perkembangan selanjutnya gambut semakin tebal sehingga akar tanaman tidak mampu menjangkau tanah mineral dibawahnya dan air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama dari gambut ini hanya berasal dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh kurang subur dan menyebabkan gambut yang terbentuk merupakan gambut ombrogen (Sagiman, 2007). Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi: (1) gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya, gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut miskin hara, yaitu

gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut, (2) mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basabasa sedang, dan (3) gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

B. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan pada lahan gambut umumnya terjadi selama musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El NinoSouthern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 37 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran

10

hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998 dalam Kurnain, 2007). Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak langsung atas lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect) atau di luar tapak kejadian (off site effect). Akibat kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 3570 cm (Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,20,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas emisi gas karbondioksida (CO ) ke atmosfer, yang turut berperan dalam
2

pemanasan global (Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah merusak vegetasi hutan sehingga kerapatan pohon berkurang hingga 75% (DArcy dan Page, 2002).

11

C. Pola Penggunaan Lahan Gambut

Noor (2001) mengatakan, bahwa pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru. Lebih lanjut Noor mengatakan pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun , maka fungsi produksi dapat terganggu. Tata guna lahan gambut mencakup penataan terhadap (1) kawasan nonbudidaya atau konservasi; dan (2) kawasan budidaya atau reklamasi. Kawasan non-budidaya dibagi menjadi kawasan lindung, suaka alam, dan konservasi. Kawasan konservasi dipilih beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik tertentu dan diberi batasan alami yang jelas sebelum reklamasi dilakukan. Kawasan budidaya perlu dibagi antara kawasan budidaya dan pemukiman. Menurut Noor (2001), pola penggunaan lahan gambut untuk penentuan wilayah kawasan lindung, pemukiman, dan pertanian yang dikembangkan memerlukan informasi awal, antara lain data tipologi lahan (luapan air) ketebalan lapisan gambut dan tipe penyusun lapisan bawah (sub-stratum). Lapisan gambut yang mempunyai ketebalan organik <1 m cocok untuk pengembangan berbagai ragam komoditas yang meliputi tanaman pangan, misalnya padi, kedelai, kacang tanah, jagung, ubikayu, dan ubijalar. Lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti

12

kelapa, kelapa sawit, karet, sagu, dan kopi. Adapun lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan organik >2 m lebih sesuai untuk pengembangan tanaman hortikultura seperti kubis, pepaya, nanas, dan sejenisnya. Gambut yang tebal lapisan organiknya sangat dalam, yaitu >3 m dapat dimanfaatkan sebagai kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air. Pola tanam dengan memadukan (intregrated farming system) beberapa tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi dengan tanaman padi/palawija dapat dikembangkan di lahan gambut dalam rangka optimalisasi sumber daya. Pola tanam ini dapat dilakukan dengan pembuatann surjan. Selain itu, petani juga dapat memelihara ternak unggas dan sapi yang ternyata cukup berhasil (Ardjakusumah et al, 2002). Petani tradisional dalam melakukan pengaturan pola tanam atau suksesi tanaman dilakukan secara bertahap. Setelah pembukaann lahan pada 1 4 tahun pertama dilakukan penanaman padi. Kemudian setelah 4 6 tahun dilakukan penanaman kelapa dengan sistem surjan dan padi ditanam pada tabukan. Setelah kelapa berumur 4 tahun, secara bertahap tanaman padi dihilangkan dan diganti dengan pembuatan surjan (tukungan) untuk tanaman kelapa. Jadi, penggantian atau pembentukan kelapa secara keseluruhan baru dicapai setelah antara 15 20 tahun (Ardjakusumah et al, 2002). Tanaman khas pada lahan gambut tergantung pada kedalaman gambut. Pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 1 m) adalah untuk budidaya pertanian dengan sistem surjan, misal untuk tanaman padi, palawija, buah-buahan, dan

13

tanaman tahunan. Kedalaman lahan gambut lebih dari 1 m hanya dapat digunakan untuk tanaman tahunan (Ratmini, 1997). Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman sagu akan ramah lingkungan, karena tanaman sagu menghendaki lahan yang kadar airnya tinggi, selain itu karena anakan sagu yang banyak dan membentuk rumpun mengakibatkan perkebunan sagu akan selalu tertutup oleh vegetasi sagu, sehingga berfungsi membersihkan udara dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan makhluk hidup (Bintoro et al, 2010). Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat selain beras. Pemanfaatan lahan gambut dengan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) juga dapat dilakukan dengan baik, karena tanaman ini merupakan tanaman yang toleran pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim hujan dan kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup mudah beradaptasi dengan lingkungan. Akasia banyak dijumpai di daerah beriklim humid dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata pada musim panas sebesar 32 - 34C, suhu minimum rata-rata pada musim dingin sebesar 12 - 21C dan suhu harian maksimum mencapai 32C (Turnbull, 1968 dalam Widyasari, 2008).

D. Kondisi Total Mikroorganisme Tanah Gambut

Kondisi mikroorganisme di tanah gambut dapat dilihat dalam tiga kelompok, sebagai berikut (Noor, 2001).

14

1. Mikroorganisme yang terlibat dalam tahap perombak awal dari keadaan asli. Pada tahap ini jamur dan bakteri banyak berperan dalam menghancurkan selulosa, hemiselulosa, dan beberapa protein. Perkembangan gambut dari

suasana aerob menjadi anaerob akan diikuti oleh keterlibatan mikroorganisme yang berbeda. 2. Mikroorganisme yang terlibat dalam perkembangan (penebalan gambut) yang hampir sepanjang tahun terendam. Mikroorganisme yang berperan bersifat anaerob yang memperoleh oksigen dari oksidasi dan perombakan bahan organik. Pada tahap ini dihasilkan gas hidrogen (sebagai metana) dan sulfida. Kebanyakan hasil sisa merupakan derivat dari perombakan selulose dan senyawa organik kompleks. 3. Mikroorganisme yang terlibat setelah gambut mengalami pengatusan atau terbuka. Mikroorganisme yang berperan adalah jamur, bakteri aerob, dan mikroorganisme yang berada pada tahap perombakan awal. Sisa perombakan adalah bahan-bahan yang lebih tahan seperti lignin. Jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti keasaman tanah. Jumlah mikroorganisme cenderung menurun dengan

meningkatnya keasaman tanah. Bakteri penambat N (Azotobacter, SP.), bakteri nitrit, dan bakteri perombak selulose tidak ditemukan di lahan gambut oligotrofik yang miskin. Tetapi di lahan gambut yang kaya, pH tinggi dan tergolong gambut eutrofik sering dijumpai adanya bakteri Azotobacter.

15

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yaitu pada bulan November 2010 sampai April 2011.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut ombrogen bekas terbakar, aquades steril, media PDA (Potatos Dekstrose Agar) untuk pengamatan jamur, dan media NA (Nutrient Agar) sebagai media bakteri. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan petri, pipet 1 mL dan 10 mL, beker glass, erlenmeyer, bunsen, alkohol 70 %, tissue, gunting, pelastik, timbangan analitik, kompor gas, dan autoklaf.

C. Rancangan Pengambilan Sampel

Rancangan yang di gunakan dalam pengambilan sampel adalah Rancangan Acak Kelompok. Percobaan ini terdiri dari 5 kombinasi perlakuan sehingga diperoleh 20 sampel pengamatan tiap kondisi lahan berikut. AI (1-5) BI (1-5) CI (1-5) DI (1-5) AII (1-5) BII (1-5) CII (1-5) DII (1-5) AIII (1-5) BIII (1-5) CIII (1-5) DIII (1-5) AIV (1-5) BIV (1-5) CIV (1-5) DIV (1-5)

16

Keterangan: 1. Kondisi lahan: A = Hutan asli, B = Hutan Akasia, C= Dihutankan dengan menjaga tinggi muka air tanah, dan D = Perkebunan Sagu. 2. Pengambilan sampel: Sampel diambil berdasarkan jarak dari hasil drainase, yaitu meliputi I = 50 m, II = 100 m, III = 200 m, dan IV = 400 m. Pecuplikan sampel meliputi (1) 0 20 cm, (2) 20 40 cm, (3) 40 60 cm, (4) 60 80 cm, dan (5) 80 100 cm.

D. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati adalah total mikroorganisme tanah gambut ombrogen, yaitu dengan mengamati jamur dan bakteri, serta kadar abu tanah gambut ombrogen.

E. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian melalui beberapa tahap, yaitu 1. Tahap Persiapan Pembuatan media PDA dan NA, alat dan bahan yang akan digunakan disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada suhu 1200 selama 30 menit. a. Cara pembuatan PDA (Potato Dextrose Agar) Kentang sebanyak 200 gr direbus dengan menggunakan 500 ml aquades selama 15 20 menit atau sampai mendidih. 20 gr agar dipanaskan dengan 500 ml aquades hingga mendidih.

17

Setelah kentang selesai direbus, kemudian kentang disaring untuk mendapatkan airnya saja.

500 ml air rebusan kentang tersebut di campur dengan 500 ml agar yang telah dipanaskan, sehingga didapat 1 L.

Kemudian dimasukkan 15 gr Dekstrose kedalam 1 L larutan tersebut, dengan demekian akan diperoleh 1 L PDA.

Sebelum digunakan PDA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada suhu 1200 C selama 30 menit.

b. Cara pembuatan NA (Nutrient Agar) 200 gr kecambah dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk kemudian direbus hingga mendidih, Setelah kecambah mendidih, kecambah disaring untuk memisahkan antara kecambah dan air rebusan kecambah. 20 gr agar dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk kemudian dipanaskan hingga mendidih. Setelah agar mendidih, kemudian 500 ml agar tersebut di campur dengan 500 ml air rebusan kecambah. Sehingga diperoleh 1 L media NA. Sebelum digunakan NA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada suhu 1200 C selama 30 menit. 2. Tahap pelaksanaan a) Seri pengenceran yang digunakan dalam penelitian adalah 10-3 (untuk pengamatan jamur) dan 10-6 (untuk pengamatan bakteri).

18

b) Pengamatan dapat dilakukan setiap hari c) Perhitungan dari hasil Rata-rata jumlah koloni per cawan petri dikalikan dengan faktor pengenceran untuk mendapatkan jumlah mikroba total per gram contoh tanah. 3. Tahap Analisis Data 4. Tahap Penyusunan Laporan.

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Abu Tanah Gambut Ombrogen

Kadar abu alami yang belum terganggu umumnya rendah. Peningkatan intensitas pertanaman dapat meningkatkan kadar abu seiring meningkatnya mineralisasi tanah. Menurut Noor, 2001 kadar abu tanah gambut yang ditanamni tanaman semusim dan sayuran lebih tinggi dibandingkan yang berada di bawah tanaman karet dan semak-semak terutama dilapisan 0-20 cm. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar abu pada tanah gambut ombrogen tergolong rendah, hal ini disebabkan karena proses mineralisasi oleh mikroorganisme berjalan sangat lambat. Besarnya kadar abu dalam tanah dapat digunakan untuk mengetahui laju proses mineralisasi oleh mikroorganisme dekomposer. Tabel 1 menunjukkan kadar abu gambut ombrogen tertinggi di Kalampangan terdapat pada lahan sagu, yaitu berkisar antara 0,2358 % pada jarak 400 m dari saluran kanal dan di kedalaman 100 cm, sampai 2,0053 % pada jarak 200 m dari saluran kanal dan di kedalaman 20 cm. Kadar abu tertinggi kedua adalah pada lahan yang dihutankan, yaitu berkisar antara 0,1099 % pada jarak 200 m dari kanal dan dikedalaman 80 cm, sampai 0,9843 % pada jarak 400 m dari kanal dan dikedalaman 20 cm. Urutan ketiga adalah akasia, yaitu dengan kadar abu 0,2315 % pada jarak 400 m dari saluran kanal dan dikedalaman 100 cm, sampai 0,9342 % pada jarak 100 m dari kanal dan dikedalaman 20 cm. Hutan asli merupakan lahan yang memiliki kadar

20

abu paling rendah, yaitu berkisar antara 0,2029 % pada jarak 100 m dari kanal dan dikedalaman 100 cm, sampai 0,8658 pada jarak 50 m dan dikedalaman 20 cm.

Table 1. Hasil analisis kadar abu tanah gambut ombrogen Jarak dari kanal (m) Kedalaman (cm) Kadar Abu (%) Akasia Hutan asli 0,9342 0,8658 0,5811 0,4546 0,6874 0,5601 0,6238 0,5401 0,2792 0,3740 0,8948 0,5633 0,7415 0,3744 0,5524 0,3768 0,3684 0,3053 0,3411 0,2029 0,8978 0,2029 0,7501 0,5828 0,9246 0,4896 0,5622 0,5977 0,2315 0,3345 0,4866 0,3717 0,4081 0,3709 0,4667 0,4027 0,3622 0,4773 0,3590 0,3455

Sagu Dihutankan 20 1,8940 0,6645 40 1,1178 0,6650 60 0,9292 0,3436 50 80 0,8585 0,3855 100 0,7122 0,1632 20 1,2840 0,6684 40 0,9547 0,5438 60 0,9224 0,5376 100 80 0,5757 0,3448 100 0,3917 0,1489 20 2,0053 0,7672 40 0,8785 0,4475 60 0,6873 0,3176 200 80 0,5988 0,1099 100 0,4384 0,1971 20 1,5954 0,9843 40 1,0293 0,6376 60 1,0923 0,5605 400 80 0,7610 0,4005 100 0,2358 0,3425 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Hasil menunjukkan bahwa semakin dalam gambut, maka kadar abu akan semakin rendah (Gambar 1). Semakin dalam gambut, maka kandungan airnya akan semakin tinggi, hal ini akan menyebabkan kadar abu semakin rendah. Keadaan jenuh air juga akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut ombrogen. Aktivitas

21

mikroorganisme yang terhambat akan mempengaruhi proses mineralisasi, sehingga menyebabkan kadar abu rendah. Kadar abu paling rendah adalah pada kedalaman >80 cm.

Gambar 1. Kadar Abu tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat dikatakan bahwa semakin dalam gambut maka kadar abu gambut juga semakin rendah. Peningkatan kadar abu dilahan-lahan pertanian yang dikelola secara intensif berkolerasi dengan meningkatnya fraksi anorganik tanah gambut. Kadar abu tertinggi adalah pada lapisan permukaan, sedangkan tanah gambut dibawah hutan asli mempunyai kadar abu paling rendah, yaitu 0,2029 % di kedalaman 20 cm pada jarak 50 m dari

22

saluran kanal, hal ini disebabkan karena pada lahan ini sama sekali belum terganggu. Kadar abu merupakan bagian berat mineral bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses pembakaran atau hasil oksidasi. Penurunan kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Dekomposisi merupakan proses perombakan bahan organik oleh mikroorganisme dekomposer. Selama proses dekomposisi terjadi perubahan fraksi bahan organik dari komponen yang kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Demikian seterusnya hingga mencapai bahan organik dalam bentuk yang paling sederhana. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, proses tersebut berlanjut dengan proses mineralisasi, yaitu perombakan bahan organik sederhana menjadi senyawa-senyawa anorganik. Penggunaan lahan yang berpenagruh dengan kadar abu adalah pada penggunaan lahan sebagai kebun sagu. Kebun sagu merupakan lahan yang memiliki kadar abu. Perlakuan-perlakuan manusia, seperti pemupukan pada lahan ini akan mempengaruhi kandungan mineral, serta meningkatkan aktivitas mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme dalam dekomposisi akan

menghasilkan mineral tanah, sehingga kadar abu pada penggunaan lahan kebun sagu lebih tinggi diantara penggunaan lahan yang lain, terutama dilapisan atas (0 20 cm). Kadar abu gambut yang berada dibawah hutan asli rendah dibandingkan dengan kebun sagu.

23

Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi dan naiknya kadar abu tanah gambut ombrogen antara lain karena adanya campur tangan manusia, adanya saluran kanal, serta keberadaan DAM. Kanal adalah jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah, sedangkan DAM merupakan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Menurut Agus dan Subiksa (2008), sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut, serta menaikkan kadar abu tanah gambut. Lebih lanjut Agus dan Subiksa mengatakan, Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut. Oleh karena itu salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Masing-masing penggunaan lahan pada penelitian ini yang sudah menggunakan bangunan pengendali adalah pada penggunaan lahan yang dihutankan, sehingga pada lahan ini merupakan kadar abu tertinggi kedua setelah kebun sagu.

24

B. Jumlah Jamur pada Tanah Gambut Ombrogen

Tabel 2. Jumlah jamur pada masing-masing penggunaan lahan pada tanah gambut ombrogen jumlah jamur (x 103 cfu/g tanah) kedalaman (cm) sagu dihutankan akasia hutan asli 20 13 10 6 5 40 10 10 5 3 50 60 6 9 5 2 80 6 3 2 2 100 4 1 1 1 20 11 7 5 5 40 10 4 5 5 100 60 10 3 2 2 80 2 2 1 1 100 1 1 1 1 20 11 9 11 11 40 6 9 11 7 200 60 5 6 8 5 80 5 4 5 5 100 3 4 1 2 20 30 15 13 3 40 21 12 6 3 400 60 10 2 4 2 80 13 2 5 1 100 2 2 1 1 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010) jarak dari kanal (m) Jamur (fungi, kapang, cendawan) merupakan tumbuhan tingkat rendah dan tidak berklorofil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut ombrogen di Kalampanagan yang dimanfaatkan untuk kebun sagu merupakan lahan yang memiliki jumlah jamur paling tinggi, yaitu 30 x 103 cfu/g pada jarak 400 m dari kanal dikedalaman 20 cm. Jumlah jamur tertinggi kedua terdapat pada penggunaan lahan yang dihutankan, yaitu 15 x 103 cfu/g pada jarak 400 m dikedalaman 20 cm. Dilanjutkan dengan lahan gambut ombrogen yang

25

dimanfaatkan untuk tanaman akasia, jumlah jamur tertinggi pada lahan ini terdapat pada jarak 400 m dari kanal, dikedalaman 20 cm, yaitu sebesar 13 x 103 cfu/g. Hutan asli merupakan lahan gambut ombrogen yang jumlah jamurnya paling sedikit diantara penggunaan lahan yang lain, yaitu sebesar 11 x 103 cfu/g tepatnya pada jarak 200 m dari kanal dengan kedalaman 20 cm (Tabel 2).

Gambar2. Jumlah jamur berdasarkan kedalaman pada masing-masing penggunaan lahan gambut ombrogen.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut maka jumlah jamur semakin sedikit. Dekomposisi gambut di Kalampangan menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh jamur (Sagiman, 2007). Noor (2004)

26

juga mengatakan jamur dapat hidup dengan baik pada kondisi aerob, yaitu bagian permukaan tanah gambut ombrogen.

C. Jumlah Bakteri pada Tanah Gambut Ombrogen

Bakteri pengurai bahan organik dapat ditemukan ditempat yang mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik dilaut maupun di darat. Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral berperan dalam proses dekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan (Saraswati et al, 2006). Sama seperti populasi jamur, populasi bakteri terbanyak adalah pada penggunaan lahan kebun sagu, yaitu berkisar antara 10 70 x 106 sel/g, pada lahan ini jumlah bakteri tertinggi tersebut terdapat pada jarak 200 m dari kanal pada kedalaman 20 cm. Lahan yang memiliki jumlah bakteri tertinggi diurutan kedua adalah pada lahan yangh dihutankan, yaitu berkisar anatara 4 46 x 106 sel/g, pada lahan ini jumlah bakteri paling banyak terdapat pada jarak 200 m dan paling rendah terdapat pada jarak 400 m dari kanal. Diurutan ketiga adalah pada lahan akasia, yaitu berkisar anatara 1 27 x 106 sel/g, bakteri tertinggi tersebut terdapat pada jarak 400 m dari kanal dan terendah pada jarak 100 m dari kanal. Hutan asli merupakan lahan yang memiliki jumlah bakteri terendah, yaitu berkisar anatara 1 15 x 106 sel/g (Tabel 3).

27

Tabel 3. Jumlah bakteri pada masing-masing penggunaan lahan gambut ombrogen jarak dari Jumlah bakteri (x 106 sel/g tanah) kedalaman kanal (cm) sagu dihutankan akasia hutan asli (m) 20 65 16 26 10 40 51 15 25 9 50 60 17 10 22 6 80 14 8 20 3 100 10 5 13 1 20 62 31 27 10 40 62 28 23 8 100 60 61 25 22 8 80 44 20 14 2 100 19 14 9 1 20 70 46 27 8 40 61 46 27 5 200 60 40 32 16 4 80 30 19 9 1 100 10 11 8 2 20 33 20 27 15 40 31 11 25 9 400 60 31 4 5 4 80 14 4 1 1 100 11 4 1 1 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut maka jumlah bakteri akan semakin menurun. Tidak berbeda dengan jamur, hal ini disebabkan karena kondisi gambut pada kedalaman >80 cm selalu tergenang air atau jenuh air, sehingga menghambat aktivitas bakteri.

28

Gambar 3. Jumlah bakteri tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman

D.

Total Mikroorganisme Tanah Gambut Ombrogen

Tingginya bahan organik pada tanah gambut merupakan karakteristik yang dimiliki oleh tanah gambut. Isroi (2008) meyatakan bahwa tanah sangat kaya akan mikroorganisme, seperti bakteri, actinomycetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroorganisme per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroorganisme tersebut. Tambahnya lagi, bahwa sebagian besar mikroorganisme tanah memiliki peranan yang menguntungkan, yaitu berperan dalam

menghancurkan limbah organik, siklus hara tanaman, fiksasi nitrogen, pelarut

29

posfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Jamur dan bakteri merupakan mikroorganisme yang paling berperan dalam dekomposisi tanah gambut ombrogen. Total mikroorganisme pada penelitian ini didapat dari hasil penjumlahan jumlah jamur dan jumlah bakteri, sehingga diperoleh hasil seprti pada Tabel 3.

Tabel 4. Total mikroorganisme tanah gambut ombrogen pada masing-masing penggunaan lahan total mikroorganisme (x 10 cfu/g) jarak dari kedalaman kanal (m) (cm) sagu dihutankan akasia hutan asli 20 65,013 16,010 26,006 10,005 40 51,010 15,010 25,005 9,003 50 60 17,006 10,009 22,005 6,002 80 14,006 8,003 20,002 3,002 100 10,004 5,001 13,001 1,001 20 62,011 31,007 27,005 10,005 40 62,010 28,001 23,005 8,005 100 60 61,010 25,003 22,002 8,008 80 44,002 20,002 14,003 2,001 100 19,001 14,004 9,001 1,001 20 70,011 46,009 27,011 8,011 40 61,006 46,009 27,011 5,007 200 60 40,005 32,006 16,008 4,005 80 30,005 19,004 9,005 1,005 100 10,003 11,004 8,001 2,002 20 33,030 20,015 27,013 15,003 40 31,021 11,012 25,006 9,003 400 60 31,010 4,002 5,004 4,002 80 14,013 4,002 1,005 1,001 100 11,002 4,002 1,001 1,001 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)
6

Sesuai dengan jumlah jamur dan bakteri, yaitu jumlah tertinggi pada lahan kebun sagu, dihutankan, akasia, dan terakhir pada lahan hutan asli.

30

Kondisi penggunaan lahan yang mempengaruhi kondisi mikroorganisme adalah pada lahan sagu dan lahan yang dihutanakan. Lahan sagu merupakan perkebunan yang dimiliki oleh daerah Kalampangan. Kondisi mikroorganisme yang tinggi pada kebun sagu adalah karena adanya campur tangan manusia, yaitu melalui pemupukan dan pengelolaan lainya yang sudah sering dilakukan oleh manusia agar sagu dapat tumbuh dengan baik dan produktif. Pupuk yang diberikan pada lahan ini memberikan dampak positif terhadap aktivitas mikroorganisme. Lahan gambut digunakan untuk perkebunan sagu pembuatan saluran drainase atau DAM tidak diperlukan, karena tanaman ini merupakan tanaman rawa yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat selain beras (Agus dan Subiksa, 2008). Lahan yang Dihutankan adalah lahan kosong yang kemudian sengaja ditanami tanaman yang sama dengan hutan alami. Pada lahan ini sudah ada campur tangan manusia, yaitu melalui konservasi mekanik dengan pembuatan DAM serta tetap menjaga tinggi muka air tanah. Agus dan Subiksa (2008), mengatakan salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Hutan akasia merupakan urutan ketiga yang memiliki total

mikroorganisme. Pada lahan ini di beri DAM tanpa memperhatikan tinggi muka air tanah, sehingga menyebabkan sistem irigasi tidak baik. DAM yang tidak memperhatikan tinggi muka air tanah akan menyebabkan tergenang pada musim

31

hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Akasia merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim hujan dan kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup mudah beradaptasi dengan lingkungan (Widyasari, 2008). Pemupukan pada lahan akasia di lahan gambut Kalampangan tidak pernah di lakukan, kerena sifat akasia yang toleran. Kondisi pengairan yang kurang sempurna dan pengolahan lahan yang tidak pernah dilakukan menyebabkan mikroorganisme pada lahan ini tidak dapat hidup dengan baik. Hutan asli merupakan lahan yang mempunyai total mikroorganisme terendah. Hutan asli merupakan hutan alami tanpa ada campur tangan manusia. Kondisi tanah yang selalu tergenang karena tidak ada DAM dan tidak ada pengelolaan tanah menyebabkan aktivitas mikroorganisme pada lahan ini terhambat. Mikroorganisme yang sedikit pada lahan ini menyebabkan proses dekomposisi berjalan lebih lambat dibandingakan dengan penggunaan yang lahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kadar abu pada lahan ini sangat rendah. Gambar 3 merupakan hasil penjumlahan antara jamur dan bakteri menghasilkan total mikroorganisme yang menunjukkan jika semakin dalam gambut maka mikroorganisme akan semakin rendah, hal ini karena semakin dalam gambut maka kandungan air akan semakin tinggi dan menyebabkan lingkungan menjadi anaerob. Menurut Waksman dalam Sagiman (2007), perombakan bahan organik saat pembentukan gambut dilakukan oleh

mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini dihasilkan gas methane dan

32

sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian maka kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan protein.

Gambar 4. Total mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah gambut ombrogen. Faktor penghambat pertumbuhan mikroorganisme pada tanah gambut ombrogen adalah aerasi yang kurang baik, dapat dilihat dari lahan hutan akasia dan hutan asli yang memiliki mikroorganisme terendah karena aerasi yang kurang baik. Menurut Atmojo (2003), Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan

33

mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2 dalam tanah. Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi mikroorganisme dalam tanah. tambahnya lagi, bahwa kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang. C/N yang tinggi juga dapat menghambat aktivitas mikroorganisme dalam merombak organik tanah gambut ombrogen. Bahan organik akan termineralisasi jika nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 30, dan jika diatas nilai kritis akan terjadi imobilisasi N (Stevenson dalam Atmojo, 2003). C/N gambut umumnya sangat tinggi melibihi 30 ini berarti hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman (Soewono, dalam Sagiman, 2007). Jika bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi kecepatan mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah. Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38 % (Stevenson, 1982). Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin ini, di samping jamur (fungiligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase, manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic) (Hammel, 2003). Kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah pada lahan sagu, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa kebun sagu di Kalampangan memiliki kadar abu dan total mikroorganisme paling tinggi dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Mikroorganisme yang

34

paling dominan pada lahan gambut ombrogen adalah bakteri, yaitu berkisar antara 1 x 106 70 x 106 sel/g, sedangkan jumlah kamur mencapai 1 x 103 30 x 103 cfu/g. Hubungan kadar abu dengan mikroorganisme adalah dalam hal proses dekomposisi. Kadar abu merupakan mieral yang terdapat dalam tanah gambut ombrogen, dan hasil akhir dari proses dekomposisi adalah mineral. Dari hasil analisi diketahui kadar abu tertinggi adalah pada lahan sagu, dan mikroorganisme tertinggi juga pada lahan sagu. Oleh karen itu pada perkebunan sagu dapat dikatakan laju dekomposisinya lebih cepat dibandingkan dengan lahan yang lain.

35

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Kondisi agihan cacak total mikroorganisme tertinggi adalah pada penggunaan lahan kebun sagu, tertinggi kedua adalah lahan yang dihutankan, dilanjutkan dengan yang ketiga adalah hutan akasia, dan tarakhir populasi tersendah adalah pada lahan hutan asli. 2. Kadar abu tertinggi adalah pada lahan perkebunan sagu, dan terendah adalah pada hutan asli. 3. Penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan agihan cacak total mikroorganisme adalah penggunaan lahan sebagai kebun sagu dan penggunaan lahan yang dihutankan. 4. Penggunaan lahan yang produktif dan ramah lingkungan adalah penggunaan lahan sebagai kebun sagu dan lahan yang dihutankan.

B. saran

Penggunaan

lahan

gambut

ombrogen

sebaiknya

memperhatikan

pengolahan tanah yang baik, serta dibuat DAM dengan tetap menjaga tinggi muka air tanah, sehingga menjadi lahan yang kembali produktif dan sesuai dengan lingkungan. Mengingat pentingnya peran mikroorganisme tanah dalam proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut dan masih relatif terbatasnya

36

informasi mengenai jenis jamur dan bakteri pada tanah gambut. Perlu diidentifikasi jenis-jenis jamur dan bakteri tanah gambut dalam rangka mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian akan dapat diketahui populasi, jenis jamur dan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik tanah gambut. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan gambut ombrogen.

DAFTAR PUSTAKA

37

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 14 h. Ardjakusumah S., Nurani, E, dan Sumantri. 2002. Teknik penyiapan pada lahan gambut bongkor untuk tanaman holtikultura. Pusat penelitian tanah dan agroklimat, Bogor. BAPPENAS. 1998 dalam Kurnain, A. 2007. Kebakarab Hutan dan Lahan Gambut: Karakteristik dan Penanganannya. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Bintoro, Yanuar, dan Shandra. 2010. Sagu Di Lahan Gambut. IPB Press, Bandung. BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya LahanPertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian danpengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitiandan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Central Kalimantan Peatlands Project. 2006. Lahan gambut di kalimantan. CKPP Universitas Palangkaraya, Palangkaraya. www.cckp.or.id diakses 26 maret 2011. Diemont, W.H., P.J.M. Hillegers, K. Kramer, dan J. Rieley. 2002. Fire and peat forests, what are the solutions? Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 18 h. Dwi Hatmoko, Maulia Aries, dan Khairul Anwar. 2007. Potensi Sebaran Lahan Rawa Berdasarkan Luasan Tipologi dan Tipe Luapan Di Kalimantan. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan. D`Arcy, L.J. dan S.E. Page. 2002. Assessment of the effects of the 1997/1998 forest fire and anthropogenic deforestation on peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function, and Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 179185. Eni dan Maulia. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah (Earthworms Community On

38

Several Land Uses Of Peat Land In Central Kalimantan). Balai Penelitian lahan Rawa, Kalimantan selatan. Hammel, K.E. (2003)Fungal degradation of lignin, In Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition, ( Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp. 33-46. Department of Biological Sciences. Wey College. University of London, UK. Isroi, 2008. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik. (On-line), http://biogen.litbang.deptan.go.id/berita_artkel/artikel_2006_bioteknologi_ mikroba.php diakses 26 Maret 2011 Foth., H.D. 1991 dalam Jurnal Penelitian Budi Utomo 2010. Eksplorasi Fungi pada Tanah Gambut yang Berada pada Lapisan Fibrik, Hemik, dan Saprik.USU. Medan. Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, dan H.D.V. Bhm. 2000. Impact of forest firest on carbon storage in tropical peatlands. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our Peatlands. Proceedings of the
th

11 International Peat Congress, Qubec City, Canada, h. 106113. Kurnain,A. 2005.Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran atas watak gambut ombrogen. Disertasi, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta, 315 h. KNLHRI (Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia). 2010. Profil Ekosistem Gambut Di Indonesia. Jakarta. Noor. 2004.Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Noor.2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisius: Yogyakarta. Page, S.E., J.O. Rieley, H.D.V. Bhm, F. Siegert, dan N.Z. Muhamad. 2000. Impact of the 1997 fires on the peatlands of Central Kalimantan, Indonesia. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our
th

Peatlands, Proceedings of the 11 International Peat Congress. Qubec City, Canada, h. 962970. Parish, F. 2002.Peatlands, biodiversity and climate change in SE Asia: an overview. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002.KualalumpurMalaysia, 11 h. Radjagukguk, B. 1997 dalam Agus, F dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai penelitian Tanah dan World Agroforesty Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.

39

Ratmini, sri, NP. 1997. Sistem surjan di lahan pasang surut. Proyek penelitian dan pengembangan pertanian rawa terpadu-ISDP. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Jakarta. Saraswati, edi, dan emi. 2006. Organisme perombak bahan organik. Siegert, F., H-D.V. Behm, J.O. Rieley, S.E. Page, J. Jauhiainen, H. Vasander, dan A. Jaya. 2002. Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: fire impacts and carbon release. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function, and Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 142154. Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut kalampangankalimantantengah pasca kebakaran hutan desember 1997 dan september 2002. Berita biologi 7(3). pp. 145-154. Sagiman,S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dengan Perspektf pertanian berkelanjutan. Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak. Singaravelu, S.S. 2002. El Nino, climate change and peat fires.Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 9 h. Soewono,S. 2007. Fertility management for sustainable agriculture on tropical ombrogenous peat.In Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Eds J.O. Rieley. and S.E. Page. Proceedings of the international Symposium on Biodiversity, Environmental importance and sustainability of Tropical Peat and Peatlands, held in Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia, 4-8 sept. 1995. Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork. Dalam Atmojo, Suntoro, W. 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah, Fakultas pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut Di Kalimantan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan pertanian, Bogor. Turnbull JW. 1986. Dalam Karya Ilmiah Widyasari, Eka. 2008.Pengaruh Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Dua Tahun Setelah Terbakar dalam Mempengaruhi Pertanian Acacia Carssicarpa A. Cunn. Ex Benth. Di Areal IUPHHK-H-PT. Sibangun Bumi Andalas Wood Industries. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

40

Widjaya-Adhi IPG, Nugroho DA, dan Karania AS. 1992. Dalam jurnal penelitian Eni Maftuah dan Maulia Aries Susanti. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Gambut Di Kalimantan tengah (Earth Worms Comunity On Several Land Use Of Peat Land In Central Kalimantan). Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru, Kalimantan selatan.

41

You might also like